Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol
1
KONVERSI BTA PADA PENDERITA TB PARU KATEGORI I
YANG MENDAPAT TERAPI INTENSIF
DENGAN DIABETES MELLITUS TERKONTROL
DAN DIABETES MELLITUS TIDAK TERKONTROL
TESIS
Oleh
INDRA JANIS
047027004/KT
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
2
KONVERSI BTA PADA PENDERITA TB PARU KATEGORI I
YANG MENDAPAT TERAPI INTENSIF
DENGAN DIABETES MELLITUS TERKONTROL
DAN DIABETES MELLITUS TIDAK TERKONTROL
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Kedokteran Tropis dalam Program
Studi Ilmu Kedokteran Tropis pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
INDRA JANIS
047027004/KT
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
3
Judul Tesis
: KONVERSI BTA PADA PENDERITA TB PARU
KATEGORI I YANG MENDAPAT TERAPI INTENSIF
DENGAN DIABETES MELLITUS TERKONTROL
DAN DIABETES TIDAK TERKONTROL
N a m a Mahasiswa : Indra Janis
Nomor Pokok
: 047027004
Program Studi
: Ilmu Kedokteran Tropis
Menyetujui
Komisi Pembimbing,
(Prof.dr.H.Tamsil Syafiuddin, SpP (K))
Ketua
(dr. R. Lia Kusumawati,MS, Sp.MK)
Anggota
Ketua Program Studi,
(Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H,
MSc)
MSc (CTM), Sp.A (K))
(Drs.H.Abdul Jalil,A.A.M.kes)
Anggota
Direktur,
(Prof.Dr.Ir. T. Chairun Nisa B,
Tanggal Lulus : 24 Januari 2008
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
4
Telah diuji pada
Tanggal
: 24 Januari 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA
: Prof.dr. H. Tamsil Syafiuddin, Sp.P (K).
ANGGOTA
: 1. dr. R. Lia Kusumawati, MS, SpMK.
2. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes.
3. dr. H. Zainuddin Amir, Sp.P (K).
4. dr. Dharma Lindarto, Sp.PD, KEMD.
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
5
ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) paru merupakan masalah kesehatan yang besar di
Indonesia. Indonesia mencapai urutan ketiga dalam jumlah kasus TB paru sesudah
Cina dan India dengan perkiraan 583.000 kasus baru/tahun dengan angka kematian
sekitar 140.000 penderita.
Beberapa masalah dapat terjadi pada pengobatan TB paru. Salah satu dari
penyakit adalah DM sebagai salah satu penyakit penyerta. Pada peduduk di atas 15
tahun dan apabila didasarkan pravalensi 1,5 % maka jumlah minimal penderita DM
di Indonesia pada tahun 2000 diperkirakan 4 juta dan pada tahun 2010 sebanyak 5
juta penderita. Morbiditas infeksi paling sering dialami oleh penderita DM akibat
kerentanan terhadap infeksi.
Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan konversi BTA pada penderita TB
paru dengan DM terkontrol dan DM tidak terkontrol.
Penelitian ini bersifat studi eksperimental. Bahan sputum penderita diambil dengan
cara dibatukkan kemudian diperiksa 3 kali (SPS) dengan pewarnaan Ziehl Neelsen
yaitu pada awal penelitian dan minggu ke 8 (terapi fase intensif).
Penderita yang telah didiagnosa dengan TB paru , kemudian dilakukan
pemeriksaan KGD puasa dan KGD post prandial bila penderita dijumpai gejala
klinis DM. Nilai KGD post prandial >= 200 mg/dl penderita diagnosa dengan DM.
Untuk membedakan penderita DM terkontrol dan tidak terkontrol diambil ratarata pemeriksaan KGD puasa dan KGD bed time. DM terkontrol bila hasil KGD
puasa 5,0-7,2 mmol/l (90-130 mg/dl), dan rata-rata KGD Bed Time 6,1-8,3 mmol/l
(110-150 mg/dl) hasil ini secara konsisten mencapai tingkat HbA 1C < 7 mg %.
Dari hasil penelitian ini didapat sebanyak 46 orang yang memenuhi kriteria
penelitian, 35 orang (76,1%) TB paru dengan DM terkontrol dan 11 orang (23,9%)
TB paru dengan DM tidak terkontrol.
Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok TB paru dengan DM terkontroldan
TB paru dengan DM tidak terkontrol dalam hal terjadinya konversii dari
pemeriksaan BTA awal dengan pemeriksaan BTA minggu ke 8 (terakhir) l (p
=200 mg/dl diagnose of patient with DM.To
disnguish the patient with controlled and uncontrolled DM by taking the average of
KGD fasting and bed time KGD. DM controlled if the result of fasting KGD 5,0-7,2
mmol/l (90-130 mg/dl) and the average Bed Time KGD 6.1-8.3 mmol/l (110-150
mg/dl). This result is consisten reach the level Hba 1C , 7 mg%.
The result is from 46 samples which fulfill the research criteria, 35 patient
s(76,1%) lung TB with controlled DM and 11 patients (23,9%) lung TB with
uncontrolled DM.
There is difference meaning of conversion acid fast bacilli in beginning and 8th
week of acid fast bacilli (the last) in lung TB with controlled and uncontrolled DM
(p < 0,05)
Key word: Lung TB, DM, Conversion BTA
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
7
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat taufiq
serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini, yang merupakan
salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan porgram Pasca Sarjana Magister Ilmu
Kedokteran Tropis Universitas Sumatera Utara, Medan.
Dengan selesainya penulisan tesis ini,
perkenankanlah penulis untuk
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
Rektor Universitas Islam Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Pasca Sarjana
Magister Ilmu Kedokteran Tropis Universitas Sumatera Utara.
Pimpinan Harian Yayasan Universitas Islam Sumatera Utara, atas
diberikannya beasiswa Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Kedokteran Tropis
Universitas Sumatera Utara.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, atas
kesempatan untuk mengikuti Program Pasca Sarjana Ilmu Kedokteran Tropis
Universitas Sumatera Utara.
Kepala Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera
Utara, yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti Program Pasca Sarjana
Magister Ilmu Kedokteran Tropis di Universitas Sumatera Utara.
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
8
Prof. Dr. H. Azhar Tanjung, Sp.PD (K), KP-KAI, Sp.MK, yang telah memberi
rekomendasi mengikuti Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Kedokteran Tropis
Universitas Sumatera Utara.
Ketua Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis, Prof. DR. Dr. H.
Syahril Pasaribu, DTM&H, MSC (CTM), Sp.A (K) beserta jajarannya, atas
kesempatan, bimbingan serta petunjuk selama penulis menjadi mahasiswa Program
Pasca Sarjana Magister Ilmu Kedokteran Tropis Universitas Sumatera Utara.
Kepala BP4 (balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru ) Medan, Dr. Adlan L.
Sitompul, SpP dan Kepala UPK kecamatan Medan Brayan, Dr.H. Zainuddin Amir,
Sp.P (K), yang telah mengizinkan penulis untuk dapat meneliti, sehingga penulis
dapat menyelesaikan Program Pasca Sarjana Magister Kedokteran Tropis.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan
kepada Prof. Dr. H. Tamsil Syaifuddin, Sp.P (K), dr. R. Lia Kusumawati, MS,
Sp.MK, Drs. H. A. Abdul Jalil Amri Amra, M.kes sebagai komisi pembimbing dan
dr. H. Zainuddin Amir, Sp.P (K) dan dr. Dharma Lindarto, Sp.PD. KEMD , sebagai
komisi pembanding yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dari mulai
hingga selesai pembuatan tesis.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan peserta
Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Kedokteran Tropis Universitas Islam
Sumatera Utara, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu
mengikuti mulai dari seminar proposal sampai seminar hasil.
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
9
Kepada Papa Let.Kol.Pol. (Pur). Janis Rahim dan Mama Dahlia yang selalu
melimpahku dengan penuh kasih sayang dan selalu mendo’akan untuk diberi
kekuatan dan kesabaran dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhirnya kepada istriku yang tercinta dr. Ani Ariati dan ketiga putra-putriku
yang tersayang Rizky Permata Indra, Ridho Kurnia Indra dan Ridha Mutiara Indra,
yang telah memberikan semangat dan dorongan serta do’a untuk dapat
menyelesaikan Program Pasca Sarjana Magister Kedokteran Tropis di Universitas
Sumatera Utara Medan.
Berkat Ridho dan Rahmat Allah SWT, tesis penulis ini selesai dan semoga
apa yang penulis dapat dari hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Medan,
Wassalam,
Penulis
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
10
RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS
Nama
: Indra Janis
Tempat Lahir
: Padang
Tanggal Lahir
: 18 Nopember 1959
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Dosen Fakultas Kedokteran UISU
Alamat
: Jl. Anyelir I, No42/07, Helvetia Medan
KELUARGA
Ayah
: Let.kol. Pol. (Pur). Janis Rahim
Ibu
: Dahlia
Istri
: dr. Ani Ariati
Anak
: 1. Rizky Permata Indra
2. Ridho Kurnia Indra
3. Ridha Mutiara indra
PENDIDIKAN
SD Bhayangkari
Medan
Tamat Tahun 1972
SMP Fatima
Sibolga
Tamat Tahun 1975
SMA Khatolik
Sibolga
Tamat Tahun 1979
Fakultas Kedokteran UISU
Medan
Tamat Tahun 1988
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
11
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK
.................................……………………………………………….. i
ABSTRACT
......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR
........................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP
.................................................................................... vi
DAFTAR ISI
.......................................................................................... vii
DAFTAR TABEL
.............................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR
............................................................................................x
DAFTAR SINGKATAN ......................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................................xiii
BAB I. PENDAHULUAN
……………..............………...………………… 1
1. Latar Belakang
.......……………….............…........…………… . 1
2. Perumusan Masalah
......…………………………………………… 4
3. Tujuan Penelitian
………………………………………............. 5
3.1. Tujuan Umum
3.2. Tujuan Khusus
4. Manfaat Penelitian
.............................................................................. 5
......................................................................... ..5
............................................................................ 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................6
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
12
BAB III. METODE PENELITIAN ......................................................................... 20
1. Tempat dan Waktu Penelitian
2. Bahan
................................................................ 20
.......................................................................... 20
3. Rancangan Penelitian
......................................................................... 20
4. Cara Kerja
………………………………………........
21
5. Definisi Operasional
........................................................................ 22
6. Variabel yang diamati
........................................................................ 22
8. Kriteria Inklusi
…………………………………………….......23
9. Kriteria Ekslusi
…………………………………………... . 23
10. Perkiraan Besarnya Sampel
.................................................................. 24
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
……………………………………..26
1. Hasil Penelitian
............................................... …………………........26
2. Pembahasan
....................................................... ........................... 29
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
.............................................................. 35
......................................................................................... .37
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
13
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
Judul
1.
Kategori pengobatan TB paru menurut WHO......................................... 9
2.
Karakteristik sample
3.
Karakteristik Gejala Klinis ................................................................... 27
4.
Diagnosa DM pada Penderita TB paru ................................................. 28
5.
Diagnoasa KGD TB paru dengan DM Terkontrol dan TB paru dengan
DM tidak terkontrol pada Minggu ke 8 (akhir) terapi Intensif .............28
6.
Konversi Awal dan Minggu ke 8 (akhir) ...............................................29
..........………………………………………… 26
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
14
DAFTAR GAMBAR
Nomor
1.
Judul
Halaman
Kerangka operasional ..........................................................................25
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
15
DAFTAR SINGKATAN
TB
Tuberkulosis
WHO
World International Organization
BTA
Basil Tahan Asam
RI
Republik Indonesia
MTB
Mycobacterium tuberculosis
DM
Diabetes mellitus
PMN
Polimorfonuklear lekosit
OAT
Obat Anti Tuberkulosis
LAM
Lipoarobinomannanan
BP4
Balai Penobatan Penyakit Paru-Paru
UPK
Unit Pelayanan Kesehatan
AIDS
Acquaired Imunodeficiency Virus
HIV
Human Imunodeficiency Virus
IUAT
International Union Againts Tuberculosis
SPSS
Statistical Program for Social Science
OHO
Obat hypoglikemi oral
BCG
Bacillus Calmette Guerin
IUATLD
Diseases
International Union Againts Tuberculosis Lung
MOTT
Mycobacterium other than tuberculosis
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
16
BATEC
Becton Dickinson Diagnostic Instrumen System
PCR
Polymerase Chain Reaction
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
17
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
Judul
1.
Cara Pewarnaan Ziehl Neelsen ............................................................41
2.
Skala IUAT ..........................................................................................42
3.
Lembar Pertanyaan ..............................................................................43
4.
Formulir Pertanyaan............................................................................. 44
5.
Sampel Penderita TB paru dengan DM .............................................. 45
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
18
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tuberkulosis paru (TB paru) di Indonesia
masih merupakan masalah
kesehatan di Indonesia. Prevalensi TB paru di Indonesia diperkirakan antara 0,20,65% dari temuan survey pada 14 propinsi pada tahun 1983 dan tahun 1993
(Depkes 2006). Menurut laporan WHO, dengan jumlah penduduk 205 juta Indonesia
menempati urutan ke-tiga terbanyak dalam jumlah TB paru diantara 22 negara
dengan masalah TB paru terbesar di dunia. Di Indonesia penderita TB paru
diperkirakan 175 ribu orang meninggal setiap tahunnya atau 500 orang setiap
harinya. Setiap tahun 8.000.000 kasus baru TB paru bertambah di seluruh dunia.
WHO melalui kegiatan Global Surveillance and monitoring memperkirakan
insiden TB paru di Indonesia sebesar 583.000 kasus baru (untuk semua jenis
TB paru), dan 262.000 kasus baru dengan BTA (+) setiap tahunnya (Depkes 2006).
Survey kesehatan Rumah Tangga yang dikeluarkan Depkes RI tahun 2001
menyebabkan TB paru sebagai penyebab kematian nomor satu dari golongan
penyakit infeksi.
Di Sumatera Utara kasus baru TB paru meningkat 160/100.000 penduduk,
dengan penduduk Sumatera Utara 12 juta maka penderita TB paru di Sumatera
Utara ada 19000 orang (Sukarni, 2006). Selanjutnya penelitian yang diadakan tahun
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
19
1981 angka kesakitan TB paru untuk semua golongan umur di 12 propinsi di
Indonesia adalah sekitar 0,26%.
TB paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (MTB) yang
ditularkan melalui infeksi yang dapat menyerang semua organ tubuh, terutama paru.
TB paru merupakan infeksi oportunistik yang potensial untuk penderita diabetes
mellitus (DM), karena kondisi gangguan pertahanan imunitas akibat hiperglikemi
dan asidosis salah satunya adalah menghambat gerakan sel-sel fagosit kearah daerah
infeksi dan menekan aktifitas sel-sel tersebut yang terjadi pada penderita DM dan
mempermudah penyebaran infeksi perimer. Sebaliknya TB paru pada penderita DM
akan memperberat hiperglikemi dan terpacunya ketoasidosis (Darmono, 2000.
Kalim H et al. 2002)
Meningkatnya kemakmuran dan perubahan gaya hidup menyebabkan
meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif. Di Indonesia DM merupakan
masalah nasional, dimana penyakit ini dalam urutan nomor 4 dari penyakit
degeneratif. Tahun 2000 di Indonesia terdapat 4 juta penderita DM dan pada tahun
2010 diperkirakan jumlah penderita DM 5 juta penderita (Tjokroprawiro.A. 2001,
Soegondo, S. 2002)
Penderita DM mudah mengalami infeksi pada saluran nafas baik bagian atas
maupun bawah. Infeksi paru yang biasa dijumpai pada penderita DM adalah
pneumonia, tuberculosis, dan infeksi oleh fungi Coccidiodes immitis (Darmono.
2000)
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
20
Pasien TB paru yang dirawat dengan penyakit penyerta yang terbanyak
adalah DM 24,73% dari seluruh penyakit penyerta yang ada atau 6,47% dari seluruh
kasus TB paru yang dirawat (46/711) (Ermayanti S et al. 2004).
DM merupakan keadaan hiperglikemia kronik yang disebabkan oleh
kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya yang selalu
mengakibatkan komplikasi kronik pada organ tubuh (mata, ginjal, saraf, jantung dan
pembuluh darah) (Adam J.M.F, 2001). Infeksi TB paru dengan DM biasanya
disebabkan oleh reaktifasi fokus yang lama dari pada melalui kontak langsung.
Pada penderita DM terjadi “defective chemotaxis” sel-sel polimorfonuklear
lekosit (PMN), sehingga pada penderita tersebut daya tahan menurun yang
mengakibatkan lebih mudah terjadinya TB paru. Pada penderita usia tua kuman
dorman masih mampu untuk menyebabkan TB paru, jika terjadi daya tahan tubuh
yang rendah karena DM (Taufik ,Yunus, F. 1997)
Faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi
kesembuhan
TB
paru:
1). Sistemik; infeksi HIV, DM, “immunocompromised host” misalnya pada
pemberian steroid, 2). Lokal paru : kerusakan jaringan paru luas (destroyed lung),
kavitas berdinding tebal. (Rahajoe, N. 1996)
Prevalensi DM resiko yang berhubungan TB paru 25% dibandingkan
AIDS/HIV resiko berhubungan dengan TB paru 2% (Alfredo PL. 2004)
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
21
Tingginya kasus TB paru pada penderita DM (40,4%) karena Indonesia
merupakan negara endemik TB paru dan penyakit nomor satu dari golongan infeksi
(Zein, U et al. 2004)
Penderita TB paru pada penelitian ini diklasifikasikan berdasarkan kategori I
dan standard pengobatan OAT yaitu penderita TB paru kasus baru BTA (+), kasus
baru BTA (-), kerusakan parenkim yang luas dan TB ekstra paru berat (Agus, W.P.
et al. 2004, Aditama, TY. 2005).
Penelitian telah dilakukan untuk mengetahui gangguan dalam mekanisme
pertahanan tubuh penderita DM, yaitu ganguan utama tampak pada fungsi PMN,
yang lebih menonjol pada penderita DM dengan kontrol yang jelek (Coopan, 1985)
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh pengobatan
kategori I pada penderita TB paru dengan DM terkontrol dan TB paru dengan DM
tidak terkontrol terhadap konversi sputum BTA.
2. Perumusan Masalah
Meningkatnya jumlah penderita TB paru di Indonesia bukan hanya terjadi
akibat kegagalan terapi obat anti tuberkulosis (OAT) saja, namun ada beberapa
faktor yang mempengaruhi penyembuhan penderita TB paru salah satu diantaranya
adalah penyakit DM. Penderita DM akan meningkat sejalan dengan kemampuan dan
kemajuan masyarakat juga meningkat, dimana penderita TB paru ada disekitar
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
22
penderita DM. Jadi antara TB paru dan DM terjadi interaksi patogenik dua arah
yang membentuk prognosis penderita.
3. Tujuan Penelitian
3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui konversi BTA sputumTB paru pada penderita DM
terkontrol dengan DM tidak terkontrol setelah diberi terapi intensif kategori I.
3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik penderita TB paru dengan DM
2. Untuk melihat hasil konversi sputum BTA pada penderita TB paru dengan
DM terkontrol dan TB paru dengan DM tidak terkontrol
4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk melihat kemajuan terapi
OAT pada penderita TB paru dengan penyakit penyerta DM terkontrol dan DM
tidak terkontrol.
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tuberkulosis Paru (TB paru)
Tuberkulosis Paru (TB paru) adalah suatu penyakit yang menular yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis (MTB).
Penularan penyakit
biasanya melalui udara dengan inhalasi droplet nucleus yang mengandung basil
tuberkulosis berukuran 1-5
m yang dapat melewati atau menembus system
mukosillier saluran nafas, sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkhiolus
dan alveolus. Kuman TB paru menyebar dari seorang penderita TB paru terbuka
kepada orang lain. Penyakit yang ditimbulkan bersifat menahun, sebagian besar
mengenai organ paru dan bisa organ lain ditubuh selain paru, usia yang sering
terkena adalah usia produktif (15-40) tahun, sehingga dampak kerugian ekonomi
bagi kesehatan masyarakat cukup besar berupa menurunnya produktivitas dan
mahalnya pengobatan (Aditama, TY, 2005)
Kuman MTB hidup dan berkembang biak pada tekanan 02 sebesar 140 mm
H20 diparu dan dapat hidup diluar paru dalam lingkungan mikro aerofilik. Droplet
infeksius secara inhalasi masuk ke alveolus menimbulkan bronkopneumoniae non
spesifik yang merupakan fokus primer. Gejala klinis tidak ditemukan tetapi uji
tuberculin positif. Kuman MTB dari fokus primer memasuki kelenjar getah bening
regional, selanjutnya melalui aliran darah limfatik memasuki sirkulasi sistemik.
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
24
Sebesar 5% dari penderita TB paru perimer berkembang menjadi penyakit paru
progresif dengan gejala klinik dan radiologi sesuai TB paru. Penyebaran Limfo
hematogen mengakibatkan TB paru miller dan TB paru ekstra pulmonar. Sebagian
besar penderita infeksi TB paru primer sembuh dan berbentuk granuloma, keadaan
ini tergantung pada beberapa keadaan seperti jumlah kuman yang masuk sedikit dan
telah berbentuk daya tahan tubuh yang spesifik terhadap MTB (Dian K, 1999).
TB paru dibedakan atas TB paru primer dan TB paru post primer. Pada
TB
paru primer penyebaran hematogen kebagian tubuh lain dapat terjadi pada saat dini,
bahkan dapat terjadi sebelum timbulnya hipersensitivitas terhadap tuberkulin. TB
paru pasca primer prosesnya terbatas pada paru dan penyebarannya secara
bronkogen. Berdasarkan keadaan tersebut diatas TB paru primer merupakan suatu
penyakit yang berbahaya dan memerlukan pengenalan atau diagnosis sedini
mungkin. Sedangkan reaksi tubuh terhadap TB paru post primer dapat terjadi dalam
2 bentuk yaitu, pertama : peradangan endogen yaitu, berasal dari fokus lama
(dormant) didalam paru yang mengalami kekambuhan , kedua peradangan eksogen
yaitu karena infeksi paru yang berasal dari luar (Rossman MD. 1995).
Pada umumnya kasus TB paru dapat terdeteksi dari adanya keluhan utama
yaitu batuk yang lebih dari 3 minggu, dahak bercampur darah, batuk darah, sesak
nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa
kegiatan, demam meriang lebih dari 3 minggu. Oleh sebab itu setiap orang yang
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
25
datang ke unit pelayanan kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut diatas harus
dianggap sebagai seorang “suspek tuberkulosis” atau tersangka penderita TB paru,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung, dan
perlu diketahui bahwa pemeriksaan dahak jauh lebih dapat dipercaya daripada
pemeriksaan rontgen ( Crofton ,2002).
2. Uji Tuberkulin
Untuk mendeteksi adanya riwayat infeksi TB paru yaitu dengan melakukan
test tuberkulin. Dengan menggunakan teknik dan bahan yang tepat, uji tuberkulin
sangat berguna untuk memperkirakan prevalensi TB paru dimasyarakat. Uji
tuberkulin merupakan pemeriksaan immunologik yang mengukur imunitas seluler.
Uji tuberkulin merupakan metode primer untuk mengetahui seseorang
terinfeksi TB paru dan mereka merupakan pemeriksaan yang paling cepat , murah,
aman dan dapat dipercaya. Penunjang diagnostik paling penting untuk diagnosis dini
TB paru pada bayi dan anak dan kadang-kadang merupakan satu bukti adanya
infeksi TB paru. Tuberkulin positif menunjukkan bahwa seseorang sedang atau
pernah mengalami infeksi oleh MTB, Mycobacterium bovis, atau Mycobacteium
lainnya, serta pernah mendapat vaksin BCG.
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
26
Tabel 1. Kategori pengobatan TB paru menurut WHO : (Aditama, TY,2005)
Kategori
Pasien TB
Pengobatan TB
I
Kasus baru TB paru BTA (+)
Kasus baru TB paru BTA ( - ) dengan
kerusakan parenkim yang luas
Kasus baru dengan kerusakan yang
berat pada TB ekstra pulmoner
II
TB paru BTA (+) dengan riwayat
pengobatan sebelumnya:
-kambuh
-kegagalan pengobatan
-pengobatan tidak selesai
III
Kasus baru TB paru dengan BTA (-)
(diluar kategori I)
Kasus baru yang berat dengan TB
ekstra pulmoner
IV
Kasus kronis ( sputum BTA tetap
positif, setelah pengobatan ulang)
Alternatif Panduan
Pengobatan TB
2 RHZE
4 R3H3
4 RH
6 HE
2 RHZES
+
1RHZE
5 R3H3E3
5 RHE
2 RHZ
4 R3H3
4 HR
6 HE
Rujuk ke dokter
spesialis
4. Ciri-Ciri Mycobacterium tuberculosis (MTB)
Mycobacterium tuberculosis (MTB) adalah kuman obligat aerob, berbentuk
batang, yang tidak membentuk spora. Walaupun tidak mudah diwarnai, jika telah
diwarnai kuman ini tahan penghilangan warna (dekolorisasi) oleh asam atau alkohol
dan karena itu dinamakan basil tahan asam . Pada proses pertumbuhannya kuman
ini mendapat energi dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana. Kenaikan
tekanan CO2 meningkatkan pertumbuhan. Aktivitas biokimianya tidak khas, dan
laju pertumbuhannya lebih lambat daripada kebanyakan kuman lain .Waktu
penggandaan basil tuberkel adalah sekitar 18 jam. Bentuk saprofit cenderung
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
27
tumbuh lebih cepat, berkembang biak dengan baik pada suhu 22 – 23° C,
menghasilkan banyak pigmen, dan kurang tahan asam dari pada bentuk yang
patogen. MTB menyebabkan tuberkulosis dan merupakan patogen yang sangat
penting bagi manusia. Terdapat lebih dari 50 spesies Mikobakterium, antara lain
banyak yang merupakan saprofit (Brooks, 2001).
Kuman ini panjangnya satu sampai 4 µ, lebarnya 0,3 sampai 0,6 µ. Kuman
ini akan tumbuh optimal pada suhu sekitar 37 derajat Celcius dengan tingkat pH
optimal pada 6,4 sampai 7,0. Kuman tuberkulosis terdiri dari lemak dan protein.
Lemak merupakan komponen lebih dari 30 % berat dinding kuman, dan terdiri dari
asam stearat, asam mikolat, sulfolipid serta cord factor, sementara komponen
protein utamanya adalah tuberkuloprotein (tuberculin) (Aditama, TY. 2000).
Mycobacteria cenderung lebih resisten terhadap factor kimia daripada bakteri
yang lain karena sifat hidrofobik permukaan selnya dan pertumbuhannya yang
bergerombol juga resisten terhadap pengeringan dan dapat hidup lama dalam dahak
yang kering, dalam ruangan, selimut dan kain yang ada di kamar tidur, namun
kuman ini juga sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultra violet
( Brooks, 2001).
Patogenesis
MTB dibedakan dari sebagian besar bakteri dan mikobakteria lainnya
karena bersifat patogen dan dapat berkembang biak dalam sel fagosit hewan dan
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
28
manusia. Pertumbuhan MTB relatif lambat dibandingkan mikobakteria lainnya.
Mikobakteria tidak menghasilkan endotoksin maupun eksotoksin. Bagian selubung
MTB mempunyai sifat pertahanan khusus terhadap proses mikobakterisidal sel
hospes. Dinding sel yang kaya lipid akan melindungi mikobakteria dari proses
fagolisosom, hal ini dapat menerangkan mengapa mikobakteria dapat hidup pada
makrofag normal yang tidak teraktivasi (Handayani , 2002).
Organisme dalam droplet sebesar 1-5 µm terhirup dan mencapai alveoli.
Organisme yang virulen akan menetap dan berkembang biak serta berinteraksi
dengan manusia sehingga menimbulkan penyakit. Basil yang tidak virulen yang
disuntikkan (misalnya BCG) hanya dapat hidup selama beberapa bulan atau
beberapa tahun pada manusia normal. Resistensi dan hipersensitivitas sangat
mempengaruhi perjalanan penyakit (Brooks , 2001).
Jalan masuk awal bagi basil tuberkel kedalam paru atau tempat lainnya pada
individu yang sebelumnya sehat menimbulkan respons peradangan akut nonspesifik
yang jarang diperhatikan dan biasanya disertai dengan sedikit atau sama sekali tanpa
gejala. Basil kemudian ditelan oleh makrofag dan diangkut kekelenjar limfe
regional. Bila penyebaran organisme tidak terjadi pada tingkat kelenjar limfe
regional, lalu basil tuberkel mencapai aliran darah dan terjadi diseminata yang luas.
Kebanyakan lesi tuberkulosis diseminata menyembuh sebagaimana lesi paru primer,
walaupun tetap ada fokus potensial untuk reaktivasi selanjutnya. Diseminasi dapat
mengakibatkan tuberkulosis meningeal atau milliaris, yaitu penyakit dengan
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
29
potensial terjadinya morbiditas dan mortalitas terutama pada bayi dan anak kecil
( Leitch AG. 2000, Handayani 2002 ).
Selama 2 hingga 8 minggu setelah infeksi primer, saat basilus terus
berkembang biak di lingkungan intraselulernya, timbul hipersensitivitas pada
pejamu yang terinfeksi. Limfosit yang aktif secara imunologik memasuki daerah
infeksi, disitu limfosit menguraikan faktor kemotaktik, interleukin dan limfokin.
Sebagai responsnya, monosit masuk ke daerah tersebut dan mengalami perubahan
bentuk menjadi makrofag dan selanjutnya menjadi sel histiosit yang khusus, yang
tersusun menjadi granuloma. Mikobakteria dapat bertahan dalam makrofag selama
bertahun-tahun walaupun terjadi peningkatan pembentukan lisozim dalam sel ini,
namun multiplikasi dan penyebaran selanjutnya biasanya terbatas. Kemudian terjadi
penyembuhan, seringkali dengan kalsifikasi granuloma yang lambat yang kadangkadang meninggalkan lesi sisa yang tampak pada foto rontgen paru. Kombinasi lesi
paru perifer terkalsifikasi dan kelenjar limfe hilus yang terkalsifikasi dikenal sebagai
kompleks Gohn (Isselbacher, 1999, Leitch 2000, Brooks ,2001).
5. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan darah rutin
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik untuk TB paru, pada proses
aktif sering laju endapan darah meningkat tetapi laju endapan darah normal juga
tidak menyingkirkan tuberkulosis (Aditama, TY., 2005).
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
30
2.Pemeriksaan bakteriologis
a.Pemeriksaan mikroskopis
Pada pemeriksaan ini spesimen dapat diperoleh dari dahak, cairan lambung,
biopsi jaringan, cairan pleura, cairan serebro spinalis, pus, abses, urine, apusan
tenggorok. Sampai saat ini penemuan basil tahan asam (BTA) tetap merupakan salah
satu pilihan utama untuk mendiagnosis tuberkulosis paru. Harus diketahui bahwa
untuk mendapatkan BTA (+) dibawah mikroskop diperlukan jumlah kuman sekitar
5000 kuman / ml dahak (Aditama , 2005).
Cara pengumpulan dahak dibutuhkan tiga spesimen yang dilakukan dengan
prinsip sewaktu-pagi –sewaktu yaitu :
Sewaktu
-kumpulkan spesimen pertama pada saat penderita berkunjung keklinik
-beri pot dahak pada saat penderita pulang untuk keperluan pengumpulan
dahak pada pagi hari berikutnya
Pagi
-Penderita mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua segera setelah bangun
tidur
dan dibawa ke klinik
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
31
Sewaktu
-kumpulkan spesimen ketiga diklinik pada saat penderita kembali ke klinik
pada
hari kedua dengan membawa dahak pagi (Lumb , 2004).
Tehnik pewarnaan
yang dipakai adalah metode Ziehl-Neelsen dengan
mempergunakan mikroskop biasa untuk melihat adanya kuman BTA
( Brooks 2001, Lumb 2004,Aditama ,2005).
Pembacaan hasil :
Pembacaan
hasil
pemeriksaan
sediaan
dahak
dilakukan
dengan
menggunakan skala IUATLD (International Union Againts Tuberculosis Lung
Diseases) sebagai berikut :
1) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.
2) Ditemukan 10–99 BTA
dalam
100 lapang pandang, disebut
+ (1 +).
3) Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2 +),
minimal dibaca 50 lapang pandang.
4)
Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ ( 3 +),
minimal dibaca 20 lapang pandang.
Catatan :
Bila ditemukan 1 – 3 BTA dalam 100 lapang pandang, pemeriksaan
harus diulang dengan spesimen dahak yang baru. Bila hasilnya tetap
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
32
1-3 BTA, hasilnya dilaporkan negatif. Bila ditemukan 4 – 9 BTA,
dilaporkan positif (Depkes RI 2002, Lumb , 2004).
b. Pemeriksaan mikroskopis fluorescens :
Penggunaan mikroskop fluorescens dengan pewarnaan auramin-rodamin
hasil lebih sensitif dibandingkan pewarnaan tahan asam ( Brooks , 2001).
c. Biakan kuman :
Untuk mendapatkan biakan / kultur dibutuhkan jumlah sekitar 50 – 100
kuman / ml dahak. Cara ini diperlukan untuk mendapatkan diagnosis pasti
tuberkulosis. Media yang dipergunakan dapat berupa media Lowenstein Jensen,
Kudoh dan atau Ogawa. Dengan berbagai teknik baku maka dapat dideteksi adanya
MTB, dan juga Mikobakterium other than tuberkulosis ( MOTT) ( Brooks
2001,
Aditama 2005).
Tehnik lain yang juga sudah banyak dipakai adalah ”BACTEC” (Becton
Dickinson Diagnostic Instrumen System). Dasar pemeriksaan ini adalah radiometrik.
MTB memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang
kemudian akan dideteksi growth index oleh mesin ini (Aditama, TY., 2005).
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
33
5. Pemeriksaan Serologi /Imunologi :
* Uji Tuberkulin
Di Indonesia, pada saat ini, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam
menentukan diagnosis TB paru pada orang dewasa, sebab sebagian besar
masyarakat sudah terinfeksi dengan MTB karena tingginya prevalensi TB paru.
Suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah
terpapar dengan MTB. Dilain fihak, hasil uji tuberkulin dapat negatif meskipun
orang tersebut menderita TB paru, misalnya pada penderita HIV / AIDS, malnutrisi
berat, TBC milier dan morbili ( Depkes RI 2002).
* PCR (Polymerase Chain Reaction )
Prinsip utama teknik ini adalah deteksi DNA kuman, setelah dilakukan
proses dalam berbagai tahap sehingga deteksi dapat lebih mudah dilakukan .
Tehnik ini spesifik, sensitif dan cepat namun pelaksanaannya harus
dikerjakan dilaboratorium yang baik dan biayanya mahal ( Leitch AG,2000).
* RFLP ( Restrictive Fragment Length Polymorphism )
Tehnik ini dikenal sebagai tehnik finger printing atau identifikasi “sidik
Jari” dan kini dikembangkan secara luas. Dengan tehnik ini bisa dibedakan antar
spesies Mikobakterium (Aditama, TY. 2005) .
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
34
*ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
Merupakan salah satu tes serologi yang cukup baik yang dapat mendeteksi
respons humoral berupa proses antigen antibodi. Penggunaan antibodi monoklonal
ternyata dapat membantu dan kini antara lain tengah dikembangkan antigen 38 kilo
dalton pada diagnosis tuberkulosis paru (Yani , 2005).
*MYCODOT
Adalah suatu tes lain yang mendeteksi antibodi antimikobakterial didalam
tubuh manusia. Tes ini menggunakan Antigen Llipoarabinomanan (LAM) yang
direkatkan pada suatu alat berbentuk seperti sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian
dicelupkan kedalam serum penderita , dan bila didalam serum itu ada antibodi
spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai, yang sesuai dengan aktifitas
penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir itu yang dapat dideteksi
dengan mudah (Aditama, TY. 2005).
*Tes PAP (Peroksidase anti peroksidase)
Suatu uji serologis untuk menentukan adanya Ig G spesifik terhadap MTB
secara immunostaining dengan menggunakan metode peroksidase anti peroksidase
.Uji serologik ini dapat membantu menegakkan diagnosa TB paru aktif serta
memantau hasil terapi dan mendeteksi adanya kekambuhan ( Handoyo , 1993).
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
35
6. Diabetes Mellitus (DM)
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah
akibat kelainan sekresi insulin dan gangguan kerja insulin. (Konsensus PERKENI
2006)
Faktor yang mempengaruhi mudah timbulnya TB paru pada penderita DM
ialah umur penderita , lama dan keparahan menderita dan gizi dibawah normal.
(Bahri, dkk. 2003). Penelitian oleh Soeroso, L. (2004), pasien tuberkulosis dengan
DM menurut distribusi umur: laki-laki dibawah 40 tahun 1 orang dan diatas 40
tahun 42 orang, perempuan diatas 40 tahun 9 orang.
Gangguan pertahanan tubuh terhadap infeksi pada penderita DM terjadi
akibat menurunnya respon biologik dan berkaitan dengan kurangnya penyediaan
energi seluler dengan manifestasi terhambatnya khemotaksis, fagositosis dan
mycrobacteriocidal dari lekosit PMN (Darmono, 2000)
Penderita dengan BTA tetap positif pasca pengobatan pada bulan ketiga
membutuhkan kaji ulang faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi
kegagalan pengobatan tersebut salah satunya DM sebagai penyakit penyerta
(komorbid) (Margono, B.P. 1996).
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
36
Kriteria diagnosis DM
Gejala klasik DM + glukosa swaktu ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/l) atau gajala
klasik DM + KGD puasa ≥ 126 mg/dl (7.0 mmol/L) atau KGD 2 jam pada TTGO ≥
200 mg/dl (11.1 mmol/L) (Konsensus Perkeni 2006).
American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan untuk rata-rata
glukosa darah puasa 5,0-7,2 mmol/l (90-130 mg/dl) dan rata-rata sebelum tidur
malam 6,1-8,3 mmol/l (110-150 mg/dl). Hasil Diabetes Control and Complications
(DCCT) rata-rata glukosa darah puasa dan sebelum tidur malam 8,7-9,2 mmol/l
(157-166 mg/dl) dan hasil ini secara konsisten mencapai tingkat HbA 1C < 7 %
(Rohlfling, C.L.2002).
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
37
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai Nopember 2006 sampai dengan Oktober
2007. Tempat penelitian di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Sumatera
Utara dan Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) kecamatan Medan Brayan.
2. Bahan
Bahan sputum penderita TB paru kategori I yang belum mendapat
pengobatan OAT, berusia 15-65 tahun. Penderita DM dengan gejala klinis : poliuria,
polidipsi, polifagi, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya dan pemeriksaan rata-rata plasma glukosa (sebelum makan, 2 jam
sesudah makan dan sebelum tidur malam) (Rohlfling, C.L et al. 2002). Penderita
yang diteliti pada penelitian ini berjumlah lebih kurang 42 orang.
3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi eksperimental. Penderita TB paru BTA (+)
dengan DM yaitu dari hasil pemeriksaan sediaan langsung BTA, gejala DM dan
hasil pemeriksaan kadar gula darah puasa dan kadar gula darah 2 jam post prandial.
(Konsensus Perkeni, 2006)
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
38
4. Cara Kerja
Setelah minggu ke 4 setiap penderita TB parudiperiksa KGD puasa dan
KGD sebelum tidur malam masing-masing 3 kali pengambilan dengan jarak waktu
3 hari kemudian dihitung rata-ratanya. Dari hasil tersebut diatas penderita TB paru
dengan DM menjadi 2 kelompok pengamatan yaitu TB paru dengan DM terkontrol
dan TB paru dengan DM tidak terkontrol.
Bahan sputum yang segar didapat dari pasien dengan cara dibatukkan,
kemudian ditampung pada pot steril dengan metode pengumpulan tiga waktu secara
SPS (sewaktu pagi sewaktu).
Bahan sputum dilakukan fiksasi kemudian dilakukan pewarnaan menurut
metode Ziehl-Neelsen (Depkes, 2002)
Untuk setiap pulasan diperiksa sekurang-kurangnya 100 lapangan besar (cara
pemeriksaan International Union Againts Tuberculosis (IUAT) dan setiap 100
lapangan besar yang diperiksa dilaporkan negatif kita harus menggunakan waktu
kurang lebih 5 menit untuk membaca sediaan yang negatif. Bila terlihat BTA
tampak merah berbentuk batang yang ramping, kadang-kadang dengan satu atau
lebih granul. BTA dapat dilihat sendiri-sendiri, membentuk huruf V atau
berkelompok. (Tjandra YA et al. 2002, Lumb R et al. 2004,).
Setiap Penderita sputum BTA (+) kemudian diambil darah vena, langsung
diperiksa kadar gula darah puasa dan kadar gula darah 2 jam post prandial. Bila
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
39
KGD puasa > 126 mg mg/dl dan KGD 2 jam post prandial ≥ 200 mg/dl didiagnosa
penderita DM (Konsesnsus Perkeni, 2006)
Pada akhir terapi intensif, sputum dari masing-masing penderita TB paru
dengan DM terkontrol dan TB paru dengan DM tidak terkontrol kembali dilakukan
pemeriksaan sediaan langsung BTA.
5. Definisi operasional
Subjek penelitian adalah penderita TB paru BTA positif dengan DM yang
datang berobat ke BP4 Medan dan UPK Kecamatan Medan Brayan yang dibagi
dalam dua kelompok yaitu TB paru dengan DM terkontrol bila sediaan langsung
BTA positif dan KGD puasa dan KGD sebelum tidur malam 8,7-9,2 mmol/l (157166 mg/dl) dan TB paru dengan DM tidak terkontrol bila sediaan langsung BTA
positif, KGD puasa dan KGD sebelum tidur malam > 8,7-9,2 mmol/l (>157-166
mg/dl).
6. Variabel yang diamati
a. Variabel tidak bebas : BTA
b. Variabel bebas
: kadar gula darah, usia, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
40
8. Kriteria Inklusi
a. Usia 15 tahun atau lebih meliputi laki-laki dan perempuan
b. Didiagnosa sebagai pasien TB paru dengan hasil sputum BTA (+)
c. Belum pernah mendapat pengobatan TB paru (OAT)
d. Pasien DM dengan gejala Klinis DM, kadar gula darah puasa > 126 mg/dl
dan KGD 2 jam post prandial ≥ 200 mg/dl
e. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini dengan menandatangani formulir
persetujuan penderita
9. Kriteria Eksklusi
a. Penderita yang memakai obat kortikosteroid dalam jangka lama
b. Penderita AIDS/HIV dengan anamnese yang ketat
c. Hamil
d. Menunjukkan keadaan umum yang sangat kurang
e. Mengundurkan
f. diri dari penelitian
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
41
10. Perkiraan Besar Sample (Madiyono, 1995)
Z .PQ
n = ----------d
dimana: Z = nilai baku normal table Z yang besarnya tergantung pada besarnya
= 0,05
Z
= 1,96
P = proporsi penderita Tb paru dengan DM
Q = (1- P) =59,6%
D = presisi =15%
Dari hasil perhitungan besarnya sample masing-masing kelompok : 40,6 orang,
dibulatkan menjadi 41 orang
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
42
OAT
kategori I
Sedian
hapus BTA
3x (SPS)
OHO
TB paru + DM
KGD puasa
dan 2 jam Post
Prandial
DM terkontrol
dan DM tidak
terkontrol
Konversi
sputum BTA
minggu ke 8
Rata-rata kadar
KGD puasa dan
sebelum tidur
malam
Gambar1. Kerangka Operasional
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
43
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian
Didapatkan sampel sebanyak 46 orang yang menuhi kriteria penelitian,
diantaranya sebanyak 35 orang (76,1% ) orang penderita TB paru dengan DM
terkontrol dan 11 orang (23,9% ) orang TB paru dengan DM tidak terkontrol.
Tabel 2. Karakteristik Sampel
No.
1.
2.
3.
4.
KARAKTERISTIK
Umur (Tahun): 15-25
26-35
36-45
46-55
56-65
Kelamin: Laki-laki
Perempuan
Tkt Pendidikan : SD
SMP
SMA
Pekerjaan: tdk Bekerja
Wiraswasta
Petani
KELOMPOK
TB + DM
Terkontrol
1 (2,7%)
6 (17,1%)
17 (48,6%)
11 (31,4%)
23 ( 65,7%)
12 ( 34,3%)
11 (31,4%)
13 (37,1%)
11 (31,4%)
13 (37,1%)
9 (25,7%)
13 (37,1%)
TB + DM
Tidak Terkontrol
1 (9,1%)
6 (54,6%)
4 (36,4%)
6 (54,5%)
5 (45,5%)
4 (36,4%)
1 (9,1%)
6 (54,5%)
4 (36,4%)
3 (27,3%)
4 (45,5%)
Umur penderita TB paru dengan DM terkontrol yang paling banyak adalah
diatas 45 tahun (89%) dan TB paru den
KONVERSI BTA PADA PENDERITA TB PARU KATEGORI I
YANG MENDAPAT TERAPI INTENSIF
DENGAN DIABETES MELLITUS TERKONTROL
DAN DIABETES MELLITUS TIDAK TERKONTROL
TESIS
Oleh
INDRA JANIS
047027004/KT
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
2
KONVERSI BTA PADA PENDERITA TB PARU KATEGORI I
YANG MENDAPAT TERAPI INTENSIF
DENGAN DIABETES MELLITUS TERKONTROL
DAN DIABETES MELLITUS TIDAK TERKONTROL
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Kedokteran Tropis dalam Program
Studi Ilmu Kedokteran Tropis pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
INDRA JANIS
047027004/KT
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
3
Judul Tesis
: KONVERSI BTA PADA PENDERITA TB PARU
KATEGORI I YANG MENDAPAT TERAPI INTENSIF
DENGAN DIABETES MELLITUS TERKONTROL
DAN DIABETES TIDAK TERKONTROL
N a m a Mahasiswa : Indra Janis
Nomor Pokok
: 047027004
Program Studi
: Ilmu Kedokteran Tropis
Menyetujui
Komisi Pembimbing,
(Prof.dr.H.Tamsil Syafiuddin, SpP (K))
Ketua
(dr. R. Lia Kusumawati,MS, Sp.MK)
Anggota
Ketua Program Studi,
(Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H,
MSc)
MSc (CTM), Sp.A (K))
(Drs.H.Abdul Jalil,A.A.M.kes)
Anggota
Direktur,
(Prof.Dr.Ir. T. Chairun Nisa B,
Tanggal Lulus : 24 Januari 2008
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
4
Telah diuji pada
Tanggal
: 24 Januari 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA
: Prof.dr. H. Tamsil Syafiuddin, Sp.P (K).
ANGGOTA
: 1. dr. R. Lia Kusumawati, MS, SpMK.
2. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes.
3. dr. H. Zainuddin Amir, Sp.P (K).
4. dr. Dharma Lindarto, Sp.PD, KEMD.
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
5
ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) paru merupakan masalah kesehatan yang besar di
Indonesia. Indonesia mencapai urutan ketiga dalam jumlah kasus TB paru sesudah
Cina dan India dengan perkiraan 583.000 kasus baru/tahun dengan angka kematian
sekitar 140.000 penderita.
Beberapa masalah dapat terjadi pada pengobatan TB paru. Salah satu dari
penyakit adalah DM sebagai salah satu penyakit penyerta. Pada peduduk di atas 15
tahun dan apabila didasarkan pravalensi 1,5 % maka jumlah minimal penderita DM
di Indonesia pada tahun 2000 diperkirakan 4 juta dan pada tahun 2010 sebanyak 5
juta penderita. Morbiditas infeksi paling sering dialami oleh penderita DM akibat
kerentanan terhadap infeksi.
Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan konversi BTA pada penderita TB
paru dengan DM terkontrol dan DM tidak terkontrol.
Penelitian ini bersifat studi eksperimental. Bahan sputum penderita diambil dengan
cara dibatukkan kemudian diperiksa 3 kali (SPS) dengan pewarnaan Ziehl Neelsen
yaitu pada awal penelitian dan minggu ke 8 (terapi fase intensif).
Penderita yang telah didiagnosa dengan TB paru , kemudian dilakukan
pemeriksaan KGD puasa dan KGD post prandial bila penderita dijumpai gejala
klinis DM. Nilai KGD post prandial >= 200 mg/dl penderita diagnosa dengan DM.
Untuk membedakan penderita DM terkontrol dan tidak terkontrol diambil ratarata pemeriksaan KGD puasa dan KGD bed time. DM terkontrol bila hasil KGD
puasa 5,0-7,2 mmol/l (90-130 mg/dl), dan rata-rata KGD Bed Time 6,1-8,3 mmol/l
(110-150 mg/dl) hasil ini secara konsisten mencapai tingkat HbA 1C < 7 mg %.
Dari hasil penelitian ini didapat sebanyak 46 orang yang memenuhi kriteria
penelitian, 35 orang (76,1%) TB paru dengan DM terkontrol dan 11 orang (23,9%)
TB paru dengan DM tidak terkontrol.
Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok TB paru dengan DM terkontroldan
TB paru dengan DM tidak terkontrol dalam hal terjadinya konversii dari
pemeriksaan BTA awal dengan pemeriksaan BTA minggu ke 8 (terakhir) l (p
=200 mg/dl diagnose of patient with DM.To
disnguish the patient with controlled and uncontrolled DM by taking the average of
KGD fasting and bed time KGD. DM controlled if the result of fasting KGD 5,0-7,2
mmol/l (90-130 mg/dl) and the average Bed Time KGD 6.1-8.3 mmol/l (110-150
mg/dl). This result is consisten reach the level Hba 1C , 7 mg%.
The result is from 46 samples which fulfill the research criteria, 35 patient
s(76,1%) lung TB with controlled DM and 11 patients (23,9%) lung TB with
uncontrolled DM.
There is difference meaning of conversion acid fast bacilli in beginning and 8th
week of acid fast bacilli (the last) in lung TB with controlled and uncontrolled DM
(p < 0,05)
Key word: Lung TB, DM, Conversion BTA
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
7
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat taufiq
serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini, yang merupakan
salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan porgram Pasca Sarjana Magister Ilmu
Kedokteran Tropis Universitas Sumatera Utara, Medan.
Dengan selesainya penulisan tesis ini,
perkenankanlah penulis untuk
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
Rektor Universitas Islam Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Pasca Sarjana
Magister Ilmu Kedokteran Tropis Universitas Sumatera Utara.
Pimpinan Harian Yayasan Universitas Islam Sumatera Utara, atas
diberikannya beasiswa Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Kedokteran Tropis
Universitas Sumatera Utara.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, atas
kesempatan untuk mengikuti Program Pasca Sarjana Ilmu Kedokteran Tropis
Universitas Sumatera Utara.
Kepala Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera
Utara, yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti Program Pasca Sarjana
Magister Ilmu Kedokteran Tropis di Universitas Sumatera Utara.
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
8
Prof. Dr. H. Azhar Tanjung, Sp.PD (K), KP-KAI, Sp.MK, yang telah memberi
rekomendasi mengikuti Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Kedokteran Tropis
Universitas Sumatera Utara.
Ketua Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis, Prof. DR. Dr. H.
Syahril Pasaribu, DTM&H, MSC (CTM), Sp.A (K) beserta jajarannya, atas
kesempatan, bimbingan serta petunjuk selama penulis menjadi mahasiswa Program
Pasca Sarjana Magister Ilmu Kedokteran Tropis Universitas Sumatera Utara.
Kepala BP4 (balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru ) Medan, Dr. Adlan L.
Sitompul, SpP dan Kepala UPK kecamatan Medan Brayan, Dr.H. Zainuddin Amir,
Sp.P (K), yang telah mengizinkan penulis untuk dapat meneliti, sehingga penulis
dapat menyelesaikan Program Pasca Sarjana Magister Kedokteran Tropis.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan
kepada Prof. Dr. H. Tamsil Syaifuddin, Sp.P (K), dr. R. Lia Kusumawati, MS,
Sp.MK, Drs. H. A. Abdul Jalil Amri Amra, M.kes sebagai komisi pembimbing dan
dr. H. Zainuddin Amir, Sp.P (K) dan dr. Dharma Lindarto, Sp.PD. KEMD , sebagai
komisi pembanding yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dari mulai
hingga selesai pembuatan tesis.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan peserta
Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Kedokteran Tropis Universitas Islam
Sumatera Utara, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu
mengikuti mulai dari seminar proposal sampai seminar hasil.
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
9
Kepada Papa Let.Kol.Pol. (Pur). Janis Rahim dan Mama Dahlia yang selalu
melimpahku dengan penuh kasih sayang dan selalu mendo’akan untuk diberi
kekuatan dan kesabaran dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhirnya kepada istriku yang tercinta dr. Ani Ariati dan ketiga putra-putriku
yang tersayang Rizky Permata Indra, Ridho Kurnia Indra dan Ridha Mutiara Indra,
yang telah memberikan semangat dan dorongan serta do’a untuk dapat
menyelesaikan Program Pasca Sarjana Magister Kedokteran Tropis di Universitas
Sumatera Utara Medan.
Berkat Ridho dan Rahmat Allah SWT, tesis penulis ini selesai dan semoga
apa yang penulis dapat dari hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Medan,
Wassalam,
Penulis
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
10
RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS
Nama
: Indra Janis
Tempat Lahir
: Padang
Tanggal Lahir
: 18 Nopember 1959
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Dosen Fakultas Kedokteran UISU
Alamat
: Jl. Anyelir I, No42/07, Helvetia Medan
KELUARGA
Ayah
: Let.kol. Pol. (Pur). Janis Rahim
Ibu
: Dahlia
Istri
: dr. Ani Ariati
Anak
: 1. Rizky Permata Indra
2. Ridho Kurnia Indra
3. Ridha Mutiara indra
PENDIDIKAN
SD Bhayangkari
Medan
Tamat Tahun 1972
SMP Fatima
Sibolga
Tamat Tahun 1975
SMA Khatolik
Sibolga
Tamat Tahun 1979
Fakultas Kedokteran UISU
Medan
Tamat Tahun 1988
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
11
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK
.................................……………………………………………….. i
ABSTRACT
......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR
........................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP
.................................................................................... vi
DAFTAR ISI
.......................................................................................... vii
DAFTAR TABEL
.............................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR
............................................................................................x
DAFTAR SINGKATAN ......................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................................xiii
BAB I. PENDAHULUAN
……………..............………...………………… 1
1. Latar Belakang
.......……………….............…........…………… . 1
2. Perumusan Masalah
......…………………………………………… 4
3. Tujuan Penelitian
………………………………………............. 5
3.1. Tujuan Umum
3.2. Tujuan Khusus
4. Manfaat Penelitian
.............................................................................. 5
......................................................................... ..5
............................................................................ 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................6
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
12
BAB III. METODE PENELITIAN ......................................................................... 20
1. Tempat dan Waktu Penelitian
2. Bahan
................................................................ 20
.......................................................................... 20
3. Rancangan Penelitian
......................................................................... 20
4. Cara Kerja
………………………………………........
21
5. Definisi Operasional
........................................................................ 22
6. Variabel yang diamati
........................................................................ 22
8. Kriteria Inklusi
…………………………………………….......23
9. Kriteria Ekslusi
…………………………………………... . 23
10. Perkiraan Besarnya Sampel
.................................................................. 24
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
……………………………………..26
1. Hasil Penelitian
............................................... …………………........26
2. Pembahasan
....................................................... ........................... 29
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
.............................................................. 35
......................................................................................... .37
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
13
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
Judul
1.
Kategori pengobatan TB paru menurut WHO......................................... 9
2.
Karakteristik sample
3.
Karakteristik Gejala Klinis ................................................................... 27
4.
Diagnosa DM pada Penderita TB paru ................................................. 28
5.
Diagnoasa KGD TB paru dengan DM Terkontrol dan TB paru dengan
DM tidak terkontrol pada Minggu ke 8 (akhir) terapi Intensif .............28
6.
Konversi Awal dan Minggu ke 8 (akhir) ...............................................29
..........………………………………………… 26
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
14
DAFTAR GAMBAR
Nomor
1.
Judul
Halaman
Kerangka operasional ..........................................................................25
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
15
DAFTAR SINGKATAN
TB
Tuberkulosis
WHO
World International Organization
BTA
Basil Tahan Asam
RI
Republik Indonesia
MTB
Mycobacterium tuberculosis
DM
Diabetes mellitus
PMN
Polimorfonuklear lekosit
OAT
Obat Anti Tuberkulosis
LAM
Lipoarobinomannanan
BP4
Balai Penobatan Penyakit Paru-Paru
UPK
Unit Pelayanan Kesehatan
AIDS
Acquaired Imunodeficiency Virus
HIV
Human Imunodeficiency Virus
IUAT
International Union Againts Tuberculosis
SPSS
Statistical Program for Social Science
OHO
Obat hypoglikemi oral
BCG
Bacillus Calmette Guerin
IUATLD
Diseases
International Union Againts Tuberculosis Lung
MOTT
Mycobacterium other than tuberculosis
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
16
BATEC
Becton Dickinson Diagnostic Instrumen System
PCR
Polymerase Chain Reaction
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
17
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
Judul
1.
Cara Pewarnaan Ziehl Neelsen ............................................................41
2.
Skala IUAT ..........................................................................................42
3.
Lembar Pertanyaan ..............................................................................43
4.
Formulir Pertanyaan............................................................................. 44
5.
Sampel Penderita TB paru dengan DM .............................................. 45
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
18
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tuberkulosis paru (TB paru) di Indonesia
masih merupakan masalah
kesehatan di Indonesia. Prevalensi TB paru di Indonesia diperkirakan antara 0,20,65% dari temuan survey pada 14 propinsi pada tahun 1983 dan tahun 1993
(Depkes 2006). Menurut laporan WHO, dengan jumlah penduduk 205 juta Indonesia
menempati urutan ke-tiga terbanyak dalam jumlah TB paru diantara 22 negara
dengan masalah TB paru terbesar di dunia. Di Indonesia penderita TB paru
diperkirakan 175 ribu orang meninggal setiap tahunnya atau 500 orang setiap
harinya. Setiap tahun 8.000.000 kasus baru TB paru bertambah di seluruh dunia.
WHO melalui kegiatan Global Surveillance and monitoring memperkirakan
insiden TB paru di Indonesia sebesar 583.000 kasus baru (untuk semua jenis
TB paru), dan 262.000 kasus baru dengan BTA (+) setiap tahunnya (Depkes 2006).
Survey kesehatan Rumah Tangga yang dikeluarkan Depkes RI tahun 2001
menyebabkan TB paru sebagai penyebab kematian nomor satu dari golongan
penyakit infeksi.
Di Sumatera Utara kasus baru TB paru meningkat 160/100.000 penduduk,
dengan penduduk Sumatera Utara 12 juta maka penderita TB paru di Sumatera
Utara ada 19000 orang (Sukarni, 2006). Selanjutnya penelitian yang diadakan tahun
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
19
1981 angka kesakitan TB paru untuk semua golongan umur di 12 propinsi di
Indonesia adalah sekitar 0,26%.
TB paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (MTB) yang
ditularkan melalui infeksi yang dapat menyerang semua organ tubuh, terutama paru.
TB paru merupakan infeksi oportunistik yang potensial untuk penderita diabetes
mellitus (DM), karena kondisi gangguan pertahanan imunitas akibat hiperglikemi
dan asidosis salah satunya adalah menghambat gerakan sel-sel fagosit kearah daerah
infeksi dan menekan aktifitas sel-sel tersebut yang terjadi pada penderita DM dan
mempermudah penyebaran infeksi perimer. Sebaliknya TB paru pada penderita DM
akan memperberat hiperglikemi dan terpacunya ketoasidosis (Darmono, 2000.
Kalim H et al. 2002)
Meningkatnya kemakmuran dan perubahan gaya hidup menyebabkan
meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif. Di Indonesia DM merupakan
masalah nasional, dimana penyakit ini dalam urutan nomor 4 dari penyakit
degeneratif. Tahun 2000 di Indonesia terdapat 4 juta penderita DM dan pada tahun
2010 diperkirakan jumlah penderita DM 5 juta penderita (Tjokroprawiro.A. 2001,
Soegondo, S. 2002)
Penderita DM mudah mengalami infeksi pada saluran nafas baik bagian atas
maupun bawah. Infeksi paru yang biasa dijumpai pada penderita DM adalah
pneumonia, tuberculosis, dan infeksi oleh fungi Coccidiodes immitis (Darmono.
2000)
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
20
Pasien TB paru yang dirawat dengan penyakit penyerta yang terbanyak
adalah DM 24,73% dari seluruh penyakit penyerta yang ada atau 6,47% dari seluruh
kasus TB paru yang dirawat (46/711) (Ermayanti S et al. 2004).
DM merupakan keadaan hiperglikemia kronik yang disebabkan oleh
kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya yang selalu
mengakibatkan komplikasi kronik pada organ tubuh (mata, ginjal, saraf, jantung dan
pembuluh darah) (Adam J.M.F, 2001). Infeksi TB paru dengan DM biasanya
disebabkan oleh reaktifasi fokus yang lama dari pada melalui kontak langsung.
Pada penderita DM terjadi “defective chemotaxis” sel-sel polimorfonuklear
lekosit (PMN), sehingga pada penderita tersebut daya tahan menurun yang
mengakibatkan lebih mudah terjadinya TB paru. Pada penderita usia tua kuman
dorman masih mampu untuk menyebabkan TB paru, jika terjadi daya tahan tubuh
yang rendah karena DM (Taufik ,Yunus, F. 1997)
Faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi
kesembuhan
TB
paru:
1). Sistemik; infeksi HIV, DM, “immunocompromised host” misalnya pada
pemberian steroid, 2). Lokal paru : kerusakan jaringan paru luas (destroyed lung),
kavitas berdinding tebal. (Rahajoe, N. 1996)
Prevalensi DM resiko yang berhubungan TB paru 25% dibandingkan
AIDS/HIV resiko berhubungan dengan TB paru 2% (Alfredo PL. 2004)
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
21
Tingginya kasus TB paru pada penderita DM (40,4%) karena Indonesia
merupakan negara endemik TB paru dan penyakit nomor satu dari golongan infeksi
(Zein, U et al. 2004)
Penderita TB paru pada penelitian ini diklasifikasikan berdasarkan kategori I
dan standard pengobatan OAT yaitu penderita TB paru kasus baru BTA (+), kasus
baru BTA (-), kerusakan parenkim yang luas dan TB ekstra paru berat (Agus, W.P.
et al. 2004, Aditama, TY. 2005).
Penelitian telah dilakukan untuk mengetahui gangguan dalam mekanisme
pertahanan tubuh penderita DM, yaitu ganguan utama tampak pada fungsi PMN,
yang lebih menonjol pada penderita DM dengan kontrol yang jelek (Coopan, 1985)
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh pengobatan
kategori I pada penderita TB paru dengan DM terkontrol dan TB paru dengan DM
tidak terkontrol terhadap konversi sputum BTA.
2. Perumusan Masalah
Meningkatnya jumlah penderita TB paru di Indonesia bukan hanya terjadi
akibat kegagalan terapi obat anti tuberkulosis (OAT) saja, namun ada beberapa
faktor yang mempengaruhi penyembuhan penderita TB paru salah satu diantaranya
adalah penyakit DM. Penderita DM akan meningkat sejalan dengan kemampuan dan
kemajuan masyarakat juga meningkat, dimana penderita TB paru ada disekitar
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
22
penderita DM. Jadi antara TB paru dan DM terjadi interaksi patogenik dua arah
yang membentuk prognosis penderita.
3. Tujuan Penelitian
3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui konversi BTA sputumTB paru pada penderita DM
terkontrol dengan DM tidak terkontrol setelah diberi terapi intensif kategori I.
3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik penderita TB paru dengan DM
2. Untuk melihat hasil konversi sputum BTA pada penderita TB paru dengan
DM terkontrol dan TB paru dengan DM tidak terkontrol
4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk melihat kemajuan terapi
OAT pada penderita TB paru dengan penyakit penyerta DM terkontrol dan DM
tidak terkontrol.
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tuberkulosis Paru (TB paru)
Tuberkulosis Paru (TB paru) adalah suatu penyakit yang menular yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis (MTB).
Penularan penyakit
biasanya melalui udara dengan inhalasi droplet nucleus yang mengandung basil
tuberkulosis berukuran 1-5
m yang dapat melewati atau menembus system
mukosillier saluran nafas, sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkhiolus
dan alveolus. Kuman TB paru menyebar dari seorang penderita TB paru terbuka
kepada orang lain. Penyakit yang ditimbulkan bersifat menahun, sebagian besar
mengenai organ paru dan bisa organ lain ditubuh selain paru, usia yang sering
terkena adalah usia produktif (15-40) tahun, sehingga dampak kerugian ekonomi
bagi kesehatan masyarakat cukup besar berupa menurunnya produktivitas dan
mahalnya pengobatan (Aditama, TY, 2005)
Kuman MTB hidup dan berkembang biak pada tekanan 02 sebesar 140 mm
H20 diparu dan dapat hidup diluar paru dalam lingkungan mikro aerofilik. Droplet
infeksius secara inhalasi masuk ke alveolus menimbulkan bronkopneumoniae non
spesifik yang merupakan fokus primer. Gejala klinis tidak ditemukan tetapi uji
tuberculin positif. Kuman MTB dari fokus primer memasuki kelenjar getah bening
regional, selanjutnya melalui aliran darah limfatik memasuki sirkulasi sistemik.
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
24
Sebesar 5% dari penderita TB paru perimer berkembang menjadi penyakit paru
progresif dengan gejala klinik dan radiologi sesuai TB paru. Penyebaran Limfo
hematogen mengakibatkan TB paru miller dan TB paru ekstra pulmonar. Sebagian
besar penderita infeksi TB paru primer sembuh dan berbentuk granuloma, keadaan
ini tergantung pada beberapa keadaan seperti jumlah kuman yang masuk sedikit dan
telah berbentuk daya tahan tubuh yang spesifik terhadap MTB (Dian K, 1999).
TB paru dibedakan atas TB paru primer dan TB paru post primer. Pada
TB
paru primer penyebaran hematogen kebagian tubuh lain dapat terjadi pada saat dini,
bahkan dapat terjadi sebelum timbulnya hipersensitivitas terhadap tuberkulin. TB
paru pasca primer prosesnya terbatas pada paru dan penyebarannya secara
bronkogen. Berdasarkan keadaan tersebut diatas TB paru primer merupakan suatu
penyakit yang berbahaya dan memerlukan pengenalan atau diagnosis sedini
mungkin. Sedangkan reaksi tubuh terhadap TB paru post primer dapat terjadi dalam
2 bentuk yaitu, pertama : peradangan endogen yaitu, berasal dari fokus lama
(dormant) didalam paru yang mengalami kekambuhan , kedua peradangan eksogen
yaitu karena infeksi paru yang berasal dari luar (Rossman MD. 1995).
Pada umumnya kasus TB paru dapat terdeteksi dari adanya keluhan utama
yaitu batuk yang lebih dari 3 minggu, dahak bercampur darah, batuk darah, sesak
nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa
kegiatan, demam meriang lebih dari 3 minggu. Oleh sebab itu setiap orang yang
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
25
datang ke unit pelayanan kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut diatas harus
dianggap sebagai seorang “suspek tuberkulosis” atau tersangka penderita TB paru,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung, dan
perlu diketahui bahwa pemeriksaan dahak jauh lebih dapat dipercaya daripada
pemeriksaan rontgen ( Crofton ,2002).
2. Uji Tuberkulin
Untuk mendeteksi adanya riwayat infeksi TB paru yaitu dengan melakukan
test tuberkulin. Dengan menggunakan teknik dan bahan yang tepat, uji tuberkulin
sangat berguna untuk memperkirakan prevalensi TB paru dimasyarakat. Uji
tuberkulin merupakan pemeriksaan immunologik yang mengukur imunitas seluler.
Uji tuberkulin merupakan metode primer untuk mengetahui seseorang
terinfeksi TB paru dan mereka merupakan pemeriksaan yang paling cepat , murah,
aman dan dapat dipercaya. Penunjang diagnostik paling penting untuk diagnosis dini
TB paru pada bayi dan anak dan kadang-kadang merupakan satu bukti adanya
infeksi TB paru. Tuberkulin positif menunjukkan bahwa seseorang sedang atau
pernah mengalami infeksi oleh MTB, Mycobacterium bovis, atau Mycobacteium
lainnya, serta pernah mendapat vaksin BCG.
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
26
Tabel 1. Kategori pengobatan TB paru menurut WHO : (Aditama, TY,2005)
Kategori
Pasien TB
Pengobatan TB
I
Kasus baru TB paru BTA (+)
Kasus baru TB paru BTA ( - ) dengan
kerusakan parenkim yang luas
Kasus baru dengan kerusakan yang
berat pada TB ekstra pulmoner
II
TB paru BTA (+) dengan riwayat
pengobatan sebelumnya:
-kambuh
-kegagalan pengobatan
-pengobatan tidak selesai
III
Kasus baru TB paru dengan BTA (-)
(diluar kategori I)
Kasus baru yang berat dengan TB
ekstra pulmoner
IV
Kasus kronis ( sputum BTA tetap
positif, setelah pengobatan ulang)
Alternatif Panduan
Pengobatan TB
2 RHZE
4 R3H3
4 RH
6 HE
2 RHZES
+
1RHZE
5 R3H3E3
5 RHE
2 RHZ
4 R3H3
4 HR
6 HE
Rujuk ke dokter
spesialis
4. Ciri-Ciri Mycobacterium tuberculosis (MTB)
Mycobacterium tuberculosis (MTB) adalah kuman obligat aerob, berbentuk
batang, yang tidak membentuk spora. Walaupun tidak mudah diwarnai, jika telah
diwarnai kuman ini tahan penghilangan warna (dekolorisasi) oleh asam atau alkohol
dan karena itu dinamakan basil tahan asam . Pada proses pertumbuhannya kuman
ini mendapat energi dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana. Kenaikan
tekanan CO2 meningkatkan pertumbuhan. Aktivitas biokimianya tidak khas, dan
laju pertumbuhannya lebih lambat daripada kebanyakan kuman lain .Waktu
penggandaan basil tuberkel adalah sekitar 18 jam. Bentuk saprofit cenderung
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
27
tumbuh lebih cepat, berkembang biak dengan baik pada suhu 22 – 23° C,
menghasilkan banyak pigmen, dan kurang tahan asam dari pada bentuk yang
patogen. MTB menyebabkan tuberkulosis dan merupakan patogen yang sangat
penting bagi manusia. Terdapat lebih dari 50 spesies Mikobakterium, antara lain
banyak yang merupakan saprofit (Brooks, 2001).
Kuman ini panjangnya satu sampai 4 µ, lebarnya 0,3 sampai 0,6 µ. Kuman
ini akan tumbuh optimal pada suhu sekitar 37 derajat Celcius dengan tingkat pH
optimal pada 6,4 sampai 7,0. Kuman tuberkulosis terdiri dari lemak dan protein.
Lemak merupakan komponen lebih dari 30 % berat dinding kuman, dan terdiri dari
asam stearat, asam mikolat, sulfolipid serta cord factor, sementara komponen
protein utamanya adalah tuberkuloprotein (tuberculin) (Aditama, TY. 2000).
Mycobacteria cenderung lebih resisten terhadap factor kimia daripada bakteri
yang lain karena sifat hidrofobik permukaan selnya dan pertumbuhannya yang
bergerombol juga resisten terhadap pengeringan dan dapat hidup lama dalam dahak
yang kering, dalam ruangan, selimut dan kain yang ada di kamar tidur, namun
kuman ini juga sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultra violet
( Brooks, 2001).
Patogenesis
MTB dibedakan dari sebagian besar bakteri dan mikobakteria lainnya
karena bersifat patogen dan dapat berkembang biak dalam sel fagosit hewan dan
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
28
manusia. Pertumbuhan MTB relatif lambat dibandingkan mikobakteria lainnya.
Mikobakteria tidak menghasilkan endotoksin maupun eksotoksin. Bagian selubung
MTB mempunyai sifat pertahanan khusus terhadap proses mikobakterisidal sel
hospes. Dinding sel yang kaya lipid akan melindungi mikobakteria dari proses
fagolisosom, hal ini dapat menerangkan mengapa mikobakteria dapat hidup pada
makrofag normal yang tidak teraktivasi (Handayani , 2002).
Organisme dalam droplet sebesar 1-5 µm terhirup dan mencapai alveoli.
Organisme yang virulen akan menetap dan berkembang biak serta berinteraksi
dengan manusia sehingga menimbulkan penyakit. Basil yang tidak virulen yang
disuntikkan (misalnya BCG) hanya dapat hidup selama beberapa bulan atau
beberapa tahun pada manusia normal. Resistensi dan hipersensitivitas sangat
mempengaruhi perjalanan penyakit (Brooks , 2001).
Jalan masuk awal bagi basil tuberkel kedalam paru atau tempat lainnya pada
individu yang sebelumnya sehat menimbulkan respons peradangan akut nonspesifik
yang jarang diperhatikan dan biasanya disertai dengan sedikit atau sama sekali tanpa
gejala. Basil kemudian ditelan oleh makrofag dan diangkut kekelenjar limfe
regional. Bila penyebaran organisme tidak terjadi pada tingkat kelenjar limfe
regional, lalu basil tuberkel mencapai aliran darah dan terjadi diseminata yang luas.
Kebanyakan lesi tuberkulosis diseminata menyembuh sebagaimana lesi paru primer,
walaupun tetap ada fokus potensial untuk reaktivasi selanjutnya. Diseminasi dapat
mengakibatkan tuberkulosis meningeal atau milliaris, yaitu penyakit dengan
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
29
potensial terjadinya morbiditas dan mortalitas terutama pada bayi dan anak kecil
( Leitch AG. 2000, Handayani 2002 ).
Selama 2 hingga 8 minggu setelah infeksi primer, saat basilus terus
berkembang biak di lingkungan intraselulernya, timbul hipersensitivitas pada
pejamu yang terinfeksi. Limfosit yang aktif secara imunologik memasuki daerah
infeksi, disitu limfosit menguraikan faktor kemotaktik, interleukin dan limfokin.
Sebagai responsnya, monosit masuk ke daerah tersebut dan mengalami perubahan
bentuk menjadi makrofag dan selanjutnya menjadi sel histiosit yang khusus, yang
tersusun menjadi granuloma. Mikobakteria dapat bertahan dalam makrofag selama
bertahun-tahun walaupun terjadi peningkatan pembentukan lisozim dalam sel ini,
namun multiplikasi dan penyebaran selanjutnya biasanya terbatas. Kemudian terjadi
penyembuhan, seringkali dengan kalsifikasi granuloma yang lambat yang kadangkadang meninggalkan lesi sisa yang tampak pada foto rontgen paru. Kombinasi lesi
paru perifer terkalsifikasi dan kelenjar limfe hilus yang terkalsifikasi dikenal sebagai
kompleks Gohn (Isselbacher, 1999, Leitch 2000, Brooks ,2001).
5. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan darah rutin
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik untuk TB paru, pada proses
aktif sering laju endapan darah meningkat tetapi laju endapan darah normal juga
tidak menyingkirkan tuberkulosis (Aditama, TY., 2005).
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
30
2.Pemeriksaan bakteriologis
a.Pemeriksaan mikroskopis
Pada pemeriksaan ini spesimen dapat diperoleh dari dahak, cairan lambung,
biopsi jaringan, cairan pleura, cairan serebro spinalis, pus, abses, urine, apusan
tenggorok. Sampai saat ini penemuan basil tahan asam (BTA) tetap merupakan salah
satu pilihan utama untuk mendiagnosis tuberkulosis paru. Harus diketahui bahwa
untuk mendapatkan BTA (+) dibawah mikroskop diperlukan jumlah kuman sekitar
5000 kuman / ml dahak (Aditama , 2005).
Cara pengumpulan dahak dibutuhkan tiga spesimen yang dilakukan dengan
prinsip sewaktu-pagi –sewaktu yaitu :
Sewaktu
-kumpulkan spesimen pertama pada saat penderita berkunjung keklinik
-beri pot dahak pada saat penderita pulang untuk keperluan pengumpulan
dahak pada pagi hari berikutnya
Pagi
-Penderita mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua segera setelah bangun
tidur
dan dibawa ke klinik
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
31
Sewaktu
-kumpulkan spesimen ketiga diklinik pada saat penderita kembali ke klinik
pada
hari kedua dengan membawa dahak pagi (Lumb , 2004).
Tehnik pewarnaan
yang dipakai adalah metode Ziehl-Neelsen dengan
mempergunakan mikroskop biasa untuk melihat adanya kuman BTA
( Brooks 2001, Lumb 2004,Aditama ,2005).
Pembacaan hasil :
Pembacaan
hasil
pemeriksaan
sediaan
dahak
dilakukan
dengan
menggunakan skala IUATLD (International Union Againts Tuberculosis Lung
Diseases) sebagai berikut :
1) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.
2) Ditemukan 10–99 BTA
dalam
100 lapang pandang, disebut
+ (1 +).
3) Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2 +),
minimal dibaca 50 lapang pandang.
4)
Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ ( 3 +),
minimal dibaca 20 lapang pandang.
Catatan :
Bila ditemukan 1 – 3 BTA dalam 100 lapang pandang, pemeriksaan
harus diulang dengan spesimen dahak yang baru. Bila hasilnya tetap
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
32
1-3 BTA, hasilnya dilaporkan negatif. Bila ditemukan 4 – 9 BTA,
dilaporkan positif (Depkes RI 2002, Lumb , 2004).
b. Pemeriksaan mikroskopis fluorescens :
Penggunaan mikroskop fluorescens dengan pewarnaan auramin-rodamin
hasil lebih sensitif dibandingkan pewarnaan tahan asam ( Brooks , 2001).
c. Biakan kuman :
Untuk mendapatkan biakan / kultur dibutuhkan jumlah sekitar 50 – 100
kuman / ml dahak. Cara ini diperlukan untuk mendapatkan diagnosis pasti
tuberkulosis. Media yang dipergunakan dapat berupa media Lowenstein Jensen,
Kudoh dan atau Ogawa. Dengan berbagai teknik baku maka dapat dideteksi adanya
MTB, dan juga Mikobakterium other than tuberkulosis ( MOTT) ( Brooks
2001,
Aditama 2005).
Tehnik lain yang juga sudah banyak dipakai adalah ”BACTEC” (Becton
Dickinson Diagnostic Instrumen System). Dasar pemeriksaan ini adalah radiometrik.
MTB memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang
kemudian akan dideteksi growth index oleh mesin ini (Aditama, TY., 2005).
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
33
5. Pemeriksaan Serologi /Imunologi :
* Uji Tuberkulin
Di Indonesia, pada saat ini, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam
menentukan diagnosis TB paru pada orang dewasa, sebab sebagian besar
masyarakat sudah terinfeksi dengan MTB karena tingginya prevalensi TB paru.
Suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah
terpapar dengan MTB. Dilain fihak, hasil uji tuberkulin dapat negatif meskipun
orang tersebut menderita TB paru, misalnya pada penderita HIV / AIDS, malnutrisi
berat, TBC milier dan morbili ( Depkes RI 2002).
* PCR (Polymerase Chain Reaction )
Prinsip utama teknik ini adalah deteksi DNA kuman, setelah dilakukan
proses dalam berbagai tahap sehingga deteksi dapat lebih mudah dilakukan .
Tehnik ini spesifik, sensitif dan cepat namun pelaksanaannya harus
dikerjakan dilaboratorium yang baik dan biayanya mahal ( Leitch AG,2000).
* RFLP ( Restrictive Fragment Length Polymorphism )
Tehnik ini dikenal sebagai tehnik finger printing atau identifikasi “sidik
Jari” dan kini dikembangkan secara luas. Dengan tehnik ini bisa dibedakan antar
spesies Mikobakterium (Aditama, TY. 2005) .
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
34
*ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
Merupakan salah satu tes serologi yang cukup baik yang dapat mendeteksi
respons humoral berupa proses antigen antibodi. Penggunaan antibodi monoklonal
ternyata dapat membantu dan kini antara lain tengah dikembangkan antigen 38 kilo
dalton pada diagnosis tuberkulosis paru (Yani , 2005).
*MYCODOT
Adalah suatu tes lain yang mendeteksi antibodi antimikobakterial didalam
tubuh manusia. Tes ini menggunakan Antigen Llipoarabinomanan (LAM) yang
direkatkan pada suatu alat berbentuk seperti sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian
dicelupkan kedalam serum penderita , dan bila didalam serum itu ada antibodi
spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai, yang sesuai dengan aktifitas
penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir itu yang dapat dideteksi
dengan mudah (Aditama, TY. 2005).
*Tes PAP (Peroksidase anti peroksidase)
Suatu uji serologis untuk menentukan adanya Ig G spesifik terhadap MTB
secara immunostaining dengan menggunakan metode peroksidase anti peroksidase
.Uji serologik ini dapat membantu menegakkan diagnosa TB paru aktif serta
memantau hasil terapi dan mendeteksi adanya kekambuhan ( Handoyo , 1993).
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
35
6. Diabetes Mellitus (DM)
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah
akibat kelainan sekresi insulin dan gangguan kerja insulin. (Konsensus PERKENI
2006)
Faktor yang mempengaruhi mudah timbulnya TB paru pada penderita DM
ialah umur penderita , lama dan keparahan menderita dan gizi dibawah normal.
(Bahri, dkk. 2003). Penelitian oleh Soeroso, L. (2004), pasien tuberkulosis dengan
DM menurut distribusi umur: laki-laki dibawah 40 tahun 1 orang dan diatas 40
tahun 42 orang, perempuan diatas 40 tahun 9 orang.
Gangguan pertahanan tubuh terhadap infeksi pada penderita DM terjadi
akibat menurunnya respon biologik dan berkaitan dengan kurangnya penyediaan
energi seluler dengan manifestasi terhambatnya khemotaksis, fagositosis dan
mycrobacteriocidal dari lekosit PMN (Darmono, 2000)
Penderita dengan BTA tetap positif pasca pengobatan pada bulan ketiga
membutuhkan kaji ulang faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi
kegagalan pengobatan tersebut salah satunya DM sebagai penyakit penyerta
(komorbid) (Margono, B.P. 1996).
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
36
Kriteria diagnosis DM
Gejala klasik DM + glukosa swaktu ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/l) atau gajala
klasik DM + KGD puasa ≥ 126 mg/dl (7.0 mmol/L) atau KGD 2 jam pada TTGO ≥
200 mg/dl (11.1 mmol/L) (Konsensus Perkeni 2006).
American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan untuk rata-rata
glukosa darah puasa 5,0-7,2 mmol/l (90-130 mg/dl) dan rata-rata sebelum tidur
malam 6,1-8,3 mmol/l (110-150 mg/dl). Hasil Diabetes Control and Complications
(DCCT) rata-rata glukosa darah puasa dan sebelum tidur malam 8,7-9,2 mmol/l
(157-166 mg/dl) dan hasil ini secara konsisten mencapai tingkat HbA 1C < 7 %
(Rohlfling, C.L.2002).
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
37
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai Nopember 2006 sampai dengan Oktober
2007. Tempat penelitian di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Sumatera
Utara dan Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) kecamatan Medan Brayan.
2. Bahan
Bahan sputum penderita TB paru kategori I yang belum mendapat
pengobatan OAT, berusia 15-65 tahun. Penderita DM dengan gejala klinis : poliuria,
polidipsi, polifagi, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya dan pemeriksaan rata-rata plasma glukosa (sebelum makan, 2 jam
sesudah makan dan sebelum tidur malam) (Rohlfling, C.L et al. 2002). Penderita
yang diteliti pada penelitian ini berjumlah lebih kurang 42 orang.
3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi eksperimental. Penderita TB paru BTA (+)
dengan DM yaitu dari hasil pemeriksaan sediaan langsung BTA, gejala DM dan
hasil pemeriksaan kadar gula darah puasa dan kadar gula darah 2 jam post prandial.
(Konsensus Perkeni, 2006)
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
38
4. Cara Kerja
Setelah minggu ke 4 setiap penderita TB parudiperiksa KGD puasa dan
KGD sebelum tidur malam masing-masing 3 kali pengambilan dengan jarak waktu
3 hari kemudian dihitung rata-ratanya. Dari hasil tersebut diatas penderita TB paru
dengan DM menjadi 2 kelompok pengamatan yaitu TB paru dengan DM terkontrol
dan TB paru dengan DM tidak terkontrol.
Bahan sputum yang segar didapat dari pasien dengan cara dibatukkan,
kemudian ditampung pada pot steril dengan metode pengumpulan tiga waktu secara
SPS (sewaktu pagi sewaktu).
Bahan sputum dilakukan fiksasi kemudian dilakukan pewarnaan menurut
metode Ziehl-Neelsen (Depkes, 2002)
Untuk setiap pulasan diperiksa sekurang-kurangnya 100 lapangan besar (cara
pemeriksaan International Union Againts Tuberculosis (IUAT) dan setiap 100
lapangan besar yang diperiksa dilaporkan negatif kita harus menggunakan waktu
kurang lebih 5 menit untuk membaca sediaan yang negatif. Bila terlihat BTA
tampak merah berbentuk batang yang ramping, kadang-kadang dengan satu atau
lebih granul. BTA dapat dilihat sendiri-sendiri, membentuk huruf V atau
berkelompok. (Tjandra YA et al. 2002, Lumb R et al. 2004,).
Setiap Penderita sputum BTA (+) kemudian diambil darah vena, langsung
diperiksa kadar gula darah puasa dan kadar gula darah 2 jam post prandial. Bila
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
39
KGD puasa > 126 mg mg/dl dan KGD 2 jam post prandial ≥ 200 mg/dl didiagnosa
penderita DM (Konsesnsus Perkeni, 2006)
Pada akhir terapi intensif, sputum dari masing-masing penderita TB paru
dengan DM terkontrol dan TB paru dengan DM tidak terkontrol kembali dilakukan
pemeriksaan sediaan langsung BTA.
5. Definisi operasional
Subjek penelitian adalah penderita TB paru BTA positif dengan DM yang
datang berobat ke BP4 Medan dan UPK Kecamatan Medan Brayan yang dibagi
dalam dua kelompok yaitu TB paru dengan DM terkontrol bila sediaan langsung
BTA positif dan KGD puasa dan KGD sebelum tidur malam 8,7-9,2 mmol/l (157166 mg/dl) dan TB paru dengan DM tidak terkontrol bila sediaan langsung BTA
positif, KGD puasa dan KGD sebelum tidur malam > 8,7-9,2 mmol/l (>157-166
mg/dl).
6. Variabel yang diamati
a. Variabel tidak bebas : BTA
b. Variabel bebas
: kadar gula darah, usia, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
40
8. Kriteria Inklusi
a. Usia 15 tahun atau lebih meliputi laki-laki dan perempuan
b. Didiagnosa sebagai pasien TB paru dengan hasil sputum BTA (+)
c. Belum pernah mendapat pengobatan TB paru (OAT)
d. Pasien DM dengan gejala Klinis DM, kadar gula darah puasa > 126 mg/dl
dan KGD 2 jam post prandial ≥ 200 mg/dl
e. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini dengan menandatangani formulir
persetujuan penderita
9. Kriteria Eksklusi
a. Penderita yang memakai obat kortikosteroid dalam jangka lama
b. Penderita AIDS/HIV dengan anamnese yang ketat
c. Hamil
d. Menunjukkan keadaan umum yang sangat kurang
e. Mengundurkan
f. diri dari penelitian
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
41
10. Perkiraan Besar Sample (Madiyono, 1995)
Z .PQ
n = ----------d
dimana: Z = nilai baku normal table Z yang besarnya tergantung pada besarnya
= 0,05
Z
= 1,96
P = proporsi penderita Tb paru dengan DM
Q = (1- P) =59,6%
D = presisi =15%
Dari hasil perhitungan besarnya sample masing-masing kelompok : 40,6 orang,
dibulatkan menjadi 41 orang
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
42
OAT
kategori I
Sedian
hapus BTA
3x (SPS)
OHO
TB paru + DM
KGD puasa
dan 2 jam Post
Prandial
DM terkontrol
dan DM tidak
terkontrol
Konversi
sputum BTA
minggu ke 8
Rata-rata kadar
KGD puasa dan
sebelum tidur
malam
Gambar1. Kerangka Operasional
Indra Janis : Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I yang Mendapat Terapi Intensif Dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol, 2008.
43
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian
Didapatkan sampel sebanyak 46 orang yang menuhi kriteria penelitian,
diantaranya sebanyak 35 orang (76,1% ) orang penderita TB paru dengan DM
terkontrol dan 11 orang (23,9% ) orang TB paru dengan DM tidak terkontrol.
Tabel 2. Karakteristik Sampel
No.
1.
2.
3.
4.
KARAKTERISTIK
Umur (Tahun): 15-25
26-35
36-45
46-55
56-65
Kelamin: Laki-laki
Perempuan
Tkt Pendidikan : SD
SMP
SMA
Pekerjaan: tdk Bekerja
Wiraswasta
Petani
KELOMPOK
TB + DM
Terkontrol
1 (2,7%)
6 (17,1%)
17 (48,6%)
11 (31,4%)
23 ( 65,7%)
12 ( 34,3%)
11 (31,4%)
13 (37,1%)
11 (31,4%)
13 (37,1%)
9 (25,7%)
13 (37,1%)
TB + DM
Tidak Terkontrol
1 (9,1%)
6 (54,6%)
4 (36,4%)
6 (54,5%)
5 (45,5%)
4 (36,4%)
1 (9,1%)
6 (54,5%)
4 (36,4%)
3 (27,3%)
4 (45,5%)
Umur penderita TB paru dengan DM terkontrol yang paling banyak adalah
diatas 45 tahun (89%) dan TB paru den