Aglomerasi Dan Kemiskinan Perkotaan

Jurnal Wawasan, Oktober 2005, Volume 11, Nomor 2

AGLOMERASI DAN KEMISKINAN PERKOTAAN

Matias Siagian

Abstract: The glorious of Jakarta metropolitan is not means that it’s region
hunger edema disease proof, that special suffered by family poor. This fact
indicated that the social economy and welfare are very in equal. Even though there
is not mass poverty in the metropolises as in the rural, but the poor people
existence in the main cities indicated how the welfare distribution is not equal
between main cities community. This condition knew us that development
concentration in the main cities and areas is not only to go upward the community
welfare, but also appeared social problems. These cases have to use to change the
development strategy, especially social policy, so all of people will get life
improvement.

Keywords: agglomeration, poverty and welfare distribution.
PENDAHULUAN
Dr. J. H. Boeke, Guru Besar ilmu
Ekonomi Timur di Universitas Leiden sangat

”mengutuk” kebijakan pembangunan di berbagai negara Asia yang sangat tidak merata
atau sangat timpang. Pada awalnya, kebijakan
pembangunan ekonomi yang demikian
sesungguhnya dilakukan oleh penguasa impor
atau penjajah, di mana mereka diilhami oleh
keinginan
menguasai
bangsa-bangsa
terbelakang seperti Asia melalui penciptaan
konflik dan perang di antara sesama bangsa
dalam suatu wilayah yang bakal menjadi negara. Kesenjangan sosial ekonomi dan kesejahteraan sebagai buah dari ketidakmerataan
pembangunan dipastikan sangat ampuh dalam
mengembangkan disintegrasi bangsa sebagai
jalan masuk bagi bangsa-bangsa maju,
khususnya Eropa Barat sebagai penguasa tunggal import di negeri orang. Kedudukan ini
tentu diperoleh bukan hanya karena pemilikan
kekuatan yang jauh lebih besar dari bangsa terjajah, melainkan juga karena mereka mendapat
dukungan dari kelompok-kelompok elite
dalam negeri (Boeke 1958: 12 – 17).
Kesenjangan pembangunan sebagai

dampak dari pemusatan pembangunan di kota
atau daerah-daerah tertentu di suatu negara
pada gilirannya melahirkan dua wajah
masyarakat yang berbeda secara fantastik,
bagaikan langit dan bumi. Sebagai contoh,
pada umumnya orang desa sejak lahir hingga
melambaikan tangan menuju alam baka tidak
pernah menyentuhkan jari tangannya pada
Matias
Sagian adalah Dosen FISIP USU
42

keyboard komputer, bahkan mesin tik sekali
pun. Sedangkan anak kaum elite perkotaan
sejak kecil sudah akrab dengan teknologi
canggih seperti komputer, dan berbagai fasilitas lain yang merupakan pintu informasi dunia
dan pengetahuan modern. Perbedaan ini kemudian melahirkan terminologi baru dalam kehidupan sosial, yakni “dualisme” kehidupan
masyarakat, yang kemudian membelah
masyarakat negara itu menjadi dua kelompok
besar, yakni masyarakat tradisional atau

prakapitalis dan masyarakat kapitalis. Kedua
kelompok masyarakat ini memiliki kompetensi
yang jauh berbeda bagai siang dan malam. Jika
kedua kelompok besar yang berbeda secara
fantastik ini dikelola atau diatur dengan aturan
yang sama, maka salah satu di antaranya akan
menjadi korban. Semua kita tentu mengetahui,
pihak mana yang menjadi korban.
Dualisme yang kemudian menjadi
suatu teori sosial, bukan hanya dilihat sebagai
dampak pembangunan, melainkan juga dilihat
dari segi aktivitas pembangunan. Oleh karena
itu kemudian dikenallah istilah dualisme
regional. Di Indonesia misalnya, sebutan
kawasan Barat dan Timur bukan hanya
menunjukkan sisi geografisnya saja, melainkan
juga
menunjukkan
kemajuan
dan

keterbelakangan masing-masing. Kondisi ini
masih sangat eksis jika tidak dinyatakan makin
parah pada dekade terakhir ini. Hal ini berarti
bahwa para pemimpin dan pengambil kebijakan di negara ini sangat mengkultuskan
pihak penjajah dengan segala kebijakannya,
sehingga kebijakan itu menjadi hukum positif

Siagian, Aglomerasi dan Kemiskinan Perkotaan

bagi mereka untuk mewarisi kebijakan yang
menyengsarakan rakyat banyak tersebut.
Secara psikis, kecenderungan itu boleh jadi
sebagai suatu kewajaran, karena memang
mayoritas pemimpin bangsa ini dapat
mencapai keberhasilan dalam hidupnya
memang karena mereka merupakan keturunan
yang memperoleh berbagai fasilitas dari
penjajah sebagai “tips” kemesraan mereka
dengan kaum penjajah.
Kajian awal aglomerasi dalam kaitannya dengan strategi pembangunan selalu

dikaitkan dengan ideologi yang berkembang
dan dianut suatu negara. Oleh karena itu,
banyak pakar ekonomi mengemukakan bahwa
negara-negara komunis jauh lebih adil dalam
pembangunannya
dibandingkan
dengan
negara-negara liberal. Namun studi lebih
mendalam tentang pembangunan justru
menemukan fakta, bahwa pada umumnya
negara-negara yang sekarang ini malu disebut
sebagai negara-negara terbelakang, yang pada
umumnya bejas jajahan Barat ternyata
mewarisi kebijakan pembangunan yang sangat
aglomeratis, tanpa memandang ideologi negara
itu (Lloyd 25: 1981).
Walaupun pada awalnya kebijakan
pembangunan yang aglomeratif mampu menciptakan stabilitas nasional dan integrasi
bangsa karena memang sangat acceptable bagi
kaum elite bangsa sebagai satu-satunya

kelompok partisipan dalam kehidupan
bernegara pada awal kemerdekaan negaranegara tersebut, namun konsistensi policy
maker pada kebijakan yang demikian saat ini
telah menjadi boomerang bagi bangsa dan
negara secara agregat. Diprediksikan jika
konsistensi itu tetap dipertahankan, maka
akibatnya secara ekonomis akan mengurangi
produktivitas bangsa, sehingga menyulitkan
negara itu berbicara banyak pada era globalisasi dengan persaingan yang amat ketat menuju kejayaan negara itu. Sementara secara politisi kebijakan itu tidak pula mustahil dapat
mengakibatkan gerakan rakyat menuju
revolusi sosial.
PEMBAHASAN
Aglomerasi dan Kemiskinan
Salah satu masalah nasional di banyak
negara sedang berkembang, khususnya Indonesia adalah ketidakmerataan penduduk.
Dampak negatif daripada ketidakmerataan ini
sangat dirasakan oleh bangsa Indonesia dan

menjadi momok dalam menetapkan kebijakan
pembangunan yang dianggap tepat bagi semua

pihak
(Heeren
dalam
Swasono
&
Singarimbun: 86 – 93). Di kota-kota besar
penyediaan fasilitas umum dan kebutuhankebutuhan yang sangat vital seperti air dan
BBM menghadapi masalah besar dan sangat
ekspansif terhadap anggaran dan devisa
negara. Masalah perumahan yang layak dan
terutama penyediaan lapangan kerja bagi
kelompok marginal selalu menghadapi masalah yang hingga saat ini tetap menjadi
ancaman bagi kehidupan berbangsa dan
stabilitas sosial. Hal ini berarti, bahwa pembangunan
perkotaan
tidak
mampu
meningkatkan daya dukung wilayah itu
terhadap kehidupan masyarakatnya.
Aglomerasi program dan aktivitas

pembangunan mangakibatkan timbulnya fakta,
di mana beberapa wilayah dan terutama kotakota besar di Indonesia bagian barat sangat
dinamis, sementara wilayah-wilayah termasuk
kota-kota tertentu tumbuh sangat lamban,
statis, bahkan ada di antaranya justru
mengalami kemunduran karena masalah yang
ditimbulkan faktor alam justru lebih dominan
dibandingkan dengan investasi dan aktivitas
pembangunan yang dilakukan. Hal ini
kemudian mengakibatkan penduduk negaranegara sedang berkembang makin terpusat
secara spasial, para migran bergerak dari
wilayah-wilayah kritis ke wilayah-wilayah
yang dinamis, dari pedesaan ke perkotaan,
bahkan dari kota-kota kecil ke kota-kota besar
atau metropolitan.
Aglomerasi
gerak
pembangunan
bukan
hanya

membatasi
program
pembangunan di daerah tertentu, terutama
kota-kota besar di negara -negara sedang
berkembang.
Akan
tetapi
spesifikasi
pembangunan yang dilakukan di kota-kota
besar juga didominasi oleh aktivitas yang
demikian hanya membutuhkan kontribusi dari
kelompok masyarakat tertentu, yakni kelompok yang dianggap modern atau kapitalis.
Dengan demikian, gerak para migran yang didominasi oleh kaum marginal dan prakapitalis
(jika enggan menyebutnya sebagai kaum tradisional) tidak mendapat sambutan dari
lembaga-lembaga pengguna tenaga kerja yang
dimiliki kaum kapitalis.
Di sisi lain, kecenderungan migrasi
penduduk dari desa ke kota, dari wilayah kritis
ke wilayah dinamis ternyata memuluskan
terjadinya perubahan owner dari lahan-lahan

43

Jurnal Wawasan, Oktober 2005, Volume 11, Nomor 2

pertanian milik orang desa. Akibatnya, petani
berdasi pun muncul dengan pesatnya,
perubahan land use juga terjadi dengan deras,
tanpa peduli terhadap kebutuhan masyarakat
banyak. Bahkan perubahan land use sering
diklaim sebagai proses dan hakikat
modernisasi (Rahardi 1997: 37). Kita tentu
masih ingat Menpora RI dengan bangga
mengemukakan betapa pesatnya pembangunan
di negara kita saat meresmikan lapangan golf,
dan mentahbiskan jumlah lapangan golf
sebagai kriteria absolut dari pembangunan
yang makin pesat, dan diartikan bahwa negara
kita sedang mengalami proses modernisasi dengan laju yang sangat tinggi.
Akibatnya, di daerah pedesaan banyak
penduduk yang menjadi penonton dan pekerja

di tanah milik orang kaya. Kondisi marginal
yang mereka alami sangat rentan terhadap perubahan status kepemilikan lahan di desa-desa,
di mana kelompok si kaya justru bersikap dan
merasa sebagai ”malaikat” penyelamat hidup
orang miskin desa, dengan cara membeli
lahan-lahan pertanian di desa. Dalam kondisi
yang demikian, maka wilayah pedesaan
didominasi oleh penduduk miskin dan bodoh,
di mana kondisi ini akan memantapkan sifat
statis wilayah pedesaan tersebut. Di sisi lain,
wilayah perkotaan akan berkembang benjadi
benalu bagi wilayah pedesaan. Demikian
halnya dengan elite perkotaan akan pula
menjadi parasit bagi kaum marginal pedesaan.
Seribu satu alasan yang pernah
dikemukakan mengapa kota mendapat
perhatian yang sangat besar sehingga
cenderung melupakan wilayah pedesaan.
Mulai dari upaya pencapaian pertumbuhan
ekonomi yang tinggi hingga pengakuan bahwa
wilayah perkotaan, khususnya kota-kota
metropolitan merupakan etalase negara secara
menyeluruh. Dengan demikian membangun
wilayah perkotaan, terutama kota metropolitan
identik dengan membangun gengsi, harkat dan
martabat, serta harga diri bangsa dalam kancah
interaksi
internasional.
Sementara
pertumbuhan ekonomi yang pesat merupakan
titik awal dari pembangunan menuju
pemerataan dianggap mustahil terjadi tanpa
pertumbuhan yang tinggi. ”Jika tidak ada yang
tumbuh, apanya yang akan dibagi-bagi atau
diratakan?” demikian ucapan Soeharto, mantan
Presiden RI di hadapan anggota DPR yang
mulia (Husken et.al. 1997: 28).
Mengapa kemiskinan perkotaan itu
makin subur? Bukankah aglomerasi pemba44

ngunan di wilayah perkotaan mampu meredam
angka pengangguran? Bukankah pencegahan
pengangguran itu secara signifikan akan
mengikis habis kemiskinan? Harus diakui
aglomerasi pasti mengakibatkan pemutusan
investasi di wilayah-wilayah perkotaan.
Selanjutnya secara ekonomis dapat dipastikan
bahwa investasi memiliki signifikansi yang
tinggi dengan ketersediaan lapangan kerja.
Namun
kenyataannya,
aglomerasi
pembangunan ternyata tidak terbatas hanya
pada wilayah yang mengakibatkan disparitas
desa-kota, disparitas wilayah Indonesia bagian
barat-wilayah Indonesia bagian timur, namun
lebih dari itu, aglomerasi juga sudah
menembus spesifikasi aktivitas pembangunan.
Dalam kondisi di atas, maka modernisasi tidak cukup diartikan dengan kondisi
sosial ekonomi masyarakat yang tinggi secara
merata, melainkan juga harus dipastikan
bahwa aktivitas pembangunan didominasi oleh
sektor-sektor modern. Inilah yang dinamakan
dengan spesifikasi pembangunan sektor
modern. Sebagai contoh kasus, walaupun
masyarakat banyak (terutama lapisan bawah
dan menengah) merasa menjadi manusia yang
berarti dalam aktivitasnya pada pasar-pasar
tradisional di kota-kota besar dan menengah,
namun bagi penguasa, yang menjadi corong
dan boneka kaum kapitalis, modernisasi hanya
akan ada jika pasar tradisional telah berubah
wujud atau secara paksa diubah menjadi pasar
modern, seperti plaza-plaza.
Kondisi ini kemudian yang membuat
Romo Mangunwijaya merasa terkejut saat menerima pengakuan dari keluarga miskin di desa
Gunung Kidul. ”Apakah pada umumnya orang
disini dapat hidup dengan cukup?” tanya
Romo Mangunwijaya. ”Cukup pak, jika tidak
ada pembangunan,” jawab si orang desa.
(Budiman 1995: 3). Hal ini menunjukkan
anggapan bahwa pembangunan adalah
passport bagi kesejahteraan masyarakat
ternyata justru menjadi tembok besar,
penghalang menuju kesejahteraan. Pernyataan
ini memang merupakan realitas di kota-kota
besar saat ini, di mana banyak masyarakat
marginal yang justru tergusur oleh pembangunan.
Dalam kondisi seperti ini tidak sedikit
ekonomi yang membela policy maker. Mereka
justru cenderung mengemukakan bahwa kemiskinan perkotaan ini terjadi karena kaum
miskin yang tidak memiliki kompetensi di
sektor modern datang ke kota-kota besar.

Siagian, Aglomerasi dan Kemiskinan Perkotaan

Dengan demikian, yang salah bukanlah para
policy maker, melainkan kaum marginal desa
yang melakukan migrasi ke perkotaan inilah
yang salah, karena mereka sesungguhnya
tidaklah pantas menjadi penduduk kota-kota
besar. Anggapan seperti inilah yang kemudian
melahirkan kebijakan kota tertutup bagi kaum
urbanis, melalui peraturan perundangundangan.
Jika dianalisis secara lebih mendalam,
hati kita miris, betapa pembangunan yang
menggunakan pinjaman luar negeri dan oleh
karena itu secara otomatis menjadikan seluruh
rakyat Indonesia telah punya hutang sejak dalam kandungan justru menyengsarakan diri
sendiri. Dengan demikian, pembangunan yang
bersifat aglomeratif justru menjadi investasi
menuju
kemiskinan
dan
kehancuran
masyarakat
banyak.
Atau
setidaknya,
pembangunan justru merupakan proses
pemiskinan.
Dari uraian di atas dapatlah kita
pahami betapa pembangunan itu menabur
kesengsaraan baik bagi orang desa maupun
orang kota sendiri. Kondisi ini harusnya
menjadi titik awal bagi decision maker untuk
melakukan perubahan secara agregat dalam
strategi pembangunan, kebijakan sosial,
termasuk prioritas program. Pembangunan
harus dipandang dari sudut kemanusiaan.
Dengan anggapan seperti ini, maka pintu bagi
indikator-indikator sosial ke dalam kebijakan
pembangunan telah terbuka. Harus diingat,
bahwa pernyataan yang menegaskan bahwa
pembangunan harus berpusat pada manusia,
dan manusia harus selalu pusat dari kegiatan
pembangunan itu harus dipegang dan
dipedomani secara konsisten.

Kemiskinan perkotaan sudah menjadi
masalah besar saat ini. Secara politis, kemiskinan perkotaan menunjukkan secara mudah
betapa pembangunan yang dilakukan sangat
timpang dan jauh dari keadilan. Di samping
itu, kemiskinan perkotaan angat rawan
terhadap revolusi sosial dan terutama
gangguan keamanan.
KESIMPULAN
Aglomerasi pembangunan yang mengakibatkan disparitas desa-kota, penduduk miskin-penduduk kaya makin mengental merupakan masalah yang makin rumit. Masalah ini
dapat dieliminir dan dikikis secara perlahanlahan dengan melakukan kaji ulang terhadap
strategi
pembangunan
dengan
segala
kebijakan-kebijakan publik dan kebijakan
sosial yang mengikutinya. Distribusi investasi
yang merata harus diupayakan sehingga
wilayah-wilayah terbelakang dapat mengejar
ketertinggalannya menuju pada kondisi
merata.
Pembangunan di wilayah pedesaan
dan wilayah-wilayah lain yang tertinggal
bukan hanya meningkatkan daya dukung
wilayah-wilayah ini terhadap kehidupan
masyarakatnya, melainkan juga membantu
mengurangi masalah-masalah sosial yang saat
ini makin parah di wilayah-wilayah perkotaan
dan maju. Oleh karena itu, kaji ulang strategi
pembangunan dengan segala kebijakan yang
mengikutinya merupakan passport menuju
wilayah Indonesia yang ramah buat semua.
Justru inilah yang sesungguhnya layak
dinamakan dengan pembangunan yang adil
dan manusiawi.

45

Jurnal Wawasan, Oktober 2005, Volume 11, Nomor 2

DAFTAR PUSTAKA
Boeke, J, H. 1958. The Interest of the Voiceless Far East, Introduction to Oriental Economics.
Universitaire Pers Laiden, Leiden.
Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Gramedia, Jakarta.
Husken, Frans, Maria Rutten, Dirkse, dan Jan Paul. 1997. Pembangunan dan Kesejahteraan
Sosial Indonesia di Bawah Orde Baru. Perwakilan KITLV dan Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta.
Lloyd, Christopher. 1981. Social Theory and Political Practice. Oxford University Press, Oxford.
Rahardi, F. 1997. Petani Berdasi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Swasono, Edi, Sri & Singarimbun, Masri. 1995. Transmigrasi di Indonesia 1905 – 1985. Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.

46