solanacearum berdasarkan persentase kejadian penyakit Thaveechai

keperluan dan didasarkan pada besarnya nilai persentase kejadian yang terjadi pada kontrol rentan dan kontrol tahan. Tabel 1. Pengelompokan tingkat ketahanan klon kentang terhadap serangan bakteri layu

R. solanacearum berdasarkan persentase kejadian penyakit Thaveechai

et al., 1989 Kejadian Penyakit Tingkat Ketahanan 0 – 20 Tahan T 21 – 40 Agak Tahan AT 41 – 60 Agak Rentan AR 61 – 100 Rentan R HASIL DAN PEMBAHASAN Uji In Vitro Vigor Tanaman Hasil pengujian terhadap vigor tanaman yang dilakukan melalui pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah akar. Berdasarkan analisis sidik ragam, pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah akar antar klon berbeda sangat nyata sejak pengamatan pertama yaitu 7 hari setelah tanam Tabel Lampiran 1 - 3. Vigor tanaman dalam kultur in vitro dipengaruhi oleh eksplan yang digunakan, kondisi laboratorium, cahaya, suhu, media, dan Zat Pengatur Tumbuh Pierik, 1987. Pada percobaan ini semua faktor tersebut relatif sama, sehingga perbedaan yang terjadi diharapkan disebabkan oleh perbedaan genotipe. Berdasarkan hal tersebut, persilangan antara cv. Atlantik dan cv. Granola memberikan turunan dengan genotipe yang beragam sesuai dengan pernyataan Uijtewall 1987 yang menyatakan bahwa persilangan antara tetraploid akan menghasilkan keragaman genetik yang tinggi untuk banyak karakter. Munculnya keragaman sebagai syarat utama seleksi pada program pemuliaan tanaman berikutnya telah didapatkan dari penelitian ini. Sebagai contoh, keragaman penampilan klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola disajikan pada Gambar 2. Vigor klon kentang in vitro menurut Gopal dan Minocha 1998 memiliki korelasi yang positif dan nyata dengan vigor tanaman di lapangan, termasuk pada dua musim yang berbeda. Klon yang memiliki vigor yang baik berdasarkan pengujian ini, diharapkan juga memiliki vigor yang baik di lapangan, sehingga dapat dilakukan seleksi secara in vitro dengan memilih klon-klon yang memiliki vigor yang baik. Gambar 2. Keragaman penampilan vigor in vitro klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola. A klon Atnola 1 memiliki pertumbuhan tinggi tanaman yang cepat, B klon Atnola 4 memiliki pertumbuhan yang cepat, kekar dan berdaun lebat, C Granola sebagai tetua, D klon Atnola 16 memiliki pertumbuhan yang lambat. Tinggi Tanaman Tinggi awal seluruh eksplan rata-rata adalah 0.1 cm. Pada 7 HST sudah terjadi perbedaan dimana beberapa klon memiliki pertumbuhan tinggi yang cepat diantaranya klon Atnola 4 yang lebih cepat dibandingkan Atlantik dan Granola, sedangkan beberapa klon lain yaitu klon Atnola 13, Atnola 14, Atnola 15, Atnola 17, Atnola 18, Atnola 19, Atnola 20 dan Atnola 25 memiliki pertumbuhan yang sangat lambat Tabel 2. Pertumbuhan dari klon-klon tersebut pada umumnya konsisten hingga akhir pengamatan terhadap tinggi tanaman. Akhir pengamatan adalah pada 35 HST dengan pertimbangan 35 HST merupakan umur planlet Atlantik dan Granola dapat diaklimatisasi. Pada 35 HST klon Atnola 11, Atnola 13, Atnola 14, Atnola 15, Atnola 16, Atnola 17, Atnola 18, Atnola 19, Atnola 20, Atnola 21, Atnola 23 dan Atnola 25 memiliki bentuk tanaman yang pendek. Pada 35 HST terdapat klon yang memiliki tinggi melebihi kedua kultivar tetua yaitu klon Atnola 4, Atnola 1, Atnola 5, dan Atnola 8. Hal tersebut secara teoritis sangat mungkin terjadi akibat adanya efek heterosis terhadap tetua. Heterosis adalah keadaan dimana karakter turunan lebih baik atau superior dibandingkan tetuanya. Mekanisme terjadinya heterosis saat ini menurut Chahal dan Gosal 2006 masih banyak yang belum dipahami dengan baik. Salah satu asumsi terjadinya heterosis adalah gen dominan sifat yang diinginkan dari dua tetua terekspresi bersama pada turunan dan menekan alel sifat yang tidak diinginkan. Diharapkan klon-klon tersebut memiliki vigor yang baik karena berdasarkan uji korelasi Tabel 5, ketiga peubah yang diamati memiliki korelasi positif yang sangat nyata. Tanaman yang memiliki vigor yang baik diantaranya dicirikan dengan pertumbuhan organ yang baik. Klon-klon tersebut juga dapat diaklimatisasi lebih awal, sehingga produksi planlet secara in vitro lebih cepat. Tabel 2. Tinggi klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola yang ditumbuhkan secara in vitro pada media MS0 No Klon 7 HST 14 HST 21 HST 28 HST 35 HST …………………………………… cm …………………………………… Atlantik tetua 5.22 b 6.54 b 9.00 bc 10.70 c 11.30 e Granolatetua 5.18 b 6.80 b 10.40 b 12.24 c 12.40 d Atnola 1 3.23 cd 4.20 d 8.60 c 17.40 b 20.80 b Atnola 2 0.84 hi 0.92 kl 1.22 h 2.00 fgh 3.90 j Atnola 3 1.90 ef 3.02 efgh 3.80 def 5.22 e 6.40 h Atnola 4 6.50 a 9.32 a 18.00 a 23.00 a 23.40 a Atnola 5 2.06 ef 3.80 de 5.60 d 11.70 c 15.00 c Atnola 8 3.88 c 5.20 c 7.90 c 10.60 c 13.20 d Atnola 9 2.00 ef 2.44 ghi 4.60 def 4.90 e 5.20 i Atnola 10 2.60 de 3.60 def 4.20 def 5.60 e 6.40 h Atnola 11 2.54 de 2.90 efghi 3.10 fg 3.10 f 3.10 jk Atnola 12 1.80 efg 2.20 hij 5.18 de 8.20 d 9.80 f Atnola 13 0.54 i 0.14 l 0.54 h 0.54 ghi 0.54 no Atnola 14 0.50 i 0.50 l 0.54 h 0.50 ghi 0.50 no Atnola 15 0.10 i 0.20 l 0.20 h 0.20 hi 0.20 no Atnola 16 1.00 ghi 1.50 jk 1.50 gh 2.30 fg 2.40 kl Atnola 17 0.42 i 0.50 l 0.54 h 0.54 ghi 0.54 no Atnola 18 0.10 i 0.10 l 0.10 h 0.10 i 0.10 o Atnola 19 0.30 i 0.60 kl 0.92 h 1.00 ghi 1.00 mno Atnola 20 0.46 i 0.48 kl 0.66 h 0.66 ghi 0.70 no Atnola 21 0.78 hi 0.84 kl 1.06 h 1.86 fghi 1.86 lm Atnola 22 2.26 ef 2.76 fghi 4.82 def 8.20 d 9.60 f Atnola 23 0.80 hi 0.92 kl 1.00 h 1.00 ghi 1.00 mno Atnola 24 1.86 ef 3.34 defg 5.10 de 6.60 de 7.60 g Atnola 25 0.30 i 0.50 l 0.80 h 1.30 ghi 1.30 mno Atnola 26 1.54 fgh 2.04 ij 3.60 ef 6.40 e 7.20 gh Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada DMRT taraf 5. HST = Hari Setelah Tanam Jumlah Daun Jumlah daun pada planlet kentang dapat juga digunakan untuk menentukan jumlah buku yang ada pada planlet tersebut. Berdasarkan analisis sidik ragam klon-klon hasil silangan Atlantik dan Granola menghasilkan jumlah daun yang berbeda nyata. Jumlah daun atau buku dapat menggambarkan kecepatan dalam multiplikasi tanaman kentang secara in vitro. Hal ini dikarenakan pada perbanyakan kentang secara in vitro digunakan stek buku. Semakin banyak jumlah daun atau buku yang dihasilkan, maka semakin cepat laju multiplikasi in vitro nya. Tabel 3. Jumlah daun klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola yang ditumbuhkan secara in vitro pada media MS0 Klon 7 HST 14 HST 21 HST 28 HST 35 HST Atlantik 6.0 cd 7.2 cd 9.4 bc 12.2 cd 12.4 de Granola 6.0 cd 7.0 cde 10.2 bc 13.6 bc 14.4 bc Atnola 1 7.0 b 8.0 bc 10.4 b 13.2 c 14.4 bc Atnola 2 2.6 jk 3.8 hi 4.8 f 6.4 jk 8.2 ij Atnola 3 4.8 fgh 5.0 gh 6.8 e 7.8 hi 7.8 j Atnola 4 6.8 bc 10.0 a 13.0 a 14.6 b 15.2 bc Atnola 5 4.3 hi 5.8 efg 9.2 bc 13.4 bc 14.4 bc Atnola 8 5.6 def 6.6 def 8.8 cd 10.0 fg 12.0 ef Atnola 9 5.4 defg 7.0 cde 9.0 bc 10.0 fg 15.0 bc Atnola 10 4.8 fgh 7.6 cd 9.6 bc 10.6 ef 10.8 fg Atnola 11 4.6 gh 5.0 gh 5.4 f 4.6 k 5.6 k Atnola 12 5.8 de 6.8 cde 12.4 a 16.6 a 18.8 a Atnola 13 3.0 j 3.0 ij 3.0 g 3.0 g 3.0 l Atnola 14 2.0 k 2.0 jk 2.0 gh 2.0 lm 2.0 lm Atnola 15 1.0 l 1.0 k 1.0 h 1.0 m 1.0 m Atnola 16 8.4 a 9.0 ab 10.2 bc 10.8 ef 11.8 ef Atnola 17 2.6 jk 2.6 j 2.6 g 3.0 l 3.0 l Atnola 18 1.0 l 1.0 k 1.0 k 1.0 m 1.0 m Atnola 19 5.0 efgh 5.4 fg 5.4 f 7.0 ij 9.4 hi Atnola 20 4.8 fgh 4.8 gh 5.4 f 5.8 jk 6.4 k Atnola 21 3.8 i 4.6 gh 4.8 f 9.6 fg 10.0 gh Atnola 22 5.4 defg 5.4 fg 7.6 de 9.0 gh 12.4 de Atnola 23 5.8 de 6.4 def 6.8 c 8.8 gh 10.2 gh Atnola 24 6.2 cd 6.4 def 7.6 de 9.0 gh 10.2 gh Atnola 25 5.0 efgh 5.0 gh 9.6 bc 11.6 de 13.6 cd Atnola 26 5.8 de 7.0 cde 10.2 bc 12.6 cd 14.4 bc Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada DMRT taraf 5. HST = Hari Setelah Tanam Dari penelitian ini dihasilkan klon-klon dengan jumlah daun atau buku lebih banyak dibandingkan kultivar Atlantik maupun Granola. Pada 35 HST terlihat bahwa Atnola 12 dan Atnola 4 memiliki jumlah daun yang lebih banyak dibandingkan kultivar Atlantik dan Granola, sedangkan klon Atnola 1, Atnola 5, Atnola 9, dan Atnola 26 memiliki jumlah daun yang tidak berbeda nyata dengan kultivar Atlantik dan lebih banyak dari kultivar Granola Tabel 3. Jumlah Akar Klon-klon kentang hasil persilangan dalam penelitian ini memiliki jumlah akar yang berbeda nyata berdasarkan analisis sidik ragam. Pada akhir pengamatan yaitu pada 35 HST terdapat klon dengan jumlah akar yang tidak berbeda nyata dengan jumlah akar kultivar Atlantik yaitu Atnola 5, sedangkan Atnola 4, Atnola 8, Atnola 9, Atnola 24, Atnola 25, dan Atnola 26 memiliki akar yang lebih banyak dibandingkan kultivar Granola Tabel 4. Pada aklimatisasi tanaman kentang dari planlet diharapkan klon dengan akar yang lebih banyak akan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Perbanyakan kentang di screen house pada umumnya dengan cara stek sehingga kemampuan tanaman untuk membentuk akar merupakan salah satu syarat utama agar tanaman memiliki vigor yang baik. Analisis korelasi yang dilakukan terhadap ketiga peubah yang diamati menunjukkan adanya korelasi positif yang sangat nyata Tabel 5. Dari hasil analisis tersebut jika suatu peubah memiliki nilai yang tinggi maka akan diikuti dengan nilai peubah lain yang juga tinggi. Hasil ini memberikan kemudahan dalam menyeleksi klon-klon yang dianggap memiliki vigor yang baik berdasarkan ketiga peubah yang diamati. Berdasarkan hasil pengujian vigor secara in vitro diseleksi sebanyak 12 klon 50 yang dianggap memiliki pertumbuhan yang baik, yaitu Atnola 1, Atnola 2, Atnola 3, Atnola 4, Atnola 5, Atnola 8, Atnola 9, Atnola 10, Atnola 12, Atnola 22, Atnola 24 dan Atnola 26. Klon-klon yang terseleksi tersebut selanjutnya digunakan sebagai bahan yang digunakan pada pengujian produksi umbi mikro dan pengujian ketahanan terhadap R. solanacearum dan E. carotovora pv. carotovora. Tabel 4. Jumlah akar klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola yang ditumbuhkan secara in vitro pada media MS0 Klon 7 HST 14 HST 21 HST 28 HST 35 HST Atlantik 5.0 a 5.6 a 6.4 a 6.8 a 6.8 b Granola 3.0 de 3.0 cde 3.0 d 3.0 d 3.0 de Atnola 1 1.8 fg 2.2 f 2.2 e 2.2 e 2.2 fg Atnola 2 1.0 g 1.0 g 1.0 f 1.0 f 1.0 k Atnola 3 1.0 g 1.0 g 1.0 f 1.0 f 1.0 k Atnola 4 1.8 fg 2.6 ef 3.8 c 4.6 c 4.6 c Atnola 5 4.0 b 4.8 b 6.0 a 7.2 a 7.6 a Atnola 8 3.0 de 3.4 cde 4.2 bc 4.6 c 4.6 c Atnola 9 4.8 a 5.4 ab 6.2 a 6.2 b 6.6 b Atnola 10 2.0 f 2.0 f 2.0 e 2.0 e 2.0 fg Atnola 11 3.0 de 3.0 cde 3.0 d 3.0 d 3.0 de Atnola 12 2.8 e 2.8 def 3.0 d 3.0 d 3.0 de Atnola 13 0.2 h 0.2 h 0.2 g 0.2 g 0.2 i Atnola 14 0.0 h 0.0 h 0.0 g 0.0 g 0.0 i Atnola 15 0.0 h 0.0 h 0.0 g 0.0 g 0.0 i Atnola 16 1.0 g 1.0 g 1.0 f 1.0 f 1.0 k Atnola 17 1.0 g 1.0 g 1.0 f 1.0 f 1.0 k Atnola 18 0.0 h 0.0 h 0.0 g 0.0 g 0.0 i Atnola 19 2.0 f 2.0 f 2.0 e 2.0 e 2.4 ef Atnola 20 0.0 h 0.0 h 0.0 g 0.0 g 0.0 i Atnola 21 1.0 g 1.2 g 1.2 f 1.2 f 1.6 gh Atnola 22 2.0 f 2.0 f 2.0 e 2.0 e 2.0 fg Atnola 23 2.0 f 2.0 f 2.0 e 2.0 e 2.0 fg Atnola 24 3.2 cde 3.2 cde 3.6 cd 3.6 d 3.6 d Atnola 25 3.8 bc 3.8 c 4.6 b 4.6 c 4.6 c Atnola 26 3.6 bcd 3.6 cd 3.6 cd 3.6 d 3.6 d Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada DMRT taraf 5. HST = Hari Setelah Tanam Tabel 5. Hasil analisis korelasi antara tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah akar pada klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan pengujian vigor in vitro Tinggi tanaman Jumlah daun Jumlah akar Tinggi tanaman - 0.67424 0.56122 Jumlah daun - 0.73398 Jumlah akar - Keterangan: = korelasi sangat nyata Uji In Vitro Produksi Umbi Beberapa peubah yang diamati dalam pengujian produksi umbi secara in vitro adalah inisasi umbi, keserempakan pengumbian, jumlah umbi per tanaman, bobot umbi, bobot kering umbi, dan ukuran umbi berupa panjang dan diameter. Kecepatan inisasi umbi dan keserempakan adalah peubah yang akan digunakan dalam menentukan umur suatu kultivar kentang. Jumlah umbi, bobot umbi, bobot kering umbi, dan diameter digunakan dalam menduga potensi hasil dan kualitas umbi. Menurut Gopal dan Minocha 1998 hasil pengujian in vitro terhadap beberapa karakter agronomi kentang memiliki korelasi yang sangat nyata diantaranya jumlah umbi, bobot umbi, dan jumlah mata. Berdasarkan uji statistik terhadap peubah yang diamati pada pengujian produksi umbi in vitro, keseluruhan peubah yang diamati berbeda nyata Tabel Lampiran 5 - 11. Analisis data dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test DMRT pada taraf 0.05. Waktu Inisiasi Umbi dan Keserempakan Inisiasi umbi diamati berdasarkan waktu yang diperlukan klon untuk membentuk umbi pertama kali. Inisasi umbi bervariasi berkisar dari 19,7 hari hingga 58,1 hari tergantung dari klon Gambar 3. Pada percobaan ini seluruh klon yang diujikan dapat menghasilkan umbi atau dapat diartikan bahwa komposisi media yang digunakan mampu merangsang pengumbian 14 klon dengan baik. Tabel 6. Waktu inisiasi umbi dan selisih waktu antara waktu pembentukan umbi mikro mencapai 100 dengan waktu inisiasi umbi klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola Klon Inisiasi umbi Selisih waktu antara waktu pembentukan umbi mikro mencapai 100 dengan waktu inisiasi umbi .........................................hari ......................................... Atlantik tetua 35.1 c 3.6 i Granola tetua 20.0 hi 10.0 f Atnola 1 19.7 i 10.5 f Atnola 2 27.8 f 2.6 j Atnola 3 29.9 e 30.2 a Atnola 4 30.1 e 15.5 e Atnola 5 58.1 a 2.3 j Atnola 8 45.0 b 5.0 h Atnola 9 33.1 d 27.3 b Atnola 10 24.2 g 6.4 g Atnola 12 20.4 h 10.5 f Atnola 22 20.1 hi 16.9 d Atnola 24 19.8 hi 26.3 c Atnola 26 19.9 hi 5.2 h Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada DMRT taraf 5. Pengumbian secara in vitro selain dipengaruhi oleh media juga dipengaruhi oleh periode cahaya dan suhu. Pada percobaan ini digunakan suhu 17 o C dan pengumbian dilakukan pada kondisi tanpa cahaya sehingga perbedaan yang muncul diharapkan disebabkan oleh faktor genotipe klon. Analisis sidik ragam inisiasi umbi menunjukkan perbedaan yang sangat nyata sehingga analisis data dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan pada taraf 0.05 Tabel 6. 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 At n o la 1 At n o la 2 4 At n o la 2 6 Gr an ol a At n o la 2 2 At n o la 1 2 At n o la 1 At n o la 2 At n o la 3 At n o la 4 At n o la 9 At la n ti k At n o la 8 At n o la 5 klon ha ri Gambar 3. Waktu inisiasi umbi klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola Dari hasil percobaan ini diketahui bahwa kultivar Granola memiliki waktu inisiasi umbi yang lebih singkat dibandingkan dengan kultivar Atlantik. Hal ini sesuai dengan informasi sebelumnya bahwa kultivar Granola memiliki umur yang genjah dan kultivar Atlantik berumur sedang atau agak genjah Jonston, 1991. Dengan demikian klon-klon yang memiliki waktu inisiasi lebih pendek dari kultivar Granola yaitu Atnola 1 dan Atnola 24 diharapkan memiliki umur panen yang lebih pendek. Demikian juga dengan beberapa klon yang tidak berbeda nyata dengan Granola yaitu Atnola 22, Atnola 24 dan Atnola 26 diharapkan termasuk klon yang memiliki umur genjah atau sama dengan Granola. Sebaliknya klon-klon yang memiliki waktu inisiasi yang lebih lama dibandingkan kultivar Atlantik yaitu Atnola 8 dan Atnola 5 diduga akan memiliki umur panen yang lebih dalam Gambar 3. Pernyataan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Alsadon et al. 1988 dan Alsadon 1989 yang menyatakan bahwa terdapat kaitan yang erat antara produksi umbi mikro in vitro dengan produksi umbi di lapangan. Keserempakan merupakan selisih waktu antara saat terjadi pengumbian 100 dengan inisiasi umbi. Semakin kecil nilai selisih tersebut pada penelitian ini maka dapat dianggap klon tersebut memiliki tingkat keserempakan yang tinggi. Keserempakan yang baik diperlukan dalam budidaya kentang karena umbi dapat dipanen pada saat tingkat pengisian dan kualitas umbi yang seragam. Dari hasil percobaan didapatkan selisih pembentukan umbi mikro mencapai 100 dengan inisiasi umbi berkisar antara 2.3 hari hingga 30.2 hari. Selisih terpendek pada klon Atnola 5 sedangkan selisih terpanjang pada klon Atnola 3 Gambar 4. Kultivar Atlantik dan kultivar Granola dikenal sebagai kultivar komersial yang memiliki umbi yang seragam dan serempak. Data dari hasil pengujian ini menunjukkan hal yang sama yaitu selisih waktu pembentukan umbi mikro saat mencapai 100 dengan saat inisiasi umbi relatif lebih singkat sehingga dapat dikatakan memiliki tingkat keserempakan yang tinggi. Klon Atnola 5 dan Atnola 2 diharapkan menjadi klon dengan tingkat keserempakan yang tinggi mengingat dari hasil pengujian kedua klon tersebut tampak lebih serempak dibandingkan kultivar Atlantik dan Granola. 0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0 35,0 At n o la 5 At n o la 2 A tla n tik At n o la 8 A tnol a 26 A tnol a 10 Gr a nol a At n o la 1 A tnol a 12 At n o la 4 A tnol a 22 A tnol a 24 At n o la 9 At n o la 3 klon ha ri Gambar 4. Selisih waktu antara waktu pembentukan umbi mikro mencapai 100 dengan waktu inisiasi umbi pada klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola Jumlah Umbi Klon-klon yang diujikan pada percobaan ini menghasilkan jumlah umbi yang setelah melalui pengujian statistik berbeda nyata. Rata-rata jumlah umbi yang dihasilkan setiap tanaman bervariasi dari 1 hingga 2.5 umbi. Jumlah umbi terbanyak didapatkan dari klon Atnola 26 sebanyak 2.5 umbi dan jumlah umbi paling sedikit dimiliki klon Atnola 5 dan Atnola 24. Hasil rata-rata jumlah umbi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah umbi per tanaman dari klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan pengujian in vitro Klon Jumlah umbitanaman Atlantik tetua 1.13 e Granola tetua 1.27 de Atnola 1 2.50 a Atnola 2 1.30 de Atnola 3 2.20 ab Atnola 4 1.27 de Atnola 5 1.00 e Atnola 8 1.13 e Atnola 9 1.80 bc Atnola 10 1.67 cd Atnola 12 2.30 a Atnola 22 1.73 bcd Atnola 24 1.00 e Atnola 26 2.53 a Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada DMRT taraf 5. Dari hasil pengujian, terdapat klon-klon hasil persilangan yang menghasilkan umbi pertanaman lebih banyak dari yang dihasilkan oleh kultivar Atlantik dan Granola yaitu klon Atnola 1, Atnola 2, Atnola 3, Atnola 9, Atnola 10, Atnola 16, Atnola 22 dan Atnola 26. Klon-klon tersebut dapat diduga memiliki jumlah umbi yang lebih tinggi daripada jumlah umbi yang dihasilkan kultivar Atlantik maupun Granola. Hal ini didasarkan pada penelitian Alsadon et al. 1988 dan Lentini 1988 yang menyatakan bahwa produktivitas umbi dapat dicerminkan dari hasil umbi mikro secara in vitro. Pendapat ini disempurnakan oleh Naik et al. 1998 yang menyatakan bahwa jumlah umbi mikro merupakan faktor yang lebih penting dibandingkan bobot umbi dalam menentukan produksi di lapangan dan lebih merekomendasikan jumlah umbi mikro dibandingkan bobot umbi untuk menduga tingkat produksi klon. Dengan demikian klon Atnola 1, Atnola 2, Atnola 3, Atnola 9, Atnola 10, Atnola 16, Atnola 22, dan Atnola 26 merupakan calon kultivar yang memiliki tingkat produksi yang baik. Gambar 5. Penampilan klon Atnola 12 A dan klon Atnola 24 B umur 10 minggu pada media pengumbian MS + Alar 10 mgL + BAP 5 mgL + air kelapa 150 mlL + sukrosa 90 gL Bobot Umbi, Produksi Umbi per Tanaman dan Bobot Kering Umbi Bobot umbi, produksi umbi per tanaman dan bobot kering umbi setiap klon yang dihasilkan dari pengujian ini disampaikan pada Tabel 8. Bobot umbi rata-rata berkisar dari 0.040 gram hingga 0.403 gram. Dari pengujian ini didapatkan bobot umbi rata-rata kultivar Atlantik sebesar 0.323 gram dan kultivar Granola 0.183 gram. Klon Atnola 5 dan Atnola 12 menghasilkan bobot rata-rata umbi yang lebih tinggi dibandingkan kultivar Atlantik. Klon Atnola 5, Atnola 12, Atnola 1, Atnola 9 menghasilkan bobot rata-rata umbi yang lebih tinggi dibandingkan kultivar Granola. Klon Atnola 24 menghasilkan bobot rata-rata umbi yang tidak berbeda nyata secara statistik dengan kultivar Granola. Bobot umbitanaman dihasilkan dari nilai bobot umbi rata-rata dikalikan dengan jumlah rata-rata umbi pertanaman. Dari hasil pengujian ini didapatkan bobot umbitanaman Atlantik lebih tinggi dibandingkan Granola. Hasil tersebut tampaknya kurang sesuai dengan hasil pengujian produksi di lapangan yang dilakukan pada tiga daerah yaitu Pengalengan, Batur dan Tosari Tabel 9. Namun menurut data dari European Cultivated Potato Database 2006, tingkat produksi kultivar Granola adalah menengah hingga tinggi dan tingkat produksi Atlantik adalah tinggi hingga sangat tinggi. Lebih tingginya tingkat produksi Granola di Indonesia seperti ditunjukkan pada Tabel 9, diduga kuat terkait dengan tingkat serangan organisme pengganggu tanaman yang lebih banyak menyerang kultivar Atlantik dibandingkan dengan kultivar Granola. Sebagai contoh tingkat serangan virus MV yang menyerang kentang di Pengalengan Basuki et al., 2002 lebih tinggi pada kultivar Atlantik yaitu sebesar 10 pada kultivar Atlantik dan hanya sebesar 1.16 pada kultivar Granola. Pada pengujian in vitro yang dilakukan, serangan organisme pengganggu dapat dianggap nol sehingga hasil yang didapatkan merupakan penampilan klon tanpa gangguan dari organisme pengganggu. Pengujian in vitro yang dilakukan diharapkan sesuai dengan laporan dari European Cultivated Potato Database 2006. Pengujian pengumbian in vitro menurut Gopal dan Minocha 1998 memiliki korelasi yang nyata dengan produksi umbi di lapangan, sehingga diharapkan klon yang memiliki produksi yang tinggi dalam pengujian ini bobot umbitanaman yang tinggi memiliki produksi yang baik di lapangan. Tabel 8. Bobot umbi dan bobot kering klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan pengujian in vitro Klon Bobotumbi Bobot umbitanaman Persentase bobot kering …………..gram…………. ……….................. Atlantik tetua 0.32 c 0.365 19.67 b Granola tetua 0.18 e 0.232 12.33 k Atnola 1 0.21 d 0.533 13.62 fg Atnola 2 0.06 hi 0.082 20.17 a Atnola 3 0.08 g 0.185 13.78 f Atnola 4 0.07 gh 0.093 11.75 l Atnola 5 0.43 a 0.430 13.37 h Atnola 8 0.08 g 0.095 12.80 j Atnola 9 0.22 d 0.391 13.71 f Atnola 10 0.06 i 0.100 18.18 d Atnola 12 0.40 b 0.927 18.93 c Atnola 22 0.04 i 0.069 13.11 i Atnola 24 0.18 e 0.176 13.48 gh Atnola 26 0.12 f 0.304 14.18 e Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada DMRT taraf 5. Berdasarkan asumsi tersebut, klon Atnola 12, Atnola 1, Atnola 5 dan Atnola 9 dapat dikategorikan sebagai klon-klon yang berdaya hasil tinggi atau sangat tinggi karena berdasarkan pengujian pengumbian in vitro produksi umbi klon-klon tersebut lebih tinggi dari produksi umbi klon Atlantik. Klon Atnola 26 dapat dikategorikan sebagai klon yang berdaya hasil tinggi karena produksinya lebih tinggi dibandingkan Granola. Tabel 9. Hasil produksi kentang cv. Atlantik dan cv. Granola oleh petani di Pengalengan Jawa Barat, Batur dan Tosari Jawa Timur Basuki et al., 2002. Hasil panen Lokasi Pengujian cv. Atlantik cv. Granola ……………………….. tonha ……………………. Pengalengan 28.5 34.2 Batur 9.1 17.2 Tosari 13.4 18.1 Bobot kering umbi berkaitan erat dengan pemanfaatan umbi kentang. Umbi kentang dengan kandungan bobot kering yang tinggi atau kadar air yang rendah lebih disukai sebagai bahan baku industri. Kultivar Atlantik memiliki kandungan bahan kering yang tinggi, sedangkan kultivar Granola memiliki kadar air yang tinggi dan kandungan bahan kering yang rendah sehingga tidak cocok untuk kentang olahan Jossten, 1991. Berdasarkan hasil pengujian kandungan bahan kering umbi mini, umbi kultivar Granola memiliki bobot kering yang lebih rendah dari kultivar Atlantik Tabel 8. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Jonssten 1991 di atas. Klon- klon hasil persilangan kultivar Atlantik dan kultivar Granola memiliki bobot kering yang berbeda-beda. Perbedaan bobot kering umbi mini ini menurut Kawakami et al.2003 berkorelasi nyata dengan hasil bobot kering umbi yang ditanam secara konvensional di lapangan. Dengan demikian pengembangan dan pemanfaatan setiap klon akan berbeda. Berdasarkan hasil pengujian, terdapat satu klon yang memiliki bobot kering lebih tinggi dari kultivar Atlantik yaitu Atnola 2. Klon ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai kultivar yang baik untuk dikembangkan sebagai bahan baku industri pengolahan kentang. Klon Atnola 4 memiliki bobot kering yang lebih rendah dibandingkan kultivar Granola, sehingga klon Atnola 4 kurang cocok untuk industri atau akan lebih baik digunakan sebagai kentang untuk campuran sayuran. Diameter dan Panjang Umbi Diameter umbi mikro yang didapatkan dari hasil pengujian bervariasi tergantung klon seperti terlihat pada Gambar 6 dan Tabel 10. Berdasarkan analisis sidik ragam Tabel Lampiran 10 - 11 diameter dan panjang umbi mikro berbeda nyata menurut klon. Panjang umbi mikro berkisar dari 0.67 – 1.15 cm, sementara diameter umbi berkisar dari 0.31 – 1.15 cm. Semakin panjang umbi mikro maka akan semakin besar diameter umbinya. Pernyataan ini didasarkan pada hasil analisis korelasi antara panjang dan diameter umbi mikro klon-klon hasil persilangan cv. Atlantik dan Granola Tabel Lampiran 15. Diameter dan panjang umbi juga berkorelasi nyata positif dengan bobot umbi namun tidak berkorelasi nyata dengan bobot kering. Saat ini masih belum ditemukan hasil penelitian mengenai korelasi antara panjang dan diameter umbi mikro dengan panjang dan diameter umbi jika ditanam dilapangan. Namun berdasarkan hasil penelitian ini panjang dan diameter dapat digunakan untuk menduga bobot umbi dengan berdasar kepada hasil analisis korelasi yang dilakukan Tabel Lampiran 15. Bobot umbi mikro memiliki korelasi yang nyata dengan bobot umbi di lapangan Gopal dan Minocha, 1998. Gambar 6. Keragaman penampilan umbi mikro kentang cv. Atlantik, cv. Granola dan klon-klon hasil silangan cv. Atlantik dan cv. Granola Tabel 10. Diameter dan panjang umbi mikro klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan hasil pengujian in vitro Klon Diameter Panjang ..................................cm .................................. Atlantik tetua 0,68 de 0,98 b Granola tetua 0,65 de 0,72 cde Atnola 1 0,90 b 0,98 b Atnola 2 0,58 ef 0,60 ef Atnola 3 0,64 de 0,72 cde Atnola 4 0,50 fg 0,61 ef Atnola 5 0,91 b 1,00 b Atnola 8 0,40 gh 0,56 f Atnola 9 0,74 cd 0,78 cd Atnola 10 0,39 k 0,77 cd Atnola 12 1,15 a 1,15 a Atnola 22 0,31 k 0,67 def Atnola 24 0,74 cd 0,83 e Atnola 26 0,84 bc 1,00 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada DMRT taraf 5. Uji In Vitro Ketahanan terhadap Penyakit Bakteri Periode Inkubasi Hasil pengamatan terhadap periode inkubasi atau saat timbulnya gejala layu bakteri dan busuk lunak setelah inokulasi secara in vitro disajikan pada Tabel 11. Hasil analisis sidik ragam periode inkubasi pada pengujian ini dapat dilihat pada Tabel Lampiran 12 dan 13. Berdasarkan analisis sidik ragam tersebut periode inkubasi antar klon berbeda nyata. Di lapangan, periode inkubasi sangat ditentukan oleh faktor lingkungan seperti cahaya, air, dan suhu Niks dan Lindhout, 2006. Dalam pengujian ketahanan penyakti bakteri secara in vitro seluruh faktor tersebut relatif seragam, sehingga perbedaan periode inkubasi yang terjadi disebabkan oleh perbedaan genotipe dan setiap klon kentang yang diuji. Gejala layu bakteri dan busuk lunak dalam pengujian in vitro ini berbeda Gambar 7. Gejala layu bakteri diawali dengan menguningnya daun, diikuti dengan kelayuan tanaman dan rebahnya tanaman. Secara umum gejala layu bakteri yang ditemui tersebut sama dengan gejala di lapangan. Gejala penyakit layu bakteri adalah kelayuan, tanaman kerdil, serta daun yang menguning Kelman, 1953; Martin dan French, 1996. Gejala busuk lunak dalam pengujian in vitro diawali dengan adanya bagian tanaman yang membusuk berwarna hitam, kemudian diikuti dengan berubahnya warna tanaman menjadi pucat atau pudar dan berikutnya tanaman menjadi lemah. Menurut CIP dan Balitsa 1999 jaringan yang terinfeksi E. carotovora pv. carotovora menjadi basah, berwarna krem kehitam-hitaman dan lunak, sehingga mudah dibedakan dengan jaringan yang sehat. Periode inkubasi klon-klon hasil persilangan kultivar Atlantik dan Granola berkisar antara 4,5 hingga 8,06 hari untuk R. solanacearum, dan 4,5 hingga 10,6 hari untuk E. carotovora pv. carotovora. Dibandingkan dengan klon rentan BF15 dan klon tahan Solanum stenotonum ada beberapa klon hasil persilangan kultivar Atlantik dan Granola yang periode inkubasinya lebih cepat dari pembanding rentan, dan ada satu klon yang periode inkubasinya lebih lama dari pembanding tahan. Dengan menggunakan tetua yang secara alami tidak memiliki sifat ketahanan yang tinggi agak sulit diperoleh turunan yang memiliki sifat ketahanan yang tinggi. Tabel 11. Periode inkubasi in vitro penyakit layu bakteri pada 12 klon kentang hasil persilangan konvensional antara cv. Atlantik dan cv. Granola Klon Periode inkubasi ralstonia Periode inkubasi erwinia …….……….…hari……………….. Atlantik tetua 4,20 5,33 Granola tetua 6,80 8,60 Atnola 1 5,60 4,67 Atnola 2 5,80 7,73 Atnola 3 7,67 8,73 Atnola 4 5,07 4,67 Atnola 5 7,27 10,60 Atnola 8 5,47 8,47 Atnola 9 4,40 4,87 Atnola 10 8,06 7,47 Atnola 12 4,13 5,60 Atnola 22 4,33 6,27 Atnola 24 4,40 4,53 Atnola 26 4,40 5,00 BF15 pembanding rentan 4,50 5,00 S. stenotonum pembanding tahan 8,50 10,16 Dari hasil pengujian ini didapatkan klon-klon dengan periode inkubasi yang mendekati pembanding tahan terhadap R. solanacearum yaitu Atnola 10, Atnola 3 dan Atnola 5, sedangkan untuk ketahanan terhadap E. carotovora pv. carotovora , didapatkan hasil bahwa klon Atnola 5 memiliki periode inkubasi yang lebih lama dibandingkan pembanding tahan dan kedua tetua. Atnola 3 memiliki periode inkubasi yang mendekati pembanding tahan dan lebih lama dibandingkan dengan periode inkubasi kultivar Granola. Klon Atnola 26, Atnola 9, Atnola 24, Atnola 22 dan Atnola 12 memiliki periode inkubasi R. solanacearum yang lebih cepat dibandingkan dengan pembanding rentan, sementara klon Atnola 26, Atnola 9, Atnola 1, Atnola 4, dan Atnola 24 memiliki periode inkubasi E. carotovora pv. carotovora yang lebih cepat dibandingkan dengan pembanding rentan dan tetua. Gambar 7. Tanaman kentang yang terinfeksi bakteri patogen pada pengujian secara in vitro: A Ralstonia solanacearum, B Erwinia carotovora pv. carotovora Kejadian Penyakit Kejadian penyakit layu bakteri dan busuk lunak dari klon-klon hasil persilangan kultivar Atlantik dan Granola disampaikan pada Tabel 12. Kejadian penyakit layu bakteri pada klon-klon hasil persilangan berkisar antara 63,63 hingga 100 dan kejadian penyakit busuk lunak berkisar antara 17,05 hingga 100. Pembanding rentan BF15 memiliki tingkat kejadian penyakit sebesar 100 untuk penyakit layu bakteri dan busuk lunak, sedangkan pembanding tahan S. stenononum memiliki kejadian penyakit sebesar 19,65 untuk layu bakteri, dan 23,00 untuk busuk lunak. Secara umum tingkat kejadian penyakit busuk lunak lebih kecil dibandingkan layu bakteri. Hal ini dapat disebabkan karena tetua yang digunakan yaitu kultivar Granola berdasarkan pengujian in vitro tergolong dalam kategori agak tahan sehingga peluang untuk mendapatkan turunan yang agak tahan lebih besar. Berdasarkan pengamatan, tidak terdapat klon-klon hasil persilangan dengan tingkat ketahanan yang lebih baik dari pembanding tahan untuk penyakit layu bakteri maupun untuk busuk lunak. Terdapat klon-klon yang memiliki tingkat ketahanan yang lebih baik dibandingkan Granola untuk layu bakteri yaitu klon Atnola 3 namun tidak ada klon yang memiliki tingkat ketahanan yang lebih baik untuk busuk lunak. Terdapat klon-klon yang memiliki kisaran tingkat ketahanan diantara Granola dan Atlantik. Tabel 12. Kejadian penyakit dan tingkat ketahanan klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola terhadap penyakit layu bakteri

R. solanacearum dan busuk lunak E. carotovora pv. carotovora