Kajian Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Pasien Dalam Perjanjian Terapeutik (Transaksi Medis)

(1)

KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI

PASIEN DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK

(TRANSAKSI MEDIS)

TESIS

Oleh

ARDIAN SILVA KURNIA

087011020/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN

DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK

(TRANSAKSI MEDIS)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

ARDIAN SILVA KURNIA

087011020/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK (TRANSAKSI MEDIS)

Nama Mahasiswa : Ardian Silva Kurnia Nomor Pokok : 087011020

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing,

Prof.Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum Ketua

Prof.Dr. Suhaidi, SH, MH Dr. Faisal Akbar, SH, Mhum Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN Prof. Dr. Runtung, SH, MHum


(4)

Telah diuji pada :

Tanggal 30 Agustus 2010

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

2. Dr. Faisal Akbar, SH, MHum

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, Mhum


(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ardian Silva Kurnia

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Tempat/Tanggal Lahir : Purwokerto / 30-Mei-1982

Alamat : Jl. Karyawisata Komplek Johor Indah Permai Blok VI

No. 69A Medan

PENDIDIKAN :

1988-1994 : SD NEGERI 060812 MEDAN

1994-1997 : SLTP SWASTA AL-AZHAR MEDAN

1997-2000 : SMU NEGERI 2 MEDAN

2001-2005 : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MERDEKA MALANG

2008-2010 : PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


(6)

A B S T R A K

Hubungan antara pasien dengan dokter dalam pelayanan medis merupakan suatu hubungan kepercayaan yang tidak tertulis dan dilakukan secara diam-diam dalam suasana saling mempercayai (konfidensial). Dalam ilmu kedokteran modern sekarang ini hubungan tersebut dikenal dengan "transaksi teraupetik" karena sifatnya yang sukarela dan tidak tertulis yang timbul dari permintaan dan pemenuhan dalam hubungan yang bersifat alamiah. Permasalahan hukum perjanjian terapeutik, terletak pada masalah perlindungan hukum bagi pasien. Tidak tercapainya tujuan perjanjian terapeutik, menempatkan pasien sebagai pihak yang harus menanggung segala akibat tindakan medis, baik berupa kerugian fisik yaitu pasien cacat atau meninggal dunia maupun kerugian materil.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis karena menelaah bagaimana penegakan hukum itu berjalan terhadap perlindungan pasien dalam suatu perjanjian terapeutik, yaitu perjanjian yang terjadi antara dokter dan pasien. Jenis penelitian yang diterapkan adalah dengan memakai metode pendekatan yuridis normatif Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini melihat hukum dari aspek normatif.

Dari hasil penelitian yang dapat dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian Terapeutik merupakan suatu bentuk perjanjian atau perikatan antara dokter dengan pasien, sehingga berlaku semua ketentuan hukum perdata. Dalam Perjanjian terapeutik pada hubungan dokter Dan pasien tercakup dalam pengertian perjanjian Inspannings verbintenis (berdasarkan usaha) jadi bukan hasil yang dicapai, melainkan suatu usaha dokter yang maksimal untuk kesembuhan pasien yang menjadi objek perjanjian. Tanggungjawab dokter terhadap pasien dimulai saat terjadinya perjanjian terapeutik, yaitu pada saat pertama kali pasien datang ke rumah sakit dengan membawa keluhan gangguan kesehatan (sakit), kemudian dilakukan tindakan medis oleh dokter sebagai upaya kesembuhan pasien. Pasien sebagai jasa pelayanan medis, termasuk dalam pengertian konsumen sebagaimana diisyaratkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan demikian jasa pelayanan medis adalah termasuk kedalam ruang lingkup Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sehingga pada dasarnya pasien adalah konsumen jasa medis yang harus dilindungi hak-haknya oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen.


(7)

A B S T R A C T

Relation between patient and doctor in medical service representative an

unwritten trust relation and conducted on the quiet in atmosphere is trusting each other (confidential). In modern medical science this time, the relation recognized as " transaction of terapeutict" because voluntary in character unwritten and of]arising out of accomplishment and request in relation having the character of is natural. Problems of contractual law of terapeutict, lay in the problem of protection of law to patient. Not reach of scope of contract of terapeutict, placing patient as party which must account all effect of medical action, goodness in the form of loss of physical that is defect patient or pass away and also loss of materil.

This research have the character of analytical descriptive because analyzing how straightening of that law walk to protection of patient in an agreement of terapeutik, that is agreement that happened between patient and doctor. Research type the applied is by wearing method approach of normatic juridict Approach of normatic yuridict referred as that way because this research see law of aspect of normatic.

From result of research of which can can be taken by conclusion that agreement of Terapeutict represent an agreement form or alliance between doctor with patient, so that go into effect all rule of civil law. In Agreement of terapeutict at doctor relation And patient come within in congeniality of agreement of Inspannings verbintenis ( pursuant to effort) become not a result of is reached, but a[n effort maximal doctor for the recovering of patient becoming agreement object. The Doctor responsibility to patient started by moment the happening of agreement of terapeutict, that is at the (time) of first time patient come to hospital by bringing sigh of health trouble (ill), is later then conducted action medical by doctor as patient recovering effort.Patient as medical service, included in congeniality of consumer as signed in Consumerism Law. Thereby medical service is the including into Consumerism Law scope, so that basically patient is medical service consumer which must protect by its rights by Consumerism Law.


(8)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI

PASIEN DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK (TRANSAKSI MEDIS)”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan serta dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum, Bapak Prof. Dr.

Suhaidi, SH, MH, dan Bapak Dr. Faisal Akbar, SH, MHum selaku Komisi

Pembimbing yang dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Dan juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sehingga tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. M. Yamin, S.H., C.N., M.S., selaku Ketua Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn.) dan Ibu Dr. Keizerina Devi A., S.H., M.Hum. beserta seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga


(9)

1. Ayah Ir. Surisno S dan Ibu Sri Utami, SPd, Mkes, SST yang telah memberikan doa dan perhatian yang cukup besar selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Kepada yang terkasih Syarifah Murdalifah, terima kasih atas dukungan, bantuan serta apresiasi yang diberikan sehingga berdampingan kita dapat menyelesaikan program Pascasarjana Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Terima kasih yang mendalam kepada rekan-rekan mahasiswa group C program studi Magister Kenotariatan (MKn) angkatan 2008/2010, serta semua rekan-rekan penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Agustus 2010 Penulis,

Ardian Silva Kurnia, SH


(10)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

ABSTRACT

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

DAFTAR ISTILAH

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan... ... 1

B. Rumusan Masalah... ... 6

C. Tujuan Penelitian... ... 6

D. Manfaat Penelitian... 7

E. Keaslian Penelitian... 8

F. Kerangka Teori dan Konsep... 9

G. Metode Penelitian... 22

BAB II : PERJANJIAN TERAPEUTIK (TRANSAKSI MEDIS) DALAM PELAYANAN KESEHATAN A.Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan... 26

B.Pengertian Perjanjian Pada Umumnya... 30

1. Perjanjian Sebagai Dasar Perikatan... 30

2. Perjanjian Terapeutik (Transaksi Medis)... 39

C.Para Pihak Dalam Perjanjian Terapeutik... 52

D.Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)... 56

E. Hubungan Hukum Antara Dokter dan Pasien... 64

BAB III : TANGGUNG JAWAB DOKTER DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK (TRANSAKSI MEDIS) A.Dokter sebagai Salah Satu Tenaga Kesehatan... 67

B.Kedudukan Dokter Di Rumah Sakit... 71

C.Kode Etik Dan Standar Profesi Medik... 72


(11)

E. Tanggung Jawab Dokter... 83 F. Penanganan Pelanggaran Etik Kedokteran... 97

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK (TRANSAKSI MEDIS) SEBAGAI KONSUMEN JASA MEDIS

A.Tinjauan Umum Perlindungan Konsumen... 100 B.Pasien sebagai Konsumen Jasa medis... 105 C.Perlindungan Hukum Pasien dalam Perjanjian

Terapeutik... ... 110 D. Aspek Hukum Perlindungan Pasien Dalam Perjanjian

Terapeutik... 120 E. Keberlakuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen Bagi Bidang Jasa

Pelayanan Medis... 131 F. Penerapan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Hubungan

Hukum Dokter Dan Pasien... 134 G. Upaya Hukum Pasien atas kesalahan atau kelalaian medis

(Malpraktik)... 140

BAB V. : PENUTUP

A.Kesimpulan... 149 B.Saran... 152


(12)

12

DAFTAR ISTILAH

Anamnesa : Wawancara medis

Ambultory : Rawat jalan

Diagnostik : Pemeriksaan

Curative : Pengobatan penyakit

Etikolegal : Pelanggaran hukum atas etik kedokteran

Eutanasia : Mengakhiri hidup

Promotive : Peningkatan kesehatan

Preventive : Pencegahan penyakit

Rehabilitatif : Pemulihan

Morbiditas : Tingkat penyakit

Mortalitas : Tingkat Kematian

Therapy : Proses penyembuhan

Malpractice : Kesalahan/Kelalaian tindakan medis

Opname : Rawat inap


(13)

A B S T R A K

Hubungan antara pasien dengan dokter dalam pelayanan medis merupakan suatu hubungan kepercayaan yang tidak tertulis dan dilakukan secara diam-diam dalam suasana saling mempercayai (konfidensial). Dalam ilmu kedokteran modern sekarang ini hubungan tersebut dikenal dengan "transaksi teraupetik" karena sifatnya yang sukarela dan tidak tertulis yang timbul dari permintaan dan pemenuhan dalam hubungan yang bersifat alamiah. Permasalahan hukum perjanjian terapeutik, terletak pada masalah perlindungan hukum bagi pasien. Tidak tercapainya tujuan perjanjian terapeutik, menempatkan pasien sebagai pihak yang harus menanggung segala akibat tindakan medis, baik berupa kerugian fisik yaitu pasien cacat atau meninggal dunia maupun kerugian materil.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis karena menelaah bagaimana penegakan hukum itu berjalan terhadap perlindungan pasien dalam suatu perjanjian terapeutik, yaitu perjanjian yang terjadi antara dokter dan pasien. Jenis penelitian yang diterapkan adalah dengan memakai metode pendekatan yuridis normatif Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini melihat hukum dari aspek normatif.

Dari hasil penelitian yang dapat dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian Terapeutik merupakan suatu bentuk perjanjian atau perikatan antara dokter dengan pasien, sehingga berlaku semua ketentuan hukum perdata. Dalam Perjanjian terapeutik pada hubungan dokter Dan pasien tercakup dalam pengertian perjanjian Inspannings verbintenis (berdasarkan usaha) jadi bukan hasil yang dicapai, melainkan suatu usaha dokter yang maksimal untuk kesembuhan pasien yang menjadi objek perjanjian. Tanggungjawab dokter terhadap pasien dimulai saat terjadinya perjanjian terapeutik, yaitu pada saat pertama kali pasien datang ke rumah sakit dengan membawa keluhan gangguan kesehatan (sakit), kemudian dilakukan tindakan medis oleh dokter sebagai upaya kesembuhan pasien. Pasien sebagai jasa pelayanan medis, termasuk dalam pengertian konsumen sebagaimana diisyaratkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan demikian jasa pelayanan medis adalah termasuk kedalam ruang lingkup Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sehingga pada dasarnya pasien adalah konsumen jasa medis yang harus dilindungi hak-haknya oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen.


(14)

A B S T R A C T

Relation between patient and doctor in medical service representative an

unwritten trust relation and conducted on the quiet in atmosphere is trusting each other (confidential). In modern medical science this time, the relation recognized as " transaction of terapeutict" because voluntary in character unwritten and of]arising out of accomplishment and request in relation having the character of is natural. Problems of contractual law of terapeutict, lay in the problem of protection of law to patient. Not reach of scope of contract of terapeutict, placing patient as party which must account all effect of medical action, goodness in the form of loss of physical that is defect patient or pass away and also loss of materil.

This research have the character of analytical descriptive because analyzing how straightening of that law walk to protection of patient in an agreement of terapeutik, that is agreement that happened between patient and doctor. Research type the applied is by wearing method approach of normatic juridict Approach of normatic yuridict referred as that way because this research see law of aspect of normatic.

From result of research of which can can be taken by conclusion that agreement of Terapeutict represent an agreement form or alliance between doctor with patient, so that go into effect all rule of civil law. In Agreement of terapeutict at doctor relation And patient come within in congeniality of agreement of Inspannings verbintenis ( pursuant to effort) become not a result of is reached, but a[n effort maximal doctor for the recovering of patient becoming agreement object. The Doctor responsibility to patient started by moment the happening of agreement of terapeutict, that is at the (time) of first time patient come to hospital by bringing sigh of health trouble (ill), is later then conducted action medical by doctor as patient recovering effort.Patient as medical service, included in congeniality of consumer as signed in Consumerism Law. Thereby medical service is the including into Consumerism Law scope, so that basically patient is medical service consumer which must protect by its rights by Consumerism Law.


(15)

BAB I

P E N D A H U L U A N

A.Latar Belakang

Sehat merupakan suatu keadaan yang ideal oleh setiap orang. Orang yang

sehat akan hidup dengan teratur, mengkonsumsi makanan bergizi, berolah raga,

bersosialisasi dan sebagainya. Setiap orang dianggap mampu untuk menjaga

kesehatan dirinya hingga batas-batas tertentu, namun persoalan akan menjadi lain

ketika seseorang jatuh sakit, dan sudah tentu keadaan ideal orang sehat akan

berkurang atau bahkan berhenti sama sekali. Dengan demikian, kesehatan

merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan, akan tetapi pengetahuan dan

ketrampilan seseorang dalam hal penanganan kesehatan terbatas.

Dalam hal ini seorang dalam kondisi kesehatan yang berkurang dan

mengalami keadaan yang sakit, maka tentunya tidak terlepas kebutuhan terhadap

tenaga medis seperti dokter untuk mengobatinya. Ketika seorang pasien maupun

keluarganya meminta pertolongan kepada dokter, dan sudah menjadi tanggung

jawab bagi seorang dokter untuk memberikan tindakan upaya penyembuhan

kepada pasien yang membutuhkan pertolongannya.

Hubungan antara pasien dengan dokter dalam pelayanan medis

merupakan suatu hubungan kepercayaan yang tidak tertulis dan dilakukan secara

diam-diam dalam suasana saling mempercayai (konfidensial). Dalam ilmu


(16)

teraupetik" karena sifatnya yang sukarela dan tidak tertulis yang timbul dari

permintaan dan pemenuhan dalam hubungan yang bersifat alamiah. Dalam transaksi

itu, pasien meminta diberi pelayanan kedokteran untuk menanggulangi

penderitaannya dan dokter memberi pelayanan kedokteran berupa pemeriksaan,

pengobatan dan pertolongan medis lain, dengan kemampuan yang sebaik-baiknya.

Hubungan yang mengikat antara dokter dengan pasien tersebutlah yang

menuntut adanya sikap dan perbuatan dokter yang bertanggungjawab. Dalam

pengertian hukum, tanggung jawab berarti keterikatan, tiap manusia, mulai saat

dilahirkan sampai ia meninggal dunia mempunyai hak dan kewajiban yang disebut

subjek hukum. Demikian juga Dokter dalam melakukan suatu tindakan, harus

bertanggung jawab sebagai subjek hukum pengemban hak dan kewajiban.1

Tindakan atau perbuatan Dokter sebagai subjek hukum dalam pergaulan

masyarakat, dapat dibedakan antara tindakannya sehari-hari yang tidak berkaitan

dengan profesi dan tindakan yang berkaitan dengan pelaksanaan profesi.2

Transaksi terapeutik sebagai suatu transaksi mengikat dokter dan pasien

sebagai para pihak dalam transaksi tersebut untuk mematuhi/memenuhi apa

yang telah diperjanjikan, yaitu dokter mengupayakan penyembuhan pasien

melalui pencarian terapi yang paling tepat berdasarkan ilmu pengetahuan dan

pengalaman yang dimilikinya, sedangkan pasien berkewajiban secara jujur

1

Annie Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum Dan Sanksi Bagi dokter (Buku 1), Prestasi Pustaka, Bandung, 2006, h. 2

2

Perbuatan Dokter yang tidak berkaitan dengan profesinya ini adalah perbuatan hukum Dokter yang umumnya dapat juga dilakukan oleh orang yang bukan Dokter, seperti Menikah, membuat perjanjian, dan sebagainya.


(17)

menyampaikan apa yang dikeluhkannya agar dapat ditemukan beberapa alternatif

pilihan terapi untuk akhirnya pasien memilih terapi yang paling tepat untuk

penyembuhannya.

Kondisi yang terjadi saat ini adalah bahwa seorang dokter dalam

menjalankan profesinya, jarang menyadari adalah bahwa saat ia menerima pasien

untuk mengatasi masalah kesehatan baik di bidang kuratif, preventif, rehibilitatif,

maupun promotif sebetulnya telah terjadi transaksi atau persetujuan antara dua

pihak dalam bidang kesehatan. 3 Dokter umumnya hanya melihat pasien atau

keluarga pasien yang meminta bantuan, dan sudah menjadi kewajiban seorang

dokter untuk memberikan pertolongan. Dokter tidak pernah membuat suatu

perjanjian tertulis sebelum mengobati pasien, kecuali persetujuan yang diperlukan

Dokter di Rumah sakit sebelum melakukan tindakan bedah. 4

Apabila ditinjau dari kaca mata hukum, hubungan antara pasien dengan

dokter dapat dikategorikan ke dalam ruang lingkup perjanjian karena kesepakatan

telah terjadi. Dalam sebuah perjanjian persamaan derajat adalah mutlak,

persamaan derajat antara dokter dengan pasien menyebabkan tindakan yang

diambil oleh dokter terhadap pasiennya tidak lagi merupakan tindakan sepihak

tanpa menghiraukan hak-hak pasien. Pasien mempunyai hak dan kewajiban

tertentu, seperti halnya dokter. Walaupun seseorang dalam keadaan sakit, akan

3

M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta , 2007 h. 42

4


(18)

tetapi kedudukan hukumnya tetap sama dengan orang yang sehat. Menjadi

salah jika menganggap seseorang yang sakit selalu tidak dapat mengambil

keputusan, sepanjang dia masih sadar dan dapat mempergunakan akal pikirannya.

Putusan yang diambil pasien dapat dikatakan sah bila dilakukan dalam keadaan

sadar, tegas dan jelas yang diputuskan, serta sukarela tanpa ada paksaan. Dianggap

lemahnya kedudukan pasien, dikarenakan tidak hanya pasien pada umumnya

berada dalam keadaan lemah (weaknessess), tetapi juga karena pengetahuan pasien

tentang pelayanan kesehatan dan/atau tindakan kedokteran juga terbatas.5

Dokter dalam melaksanakan tugasnya terhadap pasien tidak dapat

dilepaskan kaitannya dengan hubungan antara dokter sebagai pemberi jasa dan

pasien sebagai penerima jasa. Dokter dalam menjalankan tugasnya harus

berdasarkan standard profesi/standart pelayanan kesehatan. Dalam

perkembangannya karena pengaruh paham konsumerisme, dokter terkadang

bertindak dalam kewenangan profesinya secara menyimpang. Hal tersebut dapat

membawa dampak negatif bagi pasien. Suatu tindakan menyimpang yang dilakukan

oleh dokter sehingga membawa kerugian akan memberi hak bagi pihak yang

dirugikan untuk menuntut ganti kerugian, oleh karena itu hak-hak yang dipunyai

5

Azrul Anwar, Beberapa Catatan Penting Tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dan Dampakbya terhadap Pelayanan Kesehatan, www. STADTAUS.com, diakses bulan Februari 2010


(19)

oleh pasien sebagai konsumen dalam pelayanan jasa kesehatan yang dilakukan oleh

dokter perlu diefektifkan.

. Upaya dokter untuk penyembuhan pasien dilakukan dengan apa yang

disebut dengan pelayanan kesehatan, dokter memberikan pelayanan kepada pasien

sebagai konsumen jasa, sebagai profesi dan pelaku usaha dalam bidangnya.

Perlindungan pasien sebagai konsumen yang pada dasarnya merupakan kewajiban

bagi para penyelenggara pelayanan kesehatan untuk senantiasa menghormati

hak-hak pasien. Berbeda dengan jasa pada umumnya, pelayanan kesehatan

dikategorikan sebagai suatu jasa yang memiliki karakteristik tersendiri

dikarenakan pelayanan kesehatan bercirikan pada : (1) ketidaktahuan konsumen

(consumer ignorance), (2) pengaruh penyedia jasa kesehatan terhadap konsumen

(supply induced demand), (3) produk pelayanan kesehatan bukan konsep

homogen, (4) pembatasan terhadap kompetisi, (5) ketidakpastian tentang sakit,

serta (6) sehat sebagai hak asasi.6

6


(20)

B. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan diteliti

dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian ini. Adapun pokok

permasalahan tersebut akan dikelompokkan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pelaksanaan Perjanjian Terapeutik (Transaksi Medis) dalam

kaitannya dengan pelayanan medis ?

2. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban hukum dokter dalam perjanjian

terapeutik (transaksi medis)?

3. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi pasien dalam perjanjian

terapeutik (transaksi medis) sebagai konsumen pelayanan medis?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai

dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan Perjanjian Terapeutik (Transaksi Medis) dalam

kaitannya dengan pelayanan medis.

2. Untuk mengetahui dan mengkaji bentuk tanggung jawab dokter dalam

perjanjian Terapeutik (transaksi medis).

3. Untuk mengetahui bentuk pelindungan hukum terhadap Pasien, berkenaan


(21)

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara

teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam

ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan khususnya mengenai masalah

hak-hak pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan berkaitan dengan

Perjanjian Terapeutik (Transaksi Medis) yang terjadi antara Pasien dengan

Dokter.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat,

khususnya kepada pengguna jasa kesehatan, agar lebih mengetahui tentang hak

dan kewajibannya, terutama apabila diduga terjadi wanprestasi atau

pelanggaran hukum oleh dokter yang menanganinya, sekaligus pula memberi

masukan kepada praktisi hukum khususnya notaris terkait akan arti pentingnya

perlindungan hukum terhadap pasien, penelitian ini diharapkan dapat

menambah wawasan serta pemahaman dalam menghadapi perkembangan

permasalahan yang semakin kompleks, baik yang diakibatkan perkembangan

ekonomi, sosial, budaya di masyarakat maupun perubahan hukum dan


(22)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah

penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum,

maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan

sejauh yang diketahui, penelitian yang berkaitan dengan perlindungan hukum

terhadap pasien, sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain, yaitu :

1. Muhammad Syaifuddin (002105015), dengan judul Eksistensi Dan Peranan

Komite Medis Dalam Pengelolaan Rumah Sakit Umum Di Kota Palembang (Kajian Tentang Upaya Perlindungan Pasien sebagai Konsumen Kesehatan).

2. Frengky Hasudungan P (037005043), dengan judul Aspek Hukum Pidana

Dalam Kelalaian Atau Kesalahan (Malpraktek) Seorang Dokter Terhadap Pasiennya.

3. Sinta Mauly agnes Tamba (067011081), dengan judul Perlindungan Hukum

Terhadap Pasien Rawat Inap Jamsostek Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan (Studi Kasus di RSU Sari Mutiara Medan)

Dari Ketiga penelitian yang sudah pernah dilakukan berkaitan dengan

perlindungan hukum pasien, belum ada yang melakukan penelitian tentang

perlindungan hukum terhadap pasien ditinjau dari perjanjian terapeutik

(transaksi medis). Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara

akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya, karena


(23)

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan

pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh

Soerjono Soekanto bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada

metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh

teori.7 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada

fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.8

Menurut Bintoro Tjokroamijoyo dan Mustofa Adidjoyo “teori diartikan

sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan (variabel)

dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka fikir

(Frame of thingking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang

timbul di dalam bidang tersebut“.9 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk

memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang

diamati.10

Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau butir-butir

pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum

7

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, h. 6

8

J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, , 1996, h. 203

9

Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988, h. 12

10

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, h. 35


(24)

perlindungan hukum, klausul baku dan hukum perjanjian, serta hukum konsumen

antara Dokter (pelaku usaha) dan Pasien (konsumen), yang menjadi bahan

perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui,

yang merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini.11 Perlindungan adalah

segala upaya yang dilakukan untuk melindungi subjek tertentu; dapat juga

diartikan sebagai tempat berlindung dari segala sesuatu yang mengancam. 12

Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa:

Perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya. 13

Menurut Philipus M. Hadjon, dibedakan dua macam perlindungan hukum,

yaitu: 14

1. Perlindungan hukum yang preventif yang bertujuan untuk mencegah

terjadinya permasalahan atau sengketa.

2. Perlindungan hukum yang represif yang bertujuan untuk menyelesaikan

permasalahan atau sengketa yang timbul.

Perlindungan hukum memperoleh landasan idiil (filosofis) pada sila kelima

Pancasila, yaitu : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Didalamnya

11

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung 1994, h. 80.

12

W.J.S. Poerwadarminto. 1989. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.h.68

13

Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia. Surabaya : Bina Ilmu. 1987. h. 205

14


(25)

terkandung suatu ‘hak’ seluruh rakyat indonesia untuk diperlakukan sama didepan

hukum. Hak adalah suatu kekuatan hukum, yakni hukum dalam pengertian

subyektif yang merupakan kekuatan kehendak yang diberikan oleh tatanan hukum.

Oleh karena hak dilindungi oleh tatanan hukum, maka pemilik hak memiliki

kekuatan untuk mempertahankan haknya dari gangguan/ancaman dari pihak

manapun juga.15

Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai

tiga ide dasar hukum atau tiga nilai dasar hukum yang berarti dapat dipersamakan

dengan asas hukum. Ketiga asas hukum tersebut yang sering menjadi sorotan

utama adalah masalah keadilan. 16

Disamping Hukum Kesehatan, Pelaksananan perlindungan pasien dapat

dilaksanakan melalui hukum konsumen. Hukum konsumen adalah azas-azas atau

kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah peneyediaan dan

penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya

dalam kehiduan bermasyarakat.17 Selain itu perlindungan hukum dapat

dilaksanakan dalam bentuk substansi atau isi perjanjian antara dokter dan pasien.

Ketentuan tentang perjanjian atau kotrak diatur dalam buku III KUH Perdata.

15

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif), Nusamedia, Bandung, 2006 h. 152

16

Ahmadi Miru dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004 h. 26.

17

A. Nasution , Hukum Perlindungan Konsumen : Suatu Pengantar, Cv,. Triarga Utama, Jakarta, 2002. h. 22


(26)

Pasal 1338 alinea 1 KUH Perdata, menentukan bahwa “Semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya”. Ketentuan ini merupakan dasar hukum disahkannya perjanjian

dalam bentuk apapun yang dibuat secara sah, sebagai undang-undang bagi

para pihak yang membuatnya. Dengan demikian perjanjian yang telah

menjelma menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya wajib

dipatuhi oleh kedua belah pihak dengan iktikad baik (Pacta Sunt Servanda).

Pasal 1338 KUH Perdata alinea pertama ini merupakan suatu tuntutan kepastian

hukum.18

Tidak dipatuhinya perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebut akan

menimbulkan tuntutan/gugatan dari pihak yang merasa dirugikan. Kemungkinan

campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini negara melalui hakim menjadi terbuka

bila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik.

Disini hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian,

jangan sampai pelaksanaan perjanjian tersebut melanggar kepatutan atau keadilan.

Pasal 1338 KUH Perdata alinea 3 mengatakan “Suatu perjanjian harus

dilaksanakan dengan iktikad baik”. Apabila Pasal 1338 alinea pertama dipandang

sebagai suatu tuntutan kepastian hukum, maka Pasal 1338 alinea ketiga

sebagaimana tersebut di atas harus dipandang sebagai suatu tuntutan keadilan bagi

pihak yang dirugikan. 19

18

Subekti, Pembinaan Hukum Nasional, Alumni, Bandung , 1981, h. 67.

19


(27)

Pada dasarnya kontrak atau perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas

antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat

subjektif) untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan

aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta

kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif).

Namun, adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi

tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak

terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak.

Mengenai hal ini Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani yang dikutip Sidarta

mengemukakan bahwa :

Dalam praktek dunia usaha juga menunjukkan bahwa “keuntungan” kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian

baku dan/atau klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang

dibuat oleh salah satu pihak yang “lebih dominan” dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat “baku” karena, baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Take it or leave it. Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang kurang dominan tersebut. Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang cenderung dirugikan tersebut untuk membuktikan tidak adanya kesepakatan pada saat dibuatnya perjanjian baku tersebut, atau atas klausula baku yang termuat dalam perjanjian yang ada. 20

20

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, h. 119.


(28)

Salim HS mengatakan bahwa “istilah perjanjian baku berasal dari

terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu “standard contract”. Standar kontrak

merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk

formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak,

terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah”. 21

Munir Fuady mengartikan kontrak baku adalah :

Suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikandata-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahn dalam klausul-klausulnya, di mana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take it or

leave it”. Dengan demikian, oleh hukum diragukan apakah benar-benar ada

elemen kata sepakat yang merupakan syarat sahnya kontrak dalam kontrak tersebut. Karena itu pula, untuk membatalkan suatu kontrak baku, sebab kontrak baku adalah netral. 22

Hondius sebagaimana dikutip Salim mengemukakan bahwa syarat-syarat

baku adalah “syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian

21

Salim. H.S., Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Rajawali Press, Jakarta, 2006, h. 145.

22


(29)

yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan isinya

lebih dahulu”. 23

Inti dari perjanjian baku menurut Hondius tersebut adalah bahwa isi

perjanjian itu tanpa dibicarakan dengan pihak lainnya, sedangkan pihak lainnya

hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya24. Mariam Darus

Badrulzaman mengemukakan bahwa standard contract merupakan perjanjian

yang telah dibakukan. Mariam Badrulzaman juga mengemukakan ciri-ciri

perjanjian baku, yaitu :

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat;

2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian;

3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu; 4. Bentuk tertentu (tertulis);

5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.25

Sutan Remi Sjahdeni mengemukakan bahwa :

Perjanjian standar sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan, yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat

23

Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h.76.

24

Salim. H.S., Op.Cit., h. 147.

25


(30)

oleh notaris dengan klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu pun adalah juga perjanjian baku”.26

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa unsur-unsur kontrak baku, yaitu

(1) diatur oleh kreditor atau ekonomi kuat; (2) dalam bentuk sebuah formulir;

dan (3) adanya klausul eksonerasi/pengecualian.

Pada umumnya selalu dikatakan bahwa sebuah kontrak standar adalah

kontrak yang bersifat ambil atau tinggalkan, mengingat bahwa tidak ada prinsip

kontrak. Dalam reformasi hukum perjanjian diperlukan pengaturan tentang

kontrak standar. Hal ini sangat diperlukn untuk melindungi masyarakat, terutama

masyarakat ekonomi lemah terhadap ekonomi kuat.

Sebenarnya, perjanjian standar tidak perlu selalu dituangkan dalam bentuk

formulir, walaupun memang lazim dibuat tertulis. Contohnya dapat dibuat dalam

bentuk pengumuman yang ditempelkan di tempat penjual menjalankan usahanya.

Jadi, perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni

oleh produsen/penyalur produk (penjual), dan mengandung ketentuan yang

berlaku umum (massal), sehingga pihak yang lain (konsumen) hanya memiliki dua

pilihan: menyetujui atau menolaknya.

26

Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia (IBI), Jakarta, 1993, h. 66.


(31)

Adanya unsur pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan, perjanjian standar

tidaklah melanggar asas kebebasan berkontrak (Pasal 1320 jo. 1338 KUH

Perdata). Artinya, bagaimanapun pihak konsumen masih diberi hak untuk

menyetujui (take it) atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya (leave it).

Itulah sebabnya, perjanjian standar ini kemudian dikenal dengan nama take it or

leave it contract.

Jika ada yang perlu dikhawatirkan dengan kehadiran perjanjian standar,

tidak lain karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exemption clause) dalam

perjanjian tersebut. Namun demikian, Sutan Remy Syahdeni terhadap klausul

eksonerasi lebih memilih penggunaan istilah klausul eksemsi sebagai terjemahan

dari exemption clause yang dipakai dalam hukum Inggris. Hal ini didasarkan pada

Pedoman Umum Pembentukan Istilah menurut Keputusan Mendikbud No.

0389/U/1988.27

Sutan Remy Syahdeini mengutip beberapa pendapat sarjana mengenai

klausul eksonersi antara lain :

1) Mariam Darus Badrul Zaman, yang mengatakan klausul eksonerasi adalah klausula yang membatasi pertanggung jawaban dari kreditur

2) Kumar memberikan mengenai exslusion clause, yaitu clause of a contract

which purports to protect the proferens absolutely or in a limited manner against liability, for breach of contract. or damage, or exclude his liability if the action is brought after the stipulated time.

27


(32)

3) David Yates yang juga menggunakan istilah exslusion clause, yaitu Any

term i acontract restricting, excluding or modifying a remedy or a liability arising out of a breach of a contractual obligations. 28

Sutan Remi Syahdeni memberikan pengertian klausul eksonerasi adalah

klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah

satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau

tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam

perjanjian tersebut. 29

Dalam memahami produk hukum berupa Undang-Undang keberadaan

bagian ketentuan umum sangat menentukan arah dan tujuan kemana suatu

Undang-Undang tersebut akan dibawa. Oleh karena itu, agar memberikan jaminan

akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam

Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga

dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan hukum bagi

konsumen, baik dalam bidang hukum privat (Perdata), maupun hukum publik

(Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara)30.

Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,

keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.31 Apabila pihak

28

Ibid., h. 74

29

Ibid., h. 75

30

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, h. 1-2

31


(33)

lain melanggar hak tersebut, maka akan menimbulkan gugatan hukum dari

sipemilik hak, yang diajukan ke hadapan aparat penegak hukum.32 Dengan

demikian dapatlah dikatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh

keadilan, yang dalam konteks hukum perlindungan konsumen terbagi menjadi dua

kelompok yakni keadilan sebagai pelaku usaha disatu sisi dan keadilan sebagai

konsumen disisi lain.

Perbedaan prinsipil dari kepentingan-kepentingan dalam penggunaan jasa

kesehatan dan pelaksanaan kegiatan terapeutik antara Dokter dan Pasien, dengan

sendirinya memerlukan jenis pengaturan perlindungan dan dukungan yang berbeda

pula. Bagi seorang Dokter perlindungan itu adalah untuk kepentingan pengabdian

profesi mereka dalam menjalankan kegiatan pelayanan jasa kesehatan, seperti

bagaimana mempergunakan segala ilmu dan keahlian untuk kepentingan pasien,

serta bertanggung jawab penuh terhadap apa yang dilakukannya dalam upaya

penyembuhan.

Masalah tanggung jawab hukum dalam hukum perdata (civielrchtlijke

aanspraakkelijkheid) dapat dilihat dari formulasi Pasal 1365 KUH Perdata yang

mengatur adanya pertanggung-jawaban pribadi si pelaku atas perbuatan melawan

hukum yang dilakukannya (persoonlijke aansprakelijkheid). Disamping itu,

Undang-Undang mengenal pula pertanggung-jawaban oleh bukan si pelaku

32


(34)

perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1367 KUH Perdata.

Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang tidak saja bertanggung jawab atas

kerugian yang yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi

tanggungannya, disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah

pengawasannya.

2. Konsepsi

Sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti, penelitian ini memiliki

batasan/defenisi tentang beberapa kata kunci Kajian Yuridis, Perlindungan

Hukum, Pasien, Dokter, Praktek Kedokteran, dan Perjanjian Terapeutik (transaksi

medis). Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan

pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain

itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi

atau definisi operasional sebagai berikut :

1. Kajian yuridis adalah suatu bentuk kajian yang dilakukan dan yang mengacu

pada norma-norma yuridis (hukum) atau ketentuan perundang-undangan

sebagai pijakan normatif.

2. Perlindungan Hukum adalah suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh

ketentuan hukum kepada subjek hukum (orang atau badan hukum), yang dalam


(35)

3. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya

untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung

maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi. 33

4. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter

gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam

maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia

sesuaidengan peraturan perundang-undangan. 34

5. Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan

dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. 35

6. Perjanjian Teurapeutik adalah suatu perjanjian yang timbul akibat adanya

hubungan atau transaksi antara Pasien dengan Dokter.

7. Hak-hak konsumen adalah hak-hak Pasien sebagai pengguna jasa pelayanan

jasa kesehatan seorang Dokter yang dapat diperoleh Pasien sebagai konsumen

dan dilindungi oleh hukum sesuai dengan ketentuan perlindungan konsumen.

33

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, Pasal 1 angka 10

34

Ibid, pasal 1 angka 2

35


(36)

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan

penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan/ memaparkan sekaligus

menganalisis tentang hak-hak konsumen yaitu Pasien atas penggunaan jasa

Pelayanan Kesehatan oleh Dokter, dilihat dari hukum positip secara umum,

unsur-unsur keperdataan serta akibat hukum yang timbul apabila diduga ada tindakan

oleh Dokter yang dapat merugikan Pasien.

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan

metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum

normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan

normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu

kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran

baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).

Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini

merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau


(37)

permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek

normatif.36

Untuk mendukung validitas data sekunder yang diperoleh melalui

pendekatan Yuridis Normatif, maka dilakukan wawancara dengan beberapa

informan yaitu Dokter dan Pasien.

2. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan

konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan

penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang

dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya

3. Sumber data

Sumber-sumber data kepustakaan diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari ;

1) Norma atau kaidah dasar

2) Peraturan dasar (Ground Norm)

3) Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran

4) Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

36


(38)

5) Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen

6) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan hukum

pasien.

b. Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel,

hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan

penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang

memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder,

seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta

bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya

yang berasal dari bidang kesehatan, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang

dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari

penelitian ini.

Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan

penelitian lapangan (field research) guna akurasi terhadap hasil penelitian yang

dipaparkan, yang dapat berupa wawancara langsung dengan Pasien dan Dokter


(39)

25

4. Analisis Data

Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya

berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum

tertulis. Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum

tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. 37

Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan

evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (primer, sekunder maupun

tersier), untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan

disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan

permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh

jawaban yang baik pula.38 Penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan

sekaligus melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan kalimat

yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.39

Artinya analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif untuk membahas

secara mendalam permasalahan perlindungan hukum pasien dalam perjanjian

terapeutik.

37

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, h. 251.

38

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002, h. 106.

39


(40)

BAB II

PERJANJIAN TERAPEUTIK (TRANSAKSI MEDIS) DALAM PELAYANAN KESEHATAN

A.Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan

Di dalam hubungan dokter dan pasien, hukum melindungi kepentingan

pasien maupun dokter. Hukum merupakan sarana untuk menciptakan keserasian

antara kepentingan dokter dan pasien guna menunjang keberhasilan pelayanan

medis berdasarkan sistem kesehatan nasional. Sistem kesehatan nasional yang

dimaksud merupakan suatu tatanan yang mencerminkan upaya bangsa Indonesia

untuk meningkatkan kemampuan mencapai derajat kesehatan yang optimal

sebagai perwujudan kesejahteraan umum melalui program pembangunan

kesehatan sebagai kesatuan yang menyeluruh, terarah terpadu serta

berkesinambungan sebagai bagian dari pembangunan nasional. 40

Tujuan dan dasar pembangunan kesehatan di dalam Sistem Kesehatan

Nasional dijabarkan sebagai berikut :

1. Semua warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang optimal, agar dapat bekerja dan hidup layak sesuai dengan martabat manusia. 2. Pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab dalam memelihara dan

mempertinggi derajat kesehatan rakyat.

3. Penyelenggaraan upaya kesehatan diatur oleh pemerintah dan dilakukakn secara terpadu dengan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilakukan.

4. Setiap bentuk upaya kesehatan harus berasaskan perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan mengutamakan

40


(41)

kepentingan nasional, rakyat banyak, dan bukan semata-mata kepentingan golongan atau perorangan.

5. Sikap, suasana kekeluargaan, kegotongroyongan serta semua potensi yang ada diarahkan dan dimanfaatkan sejauh mungkin untuk pembangunan kesehatan.

6. Sesuai dengan asas adil dan merata, hasil yang dicapai dalam pembangunan kesehatan harus dapat dinikmati secara merata oleh seluruh penduduk.

7. Semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan wajib menjunjung tinggi dan mentaati segala ketentuan peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan.

8. Pembangunan kesehatan nasional harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri serta bersendikan kepribadian bangsa.

Pembangunan jangka panjang bidang kesehatan, yang merupakan bagian

dari Sistem Kesehatan Nasional, diarahkan untuk mencapai tujuan utama sektor

kesehatan. Tujuan utama kesehatan nasional tersebut meliputi : Peningkatan

kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan,

Perbaikan mutu lingkungan hidup yang dapat menjamin kesehatan, peningkatan

status gizi masyarakat, Penguranngan kesakitan (morbiditas) dan kematian

(mortalitas), Pengembangan keluarga sehat dan sejahtera dengan semakin

diterimanya norma keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera. 41

Pelayanan kesehatan merupakan setiap upaya yang diselenggarakan secara

mandiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan

memelihara kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan

kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat. Pelayanan

41


(42)

kesehatan menurut Benyamin Lumenta segala upaya kegiatan pencegahan dan

pengobatan penyakit, semua upaya dan kegiatan peningkatan serta pemeliharaan

kesehatan yang dilakukan oleh pranata sosial atau lembaga dengan suatu populasi

tertentu, masyarakat atau komunitas. 42 Selanjutnya Hodgelts dan Casio,

membedakan pelayanan kesehatan perorangan (personal health services) atau

pelayanan kedokteran (medical services) atau pelayanan medis dan pelayanan

kesehatan lingkungan (environmental health) atau pelayanan kesehatan

masyarakat (public health services). 43

Leavel dan Clark menguraikan ciri-ciri kedua bentuk pelayanan kesehatan

tersebut, sebagai berikut : pelayanan kesehatan perorangan ditujukan untuk

menyembuhkan penyakit (curative) dan memulihkan kesehatan (rehabilitatif)

dengan sasaran utama perorangan dan keluarga; sedangkan pelayanan

kesehatan lingkungan ditujukan untuk meningkatkan kesehatan (promotive)

dan mencegah penyakit (preventif) dengan sasaran utama kelompok masyarakat.44

Berdasarkan sifat pelayanannya, jenis pelayanan kesehatan dapat dibedakan

menjadi pelayanan dasar, pelayanan ekstramural (ambulatory) dan pelayanan

intramural. Pelayanan dasar mencakup pelayanan kesehatan preventif dan kuratif,

yang diselenggarakan khusus untuk diri sendiri dan untuk lingkungan sekitarnya,

42

Benyamin Lumenta, Pelayanan Medis, Citra, Konflik, dan Harapan, Kanisius, Yogyakarta,1989, h. 15

43

Hodgelts dan Casio (1983) dalam Azrul Aswar, Pengantar Pelayanan Kesehatan Dokter Keluarga, IDI, Jakarta 1995, h. 1

44


(43)

demi peningkatan kesehatan dan penghapusan ancaman gangguan kesehatan.

Pelayanan ekstramural (ambulatory) mencakup pelayanan kesehatan spesialistis

dan non spesialistis, yakni pasien memperoleh pelayanan kesehatan di sebuah

lembaga atau di rumahnya tanpa opname. Pelayanan intramural, merupakan

penyelenggaraan pelayanan medik umum dan spesialistis di dalam lembaga yakni

pasien mendapat rawat inap dan pelayanan ini diberikan oleh berbagai rumah sakit

umum.

Secara umum, ciri-ciri pelayanan kesehatan dikemukakan oleh Marius

Widjajarta, meliputi : ketidaktahuan konsumen (consumer ignorance), pengaruh

penyedia jasa kesehatan yang besar terhadap konsumen sehingga (konsumen tidak

memiliki daya tawar dan daya pilih (supply induced demand), produk pelayanan

kesehatan bukan konsep homogen, pembahasan terhadap kompetisi,

ketidakpastiaan tentang sakit dan sehat sebagai hak asasi.

Menurut Benyamin Lumenta, pelayanan kesehatan yang baik dapat

terselenggara, jika memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Terbatas pada pelaksanaan pengobatan yang didasarkan atas ilmu kedokteran;

2. Menekankan pencegahan;

3. Menghendaki kerjasama yang wajar antara kaum awam (pasien) dengan para pelaksana ilmu pengetahuan kedoktersn (dokter);

4. Mengobati seseorang seutuhnya;

5. Memelihara hubungan pribadi antara dokter dengan pasien secara erat dan berkesinambungan;

6. Dikoordinasi dengan pembinaan kesejahteraan sosial; 7. Mengkoordinasi semua jenis (spesialisasi) pelayanan medis;


(44)

8. Memanfaatkan semua pelayanan yang diperlukan dan yang dapat diberikan ilmu pengetahuan kedokteran modern kepada masyarakat yang membutuhkan45.

Pelayanan kesehatan yang bermutu menurut Tabish :

Pelayanan Kesehatan berarti memberikan suatu produk pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan individu dan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi dimulai dengan standar etika manajerial yang tinggi pula, meliputi: sistem untuk melakukan standar profesional; baik dari sudut tingkah laku, organisasi serta penilaian kegiatan sehari-hari, sistem pengamatan agar pelayanan selalu diberikan sesuai standar dan deteksi bila terdapat penyimpangan; serta sistem untuk senantiasa menunjang berlakunya standar profesional. 46

Mutu pelayanan kesehatan berkaitan dengan mutu dan tingkat kepuasan pasien

sebagai konsumen. Jaminan atas pelayanan kesehatan yang bermutu adalah suatu

proses pemenuhan standar mutu pengelolaan pelayaan kesehatan secara konsisten dan

berkelanjutan sehingga konsumen memperoleh kepuasan. Tujuannya adalah untuk

memelihara dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan secara berkelanjutan yang

dijalankan oleh suatu saran pelayanan kesehatan secaran internal untuk mewujudkan

visi dan misi serta memenuhi kebutuhan konsumennya.

B.Pengertian Perjanjian Pada Umumnya

1. Perjanjian Sebagai Dasar Perikatan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengenai hukum

45

Benyamin Lumenta, Op.Cit h. 113

46

Tabish (1998) dalam Tjandra yoga Aditama, Manajemen Administrasi Rumah Sakit, UI Press; Jakarta 2000. h. 20


(45)

perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan, dimana didalamnya memuat

tentang hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku

terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu. Keberadaan suatu perjanjian atau

yang saat ini lazim dikenal sebagai kontrak, tidak terlepas dari terpenuhinya

syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian/kontrak seperti yang tercantum

dalam Pasal 1320 KUH Perdata, antara lain sebagai berikut:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3) Suatu hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal.

Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu

perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang

membuatnya.

a. Pengertian Perjanjian

Perjanjian adalah salah satu sumber hubungan hukum perikatan yang

diadakan oleh 2 (dua) orang atau lebih. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata

disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari (1) Perjanjian dan (2)

Undang-undang. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang

tersebut atau lebih yang dinamakan perikatan. Perikatan yang muncul karena


(46)

sewa menyewa hanya mengikat pada yang menyewa dan yang menyewakan.

Sedangkan perikatan yang muncul karena undang-undang contohnya adalah

Zakwarming/mengurus urusan orang lain, maka barang siapa memutuskan

mengurus orang lain. maka secara otomatis ia memiliki kewajiban tertentu.

Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang

yang membuatnya.

Perjanjian yang tedapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata secara umum

menyebutkan bahwa suatu hubungan antara 2 (dua) orang yang membuatnya.

Dilihat dari bentuknya perjanjian itu dapat berupa suatu perikatan yang

mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.47

Abdulkadir Muhammad, mengemukakan bahwa perikatan adalah suatu

hubungan hukum antara 2 (dua) orang tersebut yang dinamakan perikatan.

Perjanjian itu menerbitkan perikatan perikatan antara 2 (dua) orang yang

membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa sesuatu hal dari pihak lain

dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.48 Sedangkan

menurut Subekti hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa

perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan,

disampingnya sumber lain. 49 perjanjian memunculkan akibat hukum, yamg

47

Hasanudin Rahman, Legal Drafting, PT Citra aditya Bakti, Bandung, 2000 h. 4

48

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan Indonesia, PT Citra aditya Bakti, Bandung, 2000 h. 228

49


(47)

disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak merupakan suatu

kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban.

b. Unsur-unsur perjanjian

Oleh Salim HS Unsur-unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian dapat

dikategorikan sebagai berikut: 50

1) Adanya kaidah hukum

Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti: jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.

2) Subyek hukum

Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.

3) Adanya Prestasi

prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Suatu

prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut: memberikan sesuatu; berbuat sesuatu; dan tidak berbuat sesuatu.

4) Kata sepakat

Di dalam Pasal 1320 KUHPer ditentukan empat syarat sahnya perjanjian seperti dimaksud diatas, dimana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.

5) Akibat hukum

Setiap Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat

50

Salim H.S, “Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,”, Sinar Grafika , Jakarta:, 2004 h. 3


(48)

hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.

Setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang diatur maupun

yang belum diatur di dalam suatu undang-undang, Hal ini sesuai dengan kriteria

terbentuknya perjanjian dimana berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata

menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

c. Karakteristik Perjanjian

Hukum perjanjian memusatkan perhatian pada kewajiban untuk

melaksanakan kewajiban sendiri (self imposed obligation). Disebut sebagai bagian

dari hukum perdata disebabkan karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban

yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan pihak-pihak yang

berkontrak. 51 Perjanjian dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai

ekspresi kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. Kontrak

merupakan wujud dari kebebasan (freedom of contract) dan kehendak bebas untuk

memilih (freedom of choice). 52

Sejak abad ke-19 prinsip-prinsip itu mengalami perkembangan dan berbagai

pergeseran penting. Pergeseran demikian disebabkan oleh: pertama, tumbuhnya

bentuk-bentuk kontrak standar; kedua, berkurangnya makna kebebasan memilih

dan kehendak para pihak, sebagai akibat meluasnya campur tangan pemerintah

51

Atiyah, The Law of Contract, London: Clarendon Press, 1983 h. 1

52


(49)

dalam kehidupan rakyat; ketiga, masuknya konsumen sebagai pihak dalam

berkontrak. Ketiga faktor ini berhubungan satu sama lain. 53 Akan tetapi, prinsip

kebebasan berkontrak dan kebebasan untuk memilih tetap dipandang sebagai

prinsip dasar pembentukan kontrak.

d. Azas-Azas Perjanjian

Keberadaan suatu perjanjian tidak terlepas dari asas-asas yang mengikatnya.

Fungsi asas hukum adalah sebagai pendukung bangunan hukum, menciptakan

kepastian hukum didalam keseluruhan tertib hukum. Asas-asas dalam berkontrak

mutlak harus dipenuhi apabila para pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam

melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Didalam hukum perjanjian terdapat 5

(lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata, yaitu: 54

1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

a. membuat atau tidak membuat perjanjian; b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

c. menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta d. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

2. Asas Konsensualisme (concensualism)

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian

53

Ibid, h. 13

54

Hardijan Rusli , Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan : Jakarta, 1996, h. 16


(50)

adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt

servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati

substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.

4. Asas Itikad Baik (good faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni

itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang

memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

5. Asas Kepribadian (personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdat berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka


(51)

yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

Asas hukum berfungsi sebagai pendukung bangunan hukum, menciptakan

kepastian hukm didalam keseluruhan tertib hukum.

e. Resiko dalam perjanjian

Suatu peijanjian dibuat untuk dilaksanakan oleh para pihak, yang dimaksud

dengan pelaksanaan disini adalah, realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban

yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai

tujuannya. Jadi, tujuan suatu perjanjian tidak dapat dicapai tanpa adanya

pelaksanaan perjanjian oleh para pihak,

Pelaksanaan isi perjanjian bisa dilakukan sendiri oleh debitur, dilakukan

dengan bantuan orang lain atau dilakukan oleh pihak ketiga untuk kepentingan

dan atas nama debitur. Hal-hal yang wajib dilaksanakan oleh debitur dapat dilihat

dari beberapa sumber, yaitu : undang-undang sendiri, akta atau surat perjanjian

yang dibuat oleh para pihak dan melihat tujuan (streking) serta sifat perjanjian

yang dibuat.

Dalam pelaksanaan perjanjian, masing-masing pihak diharapkan

berusaha secara sempurna .dan sukarela melaksanakan isi perj anj ian. Peiaksanaan


(52)

'kepatutan' atau behorlijk, artinya debitur telah melaksanakan kewajibannya

menurut yang 'sepatutnya', serasi dan layak menurut semestinya sesuai dengan

ketentuan yang telah mereka setujui bersama. 55

Inti pelaksanaan perjanjian adalah melaksanakan prestasi. Prestasi dalam

perjanjian meliputi memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak

berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata). Namun demikian adakalanya salah

satu pihak ingkar janji atau wanprestasi. Dalam Hukum Perdata, seseorang

dianggap melakukan wanprestasi apabila : tidak melakukan prestasi sama

sekali, melakukan prestasi yang keliru atau terlambat melakukan prestasi. Setiap

wanprestasi yang menimbulkan kerugian, mewajibkan debitur untuk membayar

ganti rugi (Pasal 1239 KUH Perdata). Dalam hal terjadi wanprestasi, pihak

yang dirugikan dapat melakukan gugatan dengan kemungkinan tuntutan

dengan cara : peiaksanaan perjanjian meskipun terlambat, penggantian kerugian,

peiaksanaan perjanjian dan penggantian kerugian, dan pembatalan perjanjian.

Selain karena wanprestasi, pelaksanaan perjanjian juga tidak dapat terwujud

karena terjadinya risiko. Menurut Subekti, risiko berarti kewajiban untuk

memikul kerugian jika ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak

yang menimpa benda yang dimaksud dalam perjanjian, 56 sedangkan menunit Sri

55

M. Yahya Harahap. Scgi-Segi Hukutn Perjanjian,: Alumni, Bandung, 1986, hal. 56-57

56


(53)

Redjeki hartono risiko juga merupakan suatu ketidakpastian di masa yang akan

datang tentang kerugian. 57

Mengenai risiko dalam perjanjian, berlaku ketentuan sebagai berikut : risiko

dalam perjanjian sepihak ditanggung oleh kreditur atau dengan kata lain debitur

tidak wajib memenuhi prestasinya (Pasal 1245 KUH Perdata), sedangkan risiko

dalam perjanjian timbal balik mengakibatkan hapusnya perjanjian.

2. Perjanjian Terapeutik (Transaksi Medis)

Perjanjian merupakan hubungan timbal balik yang dihasilkan melalui

komunikasi, sedangkan terapeutik diartikan sebagai sesuatu yang mengandung

unsur atau nilai pengobatan.58 Secara yuridis, perjanjian terapeutik diartikan

sebagai hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam pelayanan medis

secara profesional didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan

keterampilan tertentu di bidang kesehatan.

Terapeutik adalah terjemahan dari therapeutic yang berarti dalam bidang

pengobatan, Ini tidak sama dengan therapy atau terapi yang berarti pengobatan. 59

Persetujuan yang terjadi antara dokter dan pasien bukan hanya di bidang

pengobatan saja tetapi lebih luas, mencakup bidang diagnostik, preventif,

57

Sri Redjeki hartono. Hukum Asuransi dan Perusaliaan Asuransi, P.T.Sinar Grafika Jakarta , 2000 hal. 62

58

Subekti, Op. Cit h. 1

59

Hermien Hadiati Koeswadji. Makalah Simposium Hukum Kedokteran (Medical Law), Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional, h. 142


(1)

dibuktikan terlebih dahulu apakah terjadi pelanggaran standard (ukuran) profesi dokter, yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata, dan keseksamaan.

3. Pasien sebagai jasa pelayanan medis, termasuk dalam pengertian konsumen sebagaimana diisyaratkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Adapun jasa menurut pengertian Undang-Undang ini adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi dibidang medis yang disediakan oleh dokter sebagai pelaku usaha, yang dimanfaatkan oleh pasien sebagai konsumen jasanya. Dengan demikian jasa pelayanan medis adalah termasuk kedalam ruang lingkup Undang-Undang Perlindungan Konsumen, karena pada dasarnya pasien adalah konsumen jasa medis yang harus dilindungi hak-haknya oleh Undang-Undang, termasuk Undang-undang perlindungan konsumen.

UU perlindungan Konsumen bukan merupakan awal dan akhir hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen. Ada undang-undang yang materinya melindungi kepentingan pasien antara lain Undang-undang Kesehatan. Terbentuknya Undang-undang Kesehatan dengan tujuan agar pelaku usaha (dokter) dan konsumen jasa pelayanan kesehatan (pasien) mendapatkan perlindungan dari UUPK.

Hak-hak Pasien dilindungi oleh hukum dengan dapat mengajukan gugatan secara perdata dan pidana, serta secara administratif hak-hak pasien terlindungi dari penyimpangan secara administratif yang dilakukan oleh dokter.


(2)

B.Saran

1. Diperlukan pemahaman antara dokter dan pasien mengenai objek atau isi dari perjanjian terapeutik, yakni objek pada perjanjian ini adalah usaha yang maksimal (inspanning verbintenis). Yaitu suatu upaya yang maksimal dokter untuk melakukan penyembuhan. Pemahaman yang yang baik mengenai perjanjian terapeutik ini akan berdampak positif terhadap iklim hubungan dokter dengan pasien.

2. Dokter sebagai pelaku usaha harus selalu melaksanakan kewajiban profesi sesuai sumpah, KODEKI, dan standar profesi medis, serta mengembangkan komunikasi yang baik pada pasien serta keluarganya dalam rangka peningkatan kualitas jasa pelayanan medis. Tingkat kelalaian/malpraktik profesi oleh dokter khususnya di Indonesia yang cenderung merugikan pasien dapat ditekan sekecil mungkin.

3. Sudah saatnya ditumbuhkan kesadaran oleh para dokter untuk lebih menghargai pasien sebagai manusia yang harus dihargai hak-haknya, pendapatnya serta dijamin keselamatannya ketika dilakukan tindakan medis. Kedudukan dokter dan pasien yang seimbang akan menciptakan suatu bentuk simbiosis mutualisme antara keduanya, yang tertib karena masing-masing menyadari hak dan kewajibannya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku – Buku

Amir Amri, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, Medan, 1995. Ahmadi Miru & Yodo Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2007.

Ameln Fred, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta, 1991.

---, Tanggung Jawab Kesehatan, Studi Hukum Kesehatan, Makalah Seminar Tentang Masalah penyimbangnan Pelayanan Kesehatan ditinjau dari Sudut Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pakuan, Bogor, 1991. Brotosusilo, Agus, Hak Produsen dalam Hukum Perlindungan Konsumen,

dalam Majalah Hukum dan Pembangunan nomor 5, Tahun XXII, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Oktober, 1992

Chriasdino M, Achadiat, Aspek-aspek Hukum Malpraktek dan Kelalaian Medik, Medica, Jakarta, 1993.

Djamali Abdoel, R. Dan Lenawati Teja Permana, Tanggung Jawab Hukum Seorang Dokter Dalam Menangani Pasien, Forum Diskusi Informed Consend PRSSP-FH UI, Jakarta, 31 Agustus 1991.

Isfandyarie, Annie, Tanggung Jawab Hukum Dan Sanksi Bagi dokter (Buku 1), Prestasi Pustaka, 2006.

Suggono Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002.

Waluyo Bambang, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996 Johan Bahder Nasution, Hukum Kesehatan dan Pertanggungjawaban Dokter,

Rineka Cipta, Jakarta, 2005.

Lumenta Benyamin, Dokter Citra Peran dan Fungsi Kanisius, Yogyakarta, 1989.

Guwansi, Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent), Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1997


(4)

Kelsen Hans, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Terjemahan. Muttaqien Raisul, Bandung, Nusamedia & Nuansa Bandung, 2006.

Hadiati Harmien, Koeswadji, Hukum Kedokteran di Dunia Internasional, Makalah Simposium Medical Law, Jakarta, 1993.

Kerbala Husein, Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993.

Kansil, C.S.T., Pengantar Hukum Kesehatan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.

Moleong, J. Lexy., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1993.

M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta , 2007

Nasution, Az, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta, Diadit Media, 2002.

Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Angkasa, 1984. ---, Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1986.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000.

Siti Ismiyati Jenie, Berbagai Aspek Yuridis di Dalam dan di Sekitar Perjanjian Penyembuhan (Terapeutik) Suatu Tinjaua Kepustakaan, Penataran Hukum Perdata, Oktober 1995, FH UGM, Yogyakarta, 1995. Soebekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradya

Paramita, Jakarta, 1983.

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Rajawali Press, Jakarta. 2006.

Soekanto Soerjono, Kontrak Terapeutik Antara Pasien dan Tenaga Medis, Medis Hospital, Jakarta, 1987.

---, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986

---, dan Kartono Muhammad, Aspek Hukum dan Etika Kedokteran di Indonesia, Temprit, Jakarta, 1983.


(5)

Komalawati Veronica, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 1986. Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen

Hukumnya, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003.

---, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK, Teori dan Praktek Penegakan Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003.

Solly Lubis, M. Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994. Sri Wahyuni, Endang, Aspek Hukum Sertifikasi Dan Keterkaitannya dengan

Perlindungan Konsumen, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003.

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998.

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2006

B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik.

C. Jurnal-Jurnal

Hermien Hadiati Koeswadji. Makalah Simposium Hukum Kedokteran (Medical Law), Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Harmien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran di Dunia Internasional, Makalah Simposium, Medical Law, Jakarta, 1993

Azwar, Standar Pelayanan Medis Materi Penerapan Standar Pelayanan Rumah Sakit, Medis dan Pengawasan Etik , Ujung Pandang, 1994


(6)

156

Kesehatan untuk Mewujudkan Derajat Kesehatan yang Optimal, (Semarang: Orasi Iimiah dalam Dies Nataliske-37 Universitas 17 Agustus 1945,30 Agustus 2000)

E. Sumaryono, Etika Profesi Ditinjau dari Aspek-Aspek Moral, Jurnal Justitia Et Pax FH Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1994

Hubert Smith dalam Sofwan Dahlan, Hospital By Law Sebagai Upaya Menanggulangi Konflik, Makalah Seminar Hukum Kesehatan Konflik Antara Pasien, Dokter, Dan Rumah sakit, Semarang

Surarjo Darsono. Hak dan Kcwajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit, (Semarang: Makalah Seminar Hukum Kesehatan Konflik Antara Pasien, Dokter dan Rumah Sakit, Fakultas Hukum Unika Soegijapranata, PERHUKI Cabang Semarang, don PERSI Wilayah Jawa Tengah, 3 November 2001)

Hermien Hadiati Koeswadji, Tinjauan dari Segi Hukum Terhadap Kesalahan/Kelalaian dalam Melaksanakan Profesi dalam Puspa Ragam Informasi dan Problematika Hukum, Penerbit Karya Abadi Tama, Surabaya 2000

Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan terhadap Konsumen dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (Standar), (Jakarta : Makalah Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, BPHN, Bina Cipta, 1980

Komar Kantaatmadja, Tanggung Jawab Profesional, Jurnal Era hukum No. 10 tahun III, Oktober 1996

R Sianturi, Perlindungan konsumen Diihat Dari Sudut Peraturan Perundang-Undangan Kesehatan, Makalah simposium Aspek-Aspek Perlindungan Konsumen;Jakarta 1990

Sarsinotrium Putra. Perlindungan Hukum bagi Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan untuk Mewujudkan Derajat Kesehatan yang Optimal, (Orasi Ilmiah dalam Dies Natalies ke-37 Universitas 17 Agustus 1945,30 Agustus 2000)

Sofwan Dahlan. Operasionalisasi Hukum dalam Praktek Pelayanan Kesehatan, Makalah dalam Seminar di Unika Soegiyopranoto, Semarang, 2003