Kasus PEMBANGUNAN DAN PENGGUNAAN BASE TR

PEMBANGUNAN DAN PENGGUNAAN BASE TRANSCEIVER
STATION (BTS) DIKAITKAN DENGAN PERAN PEMERINTAH
DAERAH (Studi di Pemerintah Kota Tebing Tinggi)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................... ..v
DAFTAR TABEL………………………………………………………………vi
ABSTRAKSI…………………………………………………………………...vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................... ..1
B. Perumusan Masalah .............................................................. ..8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.............................................. ..8
D. Metode Penelitian ................................................................. 14
BAB II PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBANGUNAN DAN PENGGUNAAN
BASE TRANSCEIVER STATION DI KOTA TEBING TINGGI
A. Peran Pemerintah Kota Tebing Tinggi Dalam Pengaturan Penempatan Lokasi Base
Transceiver Station.......................76
B. Kepastian Hukum Mengenai Peran Pemerintah Daerah……96
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan …………………………………………………99
B. Saran ……………………………………………………....102
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………105

DAFTAR TABEL
Tabel – 1 : Realisasi Investasi Izin Usaha Tetap PMDN DAN PMA Sektor
Telekomunikasi Periode Tahun 1990-2007…………………47
Tabel – 2 : Jumlah Operator Telepon di Indonesia..............................................56
Tabel – 3 : Pelaku Pasar Telepon Selular Indonesia, 2005-2007........................56
Tabel – 4 : Jumlah BTS tiap operator telekomunikasi 2007................................58
ABSTRAKSI
Perkembangan pertelekomunikasian begitu pesat dan sangat menggiurkan. Para
investor melihat ini sebagai bisnis yang menghasilkan laba yang sangat besar
sehingga berupaya melakukan inovasi agar dapat meningkatkan pelanggan. Salah
satu cara yang dilakukan adalah dengan peningkatan pelayanan melalui

peningkatan mutu jaringan telepon seluler yakni dengan menanamkan modal yang
besar pada pembangun Base Transceiver Station (BTS). BTS merupakan perangkat
jaringan telekomunikasi yang berfungsi dalam meningkatkan signal/jaringan telepon
seluler.Perkembangan BTS tersebut sangat pesat dan muncul permasalahan yang
terkait dengan pembangunan dan penggunaan BTS. Yang menjadi permasalahan
dalam makalah ini adalah bagaimana ketentuan pengaturan usaha
penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia, bagaimana ketentuan pembangunan
dan penggunaan BTS dan Bagaimana peran pemerintah kota Tebing Tinggi dalam

pelaksanaan pembangunan dan penggunaan BTS. Metode penelitian yang dipakai
untuk menyusun makalah ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu
dengan jalan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, majalah, peraturan
perundang-undangan dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat hubungannya
dengan maksud tujuan dari pada penyusunan karya ilmiah ini serta penelitian
lapangan (field research), untuk melihat aplikasi dari peraturan perundangundangan tersebut dengan mengambil lokasi penelitian di Pemerintah Kota Tebing
Tinggi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan usaha
penyelenggaraan pertelekomunikasian di Indonesia telah mengatur tentang
perangkat telekomunikasi, dan salah satunya mengatur tentang pembangunan dan
penggunaan menara BTS. BTS pada dasarnya memberikan keuntungan pada
daerah dimana BTS tersebut didirikan. Namun dalam pendiriannya harus
disesuaikan dengan kondisi wilayah BTS tersebut didirikan. Kebijakan yang telah
dilakukan dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan hal ini adalah
mewajibkan pengggunaan menara BTS secara bersama (menara bersama). Namun
dalam pelaksanaan hal tersebut peran pemerintah daerah, khususnya Kota Tebing
Tinggi tidak terlaksana sebagaimana yang diamanatkan oleh peraturan
tersebut.Peran yang ada hanya sebatas pemberian izin mendirikan bangunan yang
disebabkan belum adanya peraturan daerah yang mengaturnya.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan jasa dan teknologi telekomunikasi akhir-akhir ini berjalan luar biasa
cepatnya, bahkan melebihi perkembangan macam dan teknologi bidang-bidang
lainnya. Walaupun dapat dikatakan bahwa perkembangan teknologi informasi ini
seakan tidak dapat ditahan, namun sebenarnya pertumbuhan teknologi informasi
itu tidak akan berarti apa-apa apabila tidak ditopang oleh revolusi yang dialami oleh
teknologi telekomunikasi itu sendiri.
Di negara-negara yang sudah maju tuntutan terhadap tersedianya jasa
telekomunikasi beriringan dengan pertumbuhan perbaikan kehidupan ekonomi
masyarakatnya. Hal ini juga berlaku bagi negara–negara yang sedang membangun,
bahwa pembangunan di bidang ekonomi tidak boleh tidak harus sejalan dengan
pembangunan sarana telekomunikasinya. Apabila tidak, maka salah satu diantara
keduanya (pertumbuhan ekonomi dan pengembangan sarana telekomunikasi) akan

terhambat dan dampak akhirnya akan memperlambat upaya bangsa kita dalam
meraih dan menikmati bersama hasil-hasil pembangunan.
Telekomunikasi sendiri merupakan salah satu sektor yang sangat berkembang pesat
dan telah menjadi kebutuhan hidup masyarakat di dunia termasuk Indonesia.
Perubahan bisnis telekomunikasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
perkembangan telekomunikasi di dunia. Hal ini tidak bisa dihindarkan, karena

teknologi telekomunikasi bersifat global dan aplikasinya yang terintegrasi, ditambah
Indonesia yang bukan pemain utama untuk produk-produk teknologi Informasi.
Kebutuhan pelanggan dan pasar Indonesia justru lebih didorong oleh teknologi itu
sendiri.3 Hal ini dibuktikan dengan semakin tingginya tingkat penetrasi telepon di
Indonesia yang saat ini berjumlah delapan puluh juta pelanggan atau sekitar 32%
dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Dengan tingginya tingkat penetrasi
telepon di Indonesia saat ini, menunjukkan bahwa kebutuhan akan telepon bagi
masyarakat semakin tinggi dan semakin dibutuhkan masyarakat dalam menunjang
kualitas kehidupan bermasyarakat. Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 36
tahun 1999 tentang Telekomunikasi oleh Pemerintah, turut mempengaruhi bisnis
para perusahaan yang bergerak di sektor jasa dan jaringan telekomunikasi di
Indonesia, termasuk juga Telkom, sebagai pengelola telekomunikasi tertua di
Indonesia. UU mengenai pertelekomunikasian itu sebelumnya telah didahului oleh
UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat
dan UU N0.8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen. Kedua undang-undang
terakhir ini, amat berpengaruh besar terhadap bisnis telekomunikasi di Indonesia,
sehingga menuntut Telkom untuk memberikan pelayanan yang semakin baik
kepada pelanggan di lihat dari sisi produk maupun pelayanannya. Dalam daya saing
bisnis, jasa telekomunikasi tumbuh dengan baik, dengan tingkat rata-rata
pertumbuhan di atas 20% per tahun. Sehingga para investor, asing dan dalam

negeri banyak meminati saham jasa telekomunikasi di Indonesia. Berbagai cara dan
upaya dilakukan oleh investor untuk memperoleh keuntungan yang maksimal dalam
bisnis telekomunikasi. Dalam bisnis telekomunikasi, kompetisi sangat keras. Pangsa
pasar alatalat telekomunikasi di Indonesia menjadi sasaran pemasaran produk dari
berbagai perusahaan asing, sehingga menimbulkan kecemasan di kalangan
produsen dalam negeri. Hal yang sama juga terjadi pada penyelenggara jasa
telekomunikasi yang mengarah pada terjadinya kerjasama antara Pemerintah
dengan pihak swasta, misalnya dalam pengelolaan satelit Palapa dan Telepon
seluler, baik melalui usaha patungan, kerjasama operasi, maupun kontrak
manajemen.

Menurut Dwi Joko Purwanto selaku Asisten Manager User Relation and Calibration
PT.TELKOM Area I, pada masa sekarang ini di Indonesia terdapat Sembilan
perusahaan telekomunikasi yang saat ini sudah mengoperasikan teknologi Wireless
GSM (Global for Mobile Communication) dan CDMA (Code Division Multiple Access).
Dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi tersebut pastilah semua
operator seluler membutuhkan sarana pokok untuk menunjang aktivitas
pertelekomunikasian. Dalam hal ini, menara pemancar telekomunikasi merupakan
salah satu infrastruktur pendukung yang paling pokok dalam penyelenggaraan


sektor jasa teleomunikasi yang vital. Menara tersebut merupakan urat nadi dalam
pelaksanaan sektor jasa telekomunikasi karena berfungsi sebagai sarana
penempatan antena BTS (Base Transceiver Station) baik untuk teknologi GSM
maupun CDMA. BTS-BTS (Base Transceiver Station) tersebut merupakan salah satu
sarana pertelekomunikasian yang dapat meningkatkan jaringan pada telepon
seluler, sehingga data yang dihasilkan menjadi lebih jelas dan cepat. Suatu hal yang
perlu diketahui bahwa telepon seluler hanya berfungsi bila dioperasikan dalam area
pelayanan BTS (Stasiun Induk Pengirim dan Penerima) yang membawahi sejumlah
pelanggan. Bila tidak di wilayah cakupan BTS, maka telepon seluler tidak dapat
bekerja, sehinga di layar akan tertulis no services. Karena itu hidup matinya amat
ditentukan oleh kedekatannya dengan BTS dimaksud.
Perusahaan – perusahaan telekomunikasi sekarang ini berlomba-lomba dalam
membangun BTS. BTS-BTS tersebut dibangun pada daerah-daerah yang
menjangkau banyak pelanggan. Hal ini dimaksud agar pelanggan puas dan nyaman
atas pelayanan yang diberikan oleh perusahaan telekomunikasi. Dalam
pembangunan dan penggunaan BTS tersebut tentunya akan melibatkan peran
pemerintah daerah. Dengan dikeluarkannya UU No.12 Tahun 2008 jo UU No.32
tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, maka UU Telekomunikasi, UU Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat dan UU Perlindungan Konsumen telah
berdampak kepada struktur bisnis perusahaan yang selama ini tersentralisasi di

pusat, menuju kepada desentralisasi, serta pemberian otonomi yang lebih luas pada
unit-unit usaha di daerah.
Dengan adanya kebijakan dari pemerintah yang menerapkan otonomi daerah, maka
tentunya masing-masing daerah memiliki kebijakan tersendiri untuk mengatur
kehidupan daerahnya di segala bidang, termasuk untuk bidang telekomunikasi.
Suatu daerah dapat dipastikan memerlukan sistem informasi yang akan mendukung
langkah-langkah daerah tersebut untuk melakukan aktivitas sehari-hari di semua
bidang yang ada. Bentuk informasi yang diperlukan oleh suatu daerah tentu sangat
kompleks dan beragam, tergantung dengan bidang yang menjadi tujuan. Bila
melihat ketentuan di dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2008 jo UU No.32 Tahun
2004, tentang Pemerintah Daerah khususnya Pasal 13 ayat (1) dan 14 ayat (1) ,
masing-masing daerah memiliki kewenangan dalam melakukan perencanaan tata
ruang, baik itu pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Dalam
penjelasan Undang-undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
dikemukakan bahwa pelaksanaan pembangunan, baik di tingkat pusat maupun
daerah, harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Kondisi
wilayah Indonesia yang terdiri dari wilayah nasional, provinsi, kabupaten dan/kota,
yang masing-masing merupakan subsistem ruang menurut batasan administrasi,
dan di dalam subsistem tersebut terdapat sumber daya manusia dan berbagai
macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan

tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda. Apabila tidak dilakukan
penyusunan rencana tata ruang yang baik, kemungkinan ketidakseimbangan laju
pertumbuhan antar daerah dan merosotnya kualitas lingkungan hidup akan
semakin meningkat. Mengingat bahwa penataan ruang di suatu daerah akan
berpengaruh pada daerah lain, yang pada gilirannya akan mempengaruhi sistem

ruang secara keseluruhan, dalam perencanaan tata ruang
dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya.

menuntut

Yang menjadi permasalahan disini bahwa perusahaan-perusahaan telekomunikasi
berusaha semaksimal mungkin melakukan upaya dalam peningkatan pelayanan
kepada pelanggan dalam bidang peningkatan kualitas produk yakni dengan
membangun dan menggunakan BTS yang tujuan utamanya adalah memperoleh
keuntungan semaksimalnya. Namun dalam penyelenggaraannya tersebut
perusahaan-perusahaan telekomunikasi tidak memperhatikan kondisi tata ruang
suatu daerah. Mereka terus mencari daerahdaerah yang memiliki peluang bisnis
yang sangat besar. Dengan semakin hebatnya kompetisi di bidang ini, maka terlihat
berbagai menara bermunculan di berbagai tempat di Indonesia, dan bahkan di satu

lokasi yang berdekatan bisa berdiri tiga sampai dengan lima unit menara, sehingga
terkesan tidak efisien dan mengganggu estetika suatu daerah. Disinilah pemerintah
daerah harus berperan aktif. Pemerintah daerah harus dapat bersikap bijaksana dan
jeli terhadap kondisi daerah pemerintahannya. Jangan hanya melihat dari
keuntungan yang diperoleh dari bisnis pertelekomunikasian tetapi juga harus
melihat kondisi tata ruang pada daerah yang bersangkutan. Bukan berarti dalam hal
ini pemerintah daerah melarang keras pembangunan dan penggunaan BTS, sebab
mobilisasi suatu daerah juga dipengaruhi pada telekomunikasi di daerah yang
bersangkutan. Akan tetapi tidak mutlak memberikan dukungan yang sebesarbesarnya pada pembangunan dan penggunaan BTS tersebut. Penulis tertarik untuk
mengetahui apa saja peran dari pemerintah daerah khususnya dalam
pembangunan dan penggunaan BTS, apa saja yang dapat dilakukan oleh
pemerintah terkait dengan pengaturan penempatan BTS serta berbagai peran
lainnya sehubungan dengan pembangunan dan pengaturan BTS.
Berdasarkan uraian berbagai permasalahan di atas, penulis merasa perlu untuk
melakukan pengkajian terhadap ketentuan tersebut, sehingga makalah ini diberi
judul “ Pembangunan dan Penggunaan Base Transceiver Station Dikaitkan Dengan
Peran Pemerintah Daerah (Studi di Pemerintah Kota Tebing Tinggi)”
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan yang telah diuraikan terlebih dahulu, maka
penulis membuat batasan perumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah

ini, yaitu :
1. Bagaimana pengaturan usaha penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia?
2. Bagaimana ketentuan pembangunan dan penggunaan Base Transceiver Station
(BTS) ?
3. Bagaimana peran pemerintah kota Tebing Tinggi dalam
pembangunan dan penggunaan Base Transceiver Station (BTS) ?
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan
a.Tujuan Penulisan

pelaksanaan

Adapun tujuan dalam pembahasan skripsi penulis yang berjudul “ Pembangunan
dan Penggunaan Base Transceiver Station Dikaitkan Dengan Peran Pemerintah
Daerah” mempunyai tujuan pembahasan yang sesuai dengan permasalahan yang
diajukan, antara lain :
1. Untuk menjelaskan pengaturan usaha penyelenggaraan telekomunikasi di
Indonesia;
2. Untuk menjelaskan ketentuan hukum mengenai pembangunan dan penggunaan
Base Transceiver Station (BTS);
3. Untuk menjelaskan peran pemerintah kota Tebing Tinggi dalam pelaksanaan

pembangunan dan penggunaan Base Transceiver Station (BTS).
b.Manfaat Penulisan
Berdasarkan dari permasalahan-permasalahan di atas,
diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :

penulisan

skripsi

ini

1. Secara Teoritis Sebagai bentuk peningkatan pengetahuan penulis di bidang
hukum ekonomi, khususnya dalam peran pemerintah daerah berkaitan dengan
pembangunan dan penggunaan Base Transceiver Station ; dan
2. Secara Praktis Sebagai suatu bentuk sumbangan dan masukan bagi para pihak
yang berkepentingan khususnya dalam hal pembangunan dan penggunaan Base
Transceiver Station di Indonesia.
D.Metode Penelitian
Dalam setiap penulisan haruslah menggunakan metode penulisan yang sesuai
dengan bidang yang diteliti. Adapun penelitian yang digunakan oleh penulis dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Dengan demikian,
penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normative yang bersifat
deskriptif. Penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang menganalisis hukum
yang tertulis. Sedangkat bersifat deskriptif maksudnya penelitian tersebut kadang
kala dilakukan dengan melakukan suatu survey ke lapangan untuk mendapatkan
informasi yang dapat mendukung teori yang ada.
2. Sumber Data
a. Data Primer Data primer diperoleh langsung dari lapangan melalui wawancara
dengan informan yang berasal dari Badan Perencanaan Daerah dan Pekejaan Umum
Pemerintah Kota Tebing Tinggi dan pihak-pihak yang terkait dan memenuhi
karakteristik untuk mendapat data dan informasi mengenai masalah yang diteliti
guna mendukung data-data sekunder.
b. Data Sekunder Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder, yaitu:

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari:
a. Norma/kaidah dasar, yaitu: Pembukaan UUD 1945
b. Peraturan dasar:



Batang Tubuh UUD 1945
Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

c. Peraturan Perundang-undangan:







Undang-Undang dan peraturan yang setaraf,
Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf,
Keputusan Presiden dan keputusan yang setaraf,
Keputusan Menteri dan keputusan yang setaraf,
Peraturan-peraturan Daerah. d. Bahan Hukum yang tidak dikodifikasikan,
seperti Hukum Adat.
Yurisprudensi

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan Undang-Undang (RUU), hasilhasil penelitian, atau pendapat para pakar hukum.
3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus (hukum), ensiklopedia dan lian-lain.
3. Analisis Data
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara
perspektif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif
dilakukan dengan cara membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan
metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang
berhubungan dengan topik dalam skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang
sesuai dengan penelitian yang telah dirumuskan.

BAB II
PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBANGUNAN DAN PENGGUNAAN BASE
TRANSCEIVER STATION (BTS) DI KOTA TEBING TINGGI
A. Peran Pemerintah Kota Tebing Tinggi Dalam Pengaturan Penempatan Lokasi Base
Transceiver Station
Dalam industri telekomunikasi, salah satu topik yang mengemuka adalah mengenai
pembangunan sarana penunjang base transceiver station (BTS) atau lebih sering
disebut dengan menara telekomunikasi. Menjamurnya menara BTS membuat
gundah beberapa pemerintah daerah. Akibatnya, muncul wacana untuk mengelola
menara BTS sehingga bisa menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sesungguhnya, bukan hanya pemerintah daerah saja yang menganggap menara

BTS sebagai "ladang" baru demi menambah pendapatan, namun juga masyarakat.
Meski banyak pula masyarakat daerah terpencil yang mengirimkan pesan singkat
ke SMS Center BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) agar di wilayahnya
dibangun BTS, namun tidak dapat dipungkiri banyak juga penolakan warga atas
pembangunan tersebut yang bermuara pada besaran nilai kompensasi.
Hal yang menjadi kendala dalam pembangunan menara telekomunikasi adalah
masalah penataan kota. Bayangkan saja, dengan sekitar sepuluh operator
telekomunikasi yang sekarang ini giat membangun jaringan, maka yang terjadi
adalah hadirnya menara bak cendawan di musim hujan dan akan menjadikan kota
dan desa-desa sebagai "hutan tower (menara)." Dalam meningkatkan arus investasi
ke Indonesia berbagai upaya tersu dilakuakan oleh pemerintah. Upaya tersebut,
antara lain dengan pendelegasian kewenangan pegelolaan investasi kepada
Pemerintah Daerah (PEMDA).77Untuk itu pemerintah daerah wajib berperan untuk
menghindarkan terjadinya hutan tower (menara). Menurut Pasal 13 dan 14 Undangundang No.12 Tahun 2008 jo UU No.32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan Daerah,
yang menyatakan bahwasanya urusan yang menjadi kewenangan pemerintah
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dalam skala provinsi dan
kabupaten/kota meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang.
Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam penataan ruang terdapat dalam
ketentuan Pasal 11 ayat (1) sampai dengan ayat (6) Undang-Undang No.26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang:
1) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan
ruang meliputi :
a) Pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang
wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota;
b) Pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
c) Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan
d) Kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota.
2) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan penataan
ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi :
a) Perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota;
b) Pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota;
c) Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
3) Dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c pemerintah daerah kabupaten/kota
melaksanakan;
a) Penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;
b) Perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota;

c) Pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan
d) Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
4) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), pemerintah daerah kabupaten/kota mengacu kepada pedoman bidang
penataan ruang dan petunjuk pelaksanaannya.
5) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4), pemerintah daerah kabupaten/kota :
a) Menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan rencana umum dan rencana
rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota;
b) Melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
6) Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak dapat memenuhi standar
pelayanan minimal bidang penataan ruang, pemerintah daerah provinsi dapat
mengambil langkah menyelesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang
undangan.
Hal ini juga diperjelas dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Pada
Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan
pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan
pemeerintahan. Dan pada Pasal 2 ayat (4) point e PP tersebut telah memasukkan
penataan ruang sebagai salah satu bidang dalam urusan pemerintahan yang dibagi
bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Pemerintah Kota Tebing
Tinggi telah memiliki Rencana Induk Kota (RIK) sejak tahun 1995. kemudian
dikeluarkan Peraturan Daerah Nomor. 8 Tahun 1987 yang direvisi pada tahun 1993
dan diubah dengan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 1996 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota, dan disempurnakan pada tahun 1999 dengan alokasi ruang
sebesar 60 Hektar eks tanah PTPN III yang dikenal dengan Peraturan Daerah Kota
Tebing Tinggi Nomor 35 Tahun 1999 yang dipergunakan hingga saat ini.
Sebagaimana ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia No.02/PER/M.KOMINFO/3/2008 telah menyebutkan bahwa
Pemerintah Daerah harus menyusun pengaturan penempatan lokasi Menara sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berarti telah
mengharuskan pemerintah kota Tebing Tinggi untuk mengatur penempatan lokasi
BTS. Namun dalam realisasinya tidaklah seperti demikian.
Menurut M.Hafnil Fadly selaku staf pada Badan Perencanaan Pembangunan Kota
Tebing Tinggi menyebutkan bahwa pihak BAPEDA hanya mengeluarkan surat izin
prinsip yang dimintakan oleh Walikota Tebing Tinggi, sebab yang menentukan lokasi
pembangunan BTS adalah pihak operator. Untuk itu pihak Bapeda hanya
menentukan apakah BTS yang akan dibangun telah merusak tata ruang kota atau
tidak. Bila telah dilakukan survey di lapangan, dan BTS yang akan dibangun
tersebut tidak merusak tata ruang kota maka selanjutnya BAPEDA Kota Tebing

Tinggi akan mengeluarkan Surat Izin Prinsip dan selanjutnya Walikota akan
memberikan izin membangun kepada pihak pemohon. Jadi disisni pihak BAPEDA
hanya berperan dalam menentukan suatu BTS yang akan dibangun telah/belum
merusak tata runag kota Tebing Tinggi atau tidak sedangkan yang menentukan
lokasi pendirian BTS adalah pihak pemohon (Operator). Hal senada juga dilontarkan
oleh S.P.Utomo selaku staff Pada Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu. Ia
menyebutkan bahwa dalam peristiwa yang telah terjadi selama ini,pihak pemohon
(operator) yang menentukan lokasi pendirian BTS sedangkan Pemeintah Kota Tebing
Tinggi cq BAPEDA Kota Tebing Tinggi hanya mengeluarkan Surat yang menyatakan
bahwa BTS yang telah dibangun merusak Tata Ruang Kota atau tidak.Bila harus
demikian, sampai saat ini belum ada Staff Ahli di Kota Tebing Tinggi yang dapat
menentukan lokasi pembangunan BTS dan tentunya hal ini akan merepotkan
Pemerintah Kota Tebing Tinggi. Pernyataan yang telah diberikan oleh kedua orang
tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Bapak Dwi Joko Purwanto
selaku Asisten Manager User Relation and Calibration PT.TELKOM. Ia menyebutkan
bahwa pihak operatorlah yang menentukan lokasi Pembangunan BTS, sebab hal itu
harus sesuai dengan GPS (General Position System) atau titik-titik lokasi yang dapat
mengcakup banyak pelangan sehingga tidak terjadi black spot (daerah negative
sinyal). Bila salah sedikit dalam menentukan titik lokasi pendirian BTS, maka daerah
tersebut tidak dapat mencakup area yang ditentukan sehingga sinyal telepon
seluler menjadi tidak ada yang dapat mengakibatkan kehilangan banyak pelanggan
dan pastinya mengakibatkan kerugian pada pihak operator.
Jadi dapat terlihat jelas bahwa Pemerintah Kota Tebing Tinggi tidak memiliki peran
dalam pengaturan penempatan lokasi BTS, peran yang ada hanya menentukan
lokasi BTS yang akan dibangun telah merusak tata ruang kota Tebing Tinggi atau
tidak. Dengan demikian amanat dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia No.02/PER/M.KOMINFO/3/2008 tidak terealisasi.
Faktor utama dalam tidak terlaksananya hal tersebut bahwa tidak ada Peraturan
Daerah yang mengaturnya, Pemerintah Kota Tebing Tinggi tidak dapat mengambil
suatu kebijakan apabila tidak ada instruksi/Peraturan Daerah dari Provinsi Sumatera
Utara
B.Kepastian Hukum Mengenai Peran Pemerintah Daerah
Dalam melaksanakan suatu kebijakan di suatu pemerintah daerah misalnya kota
Tebing Tinggi tidaklah mudah seperti apa yang kita bayangkan. Walaupun Undangundang No.12 Tahun 2008 jo UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
telah memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan
kegiatan pemerintahannya sendiri, namun tetap saja dalam realisasinya harus
berkoordinasi dengan pemerintahan diatasnya. Inilah yang menjadi kendala bagi
pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan
pemerintahannya. Seperti dalam halnya pengaturan penempatan lokasi BTS yang
diamanatkan oleh Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia
No.02/PER/M.KOMINFO/3/2008 dimana pengaturan penempatan lokasi BTS yang
berhak menentukan adalah pemerintah daerah. Dalam hal ini, tidak dapat
dijalankan sama sekali oleh Pemerintah Kota Tebing Tinggi sebab belum ada
Peraturan Daerah yang mengaturnya. Kebijakan tersebut baru dapat terlaksana bila

telah dikeluarkannya suatu peraturan yang terkait dari Pemerintah Provinsi
Sumatera Utara. Begitu juga dalam kaitannya dengan penataan ruang, Pemerintah
Kota Tebing Tinggi tidak dapat membuat peraturan daerahnya sebelum Pemerintah
Provinsi Sumatera Utara telah meneyelesaikan Peraturan Daerah Tentang Penataan
Ruang, sebab Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang berhak menentukan Kota
Tebing Tinggi dijadikan kawasan apa dan setelah ditetapkan barulah Pemerintah
Kota Tebing Tinggi dapat membuat peraturan daerah tentang Penataan Ruang di
pemerintahannya. Begitu besar peranan dari Pemerintahan Pusat, ini dapat dilihat
dari dikeluarkannya Surat Edaran dari Walikota Kota Tebing Tinggi yang
mengharuskan pemberhentian pembangunan menara telekomunikasi setelah
dikeluarkannya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia
No.02/PER/M.KOMINFO/3/2008 yang mewajibkan penggunaan menara bersama.
Oleh sebab itulah Pemerintah Kota Tebing Tinggi cq Kantor Pelayanan Perijinan
Terpadu (KP2T) Kota Tebing Tinggi tidak memberikan izin urterhadap pembangunan
dan penggunaan menara BTS. Hal ini dilakukan karena dikhawatirkan akan
bertentangan dengan peraturan yang ada diatasnya. Keunggulan otonomi daerah
hanya terletak dari keleluasaan Pemerintah Kota Tebing Tinggi dalam melakukan
kebijakan daerah dan keluluasaan dalam APBN sebab daerahlah yang mengusulkan
jumlah biaya yang diperlukan dalam melakukan suatu kebijakan dan bukan
Pemerintah Pusat yang menentukan lagi. Selebihnya setiap kebijakan yang akan
dilakukan harus sesuai dengan Peraturan yang ada diatasnya.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa Peran Pemerintah Kota Tebing Tinggi tidak begitu
besar terutama dalam pembangunan dan penggunanaan menara BTS sebab belum
ada Peraturan Daerah yang mengaturnya. Peran yang ada hanya sebatas
pemberian izin.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan sebelumnya, dapat diperoleh
kesimpulan yang diantaranya : 1. Mengenai pengaturan penggunaan bersama
menara seluler (BTS) harus segera direalisasikan secepat mugkin agar tercapai
kepastian hukum dan tercipta keseragaman hukum di setiap daerah. Dengan
adanya pengaturan mengenai penggunaan bersama menara seluler, diharapkan
akan dapat menghemat dana dari pihak operator seluler dan terutama dapat
menghindarkan terjadinya “hutan tower” di berbagai daerah di Indonesia. Sebab
diyakini dengan adanya penggunaan bersama menara seluler dapat mengurangi
tingkat pencemaran keindahan tata kota sehingga tata ruang suatu kota dapat
dimanfaatkan seefisien mungkin.
2. Secara normative perananan Pemerintah Daerah telah diatur dalam PP No.38
tahun 2007, yang memisahkan secara tegas Urusan Pemerintahan, baik bagi
pemerintah (pusat), provinsi, maupun kabupaten/kota. Dalam realisasi di
Pemerintah Kota Tebing Tinggi, Pemerintah Kota Tebing Tinggi tidak dapat
mengambil kebijakan yang begitu besar sebelum pemerintahan yang ada diatasnya

(Pemerintah Provinsi Sumatera Utara) mengeluarkan Peraturan Daerah. Peranan
Pemerintah Kota Tebing Tinggi menjadi sangst kecil karena keterlambatan Kebijakan
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Pemerintah Provinsi
Sumatera Utara . Kewenagan yang dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi hanya
sebatas peraturan daerah yang ia miliki, sebab dalam melakukan suatu kebijakan
harus terlebih dahulu berkoordinasi dengan Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara
yang membuthkan waktu yang cukup lama. Hal ini dimkasudkan agar suatu
peraturan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dari padanya.
Peran yang ada pada Pemerintah Kota Tebing Tinggi dalam pembangunan dan
penggunaan BTS hanya sebatas dalam pemberian izin. Sedangkan peran dalam
pengaturan penempatan lokasi BTS tidak dapat terlaksana sebab belum ada
Peraturan Daerah yang mengaturnya.
3. Dalam penggunaan bersama menara seluler ini, diharapkan pemerintah daerah
setempat tidak mengambil alih keseluruhan pengaturan pembangunan menara
seluler (BTS) ini karena dikhawatirkan bahwa semakin susahnya birokrasi di
pemerintahan daerah setempat dalam hal pengadaan menara ini. Di satu sisi
pemerintah juga dikhawatirkan akan memonopoli pengaturan menara seluler
bersama ini sehingga secara serta merta memunculkan suatu ruang bagi para
pelaku usaha pembangunan menara untuk “berbuat curang” dalam proses tender
yang tentu saja diurusi langsung oleh pemerintah setempat. Untuk itu perlunya
kebijaksanaan dari pemerintah setempat untuk menyikapi fenomena tersebut.
4. Dalam pembangunan dan penggunaan BTS tentunya memberikan dampak bagi
pemilik lahan maupun masyarakat sekitar baik secara langsung maupun tidak
langsung, penulis membaginya kedalam dua kelompok dasar, yaitu :
a. Dampak Positif i) Bertambahnya pendapatan yang secara langsung dapat
dirasakan oleh pemilik lahan melalui perjanjian jual beli atau sewa menyewa lahan;
ii) Maksimalnya signal yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat pengguna
produk operator seluler. iii) Bertambahnya pendapatan asli daerah melalui retribusi
atas izin mendirikan bangunan dari pembangunan dan pengunaan menara seluler.
b. Dampak Negatif i) perasaan cemas oleh warga sekitar menara akibat
kemungkinan rusak atau rubuhnya menara yang dapat diakibatkan oleh konstruksi
bangunan yang tidak baik, ataupun dikarenakan “Force Majeur” misalnya
diakibatkan pleh kondisi alam seperti banjir, tanah longsor dam lainnya. ii) Ancaman
petir terhadap bangunan disekitar menara apabila konstruksi penangkal petir
menara tersebut tidak bekerja dengan baik.
5. Pembangunan dan Penggunaan menara seluler jangan tidak diperbolehkan,
sebab dapat memberikan keuntungan bagi pemerintah setempat maupun
masyarakatnya. Namun dalam pembangunannya harus dapat disesuaikan dengan
kondisi wilayah yang ada. Peningkatan perkembangan di bidang telekomunikasi
dapat mempermudah dalam memperoleh dan menyampiakna informasi sehingga
menghasilkan manusia yang tidak buta akan perkembangan zaman.
B. Saran

Berdasarkan uraian, dapat disimpulkan saran sebagai berikut :
1. Dengan semakin cepatnya perkembangan di bidang teknologi khususnya dalam
bidang teknologi informasi dan telekomunikasi, tentunya harus dipayungi dengan
ketentuan hukum yang bersifat dinamis. Dinamis disini berarti harus dapat
mengakomodir semua kemajuan teknologi di bidang telekomunikasi
tersebut.khususnya mengenai pengaturan di bidang teknologi menara seluler (BTS)
yang saat ini memerlukan pengaturan secara menyeluruuh. Pemerintah dalam hal
ini sebagai badan regulator harus mengeluarkan pengaturan hokum yang nantinya
tidak menjadi hambatan baggi setiap pelaku usaha di bidang telekomunikasi.
Dengan semakin banyaknya menara seluler bermunculan, pemerintah daerah
setempat harus dapat memberikan pengaturan yang maksimal agar sesuai dengan
estetika lingkungan dan hendaknya pengaturan tersebut tidak bersifat politis
semata.
2. Semakin tingginya permintaaan masyarakat dalam dunia pertelekomunikasian
khususnya terhadap telepon seluler telah mendorong pelaku usaha untuk
meningkatkan investasi dalam pembangunan menara seluler (BTS) yang diyakini
dapat meningkatkan pelanggan dan pastinya keuntungan yang luar biasa. Karena
itu pelaku usaha beramai-ramai membangun manara seluler, namun bila hal ini
dibiarkan tentunya akan merusak tata ruang suatu daerah. Untuk itulah pelaku
usaha harus dapat menyesuaikan pembangunan menara seluler dengan jumlah
wilayah dan jumlah penduduk suatu daerah, jangan hanya memikirkan keuntungan
saja. Atas dasar tersebut pemerintah daerah harus bijak dan jeli terhadap pelaku
usaha yang lebih mengutamakan keuntungan dari pada pemanfaatan. Sanksi yang
tegas harus dapat dilaksanakan bila ada menara seluler yang tidak emenuhi
persyaratan yang telah ditentukan.
3. Pengaturan penggunaan menara bersama harus jelas, ketentuan-ketentuan yang
dimaksudkan oleh pemerintah jangan sampai menimbulkan penafsiran yang
ambigu oleh pelaku usaha maupun pemerintah daerah. Peraturan tersebut juga
harus dapat menjelakan bagaimana system penggunaan menara bersama, kepada
siapa penyewa harus menyewa, dan berapa jangka waktu serta jumalah operator
yang dapat menyewa dalam sebuah menara bersama.
4. Pemerintah Pusat juga harus cepat dan tanggas dalam mengeluarkan regulasi
bagi pemerintahan yang ada dibawahnya. Jangan sampai peraturan daerah
dikeluarkan setelah suatu masalah muncul.Sebuah Pemerintah Daerah tidak dapat
melakukan peran yang besar sebelum keluar Peraturan Daerah dari Pemerintah
yang ada diastasnya. Dan hendaknya pemerintah telah dapat meramalkan suatu
kondisi yang akan terjadi di kedepan hari sehingga tidak terjadi permaslahan
hokum.
5. Menara bersama bukan mengambil kewenangan, apalagi mengurangi hak
kabupaten atau kota, melainkan untuk efektivitas pengawasan, efisiensi
penggunaan lahan secara lintas wilayah dan peningkatan PAD. Para operator tidak
fokus pada pelayanan di wilayah yang menguntungkan secara bisnis semata,
namun juga mengembangkan misi sosial telekomunikasi dengan membuka akses
daerah yang selama ini belum terjangkau jaringan.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdi, Zainal. Industri Telekomunikasi : Lokomotif Pertumbuhan Ekonomi dan
Kemajuan Bangsa. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 2006. Amiruddin, dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003. Burton, Richard. Aspek Hukum Dalam
Bisnis. Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2007. Effendy, Onong Uchjana. Radio Siaran, Teori
dan Praktik. Bandung : Mandar Maju, 1990. Kerlinger, Ferd. N. Asas-asas Penelitian
Behavioral, Cetakan Kelima, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996.
Judhariksawan. Pengantar Hukum Telekomunikasi. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,
2005. Kaloh, J. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Jakarta : PT.Rineka Cipta, 2007.
Komar, Mieke. Hukum Angkasa dan Hukum Tata Ruang. Bandung : Mandar Maju,
1994. Nurcholis, Hanif. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta:
PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007. Laporan Pengawasan Pemanfaatan
Ruang Kota Tebing Tinggi Tahun 2007, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kota Tebing Tinggi, Tahun 2007. Nurudin. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta :
PT.RajaGrafindo Persada, 2004.
B. Makalah
Lubis,Azhar. “Kebijakan Penanaman Modal Dalam Rangka MenciptakanIklim
Investasi yang Kondusif.” Makalah pada Diskusi Publik Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Medan, 11 April 2008. Natasya,Ningrum. ”Persaingan Usaha
Industri Telekomunikasi.” Makalah pada Diskusi Publik Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Medan, 11 April 2008.
C. Internet
Darmawan, Komang.” Sejarah Telekomunikasi Dunia dan Indonesia” Dawarja,
Agustinus. “Resume Singkat dari Beberapa Peraturan PerundangUndangan di
Indonesia Tentang Telekomunikasi”. Dirjenpostel. ”Penyelenggaraan Telekomunikasi
di Indonesia”. Haryanto, Putra. “Perkembangan Telekomunikasi di Indonesia”.
Mahimza, Febry dkk.” BTS, Mengatur Barisan”.Mathari, Rusdi. ” [ekonomi-nasional]
Kepentingan Bisnis di Menara BTS “.
E. Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia
Undang-Undang Tentang Telekomunikasi, Undang-Undang No.36 Tahun 1999,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154. Republik Indonesia,
Undang-Undang Tentang Otonomi Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125. Republik Indonesia,
Undang-Undang Tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 4725. Republik Indonesia,
Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Repulik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59. Republik
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Telekomunikasi Untuk Umum, Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 1974. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah

Tentang Pemisahan Kedua Peruntukan Jasa Telekomunikasi, Peraturan Pemerintah
Nomor 53 Tahun 1980. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang
Penyelenggaraan Telekomunikasi, Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 3980. Republik Indonesia,
Peraturan Pemerintah Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten / Kota ,
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika
No.02/PER/M.KOMINFO/3/2/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan
Menara Bersama Telekomunikasi. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II
Tebing Tinggi Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, Nomor 24 Tahun 1998,
Lembaran Daerah Kotamadya Tingkat II Tebing Tinggi Nomor 16 Tahun 1999 Seri*B
Nomor 16. Peraturan Daerah Kota Tebing Tinggi No.35 Tahun 1999 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat-II Nomor 15 Tahun
1996 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kotamadya Tebing tinggi Tahun 2008,
Lembaran Daerah Kota Tebing Tinggi Tahun 2000 Nomor 1 Seri C Nomor 1. Surat
Edaran Walikota Tebing Tinggi, Nomor 355/250/Pemer Tanggal 18 Maret 2008.