PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM KASUS SUAP SESUAI PASAL 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PERKARA PDS-05/LIWA/12/2011)

PERtEffB{IHGAru HUKUM TflR+EAE}AF SAKSE g}"&IAFX KASUS SUAF
SESUAI PA$AL 5 E.JF{DANC.EJNBAF{C NGMOR 2S TAETUFi E{}I}I TENTANC
PERUBAELAft AE'AS TJI{BANfi-LINDANG ft-GBf,SR,31 TAEEUN lryg
?ENTAIqG FE e{BS ffi A HTA$A N TEiq&AK FmAIq.e Kffi kup$r
{StledE

Kasr:s Perkara

Nn*r,

p*S-$S,q,iw- sl

l}i*gt 1,,

GE*h

AE.&gEYAg'E

Tesis
S*begei $ai*h Satu :Syara*'Umtuk Mencapai Gelar
MACEST'ER F{UKEJM

Fada

Fr*greme Fas€as*Ejaaa fuI*gister H ukurir
F'ekuEtas *Eukum Universi€as Lampung

FRSGRA&E PASCASAR.FAIqA PIAG ES?ER H U KLiM
FAE{UE.TAS HLIKUM UF{EVERSITAS LAMPUNG

BAN*AR

E,AHEPUNG

38E 3

ABSTRAK
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM KASUS SUAP
SESUAI PASAL 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(STUDI KASUS PERKARA PDS-05/LIWA/12/2011)


Oleh
ALMIYATI

Perlindungan hukum terhadap pelapor dalam tindak pidana korupsi sangatlah
penting, mengingat untuk mengungkap tersangka dalam kasus suap sangatlah sulit tanpa
ada keterlibatan dan keterbukaan dari si pemberi, namun disisi lain pemberi merasa takut
untuk mengungkapkan kasus suap tersebut. Permasalahan dalam penelitian ini adalah:
Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap saksi dan bagaimanakah status dalam kasus
suap sesuai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara PDS-05/Liwa/12/2011).
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis
empiris. Narasumber atau informan penelitian ini terdiri dari tiga orang Jaksa, satu orang
Hakim, dan satu orang Pengacara. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi
pustaka (library research) dan studi lapangan (field research). Data selanjutnya di analisis
secara deskriptif kualitatif dan menarik kesimpulan dengan cara induktif.
Hasil penelitian bahwa saksi memperoleh perlindungan hukum sesuai ketentuan
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi/Korban dan Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat
dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Saksi yang membantu polisi dalam pengungkapan kasus suap tidak tepat

dikatakan Whistle Blowers akan tetapi sebagai orang yang berpartisipasi mengungkap
kasus suap dan terhadap saksi tersebut tidak dapat dikenakan tuntutan sesuai Pasal 5
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Saran agar dibuatkan undang-undang khusus yang lebih spesifik pengaturannya
mengenai perlindungan dan penafsiran berkenaan dengan Whistle Blowers, Justice
Collaborator dan peran serta masyarakat agar terciptanya kepastian hukum dan
meningkatkan peran kepolisian dan LPSK dalam perlindungan saksi dan korban,
mengingat peran saksi adalah sebagai alat bukti di dalam hukum acara pidana dalam
mencari kebenaran materiil.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Saksi, Tindak Pidana Korupsi.

Judul Tesis

: PERLIIT{D{INGAN HUKUM TERHADAP SAKSI
DAI.AM KASUS SUAP SESUAI PASAL 5 UNDANG.
UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2{)O1 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UI'iI}ANG.UNDANG NOMOR
31 TAHTIN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN
TINDAKHDANA KORUPSI
(Studi Kasus Perkara Nomor PDS0slLi wa/12f2011\


Nama Mahasiswa

:Almiyati

Nomor Pakok Mahasiswa

: l??2SllS46

Frogram Kekhususan

: Hukum Pidana

Program Studi

: Program Pascasarjana Magister Hukum

Fakultas

: Hukum


MENYETUJUT
Dosen Pembimbing

Pembimbing Peodamping,

Dr.

S.E, h,LE

Nutz

Ilr. Nikmah Rosidah, S,H.rll{.H'
NIP 19550106 198003 2 00t

MET{GETAHUI
Program

Pascasarjana
um Fakultas Hukum


M.Hum.

MENGESAHKAN

l. Tim Penguji
Pembimbingl

Prof. Ilr. Smarto DM, S.H.o lltrH.

Pembimbingtr

Dr. Nikmah Rosidah, S-H., M.H.

Penguji

Dr. Eddy Rifai, S.H.n M.E.

Penguji


Ilr. Erna llewi, S.E,IttrH.

Penguji

Dr. Maroni, S.H., M.H.

ffi
\.';ilS,*

andi, S.H., M.S.
I 1091987031003

am Pascasarjana

rwo, M.S.
81981031002

4.lEmgdl1l*itrxttBjian Tesis : l9 Desember 2013

LEMBAR PERNYATAAN


Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa

l.

:

Tesis dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Kasus
Suap Sesuai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 'rentang
Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (studi Kasus perkara pDS-

05lLiwa/l2l20ll) adalah karya saya sendiri dan saya tidak

melakukan

penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak
sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik
atau yang disebut plagiatisme.


2. Hak intelektual

atas karya ilmiah

ini

diserahkan sepenuhnya kepada

Universitas Lampung.

Atas pemyataan ini apabila dikemudian hari ternyata ditemukan adanya
ketidakbenaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan
kepada saya, saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang
berlaku.

Bandar Lampung, Desember 2013
Pernyataan,

r/


Almiyati

DAFTAR ISI

I.

PENDAHULUAN

A,

Latar Belakang Masalah

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

lt

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

t2


D. Kerangka Teori dan Konseptual

l3

II.

TINJAUAIY PUSTAKA

A.

Kebijakan Perlindungan Hukum Bagi Saksi dalam
Proses Peradilan Pidana

2t

B. Kejahatan Suap sebagaiTindak Pidana Korupsi

29

C. Pengertian Llthis t le Blow er sebagai Pengungkap Fakta .........

37

D. Resiko

Wistle Blower sebagai Pengungkap Fakta Terkait

Tindak Pidana Korupsi

III.

42

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
B. Pendekatan Masalah
C. Sumber dan Jenis Data...........
D. Informan................
E. Pengumpulan dan Pengolahan Data
F. Analisis Data..........

47

47

................... 48
50
50
52

IV.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden................
B.

Kronologis Kasus

C.

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dalam Kasus Suap Sesuai

53

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3l Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

D.

Wistle Blowers dan penyuap Berkenaan
dengan Perlindungan Hukum terhadap Saksi dalam

Penetapan Status
Kasus Suap..........

v.

75

PEITUTT]P

A.

Simpulan................

97

B.

Saran

98

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan penegakan hukum tidak hanya demi kepastian hukum, tetapi
lebih jauh lagi adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Penegakan
hukum yang baik akan menciptakan ketertiban dan keteraturan. Dengan ketertiban
dan keteraturan, maka keadilan akan lebih mudah tercapai sehingga kesejahteraan
masyarakat juga akan lebih mudah terwujud, oleh karena itu penegakan hukum
(law enforcement) haruslah dilakukan secara proposional dan profesional, tidak
hanya penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi juga
penegakan hukum dalam seluruh aspek hukum yang ada dalam masyarakat.

Perlindungan hukum tidak hanya diperlukan oleh seorang pejabat publik, akan
tetapi perlindungan hukum juga diperlukan oleh seorang pelapor. Dalam sistem
hukum kita, perlindungan hukum terhadap ini sudah berjalan. Hal ini terbukti
dengan telah diadakannya aturan-aturan yang jelas yaitu Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Korban dan Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Masyarakat dan
Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

2

Perlindungan hukum terhadap pelapor dalam tindak pidana korupsi sangatlah
penting, mengingat untuk mengungkap tersangka dalam kasus suap sangatlah sulit
tanpa ada keterlibatan dan keterbukaan dari si pemberi, namun disisi lain pemberi
merasa takut untuk mengungkapkan kasus suap tersebut, dikarenakan sesuai
ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi si pemberi dapat dipidana.

Berkenaan dengan perlindungan hukum maka Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah mengakomodir kebutuhan
yang diperlukan oleh saksi maupun korban. Tentunya perlindungan tersebut akan
diberikan berdasarkan Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dilihat dari esensi nilai kesaksian yang
diberikan oleh saksi pelapor tersebut, tingkat bahaya yang dialami oleh saksi
ketika ia memberikan keterangannya, hasil analisis tim medis atau psikolog
terhadap saksi/korban, dan hasil jejak rekam kejahatan yang pernah dilakukan
oleh saksi/korban.

Saksi adalah kunci utama dalam mengungkap suatu kejadian dan fakta-fakta yang
ia lihat, dengar dan saksikan. Maka saksi perlu dilindungi karena tanpa bantuan
dari seorang saksi mustahil Polisi, Jaksa, Dan Hakim dapat menemukan
kebenaran dari suatu kejadian.

3

Secara umum saksi merupakan alat bukti yang sah.1 Sebagai alat bukti yang sah,
Saksi adalah Seseorang yang memberikan kesaksian, baik dengan lisan maupun
secara tertulis atau tanda tangan, yakni menerangkan apa yang ia saksikan
sendiri (waarnemen), baik itu berupa perbuatan atau tindakan dari orang lain atau
suatu keadaan ataupun suatu kejadian2 Sedangkan di dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), pengertian saksi
disebutkan bahwa Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,
dan/atau ia alami sendiri. 3

Saksi Pelapor adalah orang yang memberikan kesaksian berdasarkan laporannya
tentang suatu peristiwa pidana baik yang ia lihat atau alami sendiri, namun ia
tidak

harus

menjadi

korban

dari

peristiwa

pidana

tersebut.

Dalam

perkembangannya istilah saksi pelapor dewasa ini digunakan dengan istilah
whistleblower. Walaupun secara terjemahan harfiah dalam Bahasa Indonesia,
whistleblower adalah “peniup peluit”, namun istilah tersebut dimaksudkan adalah
orang – orang yang mengungkapkan fakta kepada publik.4

1

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R.Subekti,
(Jakarta : Pradnya Paramita, 2004). Ps. 1866 jo Indonesia (b), Undang-Undang tentang Hukum
Acara Pidana, UU No.8 Tahun 1981, LN No.76 Tahun 1981, TLN No. 3209, Ps. 184 Ayat (1).
2
H.S. Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hlm 168
3
Pasal 1 Ayat (26) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidama, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
4
Eddyono, Betty Yolanda, Fajrimei A.Gofar, “Saksi Dalam Ancaman,”
http://www.perlindungansaksi.wordpress.com, diunduh 3 Februari 2010.

4

Perkembangan modus tindak pidana kejahatan korupsi di negeri kita akhirakhir ini menunjukkan skala yang meluas dan semakin canggih. Kenyataan ini
juga mendorong upaya penggungkapan kasus-kasus korupsi untuk keluar dari
cara-cara konvensional.

Adapun, salah satu cara untuk menggungkap

terorganisrnya praktik korupsi tersebut maka diperlukan peran whistleblower
yang dapat mendorong penggungkapan modus tindak pidana korupsi menjadi
relatif lebih mudah untuk dibongkar.
Menurut Komariah E. Sapardjaja, peran whistleblower sangat penting dan
diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun
demikian, asal bukan suatu gosip bagi pengungkapan korupsi maupun mafia
peradilan. Yang dikatakan Whistleblower itu benar- benar didukung oleh fakta
konkret, bukan semacam surat kaleng atau rumor saja. Penyidikan atau
penuntut umum kalau

ada laporan seorang whistleblower

harus hati-hati

menerimanya, tidak sembarangan apa yang dilaporkan itu langsung diterima
dan harus di uji dahulu5

Whistleblower berperan untuk memudahkan
korupsi, karena Whistleblower

penggungkapan tindak pidana

itu sendiri tidak lain adalah orang

dalam

disebuah institusi dimana di tenggarai atau dicurigai taleh terjadi praktek
korupsi. Sebagai orang dalam, seorang Whistleblower merupakan orang yang
memberikan informasi telah terjadi pidana korupsi dimana dia bekerja. Seorang
Whistleblower ini bisa merupakan orang yang sama sekali tidak terlibat dalam
perbuatan korupsi yang terjadi di praktik tindak pidana tersebut.
5

Komariah E Sapardjaja. Peran Whistleblower, dalam wawancara khusus di newsletter Komisi
Hukum Nasional Vol.10 No.6 Tahun 2006, Hal 11.

5

Dalam Konteks hukum positif kita, kehadiran Whistleblower perlu mendapatkan
perlindungan agar kasus-kasus korupsi bisa diendus dan

dibongkar.Tetapi

dalam praktiknya, kondisi tersebut bukanlah persoalan yang mudah, dikarenakan
oleh banyak hal yang perlu dikaji ulang serta bagaimana mendudukan
Whistleblower dalam upaya memberantas praktik korupsi.

Sebab secara yuridis normatif, berdasar Undang-Undang

Nomor 13

Tahun

2006, Pasal 10 Ayat (2) menjelaskan bahwa keberadaan Whistleblower tidak
mempunyai tempat

untuk mendapatkan suatu perlindungan secara

hukum.

Bahkan, seorang saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama
tidak dapat di bebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara
sah danmeyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan
hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Hak istimewa yang diberikan kepada Whistleblower sebagai pengungkap fakta
akan diklasifikasikan. Hal itu penting untuk mengantisipasi bila ada pihak
memanfaatkan hal itu untuk melarikan diri. Jika
terdakwa

kemudian

bertindak

seolah-olah

seseorang

menjadi

telah menjadi

pengungkap

fakta

(whistleblower) untuk menyelamatkan diri bisa-bisa banyak orang yang
menirunya maka akan di atur klasifikasi tersebut dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.

Whistleblower merupakan langkah alternatif yang penting dalam ensensial dalam
membongkar kejahatan korupsi, namun keberadaannya terdapat kelemahan
mengenai perlindungan status hukum tidak diberikan apabila dari hasil

6

penyelidikan dan penyidikan terdapat bukti yang cukup yang dapat memperkuat
keterlibatan si pengungkap fakta (pelapor). Dengan demikian, si pengungkap
fakta (pelapor) telah menempuh suatu resiko yang tinggi, bahkan mempertaruhkan
kehidupannya, namun sebuah penghargaan dan apresiasi kurang diperhatikan,
sehingga hal ini dapat menimbulkan suatu kondisi kritis kepercayaan perihal
penjaminan terhadapat diri si pengungkap fakta/pelapor.

Pengaturan mengenai perlindungan Whistleblower (pengungkap fakta/pelapor)
secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan saksi dan korban, Pasal 10 Ayat (1) menyebutkan bahwa “Seorang
saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun
perdata atas laporan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan “. Aturan
yang dimuat dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini
menjadi ambigu dan bersifat kontradiktif terdapat pasal yang sama dalam Ayat
(2), yakni :
“Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat
dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan
hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”.

Isi Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, terdapat katakata”saksi yang juga tersangka” merupakan rumusan yang kurang bisa dipahami
secara konsisten terhadap saksi yang juga berstatus sebagai saksi pelapor
kemudian tiba-tiba berubah menjadi tersangka. Hal ini dapat menimbulkan
multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Kemudian apabila kita

7

tengok diberbagai negara tentang Whistleblower dipastikan berada dalam suatu
jaringa mafia, yang jelas mengetahui adanya permukafatan jahat., sehingga tidak
jarang kemudian adanya sindikat kejahatan itu dapat dibongkar, dikarenakan
adanya

suatu

pembangkangan

yang

dilakukan

oleh

si

peniup

peluit

(Whistleblower) untuk membongkar atau mengungkap apa yang dilakukan oleh
kelompok mafia. Sebagai imbalan sang peniup peluit (Whistleblower) tadi
dibebaskan dari tuntutan pidana.

Menurut pakar hukum pidana UGM, Eddy O.S. Hiariej, bahwa Pasal 10 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 adalah bertentangan dengan semangat
Whistleblower, Kenapa Karena pasal ini tidak memenuhi prinsip perlindungan
terhadap seorang Whistleblower, dimana yang bersangkutan tetap akan dijatuhi
hukuman pidana bilamana terlibat dalam kejahatan tersebut.6 Lebih lanjut Eddy
O.S. Hiariej memberikan penilaian bahwa Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 terdapat 3 (tiga) kerancuan.7
Pertama, saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama akan menghilangkan
hak excusatie terdakwa. Hal ini merupakan salah satu unsur objektifitas peradilan.
Ketika Whistleblower sebagai saksi dipengadilan maka keterangannya sah sebagai
alat bukti jika diucapkan dibawah sumpah. Apabila Whistleblower berstatus
sebagai terdakwa yang diberikan tidak dibawah sumpah.Kedua, disitulah letak
adanya ambigu, siapa yang akan disidangkan terlebih dahulu atau disidangkan
secara bersamaan.

6

Eddy O.S. Hiariej, Tetap Dijatuhi Pidana Bilamana Terlibat dalam Kejahatan, Newsletter
Komisi Hukum Nasional (KHN), Vol.10, No.6 Juli 2010.
7
Ibid.

8

Ketiga, ketentuan Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
bersifat kontra legem dengan Ayat (1) dalam pasal dan undang-undang yang
sama, pada hakikatnya menyebutkan bahwa saksi, korban, dan pelapor tidak dapat
dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan kesaksian yang
akan, sedang atau telah diberikan.

Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 membuat pemahaman
terhadap saksi yang juga tersangka semakin tidak jelas, karena disana dijelaskan
seorang saksi yang juga tersangka tidak dapat dibebaskan dari tuntutan hukum
baik pidana maupun perdata. Hal ini, berarti bisa saja pada waktu bersamaan
seorang saksi menjadi tersangka. Meskipun menurut Pasal 10 Ayat (2) ini,
memungkinkan akan memberikan keringanan hukuman bagi Whistleblower,
namun kemungkinan tersebut tetap tidak dapat membuat seorang yang menjadi
Whistleblower akan bernafas lega atau bahkan sama sekali membuat seseorang
tertarik untuk menjadi Whistleblower.
Seorang yang telah menjadi Whistleblower, apabila mengacu Pasal 10 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, harapan untuk lepas dari tuntutan hukum
sangat sulit, karena pasal ini telah menegaskan bahwa seorang saksi yang juga
tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana
apabila ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Untuk bisa lepas dari
tuntutan hukum adalah menjadi harapan bagi Whistleblower yang sekaligus juga
sebagai pelaku tindak pidana, karena untuk dapat bebas dari tuntutan hukum,
hampir tidak mungkin. Selain ketentuan Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006, dan Pasal 191 Ayat (1) KUHAP menentukan bahwa jika

9

pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemerikasaan di sidangkan pengadilan,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

Sementara Whistleblower yang juga sebagai pelaku tindak pidana diduga kuat
telah melakukan kesalahan.dan karenanya sangat mudah untuk membuktikannya
secara sah dan meyakinkan di Pengadilan. Yang memungkinkan baginya adalah
lepas dari tuntutan hukum sebagimana terdapat dalam Pasal 191 Ayat (2) KUHAP
yang menyebutkan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepadanya terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Hanya saja
untuk lepas dari tuntutan hukum juga sulit, karena Whistleblower yang juga
sebagai pelaku tindak pidana yang diduga kuat telah melakukan kesalahan,
tindakannya tidak termasuk dalam kerangka dasar penghapusan pidana.

Timbulnya berbagai persoalan berkaitan dengan sistem rekrutmen Pegawai Negeri
Sipil (PNS), Tenaga honorer maupun Tenaga Kerja Sukarela (TKS) pada
lingkungan Pemerintah Daerah, berdasarkan Surat Dakwaan Nomor Reg.
Perkara : PDS-05/LIWA/12/2011 yang pertama mengetahui tentang adanya
indikasi pungli atas penerimaan tenaga Kerja Sukarela (TKS) Pol PP di Lampung
Barat adalah berdasarkan informasi Mabes Polri telah terjadi pungutan liar yang
dilakukan oleh terdakwa Farid Wijaya Bin Bahiki selaku Pegawai Negeri Sipil
yang dalam hal ini menjabat sebagai Kepala Kantor Satuan Polisi Pamong Praja
Kabupaten Lampung Barat.

10

Mabes

Polri

kemudian

mengirimkan

surat

telegramnya

nomor

:

R/1664/VII/2011/ kepada Polda Lampung dan Polda Mengirimkan Surat
Telegram nomor : R/732/VII/2011 kepada Kapolres Lampung Barat berdasarkan
surat

perintah

penyelidikan

Tanggal

15

Juli

2011

No

:

Sp.

Lidik/23/VII/2011Reskrim melakukan penyelidikan terhadap adanya dugaan
pungli dalam penerimaan Tenaga Kerja Sukarela (TKS) pada kantor satuan Polisi
Pamong Praja Kabupaten Lampung Barat.

Berkenaan dengan surat penyelidikan tersebutlah Polres menugaskan kepada
anggota Polres Lampung Barat yakni Kennet Ivandi Norman Harahap, Fajar
Kurnia, dan juga Edwin Agustinus yang kemudian memerintahkan kepada saksi
Puji Widodo untuk mengungkap permasalahan tersebut. Disinilah letak fokus
permasalahan, apabila diamati saksi Puji Widodo ini berperan sebagai “Cepu” di
dalam istilah kepolisian dalam istilah Bahasa Indonesia sebagai Mata-Mata,
Inggris Spy.
Dalam hal ini saksi Puji Widodo yang mendapat tugas dari kepolisian untuk
memata-matai dan juga berperan dalam mengungkap tentang adanya indikasi
pungli dalam penerimaan Pol PP. Berdasarkan kronologis perkara saksi Puji
Widodo tersebut telah menemui terdakwa dengan membicarakan bagaimana
prosedur untuk menjadi Pol PP kemudian terdakwa memberitahu jika ingin
menjadi Pol PP, saksi dikenakan biaya sebesar Rp. 20.000.000,00,- (Dua Puluh
Juta Rupiah) kemudian saksi Puji Widodo terpaksa memberikan uang sebesar
Rp. 20.000.000,00,- (Dua Puluh Juta Rupiah) kepada terdakwa atas perintah
kepolisian Lampung Barat tersebut.

11

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tesis dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Kasus Suap
ditinjau dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Studi Kasus Perkara PDS-05/Liwa/12/2011)”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut maka
dirumuskan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap saksi dalam kasus suap sesuai
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan

atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi ?
b. Bagaimanakah Penetapan Status Whistle Blowers dan Penyuap Berkenaan
Dengan Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Kasus Suap?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini termasuk dalam bidang keilmuan Hukum
Pidana yang meliputi teori-teori, doktrin serta ketentuan-ketentuan hukum
khususnya mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Kasus Suap
ditinjau dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi

adapun lingkup lokasi penelitian ini dilakukan adalah di daerah

12

Kejaksaan Negeri Liwa

Lampung

Barat

(Studi Kasus Perkara

PDS-

05/Liwa/12/2011).
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan
penulisan sebagai berikut:
a. Untuk menjelaskan bagaimana perlindungan hukum terhadap saksi dalam
kasus suap sesuai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan

atas

Undang-Undang

Nomor

31

Tahun

1999

Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b. Untuk menganalisis penetapan status whistle blowers dan penyuap berkenaan
dengan perlindungan hukum terhadap saksi dalam kasus suap (Studi Kasus
Perkara PDS-05/Liwa/12/2011).
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang di harapkan dari penulisan ini terdiri dari dua manfaat
yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, dan kedua manfaat ini adalah
sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoritis
Kegunaan penulisan secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan upaya peningkatan kompetensi peneliti dalam rangka
memberikan masukan ide terhadap perlindungan saksi yang berpartisipasi

13

dalam hal membongkar tindak pidana korupsi dan memperkaya dan
menambah ilmu pengetahuan terhadap masalah yang di teliti tentang kajian
hukum pidana terkait perlindungan hukum terhadap saksi dalam kasus suap
ditinjau dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

b. Kegunaan Praktis
Kegunaan penulisan secara praktis diharapkan dapat berguna untuk
mengembangkan daya penalaran dan membentuk pola pikir dinamis peneliti
yang berhubungan dengan perlindungan saksi dalam kasus suap. Serta
diharapkan juga penulisan ini dapat diaplikasikan oleh para penegak hukum
khususnya Kejaksaan Negeri Liwa dalam hal ini.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. 8
Kajian Teori Perindungan Hukum
Menurut Von Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah cerminan
dari undang-undang abadi (lex naturalis). Jauh sebelum lahirnya aliran sejarah
hukum, ternyata aliran hukm alam tidak hanya disajikan sebagai ilmu

8

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Ilmu Hukum, UI Press, Jakarta, hlm 25

14

pengetahuan, tetapi juga diterima sebagai prinsip-prinsip dasar dalam perundangundangan. Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan,
merupakan hal yang esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi
dari hukum positif. Hukum alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya
hakikat kebenaran dan keadilan merupakan suatu konsep yang mencakup banyak
teori. Berbagai anggapan dan pendapat para filosof hukum bermunculan dari masa
ke masa. Pada abad ke-17, substansi hukum alam telah menempatkan suatu asas
yang berisfat universal yang bisa disebut HAM. 9

Berbicara mengenai hak asasi manusia atau HAM menurut Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia. Pada dasarnya setiap manusia terlahir sebagai makhluk ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa (YME) yang secara kodrati mendapatkan hak dasar yaitu
kebebasan, hak hidup, hak untuk dilindungi, dan hak yang lainnya.

Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga
hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang
perlu diatur dan dilindungi. 10 Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni
perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan

9

Ibid.,

10

Ibid., hlm 69

15

hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan
kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara
anggota-anggota masyarakat dan antara perseoranan dengan pemerintah yang
dianggap mewakili kepentingak masyarakat.

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman
terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan
itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang
diberikan oleh hukum. 11 Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat
bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya
tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. 12
Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka
yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh
keadilan sosial. 13 Menurut pendapat Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan
hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan
represif. 14
Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam
pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif

11

Ibid., hlm 54.
Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya,
Bandung, hlm 118
13
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni,
Bandung, hlm 55
14
Phillipus M. Hadjon, 1987, perlindungan hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu,
Surabaya, ,hlm 2
12

16

bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di
lembaga peradilan.15

Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang
diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari
hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum,
meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang,
namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.16
Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang
dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun
penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan
serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum
yaitu pendukung hak dan kewajiban, tidak terkecuali kaum wanita.
1) Teori Penegakan Hukum
Menurut Lawrence Meir Friedman berhasil atau tidaknya Penegakan hukum
bergantung pada: Substansi Hukum, Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya
Hukum. Teori Friedman tersebut dapat kita jadikan patokan dalam mengukur
proses penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pertama: Substansi Hukum: Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut
sebagai sistem Substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu
dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang
15

Maria Alfons, “Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk
Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”, Ringkasan Disertasi Doktor, :
Universitas Brawijaya, Malang, 2010), 18
16
Ibid

17

berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan,
aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup
(living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law
books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Cicil Law Sistem atau sistem
Eropa Kontinental (meski sebagaian peraturan perundang-undangan juga telah
menganut Common Law Sistem atau Anglo Sexon) dikatakan hukum adalah
peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak
tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di
Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP.

Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan “tidak ada suatu perbuatan pidana yang dapat
di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya”. Sehingga bisa atau tidaknya
suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah
mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.
Teori Lawrence Meir Friedman yang Kedua : Struktur Hukum/Pranata Hukum:
Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Struktural
yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik.
Struktur hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas).
Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga
dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang
menyatakan “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum
harus ditegakkan). Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat

18

penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya
suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak
hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan.

Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi
lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman
agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya.
Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran
penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas
penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila
peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan
munculnya masalah masih terbuka.
Teori Lawrence Meir Friedman17 adalah sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum
adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana
hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya
dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum
masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola
pikir masyarakat mengenai hukum selama ini.
Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah
satu indikator berfungsinya hukum.Baik substansi hukum, struktur hukum
maupun budaya hukum saling keterkaitan antara satu dengan yang lain dan tidak
17

Lawrence M. Friedman, 2001, American Law - an Introduction, 2nd
edition diterjemahkan Whisnu Basuki, PT. Tatanusa; Jakarta, hlm 8

19

dapat dipisahkan. Dalam pelaksanaannya diantara ketiganya harus tercipta
hubungan yang saling mendukung agar tercipta pola hidup aman, tertib, tentram
dan damai.

2. Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan antara konsepkonsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah
yang ingin atau yang akan diteliti. 18 Kerangka konseptual yang akan digunakan
dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Perlindungan Hukum
Adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum dalam
bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat
represif, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. 19
2. Saksi
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang
ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Sebagaimana
dimaksud di dalam Pasal 26 KUHAP;
3. Tindak Pidana

18

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali, Jakarta,.
19
Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional,
Penerbit Binacipta, Bandung,

20

Tindak Pidana adalah suatu kelakuan/handeling yang diancam pidana, bersifat
melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan
oleh orang yang mampu bertanggung-jawab.20

4. Suap
Suap diartikan sebagai membeli hak atau kewenangan seseorang yang
berkuasa dengan tujuan agar tersuap melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan hak atau kewenangannya. 21
5. Undang-Undang
Suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,
diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara/Peraturan yang dihasilkan
legislatif yang tertinggi yang dibentuk bersama-sama oleh DPR, dan Presiden/
Peraturan Negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan negara yang
berwenang dan mengikat masyarakat.22

6. Korupsi
Suatu bentuk tindak pidana dengan memperkaya diri sendiri dengan
melakukan penggelapan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan negara. 23

20

Moeljatno, 1983, Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Bandung, hlm 56
R.Wiyono, 2008, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi,
Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 59
22
M Marwan & Jimmy P, 2009, Kamus Hukum “ Dictionary Of Law Complete Edition”,
Reality Publisher, Surabaya, hlm 621
23
Ibid, hlm 384
21

21

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Hukum Bagi Saksi dalam Proses
Peradilan Pidana
Pelaksanaan perlindungan saksi tidak terlepas dengan beberapa persoalan yakni;
penegakkan hukum perlindungan saksi, kapan dilakukan perlindungan saksi,
bentuk-bentuk perlindungan saksi dan tata cara perlindungan saksi dalam proses
peradilan pidana.

1. Penegakan Hukum Perlindungan Saksi
Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan
saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri
terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan
tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana; Penegak hukum
dalam

mencari dan

menemukan kejelasan tentang

tindak

pidana yang

dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak
dapat menghadirkan saksi dan/atau korban disebabkan adanya ancaman, baik
fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu
dilakukan perlindungan bagi saksi dan/atau korban yang sangat penting
keberadaannya dalam proses peradilan pidana.

22

Kesaksian memang dibutuhkan dalam setiap pengadilan pidana, termasuk
pengadilan militer. Saksi yang dimintai keterangan dalam penyidikan maupun
persidangan, pada dasarnya sangat membantu berjalannya rangkaian proses
peradilan. Apalagi hasil yang diharapkan dari proses pengumpulan keterangan
saksi untuk memastikan peradilan yang jujur (fair trial).1

Dalam penegakan perlindungan saksi khususnya perlindungan hukum bagi saksi
itu sendiri saat ini telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sebuah Undang-undang Perlindungan
Saksi dan Korban yang berlaku efektif, yang dibentuk atas dasar upaya tulus
untuk mengatasi permasalahan seperti pelanggaran hak asasi manusia, adalah
satu kesatuan integral dalam rangka menjaga berfungsinya sistem peradilan
pidana terpadu. Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang disahkan
pada tanggal 11 Agustus 2006, diharapkan akan menolong negara ini keluar dari
persoalan-persoalan hukum yang berkepanjangan seperti sulitnya memberantas
korupsi, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan dan
belum lagi tentang perlindungan hukum yang hanya mampu menyentuh bagi
kalangan konglomerat, pejabat, dan lain sebagainya.

Sehingga diperlukan perlindungan hukum sebagai payung hukum bagi para saksi
dan korban di masa mendatang. Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban,
merupakan salah satu jawaban dari persoalan di atas. Perlindungan terhadap
saksi dan korban harus diberikan bila menginginkan proses hukum

berjalan

dengan benar dan adil.

1

Koalisi Perlindungan Saksi “Perlindungan Saksi Alas Tlogo, Jakarta, 9 Januari 2007.

23

Hal ini dapat diperhatikan bahwa adanya fakta menunjukkan, banyak kasus-kasus
pidana maupun pelanggaran Hak Asasi Manusia yang tidak terungkap dan
tidak terselesaikan disebabkan adanya ancaman baik fisik atau psikis maupun
upaya kriminalisasi terhadap saksi dan korban ataupun keluarganya yang
membuat masyarakat takut memberi kesaksian kepada penegak hukum.

2. Bentuk-Bentuk Perlindungan Saksi
Menurut Yenti.2 ada dua bentuk model perlindungan

yang bisa diberikan

kepada saksi dan korban yaitu Pertama procedural rights model dan Kedua the
service model.
1) Procedural rights model

Model ini memungkinkan korban berperan aktif dalam proses peradilan
tindak pidana. “Korban diberikan akses yang luas untuk meminta segera
dilakukan

penuntutan, korban

juga berhak meminta dihadirkan atau

didengarkan keterangannya dalam setiap persidangan dimana kepentingan
korban terkait di dalamnya. Hal tersebut termasuk pemberitahuan saat pelaku
tindak pidana dibebaskan. Model ini memerlukan biaya yang cukup besar
dengan besarnya keterlibatan korban dalam proses peradilan, sehingga biaya
administrasi peradilanpun makin besar karena proses persidangan bisa lama
dan tidak sederhana.

2

“UU No. 13 Tahun 2006 LPSK tidak mengatur perlindungan terhadap saksi dan korban
secara spesifik. Sangat tergantung pada anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban”,
http://hukumonline.com/detail.asp?id=17767&cl=Berita - 49k

24

2) The service model.
Model ini menentukan standar baku tentang pelayanan terhadap korban yang
dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim. Misalnya pelayanan kesehatan,
pendampingan, pemberian kompensasi dan ganti rugi serta restitusi.
Banyaknya pelayanan yang harus diberikan kepada saksi dan korban
menyebabkan efisiensi pekerjaan dari penegak hukum tidak tercapai. Efek
lain sulit memantau apakah pelayanan itu benar-benar diterima saksi dan
korban.

Model yang bisa diterapkan di Indonesia adalah kombinasi keduanya, karena
di Negara Indonesia paling susah adalah dalam hal koordinasi. Oleh karena
itu, kedua model itu harus disesuaikan dengan keadaan Indonesia, harus
diukur sejauh mana saksi dan korban bisa terlibat dalam proses peradilan.
Begitu pula tentang pemenuhan hak yang dapat diberikan kepada saksi dan
korban. Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban telah memuat perlindungan yang harus diberikan kepada
saksi dan korban. Namun dalam hal ini harus ada ketentuan yang lebih
rinci, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, misalnya tentang penanganan secara
khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban. Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban sebagai lex specialis hendaknya ditentukan tentang bentuk dan
cakupan kasus yang dilindungi.
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban, bentuk perlindungan saksi adalah sebagai berikut :

25

1) Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya serta bebas
dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah
diberikan;
2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan serta
dukungan keamanan;
3) Memberikan keterangan tanpa tekanan;
4) Mendapat penerjemah;
5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
6) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasusnya;
7) Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
8) Diberitahu ketika terpidana dibebaskan;
9) Mendapatkan identitas baru;
10) Mendapatkan tempat kediaman baru;
11) Penggantian biaya transportasi;
12) Mendapatkan penasihat hukum;
13) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara
sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
Sasaran perlindungan yang diberikan Undang-undang Perlindungan Saksi dan
Korban, terhadap saksi dan korban diatur dalam Pasal 5 bahwa hak diberikan
kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai
dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Korban dalam
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, juga berhak untuk mendapatkan:
1) bantuan medis;
2) bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berhak mengajukan ke
pengadilan berupa:
1) hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang
berat;
2) hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku
tindak pidana

26

Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan, dan
ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak
tahap penyelidikan dimulai dan berakhir. Saksi dan/atau korban yang merasa
dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat
memberikan kesaksia tanpa

hadir

langsung di pengadilan tempat perkara

tersebut sedang diperiksa. Saksi dan/atau korban dapat memberikan kesaksiannya
secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan
membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian
tersebut.

Saksi dan/atau korban dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung
melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. Saksi,
korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun
perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan
dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah,tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam
meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Ketentuan tersebut tidak berlaku
terhadap saksi, korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan
itikad baik.

3. Syarat dan Tata Cara Perlindungan Saksi
Menurut Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, bahwa
perjanjian perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terhadap saksi

27

dan/atau korban tindak pidana diberikan dengan mempertimbangkan syarat
sebagai berikut:
1) sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban;
2) tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban;
3) hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban;
4) rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban.
Pasal 29 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa Tata
cara memperoleh perlindungan sebagai berikut:
1) Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun
atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara
tertulis kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;
2) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban segera melakukan pemeriksaan
terhadap permohonan;
3) Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diberikan secara tertulis
paling lambat 7(tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan.
Bagi saksi dan/atau korban yang menghendaki perlindungan dari Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, saksi dan/atau korban baik atas inisiatif sendiri
maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban lebih kongkrit menegaskan bahwa dalam hal
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menerima permohonan saksi dan/atau
korban, saksi dan/atau korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti
syarat

dan ketentuan perlindungan saksi dan korban. Pernyataan kesediaan

mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban memuat:
1) Kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam proses
peradilan;
2) Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan
dengan keselamatannya;
3) Kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara
apapun dengan orang lain selain atas persetujuan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban, selama ia berada dalam perlindungan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban ;

28

4) Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun
mengenai keberadaannya di bawah perlindungan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban; dan
5) Hal lain yang dianggap perlu oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mempunyai kewajiban memberikan
perlindungan

sepenuhnya

kepada

saksi

dan/atau

korban,

termasuk

keluarganya,sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan mengikuti persyaratan
tersebut dalam Pasal 30. Perlindungan atas keamanan saksi dan/atau korban
hanya dapat diberhentikan berdasarkan alasan-alasan seperti yang tercantum
dalam Pasal 32 yaitu:
1) Saksi dan/atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan
dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;
2) atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan
terhadap saksi dan/atau korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang
bersangkutan;
3) Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam
perjanjian atau;
4) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berpendapat bahwa saksi dan/atau
korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang
meyakinkan.
Penghentian perlindungan keamanan seorang saksi dan/atau korban harus
dilakukan secara tertulis. Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban juga
mengatur mengenai bantuan bagi saksiatau korban sebagaimana diatur dalam
Pasal 33 sampai dengan Pasal 36 sebagaimana penulis jelaskan sebagai berikut
ini.

Bantuan diberikan kepada seorang saksi dan/atau korban atas permintaan tertulis
dari yang bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban dan menentukan kelayakan
bantuan kepada saksi dan/atau korban.

diberikannya

29

Dalam hal saksi dan/atau korban layak diberi bantuan, Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban menentukan jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan serta jangka waktu dan besaran
biaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mengenai pemberian
bantuan kepada saksi dan/atau korban harus diberitahukan secara tertulis kepada
yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
diterimanya permintaan tersebut. Dalam melaksanakan pemberian perlindungan
dan bantuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dapat bekerja sama
dengan instansi terkait yang berwenang dan melaksanakan perlindungan dan
bantuan, instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan
keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

B. Kejahatan Suap sebagai Tindak Pidana Korupsi

Dalam bahasa sehari-hari, menyuap bisa diartikan sebagai membeli hak atau
kewenangan seseorang yang berkuasa dengan tujuan agar tersuap melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan hak atau kewenangannya. Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) sendiri memang tidak menggunakan istilah
penyuapan. Namun dari beberapa Pasalnya, kita bisa menafsirkan bahwa KUHP
membedakan dua jenis penyuapan, yaitu penyuapan aktif dan penyuapan pasif.
Penyuapan aktif diatur dalam Pasal 209 dan 210 KUHP, sedangkan penyuapan
pasif diatur dalam Pasal 418, 419 dan 420 KUHP. Penyuap atau yang memberi
suap diancam dengan pidana oleh Pasal 209, 210, tetapi yang menerima suap itu

30

diancam