K bab 30 peningkatan kualitas kehidupan beragama

B AB 30 P ENINGKATAN K UALITAS K EHIDUPAN B ERAGAMA

A. K

ONDISI U MUM Kualitas kehidupan beragama di kalangan masyarakat tampak berbeda-beda. Di satu pihak, ada sekelompok masyarakat yang memiliki semangat kuat untuk meningkatkan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama. Namun di pihak lain, kehidupan beragama pada sebagian masyarakat justru baru mencapai tataran simbol-simbol keagamaan dan belum pada penghayatan dan pengamalan ajaran agama. Indikasi yang menggambarkan fenomena ini antara lain: gejala negatif seperti perilaku asusila, praktik KKN, penyalahgunaan narkoba, pornografi, pornoaksi, perjudian dan berbagai perilaku melanggar nilai-nilai agama. Keluarga sebagai basis pembinaan masyarakat juga belum berperan secara optimal, karena lembaga ini belum kuat seperti bisa diamati dalam kasus-kasus perceraian yang masih tinggi dan kehidupan keluarga yang tidak harmonis. Kondisi demikian memperlihatkan ada kesenjangan antara ajaran agama dengan pemahaman dan pengamalannya. Untuk itu, peran tempat-tempat peribadatan dan kitab-kitab suci harus dimaksimalkan sebagai laboratorium bagi pengembangan kegiatan-kegiatan keagamaan serta pendalaman dan pemahaman ajaran agama. Upaya peningkatan mutu pendidikan agama dan pendidikan keagamaan telah dilakukan melalui penyediaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan serta pelatihan bagi pendidik bidang agama dan keagamaan dengan memberi tambahan muatan materi wawasan multikulturalisme. Peningkatan mutu dimaksud juga dilakukan dengan pemberian bantuan beasiswa bagi pendidik bidang agama yang mengikuti program pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendidikan agama dan pendidikan keagamaan belum sepenuhnya berjalan efektif. Hal tersebut, antara lain disebabkan oleh: i kurikulum pendidikan agama lebih menekankan aspek kognitif dan kurang memperhatikan aspek pengamalan ajaran agama dalam pembentukan akhlak dan karakter; ii jumlah pendidik dan tenaga kependidikan lainnya yang bermutu belum mencukupi; iii sarana dan prasarana yang terbatas; dan iv fasilitas pendukung lainnya yang tidak memadai. Pada sisi lain, arus globalisasi terutama melalui media cetak dan elektronik sangat deras masuk ke dalam lingkungan keluarga dan masyarakat sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi peserta didik dan prilaku sosial yang tidak sejalan dengan ajaran-ajaran agama. Dalam hal ini, peran pendidikan agama dan pendidikan keagamaan menjadi sangat penting guna membentengi peserta didik dari berbagai dampak negatif globalisasi. Upaya meningkatkan mutu pelayanan kehidupan beragama telah dilakukan melalui pembangunan sarana keagamaan berupa rumah ibadah terutama di daerah terkena bencana, kantor KUA di daerah pemekaran, dan diberikan pula bantuan rehabilitasi bagi sarana keagamaan yang mengalami rusak ringan. Mutu pelayanan manajemen ibadah haji pun relatif membaik dengan menerapkan sistem daftar tunggu waiting list guna menjamin kepastian keberangkatan jamaah calon haji. Perbaikan pelayanan yang lain adalah penerbangan langsung Jakarta-Madinah sebelumnya melalui Jeddah, sehingga lebih efisien dan mengurangi beban fisik dan psikologis para jamaah haji. Selain itu, mereka juga disediakan makan gratis selama sembilan hari ketika bermukim di Madinah. Meskipun demikian, pelayanan kehidupan beragama tetap memerlukan perbaikan dengan menekankan pada: i penyediaan sarana dan prasarana ibadah, ii peningkatan pemanfaatan tempat peribadatan, dan iii optimalisasi pengelolaan dana sosial keagamaan. Manajemen pelayanan ibadah haji perlu terus ditingkatkan mulai dari pendaftaran sampai pelaksanaan ibadah di Arab Saudi dengan menekankan pada: i kepastian berangkat bagi jamaah calon haji, ii perbaikan kondisi pemondokan, iii penyediaan fasilitas pelayanan pendukung di Arab Saudi, iv peningkatan pemahaman tentang pelaksanaan ibadah haji, dan v peningkatan kompetensi petugas haji dan pemahaman dan penghayatan manasik haji yang lebih komprehensif. Upaya pemberdayaan lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan agama dan keagamaan telah dilakukan antara lain melalui pelatihan manajemen pengelola lembaga dan bantuan operasional untuk mendukung kegiatan lembaga. Peran sosial- kemasyarakatan lembaga-lembaga tersebut cukup efektif, terutama dalam konteks membangun relasi yang harmonis antarkelompok masyarakat. Namun, pada sebagian kelompok masyarakat dijumpai pola kehidupan beragama yang eksklusif, sehingga berpotensi mengganggu hubungan sosial baik intern umat beragama maupun antarumat beragama. Untuk itu, lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan agama dan keagamaan perlu memberi perhatian serius, dengan cara melakukan mediasi agar interaksi sosial di kalangan kelompok masyarakat beragama tetap terjaga dengan baik. Peran lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan agama dan keagamaan sebagai agen perubahan sosial perlu makin ditingkatkan. Peran tersebut terutama dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberi kesempatan memperoleh pendidikan bagi warga masyarakat yang kurang mampu terutama di daerah perdesaan. Upaya memantapkan kerukunan umat beragama telah dilakukan berbagai pertemuan, dialog, dan kerjasama antarpemuka agama sebagai langkah antisipasi dini dan upaya pencegahan munculnya potensi konflik. Selain itu, telah pula dikembangkan pendidikan multikultural guna memberi wawasan pluralisme sosial dan penghargaan pada keberagaman. Namun demikian, seringkali muncul ketegangan sosial yang melahirkan konflik intern dan antarumat beragama telah menjadi kendala mewujudkan kehidupan yang harmonis di dalam masyarakat. Kesenjangan sosial dan ketidakadilan ekonomi merupakan pemicu utama konflik dan menjadi semakin parah ketika pihak-pihak yang bertikai memanfaatkan sentimen agama. Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah dan penegakan hukum yang lemah memberi kontribusi terhadap intensitas konflik. Konflik sosial tidak pernah mencuat menjadi kasus besar dan dalam skala luas seperti sekarang ini. Sebab, dalam tatanan kehidupan masyarakat terdapat berbagai kearifan lokal dan adat-istiadat, yang berfungsi sebagai wadah komunikasi dan konsultasi dan mekanisme penyelesaian konflik. Wadah tersebut bersifat lintas wilayah, agama, dan suku bangsa. II.30 – 2

B. S