PENGARUH SEX REVERSAL MENGGUNAKAN HORMON 17α-METILTESTOSTERON TERHADAP INTENSITAS WARNA IKAN CUPANG (Betta sp.) JANTAN XX DENGAN JANTAN XY

(1)

THE EFFECT OF SEX REVERSAL USING

17α-METHYLTESTOSTERONE HORMONES TOWARDS

THE COLOUR INTENSITY OF MALE XX AND FEMALE XY FIGHTING FISH (Betta Sp.)

Muhammad Pebriansyah1, Tarsim2, Herman Yulianto2, Berta Putri2.

ABSTRACT

Fighting fish (Betta sp.) is endemic fresh water fish of Southeast Asia that has become one of Indonesias export commodities. Male fighting fish has brighter colour then the female. Mono-sexual male fighting fish population can be obtained through sex reversal method (female to male). However, male fighting fish suspected sex reversal results will likely have a low color intensity. This study aims to determine the effect of sex reversal using 17α-methyltestosterone hormone toward colour intensity of male fighting fish with XX genotype as the results of sex reversal and the original male fighting fish XY genotype. The research design consisted of 2 treatments with 3 replications. The determination of the observations grade toward the colour intensity of fighting fish is done by comparing the original colour of the fish using coloured paper Modified Toka Colour Finder (M-TCF) which were observed by 5 observers for the accuracy of the data. The results showed that there is significant effect of sex reversal using 17α-methyltestosterone hormone toward the colour intensity of the male fighting fish XX to XY males. On the whole, the mean observed colour intensity for P1 (with sex reversal) is 18.33 and P2 (without sex reversal) is 28.33, it shows that the P1 has lower brightness than P2.

Keywords :Fighting fish, Sex reversal, 17α-methyltestosterone, Modified Toka Colour Finder (M-TCF), Colour intensity.

1)

Student of Aquaculture Department, Agriculture Faculty, University of Lampung

2)

Lecturer of Aquaculture Department, Agriculture Faculty, University of Lampung Address: Jl. Prof. S. Brodjonegoro No.1 Gedong Meneng Bandar Lampung 35145. * E-mail correspondence: muh.pebriansyah@gmail.com


(2)

PENGARUH SEX REVERSAL

MENGGUNAKAN HORMON 17α-METILTESTOSTERON

TERHADAP INTENSITAS WARNA IKAN CUPANG (Betta sp.) JANTAN XX DENGAN JANTAN XY

Muhammad Pebriansyah1, Tarsim2, Herman Yulianto2, Berta Putri2.

ABSTRAK

Ikan cupang (Betta sp.) merupakan ikan hias air tawar asli Asia Tenggara yang kini menjadi salah satu komoditas ekspor Indonesia. Ikan cupang jantan memiliki intensitas warna yang lebih tinggi dari pada betina. Populasi ikan cupang monoseks jantan dapat diperoleh melalui metode sex reversal (betina menjadi jantan). Akan tetapi diduga ikan cupang jantan hasil sex reversal kemungkinan akan memiliki intensitas warna yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sex reversal menggunakan hormon 17α-metiltestosteron terhadap intensitas warna ikan cupang jantan genotipe XX hasil sex reversal dengan ikan cupang jantan asli genotipe XY. Rancangan penelitian yang digunakan terdiri atas 2 perlakuan dengan 3 ulangan. Penentuan nilai pengamatan intensitas warna ikan cupang dilakukan dengan cara membandingkan warna asli ikan dengan kertas warna Modified Toka Colour Finder (M-TCF) yang diamati oleh 5 orang pengamat untuk keakuratan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sex reversal menggunakan hormon 17α -metiltestosteron terhadap intensitas warna ikan cupang jantan XX dengan jantan XY. Secara keseluruhan, rerata hasil pengamatan intensitas warna untuk P1 (dengan sex reversal) sebesar 18.33 dan P2 (tanpa sex reversal) sebesar 28.33, hal ini menunjukkan bahwa P1 memiliki kecerahan warna yang lebih rendah dari P2.

Kata kunci :Ikan cupang, Sex reversal, 17α-metiltestosteron,

Modified Toka Colour Finder (M-TCF), Intensitas warna.

1)

Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung

2)

Dosen Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Alamat: Jl.Prof.S.Brodjonegoro No.1 Gedong Meneng Bandar Lampung 35145. *Surel korespondensi : muh.pebriansyah@gmail.com


(3)

PENGARUH SEX REVERSAL

MENGGUNAKAN HORMON 17α-METILTESTOSTERON

TERHADAP INTENSITAS WARNA IKAN CUPANG (Betta sp.) JANTAN XX DENGAN JANTAN XY

Oleh

MUHAMMAD PEBRIANSYAH

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERIKANAN

Pada

Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertnian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

PENGARUH SEX REVERSAL

MENGGUNAKAN HORMON 17α-METILTESTOSTERON

TERHADAP INTENSITAS WARNA IKAN CUPANG (Betta sp.) JANTAN XX DENGAN JANTAN XY

(Skripsi)

Oleh

MUHAMMAD PEBRIANSYAH

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Pemikiran ... 5

2. Macam Bentuk Ekor Ikan Cupang (Betta sp.) ... 8

3. Rancangan Penempatan Penelitian ... 18


(6)

i DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Manfaat ... 4

D. Kerangka Pemikiran ... 4

E. Hipotesis ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Aspek Biologi Ikan Cupang (Betta sp.) ... 7

1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Cupang (Betta sp.) ... 7

2. Perilaku Ikan Cupang (Betta sp.) ... 9

3. Reproduksi Ikan Cupang (Betta sp.) ... 10

4. Habitat Ikan Cupang (Betta sp.) ... 11

5. Pakan dan Kebiasaan Makan ... 11

B. Sex Reversal ... 12

C. Hormon Testosteron ... 13

D. Penampakan Warna Ikan ... 14

III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat ... 17


(7)

ii

1. Alat Penelitian ... 17

2. Bahan Penelitian ... 17

C. Rancangan Penelitian ... 18

D. Pelaksanaan Penelitian ... 19

1. Persiapan Wadah ... 19

2. Pemijahan Induk Ikan Cupang ... 19

E. Pemberian Perlakuan ... 20

F. Menajemen Pemberian Pakan ... 22

G. Parameter Pengamatan ... 22

1. Derajat Penetasan (HR) ... 22

2. Kelangsungan Hidup (SR) ... 22

3. Nisbah Kelamin ... 23

4. Intensitas Warna ... 23

5. Pengukuran Kualitas Air ... 24

H. Analisa Data ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengamatan Derajat Penetasan (HR) ... 25

B. Pengamatan Kelangsungan Hidup (SR) ... 26

C. Nisbah Kelamin ... 26

D. Pengamatan Perbedaan Intensitas Warna ... 29

E. Kualitas Air ... 32

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 35

B. Saran ... 35 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman 1. Modified Toka Colour Finder (M-TCF) yang disusun ulang sesuai

kebutuhan penelitian ... 41

2. Uji T pada selang kepercayaan 95% menggunakan SPSS ... 42

3. Rerata Hasil Pengamatan Kualitas Air Selama Penelitian ... 43


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1.Persentase Derajat Penetasan Telur (HR) Ikan Cupang (Betta sp.) ... 25 2.Pengamatan Kelangsungan Hidup (SR) Ikan Cupang (Betta sp.) ... 26 3. Rerata Persentase dan Nisbah Kelamin Jantan dan Betina

Ikan Cupang (Betta sp.) ... 27 4.Data Hasil Pengukuran Rata-Rata Intensitas Warna

Ikan Cupang (Betta sp.) ... 30 5. Parameter Kualitas Air ... 33


(10)

I}IENGESAIII{AN

1. Tim,P.engqji

,,,ffi6h'16,,. , :

Tarslm,

S.Pl., lq.SL

Sekretaris :

Ilcrman Yulianto,

S.Pl.,

ltl.Sl.

Penguji

Bukan

Pembimbing

:

Berta

hrtri,

S.Si.,

[I.Si.

Pertanian

IIIan

Abbas Zakaria,

lI.S.

198702 1 001

6E$ffi

,,

- ilIII,

v

N

.

'.-JrL=-\of;pp;Ir.;

Tanggal Lulus Ujian Skripsi :

25

Juni

2o!.5,

:. :. ::il: :


(11)

PER.{tTYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Karya tulis saya, SkripsilLaporan Akhir ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapat gelar akademik {Sarjana/Ahli Madya), baik di Universitas Lampung maupun di perguruan tinggi lainnya.

?. Karya tulis

ini

mumi gagasan, fljmusan' dan penelitian saya sendiri, tanpa

bantuan pihak lain, kecuali arahan tim pembimbing.

3. Dalam karya tulis

ini

tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang

lain"

kecuali secara tertulis iiengan jelas

dicantumkan sebagai acran dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicanturnkan dalarn daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hmi terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam p€myataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis

ini.

serta sanksi lainnya y€ng sesuai dengan

norrna.vang herlaku di Perguruan Tinggi ini.

Muhammad Pebriansyah NPM. 1014111045


(12)

Judul Skripsi

Nama Mahasiswa

Nomor Pokok Mahasiswa Jurusan

Fakultas

NIF

PDNGA'I(UN SDX

TEWfrSAL

MDNGGUNAI{AN Il ORIIION I 7 a,M ETI LTESTOSTERCN

TDRIIADAP INTENSIItrS IryATNA II{AN CUPANG

(Betta

sp.) JAIIITAN

m(

DENGAN JANTtrI! XY

4

Ilerman Yulianto,

S.Pi.,

!I.Si.

NrF 19790718 2008L2

l

OO2

$furhrrmmadcpebriwtstoh

101411LO45

tsu d idaya ? er air aN ? erilranan

Pertanian

MEIITYDTUJUI

1.

Komisi Pembimbing

10761nl)

200012 1 001

2. Ketua Program Studi Budidaya Perairan

FI.Sc. NIP 1961{0215 199605 2 001

a',:, l

i j:

:a-', r:

i:.1. ,:


(13)

MOTO

“Keyakinan adalah kunci utama sebuah keberhasilan, maka optimis pun menjdi mutlak adanya”

“Sukses adalah saat dimana keberanianmu lebih besar daripada ketakutanmu”

“Lakukan apapun yang kita sukai, jadikanlah konsisten, dan

sukses akan datang dengan sendirinya”

Kata-kata mutiara

“Kesabaran adalah nafas yang menentukan seberapa lama kebaikan berjalan”

“Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan selama masih ada komitmen bersama untuk menyelesaikannya,

karena masalah adalah ujian pendewasaan”

“Jika kita memiliki sebuah mimpi yang sangat indah, maka

ingatlah bahwa ALLAH memberikan kita kekuatan untuk


(14)

PERSEMBAHAN

Karya ini ku persembahkan sebagai tanda baktiku

kepada kedua orang tuaku,

Ibu dan Bapak serta keluarga yang selalu

mendo

akan dan menyemangatiku serta selalu yakin

padaku bahwa aku bisa melewati ini semua.

Untuk sahabat-sahabatku,

Untuk yang terkasih,

serta semua pihak yang ikut membantu

menyelesaikan skripi ini.

Dan tak lupa untuk almamater tercinta.


(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Margorejo, Kecamatan Metro Selatan, Kota Metro, Provinsi Lampung pada tanggal 18 Februari 1992, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Dasarudin dan Ibu Sulastri.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 4 Metro Selatan pada tahun 2004. Menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 5 Metro pada tahun 2007 serta menamatkan pendidikan di SMK Negeri 2 Metro pada tahun 2010.

Tahun 2010, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S1 ke Perguruan Tinggi Universitas Lampung di Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Perairan melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi Asisten Dosen pada praktikum Oceanografi, Limnologi, Fisiologi Hewan Air, dan Produktifitas Perairan. Penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi di Himpunan Mahasiswa Budidaya Perairan Unila (HIDRILA) sebagai anggota bidang Kerohanian pada tahun 2011-2012 dan sebagai anggota bidang Pengabdian Masyarakat (Pengmas) pada tahun 2012-2013.


(16)

Alhamdulillah pada semester 6, penulis berkesempatan menjadi salah satu anggota di dalam tim yang mendapatkan bantuan penelitian dari pihak Pendidikan Tinggi (DIKTI) melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) untuk melaksanakan penelitian dengan judul “Efektivitas Ekstrak Racun Dioscorin dari Umbi Gadung (Dioscorea hispida) untuk Racun Tikus (Rattus argentiventer).

Selama menikmati masa perkuliahan penulis mengikuti Praktik Umum (PU) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat dengan judul “Pembenihan Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus)” pada bulan Juli 2013 selama 30 hari. Penulis juga mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pekon Srikaton, Kecamatan Adiluwih, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung selama 40 hari di awal tahun 2014.

Terakhir. Pada penghujung tahun 2014 untuk mencapai gelar Sarjana Perikanan (S.Pi), penulis melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Sex Reversal

Menggunakan Hormon 17α-Metiltestosteron terhadap Intensitas Warna Ikan Cupang (Betta Sp.) Jantan XX dengan Jantan XY” pada bulan November 2014 s/d Januari 2015 di kediaman ketua Kelompok Pembudidaya Ikan (POKDAKAN)

“BETTA 13” yang beralamatkan di Desa Totokaton, Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, yang merupakan Desa Binaan Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.


(17)

SANWACANA

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT yang tidak pernah berhenti melimpahkan rahamat dan karunia–Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan (S.Pi) pada program studi Budidaya Perairan Fakultas

Pertanian Universitas Lampung dengan judul “Pengaruh Sex Reversal

Menggunakan Hormon 17α-Metiltestosteron terhadap Intensitas Warna Ikan Cupang (Betta Sp.) Jantan XX dengan Jantan XY”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S, selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

2. Ibu Ir. Siti Hudaidah, M.Sc, selaku ketua program studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

3. Bapak Moh. Muhaemin, S.Pi., M.Si. dan Ibu Rara Diantari, S.Pi., M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi penuh dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Tarsim, S.Pi., M.Si. selaku dosen pembimbing I yang dengan sabar memberikan bimbingan dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak Herman Yulianto, S.Pi., M.Si. selaku dosen pembimbing II atas bimbingan, kritik dan saran yang membangun dalam penulisan skripsi ini.


(18)

6. Ibu Berta Putri, S.Si., M.Si. selaku dosen pembahas atas segala kritik, saran dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.

7. Seluruh jajaran dosen Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, yang telah memberikan ilmu bermanfaat kepada penulis selama menjalani masa perkuliahan di kampus tercinta Universitas Lampung. 8. Teristimewa, keluargaku tercinta. Ibunda dan Ayahanda (Mamak Lastri

dan Bapak Dasar) atas cinta dan kasih sayang, perhatian, pengorbanan dan

dukungan serta do’a yang selalu dipanjatkan demi kelancaran, keselamatan dan kesuksesan, serta terimakasih yang tak terbatas atas segalanya. Kepada Mamak Tatik, Bapak Paidi, Mas Edi serta Adik Rio, Fahri, dan Fauzan tersayang, yang senantiasa selalu memberikan kasih dan sayang yang tulus, perhatian, dukungan, do’a, keceriaan serta kebahagiaan dan kesabaran menanti keberhasilanku.

9. Bapak Yahya dan Ibu Suryati (Alm), sahabat saudara seperjuanganku (Ahmad Fauzy, S.Pi) dan adik Abdul Aziz yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menjadi salah satu bagian dari keluarga besarnya, sehingga penulis mendapatkan dukungan penuh (baik dukungan moril, fasilitas, hingga tempat bernaung) selama menjalankan perkuliahan hingga terselesaikannya skripsi. Terimakasih yang tak terhingga atas semua yang telah diberikan selama ini.

10.Bapak/Om/Kakak Syaiful Amin selaku ketua Kelompok Pembudidaya

Ikan (POKDAKAN) “BETTA 13” dan sekeluarga besar, yang telah berkenan menerima serta menyediakan tempat untuk penulis melakukan penelitian serta bertukar ilmu dan pengalaman.


(19)

11.Sahabat saudara seperjuangan Miftahul Baihaqi P, Aris Chandra P, S.Pi, Ali Ansori, S.Pi, Rico Wahyu P, S.Pi, Hermawan F, S.Pi, & Dio Sandi K, S.Pi yang selalu ada disaat susah maupun senang selama menjalani hari-hari di kampus.

12.Teman-teman satu angkatan 2010 Anggi, Imam, Yuti, Eko, Erwin, Angga, Jumaidi, Shoffan, Anjar, Toni, Robert, Fadli, Andi, Soma, Aan, Rudi, Ajis, Median, Adit, Arya, Regi, Oliph, Nikki, Dian, Safrina, Windi, Winda, Risca, Friska, Mauli, Tiwi, Dike, Rima, Jelita, Sera, Yuli, Dwinda, Reinita, Siti, Septi, Eli, Asri, Aulia, Rossi, Pratica, serta teman-teman semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih atas kebersamaan, keceriaan, persahabatan, dan persaudaraan kita selama ini, serta segala bantuan secara langsung maupun tidak langsung hingga terselesaikannya skripsi ini.

13.Seseorang yang selalu ada dan setia menemani penulis, baik dalam keadaan susah maupun senang, sedih ataupun bahagia. Seseorang yang saat ini penulis sayangi dan cintai, Wijayanti Ristyaningrum. Terimakasih yang tak terhingga untuk kesabaran serta kasih sayang dan cinta yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

14.Adek-adik tingkatku (Dimas, Puraka, Mita, Sule, YP, Sulis, Doni, Akbar, Muthia, Regina, Wulandari, M. Haris, Aji, Wahyu dan lain-lain), yang telah memberikan keceriaan selama menunggu kelulusan di kampus. 15.Seluruh warga Budidaya Perairan Unila angkatan 2008, 2009, 2011, 2012,


(20)

16.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Tiada kata terindah yang pantas terucap dan tiada sesuatu yang pantas penulis berikan untuk membalas semua budi baik kecuali hanya do’a, semoga segala bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT dengan berlipat ganda. Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi penulis berharap, semoga skripsi yang sederhana ini nantinya dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Agustus 2015 Penulis,


(21)

1 I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi besar sebagai salah satu negara penghasil ikan hias terbesar di dunia. Saat ini permintaan ikan hias tidak hanya berasal dari dalam negeri, namun juga berasal dari luar negeri. Ikan hias mempunyai pasar yang berbeda jika dibandingkan dengan ikan konsumsi. Tingginya harga jual ikan hias ditentukan oleh performa dan keunikan yang ditampilkan melalui keindahan bentuk tubuh dan corak warna sehingga ikan hias banyak diminati oleh semua kalangan masyarakat. Dapat dikatakan lebih lanjut bahwa kualitas dari bentuk tubuh dan corak warna yang indah menjadi faktor utama untuk menentukan harga jual ikan hias jika dibandingkan dengan kuantitas yang ada.

Warna merupakan salah satu parameter dalam penentuan kualitas ikan hias, semakin tinggi intensitas warna suatu jenis ikan maka semakin tinggi harga jualnya. Pada jenis ikan hias tertentu terdapat perbedaan intensitas warna dan bentuk tubuh antara ikan jantan dan betina yang menyebabkan timbulnya perbedaan harga jual diantara keduanya, sehingga pembudidaya ikan hias cenderung mengharapkan hasil produksi yang lebih banyak untuk ikan yang lebih tinggi harga jualnya.


(22)

2 Ikan cupang (Betta sp.) merupakan ikan hias air tawar asli Asia Tenggara yang kini menjadi salah satu komoditas ekspor Indonesia. Jenis ikan hias satu ini seringkali dijadikan ikan kontes diberbagai pameran ataupun kontes ikan hias. Ikan dengan nama dagang fighting fish ini memiliki bentuk sirip yang indah dan intensitas warna yang lebih tinggi untuk ikan berjenis kelamin jantan, sehingga ikan cupang jantan memiliki harga jual yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan cupang betina. Oleh karena itu, permintaan terhadap jenis ikan cupang khususnya ikan cupang jantan semakin meningkat, hal ini ditunjang dengan semakin terbukanya akses pasar global.

Kendala yang dihadapi dalam budidaya ikan cupang adalah mendapatkan ikan cupang dengan jenis kelamin jantan. Jumlah benih jantan yang diperoleh dalam setiap proses pemijahan sangat rendah dan seringkali kualitasnya tidak sesuai dengan yang diinginkan (Yustina et al., 2003). Populasi ikan cupang monoseks jantan dapat diperoleh melalui metode pengubahan kelamin betina menjadi jantan, yaitu dengan cara pendekatan hormonal menggunakan hormon androgen seperti metiltestosteron sebelum terjadinya diferensiasi kelamin. Hormon yang diberikan menyebabkan zigot dengan genotipe XX berkembang menjadi karakter jantan secara fenotipe. Metode ini disebut sebagai metode pengubahan kelamin (sex reversal), dan sudah pernah dicoba pada ikan cupang (Zairin dan Sumantadinata 1998 a,b), dan ikan tetra kongo (Zairin, 2000). Hormon

17α-metiltestosteron dapat digunakan dalam aplikasi sex reversal untuk ikan hias air tawar khususnya ikan cupang (Zairin, 2002).


(23)

3 Perubahan jenis kelamin secara alami yang disebabkan oleh faktor lingkungan tidak merubah susunan genetis, misalnya pada ikan kerapu, kakap, sidat, dan lain-lain. Tetapi hanya merubah ikan berjenis kelamin jantan menjadi ikan berjenis kelamin betina secara fenotipe, atau sebaliknya (Zairin, 2002). Proses differensiasi merupakan proses perkembangan gonad ikan menjadi jaringan yang definitif (sudah pasti). Proses tersebut terdiri atas serangkaian kejadian yang memungkinkan seks genotipe terekspresi menjadi seks fenotipe (Zairin, 2002).

Dalam hal ini benih ikan cupang dengan jenis kelamin betina (genotipe XX) yang memiliki intensitas warna rendah akan berkembang menjadi karakter jantan secara fenotipe, dan memungkinkan seks genotipe juga terekspresi menjadi seks fenotipe. Sehingga ikan cupang jantan hasil sex reversal dengan genotipe XX kemungkinan akan memiliki intensitas warna yang cenderung rendah jika dibandingkan dengan ikan cupang jantan asli dengan genotipe XY. Dari uraian tersebut, maka diperlukan penelitian mengenai aplikasi sex reversal menggunakan

hormon 17α-metiltestosteron terhadap perbedaan intensitas warna ikan cupang (Betta sp.) jantan XX dengan jantan XY.

B. Tujuan Penelitian

Mengetahui pengaruh aplikasi sex reversal menggunakan hormon 17α -metiltestosteron terhadap intensitas warna ikan cupang (Betta sp.) jantan genotipe XX hasil sex reversal dengan jantan asli genotipe XY.


(24)

4 C. Manfaat

Diharapkan dari hasil penelitian ini akan memberikan informasi kepada masyarakat terutama para pembudidaya ikan hias khususnya pembudidaya ikan cupang (Betta sp.) mengenai aplikasi sex reversal menggunakan hormon 17α -metiltestosteron terhadap intensitas warna ikan cupang jantan genotipe XX hasil sex reversal dengan jantan asli genotipe XY.

D. Kerangka Pemikiran

Ikan hias memiliki daya tarik berdasarkan warna, bentuk, dan ukurannya (Gustiono, 1995 dalam Puspita, 2012). Ikan cupang (Betta sp.) merupakan salah satu jenis ikan hias air tawar yang memiliki harga jual tinggi karena memiliki daya tarik pada keindahan warnanya. Ikan cupang jantan memiliki intensitas warna yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan cupang betina. Sehingga permintaan konsumen terhadap jenis ikan cupang jantan semakin meningkat. Kendala yang dihadapi dalam budidayanya ikan cupang adalah mendapatkan ikan cupang dengan jenis kelamin jantan. Upaya untuk memperoleh populasi benih ikan jantan pada umumnya dapat diproduksi secara komersial dengan teknik pengalihan kelamin (sex reversal) menggunakan hormon metiltestosteron (Adel et al., 2006).

Akan tetapi diduga aplikasi sex reversal menggunakan hormon metiltestosteron kemungkinan dapat menurunkan kualitas warna ikan cupang jantan yang dihasilkan. Hal ini mungkin disebabkan karena benih ikan cupang jantan dengan genotipe XX hanya berkembang menjadi karakter jantan secara fenotipe saja tanpa diikuti oleh perkembangan secara genotipe. Oleh sebab itu


(25)

5 perlu adanya penelitian mengenai aplikasi sex reversal menggunakan hormon

17α-metiltestosteron terhadap perbedaan intensitas warna ikan cupang (Betta sp.) jantan XX dengan jantan XY.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Usaha budidaya ikan cupang

(Betta sp.)

Permasalahan yang terjadi Tingginya permintaan ikan cupang jantan dengan kualitas

warna yang menarik

Penyelesaian masalah

Aplikasi sex reversal untuk meningkatkan produksi

ikan cupang jantan

Diduga jantan hasil sex reversal (jantan genotipe XX) memiliki intensitas warna yang mungkin kurang menarik jika dibandingkan

jantan asli (genotipe XY)

Permintaan pasar akan ikan cupang jantan dengan

kualitas warna yang menarik dapat terpenuhi

Perlu adanya kajian mengenai aplikasi sex reversal menggunakan hormon testosteron terhadap perbedaan

intensitas warna ikan cupang (Betta sp.) jantan XX dengan


(26)

6 E. Hipotesis

Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H0 = τi = 0 (Tidak terdapat pengaruh sex reversal menggunakan hormon

17α-metiltestosteron terhadap intensitas warna ikan cupang (Betta sp.) jantan XX dengan jantan XY)

H1 = τi ≠ 0 (Terdapat pengaruh sex reversal menggunakan hormon 17α -metiltestosteron terhadap intensitas warna ikan cupang (Betta sp.) jantan XX dengan jantan XY)


(27)

7 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Aspek Biologi Ikan Cupang (Betta sp.)

1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Cupang (Betta sp.)

Taksonomi atau klasifikasi ikan cupang menurut Sugandy (2001), yaitu : Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata Class : Actinopterygii Order : Perciformes Family : Osphronemidae Genus : Betta

Species : Betta sp.

Ikan cupang (Betta sp.) terkenal karena sifatnya yang agresif dan kebiasaan hidupnya berkelahi dengan sesama jenis, sehingga dinamakan fighting fish. Warna tubuh ikan ini berwarna-warni, sehingga menjadi daya tarik para penggemar dan penghobi untuk mengoleksinya. Warna-warna klasik seperti merah, hijau, biru, abu-abu, dan kombinasinya banyak dijumpai. Warna-warna baru juga bermunculan dari kuning, putih, jingga, hingga warna-warna metalik seperti tembaga, platinum, emas, dan kombinasinya (Perkasa, 2001).


(28)

8 Ikan cupang (Betta sp.) merupakan ikan yang memiliki banyak bentuk (Polymorphisme), seperti ekor bertipe mahkota/serit (crown tail), ekor setengah bulan/lingkaran (half moon), ekor pendek (plakat) dan ekor tipe lilin/selendang (slayer) dengan sirip panjang dan berwarna-warni. Keindahan bentuk sirip dan warna sangat menentukan nilai estetika dan nilai komersial ikan hias cupang (Yustina et al., 2003).

Gambar 2. Macam Bentuk Ekor Ikan Cupang (Betta sp.) : a) plakat, b) half moon, c) crown tail, dan d) slayer.

(Sumber : https://www.facebook.com/groups/KomunitasCupangHias/)

Penampakan warna pada ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, kematangan gonad, genetik dan faktor geografi. Cupang jantan dapat

a

d

c


(29)

9 dibedakan dari warnanya yang cerah dan menarik, bentuk perut ramping, serta sirip ekor dan sirip anal panjang. Sementara cupang betina berwarna kurang menarik, bentuk perut gemuk serta sirip ekor dan sirip anal pendek. Akibatnya, ikan cupang jantan memiliki nilai komersial tinggi karena sangat disukai dan diburu oleh pecinta ikan hias, Sehingga akan lebih efektif dan menguntungkan bila hanya diproduksi dan dipelihara jantannya saja (Zain, 2002). Ikan jantan sangat agresif dan memiliki kebiasaan saling menyerang apabila ditempatkan dalam satu wadah (Ostrow, 1989).

2. Perilaku Ikan Cupang (Betta sp.)

Salah satu sifat yang terkenal dari ikan cupang adalah berkelahi satu sama lainnya untuk mempertahankan wilayahnya. Sifat agresifnya menjadi daya tarik tersendiri bagi seseorang untuk menyukai ikan ini. Saat bereproduksi ikan cupang memiliki perilaku yang unik, yaitu menari. Ketika bertelur, betina akan mendekati sarang dan memiringkan badannya untuk dijepit oleh jantan dengan meliukkan tubuhnya agar jantan bisa menyemprotkan spermanya ke telur-telur tersebut (Perkasa dan Hendry, 2002)

Cupang memiliki alat pernapasan tambahan yang disebut labirin (labyrinth). Alat pernapasan tambahan ini dipergunakan untuk mengambil oksigen langsung dari udara. Karena itu, cupang mampu hidup walaupun dalam kondisi kekurangan oksigen terlarut di dalam air dan tanpa aerator (Perkasa, 2001).


(30)

10 Berdasarkan cara berkembangbiaknya, cupang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:

a. Kelompok Pengumpul Busa (Bubblenester)

Spesies cupang yang termasuk pengumpul busa diantaranya Betta imbellis, Betta smaragdina, Betta akaransis, Betta coccina atau cupang api-api, dan Betta fasciata atau cupang sumatera.

b. Kelompok Perawat Telur (Mouthbreeder)

Spesies cupang yang termasuk perawat telur diantaranya Betta macrostoma atau Brunei Beauty, Makropodus opercularis atau cupang paradise, Betta urimacullata atau cupang emas, dan Betta brederi atau cupang raja (Linke, 1994; Sanford,1995).

3. Reproduksi Ikan Cupang (Betta sp.)

Proses pemijahan ikan cupang berlangsung dengan cara betina mengeluarkan telur-telurnya dan jantan membuahi dan memunguti telur-telur serta meletakkannya didalam sarang busa. Setiap ikan cupang (Betta splendens) dapat menghasilkan rata-rata telur sekitar 400-500 butir dalam satu kali proses pemijahan. Cupang jantan akan menjaga sarang, merawat telur, dan larva yang menetas sekitar dua hari kemudian. Pada habitat aslinya, beberapa jenis ikan cupang ditemui menngerami telurnya di dalam mulut (Mouthbreeder). Dalam satu periode pemijahan biasanya anak cupang hias yang hidup mencapai 60% betina dan 40% jantan. Padahal cupang hias yang laku dipasaran hanya yang berjenis kelamin jantan, kecuali untuk tujuan sebagai induk betina (Perkasa, 2001).


(31)

11 4. Habitat Ikan Cupang (Betta sp.)

Ikan cupang (Betta sp.) hidup di daerah tropis, terutama di benua Asia sampai Afrika. Habitat asalnya berupa perairan dangkal berair jernih, seperti daerah persawahan atau anak sungai yang memiliki temperatur 24-27o C dengan kisaran pH 6,2 – 7,5 serta tingkat kandungan mineral terlarut dalam air atau kesadahan (hardnees) berkisar 5 – 12 dH. Pada umumnya ikan cupang sanggup bertahan hidup dan berkembang biak dengan baik pada kisaran pH 6,5 – 7,2 dan hardnees berkisar 8,5 – 10 dH. Akan tetapi saat ini ikan cupang sudah banyak dibudidayakan dalam wadah atau lingkungan yang terkontrol seperti kolam, akuarium, bak dan wadah budidaya lainnya. Perkembangbiakan Betta sp. bersifat bubblenester, yaitu membuat sarang busa sebelum memijah dan telur-telur dimasukkan ke dalamnya (Linke, 1994; Sanford,1995).

5. Pakan dan Kebiasaan Makan

Ikan cupang (Betta sp.) pada umumnya menyukai jenis makanan yang bergerak, makanan harus tersedia sejak telur cupang menetas. Oleh karena itu, kebanyakan pembudidaya ikan cupang terlebih dahulu melakukan kultur pakan alami sebelum memijahkan ikan cupang.

Adapun beberapa jenis pakan alami yang sering diberikan pada fase larva ikan cupang antara lain Paramecium, Infusoria, Vinegar Eel, Artemia, Kutu Air, Jentik Nyamuk, Cacing Sutra, dan Blood Worm / Cacing Darah (Sudradjat, 2003).


(32)

12 B. Sex Reversal

Seks reversal merupakan satu teknik yang dapat dilakukan untuk memperoleh keturunan monoseks, yang dalam hal ini adalah ikan jantan. Pengubahan jenis kelamin melalui pemberian hormon 17α-metil-testosteron (MT) dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya dengan penyuntikan (Mirza & Shelton 1988), perendaman atau secara oral (melalui makanan) (Eckstein & Spira dalam Hepher & Pruginin 1981). Pemberian hormon dilakukan sebelum ikan mengalami diferensiasi kelamin, yang biasanya mulai terjadi saat telur akan menetas (Baker et al. 1988), setelah telur menetas dan sebelum atau sesudah ikan mulai makan (Yamazaki, 1983).

Sex reversal dapat diartikan sebagai suatu teknologi yang membalikkan arah

perkembangan kelamin menjadi berlawanan. Menurut Kadriah (2000), Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah untuk pengembangan teknologi produksi jantan monoseks. Diantara beberapa cara untuk memproduksi jantan monoseks secara

massal yang sudah banyak diketahui adalah teknik sex reversal.

Menurut Piferrer (2001), sex reversal merupakan cara pembalikan arah perkembangan kelamin ikan yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan gonadnya menjadi betina atau sebaliknya. Teknik ini dilakukan pada saat belum terdiferensiasinya gonad ikan secara jelas antara jantan dan betina pada waktu menetas. Sex reversal merubah fenotipe ikan tetapi tidak merubah genotipenya. Fenotipe merupakan ekspresi dari genotipe. Namun demikin, kondisi lingkungan tertentu juga berpengaruh terhadap ekspresi yang muncul secara genotipe. Genotipe yang berbeda pada suatu populasi, khususnya ikan diduga akan menghasilkan ekspresi fenotipe yang berbeda pula. Teknik sex reversal mulai dikenal pada tahun 1937 ketika estradiol 17-β disintesis untuk pertama


(33)

13 kalinya di Amerika Serikat. Pada mulanya teknik ini diterapkan pada ikan guppy (Poeciliareticulata).

Diferensiasi adalah proses perkembangan gonad ikan menjadi jaringan yang defenitif (sudah pasti). Perlakuan diferensiasi kelamin akan berpengaruh apabila ada hormon yang merangsang gonad ikan atau aromatase inhibitor dalam fase pembentukan kelamin. Hal ini didukung oleh pendapat Hunter dan Donaldson, (1983) yaitu gonad akan berdiferensiasi menjadi jantan apabila ada hormon testosteron dan gonad betina akan berdiferensiasi menjadi betina apabila ada hormon estradiol.

C. Hormon Testosteron

Testosteron sebagai hormon steroid merupakan hormon yang bersifat anabolik dan androgenik. Sifat androgenik lebih menonjol karena sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan organ reproduksi, organ seksual sekunder dan kelenjar aksesoris kelamin. Yamazaki (1983), menyatakan bahwa secara fisiologis jenis kelamin ikan dapat diarahkan dengan menggunakan hormon steroid. Pemberian hormon dilakukan sebelum ikan mengalami diferensiasi kelamin, yang biasanya mulai terjadi saat telur akan menetas (Baker et al. 1988), setelah telur menetas dan sebelum atau sesudah ikan mulai makan (Yamazaki 1983).

Hormon androgen adalah hormon steroid yang berfungsi memacu pertumbuhan dan pembentukan sifat kelamin jantan. Salah satu jenis hormon steroid ini yaitu 17q-metiltestosteron. Hormon ini merupakan hormon sintetik yang molekulnya sudah diubah. Pada atom karbon ke-17 diinduksikan gugus metal supaya tahan lebih lama bereaksi di dalam tubuh. Penggunaan androgen


(34)

14 alami seperti testosterone tidak memberikan hasil yang memuaskan (Zairin, 2002).

Hormon androgen sintetis memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang alami. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam pemberian hormon steroid yaitu melarutkan hormon ke dalam air media pemeliharaan, memasukkan ke dalam makanan, dan penyuntikan (Fujaya, 2002).

Menurut Sari (2006), hormon testosteron mampu meningkatkan populasi ikan guppy jantan sebanyak 67 % (perlakuan terbaik). Penggunaan hormon ini dilakukan dengan cara merendam induk betina yang telah bunting tua. Perendaman induk ikan bunting dalam larutan hormon testosteron dengan dosis 2 ml/l selama 30 jam.

Piferrer (2001), juga menjelaskan bahwa sensitivitas hormon steroid terhadap perkembangan diferensiasi sangat tergantung pada fase perkembangan gonad yang terjadi, sehingga puncak sensitivitasnya terjadi setelah fase pembelahan sel jaringan gonad atau sebelum jaringan gonad terdiferensiasi.

D. Penampakan Warna Ikan

Warna pada ikan disebabkan oleh adanya sel pigmen atau kromatofora yang terdapat dalam dermis pada sisik, di luar maupun di bawah sisik. Warna merah atau kuning merupakan warna yang mendominasi ikan hias. Komponen utama pembentuk pigmen merah dan kuning ini adalah pigmen karotenoid. Astaxanthin merupakan molekul karotenoid yang dominan terdapat pada ikan (Satyani & Sugito, 1997). Sementara itu Lesmana (2002), menambahkan bahwa pigmen yang terdapat pada ikan dapat merupakan hasil sintesis di dalam tubuh,


(35)

15 dan beberapa jenis pigmen lainnya harus diperoleh dari luar tubuh ikan melalui makanannya. Karoten adalah bahan utama pembentuk pigmen merah dan kuning yang tidak dapat disintesis sendiri oleh ikan tetapi diperoleh dari asupan makanan. Karoten berfungsi penting dalam fisiologis, yaitu dalam sistem endokrin seperti perkembangan dan pematangan gonad. Daphnia dan Tubifex mengandung karoten yang mengakibatkan warna merah pada tubuhnya, sedangkan jentik nyamuk tidak (Latscha, 1990). Pada umumnya pigmentasi pada ikan secara makroskopis dapat dilihat seperti garis, pita dan bercak-bercak (Gustiono, 1992).

Menurut Zairin (2002), penampakan warna pada ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, kematangan gonad, genetik dan faktor geografi. Sebagaimana telah diketahui bahwa pola pigmen merupakan karakter fenotipe yang selalu diturunkan dari induk pada turunannya. Selain faktor gen sebagai pengontrol pola pigmen, lingkungan juga mempengaruhi fisiologi sel pigmen yang mendorong perubahan formasi pola pigmen yang muncul. Salah satu gen yang diketahui bertanggung jawab dalam mengkode pola pigmen dari ikan adalah gen tyrosinase (Tyr) (Haffter et al., 1996; Inagaki et al., 1998; Kusumawati, 2011). Secara spesifik gen tyrosinase bertanggung jawab terhadap sintesis enzim tirosinase yang merupakan kunci utama untuk mensintesis melanocyte dan mutasi pada gen tyrosinase memberikan dampak defisiensi pigmentasi pada retina dan kulit embrio ikan rainbow trout (Boonanuntanasarn et al., 2004). Regulasi suatu pigmen dikontrol secara genetik yang dikode oleh suatu gen yang memiliki susunan nukleotida interspesifik yang sesuai terhadap pola pigmen yang terbentuk (Sugie et al., 2004). Gen tyrosinase merupakan salah satu gen yang bertanggung jawab dalam mengkode pola pigmen.


(36)

16 Gen berfungsi sebagai faktor untuk pengontrol pola pigmen. Selain itu, pakan dan lingkungan juga mempengaruhi fisiologi sel pigmen yang mendorong perubahan formasi pola pigmen yang muncul. Seperti yang dikemukakan oleh Hansen (2011), bahwa pemberian naupli kopepoda memberikan pigmen warna yang lebih kuning pada larva ikan kod daripada perlakuan (kopepoda dan pengkayaan rotifer), pengkayaan rotifer, dan rotifer Chlorella. Demikian juga Menurut Setiawati et al., 2011, kopepoda merupakan pakan alami yang umumnya ditemukan pada ikan klown asli yang dipelihara di karamba jaring apung. Selanjutnya Gouveia et al., (2003) menyatakan bahwa ekspresi pigmentasi dari beta-karoten yang terkandung dalam daging atau kulit ikan merupakan komponen biologi pembentuk warna merah pada ikan. Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap pigmentasi pada ikan diantaranya dari hasil penelitian Kusumawati (2011), yang menyatakan adanya korelasi positif terhadap migrasi pola pigmen ikan badut pada eksperimen pemeliharaan dengan dua kondisi yang berbeda yaitu outdoor dan indoor.


(37)

17 III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitan ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai bulan Januari 2015 bertempat di Desa Toto Katon, Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, yang merupakan Desa Binaan Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

B. Alat dan Bahan 1. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam pelaksanaan penilitian ini antara lain wadah pemeliharaan berupa bak plastik dengan kapasitas air 30 liter sebanyak 6 buah, wadah pemijahan berupa baskom plastik dengan kapasitas air 2 liter sebanyak 1 buah, gelas plastik transparan sebanyak 1 buah, wadah perendaman hormon berupa kontainer kecil dengan kapasitas air 4 liter sebanyak 1 buah, skopnet/serokan kecil, termometer, pH meter/kertas lakmus, DO meter, timbangan digital, gelas ukur, sendok makan, Modified Toca Colour Finder (M-TCF), dan alat tulis.

2. Bahan Penelitian

Bahan yang akan digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah induk ikan cupang jantan dan betina yang siap memijah (jenis plakat dengan warna


(38)

18 dasar merah), larva ikan cupang yang merupakan hasil pemijahan induk selama

penelitian, hormon 17α-metiltestosteron, alkohol 70%, pakan alami (Daphnia dan

Tubifex), pakan buatan/pelet berupa pakan udang berbentuk remahan dengan kadar protein 40%.

C. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental yang bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh aplikasi sex reversal menggunakan hormon testosteron terhadap perbedaan intensitas warna ikan cupang (Betta sp.) jantan hasil sex reversal (genotipe XX) dengan jantan asli (genotipe XY). Sedangkan rancangan penelitian yang digunakan adalah pra eksperimen dan pendekatan static group comparison, yaitu suatu rancangan penelitian yang menggunakan dua kelompok subyek yakni perlakuan 1 dan perlakuan 2. Masing-masing perlakuan terdiri atas 3 ulangan dengan padat penebaran larva 5 ekor/liter air. Penempatan setiap satuan perlakuan dapat dilakukan secara berurutan atau secara acak (Notoatmodjo, 2010).

Desain penempatan satuan perlakuan adalah sebagai berikut :

Gambar 3. Rancangan Penempatan Penelitian

P1 U1 P1 U2 P1 U3


(39)

19 Keterangan :

P : Perlakuan U : Ulangan

 P1 : Dengan sex reversal

 P2 : Tanpa sex reversal

D. Pelaksanaan Penelitian 1. Persiapan Wadah

Wadah yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari wadah pemijahan, wadah perendaman hormon, dan wadah pemeliharaan. Wadah yang akan dipergunakan terlebih dahulu dilakukan sanitasi/pembersihan dengan cara dicuci menggunakan sabun kemudian dibilas dengan air hingga bersih dan dikeringkan dengan cara dijemur selama kurang lebih 12 jam. Setelah benar-benar kering, barulah kemudian wadah diisi air. Wadah pemijahan diisi dengan volume air 1 liter, wadah perendaman hormon diisi dengan volume air 2 liter, dan wadah pemeliharaan diisi dengan volume air 10 liter. Selanjutnya dilakukan pengkondisian air dalam wadah dengan cara diaerasi penuh selama 24 jam sebelum dipergunakan.

2. Pemijahan Induk Ikan Cupang

Induk ikan cupang diperoleh dari petani ikan hias yang berada di Desa Toto Katon Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung Tengah. Induk ikan cupang terlebih dahulu dipilih jantan dan betina, kemudian dilakukan pemeliharaan secara terpisah antara jantan dan betina hingga mencapai tingkat kematangan gonad yang optimal untuk dipijahkan. Pemijahan ikan cupang dilakukan dengan cara


(40)

20 memasukkan induk jantan terlebih dahulu ke dalam wadah pemijahan, selanjutnya masukkan induk betina yang ditempatkan pada gelas plastik transparan ke dalam wadah pemijahan. Tujuan dari penempatan induk betina di dalam gelas plastik transparan yaitu untuk merangsang induk jantan agar segera membuat sarang berupa gelembung-gelembung busa sebelum terjadi proses pemijahan, selain itu untuk mengurangi kontak fisik (serangan) dari induk jantan yang dapat menyebabkan induk betina mengalami kerusakan pada bagian tubuh, terutama pada bagian sirip selama proses pemijahan. Penempatan induk betina di dalam gelas plastik transparan dilakukan selama kurang lebih 12 jam hingga induk jantan selesai membuat sarang, sehingga ketika induk betina dilepaskan dari gelas plastik transparan kedalam wadah pemijahan, proses pemijahan akan segera berlangsung. Telur hasil proses pemijahan yang telah selesai dibuahi akan menempel pada sarang di bagian tepi wadah pemijahan kemudian kedua induk dikeluarkan dari wadah pemijahan.

E. Pemberian Perlakuan

Telur yang telah selesai dibuahi kemudian dipisahkan dari kedua indukannya kemudian dibagi menjadi dua bagian menggunakan sendok makan secara perlahan dan hati-hati, masing-masing bagian berjumlah kurang lebih 150-200 butir telur untuk selanjutnya diberikan perlakuan yang berbeda. Bagian pertama (P1 : dengan sex reversal) diberi perlakuan dengan cara perendaman

dalam air yang telah ditambahkan larutan hormon 17α-metiltestosteron selama 24 jam. Pelarutan hormon dilakukan dengan cara memasukkan hormon ke dalam 1 ml alkohol 70%, kemudian dimasukkan kedalam wadah perendaman yang telah


(41)

21 diisi air. Sementara itu bagian kedua (P2 : tanpa sex reversal) tidak diberikan perlakuan perendaman, melainkan hanya ditetaskan secara normal atau alami dalam wadah penetasan sebagai pembanding atau kontrol perlakuan pertama (P1). Dosis perendaman yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah 2 mg/l dengan kisaran lama waktu perendaman selama 24 jam. Seperti yang dikemukakan oleh Zairin et al., (2002) dalam penelitiannya, pada tingkat dosis 2 mg/l hormon 17α-metiltestosteron (MT) dengan kisaran lama waktu perendaman 24 jam sampai 48 jam, induk ikan guppy (Poecilia reticulata Peters) menghasilkan 100% keturunan jantan. Pemberian perlakuan dilakukan pada fase bintik mata, kurang lebih 14 jam setelah telur selesai dibuahi sempurna. Baker et al. (1988), menyatakan bahwa perendaman telur dilakukan pada saat setelah terbentuk bintik mata (eyed eggs). Hal ini sesuai dengan percobaan yang dilakukannya pada telur ikan chinook (Oncorhunchus tshawytcha) yang baru membentuk bintik mata dan akan menetas. Percobaan tersebut berhasil memperoleh ikan jantan 100% pada konsentrasi hormon metiltestosteron (MT) dengan dosis 0,2 ppm selama 120 menit.

Setelah menetas, bagian pertama (P1 : dengan sex reversal) yang direndam dalam larutan hormon 17α-metiltestosteron dan bagian kedua (P2 : tanpa sex reversal) yang ditetaskan secara normal dalam wadah penetasan dipindahkan ke dalam wadah pemeliharaan. Masing-masing wadah berisi air 10 liter dengan padat penebaran 5 ekor/liter air, untuk kemudian dipelihara hingga dapat diidentifikasi intensitas warnanya.


(42)

22 F. Menajemen Pemberian Pakan

Jenis pakan yang diberikan selama penelitian adalah pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami berupa Daphnia yang diberikan pada saat larva cupang habis kuning telurnya (3 hari setelah menetas hingga berumur 15 hari) dan Tubifex (15 hari hingga 30 hari), untuk selanjutnya diberikan pakan buatan/pelet berupa pakan udang berbentuk remah dengan kadar protein 40%. Metode pemberian pakan secara adlibitum sebanyak 3 kali sehari. Pemeliharaan dilakukan selama 90 hari dengan pemberian pakan tiga kali sehari pada pukul 08.00 WIB, 13.00 WIB dan 17.00 WIB.

G. Parameter Pengamatan 1. Derajat Penetasan (HR)

Sampling derajat penetasan dilakukan untuk mengetahui prediksi persentase jumlah telur yang berhasil menetas sempurna sehingga memiliki peluang untuk dapat hidup (Suseno, 1991).

Rumus:

HR = � ℎ�� � �

� ℎ�� �� ℎ� x 100%

2. Kelangsungan Hidup (SR)

Tingkat kelangsungan hidup benih ikan merupakan perbandingan jumlah benih yang hidup dengan total benih yang ditebar pada awal pemeliharaan (Effendie, 1997).


(43)

23 Rumus:

SR = x 100% Keterangan :

SR : Kelangsungan hidup (Survival Rate)

Nt : Jumlah ikan yang hidup di akhir pemeliharaan No : Jumlah ikan saat awal penebaran

3. Nisbah Kelamin

Nisbah kelamin merupakan perbandingan antara jumlah ikan jantan dan jumlah ikan betina yang menyusun suatu populasi. Nisbah kelamin merupakan parameter utama untuk menjadi indikator keberhasilan teknik sex reversal. Penghitungan persentase dan nisbah kelamin dilakukan dengan menggunakan rumus Zairin (2002):

% Jantan =Jumlah Ikan Jantan

Jumlah Ikan Total + 100%

% Betina =Jumlah Ikan Betina

Jumlah Ikan Total + 100%

Nisbah Kelamin =Jumlah Ikan Jantan Jumlah Ikan Betina

4. Intensitas Warna

Pengamatan warna ikan dilakukan dengan menggunakan Modified Toka Colour Finder (M-TCF). Standar penilaian kualitas warna ikan uji ditentukan


(44)

24 dengan cara menentukan TCF warna ikan yaitu dengan cara mengamati warna ikan cupang yang dominan/sering muncul pada semua perlakuan, baik warna pada bagian depan maupun pada bagian belakang dan ditetapkan sebagai standar TCF. Pengamatan dilakukan dengan cara membandingkan warna dominan ikan pada kertas warna TCF yang diamati oleh 5 orang pengamat dengan syarat memiliki indra pengelihatan normal (tidak buta warna). Pada pengamatan intensitas warna, semua warna ikan diukur dan untuk selanjutnya perbedaan warna kearah yang lebih kontras diberi nilai 1, 2, 3, sampai 30, untuk menentukan rata - rata dari nilai intensitas warna pada masing masing unit perlakuan penelitian.

5. Pengukuran Kualitas Air

Pengukuran kualitas air meliputi suhu, DO (Dissolved Oksigen) / oksigen terlarut, dan pH (derajat keasaman). Pengukuran kualitas air dilakukan setiap 2 hari sekali (pagi, siang, dan sore) selama masa pemeliharaan.

H. Analisa Data

Parameter uji yang digunakan untuk pengujian hasil didalam penarikkan kesimpulan adalah intensitas warna ikan untuk melihat perbedaan respon intensitas warna ikan cupang jantan yang diberi perlakuan sex reversal dan ikan cupang jantan yang tanpa diberi perlakuan sex reversal. Data hasil pengukuran intensitas warna kemudian dianalisis dengan menggunakan uji T pada selang kepercayaan 95%.


(45)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Terdapat pengaruh sex reversal menggunakan hormon 17α -metiltestosteron terhadap perbedaan intensitas warna ikan cupang (Betta sp.) jantan XX dengan jantan XY, dimana jantan XX hasil perlakuan sex reversal memiliki intensitas warna yang rendah jika dibandingkan jantan XY tanpa perlakuan sex reversal.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai aplikasi sex reversal menggunakan hormon 17α-metiltestosteron terhadap perbedaan intensitas warna ikan cupang (Betta sp.), yang menggunakan lebih dari satu jenis/strain ikan cupang (Betta sp.) dengan warna berbeda.


(46)

36 DAFTAR PUSTAKA

Adel, ME Shalaby, A. Ashraf, Ramadan and Yassir AE Khattab. 2006. Sex Reversal of Tilapia Fry Using Different Dosses Of 17a-Methil

Testosterone at Different Dietary Protein Levels. Central Laboratory for Aquaculture Research. Sharkia Governorate. Egypt.

Baker, I.J., I.I. Solar & E.M. Donaldson. 1988. Masculinization of chinook salmon (Onchorhynchus tshwytscha) by immersion treatment using 17a

-methyltestosterone around the time of hatching. Aquaculture, 72: 359-367. Baroiller, J. F., D. Chourrout, A. Fostier, and B. Jalabert. 1995. Temperature and

sex chromosomes govern sex ratio of the mouthbrooding cichlid fish (Oreochromis niloticus). Journal of experimental zoology., 273, 216-223. Boonanuntanasam, S., G. Yoshizaki, K. Iwai, and T. Takeuchi. 2004. Molecular

cloning, gene expression in albino mutants and gene knockdown studies of tyrosinase mRNA in tainbow trout. Pigment Cell Research, 17:413-421. Borg B. 1994. Androgen in Teleost Fish. Comp. Biochem. Physiology. Vo 109C:

219-245

Boyd, CE. 1990. Water Quality Management For Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Company Inc. New York.

Brotowidjoyo MD, Tribawana & E. Mulbiantoro, 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Liberty. Yogyakata.

Carman, O. dan M. Alimuddin. 1998. Produksi Ikan Cupang Jantan Saja. Publikasi pada Pelatihan Pembinaan Petani Ikan Cupang dari Lima Wilayah DKI Jakarta di BBI Ciganjur. Bogor.

Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 155 hal.

Fujaya, Y. 2002. Fisiologi lkan. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rineka Cipta. Jakarta.

Gouveia, L., P. Rema, O. Pereira, dan J. Empis. 2003. Coloring ornamental fish (Cyprinus carpio and Carassius auratus) with micro-algal biomass. Aquaculture Nutri-tion, 9: 123–129.


(47)

37 Gutiono, R. 1992. Genetic Colour Varieties of The Indonesian common Carp

(Cyprinus carpio L.). Teknical Peaper, IDRC. RIFF, Bogor, Indonesia, hlm. 44-105.

Haffter, P., J. Odenthal, M.C. Mullins, S. Lin, M.J. Farrell, E. Vogelsang, F. Haas, M. Brand, F.J.M.V. Eden, M.F. Seiki, M. Granato, M. Hammerschmidt, C.P. Heisenberg, Y.J. Jiang, D.A. Kane, R.N. Kelsh, N. Hopskin, and C.N. Volhard. 1996. Mutations affecting pigmentation and shape of the adult Zebrafish. Development Genes and Evaluation, 206:260-276.

Hansen, M.H. 2011. Effects of feeding with copepod nauplii (Acartia tonsa) compared to rotifers (Brachionus ibericus, Cayman) on quality

parameters in Atlantic cod (Gadus morhua) larvae. Norwegian University of Science and Technology. Department of Biology. 91p.

Hepher, B. & Y. Pruginin. 1981. Commersial Fish Farming. John Willey and Sons, New York. 261p.

Hunter, G.A., Donaldson, E.M.:, 1983. Hormonal Sex Control And Its Application To Fish Culture. In: Hoar, W.S., Randall, D.J., Donaldson, E.M.: (Eds.), Fish Physiology, 9B. Academic Press, New York, Pp. 223-303.

Inagaki, H., A. Koga, Y. Bessho and H. Hori. 1998. The tyrosinase gene from Medakafish: transgenic expression rescues albino muta-tion. Pigment Cell Research, 11:283-290.

Kadriah. I.A.K. 2000. Efek Manifulasi Hormon 17α-Metiltestosteron Pada Berbagai Variasi Termperatur terhadap Rasio Kelamin Ikan Gapi (Poecilia reticulata Peters). [Skripsi]. Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Kirpichnikov, V. S. 1981. Genetic Bases of Fish Selection. Springer Veerlag. Berlin Heidelberg. New York. 410p.

Kusumawati, D. 2011. Kajian Gen Pengkode Pola Pigmen dan Profil Protein pada Ikan Badut Hitam (Amphiprion percula). Tesis Program Studi Pasca Sarjana Jurusan Biologi. Universitas Brawijaya, Malang. 76hlm.

Latscha, T. 1990. 'B Carotenoids' Their Nature and Significance in Animal Feeds. Departrnent of Anirnal Nutritions and Health. F. Hoffrnan - La Roche. Ltd. Basel. Su,itzerland. h. I 10.

Lesmana, D.S., 2002. Agar Ikan Hias Cemerlang. Penebar Swadaya. Jakarta Linke, H . 1994. Eksplorasi Ikan Cupang di Kalimantan. Trubus. No.297.


(48)

38 Mirza, J.A. & W.L. Shelton. 1988. Induction of Gynogenesis and Sex Reversal in

Silver Carp. Aquaculture, 68: 1-14.

Notoatmodjo. 2010. Metode Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta Ostrow, M.E. 1989. Betta's.T. F..H Pub. Inc. Canada. h.91.

Pandian, T. J. And S. G. Sheela. 1995. Review: Hormonal Induction of Sex Reversal In Fish. Aquaculture 138: 1-22.

Perkasa, B.E. 2001. Merawat Cupang untuk Kontes. Jakarta. Penebar Swadaya. Perkasa, B.E. dan Hendry G, 2002. Solusi Permasalahan Cupang. Jakarta.

Penebar Swadaya.

Piferrer, F., 2001, “Endocrine Sex control Strategies for Feminization of Teleost

Fish” Aquaculture 197: 229–281.

Puspita, Niken. 2012. Pengaruh Penambahan Tepung Kepala Udang dalam Pakan terhadap Pigmentasi Ikan Koi (Cyprinus carpio) Jenis Kohaku. Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan ; Universitas Lampung. Lampung.

Sanford, G. 1995. An Illustrated Encylopedia of Aquarium fish. Apple Press. London. h.68.

Sari, K. 2006. Pengaruh Lama Perendaman lnduk lkan Guppy (Poecilia

reticulata) dalam Larutan Hormon Testosteron terhadap Nisbah Kelamin dan Kelangsungan Hidup Anak yang dihasilkannya. Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah. Palembang (tidak dipublikasikan).

Setiawati, K.M., Gunawan, H.T., Yudha, J.H., Hutapea, dan K., Suarsana. 2011. Pengaruh shelter pada pemeliharaan benih ikan klon biak (Amphiprion percula) di karamba jaring apung. Forum Inovasi Teknologi Akuakultur, 2:79-85.

Satyani, D. 2005. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.

Satyani, D. & Sugito, S. 1997. Astaxanthin sebagai Suplemen Pakan untuk Peningkatan Warna Ikan Hias. Warta Penelitian Indonesia, III(1): 6-8. Sudradjat. 2003. Pembenihan dan Pembesaran Cupang Hias. Yogyakarta.

Kanisius.

Sugandy, Irawan. 2001. Budidaya Ikan Cupang Hias. Penerbit Agro Media Pustaka, Jakarta, hal 21-22.


(49)

39 Sugie, A., Y. Terai, R. Ota, and N. Okada. 2004. The Evaluation of Genes for

Pigmentations in African Cichild Fishes. Gene, 343:337-346.

Sumandinata, K. 1983. Pengembangbiakan Ikan-ikan Peliharaan di Indonesia. Penerbit Sastra Budaya, Bogor.129 hal.

Suseno, Djoko. 1991. Pengelolaan Usaha Pembenihan Ikan. Penebar Swadaya, Jakarta.

Yamamoto, 1969. Sex Diferentiation. Fish Physiology. Vol III. P :117-158. In:W.S Hoar and D.J. Randal (Eds). Academic Press. New York.

Yamazaki, F., 1983, “Sex Contro1 and Manipulation in Fish”, Aquaculture 33: 329–354.

Yamazaki, F. 1983. Sex Differentiation. P:117-158. In: W.S. Hoar and D.J. Randal, (Eds.). Fish Physiology. Vol. III. Academic Press. New York. Yustina, Arnentis dan Darmawati. 2002. Daya Tetas dan Laju Pertumbuhan Larva

Ikan Betta splendens di Habitat Buatan. Jurnal Bionatur. Bandung. Zairin, M. 2002. Sex Reversal Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina.

Penebar Swadaya. Bogor.

Zairin, M. Jr., dan K. Sumantadinata. 1998a. Pengaruh Dosis Larutan Hormon 17

α -Metiltestosteron pada Perendaman Telur Fase Bintik Mata terhadap Nisbah Kelamin Ikan Cupang (Betta splendens regan). Prosiding Simposium dan Kongres III Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI), Bandung. P: 281-285.

Zairin, M. Jr., dan K. Sumantadinata. 1998b. Pengaruh Lama Waktu Perendaman Telur Fase Bintik Mata di dalam Larutan Hormon 17α -Metiltestosteron terhadap Nisbah Kelamin Ikan Cupang (Betta splendens regan). Prosiding Simposium dan Kongres III Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI), Bandung. P: 286-290.

Zairin, M. Jr. 2000. Pengaruh Perendaman Embrio di dalam Larutan 17 α

-Metiltestosteron terhadap Nisbah Kelamin Ikan Tetra Kongo (Micralestes interruptus). Jumal Biosains, Bandung. 5: 7-12.

Zairin, M. Jr., A. Yunianti, R.R.S.P.S. Dewi, dan K. Sumantadinata. 2002. Pengaruh Lama Waktu Pery.Ndaman Induk di dalam Larutan Hormon

17α-Metiltestosteron Terhadap Nisbah Kelamin Anak Ikan Gapi (Poecilia reticulata Peters). Jurnal Akuakultur Indonesia, Bogor. 1(1): 31-35(2002)


(1)

24 dengan cara menentukan TCF warna ikan yaitu dengan cara mengamati warna ikan cupang yang dominan/sering muncul pada semua perlakuan, baik warna pada bagian depan maupun pada bagian belakang dan ditetapkan sebagai standar TCF. Pengamatan dilakukan dengan cara membandingkan warna dominan ikan pada kertas warna TCF yang diamati oleh 5 orang pengamat dengan syarat memiliki indra pengelihatan normal (tidak buta warna). Pada pengamatan intensitas warna, semua warna ikan diukur dan untuk selanjutnya perbedaan warna kearah yang lebih kontras diberi nilai 1, 2, 3, sampai 30, untuk menentukan rata - rata dari nilai intensitas warna pada masing masing unit perlakuan penelitian.

5. Pengukuran Kualitas Air

Pengukuran kualitas air meliputi suhu, DO (Dissolved Oksigen) / oksigen terlarut, dan pH (derajat keasaman). Pengukuran kualitas air dilakukan setiap 2 hari sekali (pagi, siang, dan sore) selama masa pemeliharaan.

H. Analisa Data

Parameter uji yang digunakan untuk pengujian hasil didalam penarikkan kesimpulan adalah intensitas warna ikan untuk melihat perbedaan respon intensitas warna ikan cupang jantan yang diberi perlakuan sex reversal dan ikan cupang jantan yang tanpa diberi perlakuan sex reversal. Data hasil pengukuran intensitas warna kemudian dianalisis dengan menggunakan uji T pada selang kepercayaan 95%.


(2)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Terdapat pengaruh sex reversal menggunakan hormon 17α -metiltestosteron terhadap perbedaan intensitas warna ikan cupang (Betta sp.) jantan XX dengan jantan XY, dimana jantan XX hasil perlakuan sex reversal memiliki intensitas warna yang rendah jika dibandingkan jantan XY tanpa perlakuan sex reversal.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai aplikasi sex reversal menggunakan hormon 17α-metiltestosteron terhadap perbedaan intensitas warna ikan cupang (Betta sp.), yang menggunakan lebih dari satu jenis/strain ikan cupang (Betta sp.) dengan warna berbeda.


(3)

36 DAFTAR PUSTAKA

Adel, ME Shalaby, A. Ashraf, Ramadan and Yassir AE Khattab. 2006. Sex Reversal of Tilapia Fry Using Different Dosses Of 17a-Methil

Testosterone at Different Dietary Protein Levels. Central Laboratory for Aquaculture Research. Sharkia Governorate. Egypt.

Baker, I.J., I.I. Solar & E.M. Donaldson. 1988. Masculinization of chinook salmon (Onchorhynchus tshwytscha) by immersion treatment using 17a

-methyltestosterone around the time of hatching. Aquaculture, 72: 359-367. Baroiller, J. F., D. Chourrout, A. Fostier, and B. Jalabert. 1995. Temperature and

sex chromosomes govern sex ratio of the mouthbrooding cichlid fish (Oreochromis niloticus). Journal of experimental zoology., 273, 216-223. Boonanuntanasam, S., G. Yoshizaki, K. Iwai, and T. Takeuchi. 2004. Molecular

cloning, gene expression in albino mutants and gene knockdown studies of tyrosinase mRNA in tainbow trout. Pigment Cell Research, 17:413-421. Borg B. 1994. Androgen in Teleost Fish. Comp. Biochem. Physiology. Vo 109C:

219-245

Boyd, CE. 1990. Water Quality Management For Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Company Inc. New York.

Brotowidjoyo MD, Tribawana & E. Mulbiantoro, 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Liberty. Yogyakata.

Carman, O. dan M. Alimuddin. 1998. Produksi Ikan Cupang Jantan Saja. Publikasi pada Pelatihan Pembinaan Petani Ikan Cupang dari Lima Wilayah DKI Jakarta di BBI Ciganjur. Bogor.

Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 155 hal.

Fujaya, Y. 2002. Fisiologi lkan. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rineka Cipta. Jakarta.

Gouveia, L., P. Rema, O. Pereira, dan J. Empis. 2003. Coloring ornamental fish (Cyprinus carpio and Carassius auratus) with micro-algal biomass. Aquaculture Nutri-tion, 9: 123–129.


(4)

37 Gutiono, R. 1992. Genetic Colour Varieties of The Indonesian common Carp

(Cyprinus carpio L.). Teknical Peaper, IDRC. RIFF, Bogor, Indonesia, hlm. 44-105.

Haffter, P., J. Odenthal, M.C. Mullins, S. Lin, M.J. Farrell, E. Vogelsang, F. Haas, M. Brand, F.J.M.V. Eden, M.F. Seiki, M. Granato, M. Hammerschmidt, C.P. Heisenberg, Y.J. Jiang, D.A. Kane, R.N. Kelsh, N. Hopskin, and C.N. Volhard. 1996. Mutations affecting pigmentation and shape of the adult Zebrafish. Development Genes and Evaluation, 206:260-276.

Hansen, M.H. 2011. Effects of feeding with copepod nauplii (Acartia tonsa) compared to rotifers (Brachionus ibericus, Cayman) on quality

parameters in Atlantic cod (Gadus morhua) larvae. Norwegian University of Science and Technology. Department of Biology. 91p.

Hepher, B. & Y. Pruginin. 1981. Commersial Fish Farming. John Willey and Sons, New York. 261p.

Hunter, G.A., Donaldson, E.M.:, 1983. Hormonal Sex Control And Its Application To Fish Culture. In: Hoar, W.S., Randall, D.J., Donaldson, E.M.: (Eds.), Fish Physiology, 9B. Academic Press, New York, Pp. 223-303.

Inagaki, H., A. Koga, Y. Bessho and H. Hori. 1998. The tyrosinase gene from Medakafish: transgenic expression rescues albino muta-tion. Pigment Cell Research, 11:283-290.

Kadriah. I.A.K. 2000. Efek Manifulasi Hormon 17α-Metiltestosteron Pada Berbagai Variasi Termperatur terhadap Rasio Kelamin Ikan Gapi (Poecilia reticulata Peters). [Skripsi]. Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Kirpichnikov, V. S. 1981. Genetic Bases of Fish Selection. Springer Veerlag. Berlin Heidelberg. New York. 410p.

Kusumawati, D. 2011. Kajian Gen Pengkode Pola Pigmen dan Profil Protein pada Ikan Badut Hitam (Amphiprion percula). Tesis Program Studi Pasca Sarjana Jurusan Biologi. Universitas Brawijaya, Malang. 76hlm.

Latscha, T. 1990. 'B Carotenoids' Their Nature and Significance in Animal Feeds. Departrnent of Anirnal Nutritions and Health. F. Hoffrnan - La Roche. Ltd. Basel. Su,itzerland. h. I 10.

Lesmana, D.S., 2002. Agar Ikan Hias Cemerlang. Penebar Swadaya. Jakarta Linke, H . 1994. Eksplorasi Ikan Cupang di Kalimantan. Trubus. No.297.


(5)

38 Mirza, J.A. & W.L. Shelton. 1988. Induction of Gynogenesis and Sex Reversal in

Silver Carp. Aquaculture, 68: 1-14.

Notoatmodjo. 2010. Metode Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta Ostrow, M.E. 1989. Betta's.T. F..H Pub. Inc. Canada. h.91.

Pandian, T. J. And S. G. Sheela. 1995. Review: Hormonal Induction of Sex Reversal In Fish. Aquaculture 138: 1-22.

Perkasa, B.E. 2001. Merawat Cupang untuk Kontes. Jakarta. Penebar Swadaya. Perkasa, B.E. dan Hendry G, 2002. Solusi Permasalahan Cupang. Jakarta.

Penebar Swadaya.

Piferrer, F., 2001, “Endocrine Sex control Strategies for Feminization of Teleost Fish” Aquaculture 197: 229–281.

Puspita, Niken. 2012. Pengaruh Penambahan Tepung Kepala Udang dalam Pakan terhadap Pigmentasi Ikan Koi (Cyprinus carpio) Jenis Kohaku. Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan ; Universitas Lampung. Lampung.

Sanford, G. 1995. An Illustrated Encylopedia of Aquarium fish. Apple Press. London. h.68.

Sari, K. 2006. Pengaruh Lama Perendaman lnduk lkan Guppy (Poecilia

reticulata) dalam Larutan Hormon Testosteron terhadap Nisbah Kelamin dan Kelangsungan Hidup Anak yang dihasilkannya. Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah. Palembang (tidak dipublikasikan).

Setiawati, K.M., Gunawan, H.T., Yudha, J.H., Hutapea, dan K., Suarsana. 2011. Pengaruh shelter pada pemeliharaan benih ikan klon biak (Amphiprion percula) di karamba jaring apung. Forum Inovasi Teknologi Akuakultur, 2:79-85.

Satyani, D. 2005. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.

Satyani, D. & Sugito, S. 1997. Astaxanthin sebagai Suplemen Pakan untuk Peningkatan Warna Ikan Hias. Warta Penelitian Indonesia, III(1): 6-8. Sudradjat. 2003. Pembenihan dan Pembesaran Cupang Hias. Yogyakarta.

Kanisius.

Sugandy, Irawan. 2001. Budidaya Ikan Cupang Hias. Penerbit Agro Media Pustaka, Jakarta, hal 21-22.


(6)

39 Sugie, A., Y. Terai, R. Ota, and N. Okada. 2004. The Evaluation of Genes for

Pigmentations in African Cichild Fishes. Gene, 343:337-346.

Sumandinata, K. 1983. Pengembangbiakan Ikan-ikan Peliharaan di Indonesia. Penerbit Sastra Budaya, Bogor.129 hal.

Suseno, Djoko. 1991. Pengelolaan Usaha Pembenihan Ikan. Penebar Swadaya, Jakarta.

Yamamoto, 1969. Sex Diferentiation. Fish Physiology. Vol III. P :117-158. In:W.S Hoar and D.J. Randal (Eds). Academic Press. New York.

Yamazaki, F., 1983, “Sex Contro1 and Manipulation in Fish”, Aquaculture 33: 329–354.

Yamazaki, F. 1983. Sex Differentiation. P:117-158. In: W.S. Hoar and D.J. Randal, (Eds.). Fish Physiology. Vol. III. Academic Press. New York. Yustina, Arnentis dan Darmawati. 2002. Daya Tetas dan Laju Pertumbuhan Larva

Ikan Betta splendens di Habitat Buatan. Jurnal Bionatur. Bandung. Zairin, M. 2002. Sex Reversal Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina.

Penebar Swadaya. Bogor.

Zairin, M. Jr., dan K. Sumantadinata. 1998a. Pengaruh Dosis Larutan Hormon 17 α -Metiltestosteron pada Perendaman Telur Fase Bintik Mata terhadap Nisbah Kelamin Ikan Cupang (Betta splendens regan). Prosiding Simposium dan Kongres III Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI), Bandung. P: 281-285.

Zairin, M. Jr., dan K. Sumantadinata. 1998b. Pengaruh Lama Waktu Perendaman Telur Fase Bintik Mata di dalam Larutan Hormon 17α -Metiltestosteron terhadap Nisbah Kelamin Ikan Cupang (Betta splendens regan). Prosiding Simposium dan Kongres III Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI), Bandung. P: 286-290.

Zairin, M. Jr. 2000. Pengaruh Perendaman Embrio di dalam Larutan 17 α

-Metiltestosteron terhadap Nisbah Kelamin Ikan Tetra Kongo (Micralestes interruptus). Jumal Biosains, Bandung. 5: 7-12.

Zairin, M. Jr., A. Yunianti, R.R.S.P.S. Dewi, dan K. Sumantadinata. 2002. Pengaruh Lama Waktu Pery.Ndaman Induk di dalam Larutan Hormon 17α-Metiltestosteron Terhadap Nisbah Kelamin Anak Ikan Gapi (Poecilia reticulata Peters). Jurnal Akuakultur Indonesia, Bogor. 1(1): 31-35(2002)