Beban Berat Demokrat

Beban Berat Demokrat
Iding R. Hasan*
(Suara Pembaruan, 13 Januari 2014)

Pasca ditahannya mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jum,at 10/01 lalu disinyalir banyak kalangan
akan semakin memperberat perjalanan politik partai berlambang mercy tersebut
khususnya jelang Pemilu 2014. Elektabilitas Demokrat, misalnya, yang terus mengalami
penurunan sebagaimana diungkapkan oleh sejumlah lembaga survei besar kemungkinan
sulit membaik kembali.
Sebagian pihak bahkan memprediksi, jika kasus Anas masuk ke dalam proses
pengadilan sebelum gelaran Pemilu Legislatif (Pileg) pada Apri 2014, elektabiliras
Demokrat akan semakin merosot. Hal ini karena boleh jadi dalam proses pengadilan
tersebut Anas akan mengungkap sejumlah nama elite partai biru tersebut.
Menurut hemat penulis, sekalipun proses pengadilan Anas baru digelar setelah
Pileg, tetap saja bagi Demokrat tidak akan mudah untuk menaikkan kembali citranya di
mata publik Indonesia. Hal ini antara lain karena kubu Anas tentu akan terus menerus

melakukan konstruksi opini yang hendak memperlihatkan kepada publik bahwa apa yang
terjadi pada Anas bukan semata-mata proses hukum, melainkan kental dengan aroma
politik.

Sebagai aktor politik yang sarat pengalaman dan piawai dalam mengendalikan
situasi Anas mampu mengkonstruksi opini, bukan sekedar dengan komunikasi verbal,
melainkan juga non-verbal. Sejak ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Pebruari 2013
lalu sebagai penerima gratifikasi mobil Harrier terkait kasus Hambalang, Anas mampu
mengkonstruksi opini, baik melalui media massa konvensional maupun media sosial
seperti Twitter.
Bahkan saat keluar dari ruang pemeriksaan KPK dengan baju rompi tahanan
berwarna oranye Anas tetap melakukan konstruksi opini yang tampaknya sudah
dipersiapkannya dengan matang. Ungkapan bahwa apa yang sedang dialaminya itu
sebagai proses pencarian kebenaran dan keadilan yang ditutup dengan ungkapan bahwa
kebenaran akan menang jelas sebagai upaya Anas untuk mengkonstruksi bahwa dirinya
adalah representasi dari kebenaran tersebut yang tengah mengalami penzaliman.
Selain itu ucapan terima kasih yang diungkapkan Anas kepada sejumlah nama
pimpinan dan penyidik KPK dan terutama pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) tentu bukanlah ucapan terima kasih yang lazim. Dalam perspektif komunikasi, apa
yang diungkapkan Anas tersebut sebagai bentuk dari komunikasi tingkat tinggi (high
context communication).
Model komunikasi seperti ini biasanya diekspresikan dengan ungkapan simbolik
dan kode atau tidak diungkapkan secara terus terang dan apa adanya. Sebagai politisi
yang berasal dari Jawa Anas tentu piawai dalam melakukan komunikasi tersebut.


Oleh karena itu, ungkapan terima kasih Anas tersebut mesti ditafsirkan sebagai
retorika satiris yang ditujukan pada nama-nama yang disebutkannya. Tetapi yang paling
menghunjam adalah ungkapan yang ditujukan Anas pada SBY dengan dua frasa “di atas
segalanya” dan “hadiah tahun baru 2014”.
Opini yang dibangun Anas tersebut boleh jadi akan bergaung kuat karena
kepiawaiaanya dalam memanfaatkan momentum ketika memainkan isu ke tengah publik.
Sebagai politisi yang sadar kamera Anas pintar memanfaatkan momentum. Di hadapan
puluhun jepretan kamera saat hendak menuju rutan KPK, dengan ekspresi wajahnya yang
tetap tenang, ia melontarkan peluru-peluru tajam, sehingga kemudian menjadi headline di
semua media baik cetak maupun elektronik.
Sekarang meskipun sudah berada di balik jeruji opini tersebut tetap disuarakan
loyalis-loyalis Anas terutama yang tergabung dalam Perhimpunan Pergerakan Indonesia
(PPI) yang bermarkas di rumah Anas sendiri.

Beban Berat
Bagi Demokrat, situasi politik ini tentu sangat berat. Kondisi ini diperparah oleh
kekurangpiawaian elite-elite partai dalam melakukan komunikasi publik. Salah satu yang
paling nampak adalah lemahnya manajemen komunikasi antar para aktor politik di tubuh
partai biru tersebut dalam menyikaspi sebuah kasus, termasuk kasus Anas.

Kerap kali terjadi ketidaksinkronan pernyataan yang dikeluarkan para elite
Demokrat sehingga terkesan tidak ada koordinasi dengan baik. Misalnya, ketika Anas
membentuk PPI, ungkapan para elite Demokrat begitu reaktif sehingga tampak berbedabeda satu dengan yang lain.

Pada saat yang sama tidak ada tokoh di tubuh Demokrat yang betul-betul piawai
dalam mengendalikan situasi. Syarif Hasan, misalnya, sebagai ketua harian sering gagap
dalam mengeluarkan pernyataan ke publik. Parahnya Demokrat menunjuk Ruhut
Sitompul sebagai juru bicaranya yang justeru sering membuat pernyataan yang
kontraproduktif terhadap citra yang hendak dibangun kembali Demokrat.
Kondisi ini tentu cukup berbahaya ketika para elite Demokrat tersebut berhadapan
dengan opini yang sekarang kian gencar dibangun kubu Anas terutama mengenai
keterlibatan Cikeas dalam kasus Anas.
Dalam konteks ini, kounter opini yang mesti mereka bangun harus dilakukan
secara cerdas, tidak reaktif dan emosional. Kalau tidak, salah-salah opini publik bisa
mengarah ke kubu Anas. Jika ini yang terjadi, jelas beban Demokrat akan semakin berat.

Penulis adalah Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi
Politik FISIP UIN Jakarta