Directory UMM :Suara_Muhammadiyah:SM_16_02:

Adopsi
Oleh Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag.

SETELAH melaksanakan pernikahan, pasangan suami isteri mana pun umumnya
mulai menunggu dengan harap-harap cemas kehadiran anak. Ada yang segera
dianugerahi oleh Allah SWT anak dan ada juga yang harus bersabar menunggu
beberapa tahun. Tetapi tidak sedikit pula yang tidak beruntung mendapatkan
anugerah itu. Keinginan menjadi ibu dan bapak adalah fitrah setiap orang yang sudah
berkeluarga. Hanya orang yang tidak normal saja yang tidak ingin mempunyai anak.
Dengan fitrah itulah eksistensi umat manusia tetap terjaga.
Sekalipun suami isteri sudah dapat hidup dengan harmonis, tenteram dan
damai, tetapi rasanya masih ada yang kurang bila belum mendapatkan anak. Ibarat
berpakaian, sekalipun sudah lengkap menutupi aurat, tapi rasanya masih ada yang
kurang sebelum ada satu dua perhiasan. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menyebutkan
memang anak–anak adalah perhiasan hidup dunia.

‫عن لد م مرب ب م‬
‫ماَ ل‬
‫ك‬
‫ت م‬
‫خي لرر ز‬

‫ن ززيِن م ل‬
‫صاَل ز م‬
‫ة ال ل م‬
‫ل موال لب ملنوُ م‬
‫حاَ ل‬
‫حمياَةز الد دن لمياَ موال لمباَقزمياَ ل‬
‫ال ل م‬
‫ت ال ص‬
‫م‬
‫مبل‬
‫وُابباَ وم م‬
‫خي لرر أ م‬
‫ثم م‬
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalanamalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih
baik untuk menjadi harapan.” (Q.S. Al-Kahfi 18:46)
Di samping naluri, banyak alasan kepada orang tua ingin punya anak. Ada
yang menginginkan anak untuk meneruskan garis keturunan. Dia menganggap garis

keturunannya akan punah jika sama sekali tidak punya anak Alasan ini menjadi
semakin kuat bagi orang-orang yang punya status sosial yang tinggi di tengah-tengah

masyarakatnya. Apalagi bagi raja-raja atau sultan-sultan yang mewariskan kerajaan
atau kesultanannya kepada anak-anaknya. Alangkah risaunya seorang raja bila tidak
dianugerahi Allah SWT seorang anak pun.
Ada juga yang memikirkan bisnis dan harta kekayaannya yang melimpah.
Siapa yang akan mewarisi semua kekayaannya jika dia sudah meninggal dunia. Siapa
yang akan meneruskan dinasti bisnisnya. Dia mengganggap sangat merugi bila
kerajaan bisnis yang sudah susah payah dibangunnya itu jatuh kepada orang lain
karena dia tidak punya anak.
Di samping itu ada juga yang merisaukan siapa yang akan mendo’akannya
kelak apabila sudah meninggal dunia jika dia tidak punya anak. Bukankah anak yang
saleh akan selalu mengalirkan pahala kepada kedua orang tuanya sebagaimana yang
disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW:

“Jika seseorang mennggal dunia putuslah (pahala) amalannya kecuali salah
satu dari tiga hal: Shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat yang dapat diambil
manfaatnya, dan anak saleh yang mendo’akannya” (H.R. Muslim)
Yang lebih idealis, tidak merisaukan garis keturunan, kekuasaan dan harta
kekayaan, tapi cita-cita dan perjuangan. Dia ingin sekali punya anak supaya dapat
meneruskan cita-cita dan perjuangannya. Dari kalangan Nabi-nabi, contoh kerisauan
ini dapat dilihat pada diri Nabi Zakaria ‘alaihi as-salam. Perhatikan dan


renungkanlah do’a Nabi Zakaria tatkala memohon kepada Allah SWT supaya
dianugerahi seorang putera yang akan meneruskan tugas-tugas kerisalahannya.

‫مةز مرب ب م‬
‫(مقاَ م‬3)َ‫فييا‬
‫ب‬
‫دابء م‬
‫خ ز‬
‫ل مر ب‬
‫ه نز م‬
‫(إ زذ ل مناَ م‬2)َ‫ك ع مب لد مه ل مزك مرزصيِا‬
‫ذ زك للر مر ل‬
‫دىَ مرب ص ل‬
‫ح م‬
‫شيباَ ول م م‬
‫ل‬
‫عاَئ ز م‬
‫شت معم م‬
‫مبنيِّ موا ل‬

‫ب‬
‫ن ب زد ل م‬
‫م ز‬
‫ك مر ب‬
‫س م لب م ل‬
‫ن ال لعمظ ل ل‬
‫ل الصرأ ل‬
‫م أك ل ل‬
‫إ زبنيِّ ومهم م‬
‫ن وممرازئيِّ وم م‬
‫م‬
‫ب‬
‫خ ل‬
‫ممرأ مزتيِّ م‬
‫(ومإ زبنيِّ ز‬4)َ‫قييا‬
‫كاَن م ز‬
‫يِّ ز‬
‫ش ز‬
‫عاَقزبرا فمهم ل‬
‫تا ل‬

‫ت ال ل م‬
‫ف ل‬
‫م ل‬
‫وُال ز م‬
‫م م‬
‫ن ل مد لن ل م‬
‫ب‬
‫ل يِ معل ل‬
‫(يِ مرزث لزنيِّ وميِ مرز ل‬5)َ‫ك ومل زييا‬
‫ث ز‬
‫زليِّ ز‬
‫ه مر ب‬
‫ب موا ل‬
‫قوُ م‬
‫جعمل ل ل‬
‫ن مءا ز‬
‫م ل‬
‫م ل‬
(6)َ‫ضييا‬
‫مر ز‬

“(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada
hamba-Nya, Zakariya, yaitu tatkala ia berdo`a kepada Tuhannya dengan suara yang
lembut. Ia berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku
telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo`a kepada Engkau,
ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku,
sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau
seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya`qub;
dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai" (Q.S. Maryam 19:2-6)
Nabi Zakaria sudah tua. Dua tanda ketuaan disebut oleh Nabi Zakaria,
pertama, tulang yang sudah lemah dan kedua, rambut yang sudah memutih penuh
uban. Apalagi isterinya juga seorang perempuan yang mandul. Menurut ilmu
manusia, sangat tipis kemungkinan Zakaria bisa mendapatkan anak. Tetapi karena
kekhawatirannya yang sangat tinggi tentang penerus risalah sepeninggalnya, Nabi
Zakariya dengan penuh harap memohon kepada Allah SWT untuk dianugerahi
seorang putera yang akan menjadi pewaris Zakaria dan sebagian keluarga Ya’qub.

Menurut Ibnu Katsir (III:142), yang dimaksud dengan mewarisi Zakaria dan
sebagian keluarga Ya’qub, bukanlah mewarisi harta kekayaan karena Zakaria, untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya berprofesi sebagai tukang kayu yang tidak
mempunyai harta kekayaan yang banyak. Lagi pula berdasarkan keterangan dari

Rasulullah SAW, para Nabi tidak mewariskan kekayaan kepada keluarganya. Dalam
hadits riwayat Tirmidzi Nabi bersabda: “Kami—para Nabi—tidak mewariskan
kekayaan”. Jadi, menurut Ibnu Katsir, yang dimaksud oleh Nabi Zakaria, warisan
yang diharapkan akan diterima oleh puter yang dimohonkannya itu adalah warisan
kenabian (mirats an-nubuwwah).
Do’a Nabi Zakariya dikabulkan Allah SWT dengan menganugeri beliau
seorang putera yang namanya langsung diberikan oleh Allah sendiri, yaitu Yahya.
Dan Yahya kelak akan menjadi Nabi yang meneruskan risalah yang disampaikan
oleh bapaknya.
Motivasi mulia seperti Nabi Zakaria itulah yang paling terpuji bagi seseorang
dalam mengharapkan anak, walaupun motivasi-motivasi lain sebagaimana yang telah
disebutkan di atas bukanlah terlarang. Tapi yang lebih penting dari sekadar
meneruskan garis keturunan, mewarisi kekuasaan dan kekayaan, adalah meneruskan
cita-cita dan perjuangan orang tuanya.
Beberapa orang tua yang sudah lama tidak mendapatkan anak, di samping
tetap berusaha, mereka berdo’a dengan sungguh-sungguh tanpa putus asa kepada
Allah SWT, akhirnya permohonan mereka dikabulkan oleh Allah. Tetapi tidak sedikit
pula yang do’anya—Allah yang mengetahui hikmahnya—tidak dikabulkan oleh
Allah SWT. Untuk orang-orang semacam ini biasanya berusaha memenuhi naluri


menjadi orang tuanya dengan mengangkat anak, baik anak saudara atau kerabatnya
sendiri, maupun anak orang lain yang sama sekali tidak punya hubungan darah
dengannya.
Dalam bahasa Arab, mengangkat anak seperti itu biasa disebut laqata (secara
harfia berarti memungut) atau tabanni (menganggap anak). Dalam bahasa Belanda
disebut adaptie, dan dalam bahasa Inggris disebut adopt. Sedangkan istilah adopsi
berasal dari adoption dengan arti pengangkatan anak. Dalam percakapan sehari-hari
anak seperti itu lazim disebut anak angkat.
Tadisi mengangkat anak ini sudah ada sejak zaman sebelum Nabi
Muhammad SAW diutus. Pada masa itu anak-anak yang diangkat atau diadopsi
dianggap sama dengan anak kandung. Nabi sendiri punya seorang anak angkat yang
bernama Zaid ibn Haritsah. Tadinya Zaid adalah budaknya Khadijah binti Khuwailid,
isteri Nabi. Khadijah menghadiahkan Zaid kepada Nabi yang kemudian
memerdekakannya dan mengangkatnya sebagai anak dengan mengganti namanya
dengan Zaid ibn Muhammad, bukan lagi Zaid ibn Haritsah. Di hadapan kaum
Quraisy Nabi berkata: “Saksikanlah oleh kalian bahwa Zaid kuangkat menjadi
anakku dan ia mewarisiku dan aku mewarisinya.
Beberapa waktu kemudian, setelah beliau diangkat sebagai Nabi dan Rasul,
turunlah wahyu mengoreksi masalah ini:


‫ل الل صه ل زرجل من قمل لبين فيِّ جوُفه وماَ جع م م‬
‫جعم م‬
ِّ‫م الصلزئي‬
‫مل ز ز‬
‫ل ألزموا م‬
‫م ل ز ز م م م م‬
‫ماَ م‬
‫جك ل ل‬
‫م‬
‫ل م ل ل ز ل‬
‫عياَمءك ل م‬
‫ظاَهرون منهن أ لمهاَت زك لم وماَ جع م م‬
‫م‬
‫ل أد ل ز م‬
‫ل م م م م‬
‫م قموُلل لك ل ل‬
‫م ذ مل زك ل ل‬
‫م أب لمناَمءك ل ل‬
‫ل‬
‫تل م ز ل م ز ل ل ص ص م‬

‫م‬
‫سزبي م‬
‫قوُ ل‬
‫م‬
‫ه يِ م ل‬
‫(اد ل ل‬4)‫ل‬
‫حقص ومهلوُم يِ مهل ز‬
‫ل ال ل م‬
‫ديِ ال ص‬
‫م زلمباَئ زهز ل‬
‫عوُهل ل‬
‫م موالل ص ل‬
‫وُاه زك ل ل‬
‫ب زأفل م‬

‫م‬
‫س ل‬
‫ن‬
‫م فمإ ز ل‬
‫ط ز‬

‫م زفيِّ ال ب‬
‫عن لد م الل صهز فمإ ز ل‬
‫هلوُم أقل م‬
‫وُان لك ل ل‬
‫موُا مءامباَمءهل ل‬
‫م ت معلل م ل‬
‫ن لم ل‬
‫خ م‬
‫ديِ ز‬
‫ل‬
‫ت‬
‫ماَ أ م ل‬
‫جمناَ ر‬
‫م ل‬
‫مد م ل‬
‫ماَ ت معم ص‬
‫ن م‬
‫خط مأت ل ل‬
‫ح زفي م‬
‫س ع مل مي لك ل ل‬
‫وُازليك ل ل‬
‫وم م‬
‫م ومل مي ل م‬
‫م ب زهز ومل مك ز ل‬
‫م م‬
‫م وم م‬
َ‫ما‬
‫ه غم ل‬
‫فوُبرا مر ز‬
‫كاَ م‬
‫حي ب‬
‫ن الل ص ل‬
‫قلللوُب لك ل ل‬
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan Dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu zhihar itu sebagai
ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah
mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,
maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (Q. S. Al-Ahzab 33:4-5)
Dua ayat di atas mengoreksi sikap Nabi Muhammad SAW dan orang-orang
Mekkah lainnya yang menganggap anak angkat sama dengan anak kandung. Allah
SWT menegaskan, pengakuan itu sama sekali tidak dapat merobah status hukum
anak angkat menjadi anak kandung. Oleh sebab itu anak angkat tidak boleh
dinisbahkan kepada bapak angkatnya, tetapi tetap harus dinisbahkan kepada bapak
kandungnya. Dalam kasus Zaid, tidak boleh disebut Zaid ibn Muhammad, tetapi
tetap Zaid ibn Haritsah. Karena bukan anak kandung, dengan sendirinya status
hukumnya tidak sama dengan anak kandung, tapi sama dengan orang lain. Oleh

sebab itu antara anak angkat dengan orang tuanya tidak ada hubungan kewarisan dan
hubungan kemahraman.
Persoalan kemahraman ini perlu ditekankan, karena banyak yang menggap
dan memperlakukan anak angkat sebagai mahram. Untuk menegaskan dan
membuktikan bahwa anak angkat tidak punya hubungan kemahraman sama sekali
dengan orang tuanya, Allah SWT sampai memerintahkan kepada Nabi Muhammad
SAW untuk mengawini Zainab, janda Zaid ibn Haritsah. Dalam tradisi Arab sebelum
Islam, Nabi tidak boleh mengawini Zainab, mantan menantu angkatnya itu. Tapi
Allah justru memerintahkan Nabi mengawininya.

‫م‬
‫م‬
‫م‬
‫ج م‬
‫ك ع مل مي ل م‬
‫س ل‬
‫قوُ ل‬
‫ك‬
‫ومإ زذ ل ت م ل‬
‫م ز‬
‫ل ل زل ص ز‬
‫ك مزول م‬
‫ت ع مل مي لهز أ ل‬
‫م م‬
‫ه ع مل مي لهز ومأن لعم ل‬
‫م الل ص ل‬
‫ذيِ أن لعم م‬
‫س م‬
‫خ م‬
‫ه‬
‫فيِّ زفيِّ ن م ل‬
‫ديِهز ومت م ل‬
‫ه ومت ل ل‬
‫مب ل ز‬
‫ف ز‬
‫خ ز‬
‫س موالل ص ل‬
‫ه ل‬
‫ماَ الل ص ل‬
‫ك م‬
‫ق الل ص م‬
‫شىَ الصناَ م‬
‫موات ص ز‬
‫م‬
‫م‬
‫يِّ مل يِ م ل‬
‫خ م‬
‫ن‬
‫ن تم ل‬
‫ضىَ مزيِ لد ر ز‬
‫كوُ م‬
‫من لمهاَ ومط مبرا مزوص ل‬
‫ماَ قم م‬
‫حقد أ ل‬
‫أ م‬
‫شاَه ل فمل م ص‬
‫جمناَك ممهاَ ل زك م ل‬
‫م‬
‫م إز م‬
‫ن ومط مبرا‬
‫ج أ مد ل ز‬
‫وُا ز‬
‫مؤ ل ز‬
‫ذا قم م‬
‫حمر ر‬
‫ن م‬
‫عمياَئ زهز ل‬
‫ع مملىَ ال ل ل‬
‫من لهل ص‬
‫ض ل‬
‫مزني م‬
‫ج زفيِّ ألزموا ز‬
‫كاَ م‬
‫ماَ م‬
‫ض‬
‫م ل‬
‫يِّ ز‬
‫ن م‬
‫كاَ م‬
‫وم م م‬
‫ج زفي م‬
‫( م‬37)‫فلعوُبل‬
‫ملر الل صهز م‬
‫نأ ل‬
‫ماَ فممر م‬
‫م ل‬
‫ن ع مملىَ الن صب ز ب‬
‫حمر ل‬
‫كاَ م‬
‫ن قمب ل ل‬
‫ملر الل صهز قمد مبرا‬
‫ن م‬
‫سن ص م‬
‫وُا ز‬
‫ة الل صهز زفيِّ ال ص ز‬
‫ل وم م م‬
‫ه ل‬
‫نأ ل‬
‫ه لم ل‬
‫الل ص ل‬
‫م ل‬
‫خل م ل‬
‫ذيِ م‬
‫دوبرا‬
‫م ل‬
‫ق ل‬
‫م‬
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan ni`mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni`mat kepadanya:
"Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu
menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu
takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka

tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami
kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk
(mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu
telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu
pasti terjadi. Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah
ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnahNya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu
ketetapan yang pasti berlaku. “ (Q.S. Al-Ahzab 33:37-38)
Setelah turunnya ayat-ayat di atas, seorang Muslim tidak boleh lagi
memberlakukan anak angkatnya secara hukum sama dengan anak kandung. Lain
masalahnya secara moril dan kasih sayang. Menyayangi anak orang lain seperti
menyayangi anak sendiri adalah perbuatan mulia, tetapi semuanya itu tetap tidak
dapat merubah status hukum dan segala konsekuensinya.

Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2002