Tabel 1 T1 672005168 Full text

10 Gambar 10 Plot ACF dan PACF Differencing Produksi Gambar ACF dan PACF data yang sudah stasioner menunjukkan bahwa pola ACF cenderung cut off lag 0, 2, 8 dan pola PACF cenderung dies down lag 1, 8. Berdasarkan petunjuk [3] pada nomor 3 dan 4 , maka dapat dilakukan pendugaan menggunakan ARIMA p,d,q sP,D,Q adalah 1,1,1 0,1,1 Uji kesesuaian Model Goodness of Fit Test Model ini dibuat oleh Karl Pearson dan Sering disebut Pearson’s Chi-Square yang digunakan untuk Goodness of Fit Test. Ukuran uji kesesuaian model berbasis maximum likehood ML. Diharapkan nilainya rendah sehingga diperoleh nilai P Probability yang tinggi melebihi 0,05. Nilai X 2 =0 dan nilai P=1, mengindikasikan model adalah saturated atau perfect fit dapat dinotasikan dengan: X 2 = N- 1 F ML F ML = trS - 1 -p+q+In| |-|S| ………………………………….. 4 dimana: = matriks kovariansi estimasi populasi S = matriks kovarians sampel N = ukuran sampel p+q = jumlah riteria yang diobservasi Dari hasil output computer menggunakan program R, maka di dapat hasil pada Tabel

1: Tabel 1

Hasil Chi-Square Goodness Of Fit Test Model Cut off value Hasil Analisis Data harga=ARIMA p,d,q SP,D,Q 1,1,0 1,1,0 p 0,05 Df= 2 atau 3 X-squared = 5380.867 , df = 3, p- 11 Data produksi=ARIMA p,d,q sP,D,Q 1,1,1 0,1,1 p 0,05 Df= 2 atau 3 value = 0.4235 X-squared = 12.5575, df = 3, p- value = 0.05698 Dari hasil pengujian menggunakan Chi-Square diatas maka dapat disimpulkan bahwa model dapat dikatakan baik. Setelah melakukan tes uji kesesuaian dan menghasilkan model yang baik, maka langkah selanjutnya adalah melihat plot data harga tembakau di Indonesia yang menunjukkan adanya ketidakstationeran, trend, dan riter musiman yang tidak telalu terlihat dari plot autokorelasinya ini dapat dipecahkan dengan metode Box-Jenkins ARIMA. Metode ARIMA ini tidak mensyaratkan suatu pola data tertentu, sehingga semua pola data dapat dianalisis menggunakan metode ARIMA ini. Ketidakstationeran dalam data harga tembakau dapat dihilangkan dengan cara pembedaan atau differencing. Standard Error s.e. merupakan ikhtisar yang mengukur akar dari varian yang diukur berdasarkan nilai residual dari regresi yang kita lakukan dengan model yang ada. Semakin kecil nilai S,E. maka model dinilai semakin baik. Perhitungan nilai log likelihood menggunakan asumsi bahwa error terdistribusi secara normal. Semakin besar nilai log likelihood, maka model yang digunakan semakin baik. Akaike Information Criterion AIC yang lebih kecil dianggap sebagai hasil yang lebih baik. Apabila ingin menggunakan lag dari variable dalam model, maka panjang distribusi lag yang digunakan adalah yang meminimumkan nilai AIC. Berikut adalah tahap estimasi dari data harga bulanan tembakau dengan ARIMA 1,1,0 1,1,0: Tabel 2 Estimasi Data Harga Tembakau a Ordo 1,1,0 1,1,0 dan b 2,1,0 2,1,0 Call: arimax = harga, order = c1, 1, 0, seasonal = listorder = c1, 1, 0, period = 12 Coefficients: ar1 sar1 -0.2735 -0.4579 s.e. 0.0623 0.0570 sigma2 estimated as 2296708: log likelihood = 2090.89, aic = 4187.78 Call: arimax = harga, order = c2, 1, 0, seasonal = listorder = c2, 1, 0, period = 12 Coefficients: ar1 sar1 -0.5742 -0.6057 s.e. 0.5423 0.7380 sigma2 estimated as 2296708: log likelihood = 590.89, aic = 9856.17 a b Dari olahan data riteria pada tabel 2 diperoleh : s.e. = 0,570 log likelihood = 2090,89 AIC = 4187,78 Berdasarkan Tabel 2, model dikatakan baik jika semakin kecil nilai s.e.. maka model dinilai semakin baik, semakin besar nilai log likelihood maka model yang digunakan 12 semakin baik dan nilai AIC yang lebih kecil dianggap sebagai hasil yang lebih baik, maka dapat disimpulkan bahwa model terbaik adalah ARIMA 1,1,0 1,1,0. Pada Tabel 3 adalah tahap Estimasi data produksi menggunakan ARIMA 1,1,1 0,1,1: Tabel 3 Estimasi Data Produksi Tembakau Call: arimax = prod, order = c1, 1, 1, seasonal = listorder = c0, 1, 1, period = 1 Coefficients: ar1 ma1 sma1 -0.0173 -1.000 -1.000 s.e. 0.1681 0.213 0.213 sigma2 estimated as 609536816: log likelihood = 432.84, aic = 873.68 Call: arimax = prod, order = c2, 1, 2, seasonal = listorder = c0, 1, 1, period = 1 Coefficients: ar1 ma1 sma1 -0.4376 -1.083 -1.083 s.e. 0.3613 0.632 0.381 sigma2 estimated as 609536816: log likelihood = 251.13, aic = 2651.72 a b Dari olahan data riteria pada tabel 3 maka diperoleh: s.e. = 0.1681 log likelihood = 432.84 aic = 873.68 Berdasarkan Tabel 3, model dikatakan baik jika semakin kecil nilai s.e. maka model dinilai semakin baik, semakin besar nilai log likelihood maka model yang digunakan semakin baik dan nilai AIC yang lebih kecil dianggap sebagai hasil yang lebih baik, maka dapat disimpulkan bahwa model terbaik adalah ARIMA 1,1,1 0,1,1. Pengujian asumsi dapat dilakukan melalui plot ACF sisaan. Jika semua nilai ACF dari sisaan berada pada batas kritisnya dapat disimpulkan bahwa galat a t dan galat sebelumnya tidak berkorelasi. Pengujian asumsi juga dapat dilakukan melalui uji Ljung-Box seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11: 13 Gambar 11 Diagnosa Harga Tembakau Indonesia Perhitungan output riteria metode SARIMA 1,1,0 1,1,0 menghasilkan MSE terkecil sebesar 2.296.708. Terdapat enam riteria dalam evaluasi model Box-Jenkins yang terpenuhi yaitu: 1 Residual sudah bersifat acak. Untuk memastikan apakah model sudah memenuhi syarat ini dapat digunakan indicator Box-Ljung Statistic. P-value 0,05 yang berarti residual sudah acak. 2 Model SARIMA 1,1,0 1,1,0 sudah dalam bentuk yang paling sederhana parsimonius. 3 P-value koefisien kurang dari 0,05. 4 Kondisi invertabilitas ataupun stationeritas sudah terpenuhi. Ditunjukkan dengan koefisien AR dan SAR kurang dari 1. Dalam output computer dihasilkan koefisien AR= 0,0623 , dan SAR = 0,0570. 5Proses iterasi sudah konvergence. 6 Model memiliki nilai MSE terkecil yaitu sebesar 2.296.708. Sedangkan hasil identifikasi plot data produksi tembakau di Indonesia yang menunjukkan adanya ketidakstationeran, dan unsur musiman. Kondisi ini dapat dipecahkan melalui metode Box-Jenkins SARIMA. Ketidakstationeran ini akan dihilangkan dengan cara pembedaan atau differencing. Differencing pertama telah menghasilkan data yang stationer. Hal ini terlihat dari pola data produksi tembakau yang telah di differencing pertama menunjukkan pola data yang berada di sekitar nilai konstan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 12: 14 Gambar 12 Diagnosa Produksi Tembakau Indonesia Perhitungan output komputer metode SARIMA 1,1,1 0,1,1 menghasilkan MSE sebesar 609.536.816 dan terdapat pada taraf P 0,05. Terdapat enam kriteria dalam evaluasi model Box-Jenkins yang terpenuhi yaitu: 1 Residual sudah bersifat acak. Untuk memastikan apakah model sudah memenuhi syarat ini dapat digunakan indicator Box-Ljung Statistic. P-value 0,05 yang berarti residual sudah acak. 2 Model SARIMA 1,1,1 0,1,1 sudah dalam bentuk yang paling sederhana parsimonius. 3 P-value koefisien kurang dari 0,05 yaitu 0,001. 4 Kondisi invertabilitas ataupun stationeritas sudah terpenuhi. Ditunjukkan dengan koefisien AR, MA dan SAR kurang dari 1. Dalam output computer dihasilkan koefisien AR= 0,1681 , MA = 0,213 , dan SAR = 0,213. 5 Proses iterasi sudah konvergence, pada output terdapat pernyataan relative change in each estinate less than 0,0010. 6 Model memiliki nilai MSE terkecil yaitu sebesar 609.536.816. Setelah melakukan pengujian pada data diatas, kemudian dilakukan tahap peramalan menggunakan Program R yang menghasilkan output pada Gambar 13: Gambar 13 Plot peramalan harga tembakau Indonesia 2007-2012 Dari gambar grafik diatas maka didapatkan nilai peramalan harga tembakau Indonesia pada tabel 4. Hasil peramalan harga tembakau Indonesia dalam Rupiah dengan metode ARIMA 1,1,0 1,1,0 tahun 2007-2012 adalah: 15 Tabel 4 Hasil Peramalan Harga Tembakau Dalam Rupiah Tahunbulan 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Januari 19.905,54 20.063,51 19.052,81 18.577,20 17.856,59 17.248,16 Februari 19.560,03 19.418,33 18.544,84 18.006,41 17.314,56 16.692,96 Maret 20.981,86 21.104,88 20.110,18 19.627,25 18.910,00 18.300,03 April 19.683,82 19.027,58 18.389,67 17.743,37 17.100,92 16.456,71 Mei 20.894,03 20.175,88 19.566,32 18.907,04 18.270,53 17.623,60 Juni 22.891,90 22.632,58 21.812,94 21.249,85 20.569,30 19.942,53 Juli 21.977,32 21.049,33 20.535,85 19.832,59 19.216,22 18.560,06 Agustus 24.003,77 23.704,68 22.903,25 22.331,83 21.655,09 21.026,57 September 24.160,50 23.148,64 22.673,56 21.952,71 21.344,39 20.684,55 Oktober 23.761,63 23.252,90 22.547,46 21.932,08 21.275,47 20.637,74 November 21.762,36 20.834,35 20.320,88 19.617,61 19.001,24 18.345,08 Desember 20.817,10 19.962,47 19.415,41 18.727,52 18.104,11 17.451,17 Dalam 72 bulan ke depan menghasilkan harga tembakau Indonesia yang cenderung stabil. Dengan rata-rata penurunan sebesar Rp 276,47 per periode. Harga pada bulan Januari 2007 atau periode peramalan pertama adalah sebesar Rp 19.905,54. Harga tertinggi dicapai pada bulan September 2007 sebesar Rp 24.160,5. Selisih harga tertinggi dengan harga terendah berdasarkan hasil ramalan harga tembakau Indonesia adalah sebesar Rp 7.703,79. Peningkatan hasil peramalan harga tembakau yang tidak begitu besar setiap bulannya ini diduga disebabkan oleh pengelolaan hasil komoditi tembakau di Indonesia masih belum intensif. Hal ini tercermin dari hasil tembakau rakyat yang masih rendah kualitas dan kuantitas karena sistem pengolahan berupa pengopenan dan pengeringan yang sederhana dan seadanya. Hasil akhir yang kurang intensif ini mengakibatkan harga tembakau hanya meningkat dengan rata-rata rendah. Harga yang cenderung mengalami peningkatan walaupun dalam persentase rendah ini diharapkan dapat membantu petani dalam meningkatkan margin keuntungannya sehingga kesejahteraan dan jaminan hidup petani komoditi tembakau akan berkembang lebih baik. Hasil ramalan ini dapat digunakan oleh pedagang, distributor, tengkulak dan industri rokok sebagai arahan pada tingkat berapa penjualan dan produksi akan dilaksanakan Setelah melakukan pengujian pada data diatas, kemudian dilakukan tahap peramalan menggunakan Program R yang menghasilkan output pada Gambar 14: Gambar 14 Plot Peramalan Produksi Tembakau Indonesia 2010-2014 Hasil peramalan produksi tembakau Indonesia dengan ARIMA 1,1,1 0,1,1 tahun 2010-2014 adalah: 16 Tabel 5 Hasil Peramalan Produksi Tembakau Dalam Ton Tahun Peramalan Produksi ton 2010 188.563,7 2011 191.284,4 2012 194.159,2 2013 197.031,3 1014 199.903,5 Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2014 dengan produksi sebesar 199.903,5 Ton, dengan rata-rata fluktuasi kenaikan penurunan sebesar 2.834,95 Ton setiap tahun. Rata-rata kenaikan dan penurunan yang tinggi ini diduga disebabkan tembakau bukan merupakan tanaman tahunan. Tembakau dalam masa tanamnya dikenal dengan pola bero, yaitu berselang antara palawija-padi-tembakau, padi-tembakau-palawija dan padi-palawija- tembakau. Setiap periode musiman habis, lahan pertanian akan digunakan sebagai areal komoditi lain. Tembakau yang rentan terhadap gagal panen tiap tahunnya ini, menyebabkan sebagian besar petani tembakau pindah ke komoditi pertanian lain yang lebih menguntungkan. Pemerintah dapat menggunakan hasil ramalan ini sebagai tolakan kemampuan produksi dan konsumsi di masa mendatang, sehingga tidak akan terjadi selisih yang terlalu signifikan. Hal ini akan menguntungkan petani tembakau dan industri yang membutuhkan tembakau sebagai kebutuhan utamanya, karena secara tidak langsung kerugian ekonomi dapat diminimalisir. Pemerintah pun tidak akan dirugikan dengan adanya kekhawatiaran impor yang besar, yang lebih lanjut akan mempengaruhi pendapatan dan devisa negara.

5. Simpulan