PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG PESAWAT ATAS KETERLAMBATAN PENERBANGAN (FLIGHT DELAYED)

(1)

ABSTRACT Oleh: Tora Yuliana

The last few years about the year 2013 the frequent occurrence that causes flight delays passengers as consumers feel aggrieved. Moreover, if passengers complain to the airline, the airline sometimes ignoring and sometimes also throw responsibility. For that conducted research on the Legal Protection Against Passenger on Flight Delay. Problems in this study: 1) how the responsibility of the airline to airline passengers who are disadvantaged due to flight delays in terms of the Act and the cost of consumer protection laws. 2) how the legal protection of passengers as consumers are harmed as a result of flight delays in terms of the Act and the cost of consumer protection laws. 3) how the court decision against a lawsuit with case No. 309 / Pdt.G / 2007 / PN.Jkt.Pst between David M.LTobing,SH, M.Kn with PT.Lion Mentari Air Lines.

Type of research is a normative, regulatory approach, the conceptual approach. Approach law is done by reviewing all legislation related to the discussion. The main data in this study are primary data sourced from the legislation, secondary data from the literature and a variety of relevant literature. Data was collected by reviewing and menguntip of library materials and a review of legislation relating to the discussion. Furthermore, the data processing is done through data selection stage, classification of data, preparation of data which is then analyzed.

The results showed the responsibility of the airline under the Act 1 of 2009 on flights embracing the concept of the presumption of innocence means automatic transporter responsible for flight delays. The responsibility of the airline as a carrier of the passengers are required to provide compensation or redress. This is reinforced by the presence of the Minister of Transport Regulation 77 of 2011 on the responsibility of the air carrier and the Regulation of the Minister of Transport 49 2012. Regarding the responsibility is also reinforced by the existence of Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection, which passengers as consumers and airlines as entrepreneurs. This is certainly one of the legal protection of passengers on the carrier negligence but if the carrier did not perform its obligations, the passenger is entitled to take measures to prosecute rights law. As David MLTobing case, SH, M.Kn who do claim to the district court, this is done so that the rights of the injured passengers as consumers are not tricked and make lessons for each airline to better serve passengers. The central Jakarta district court decision 309 / Pdt.G / 2007 / PN.Jkt.Pst especially against standard clauses that exist in the passenger ticket is very appropriate and relevant.


(2)

ABSTRAK

Oleh: Tora Yuliana

Beberapa tahun terakhir ini kira-kira tahun 2013 sering terjadinya keterlambatan penerbangan yang menyebabkan penumpang sebagai konsumen merasa dirugikan. Apalagi jika penumpang keluhkan kepada maskapai penerbangan, terkadang maskapai mengabaikan dan terkadang pula melempar tanggung jawab. Untuk itulah dilakukan penelitian tentang Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pesawat atas Keterlambatan Penerbangan (Flight Delayed). Permasalahan dalam, penelitian ini: 1) bagaimana tanggung jawab maskapai penerbangan terhadap penumpang pesawat yang dirugikan akibat keterlambatan penerbangan ditinjau dari Undang-undang penerbangan dan Undang-undang perlindungan konsumen. 2) bagaimana perlindungan hukum terhadap penumpang sebagai konsumen yang dirugikan akibat keterlambatan penerbangan ditinjau dari Undang-undang penerbangan dan Undang-undang perlindungan konsumen. 3) bagaimana putusan pengadilan terhadap gugatan dengan Nomor perkara 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst antara David M.L.Tobing, S.H.,M.Kn dengan PT.Lion Mentari Air Lines.

Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan secara perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pembahasan. Data utama dalam penelitian ini adalah data primer yang bersumber dari perundang-undangan, data sekunder dari kepustakaan dan berbagai literatur yang relevan. Pengumpulan data dilakukan dengan menelaah dan menguntip dari bahan perpustakaan dan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bahasan. Selanjutnya pengolahan data dilakukan melalui tahap seleksi data, klasifikasi data, penyusunan data yang kemudian dianalisis. Hasil penelitian menunjukkan tanggung jawab maskapai penerbangan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan menganut konsep praduga bersalah (Presemption of liability) artinya pengangkut otomatis bertanggung jawab atas keterlambatan penerbangan. Tanggung jawab maskapai penerbangan sebagai pengangkut terhadap penumpang wajib memberikan kompensasi atau ganti rugi. Hal ini diperkuat dengan adanya Peraturan Menteri Perhubungan No.77 Tahun 2011 tentang tanggung jawab pengangkut udara dan Peraturan Menteri Perhubungan No.49 Tahun 2012. Mengenai tanggung jawab ini juga diperkuat lagi oleh adanya Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen, dimana penumpang sebagai konsumen dan maskapai penerbangan sebagai pelaku usaha. Hal ini tentu menjadi salah satu perlindungan hukum bagi penumpang atas kelalaian pengangkut namun jika pengangkut tidak melakukan kewajibannya maka penumpang berhak melakukan upaya-upaya hukum untuk menuntut hak. Seperti kasusnya David M.L.Tobing, S.H.,M.Kn yang melakukan gugatan ke pengadilan negeri, hal ini dilakukan agar hak-hak


(3)

penumpang sebagai konsumen yang dirugikan tidak dipermainkan dan menjadikan pelajaran bagi setiap maskapai penerbangan agar lebih baik dalam melayani para penumpangnya. Adapun putusan pengadilan negeri Jakarta pusat No.309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst terutama terhadap klausula baku yang ada pada tiket penumpang sudah sangat tepat dan relevan.


(4)

(FLIGHT DELAYED)

Oleh

TORA YULIANA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh derajat MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2014


(5)

(FLIGHT DELAYED)

(Tesis)

Oleh

TORA YULIANA

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2014


(6)

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang ………... 1

B. Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian ……… 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………... 7

D. Kerangka Pemikiran ……….. 9

E. Metode Penelitian ……….. 16

F. Sistematika Penulisan ……… 20

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……… 22

A. Perjanjian pada Umumnya ………. 22

B. Perjanjian Pengangkutan Udara ………. 31

C. Perlindungan Hukum ………. 44

D. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Angkutan Udara ……….. 46

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 54

A. Tanggung jawab Maskapai Penerbangan terhadap Penumpang atas Keterlambatan Penerbangan menurut Undang-Undang Penerbangan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ……… 54

B. Perlindungan Hukum terhadap Penumpang sebagai Konsumen yang dirugikan akibat Keterlambatan Penerbangan menurut Undang-Undang Penerbangan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ……… 82

C. Putusan Pengadilan terhadap Gugatan dengan Nomor Perkara 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst antara David M.L.Tobing, S.H., M.Kn dengan PT. Lion Air Lines …... 101

BAB IV. PENUTUP ………. 117

A. Kesimpulan ……… 117

B. Saran ……….. 119 LAMPIRAN


(7)

Segala puji syukur atas berkat dan karuniaMu Tuhan yang tak terhingga" sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis

ini

dengan judul

:

"Perlindungan Hukum

Terhadap Penumpang Pesawat

Atas

Keterlambatan Penerbangan (Flight

)rluved\".

a

Tesis

ini

disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister

:{.lkum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Penulis sangat menyadari

::--1r,,'a dalam penyusunan tesis ini masih jauh dari sempuma karena keterbatasan :c;'rsetahuan dan kemampuan yang dimiliki

penulis-Dalam pen).usunan tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, pengarahan, bantuan motivasi, serta doa para pihak yang telah banyak membantu. Tak lupa penulis

mengucapkan terimakasih sebesar-besamya kepada:

l. Bapak Dr. Muhammad Fakih, S.H., M.S. selaku pembimbing Pertama, terima kasih atas waktunya untuk dukungan kepada penulis atas ilmu yang diberikan serta kritikan maupun arahan yang baik dalam penulisan tesis ini.

Bapak Dr. Hamzah, S.H., M.H. selaku Pembimbing Kedua, terima kasih atas waktunya kepada penulis

untuk

memberikan masukan, arahan yang

membangun serta ilmu pengetahuan dalam penulisan tesis

ini-Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku penguji Utama, terima kasih atas masukan, kritik dan saran guna perbaikan tesis ini.

-')

4.

Bapak Dr. Tisnanta, S.H., M. H. selaku penguji Atggota terima kasih atas masukan, kritik dan saran guna perbaikan tesis


(8)

ini-6.

Seluruh dosen pengajar dan staf administrasi pada Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung. Terima kasih atas semua bantuan

dan kemudahan yang penulis dapatkan sejak awal sampai dengan akhir

perkuliahan, serta dalam proses penyusunan tesis sampai dengan ujian akhir tesis ini.

7

-

Seluruh teman-teman PPH-MH angkatan 2012 yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu, terima kasih telah menjadi sahabat yang luar bias4 teima kasih dukungan, bantuaniya dan waktu kebersamaan dari awal kuliah sampai penulis menyelesaikan tesis

ini.

Semoga persahabatan tak kan pernah hilang ditelan waktu.

Akhir

kata, penulis mendoakan agar Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa menyertai langkah kita semua dan tesis

ini dapat bermanfaat

dan berguna bagi

pembaca.

Bandar Lampung, Desember 2014


(9)

Tim Penguji

Penbimbing I

Pembimbing II

Penguji

Penguji

?enguji

Dr. Muhammad Fakih, S.H., M.S.

Dr. Hamzah, S.H., M.H.

Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S.

+

Dr. HS. Tisnanta, S.H., M.H.

Dr. Dra. Nunung Rodliyah, M.A.

ndi, S.H., M.S. I 98703 1 003

I

t

I

I

ultas Hukum

Program Pascasarjana

Sudjarwo, M.S.

30528198103 1 002


(10)

',,::: \lahasiswa

',

?:,xok Mahasiswa

r-: - ::ram Kekhususan P::sram Studi

F :iu ltas

TORA YULIANA 1222011038

Hukum Bisnis

Program Pascasarjana Magister Hukum Hukum

MENYETUJUI

1

Dosen Pembimbing

Pembimbing Pendamping

Dr. Hamzah, S.H., M.H.

NrP. 19690s20199802 I 001

luhammad Fakih, S.H. 19641218 198803 1


(11)

Dengan ini saya menyatakan yang sebenamya bahwa:

l.

Tesis dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pesawat Atas Keterlambatan Penerbangan (Flight Delayed), adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain

melalui tata caruyang tidak sesuai dengan etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut plagiatisme.

2.

Hak htelektual atas karya ilmiah

ini

diserahkan sepenuhnya kepada Universitas Lampung.

Demikian pemyataan ini saya buat, apabila dikemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidakbenaran atas pemyataan saya ini, maka saya bersedia menanggung akibat dan sanksi hukum yang berlaku.


(12)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karyaku ini kepada orang tuaku ( Bapak Muhamad Tohir

dan Ibu Lantina) terutama mama yang senantiasa memberikan doa yang tulus

atas keberhasilanku, mertuaku (Bapak Drs.Bahrun Bahtiar dan Ibu Atiyah)

yang mengerti akan kesibukanku dan selalu memberikan motivasi, suamiku

tercinta (Bahtra) yang selalu memberikan dukungan dan motivasi dari awal

hingga akhir masa studi, anakku (Ahmad Bara Alghiffary), juga adikku.

Semoga karya ini memberikan motivasi bagi kalian untuk tetap semangat


(13)

MOTO

Jadikan hari ini lebih baik dari hari yang kemarin (TY)

Semua ini pasti berlalu (TY)

Bermimpilah maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Aray dalam Film Sang Pemimpi)


(14)

RIWAYAT PENULIS

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang pada tanggal 18 Juli 1984 anak Kedua dari Tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Muhamad Tohir dan Ibu Lantina.

Pendidikan Sekolah Dasar Negeri 2 Rajabasa diselesaikan pada Tahun 1996, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Tunas Harapan Tanjung Karang diselesaikan pada Tahun 1999, Sekolah Menengah Kejuruan Gajah Mada Tanjung Karang diselesaikan pada Tahun 2002. Pada Tahun 2002 penulis diterima di Universitas Lampung Fakultas Hukum.

Pada Tahun 2006 penulis berhasil mencapai gelar Sarjana Hukum lulusan dari Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan pada Tahun 2012 melanjutkan pendidikan Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung dan mencapai gelar Magister Hukum pada Tahun 2014.

Pada Tahun 2009 penulis berhasil lulus Advokat, saat ini bergabung dalam PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) dan menjadi tutor Universitas Terbuka Pokjar Negeri Sakti .


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Industri penerbangan global adalah salah satu bagian integral perekonomian global yang memiliki peran penting dalam pembangunan di berbagai sektor. Sektor tersebut seperti transportasi, manufaktur, teknologi serta sektor-sektor lainnya. Industri penerbangan juga memiliki keterikatan yang erat dengan kondisi ekonomi global. International Air Transport Association (IATA) memperkirakan jumlah penumpang angkutan udara global sebanyak 3,6 miliar pada Tahun 2016.1 Indonesia sendiri memiliki pertumbuhan yang sangat pesat sekali terlihat dengan banyaknya maskapai penerbangan yang melayani rute penerbangan baik internasional maupun nasional.

Berdasarkan informasi dari Kementerian perhubungan (Kemenhub) yang menyatakan industri penerbangan Indonesia mencatatkan tiga Tahun terakhir ini terjadi peningkatan jumlah penumpang angkutan udara yang cukup signifikan. Pada Tahun 2011 total jumlah penumpang adalah 68.349.439 orang, domestik sebesar 60.197.306 orang dan internasional 8.152.133 orang. Tahun 2012, total jumlah penumpang sebesar 81.359.755 orang dengan penumpang domestik 71.421.464 orang dan internasional sebesar 9.938.291 orang. September 2013 total jumlah penumpang angkutan udara 49.081.891 orang, dengan domestik 43.002.808 orang dan internasional 6.079.083 orang.2 Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan mengapa orang lebih

1

Ririn Radiawati, 28 Januari 2013, Tujuh Negara dengan bandara tersibuk sejagat, http//:www.m.merdeka.com/ dikutip tanggal 12 maret 2014.

2

Hendra Kusuma,11 Desember 2013,Akhir Tahun, penumpang pesawat ditaksir melonjak naik 15%,http//:www.okezone.com/ kutip 13 Februari 2014


(16)

memilih naik pesawat dibandingkan transportasi lainnya yaitu penumpang ingin menghemat waktu dan tiketnya murah. Penumpang pesawat yang merupakan konsumen dan maskapai penerbangan sebagai pelaku usaha, memiliki hak dan kewajibannya. Namun, banyak keluhan yang diadukan masyarakat kepada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, mulai dari masalah bagasi, keberangkatan dan lainnya. Hal ini tentulah menjadi perhatian kita semua, apalagi mengenai keterlambatan penerbangan (flight delay). Menurut IATA (International Air Transport Association), ada 71 jenis penyebab keterlambatan pesawat. Kalau dikerucutkan lagi, ada 11 kelompok penyebab. Salah satu yang paling penting adalah kontribusi penumpang dan bagasi ke dalam salah satu kelompok penyebab itu.3

Penerbangan yang terlambat (delayed) merupakan hal yang sangat merugikan baik sebagai penumpang maupun sebagai maskapai penerbangan. Ada banyak konsekuensi yang harus maskapai penerbangan lakukan terhadap terjadinya keterlambatan diantaranya denda yang diberlakukan oleh pemerintah. Maskapai penerbangan memiliki tanggung jawab untuk mengantisipasi dan mengendalikan terjadinya keterlambatan penerbangan.

Peraturan Menteri Perhubungan No.49 Tahun 2012 tentang standar pelayanan penumpang kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri, telah mengatur mengenai keterlambatan penerbangan namun terkadang ada saja maskapai penerbangan tidak mengikuti aturan tersebut. Sehingga penumpang dirugikan dengan adanya keterlambatan penerbangan. Seperti salah satu maskapai penerbangan Lion air, untuk keterlambatan penerbangan

3

Tinta Pena, 04 Agustus 2014, Sisi Lain Penerbangan yang Terlambat (Delayed), http//:www.wordpress.com/tintapena.co dikutip tanggal 13 Desember 2014.


(17)

tidak memberikan kompensasi sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan No.49 Tahun 2012 tentang standar pelayanan penumpang kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri.

Peneliti mengalami sendiri dengan keterlambatan penerbangan selama 1 jam Lion air tidak memberikan kompensasi berupa minuman dan makanan ringan (snack box). Keterlambatan pesawat/ penerbangan (flight delay) juga pernah digugat oleh seorang penumpang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, oleh salah satu penumpang yang bernama David. Keterlambatan (delay) yang dilakukan oleh Lion Air tanpa ada informasi dan penjelasan resmi sehingga merugikan David sebagai penumpang yang kala itu ia harus menghadiri sidang tepat waktu. Merasa dirugikan, David dipaksa melayangkan gugatan kepada Lion Air.

Pada gugatannya, David menuntut agar Lion Air dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) karena tidak memberikan informasi atas delay keberangkatan. David juga menuntut agar Lion Air membayar ganti rugi sebesar Rp. 718.500,- angka tersebut adalah biaya tiket pesawat garuda sebesar Rp.688.500,- ditambah airport tax sebesar Rp.30.000,-. Selain itu, David juga menuntut agar klausal baku yang ada didalam tiket Lion Air

bertuliskan “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun yang

ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala keterlambatan datang penumpang dan/atau keterlambatan penyerahan bagasi“ batal demi hukum.

Adapun tujuan david menggugat adalah agar hak-hak penumpang sebagai konsumen tidak dipermainkan oleh pengusaha di bidang jasa. Seperti diatur


(18)

dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, karena selama ini hak penumpang selalu diremehkan oleh pihak maskapai. Apabila penumpang terlambat lima menit check in, maka dia harus ikut penerbangan selanjutnya, dengan konsekwensi membayar biaya tambahan yang tidak sedikit. Jika terjadi penundaan, maka pihak maskapai cukup hanya meminta maaf saja, hal ini tentu sangat tidak adil.

Perlindungan terhadap penumpang pun kian menjadi persoalan dengan adanya banyak keluhan-keluhan mulai dari kecelakaan maupun terkait dengan masalah keberangkatan. Apalagi ketika ada keluhan dari masyarakat kepada maskapai penerbangan, terkadang mereka melempar tanggung jawab.

Perlindungan terhadap penumpang seperti di atas telah diatur dalam hukum internasional yang terdiri atas Konvensi Warsawa 19294, Protocol The Hague 1955, Konvensi Guadalajara 1961, Montreal Agreement Of 1966, Guatemala City Protocol 1971, Protocol Tambahan No.1,2,3 dan 4, Konvensi Montreal 1999, berdasarkan hukum nasional yang meliputi kitab undang-undang hukum perdata (KUHPerdata), ordonansi pengangkutan udara Stb.1939-100, Undang-undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan5 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen tidak hanya memberikan perlindungan kepada konsumen saja tetapi memberikan

4

Pada pokoknya konvensi Warsawa 1929 mengatur keseragaman dokumen transportasi udara internasional yang terdiri dar tiket penumpang (passenger ticket), tiket bagasi (baggage claim), surat muatan udara (airwaybill atau consignment note), prinsip tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan yang dikaitkan dengan tanggung jawab terbatas, pengertian transportasi udara internasional, yuridiksi Negara anggota. Konvensi Warsawa 1929 ini hanya berlaku terhadap transportasi udara Internasional.

5


(19)

perlindungan kepada masyarakat (publik) pada umumnya, mengingat setiap orang yang memakai barang dan/atau jasa adalah konsumen. Sedangkan pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang ekonomi. Perusahaan atau maskapai penerbangan sebagai pelaku usaha, sedangkan konsumennya adalah para penumpang yang menggunakan jasa transportasi udara yang ditawarkan oleh maskapai penerbangan. Oleh karenanya harus dilindungi karena terjadi hubungan timbal balik dan dapat berakibat hukum.

Perlindungan konsumen merupakan perlindungan hukum total yang memberikan perlindungan pada penumpang mulai dari taraf pembuatan pesawat udara sampai pada saat ia telah selamat sampai di tempat tujuan. Jika terjadi kecelakaan, maka ia atau ahli warisnya yang berhak memperoleh ganti rugi dengan cara yang mudah, murah dan cepat. Unsur-unsur perlindungan konsumen jasa angkutan udara secara lengkap meliputi berbagai aspek antara lain aspek keselamatan; aspek keamanan; aspek kenyamanan; aspek pelayanan; aspek pertarifan dan aspek perjanjian angkutan udara.

Penentuan pertanggungjawaban perusahaan penerbangan tentunya harus mengacu pada ketentuan-ketentuan yang berlaku, sehingga dapat ditentukan pihak-pihak yang bertanggung jawab, hal-hal yang dapat dipertanggungjawabkan, bentuk-bentuk pertanggungjawaban, besar ganti kerugian dan lain-lain. Pada kegiatan penerbangan komersil atau transportasi udara niaga terdapat beberapa ketentuan yang berkaitan dengan tanggung jawab pengangkut udara terhadap penumpang baik yang bersumber pada


(20)

hukum nasional maupun yang bersumber pada hukum internasional. Ketentuan hukum nasional yang secara khusus mengatur tentang kegiatan penerbangan saat ini adalah Perjanjian pengangkutan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan beberapa peraturan pelaksana lainnya. Sedangkan ketentuan yang secara khusus mengatur tentang penyelenggaraan angkutan udara adalah Peraturan Menteri Perhubungan No.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara dan Peraturan Menteri Perhubungan No.49 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.

Perlindungan hukum terhadap penumpang ini sangat menarik untuk diteliti dikarenakan pengguna jasa angkutan udara terus saja meningkat dalam tiap Tahunnya. Perlindungan hukumpun haruslah dikedepankan mengingat seringnya tidak berjalan secara seimbang dimana konsumen berada di posisi yang lemah dan tidak berdaya jika dibandingkan dengan posisi pelaku usaha yang lebih kuat, apalagi jika persoalannya keterlambatan penerbangan (flight delayed).

B. Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

1.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

a. Bagaimana tanggungjawab maskapai penerbangan terhadap penumpang atas keterlambatan penerbangan ditinjau dari Undang-Undang Penerbangan dan Undang-Undang-Undang-Undang Perlindungan Konsumen?


(21)

b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap penumpang sebagai konsumen yang dirugikan akibat keterlambatan penerbangan ditinjau dari Undang-Undang Penerbangan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen?

c. Putusan pengadilan terhadap gugatan dengan Nomor Perkara 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst antara David M.L. Tobing, SH.Mkn dengan PT.Lion Mentari Air Lines.

2.Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum keperdataan dan hukum perlindungan konsumen mengenai tanggungjawab maskapai penerbangan terhadap penumpang pesawat atas keterlambatan penerbangan (flight delay) dan perlindungan hukumnya terhadap penumpang yang dirugikan akibat keterlambatan penerbangan tersebut ditinjau dari Undang-Undang Penerbangan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk menganalisis tanggungjawab maskapai penerbangan terhadap penumpang pesawat yang dirugikan akibat keterlambatan penerbangan ditinjau dari Undang-Undang Penerbangan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen

b. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum terhadap penumpang sebagai konsumen yang dirugikan akibat keterlambatan


(22)

penerbangan ditinjau dari Undang-Undang Penerbangan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

c. Untuk mengetahui putusaan pengadilan terhadap gugatan dengan Nomor Perkara 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst antara David M.L. Tobing, SH.Mkn dengan PT.Lion Mentari Air Lines.

2.Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Secara Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mengembangkan Ilmu Hukum khususnya Keperdataan yang berkaitan dengan Perlindungan Konsumen (Penumpang Maskapai Penerbangan) yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Penerbangan.

b. Secara Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan berguna :

1. Upaya perluasan pengetahuan bagi peneliti dan sumber informasi bagi pembaca mengenai tanggungjawab maskapai penerbangan dan perlindungan hukum terhadap penumpang yang dirugikan akibat keterlambatan penerbangan.

2. Sebagai bahan dasar atau masukan bagi praktisi (advokat), Masyarakat maupun pengambil kebijakan dalam melakukan complain (keluhan) terhadap maskapai penerbangan.


(23)

D. Kerangka Pemikiran

1.Kerangka Teori

Kerangka teori adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum. Kerangka teori merupakan upaya untuk mengidentifikasi teori–teori hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, serta norma-norma hukum.

Untuk mengkaji permasalahan hukum secara mendetail diperlukan beberapa teori yang merupakan rangkaian asumsi, konsep, definisi, untuk mengembangkan, menekankan serta menerangkan suatu gejala sosial secara sistematis. Suatu teori adalah hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu fakta tersebut merupakan suatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variable atau lebih yang telah diuji kebenarannya.6

Teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas atau menganalisis tidak sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan secara kritis ilmu hukum maupun hukum positif dengan menggunakan interdisipliner. Jadi, tidak hanya menggunakan metode sintesis saja. Dikatakan secara kritis karena pertanyaan-pertanyaan atau

permasalahan teori hukum tidak cukup dijawab secara “otomatis” oleh

6


(24)

hukum positif karena memerlukan argumentasi atau penalaran.7 Teori terdiri dari serangkaian pemahaman-pemahaman dari suatu kenyataan yang tersusun secara sistematis, logic dan konkrit yang melalui serangkaian pengujian yang telah diakui kebenarannya (walaupun sementara) dan masih membutuhkan serangkaian pengujian lagi agar diperoleh suatu kebulatan pemahaman tentang suatu hal.8 Dalam dunia hukum terhadap pemahaman bahwa istilah teori bukanlah suatu yang harus dijelaskan tetapi sebagai sesuatu yang seolah-olah telah dipahami maknanya.9

Permasalahan yang terkait dengan perlindungan hukum terhadap penumpang pesawat atas keterlambatan penerbangan akan dijawab dan diuraikan melalui teori-teori sebagai berikut:

1. Untuk menjawab rumusan masalah mengenai tanggungjawab maskapai penerbangan terhadap penumpang atas keterlambatan penerbangan digunakan teori sebagai berikut :

Teori Tanggung Jawab

Adapun teori yang digunakan dalam melakukan penelitian ini menggunakan Teori tanggung jawab hukum. Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukummenyatakan bahwa:

“Seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subjek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal

7

Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori hukum (edisi revisi), Cahaya atma pustaka, Yogyakarta, hlm.87

8

B.Hestu Cipto Handoyo, 2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hlm.28

9

Otje Salman, 2008, Teori Hukum – Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Jakarta, hlm.19


(25)

perbuatan yang bertentangan.“10 Lebih lanjut Hans Kelsen

menyatakan bahwa “Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang

diharuskan oleh hukum disebut kekhilafan (negligence) dan kekhilafan dipandang sebagai satu jenis lain dari kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipas dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat,

akibat yang membahayakan.”

Hans Kelsen selanjutnya membagi mengenai tanggung jawab terdiri atas:11

a. Pertanggungjawaban individu, yaitu seorang individu bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri.

b. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa

seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian.

d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.

Tanggung jawab secara etimologi adalah kewajiban terhadap segala sesuatu atau fungsi menerima pembebanan sebagai akibat tindakan

10

Hans Kelsen sebagaimana diterjemahkan oleh soemardi, General Theory Of Law And State, Teori Umum Hukum Dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, BEE Media Indonesia, Jakarta, 2007, hlm.81

11

Hans Kelsen sebagaimana diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, Teori Hukum Murni, Nuansa & Nusa Media, Bandung, 2006, hlm.140


(26)

sendiri atau pihak lain. Pengertian tanggung jawab menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan seterusnya).12

Menurut kamus hukum ada 2 istilah pertanggung jawaban yaitu : Liability (the state of being liable) dan responsibility (the state of fact being responsible). Liability merupakan istilah hukumyang luas, dimana liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggung jawab yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Liability juga merupakan kondisi tunduk kepada kewajiban secara actual atau potensial, kondisi bertanggung jawab terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau beban, kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang dengan segera atau pada masa yang akan datang. Responsibility berarti suatu hal yang dapat dipertanggung jawabkan atau suatu kewajiban dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan, kecakapan. Responsibility juga berarti kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apapun yang telah ditimbulkan.

Menurut Roscoe Pound, jenis tanggung jawab ada 3 yaitu : 1. Pertanggung jawaban atas kerugian dengan sengaja.

12

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1991. Kamus Besar


(27)

2. Atas kerugian karena kealpaan dan tidak disengaja.

3. Dalam perkara tertentu atas kerugian yang dilakukan tidak karena kelalaian serta tidak disengaja.

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah memberikan arah/ petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati, karena penelitian ini diarahkan kepada ilmu hukum positif yang berlaku, yaitu tentang hukum perjanjian dan lahirnya perjanjian yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dengan azas hukum kebebasan berkontrak yang menjadi dasar lahirnya perjanjian antara Pengusaha maskapai penerbangan dan Penumpang.

2. Untuk menjawab rumusan masalah tentang perlindungan hukum ataupun konsumen yang dirugikan akibat keterlambatan penerbangan, digunakan teori sebagai berikut :

Teori Perjanjian

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPerdata syarat sah perjanjian adalah :

1. Adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (Konsensus).

2. Adanya kecakapan pihak-pihak yang membuat perjanjian (capacity).

3. Adanya suatu hal tertentu (objek). 4. Adanya sebab yang halal (causa).


(28)

Menurut ketentuan pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa ada persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Alasan menggunakan teori tanggung jawab, oleh karena adanya pembahasan mengenai pengaturan tanggungjawab maskapai penerbangan hal ini masuk dalam substansi hukum (legal substance). Teori Perjanjian digunakan karena perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang berjanji untuk melaksanakan suatu hal.13 Melalui perjanjianlah terciptanya perikatan atau hubungan hukumyang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat perjanjian serta mempunyai asas kebebasan berkontrak.

2.Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti.14 Sesuai dengan definisi tersebut maka peneliti akan memberikan batasan pengertian yang berhubungan dengan judul yaitu :

a. Perlindungan Hukum diartikan sebagai tindakan melindungi atau memberikan pertolongan kepada subyek hukum dengan perangkat-perangkat hukum. Pengertian perlindungan hukum ini dapat diketahui unsur-unsur dari perlindungan hukum yaitu subjek yang melindungi,

13

R Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT.Citra Aditya. 1995.

14


(29)

obyek yang akan dilindungi alat, instrument maupun upaya yang digunakan untuk tercapainya perlindungan tersebut. 15

b. Penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan dan atas dasar ini ia berhak untuk memperoleh jasa angkutan.16

c. Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat diterbang diatmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.17

d. Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu Bandar udara ke Bandar udara yang lain atau beberapa Bandar udara.18

e. Pengangkut adalah badan usaha angkatan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.19

f. Keterlambatan adalah terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan.20

15

Philipus M. Hadjon,dkk, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hlm.10

16

Abdulkadir Muhammad, 2013, Hukum Pengangkutan Niaga, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,hlm.65

17

Undang-undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan pasal 1 angka ke-3

18

Ibid Pasal 1 angka ke-13

19

Ibid Pasal 1 angka ke-26

20


(30)

g. Penerbangan adalah satu kesatuan system yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, Bandara udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.21

h. Tanggungjawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/ atau pengirim barang serta pihak ketiga.22 Dalam angkutan udara terdapat tiga macam konsep dasar tanggung jawab hukum (legal liability concept), masing-masing konsep tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan (based on fault liability), konsep tanggung jawab hukum atas dasar praduga bersalah (presumption of liability) dan konsep tanggung jawab hukum tanpa salah (liability without fault) atau tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability).23

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.24

1.Pendekatan Masalah

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, informasi didapatkan dari berbagai aspek mengenai

21

Ibid Pasal 1 ayat 1

22

Ibid Pasal 1 angka ke-22

23Ibid

hlm.219

24


(31)

isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.25 Pendekatan masalah dalam penelitian ini mempergunakan beberapa pendekatan dalam memecahkan masalah, yaitu dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statute approach.). Disamping itu digunakan pendekatan analisis konsep hukum yaitu mengutip pandangan-pandangan atau pendapat para ahli yang terdapat pada buku-buku atau literatur yang relevan dengan permasalahan yang diteliti (analytical and conceptual approach) atau bahan hukum sekunder. Pendekatan ini juga mencari pembenaran atas suatu teori hukum atau azas-azas yang dapat digunakan dalam penelitian ini. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : Teori Tanggung Jawab dan Teori Perjanjian.

2.Jenis dan Sumber Data

Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan bahan hukum dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai bahan hukum sekunder. Bahan hukum dapat diklasifikasikan ke dalam 3 golongan: 26

1) Bahan hukum primer (primary law material), yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (kontrak, konvensi,dokumen hukum dan putusan pengadilan).

2) Bahan hukum sekunder (secondary law material), yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, dan media cetak atau elektronik).

25

Ibid hlm.93

26

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.82


(32)

3) Bahan hukum tertier (tertiary law material), yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (rancangan undang-undang, kamus hukum, dan ensiklopedia).

Bahan hukum Primer dalam penulisan ini adalah :

a) Hukum Internasional yaitu Konvensi Warsawa 1929, namun di penelitian ini penulis fokus pada hukum nasional saja.

b) Hukum nasional yang meliputi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 49 Tahun 2012 Tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. c) Putusan Pengadilan No.309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst antara David M.L.

Tobing, SH.Mkn dengan PT.Lion Mentari Air Lines tertanggal 28 Januari 2008.

Adapun bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penulisan ini yaitu buku-buku ataupun literatur-literatur yang memuat teori dan pandangan dari para ahli yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Serta bahan hukum tertier yang memberi petunjuk maupun penjelasan dalam penulisan


(33)

ini adalah kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia dan internet yang diuraikan pada halaman akhir penulisan ini.

3.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data a. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan menelaah dan menguntip dari bahan perpustakaan dan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bahasan.

b. Prosedur Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh selama pelaksanaan penelitian sealanjutnya diolah dengan tahapan sebagai berikut :

1. Seleksi Data

Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

2. Klasifikasi Data

Penempatan data menurut kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

3. Penyusunan Data

Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interprestasi data.


(34)

4.Analisis Data

Setelah pengolahan data selesai, maka dilakukan analisis data. Setelah itu dilakukan analisis kualitatif, artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan secara umum yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus terhadap pokok bahasan yang diteliti.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan Tesis ini adalah sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan. Bab Ini Berisi Latar Belakang Masalah, Permasalahan Dan Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan Dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori Dan Konseptual, Metode Penelitian Dan Sistematika Penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka. Bab ini berisi perjanjian pada umumnya, perjanjian pengangkutan udara, konsep perlindungan hukum dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan angkutan udara.

Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan. Bab Ini Berisi Deskripsi Dan Analisis Hasil Penelitian Mengenai tanggung jawab maskapai penerbangan terhadap penumpang atas keterlambatan penerbangan (Flight Delayed) menurut Undang-Undang penerbangan dan Undang-Undang perlindungan konsumen, Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pesawat atas Keterlambatan Penerbangan (Flight Delayed) menurut Undang-Undang penerbangan dan Undang-Undang perlindungan konsumen, putusan pengadilan terhadap gugatan dengan Nomor 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst antara David M.L.Tobing, S.H.,M.Kn dengan PT.Lion Mentari Air Lines.


(35)

Bab IV Penutup. Bab Ini Berisi Kesimpulan penelitian sebagai jawaban permasalahan dan saran-saran yang diajukan kepada pihak yang berkaitan dengan penelitian demi perbaikan di masa mendatang.

Daftar Pustaka Lampiran


(36)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Konsep Perjanjian

Pasal 1313 KUHPdt, memberikan perumusan tentang pengertian perjanjian

yaitu “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Pengaturan

perjanjian terdapat dalam Pasal 1313 KUHPdt tersebut memberikan penjelasan, bahwa yang dapat membuat perjanjian itu tidak hanya satu orang dengan seorang lainnya saja, akan tetapi perjanjian juga dapat dibuat oleh seorang terhadap beberapa orang lainnya atau sebaliknya. Rumusan perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1313 KUHPdt terdapat beberapa kelemahan yaitu:

a. Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini dapat diketahui dari rumusan kata

“mengikat”sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, seharusnya

rumusan ini adalah “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara

dua pihak.

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. c. Pengertian perjanjian terlalu luas

d. Tanpa menyebut tujuan, rumusan pasal tersebut tidak menyebut tujuan mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa. 1

1


(37)

Berdasarkan pada kelemahan di atas para sarjana memberikan pengertian mengenai perjanjian, antara lain menurut Soebekti, Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dengan mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Pendapat Pitlo, perjanjian adalah hubungan hukum dalam harta kekayaan antara dua pihak atau lebih atas dasar mana satu pihak berhak/ kreditur dan pihak lain berkewajiban/ debitur atas suatu prestasi. Abdulkadir Muhammad

merumuskan perjanjian sebagai “suatu persetujuan dengan mana dua orang

atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hak mengenai

harta kekayaan”.2

Selanjutnya perikatan adalah “suatu hubungan harta kekayaan/ benda antara dua orang atau lebih, yang member kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan kepada pihak lain untuk melaksanakan prestasi”. 3

Perikatan (verbintenis) mengandung pengertian “suatu hubungan harta kekayaan/ harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan

pula pihak lain untuk melaksanakan prestasi”. Dari definisi diatas dapat

dilihat adanya unsur-unsur sebagai berikut:

a. Hubungan hukum yaitu hubungan yang diatur oleh hukum dan menyebabkan akibat hukum

b. Bidang harta kekayaan yaitu sesuatu yang dapat dinilai dengan uang c. Pihak-pihak yang terlibat yaitu dua pihak atau lebih

2

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1992. Hlm 10

3


(38)

d. Hak dan kewajiban yaitu yang satu berhak dan yang lain berkewajiban atau sebaliknya.

e. Adanya prestasi yang harus dipenuhi, adapun wujud prestasi dapat berupa: 1) Memberi sesuatu

2) Melakukan sesuatu 3) Tidak melakukan sesuatu

Perjanjian timbul dari adanya hubungan antara pihak-pihak. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah perjanjian itu menerbitkan perikatan. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, dan perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi ada juga sumber lain yang melahirkan perikatan yaitu undang-undang. Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang diadakan oleh undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan.

1. Unsur-unsur dan Syarat Sah Perjanjian a.Unsur-unsur perjanjian

Ada empat unsur perjanjian, yaitu :

1) Unsur subjek, yaitu pihak-pihak minimal dua pihak sebagai pelaku, yang terdiri dari perusahaan dan penumpang yang akan mengadakan perjanjian. Subjek perjanjian adalah para pihak yang hendak melakukan perjanjian sebagai pelaku dari suatu tindakan hukum tertentu, yang


(39)

mana dalam hal ini tindakan hukum perjanjian dari sudut hukum adalah sebagai subjek hukum. Subjek hukum sebagai pelaku perbuatan hukum diartikan sebagai hukum pengemban hak dan kewajiban. Subjek hukum terdiri dari dua macam, yakni :

a) Manusia

Manusia sebagai subjek hukum perikatan adalah pihak yang sudah dapat dibebani hukum.

b) Badan hukum

Badan hukum adalah badan yang dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan berhubungan hukum terhadap orang lain atau badan hukum.

2) Unsur perbuatan, yaitu kewenangan berbuat menurut undang-undang. Manusia dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila dia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 Tahun atau sudah menikah walupun belum 21 Tahun atau sehat pikiran, memiliki kebebasan atau tidak dibawah pengampuan untuk dpaat melakukan suatu perjanjian atau memiliki surat kuasa bila mewakili pihak lain. 3) Unsur prestasi, yaitu objek tertentu atau dapat ditentukan. Sesuaut yang

memenuhi syarat yatu benda yang sudah tertentu atau dapat ditentukan, milik yang sah dan tidak dilarang undang-undang yaitu benda-benda yang digunakan dalam kegiatan usaha. Benda tersebut dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud; benda terdaftar atau tidak terdaftar; benda bergerak atau tidak bergerak.

4) Unsur tujuan, yaitu tujuan yang halal yang ingin dicapai pihak-pihak memenuhi syarat, yaitu tidak dilarang undang-undang, tidak


(40)

bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat.

Berdasar pada rumusan diatas, apabila di telaah secara mendalam, maka dari pengertian perjanjian memuat beberapa unsur,4 sebagai berikut: 1) Ada pihak-pihak, sekurang-kurangnya dua orang (subjek)

2) Ada persetujuan antara pihak-pihak (consensus) 3) Ada objek yang berupa benda

4) Ada tujuan bersifat kebendaan (mengenai harta kekayaan) 5) Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan

b. Syarat Sah Perjanjian

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang diteteapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang dibuat secara sah diakui dan diberi akibat hukum. Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPdt, syarat sahnya perjanjian adalah adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian, ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian, ada suatu hal tertentu, ada suatu sebab yang halal.

Sebelum perjanjian akan dibuat, terlebih dahulu harus memenuhi beberapa syarat sehingga secara hukum sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Syarat sah perjanjian secara umum diatur dalam Pasal 1320 KUHPdt, yang mana ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, diantaranya adalah : 1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) Suatu hal

4


(41)

tertentu; 4) Sebab yang halal5. Ke empat syarat tersebut dapat dijelaskan, sebagai berikut:

1.Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

Pengertian sepakat dinyatakan sebagai kehendak yang disetujui (Overeenstemmend wils verklaring) antara pihak-pihak. Oleh karenanya tidak ada unsur paksaan, penipuan mengenai hal-hal pokok dalam suatu perjanjian yang telah dibuat, jadi apa yang dikehendaki oleh suatu pihak telah disetujui oleh pihak lain secara timbale balik. Dilihat dari syarat sahnya perjanjian ini, dapat dibedakan menjadi tiga bagian perjanjian, yaitu esensialia, naturalia dan aksidentalia. Esensialis adalah bagian yang merupakan sifat yang harus ada didalam perjanjian, sifat ini yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta. Naturalia adalah bagian yang merupakan sifat bawaan dari perjanjian yang pasti ada dalam perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti. Aksidentalia, bagian ini merupan sifat yang melekat pada suatu perjanjian yang merupakan ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.

2.Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Dalam hal ini dapat kita lihat ketentuan dlaam Pasal 1329 sampai dengan

Pasal 1331 KUHPdt yang berbunyi “setiap orang adalah cakap untuk

membuat perikatan, kecuali jika undang-undang menyatakan bahwa orang tersebut tidak cakap. Orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka berada dibawah

5


(42)

pengampunan”. Untuk melakukan suatu perjanjian dalam perhubungan

hukum menurut undang-undang haruslah orang-orang yang terlah cakap bertindak dalam hukum. Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu undang-undang atau peraturan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.

Menurut undang-undang, seseorang itu dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa atau apabila seseorangn sudah mencapai umur 21 Tahun atau sudah dewasa atau apabila seseorang itu sudah mencapai umur 21 Tahun atau sudah lebih dahulu telah kawin walaupun belum mencapai umur 21 Tahun. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampunan yang juga termasuk orang-orang yang dalam keadaan dungu, sakit otak dan yang penglihatannya buta walupun kadang-kadang dia cakap mempergunakan pengampunan hal ini dapat kita lihat di dalam Pasal 433 KUHPdt.

3.Sesuatu hal tertentu

Sesuatu hal tertentu artinya apa yang telah diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu benda yang cukup jelas atau tertentu. Undang-undang menentukan benda-benda yang tidak dapat dijadikan objek dari perjanjian. Benda-benda itu adalah dipergunakan untuk kepentingan umum, itu sebabnya suatu perjanjian harus mempunyai objek tertentu sekurang-kurangya dapat ditentukan. Hal ini sesuai dengan

Pasal 1335 KUHPdt, yaitu “benda-benda itu dapat berupa benda yang


(43)

4.Suatu sebab yang halal

Pada Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHpdt, yaitu : “untuk sahnya

suatu perjanjian, undang-undang mengisyaratkan adanya kuasa. Undang-undang tidak memberikan pengertian kausa. Yang dimaksud dengan kausa bukan hubungan sebab akibat, tetapi isi dan maksud/ tujuan perjanjian. Melalui syarat ini, dalam praktik maka hakim dapat mengawasi praktik tersebut. Hakim dapat menilai apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan”.

Syarat pertama dan kedua sebagai syarat subjektif, karena dua persyaratan tersebut merupakan subjek perjanjian, sehingga dengan demikian apabila tidak dipenuhi salah satunya, maka perjanjian tersebut boleh dimintakan pembatalannya.

Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, karena kedua persyaratan tersebut mengenai objek perjanjian dan jika salah satunya tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Apabila syarat sah suatu perjanjian sebagaimana tersebut dalam Pasal 1320 KUHPdt telah dipenuhi, maka menurut Pasal 1338 KUHPdt perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan ketentuan undang-undang. Ketentuan

Pasal 1338 KUHPdt menegaskan bahwa “semua persetujuan yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undnag bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan ini tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alas an-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.


(44)

Atas dasar ketentuan yang terdapat pada Pasal 1338 KUHPdt, maka dapat diketahui adanya asas kebebasan berkontrak, yaitu setiap orang bebas membuat perjanjian asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Membuat suatu perjanjian para pihak berjanji, bebas dalam menentukan hal-hal yang akan diperjanjikan dan juga bentuk dari perjanjian yang mereka buat, dengan kata lain bahwa mereka bebas tanpa danya unsur-unsur paksaan dari satu pihak dalam membuat perjanjian itu.

Perjanjian dibuat haruslah mengindahkan ketentuan yang ada, maka harus memperhatikan asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian pada umumnya. Adapun asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian6 adalah :

1) Asas Kebebasan berkontrak 2)Asas kesepakatan

3)Asas kekuatan mengikat 4)Asas itikad baik

5)Asas kepatuhan dan kebiasaan

3. Akibat Hukum Perjanjian

Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan hubungan hukum sehingga adanya hak dan kewajiban para pihak. Pihak yang berhak atas prestasi (pihak yang aktif) adalah kreditur sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi adalah debitur.7 Menurut ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian yang dibuat harus memenuhi syarat pada Pasal 1320 KUHPerdata berlaku sebagai

6

Abdulkadir Muhammad. 1982, Hukum Perikatan. Alumni. Bandung. hlm 84

7


(45)

undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan yang cukup menurut undang-undang dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.8 Akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak merupakan suatu kenikmatan sedangkan kewajiban merupakan suatu bebab. Adapun ketentuannya sebagai berikut :

a. Jika memenuhi unsur dan syarat akibatnya; perjanjian itu sah dan mengikat. Wajib dilaksanakan dengan itikad baik oleh pihak dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak. Perjanjian berlaku sebagai undnag-undang bagi para pihak, artinya para pihak harus mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati undang-undang.

b. Jika memenuhi unsur tetapi ada syarat yang tidak dipenuhi akibatnya; perjanjian itu sah tetapi tidak mengikat. Tidak wajib dilaksanakan atau ditunda pelaksanaannya sampai syarat dipenuhi, apabila dilaksanakan juga, pelaksanaan itu diancam dengan pembatalan, jika ada yang membatalkan syarat itu dianggap sudah dipenuhi. Perjanjian ini disebut dapat dibatalkan.

c. Jika ada unsur yang tidak dipenuhi, dengan sendirinya syarat juga tidak dipenuhi akibatnya; perjanjian itu tidak sah dan tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Perjanjian ini disebut batal demi hukum.

B. Perjanjian Pengangkutan Udara 1. Perjanjian Pengangkutan Udara

Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu

8


(46)

kelain tempat, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya.9 Sebelum dipaparkan mengenai perjanjian pengangkutan udara terlebih dahulu dijelaskan mengenai hukum Pengangkutan Udara. Hukum pengangkutan udara adalah sekumpulan aturan (kaidah, norma) yang mengatur masalah lalu lintas yang berkaitan dengan pengangkutan penumpang dan barang dengan pesawat udara. Hukum pengangkutan udara (Air Transportation) adalah merupakan bagian daripada hukum penerbangan (Aviation Law) dan hukum penerbangan merupakan bagian dari hukum udara(air Law). Hukum udara adalah sekumpulan peraturan yang menguasai ruang udara serta penggunaannya di lingkungan penerbangan. Hukum penerbangan adalah kumpulan peraturan yang secara khusus mengenai penerbangan, pesawat udara, ruang udara dan peranannya sebagai unsur yang perlu bagi penerbangan. Dengan demikian, hukum udara lebih luas cakupannya dari pada hukum penerbangan atau hukum pengangkutan udara.

Peraturan perUndang-Undangan juga dijelaskan beberapa defenisi yang berkenaan dengan kegiatan pengangkutan udara, yaitu antara lain: dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, menentukan beberapa ketentuan umum, yaitu antara lain :

a. Penerbangan adalah satu kesatuan system yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandara udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.

b. Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo dan/atau pos untuk satu

9


(47)

perjalanan atau lebih dari satu Bandar udara ke Bandar udara yang lain atau beberapa Bandar udara.

c. Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran.

Perjanjian pengangkutan udara adalah suatu perjanjian antara seorang pengangkut udara dan pihak penumpang atau pihak pengirim udara, dengan imbalan bayaran atau suatu prestasi lain. Dalam arti luas suatu perjanjian angkutan udara dapat merupakan sebagian dari suatu perjanjian pemberian jasa dengan pesawat udara.10 Menurut G Kartasapoetra, perjanjian pengangkutan udara adalah suatu perjanjian antara pengangkut dengan pihak penumpang atau pihak pengirim barang untuk mengangkut penumpang atau barang dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau prestasi lain.

Berdasarkan rumusan perjanjian pengangkutan udara di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perjanjian pengangkutan udara harus terdapat beberapa unsur diantaranya adanya para pihak atau subjek hukum, adanya alat atau sarana pengangkut, adanya prestasi yang harus dilaksanakan oleh pengangkut, kemudian adanya kewajiban membayar ongkos atau biaya pengangkutan. Perjanjian pengangkutan dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan.11

10

Ningrum, Lestari. Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis,Bandung: Citra Aditya Bakti. 2004

11


(48)

2. Subjek dan Objek Perjanjian Pengangkutan Udara a. Subjek dalam perjanjian Pengangkutan Udara

1. Penumpang

Penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan dan atas dasar ini ia berhak untuk memperoleh jasa pengangkutan.12 Menurut perjanjian pengangkutan, penumpang mempunyai dua status, yaitu sebagai subjek karena dia adalah pihak dalam perjanjian dan sebagai objek karena dia adalah muatan yang diangkut. Sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan, penumpang harus mampu melakukan perbuatan hukum atau mampu membuat perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata). Ada beberapa criteria penumpang menurut Undang-Undang Pengangkutan Indonesia, yaitu: a) Orang yang berstatus pihak dalam perjanjian pengangkutan

b)Pihak tersebut adalah penumpang yang wajib membayar biaya pengangkutan.

c) Pembayaran biaya pengangkutan dibuktikan oleh karcis yang dikuasai oleh penumpang.

E.Suherman menyatakan bahwa dalam penerbangan teratur (schedule) definisi penumpang adalah setiap orang yang diangkut dengan pesawat udara oleh pengangkut berdasarkan suatu perjanjian angkutan udara dengan atau tanpa bayaran.13

Dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan orang, penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan

12

Abdulkadir Muhammad, 2013,Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti hlm.65

13


(49)

atas dirinya yang diangkut. Draft convention September 1964 dirumuskan tentang defenisi penumpang di mana disebutkan bahwa penumpang adalah setiap orang yang diangkut dalam pesawat udara, kecuali orang yang merupakan anggota awak pesawat, termasuk pramugara atau pramugari.

Dengan defenisi tersebut, maka jelaslah semua yang termasuk awak pesawat sebagai pegawai pengangkut tidak tergolong sebagai penumpang, sedangkan pegawai darat pengangkut yang turut serta atau diangkut dengan pesawat udara baik untuk keperluan dinas pada perusahaan penerbangannya maupun untuk kepentingan pribadi dianggap sebagai penumpang biasa.

2. Pihak Pengangkut

Pengangkut pada umumnya adalah orang yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Menurut Abdulkadir Muhammad14 pengangkut memiliki dua arti, yaitu sebagai pihak penyelenggara pengangkutan dan sebagai alat yang digunakan untuk menyelenggarakan pengangkutan. Pengangkutan pada arti yang pertama masuk dalam subjek pengangkutan sedangkan pada arti pengangkut yang kedua masuk dalam kategori objek pengangkutan.

Pengangkut memiliki arti yang luas yaitu tidak hanya terbatas atau dipertanggungjawabkan kepada crew saja, melainkan juga

14

Abdulkadir Muhammad, 2007, Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan Niaga di

Indonesia, Dalam Perspektif Hukum Bisnis di Era Globalisasi Ekonomi,Penerbit Genta Press,


(50)

perusahaan yang melaksanakan angkutan penumpang atau barang. Pengangkut mengikatkan diri untuk mengangkut muatan yang diserahkan kepadanya, selanjutnya menyerahkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penerima dan menjaga keselamatan barang muatan tersebut. Pengangkut dalam melaksanakan kewajibannya yaitu mengadakan perpindahan tempat, harus memenuhi beberapa ketentuan yang tidak dapatditinggalkan antara lain, yaitu sebagai berikut:

1. menyelenggarakan pengangkutan dengan aman, selamat dan utuh; 2. pengangkutan diselenggarakan dengan cepat, tepat pada waktunya: 3. diselenggarakan dengan tidak ada perubahan bentuk.

Pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau penumpang. Pengangkut dapat berstatus Badan Usaha Milik Negara/Daerah, Badan Usaha Miliki Swasta, Badan Usaha Koperasi, atau Perseorangan yang bergerak di bidang jasa pengangkutan niaga. Ada beberapa ciri dan karakteristik pengangkut yaitu sebagai berikut:

a) perusahaan penyelenggara angkutan; b) menggunakan alat angkut mekanik; c) penerbit dokumen angkutan.

Pengangkut udara

Dalam Konvensi Guandalajara 1961, ada dua macam pengangkut, masing-masing pengangkut yang membuat perjanjian (contracting carier) dan pengangkut yang benar-benar mengangkut (actual carrier). Contracting Carrier adalah orang yang membuat perjanjian untuk transportasi dengan penumpang atau pengirim atau seorang yang


(51)

bertindak sebagai penumpang atau pengirim barang yang diatur oleh Konvensi Warsawa 1929. Actual carrier adalah orang selain pengangkut yang, berdasarkan kuasa dari pengangkut yang membuat perjanjian, melakukan seluruh atau sebagian pengangkutan, tetapi yang tidak termasuk bagian pengangkutan berturut-turut sebagaimana dimaksudkan dalam Konvensi Warsawa 1929.15

E. Suherman mendefenisikan pengangkut udara yaitu setiap pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan dengan pihak penumpang atau pengirim atau penerima barang, perjanjian mana dapat dibuktikan dengan dokumen angkutan yang diberikan pada penumpang/pengirim barang.16 Dalam penyelenggaraan kegiatan angkutan udara niaga atau komersial, pengangkut adalah perusahaan-perusahaan penerbangan atau biasa disebut juga dengan maskapai penerbangan, ada juga menyebutnya operator penerbangan. Pengangkutan udara dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha pengangkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha pengangkutan udara niaga.17 Pengangkutan udara niaga adalah perusahaan pengangkutan udara yang mendapat izin dari pemerintah menggunakan pesawat udara niaga dengan memungut bayaran. Perusahaan badan hukum boleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT.Garuda Indonesia Airways (Persero) dan PT.Merpati Nusantara Airlines (Persero). Boleh juga Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) seperti Sriwijaya Airlines, dan PT.Lion Airlines.

15

H.K. Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2013 hlm. 78

16

E.Suherman.Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara.Bandung:Alumni.1984 hlm.79

17


(52)

b. Objek dalam Perjanjian Pengangkutan Udara

Objek hukum adalah isi perjanjian atau pokok perjanjian, yaitu keseluruhan kewajiban dan hak yang menyebabkan terjadinya perjanjian atau lebih dikenal sebagai prestasi. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Keduanya sering disebut sebagai syarat obejektif untuk sahnya perjanjian. Berdasarkan Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata bahwa untuk sahnya perjanjian maka objeknya haruslah tertentu, atau setidaknya cukup dapat ditentukan. Objek perjanjian tersebut dengan demikian haruslah : 1) Dapat diperdagangkan;

2) Dapat ditentukan jenisnya; 3) Dapat dinilai dengan uang, dan

4) Memungkinkan untuk dilakukan/ dilaksanakan.18

Perjanjian pengangkutan udara yang menjadi objek perjanjian adalah barang dan penumpang, sampai proses pengangkutan berakhir.

1. Hak dan Kewajiban Penumpang dan Pihak Pengangkut a. Hak Penumpang

Seorang penumpang dalam perjanjian angkutan udara tentunya mempunyai hak untuk diangkut ke tempat tujuan dengan pesawat udara yang telah ditunjuk atau dimaksudkan dalam perjanjian angkutan udara yang bersangkutan.19 Perjanjian angkutan udara yang dimaksud yaitu tiket penumpang dan pas masuk pesawat udara (Boarding pass). Di samping itu juga penumpang atau ahli warisnya berhak untuk

18

Elly Erawati dan Herlien Budiono. Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian. Jakarta: Nasional Legal Reform Program,2010 hlm 9

19

Hadisuprapto, Hartono Dkk. Pengangkutan Dengan Pesawat Udara. Yogyakarta: UII Press.1987 hlm 26


(53)

menuntut ganti rugi atas kerugian yang dideritanya sebagai akibat adanya kecelakaan penerbangan atas pesawat udara yang bersangkutan. Selain itu hak-hak penumpang lainnya adalah menerima dokumen yang menyatakannya sebagai penumpang, mendapatkan pelayanan yang baik, memperoleh keamanan dan keselamatan selama dalam proses pengangkutan dan lain-lain. Penumpang berhak menggunakan tiket penumpang yang dimilikinya sesuai dengan nama yang tercantum dalam tiket tersebut dengan dibuktikan oleh dokumen identitas diri.

b. Kewajiban Penumpang

Sebagai salah satu pihak dalam perjanjian angkutan udara maka penumpang memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut:

a) Membayar uang angkutan, kecuali ditentukan sebaliknya

b) Mengindahkan petunjuk-petunjuk dari pengangkut udara atau dari pegawai-pegawainya yang berwenang untuk itu

c) Menunjukan tiketnya kepada pegawai-pegawai pengakut udara setiap saat apabila diminta

d) Tunduk kepada peraturan-peraturan pengangkut udara mengenai syarat-syarat umum perjanjian angkutan muatan udara yang disetujuinya

e) Memberitahukan kepada pengangkut udara tentang barang-barang berbahaya atau barangbarang terlarang yang dibawa naik sebagai bagasi tercatat atau sebagai bagasi tangan, termasuk pula barang-barang terlarang yang ada pada dirinya.


(54)

Apabila penumpang tidak melaksanakan kewajibannya itu, maka sebagai konsekuensinya pengangkut udara berhak untuk membatalkan perjanjian angkutan udara itu. Disamping itu juga apabila penumpang yang melalaikan kewajibannya itu kemudian menimbulkan kerugian sebagai akibat perbuatannya itu, maka ia sebagai penumpang harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

c. Hak Pengangkut

Secara umum hak pengangkut adalah menerima pembayaran ongkos angkutan dari penumpang atau pengirim barang atas jasa angkutan yang telah diberikan. Akan tetapi di dalam Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 ditentukan hak pengangkut, yaitu sebagai berikut:

1) Pada Pasal 7 ayat (1), Setiap pengangkut barang berhak untuk meminta kepada pengirim untuk membuat dan memberikan surat yang dinamakan "surat muatan udara". Setiap pengirim berhak untuk meminta kepada pengangkut agar menerima surat tersebut. 2) Pasal 9, Bila ada beberapa barang, pengangkut berhak meminta

kepada pengirim untuk membuat beberapa surat muatan udara. 3) Pasal 17 ayat (1), Bila penerima tidak datang, bila ia menolak untuk

menerima barangbarang atau untuk membayar apa yang harus dibayamya, atau bila barang-barang tersebut disita, pengangkut wajib menyimpan barang-barang itu di tempat yang cocok atas beban dan kerugian yang berhak. Dan pada ayat (2) Pengangkut wajib memberitahukan kepada pengirim, dan dalam hal ada penyitaan, juga kepada penerima, secepat-cepatnya dengan telegram


(55)

atau telepon, atas beban yang berhak tentang penyimpanan itu dan sebab-sebabnya.

Disamping hak-hak yang diatur dalam Ordonansi Pengangkutan Udara tersebut di atas, masih ada hak-hak yang lain dari pengangkut seperti hak untuk menolak pelaksanaan atau mengangkut penumpang yang tidak jelas identitasnya. Hal tersebut dapat ditemukan di dalam tiket pesawat yang menyatakan bahwa hak pengangkut untuk menyerahkan penyelenggaraan atau pelaksanaan perjanjian angkutan kepada perusahaan penerbangan lain, serta mengubah tempat-tempat pemberhentian yang telah disetujui.

d. Kewajiban Pengangkut

Secara umum kewajiban pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan barang atau penumpang beserta bagasinya dan menjaganya dengan sebaik-baiknya hingga sampai di tempat tujuan. Pengangkut juga wajib :

- menyerahkan tiket penumpang kepada penumpang perseorangan atau penumpang kolektif;

- menyerahkan pas masuk pesawat udara sebagaimana dimaksudkan Pasal 150 huruf b UURI No.1 Tahun 2009 kepada penumpang; - menyerahkan tanda pengenal bagasi kepada penumpang.

3. Akibat Hukum Perjanjian Pengangkutan Udara

Setiap perjanjian akan menimbulkan hubungan hukum bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Hubungan hukum adalah hubungan antara


(56)

dua atau lebih pihak yang menimbulkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak20.

Menurut perspektif hukum, sengketa dapat berawal dari adanya suatu wanprestasi dari salah satu pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum. Lahirnya suatu tanggung jawab hukum berawal dari adanya perikatan yang melahirkan hak dan kewajiban. Menurut ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata hak dan kewajiban (perikatan) bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang terbagi lagi menjadi perbuatan menurut hukum dan perbuatan melawan hukum, sedangkan timbulnya perikatan yang lahir karena perjanjian membebankan kepada para pihak yang melakukan perjanjian untuk melaksanakan hak dan kewajiban atau yang dikenal dengan ”prestasi”, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi maka dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi (kelalaian).

Menurut PNH Simanjuntak wanprestasi adalah keadaan di mana seorang debitur(pihak yang berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagai mana mestinya sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian.21 Wanprestasi (lalai/alpa) dapat timbul karena kesengajaan atau kelalaian debitur sendiri itu sendiri dan karena factor adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeur). Adapun yang menjadi kreteria seorang debitur dikatakan telah melakukan wanprestasi apabila:

a) Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;

b) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya;

20

R.Suroso. Pengantar Ilmu Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.2001. hlm 269

21


(57)

c) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya dan

d) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak diwajibkan dalam perjanjian.

Prinsip-prinsip dari wanprestasi di atas dapat terjadi dalam perjanjian pengangkutan udara. Dengan demikian, pihak pengangkut wajib untuk mengganti kerugian yang dialami penumpang. Menurut ketentuan yang terdapat di dalam KUHPerdata, debitur yang melakukan wanprestasi dapat dikenakan sanksi-sanksi sebagai berikut :

1) Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata)

2) Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUH Perdata)

3) Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 Ayat(2) KUH Perdata)

4) Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 HIR).

Berdasarkan ketentuan Pasal 1267 KUH Perdata, dalam hal debitur melakukan wanprestasi, maka debitur dapat memilih tuntutan-tuntutan haknya berupa:

a. Pemenuhan perjanjian

b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi c. Ganti kerugian saja

d. Pembatalan perjanjian


(1)

118

mengganti rugi. Namun, untuk melindungi penumpang yang dirugikan dalam undang-undang ini penumpang berhak untuk melakukan upaya hukum jika ternyata pengangkut tidak mengganti rugi. Karena dalam undang-undang ini tidak menyebutkan sanksi terhadap maskapai penerbangan sebagai pihak pengangkut jika tidak memberikan ganti kerugian atau kompensasi atas keterlambatan penerbangan. Adapun Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, menyebutkan bahwa tiket penumpang pada umumnya mempergunakan perjanjian baku dengan klausula-klausula baku. Hal ini diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan pasal 18 UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Namun, jika ada klausula baku pengalihan tanggung jawab dalam tiket penumpang maka perjanjian ini batal demi hukum. Penumpang juga dapat melakukan upaya-upaya hukum untuk menuntut ganti kerugian kepada pelaku usaha jika ternyata pelaku usaha tidak melakukan kewajibannya.

3. Putusan pengadilan terhadap gugatan Nomor perkara 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst antara David M.L.Tobing, S.H., M.Kn dengan PT.Lion Mentari Air Lines yang salah satu putusan menyebutkan tentang klausula baku. Klausula baku yang ada didalam tiket penumpang menitik beratkan adanya pengalihan tanggung jawab maskapai penerbangan. Tentunya hal ini bertentangan dengan kesusilaan (moral), kepatutan, kebiasaan dan/atau undang-undang. Karena walaupun Undang-Undnag No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen memperbolehkan adanya klausula baku dalam perjanjian baku namun tidak memberatkan salah satu pihak. Dengan adanya klausula baku mengenai pengalihan


(2)

119

tanggung jawab membuat para pihak tidak sejajar atau tidak setara sehingga membuat salah satu pihak dirugikan, maka perjanjian ini batal demi hukum. Maka putusan pengadilan negeri Jakarta pusat mengenai kasus ini sudahlah sangat tepat dan relevan serta memberikan keadilan kepada penumpang sebagai pihak yang dirugikan.

B. Saran

1. Adanya ketentuan sanksi terhadap maskapai penerbangan jika tidak memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan penerbangan (Flight Delayed).

2. Adanya perhatian dari pemerintah khususnya Direktorat Jendral Perhubungan Udara sebagai Pembina yang mengatur, mengendalikan dan mengawasi pengangkutan udara terhadap maskapai penerbangan yang memberikan pelayanan buruk terhadap para penumpang pesawat dengan memberikan sanksi yang tegas.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti. Bandung.

--- 2013, Hukum Pengangkutan Niaga, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.

--- 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

--- 2004, Hukum Perikatan. Alumni. Bandung.

--- 2007, Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan Niaga di Indonesia, Dalam Prespektif Hukum Bisnis di Era Globalisasi Ekonomi, Genta Press, Yogyakarta.

B.Hestu Cipto Handoyo , 2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Universitas Atmajaya, Yogyakarta.

Elly Erawati dan Herlien Budiono, 2010, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian, Nasional Legal Reform Program, Jakarta.

E.Suherman, 1984, Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Alumni Bandung. Hadisuprapto, Hartono Dkk, 1987, Pengangkutan Dengan Pesawat Udara. UII

Press, Yogyakarta.

Hans Kelsen, 2007, General Theory of Law and State, BEE Media Indonesia,

Jakarta. (diterjemahkan oleh somardi “Dasar-dasar ilmu hokum normatif

sebagai ilmu hokum deskriptif empiric”)

--- 2006, Teori Hukum Murni, Nuansa & Nusa Media, Bandung. (diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien)

H.K.Martono dan Amad Sudiro,2011, Hukum Angkutan Udara, Rajawali Pers, Jakarta.

--- Agus Pramono, 2013, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional, Rajawali Pers, Jakarta.

Hornby, AS dan AP. Cowie, 1974, oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English (London: OxfordUniversity Press)

Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT.Citra Aditya, Bandung.

Ningrum, Lestari, 2004, Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung.


(4)

Otje Salman, 2008, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.

Philipus M.Hadjon,dkk, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada Press, Yogyakarta

PNH Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jembatan, Jakarta. Riduan Syahrini, 2010, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni. R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya, Bandung.

--- 2004, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta. R.Suroso, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika. Jakarta.

Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Gravindo Persada, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UII-Press, Jakarta. Sudikno Mertokusumo,2012, Teori hukum (edisi revisi), Cahaya atma pustaka,

Yogyakarta.

Taufik Simatupang, 2004, Aspek Hukum Periklanan, PT.Aditya Bakti, Bandung. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1991.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet ke:1, Balai Pustaka, Jakarta.

Tim Penyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) Pembimbingan dan Panduan Penulisan Tesis dan Artikel Jurnal, 2014, Standar Operasional Prosedur (SOP) Pembimbingan dan Panduan Penulisan Tesis dan Artikel Jurnal, Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Wahyu Sasongko, 2007, Ketentuan-ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Yusuf Sofie, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen hukumnya, PT.Citra Aditya, Bandung.

Internet :

Ririn Radiawati, 28 Januari 2013, Tujuh Negara dengan bandara tersibuk sejagat, http//:www.m.merdeka.com/ dikutip tanggal 12 maret 2014.


(5)

Hendra Kusuma,11 Desember 2013,Akhir Tahun, penumpang pesawat ditaksir melonjak naik 15%,http//:www.okezone.com/ kutip 13 Februari 2014.

Tinta Pena, 04 Agustus 2014, Sisi Lain Penerbangan yang terlambat (Delayed), http//:www.wordpress.com/tintapena.co dikutip tanggal 13 Desember 2014 Peraturan-peraturan :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 49 Tahun 2012 Tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal dalam Negeri.


(6)