Sifat Fisik Tanah-Tanah Utama Di Daerah Tropis

SIFAT FISIK TANAH-TANAH UTAMA DI DAERAH TROPIS
IWAN RISNASARI Shut
Fakultas Pertanian
Jurusan Ilmu Kehutanan
Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN

Di kawasan tropika, lahan-lahan yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk
per kapita makin lama semakin menurun luasannya, hal ini disebabkan oleh
semakin terbatasnya sumberdaya tanah, dan yang ada pun cenderung mengalami
degradasi, selain itu juga disebabkan oleh semakin cepatnya peningkatan populasi
penduduk.
0.Jumlah negara-negara di kawasan tropika yang memiliki tingkat
pemilikan lahan per kapita kurang dari 0,1 Ha pada tahun 1990 telah mencapai 8
Negara, dan hal ini diprediksikan akan semakin bertambah sampai sebanyak 25
negara pada tahun 2025. (Lal, 1997).
Tanah-tanah yang mendominasi kawasan tropika diantaranya adalah ordo
Oxisols (22,5% dari total luas lahan yang ada di kawasan tropika), Ultisols
(10,6%), aridisol (18,4%), alfisols (16,3%), entisols (10,0%) dan Inceptisols
(5,0%). Dengan beberapa pengecualian (misalnya saja pada ordo tanah Entisols,

Inceptisols, aridisols, mollisols dan Histosols), maka sebagian besar tanah-tanah
diwilayah tropika memiliki tingka kesuburan yang rendah dan beberapa
diantaranya memiliki hubungan yang cukup erat terhadap keterbatasanketerbatasan untuk penggunaan penanaman yang intensif. Sebagai contoh, oxisols
dan ultisols secara umum mempunyai sifat-sifat fisik yang memadai bagi
pertumbuhan tanaman, akan tetapi tingkat keasamannya tinggi (pH rendah),
selain itu juga mempunyai permasalahan terhadap ketidakseimbangan kandungan
nutrisi yang dibutuhkan tanaman.
Alfisols dan Aridisols kemungkinan besar
mempunyai sifat-sifat kimia tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman dan
kandungan nutrisinya cukup, akan tetapiumumnya mempunyai keterbatasan pada
mudahnya sifat-sifat fisik tanah tersebut yang mudah rusak/terdegradasi, misalnya
saja diakibatkan oleh pemadatan/Compaction dan oleh karena erosi.
Akibat dari kesalahan penggunaan lahan dan juga kesalahan dalam
pengelolaan lahan maka akan mengakibatkan degradasi tanah,
kaji ulang
terhadap penggunaan lahan, legalitas pemilikan lahan, dan pengelolaan vegetasi
yang tepat akan dapat mengembalikan kualitas lahan serta dapat meningkatkan
produktifitasnya.
Erosi yang tinggi adalah salah satu bentuk dari
permasalahan/resiko yang harus dihadapi dalam kegiatan pengelolaan tanah di

wilayah tropika, khususnya yang diwakili oleh erodibilitas tanah dan tingginya
erosivitas curah hujan, dimana hal ini secara parsial dapat dilakukan melalui
perbaikan-perbaiakn yang diantaranya adalah dengan membangun penutup lahan
(groun cover) sebagai pelindung dari erosi yang diakibatkan oleh curah hujan (drop
impact) dan juga melalui masukan-masukan untuk mempermudah mendapatkan
legalitas kepemilikan lahan.

2002 digitized by USU digital library

1

Untuk mengelola besarnya aliran permukaan (run off) maka dapat
dilakukan melalui pembangunan struktur pencegah erosi (seperti : teras bangku,
sengkedan, terjunan air, dan lain-lain) yang akan bermanfaat untuk menrunkan
resiko yang diakibatkan oleh erosi. Pengembangan dan pengelolaan yang baik
terhadap hutan tanaman di kawasan tropika haruslah mengikutsertakan
keragaman dan variabilitas yang tinggi dari sifat-sifat alami tanah-tanah tropika
dan respon tanah terhadap sistem manajemen/pengelolaan yang dipergunakan.
Oleh karena itu maka pengetahuan mengenai sifat-sifat fisik tanah yang
berkaitan erat dengan pengelolaan hutan tanaman perlu mendapat ulasan dan

kajian. Tulisan ini adalah untuk memaparkan sifat-sifat fisik utama yang dimiliki
oleh tanah-tanah di kawasan tropika dan relevansinya terhadap kegiatan
pengelolaan hutan tanaman.

2002 digitized by USU digital library

2

II. SIFAT FISIK TANAH-TANAH UTAMA DI DAERAH TROPIKA
Sifat-sifat fisik tanah yang secara nyata mempengaruhi perkembangan
anakan dan pertumbuhan pohon adalah : 1) struktur tanah; 2) air tanah; 3)
suhu/temperatur tanah;
dan 4) aerasi tanah.
Sifat-sifat inilah yang
mempengaruhi pertumbuhan pohon. Pada tingkat yang kritis dari sifat-sifat ini,
maka dimasa yang akan datang pertumbuhan pohon akan dirugikan, namun
demikian untuk sebagian besar tanah-tanah di wilayah tropika pengaruh ini belum
banyak diketahui. Adapun informasi/referensi mengenai pengelolaan sifat-sifat
fisik tanah bagi pertumbuhan pohon di wilayah tropika masih sangat sedikit.
Namun demikian secara garis besar sifat-sifat fisik tanah untuk beberapa ordo

tanah di wilayah tropika dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
Oxisols dan Ultisols
Secara umum, Oxisols mempunyai struktur tanah yang baik (Trapneli dan
Webster, 1986) dengan proporsi agregat-agregat mikro yang tinggi (ukuran 0.01
sampai 0.2 mm), stabil terhadap slaking dan memiliki trafficability yang moderat.
Konsekuensi untuk sebagian besar ordo Oxisols adalah meskipun teksturnya
berliat, namun mempunyai sifat seperti pasir halus berkaitan dengan
kemampuan/sifat retensi/penahanan terhadap kelembaban tanah dan sifat-sifat
pemindahan/penyebaran. Laju keseimbangan infiltrasi dan konduktifitas hidrolik
yang jenuh dari tanah-tanah ini akan dapat dengan mudah meningkat menjadi
sangat cepat sampai pada kisaran antara 5 sampai 50 cm per jam. Penanaman
yang terus menerus dan lalu lintas kendaraan bermotor (alat-alat berat) akan
meningkatkan degradasi struktural tanah-tanah ini melalui pengerasan,
pemadatan, penurunan laju infiltrasi sampai pada tingkat yang rendah, tingginya
run off, serta mudahnya terjadi proses erosi yang dipercepat (Accelerated
erosion). Kapasitas menahan air pada tanah Oxisols dipengaruhi oleh kandungan
liat dan bahan organik pada potensial yang tinggi (misalnya pada kapasitas lapang)
dan kandungan liat pada potensial yang rendah (misalnya pada titik layu
permanen).
Van Wambeke (1992) mengemukakan hubungan antara pola tekstur tanah

dengan penyimpanan air, yang ditunjukkan seperti pada persamaan 1 dan 2
berikut :
θ

pwp

θ

awc

= 11.2 + 275 Clay
=

(%)

7.5 + 0.7 fine silt

……..(1)
(%)


……..(2)

dimana θ pwp adalah prosentase kandungan air dengan dasar volume, sedangkan
θawc adalah prosentase kandungan air yang ditahan dengan daya lekat sebesar 10
dan 1500 kPa.
Alfisols
Berbeda dengan Oxisols, sebagian besar Alfisols mempunyai tekstur tanah
yang ringan pada horison permukaannya dan sering mempunyai kandungan liat
kurang dari 20%. Lebih lanjut, Alfisols pada wilayah Tropika sub humid dan semi
arid mempunyai fraksi endapan yang rendah, mempunyai struktur yang lemah,
serta dapat dengan mudah mengalami slaking, pengerasan dan pemadatan.
Dikarenakan oleh faktor utama rendahnya aktifitas liat (misalnya kaolinit dan ilit)

2002 digitized by USU digital library

3

serta kandungan bahan organik yang rendah, maka sebagain besar dari Alfisols
juga akan dengan mudah mengeras (hard-setting),
misalnya saja kegiatan

pengerasan tanah menjadi massa yang tidak berstruktur karena pengeringan. Ley
et al (1989) dan Mullins et al (1990) menggambarkan proses pengerasan (hardsetting) yang mengikuti mekanisme berikut : 1) Slumping dan slaking yang
mengikuti cepatnya pembasahan; 2) penyusutan karena pengeringan; 3) adanya
peningkatan kekuatan sebagai akibat dari peristiwa Close-packing Arangement,
dimana peristiwa ini menimbulkan adanya suatu ikatan yang cukup kuat.
Sebagian besar Alfisols di Afrika Barat dicirikan oleh tekstur yang kasar
pada horison permukaannya dan di lapisan yang lebih dalam adalah liat atau
horison argilik yang berupa konsentrasi dari kuarsa atau konkresi batu kerikil. Di
bawah vegetasi yang alami, sebagian besar Alfisols (dan juga Ultisols) mempunyai
kerapatan limbak (bulk density) yang rendah yaitu berkisar 1.0 t m-3 atau kurang,
khususnya di wilayah-wilayah yang dicirikan oleh aktifitas hewan tanah yang tinggi,
misalnya rayap dan cacing tanah. Meskipun demikian, besarnya kerapatan limbak
dapat meningkat dengan cepat manakala pada tanah-tanah tersebut ada aktifitas
lalu lintas alat-alat berat yang tinggi. Laju peningkatan besarnya kerapatan limbak
biasanya akan cepat/tinggi pada tanah-tanah yang memiliki bahan organik sedikit
dan di dominasi oleh liat-liat yang aktifitasnya rendah. Kerapatan limbak tanah
dapat meningkat dari 0.8 t m -3 di bawah penutupan vegetasi alami sampai 1.4 t
m-3 di lahan pertanian yang memanfaatkan alat-alat berat.
Peningkatan
kerapatan limbak yang besar sebagai akibat kegiatan deforestasi telah diamati di

Afrika Barat oleh Lal dan Cummings (1979), Hulugalle et al (1984) dan Ghuman &
Lal (1991; serta di Amazon bagian hulu oleh Alegre et al (1986).
Data yang ditunjukkan pada Tabel 5 adalah sebuah contoh peningkatan
kerapatan limbak tanah yang besar sebagai akibat kegiatan deforestasi. Dimana
pada kasus ini, kerapatan limbak meningkat karena adanya dua faktor yang
biasanya diabaikan dalam metode pemanenan/eksploitasi hutan. Alasan mengapa
di bawah tegakan hutan mempunyai kerapatan limbak yang rendah adalah
dikarenakan oleh tingginya aktifitas hewan tanah seperti cacing tanah, rayap dan
hewan-hewan tanah lainnya. Tanah di bawah tegakan hutan akan terasa seperti
busa jika kita berjalan diatasnya, tanah ini juga ditutupi oleh lapisan tebal yang
dibuat cacing setebal 3 sampai 5 cm. Selain itu pada tanah ini juga terjadi aktifitas
yang intensif dari rayap-rayap maupun hewan tanah lainnya.
Deforestasi akan
merubah suhu tanah dan regim kelembaban, menurunkan ketersediaan dan
keanekaragaman makanan, merusak habitat, dan menurunnya aktifitas biota tanah
secara drastis.
Konsekuensinya adalah meningkatnya kerapatan limbak.
Ketahanan tekanan akan selaras dengan kerapatan limbaknya (Tabel 5).
Pengukuran ini, dilakukan sebelum dan sesudah kegiatan deforestasi, dan dibuat
selama musim kering ketika kandungan lengas tanahnya rendah. Setelah kegiatan

deforestasi selesai maka akan diikuti oleh kemudahan tanah di tempat tersebut
mengalami pengerasan (hardsetting) yang semakin meningkat, serta kekuatan
dan ketahannya menjadi lebih tinggi (Ley et al 1989).

2002 digitized by USU digital library

4

Tabel 5.

Kerapatan limbak (Bulk Density) tanah dan ketahanan tekanan tanah
Alfisol pada kedalaman 0-5 cm di Nigeria selatan dan akibat kegiatan
deforestasi.

Perlakuan
Deforestasi
(Metode
Penebangan
yang dipakai)
Manual

Shear Blade
Tree
Pusher/Root
rake
Tradisional
LSD (0.05)

Sebelum Deforestasi
Kerapatan
Limbak (BD)
( t m -3)
0.73
0.81

Ketahanan
Tekanan
(kPa)
44
30


0.69
0.69
TS

Satu Tahun Setelah
Deforestasi
Ketahanan
Kerapatan
Limbak (BD) Tekanan
(kPa)
( t m -3)
1.46
170
1.38
144

30
17
TS

1.45
1.16
0.01

132
121
20

TS = Tidak Signifiikan
Perkembangan pengerasan atau penutupan permukaan merupakan faktor
pembatas fisik yang utama pada tanah ini karena tanah menjadi tidak terlindungi
dari pengaruh jatuhnya air hujan (raindrop impact) serta cepatnya proses
pengeringan setelah deforestasi. Pengerasan sering kali mencapai ketebalan 1
sampai 5 mm, dan memiliki permeabilitas udara dan air yang sangat rendah.
Fraksi yang tinggi dari liat water-dispersible, kandungan bahan organik yang
rendah, dan rendahnya sifat kembang susut akan meningkatkan bentuk
pengerasan tanah.
(FAO, 1979) mengemukakan hubungan antara indeks
pengerasan tanah dengan tekstur dan kandungan bahan organik tanah seperti
yang tercantum pada persamaan 3 berikut ini :
IC

=

(1.5 FS + 0.5 CS)/(C + (10 x SOC))

………………. (3)

Dimana IC adalah indeks pengerasan tanah, FS adalah prosentase fine silt, CS
adalah prosentase coarse silt, C adalah prosentase kandungan liat (clay), dan
SOC (Soil Organic Content) adalah prosentase kandungan bahan organik. Dari
persamaan tersebut dapat dilihat bahwa rendahnya kandungan liat dan kandungan
bahan organik akan menentukan terjadinya pengerasan tanah.
Meningkatnya kerapatan limbak tanah (BD) sebagai akibat dari kehilangan bahan
organik tanah, menurunnya keanekaragaman tanah serta pengaruh air hujan akan
mengakibatkan menurunnya porositas makro dan menurunnya kapasitas infiltrasi
tanah (Lal dan Cummings, 1979; Ghuman et al, 1991). Besarnya laju penurunan
kapasitas
infiltrasi
tergantung
pada
kondisi
tanah
sebelumnya,
manajemen/pengelolaan dan keanekaragaman tanah
(Lal, 1993).
Sistem
pengelolaan tanah dan pohon yang meningkatkan aktifitas hewan tanah juga
menjaga tingginya kapasitas infiltrasi (Lavelle et al, 1992).
Sifat untuk menahan kelengasan tanah dari Alfisols dan Ultisols di Afrika Barat
mengindikasikan bahwa kapasitas untuk memegang air tersedia rendah (Lal,
1993).
Sifat lengas tanah berenergi tinggi dari tanah-tanah ordo ini sebagian
besar rongga-rongga makronya kosong ketika potensial matriknya berkisar pada

2002 digitized by USU digital library

5

50 cm dari air atau 5.0 kPa.
Lebih lanjut, diketahui bahwa ternyata tidak ada
perbedaan mengenai kemampuan untuk menahan lengas tanah pada potensial
matrik antara 0.1 Mpa dan 1.5 Mpa. Titik layu permanen untuk sebagian besar
tanah-tanah dengan tekstur kasar dan yang kandungan liatnya kurang dari 20%
serta mengandung liat kaolinik mungkin akan baik pada potensial matrik antara 0.1
Mpa dan 0.2 Mpa.
Kapasitas menahan air tersedia untuk sebagian besar tanah
berada pada selang antara 5 cm dari atas permukaan sampai kedalaman 50 cm.
Pohon-pohon kemungkinan besar akan menderita kekeringan selama musim hujan
meskipun periode durasi hujan bebasnya lebih dari 10 hari. Perakaran yang dalam
dengan terbentuknya sistem tap root merupakan sifat yang penting untuk
berhasilnya adaptasi spesies-spesies tanaman di tanah-tanah ini.
Kerentanan terhadap kekeringan (drough stress) akan semakin buruk karena
lemahnya sifat struktural dan cepatnya deteriorisasi (Penurunan) agregat-agregat
selama kerusakan tanah, suhu tanah yang tinggi dan rendahnya kandungan lengas
tanah.
Pengukuran sifat lengas yang berbeda atau kurva Cθ (Ψ) menunjukkan
bahwa perubahan struktural terjadi sepanjang waktu. Data dari percobaan dengan
jangka waktu yang lama menunjukkan bahwa penurunan pori makro dan
perpindahan kurva Cθ (Ψ) ke arah kanan dikarenakan deteriorisasi struktur tanah
yang berlanjut pada tanah Alfisols di Nigeria bagian barat (Lal, 1986; 1993).
Inceptisols dan Entisols
Psamment adalah group yang penting pada ordo Entisol di wilayah tropika. Tanah
ini meliputi luas kawasan sekitar 370 juta Ha di tropis Afrika (Van Wambeke,
1992), sekitar 70 juta Ha di Brazil (Bowen dan Lobato, 1988).
Psamment
didominasi oleh tekstur yang kasar dan jarang sekali kandungan halusnya dari
pada pasir halus berliat pada kedalaman sampai sekitar 1 m dari permukaan.
Konsekuensinya adalah bahwa tanah-tanah ini mempunyai struktur single-grain,
mempunyai laju infiltrasi yang relatif lebih tinggi serta rendahnya kapasitas
menahan air yang tersedia. Sebagai tambahan jika kekeringan (drough stress)
sering terjadi maka tanah-tanah ini akan mempunyai Kapasitas Tukar kation (KTK)
yang sangat rendah, serta kesuburan tanah sangat rendah pula. Keberhasilan
pertumbuhan tanaman pada Psamment membutuhkan adanya kegiatan konservasi
kelengasan tanah dan penggunaan pupuk organik maupun pupuk-pupuk kimia
dengan bijaksana untuk meningkatkan kesuburannya.
Aridisols
Tanah ini mempunyai kandungan bahan organik yang rendah dan mengandung
larutan garam yang relatif tinggi, selain itu biasanya juga terdiri dari pasir halus
dan fraksi silt. Secara umum Aridisols mempunyai tekstur kasar sampai menengah
dengan proporsi bahan skeletal yang tinggi terdiri dari kerikil, plintit yang
mengeras serta bekas jalan aspal di padang pasir. Beberapa adalah Gypsiferous
dan calcareous, dan dalam bentuk gundukan pasir adalah bentuk yang umum.
Konsekuensinya adalah, bahwa Aridisols akan mudah mengalami pengerasan dan
membentuk penutup tanah serta memadat, tanah ini sering berada pada bentuk
padatan yang keras meskipun pada kondisi alaminya. Juga menunjukkan ciri sifat
hard-settingnya. Pengerasan permukaan mungkin akan mengakibatkan bagian
tersebut menjadi hidrofobik karena adanya bentukan lapisan alga selama musim
penghujan. Pengerasan alga sering menurunkan laju masuknya air bahkan dapat
mencapai nol, meningkatkan besarnya run off, banjir bandang, dan erosi parit

2002 digitized by USU digital library

6

yang parah selama musim penghujan. Erosi oleh angin dan gangguan gundukan
pasir adalah permasalahan yang timbul selama musim kering.
Vertisols
Tingginya kandungan liat montmorilonit, biasanya lebih dari 30% pada kedalaman
diatas
50
cm,
sehingga
memerlukan
adanya
manajemen/pengelolaan
permasalahan yang khusus pada tanah-tanah ini.
Sifat tersebut termasuk
rendahnya laju infiltrasi, tingginya run off, kemudahan untuk dierosi oleh air dan
rendahnya trafficability selama musim hujan. Vertisol juga mudah mengalami
salinisasi, alkalisasi dan ketidakseimbangan nutrisi.
Pemadatan dapat juga
merupakan suatu masalah, khususnya pada horison sub soil.

2002 digitized by USU digital library

7

DAFTAR PUSTAKA
Alegre, J. C., Cassel, D. K., and Bandy, D. E. 1986. Effect of Land Clearing
and Subsequent Management on Soil Physical Properties. Soil Science
Society of America Journal 50: 1379-1384
Bowen, W. T., and Lobato, E. 1988. Possibilities and Constraints for crops
production on Acid Sandy Soils in Brazil. In: E. Walmsley. Ed. Farming
System for Low-Fertility Acid Sandy Soils. Technical Centre for Agricultural
and Rural Cooperation (CTA) Seminar Procedings. EDE-Wageningen. The
Netherlands. 75-85
FAO. 1979. Soil Survey in Irrigation Investigations. FAO Soils Buletin 42. FAO.
Rome. Italy
Hulugalle, N. R., Lal, R., and ter Kuile, C. H. H. 1984. Soil Physcical changes
and Crop Root Growth Following Different Methods of Land Clearing In
Western Virginia. Soil Science 138. 172-179
Lal, R. 1986. Soil Surface Management in The Tropics for Intensive Landuse and
High Sustained Production. Advances in Soil Science 5. 1-109
Lal, R. 1993. Tropical Agricultural Hydrology and Sustainability of Agricultural
System : A Ten Year Waershed Management Project in Southwestern
Nigeria. The Ohio State University/IITA Monograph. 208p
Lal, R. 1997. Soil of The Tropics and Their Management for Plantation Forestry.
In: Nambiar, E. K. S., and Brown, A. G. 1997. Management of Soil,
Nutrient and Water In Tropical Plantation Forest. ACIAR Monograph No. 43.
97p
Lal, R., and Cummings, D. J. 1979. Clearing a Tropical Forest: I Effect on Soil
and Microclimate. Field Crop Research 2. 91-107
Lavelle, P., Spain, A. V., Blanchart, E., Martin, A., and Martin, S. 1992.
Impact of Soils Fauna on The Properties of Soils in The Humid Tropics. In:
Lal, R. and Sanchez, P. A. ed. Myths and Science of Soils of The Tropics.
SSSA Special Publication No. 29. Madison. WI. 157-185
Ley, G. J., Mullins, C. E. and Lal, R. 1989. Hardsetting Behaviour of Some
Structurally-Weak Tropical Soils. Soil and Tillage Research 13. 365-381.
Mullins, C. E., Macleod, D. A. Northcote, K. H., Tisdall, J. M., and Young, I.
M. 1990. hardsetting Soils, Behaviour, Occurrence and Management. In:
Lal, R., and Stewart, B. A. Ed. Soil Degradation. Advances in Soil Science
11. 37-107

2002 digitized by USU digital library

8