Directory UMM :Suara_Muhammadiyah:SM_16_04:

IKHLAS
Oleh: Muhammad Qorib
Dalam sebuah cerita, ada seorang ustadz. la tidak mempunyai pekerjaan tetap. Beberapa orang
kaya memanggilnya untuk mengajar Al-Qur'an kepada anak-anaknya. Pada waktu yang
ditentukan sang ustadz datang ke rumah murid-muridnya dengan teratur. Ketika ia mempunyai
uang, ia datang dengan kendaraan umum. Ketika tidak ada ongkos, ia berjalan kaki. Setelah
habis satu bulan, dengan penuh harap ia menunggu honorariumnya.
Orang kaya pertama berkata, " Pak Ustadz, saya yakin Bapak orang yang ikhlas. Bapak hanya
mengharap ridha Allah. Saya akan merusak amal Bapak bila saya membayar Bapak. Saya berdoa
mudah-mudahan Allah membalas kebaikan Bapak berlipat ganda." Pak Ustadz termenung. la
tidak bisa berkata apa-apa. la kebingungan setelah mendengar kata-kata yang tampaknya benar.
Tetapi ia merasakan ada sesuatu yang salah dalam ucapan orang kaya itu, tetapi dimana. la tidak
tahu. Yang terbayang dalam benaknya adalah hari-hari yang dilewatinya untuk mengajar di sana,
ketika ia berjalan kaki atau dengan ongkos hasil pinjaman. Yang terasa adalah perut dan
keluarganya, yang tidak dapat diisi hanya dengan "ikhlas". la diam dan air matanya jatuh tak
terasa.
Sementara orang-orang kaya lainnya memberikan uang transport yang amat kecil, hampir tidak
cukup untuk mengganti ongkos angkot yang telah dikeluarkannya. Seperti orang kaya pertama,
mereka juga menghiburnya dengan kata "ikhlas". la bingung. Kata "ikhlas" adalah kata yang
agung, tetapi kini terasa seperti pentungan baginya. la merasa diperas, dieksploitasi, tetapi tidak
tahu harus angkat bicara dan bagian mana.

Dari contoh sederhana itu kita dapat menemukan sesuatu yang tidak beres dalam makna ikhlas.
Kata ikhlas sekarang digunakan untuk memukul para muballigh. Konsep agama yang begitu
luhur telah disalahgunakan untuk merampas hak para penyebar agama. Tenaga mereka dikuras
oleh berbagai kegiatan dakwah, sehingga tidak sempat mencari nafkah. Mereka ditinggal begitu
saja, habis manis sepah dibuang. Bila mereka dipanggil ke tempat jauh, mereka tidak perlu diberi
pesangon. Kata "ikhlas" telah digunakan untuk melemahkan dan menyingkirkan para muballigh.
Akhirnya, banyak orang berlindung pada kata "ikhlas" untuk menghancurkan umat Islam sendiri.
lkhlas bukan berarti tidak menerima upah ketika mengajarkan Al-Qur'an, seperti kata orangorang kaya pada pak Ustadz kita. Benarkah ikhlas dapat kita artikan tidak menerima pesangon
untuk kegiatan dakwah? Ada sebuah peristiwa pada zaman Nabi Saw. Nabi saw. mengirim
pasukan yang terdiri dari tiga puluh orang. Mereka tiba pada sebuah perkampungan. Mereka
menuntut hak sebagai tamu, namun tak seorangpun menjamu mereka. Pada saat yang sama,
pemimpin kaum itu digigit ular. Mereka meminta bantuan para sahabat untuk mengobatinya. Abu
Said Al-Khudri bersedia mengobatinya, asalkan mereka membayar dengan tiga puluh ekor
kambing. la membacakan surah Al-Fatihah tiga kali. Orang itu sembuh. Ketika Abu Said
membawakan kambing-kambing itu, para sahabat yang lain menolaknya. " Engkau menerima
upah dari membaca kitab Allah?" tanya mereka. Ketika sampai di Madinah, mereka
menceritakan kejadian itu kepada Nabi. “Bagikan di antara kalian. Tidak ada yang pantas kalian
ambil upahnya seperti membaca kitab Allah," sabda Nabi saw. (HR Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi, dan lain-lain).
Oleh sebab itu, kita setidaknya menyadari bahwa seorang muballigh bukanlah seorang malaikat

yang tidak membutuhkan materi. Ketika ia dan keluarganya lapar, maka kelaparan itu tidak bisa
dihilangkan hanya dengan mengucapkan kata-kata "ikhlas".

Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Agama Islam UMSU Medan dan Fungsionaris DPD IMMSU. Pendiri Center for Information and Islamic Studies (CIIS) untuk Gerakan Dakwah Kultural
IMM-SU.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2004