ANALISIS UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PERKARA NOMOR 02/PID/TPK/2012/PNTK)

(1)

ANALISIS UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PERKARA NOMOR 02/PID/TPK/2012/PNTK)

Oleh

I GEDE ALDI PRADANA

Korupsi merupakan tindakan yang dapat merugikan keuangan Negara oleh karenanya pemerintah telah mengeluarkan peraturan untuk menyelamatkan keuangan Negara tersebut dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pada Pasal 18 mengatur tentang uang pengganti, niatan untuk menyelamatkan uang Negara itu ternyata tidak berjalan mulus karena banyak kasus yang uang penggantinya tidak dapat disetorkan ke kas negara. Permasalahan yang timbul adalah apakah pembayaran uang pengganti perkara Nomor 02/Pid/TPK/2012/PN.TK sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, upaya apa yang dapat dilakukan untuk memperoleh uang pengganti serta faktor apakah yang mempengaruhi eksekusi uang pengganti. Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan yang mengambil data-data dari buku-buku, undang-undang, karya ilmiah serta literatur dan studi lapangan, sedangkan pengolahan data dilakukan dengan metode editing, sistematisasi, serta interpretasi.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa pembayaran uang pengganti dalam perkara Nomor 02/Pid/TPK/2012/PN.TK tidak sesuai dengan kehendak yang ingin dicapai oleh undang-undang yaitu penyelamatan keuangan Negara yang mana tidak dilakukannya penyitaan sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. upaya yang dapat dilakukan dalam perolehan uang pengganti adalah dengan cara penyitaan sesuai Pasal 18 ayat (2), pelacakan harta benda terpidana yang nantinya akan dilelang jika terpidana tidak membayar uang pengganti dan upaya melaui instrument hukum perdata sesuai dengan


(2)

Faktor penghambat dalam eksekusi uang pengganti adalah faktor hukum itu sendiri, faktor penegak hukum dan faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum di Indonesia.

Saran yang dapat diberikan dalam penulisan ini adalah bagi hakim yang memutus perkara korupsi agar menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti agar keuangan Negara yang telah dirugikan dapat dipulihkan kembali, kemudian untuk para penegak hukum khususnya jaksa agar melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya dengan baik dan benar supaya pidana tambahan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi dapat dilaksanakan secara maksimal.


(3)

Oleh

I GEDE ALDI PRADANA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

(Skripsi)

Oleh

I GEDE ALDI PRADANA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalahan... 7

C. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 8

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi... 15

B. Pidana Tambahan dalam Tindak Pidana Korupsi. ... 22

C. Tujuan Penjatuhan Uang Pengganti ... 24

D. Pengertian dan Kewenangan Kejaksaan dalam Eksekusi Uang Pengganti ... 27

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 29

B. Sumber dan Jenis Data ... 30

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 31

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 32

E. Analisis Data... 33

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 34 B. Kesesuaian Pembayaran Uang Pengganti dalam


(8)

Uang Pengganti ... 41 D. Faktor Penghambat dalam Eksekusi Uang Pengganti ... 48

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 53 B. Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi merupakan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi keuangan Negara, Tindak pidana ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintahan pusat melainkan telah menjamur dan menular hingga pejabat daerah. Korupsi di Indonesia seperti sudah menjadi budaya yang sangat sulit dihilangkan. Korupsi yang terjadi sekarang sudah seperti tradisi yang diturunkan dan terus dilakukan oleh para pemimpin negeri ini.

Tidak sampai disitu, korupsi juga dilakukan oleh para penegak hukum yang seharusnya menghukum pelaku tindak pidana korupsi tersebut, mulai dari anggota kepolisian seperti korupsi yang dilakukan oleh Djoko Susilo dengan korupsi proyek simulator Surat Ijin mengemudi dan Susno Duadji dengan kasus korupsi dana pengamanan pemilu Jawa Barat, Kejaksa juga tercoreng nama baiknya karena perbuatan salah satu anggotanya bernama Subri yang menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Lombok Tengah tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hingga hakim melakukan tindakan tercela ini seperti yang dilakukan oleh Hakim Singgih Budi Prakoso dan Setyabudi Tedjocahyono yang keduanya menjabat sebagai ketua dan wakil ketua pada Pengadilan Negeri


(10)

Bandung. Kasus tersebut menggambarkan seolah gaji yang didapat dari pekerjaan mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, padahal masih sangat banyak rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi mencakup beberapa aspek yaitu:1 pertama, tidak adanya tindakan hukum sama sekali terhadap pelaku korupsi. Kedua, tindakan ada tetapi penanganan di ulur-ulur dan sanksi diperingan. Ketiga, tidak dilakukan pemidanaan sama sekali.

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Korupsi adalah Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Peraturan perundang-undangan untuk mendukung pelaksanaan pemberantasan korupsi telah dibuat dan ditetapkan sejak jaman Orde lama. Sebagai contoh perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, kemudian dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 diubah dan ditambah kembali beberapa Pasal yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Perubahan-perubahan tersebut menunjukan perkembangan praktik korupsi di Indonesia seperti money laundering, transnational crime, perdagangan manusia dan sebagainya.

1

Surachmin dan SuhAndy Cahaya, Strategi dan teknik korupsi mengetahui untuk mencegah. Jakarta. Sinar grafika. 2011. Hlm. 105


(11)

Kondisi tersebut yang mengharuskan perumusan undang-undang pemberantasan korupsi di Indonesia secara cermat dengan perspektif jangka panjang, menempatkan korupsi sebagai kejahatan yang sangat berbahaya kiranya bukan sesuatu yang berlebihan. Kecenderungan ke arah tersebut sudah dimulai oleh Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organization For Economic Cooperation and Development (OECD) yang telah mengambil inisiatif dan berhasil mempertemukan visi dan misi para anggotanya dalam pemberantasan korupsi. Di Indonesia, pendekatan hukum pidana sebagai salah satu instrumen dalam memerangi korupsi masih menjadi pilihan utama. Indikator ini dapat dilihat strategi pengenaan sanksi pidana yang semakin diperberat dalam setiap perubahan undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

Tindak pidana korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik dari pada ekonomi. Korupsi menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya, korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan kabupaten.2

Peraturan perundangan pidana secara khusus dimuat dalam undang-undang yang berlaku saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sedangkan untuk instrument perdata menggunakan ketentuan biasa atau umum yang berlaku yaitu undang-undang hukum perdata dan acaranya.

2

Mubyarto, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan keadilan. Jakarta. Yayasan Agro Ekonomika. 1980. Hlm. 166


(12)

Penyelamatan uang negara ini penting dilakukan, mengingat fakta yang terjadi selama ini bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum hanya bisa sedikit menyelamatkan keuangan negara dari total yang dikorupsi. Salah satu instrumen hukum pidana yang memungkinkan penyelamatan uang negara dari perbuatan korupsi adalah dengan memaksimalkan instrumen hukum pidana uang pengganti sebagai sebuah sanksi, instrumen hukum ini dianggap lebih rasional untuk mencapai tujuan pemberantasan korupsi, yakni mencegah kerugian negara.

Tindakan preventif terhadap penyelamatan keuangan Negara ini sebenarnya telah diatur dalam Pasal 41 dan 42 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 41 menyatakan bahwa:

(1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:

a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;

b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;

e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :

1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;

2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;


(13)

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

(4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya. (5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat

dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Sedangkan Pasal 42 menyatakan bahwa:

(1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi.

(2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Tindakan preventif yang ada dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi ini tidak dapat dioptimalisasikan karena pengungkapan korupsi yang berlindung dibalik birokrasi dan peraturan perundang-undangan sangat sulit diungkap oleh masyarakat biasa.

Tindakan represif juga tidak maksimal, kenyataan dilapangan banyak sekali pelanggaran terhadap pembayaran uang pengganti sebagai pengembalian kerugian Negara, contohnya pada kasus mantan Bupati Lampung Tengah Andy Achmad Sampurnajaya yang pembayaran uang penggantinya belum tuntas hingga saat ini , bahkan Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi Lampung M Teguh berpandangan bahwa pihaknya tidak akan melakukan eksekusi terhadap harta terpidana korupsi dana APBD Lampung Tengah Andy Achmad senilai Rp. 28.000.000.000 miliar itu, padahal Mahkamah Agung telah memvonis hukuman penjara 12 tahun dan harus membayar Uang Pengganti sebanyak Rp.


(14)

20.500.000.000 miliar.3 Alasan tidak dilakukannya eksekusi ini adalah karena harta terpidana tidak mencapai Rp. 20.500.000.000 miliar.

Sanksi Pidana uang pengganti pada dasarnya merupakan hukuman tambahan yang bersifat khusus. Sanksi pidana uang pengganti diatur dalam Pasal 34 huruf C Undang-Undang No 3 Tahun 1971, yang menyatakan bahwa:

“Selain ketentuan-ketentuan Pidana yang dimaksud dalam KUHP, maka sebagai hukuman tambahan adalah pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi.”

Pasal 18 ayat 1b Undang-Undang No 31 Tahun 1999 dinyatakan, pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

Mempertegas Pasal 18 ayat 1b, dalam Pasal 18 ayat 2 dinyatakan pula bahwa: “Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.”

Kasus Andy Achmad Sampurnajaya jelas telah melanggar ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan pembayaran uang pengganti tidak lebih dari satu bulan setelah putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum tetap, eksekusi pembayaran uang pengganti ini juga tidak dilakukan oleh jaksa selaku eksekutor.

Berdasarkan uraian tersebut diatas penulis akan mencoba mengangkat permasalahan tersebut dan menuangkan dalam penulisan skripsi yang berjudul

3

http://nasional.inilah.com/read/detail/1957861/harta-mantan-bupati-lampung-tengah-wajib-disita#.UnKdjTHk8nI diakses pada tanggal 10 oktober 2013 pukul 19.00 WIB


(15)

Analisis Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi (studi kasus perkara nomor 02/PID/TPK/2012/PNTK). Dengan maksud untuk ikut serta dalam pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan hukum pada khusunya, yang merupakan tanggung jawab sosial bagi setiap anggota masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah pembayaran uang pengganti dalam perkara Nomor 02/Pid/TPK/2012/PNTK sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ?

b. Bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh uang pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi ?

c. Apakah yang menjadi faktor penghambat eksekusi uang pengganti ?

C. Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas dan dari permasalahan yang timbul, maka lingkup penelitian difokuskan pada Analisis Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi .Daerah penelitian penulis batasi hanya pada Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Tinggi Lampung.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


(16)

1. Mengetahui pembayaran uang pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi Nomor 02/Pid/TPK/2012/PNTK.

2. Mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan untuk memperoleh uang pengganti yang belum dibayar oleh terpidana.

3. Mengetahui faktor penghambat dalam eksekusi uang pengganti.

b. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penulisan ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pidana khususnya berhubungan dengan eksekusi pidana tambahan uang pengganti dalam perkara Tindak Pidana Korupsi.

2. Kegunaan Praktis

Diharapkan dapat berguna bagi penulis dalam memperdalam dan mengembangkan ilmu Hukum khususnya ilmu hukum pidana dan untuk menambah informasi bagi pihak-pihak yang tertarik untuk mengadakan penelitian lanjutan tentang tindak pidana korupsi.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

a. Kerangka teori

Kerangka teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangkan acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk


(17)

mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4

Pelaksana putusan Hakim (eksekusi) yang dalam hal ini merupakan peraturan yang terdapat dalam ketentuan Pasal-Pasal tersebut ialah Pasal 270 KUHAP, Pasal 18 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Berlaku ketentuan-ketentuan di bawah ini:

1. Pasal 270 KUHAP

“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilaksanakan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya dalam hal ini oleh jaksa”. 2. Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksadan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”.

3. Pasal 18 ayat 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan”.

4

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. Universitas Indonesia press. 1986. Hlm. 124


(18)

4. Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa”.

5. Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

“melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Menurut Soerjono Soekanto ada 5 faktor yang mempengaruhi penghambat penegakan hukum, yaitu :5

1. Faktor hukumnya sendiri yaitu berupa undang-undang.

Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja, Masih banyak aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat yang mampu mengatur kehidupan masyarakat. Jika hukum tujuannya hanya sekedar keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif, sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing orang.

5

Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Rajawali. Jakarta. 1983. Hlm. 4


(19)

2. Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk hukum maupun yang menerapkan hukum.

Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum .

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

Sarana yang ada di Indonesia sekarang ini memang diakui masing cukup tertinggal jika dibAndyngkan dengan negara-negara maju yang memiliki sarana lengkap dan teknologi canggih di dalam membantu menegakkan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

Masyarakat dalam hal ini menjadi suatu faktor yang cukup mempengaruhi juga didalam efektivitas hukum. Apabila masyarakat tidak sadar hukum dan atau tidak patuh hukum maka tidak ada keefektifan. Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat


(20)

dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

b. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah itu6

1. Korupsi adalah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi melawan hukum yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara.7

2. Pidana tambahan adalah perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindal korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang-barang tersebut , pembayaran uang pengganti, penutupan

6

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Op.cit, hlm. 32. 7

R Wiyono, pembahasan UU pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Edisi kedua. Sinar grafika. 2008. Hlm. 27


(21)

seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun, pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. (Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

3. Uang Pengganti adalah pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. (Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001) 4. Tindak Pidana adalah perbuatan yang oleh menurut Undang-Undang

merupaka suatu pidana.8

5. Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang dengan penyuapan manipulasi dan perbuatan-perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat/umum.9

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memahami skripsi ini secara keseluruhan, maka sistematika penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, permasalahan, ruang lingkup, tujuan, kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, serta menguraikan tentang sistematikan penulisan.

8

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Bina Aksara. 1991. Hlm. 55 9

http://sitimaryamnia.blogspot.com/2012/02/pengertian-tindak-pidana-korupsi.html diunggah oleh Siti maryam SH., MH. Diakses pada tanggal 12 oktober 2013 pukul 18.00 WIB


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang Tindak Pidana Korupsi, pidana tambahan dalam Tindak Pidana Korupsi, tujuan penjatuhan uang pengganti serta kewenangan Kejaksaan dalam eksekusi uang pengganti.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta tahap akhir berupa analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini, akan dijelaskan analisis uang pengganti pada tindak pidana korupsi, upaya untuk memperoleh uang pengganti yang sesuai dengan ketentuan dan tata cara pelaksanaan berdasarkan KUHAP dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 serta faktor penghambat dalam eksekusi uang pengganti.

V. PENUTUP


(23)

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Sebelum membahas pengertian tindak pidana korupsi, terlebih dahulu perlu diketahui mengenai Pengertian tindak pidana, Tindak Pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana.1

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:2

1. Subyek 2. Kesalahan

3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan)

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana 5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur obyektif lainnya)

Kelima unsur tersebut dikategorikan menjadi dua unsur yaitu unsur sunyektif dan unsur objektif. Yang termasuk unsur subyek dan kesalahan. Sedangkan yang

1

S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. cet 3. Jakarta. Storia Grafika. 2002. Hlm. 204

2

Adam chazawi, pelajaran hukum pidana bagian 1.Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. 2002. Hlm. 211


(24)

termasuk unsur obyektif adalah sifat melawan hukum, tindakan yang dilarang serta diancam dengan pidana oleh undang-undang dan faktor-faktor obyektif lainnya. Kelima unsur tersebut harus ada dalam suatu tindak pidana.

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus yang pengaturannya diluar KUHP, Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang dengan penyuapan manipulasi dan perbuatan-perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat/umum. Perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara adalah korupsi dibidang materil, sedangkan korupsi dibidang politik dapat terwujud berupa memanipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi paksaan dan atau campur tangan yang mempengaruhi kebebasan memilih komersiliasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau pada keputusan yang bersifat administratif dibidang pelaksanaan pemerintah.3

Tindak Pidana Korupsi pada umumnya memuat efektivitas yang merupakan manifestasi dari perbuatan korupsi dalam arti luas mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seseorang pegawai negeri atau istimewa yang dipunyai seseorang didalam jabatan umum yang patut atau menguntungkan diri sendiri maupun orang yang menyuap sehingga dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi dengan segala akibat hukumnya yang berhubungan dengan hukum pidana.

3

http://sitimaryamnia.blogspot.com/2012/02/pengertian-tindak-pidana-korupsi.html diunggah oleh Siti maryam SH., MH. Diakses pada tanggal 12 oktober 2013 pukul 18.00 WIB


(25)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi disamping manusia sebagai pemangku hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan tindakan hukum.

Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruption atau corruptus, dan istilah bahasa Latin yang lebih tua dipakai istilah corumpere. Dari bahasa Latin itulah turun keberbagai bahasa bangsa-bangsa di Eropa seperti Inggris: corruption, Prancis: corruption, dan Belanda corruptive dan korruptie, yang kemudian turun kedalam bahasa Indonesia menjadi Korupsi. Arti harafiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.4

Korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih dibAndyngkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius , tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial, ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.

Korupsi di Negara Indonesia sudah dalam tingkat kejahatan korupsi polotik. Kondisi Indonesia yang terserang kanker politik ekonomi sudah dalam stadium

4

Andy Hamzah(I), Korupsi Di Indonesia Masalah Dan Pemecahannya. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 1991. Hlm. 7


(26)

kritis. Kanker ganas korupsi terus menggerogoti saraf vital dalam tubuh Negara Indonesia, sehingga terjadi krisis institusional. Korupsi politik dilakukan oleh konglomerat Kejahatan kekuasaan ini berlangsung secara sistematis.

Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan Negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum dihadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintah menjadi faktor penyebab mengapa korupsi masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat.

Rezim orde baru yang otoriter telah melakukan proses feodalisasi hukum secara sistematis. Hingga saat ini, banyak perangkat hukum yang tidak bermuara pada keadilan dan tidak melindungi rakyat. Berarti secara sadar hukum dibuat tidak berdaya untuk menyentuh pejabat tinggi yang korup. Dalam tindak pidana korupsi kebanyakan pejabat tinggi yang korup diperlakukan istimewa dan hukum acara pidana korupsi tidak diterapkan adanya kesetaraan sehingga tidak sedikit koruptor yang diseret ke pengadilan dibebaskan dengan alasan tidak cukup bukti. Merajalelanya korupsi adalah karena faktor perangkat hukumnya lemah.

Menyalahgunakan atau mengubah undang-undang memang lebih mudah daripada menyeret koruptor kemuka pengadilan. Memperhatikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka Tindak Pidana


(27)

Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi, yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif, adapun yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah sebagai berikut :5

1. Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

3. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut ( Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

4. Percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

5. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban (Pasal 5 ayat(1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

6. Member sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya

5

Darwan prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung. Citra Aditya Bakti. 2002. Hlm. 2


(28)

dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

7. Member atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

8. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

9. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a (Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

10. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang dapat membahayakan keselamatan Negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001) 11. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara

Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

12. Pegawai Negeri atau orang lain selain Pegawai Negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara


(29)

waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

13. Pegawai Negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu, dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

Sedangkan Korupsi pasif adalah sebagai berikut :

1. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

2. Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau memperngaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

3. Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).


(30)

B. Pidana Tambahan dalam Tindak Pidana Korupsi

Selain pidana pokok, Tindak pidana Korupsi juga mengenal pidana Tambahan seperti diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang berbunyi:

Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindakan pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana Tindak Pidana Korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menjelaskan bahwa selain pidana tambahan yang ditentukan dalam undang-undang korupsi, pelaku tindak pidana korupsi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan yang ada pada KUHP, yaitu:

1. Pencabutan hak-hak tertentu, yang menurut Pasal 35 ayat (1) KUHP terdiri dari :

a) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu. b) Hak memasuki angkatan bersenjata.

c) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.

d) Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anak sendiri.

e) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.


(31)

2. Perampasan barang-barang tertentu yang oleh Pasal 39 ayat (1) KUHP ditentukan bahwa dapat dirampas:

a) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan.

b) Barang-barang kepunyaan terpidana yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan.

3. Pengumuman keputusan Hakim.

Berdasarkan ketentuan diatas dapat diberikan penjelasan bahwa untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tersebut harus kepunyaan atau atas nama terpidana dan dapat pula perampasan terhadap barang-barang milik orang lain apabila pihak ketiga mendapatkan barang tersebut dari terdakwa dengan itikad buruk. Dalam hal menafsirkan mengenai pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi.

Pidana pembayaran uang pengganti merupakan konsekuensi dari akibat tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti.

Hakikatnya baik secara hukum maupun doktrin, hakim tidak diwajibkan selalu menjatuhkan pidana tambahan.Walaupun demikian, khusus untuk perkara korupsi harus diberi perhatian khusus karena korupsi adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara sehingga kerugian tersebut harus dipulihkan.

Sangat tidak bijaksana apabila membiarkan terdakwa tidak membayar uang pengganti, dari uang pengganti itulah hasil korupsi yang diperoleh terdakwa dapat dikembalikan ke Negara. Terdakwa perkara korupsi yang telah terbukti dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi terbebas dari kewajiban untuk membayar uang pengganti apabila uang pengganti tersebut dapat dikompensasikan dengan kekayaan terdakwa yang dinyatakan dirampas untuk


(32)

Negara atau terdakwa sama sekali tidak menikmati uang hasil korupsi tersebut, atau telah ada terdakwa lain yang telah dihukum membayar uang pengganti, atau kerugian Negara masih dapat ditagih dari pihak lain.

Jumlah uang pengganti adalah kerugian Negara yang secara nyata dinikmati atau memperkaya terdakwa atau karena kausalitas tertentu, sehingga terdakwa bertanggung jawab atas segala kerugian Negara. Perbedaan Uang Pengganti dan Uang Sitaan, dalam perkara korupsi selain pidana uang pengganti juga terdapat uang sitaan. Kedua jenis pidana tambahan ini perlu untuk diberikan definisi yang tegas karena perbedaan definisi uang pengganti dan uang sitaan tersebut sering menimbulkan polemik. Sehingga antar lembaga pemerintahan harus mempunyai satu pemahaman terkait dengan definisi uang pengganti serta uang sitaan, apalagi keduanya mempunyai muara setoran yang sama, yakni ke kas Negara.6

Dasar hukum mengenai uang pengganti ini adalah Pasal 17 jo 18 huruf b Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

C. Tujuan Penjatuhan Pidana Uang Pengganti

Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada tahap kebijakan legisasi, perumusan penentuan sanksinya banyak dipengaruhi oleh konsep atau rancangan undang-undang yang diajukan ke legislatif. Strategi kebijakan pemidanaan dalam kejahatan-kejahatan yang berdimensi baru harus memperhatikan hakekat

6


(33)

permasalahannya, bila hakekat permasalahannya lebih dekat dengan masalah di bidang hukum perekonomian dan perdagangan, maka lebih diutamakan penggunaan pidana denda atau semacamnya.7

Penetapan sanksi hukuman pidana seharusnya dilakukan dengan menggunakan pendekatan rasional, bila berdasar pada konsep rasionalitas ini maka kebijakan penetapan sanksi dalam pidana tidak terlepas dari penetapan tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan kriminal secara keseluruhan, yakni perlindungan masyarakat. Disebabkan pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu, haruslah dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tujuan umum tersebut, kemudian berorientasi untuk menetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan dilakukan.

Tujuan adanya pidana uang pengganti adalah untuk memidanakan seberat mungkin para koruptor agar mereka jera dan untuk menakuti orang lain agar tidak melakukan korupsi, tujuan lainnya adalah untuk mengembalikan uang Negara yang melayang akibat suatu perbuatan korupsi.8

Korupsi mengakibatkan pelaku memperoleh keuntungan finansial dan sebalaiknya Negara sebagai korban menderita kerugian sacara finansial, akibat dari kerugian yang ditanggung Negara pada akhirnya berdampak ke berbagai hal. Bahkan

7

Barda Nawawi Arief, Masalah penegakan hukum dan kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan.Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2007. Hlm. 26

8

Efi Laila Kholis, pembayaran uang pengganti dalam perkara korupsi. Jakarta. Solusi Publishing. 2010. Hlm. 17


(34)

korupsi telah mengakibatkan kemiskinan, sehingga pelaku korupsi harus dikenakan pidana uang pengganti.9

Efi Laila Kholis mengatakan bahwa Penjatuhan pidana dapat dilihat dalam arti sempit maupun luas, dalam arti sempit penjatuhan pidana berarti kewenangan menjatuhkan pidana menurut undang-undang oleh pejabat yang berwenang (Hakim).10Dilihat dalam arti luas penjatuhan pidana merupakan suatu mata rantai tindakan hukum dari pejabat yang berwenang melalui proses penyidikan, penuntutan sampai pada putusan pidana oleh hakim dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana. Seperti pidana lainnya, pidana uang pengganti juga dicantumkan dalam amar putusan hakim.

Pidana pembayaran uang pengganti memiliki tujuan mulia akan tetapi kontras dengan beban mulia yang diembannya, ternyata pengaturan mengenai pidana uang pengganti justru tidak jelas, baik Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang hanya mengatur uang pengganti dalam 1 Pasal yakni Pasal 34 huruf c maupun undang-undang penggantinya, minimnya pengaturan mengenai uang pengganti mangakibatkan munculnya berbagai permasalahan.

Mengenai penentuan pidana pembayaran uang pengganti berpedoman pada surat Jaksa Agung No B-28/A/Ft.1/05/2009 tanggal 11 Mei 2009 tentang petunjuk kepada Jaksa penuntut Umum dalam membuat surat tuntutan yang salah satu diantaranya adalah mengenai pembayaran uang pengganti yaitu :

9

Romli Atmasasmita, Kapita selekta hukum pidana dan kriminologi. Mandar Maju. Bandung. 1995. Hlm. 132

10


(35)

1. Kewajiban membayar uang pengganti sedapat mungkin langsung ditujukan kepada instansi yang dirugiakan, amar surat tuntutan :“membayar uang pengganti kepada Negara (institusi yang dirugikan sebesar…dst.

2. Untuk memberikan rasa keadilan kepada terpidana yang membayarkan uang pengganti tetapi hanya sebagian (tidak penuh) dari pidana dalam putusan, maka didalam amar tuntutan supaya ditambah klausul : “apabila terdakwa/terpidana membayar uang pengganti, maka jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti.

3. Terhadap kewajiban pembayaran uang pengganti yang terdakwanya lebih dari satu orang supaya didalam amar tuntutan disebutkan secara jelas dan pasti jumlah kepada masing-masing terdakwa dan tidak boleh disebutkan secara tanggung renteng karena tidak akan memberikan kepastian hukum dan menimbulkan kesulitan dalam eksekusi.

4. Apabila tidak diketahui secara jelas jumlah yang diperoleh dari tindak pidana korupsi oleh masing-masing terdakwa/terpidana, maka salah satu cara yang dapat dipedomi untuk menentukan besarnya uang pengganti yang akan digunakan kepada masing-masing terpidana adalah menggunakan kualifikasi “turut serta” dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP.

5. Untuk pelaksanaan petunjuk penentuan besaran uang pengganti supaya dilaksanakan secara tertib dengan administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan disertai bukti-bukti yang akurat yang dapat dipergunakan sebagai bahan pelaporan hasil penyelamatan kerugian Negara oleh Kejaksaan Agung.

D. Pengertian dan Kewenangan Kejaksaan dalam Eksekusi Uang Pengganti

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan, yang dimaksud jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

Tugas dan wewenang kejaksaan diatur dalam Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan.


(36)

1. Melakukan penuntutan.

2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan piadana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat. 4. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang.

5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

b. Di bidang perdata dan tata usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah.

c. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :

1. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat. 2. Pengamanan kebijakan penegak hukum. 3. Pengawasan peredaran barang cetakan.

4. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.

5. Pencegahan, penyalahgunaan dan atau penodaan agama. 6. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Pasal 35 undang-undang tentang kejaksaan diatur tugas dan wewenang Jaksa Agung, yaitu :

a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan.

b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang.

c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

d. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada mahkamah agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara.

e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada mahkamah agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana.

f. Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Penjelasan tersebut menyatakan bahwa Jaksa yang berwenang dalam melakukan eksekusi terhadap uang pengganti ini.


(37)

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penulisan ini dilakukan secara yuridis normatif dan yuridis empiris yaitu :

a. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku, bahan-bahan bacaan literatur peraturan perundang-undangan yang menunjang dan berhubungan sebagai penelaahan hukum terhadap kaidah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.

b. Pendekatan yuridis empiris yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengadakan penelitian di lapangan terhadap pihak-pihak yang dianggap mengetahui permasalahan yang berhubungan dengan penelitian.

Tipe penelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu menguraikan secara rinci dan dilakukan analisis sehingga memperoleh gambaran yang jelas dan sistematis mengenai masalah ini.


(38)

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui dua sumber yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari objek penelitian dilapangan, data primer diperoleh dengan cara observasi atau penelitian secara langsung ke tengah-tengah masyarakat. Melakukan wawancara kepada orang-orang yang terkait langsung dengan data yang ingin diperoleh atau dengan pemetaan dari kejauhan tanpa harus terjun langsung ke lapangan.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Pencarian data sekunder ini dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya : melalui studi kepustakaan, artikel-artikel dimedia masa baik cetak maupun elektronik yang terkait dalam penelitian ini. Data sekunder meliputi :

a. Bahan hukum primer, yaitu :

1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan. 6. Yurisprudensi.


(39)

b. Bahan Hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, antara lain ;1

1) Hasil Karya Ilmiah

2) Rancangan Undang-undang

c. Bahan Hukum tersier adalah bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan-penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.

Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara menelitibahan Hukum pustaka atau data sekunder belaka dinamakan penelitian hukum Normatif atau penelitian kepustakaan

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang cirri-cirinya dapat diduga. Populasi dalam penelitian ini adalah orang-orang yang berhubungan langsung dengan masalah dalam penulisan skripsi ini. Penentuan responden pada penulisan ini menggunakan metode pengambilan sampel secara purposive sampling yang berarti bahwa dalam penentuan sampel disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang akan diteliti.2 Sesuai dengan metode penentuan sampel dari populasi yang akan

1Soerjono Soekanto, Op. cit. hlm. 13

2

Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survei. Jakarta. LP3ES. 2000. Hlm. 152


(40)

diteliti secara hirarki sebagaimana tersebut diatas maka responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 orang

2. Hakim pada PN Tanjung Karang : 1 orang

3. Dosen bagian Pidana pada fakultas Hukum Unila : 1 orang+

Jumlah 3 orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam skripsi dilakukan dengan cara :

a. Studi Kepustakaan yaitu Pengumpulan data yang dilakukan terhadap data sekunder melalui serangkaian kegiatan dengan cara membaca, mencatat, mengutip buku dan menelaah peraturaan perundangan dan Putusan Hakim. b. Studi Lapangan yaitu Pengumpulan data yang dilakukan untuk

memperoleh data primer dengan menggunakan teknik wawancara terbuka kepada responden, materi yang akan ditanyakan telah disiapkan oleh penulis.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul kemudian di proses melalui pengolahan data dan peninjaun data sebagai berikut :

a. Editing yaitu memeriksa dan meneliti data yang diperoleh, agar terhindar dari kesalahan.


(41)

b. Interpretasi, yaitu menghubungkan, membAndyngkan dan menguraikan data serta mendeskripsikannya dalam bentuk uraian untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan.

c. Sistematisasi, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok permasalahan sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis kualitatif, hal ini dilakukan untuk menguraikan kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian yang berbentuk penjelasan-penjelasan, berdasarkan analisis tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan sacara induktif yaitu cara berfikir dalam mengambil suatu kesimpulan terhadap permasalahan yang umum berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus.


(42)

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;

1. Pembayaran uang pengganti dalam perkara Nomor 02/Pid/TPK/2012/PN.TK tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 karena jaksa selaku eksekutor tidak melakukan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa “Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”.

2. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh uang pengganti adalah Upaya penyitaan dan pelelangan harta benda terpidana sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Upaya pelacakan dan penjarinagn asset terpidana saat tahap penyidikan, penyidik berwenang melacak harta benda milik tersangka untuk menghitung harta benda yang


(43)

dimiliki oleh tersangka, istri atau suami serta anak-anaknya. Sesuai dengan Pasal 28 dan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan upaya penagihan uang pengganti menggunakan instrument perdata, digunakan Pasal 32, 33, dan 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta dengan upaya instrument perdata.

3. Faktor penghambat dalam eksekusi uang pengganti adalah faktor hukum itu sendiri, faktor penegak hukum dan faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum di Indonesia.

B. Saran

1. Kepada hakim yang memutus perkara korupsi apabila terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan Negara, maka wajib dijatuhkan uang pengganti yang sebanyak-banyaknya sama dengan hasil korupsi yang diperolehnya walaupun pidana uang pengganti hanya pidana tambahan dalam tindak pidana korupsi.

2. Kepada penegak hukum khususnya jaksa harus memiliki keberanian dan tekad kuat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai eksekutor dalam pelaksanaan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap agar kerugian keuangan Negara dari tindak pidana korupsi bisa dipulihkan melalui pembayaran uang pengganti.

3. Kepada legislatif selaku pembuat undang-undang agar segera membuat

peraturan yang lebih rinci mengenai pembayaran uang pengganti agar tidak terjadi perbedaan persepsi antara penegak hukum.


(44)

DAFTAR PUSTAKA

Arief , Barda Nawawi. Masalah penegakan hukum dan kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan,cet 1, Kencana Prenada Media Group, Jakart, 2007.

Atmasasmita, Romli. Kapita Selekta Hukum Pidana Dan Kriminolog,. Mandar maju, Bandung, 1995.

Chazawi, Adam. pelajaran hukum pidana bagian 1, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, 2002.

Hamzah, Andy. Korupsi Di Indonesia Masalah Dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991.

Indriyanto. Uang Penggant, Citra Adiya Bakti, Jakarta, 1998.

Kholis, Laila. Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Solusi Publishing Jakarta, 2010.

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983

Mubyarto. Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan keadilan, Yayasan Agro Ekonomika, Jakarta, 1980.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Bunga rampai Hukum Pidana, Alumni. Bandung. 1992.

Raharjo,Satjipto.Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), BPHN, Jakarta

Riyanto, Astim. Kapita Selekta Hukum Dalam Dinamika,Yapemdo.Bandung, 2000.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986.


(45)

Soekanto, Soerjono. faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali, Jakarta, 1983.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofyan, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES, 2000.

Sianturi, S.R. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, cet 3, Storia Grafika, Jakarta, 2002.

Sunarto. Problematika Hukum Sanksi Pidana Uang Pengganti dalam Perkara

Tindak Pidana Korupsi. Bandar Lampung. 2013.

Surachmin, dan SuhAndy. Strategi dan teknik korupsi mengetahui untuk mencegah, Sinar grafika, Jakarta, 2011.

Prinst, Darwan. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Citra Aditya Bakti. Bandung, 2002.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Korupsi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

http://nasional.inilah.com/read/detail/1957861/harta-mantan-bupati-lampung-tengah-wajib-disita#.UnKdjTHk8nI.

http://sitimaryamnia.blogspot.com/2012/02/pengertian-tindak-pidana-korupsi.html


(1)

diteliti secara hirarki sebagaimana tersebut diatas maka responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 orang 2. Hakim pada PN Tanjung Karang : 1 orang 3. Dosen bagian Pidana pada fakultas Hukum Unila : 1 orang+

Jumlah 3 orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam skripsi dilakukan dengan cara :

a. Studi Kepustakaan yaitu Pengumpulan data yang dilakukan terhadap data sekunder melalui serangkaian kegiatan dengan cara membaca, mencatat, mengutip buku dan menelaah peraturaan perundangan dan Putusan Hakim. b. Studi Lapangan yaitu Pengumpulan data yang dilakukan untuk

memperoleh data primer dengan menggunakan teknik wawancara terbuka kepada responden, materi yang akan ditanyakan telah disiapkan oleh penulis.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul kemudian di proses melalui pengolahan data dan peninjaun data sebagai berikut :

a. Editing yaitu memeriksa dan meneliti data yang diperoleh, agar terhindar dari kesalahan.


(2)

33

b. Interpretasi, yaitu menghubungkan, membAndyngkan dan menguraikan data serta mendeskripsikannya dalam bentuk uraian untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan.

c. Sistematisasi, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok permasalahan sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis kualitatif, hal ini dilakukan untuk menguraikan kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian yang berbentuk penjelasan-penjelasan, berdasarkan analisis tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan sacara induktif yaitu cara berfikir dalam mengambil suatu kesimpulan terhadap permasalahan yang umum berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus.


(3)

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;

1. Pembayaran uang pengganti dalam perkara Nomor 02/Pid/TPK/2012/PN.TK tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 karena jaksa selaku eksekutor tidak melakukan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa “Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”.

2. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh uang pengganti adalah Upaya penyitaan dan pelelangan harta benda terpidana sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Upaya pelacakan dan penjarinagn asset terpidana saat tahap penyidikan, penyidik berwenang melacak harta benda milik tersangka untuk menghitung harta benda yang


(4)

54

dimiliki oleh tersangka, istri atau suami serta anak-anaknya. Sesuai dengan Pasal 28 dan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan upaya penagihan uang pengganti menggunakan instrument perdata, digunakan Pasal 32, 33, dan 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta dengan upaya instrument perdata.

3. Faktor penghambat dalam eksekusi uang pengganti adalah faktor hukum itu sendiri, faktor penegak hukum dan faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum di Indonesia.

B. Saran

1. Kepada hakim yang memutus perkara korupsi apabila terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan Negara, maka wajib dijatuhkan uang pengganti yang sebanyak-banyaknya sama dengan hasil korupsi yang diperolehnya walaupun pidana uang pengganti hanya pidana tambahan dalam tindak pidana korupsi.

2. Kepada penegak hukum khususnya jaksa harus memiliki keberanian dan tekad kuat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai eksekutor dalam pelaksanaan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap agar kerugian keuangan Negara dari tindak pidana korupsi bisa dipulihkan melalui pembayaran uang pengganti.

3. Kepada legislatif selaku pembuat undang-undang agar segera membuat

peraturan yang lebih rinci mengenai pembayaran uang pengganti agar tidak terjadi perbedaan persepsi antara penegak hukum.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arief , Barda Nawawi. Masalah penegakan hukum dan kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan,cet 1, Kencana Prenada Media Group, Jakart, 2007.

Atmasasmita, Romli. Kapita Selekta Hukum Pidana Dan Kriminolog,. Mandar maju, Bandung, 1995.

Chazawi, Adam. pelajaran hukum pidana bagian 1, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, 2002.

Hamzah, Andy. Korupsi Di Indonesia Masalah Dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991.

Indriyanto. Uang Penggant, Citra Adiya Bakti, Jakarta, 1998.

Kholis, Laila. Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Solusi Publishing Jakarta, 2010.

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983

Mubyarto. Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan keadilan, Yayasan Agro Ekonomika, Jakarta, 1980.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Bunga rampai Hukum Pidana, Alumni. Bandung. 1992.

Raharjo,Satjipto.Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), BPHN, Jakarta

Riyanto, Astim. Kapita Selekta Hukum Dalam Dinamika,Yapemdo.Bandung, 2000.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986.


(6)

54

Soekanto, Soerjono. faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali, Jakarta, 1983.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofyan, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES, 2000.

Sianturi, S.R. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, cet 3, Storia Grafika, Jakarta, 2002.

Sunarto. Problematika Hukum Sanksi Pidana Uang Pengganti dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Bandar Lampung. 2013.

Surachmin, dan SuhAndy. Strategi dan teknik korupsi mengetahui untuk mencegah, Sinar grafika, Jakarta, 2011.

Prinst, Darwan. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Citra Aditya Bakti. Bandung, 2002.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Korupsi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

http://nasional.inilah.com/read/detail/1957861/harta-mantan-bupati-lampung-tengah-wajib-disita#.UnKdjTHk8nI.

http://sitimaryamnia.blogspot.com/2012/02/pengertian-tindak-pidana-korupsi.html