Suara Muhammadiyah Edisi 16

KOLOM

SENI TRADISI DAN DAKWAH
KULTURAL MUHAMMADIYAH
KI SUGENG SUBAGYA

A

da catatan tersisa dari Muktamar 1 abad Muhammadiyah di Yogyakarta. Dakwah kultural sukses menyelinap di dalamnya.
Pentas ketoprak dan seni tradisi di Concert Hall Taman
Budaya Yogyakarta sudah biasa terjadi. Tetapi malam itu
(6-7-10) terasa istimewa. Bukan hanya karena Din Syamsudin
dan banyak tokoh lain tampil “ngetoprak”. Nuansa dakwah
yang dikemas dalam pentas seni tradisi seperti mengingatkan
bahwa Muhammadiyah memiliki banyak cara menyampaikan
dakwah. Seni tradisi dapat menjadi sarana menyampaikan
ajaran Islam secara damai, tidak menjemukan, dan sekaligus
menghibur.
Pada dimensi yang lain, melalui pentas seni tradisi, secara
kultural menyumbangkan akulturisasi budaya dan sekaligus
meneguhkah hakikat Islam sebagai agama yang rahmatan

lil’alamin. Islam adalah agama penebar damai dan keselamatan, rahmat bagi alam semesta.
Adalah pilihan cerdas bagi para seniman dan budayawan
Muhammadiyah menggagas pentas ketoprak dengan lakon
“Pletheking Surya Ndadari” malam itu. Pada saat ada sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam melakukan tindak kekerasan dalam berdakwah, Muhammadiyah memberikan suri tauladan dakwah dengan cara damai.
Ketika wajah Islam sebagai agama rahmat sedang babakbelur akibat ulah segelintir kelompok orang yang melakukan
aksi-aksi kekerasan dan terorisme atas nama jihad Islam,
Muhammadiyah tampil dengan dakwah damai melalui media
seni tradisi. Ketika makna suci jihad tercemari dengan terorisme, Muhammadiyah mengangkat kembali jihad kultural
sebagai tuntunan.
Dakwah kultural di Indonesia sesungguhnya bukan hal
yang baru. Pada awal perkembangan Islam di tanah Jawa,
dakwah kultural dilakukan para wali. Ternyata berhasil. Tidak
hanya penyebaran ajaran agama Islam, tetapi juga meneguhkan Islam sebagai agama yang tidak mentolerir kekerasan. Dari sinilah akulturasi kebudayaan terjadi.
Sejarah mencatat, perkembangan Islam di Jawa menjadi
sangat pesat oleh karena dipicu perkawinan, pendidikan,
dakwah dan kesenian.
Masjid Demak terkenal dengan bangunan masjid dengan
satu tiangnya terbuat dari pecahan-pecahan kayu yang disebut dengan Saka Tatal. Di serambi depan Masjid Demak
inilah Sunan Kalijaga meletakkan dasar-dasar perayaan Sekaten dalam rangka peringatan Maulud Nabi. Hingga kini
upacara perayaan sekaten masih berlangsung setiap bulan

Mulud (Jawa) di Kraton Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon.

Esensi upacara sekaten sesungguhnya adalah dakwah
kultural. Hal ini dapat dirujuk dari sejarah sekaten itu sendiri.
Pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah selaku
Adipati Kabupaten Demak Bintara dengan dukungan para
wali membangun Masjid Demak. Selanjutnya berdasar hasil
musyawarah para wali, digelarlah kegiatan syiar Islam secara
terus-menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi
Muhammad, saw. Agar kegiatan tersebut menarik perhatian
rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan buah karya
Sunan Giri membawakan gending-gending ciptaan para wali,
terutama Sunan Kalijaga.
Menyandingkan sejarah sekaten dengan pentas ketoprak “Pletheking Surya Ndadari” dari sisi monumentalnya
tentu tidak sebanding. Tetapi dari cara pandang hakekat,
keduanya tidak berbeda. Pindha suruh lemah kurepe, yen
ginigit padha rasane. Meski daun sirih permukaan depan
dan belakangnya beda rupa, tetapi jika digigit rasanya sama.
Ialah Pencerahan.
Pencerahan yang diadaptasi dalam dakwah melalui pentas ketoprak. Ajaran kebaikan harus disampaikan dengan cara yang baik. Dialog santai dengan canda tawa bukan berarti

nihil dari muatan ajaran moral agama. Dari cara yang demikianlah sebuah ide dan konsep kebaikan dapat diajarkan.
Dialog-dialog yang muncul dalam pentas malam itu, sesungguhnya memiliki pesan moral yang tinggi tetapi sekaligus autocritic terhadap umat Islam sendiri. Umat Islam
saat ini masih belum sepenuhnya mampu menunjukkan perilaku dan akhlak Islami. Masjid banyak, tapi yang shalat
berjamaah sedikit. Umat Islam juga memiliki kelemahan di
berbagai lini kehidupan. Kemiskinan dan kebodohan telah
menjadikan umat yang lemah. Demikian pula dengan
akhlakul karimah yang masih jauh panggang daripada api.
Cara-cara dakwah kultural dengan berbagai media ternyata tidak sepi peminat. Televisi misalnya. Mengemas siraman rohani dalam bentuk dialog interaktif yang sedikit
teatrikal, ternyata digemari pemirsa. Di samping jutaan pasang mata mengikuti melalui layar kaca, tidak sedikit kelompok-kelompok yang mengajukan untuk hadir di studio “live
show”. Saking banyaknya peminat, ada yang rela mengantri
sangat lama. Sejak permohonan diajukan, baru 2 tahun kemudian mendapat giliran.
Ketika dakwah konvensional selalu disampaikan dengan
cara serius cenderung membosankan, seni tradisi dapat dijadikan alternatif sebagai dakwah kultural yang menyegarkan.
Dan, Muhammadiyah telah memulainya kembali.l
Penulis Pamong Tamansiswa tinggal di Yogyakarta.
SUARA MUHAMMADIYAH 16 / 95 | 16 - 31 AGUSTUS 2010

21