KERAGAMAN GENETIK RAJUNGAN Portunus pela

(1)

MAKALAH MATA KULIAH : SUKSESI DAN ADAPTASI IKAN (MSP 733)

KERAGAMAN GENETIK RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DAN PERUBAHAN IKLIM

DOSEN PENGAMPU : PROF. DR. IR. KADARWAN SOEWARDI

OLEH ABDUL HAMID

C 261110021

PROGRAM STUDI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(2)

1 PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan

Rajungan (Portunus pelagicus) ditemukan mulai dari perairan beriklim tropis sampai beriklim sedang, dan hidup di perairan pantai atau estruari yang dangkal sampai kedalaman 50 meter (de Lestang et al., 2003; Dixon, 2011). Rajungan merupakan komoditas perikanan bernilai ekonomi tinggi dan pada beberapa lokasi telah dilakukan penangkapan secara intensif. Penangkapan rajungan yang intesnif berpotensi menimbulkan degradasi populasi rajungan di alam dan juga berpotensi terjadi perubahan keragaman genetiknya. Disamping itu, perubahan iklim yang terjadi saat ini juga menjadi ancaman bagi keberadaan rajungan.

Keragaman genetik merupakan hirarki terendah dalam tingkatan keragaman hayati dan memiliki pengertian keragaman struktural dan fungsional dari kehidupan mulai pada tingkat komunitas dan ekosistem sampai tingkat spesies dan genetik (Soewardi, 2007). Keragaman genetik memiliki peranan yang penting dalam menentuan keberadaan sumberdaya biota air, dimana semakin tinggi keragaman genetiknya maka semakin tahan populasinya untuk hidup dalam jangka yang lama dan mampu beradaptasi lebih tinggi terhadap perubahan kondisi yang lebih besar, dan sangat berperan dalam memelihara keberlanjutan dan meningkatkan produktivitas suatu spesies (Soewardi, 2007).

Beberapa metode telah digunakan untuk menentukan keragaman genetik rajungan, yaitu metode allozyme (Bryars dan Adams, 1999), restriction fragment length polymorphism (RFLP, Moria et al., 2005), amplified fragment length polymorphism (AFLP, Klinbunga et al., 2007), random amplified polymorfic DNA (RAPD, Klibunga, et al., 2010), citokrom oksidase I (COI) gen dalam DNA mitokondria (Sezmir, 2004; Lai et al., 2010), dan mikrosatelit loci (Sezmir, 2004) serta menggunkan Polymerase Chain Reaction (PCR) (Sukoso, 2008). Metode RAPD, AFLP dan SSR telah terbukti kuat sebagai alat untuk mendeteksi fragmentasi populasi rajungan (Guo et al., 2012).

Keragaman genetik populasi rajungan dari beberapa penelitian menujukkan variasi antar lokasi geografi (Sizmer, 2004; Moria et al., 2005; Klimbunga et al., 2007, 2010; Lai et al., 2010). Jangkuan ekspansi dan aliran gen rajungan di perairan Australia keduanya


(3)

saling berhubungan, dan keduanya mengalami hambatan geografi (Sezmis, 2004). Adanya keragamaan genetik rajungan di perairan Australia lebih dominan dipengaruhi oleh faktor sejarah demografi dan kontemporer terjadi di perairan ini, seperti peningkatan suhu dan muka air akibat perubahan iklim yang berlangsung pada pertengahan sampai akhir peroide halocen (Sezmis, 2004). Perubahan keragaman genetik pada rajungan juga terkait dengan jarak geografi antar populasi rajungan (Guo et al., 2012).

Perubahan iklim dapat mengakibatkan perubahan berbagai aspek kondisi lingkungan perairan laut, antara lain peningkatan suhu air laut, pengasaman laut, perubahan sirkulasi massa air laut, habitat, ketersediaan makanan, dan penyakit pada biota (Hobday et al., 2008; Caputi et al., 2010). Peningkatan suhu air laut akibat perubahan iklim dalam jangka pendek dapat mempengaruhi sistem biologi melalui perubahan fenologi dan fisiologi, jangkauan dan distribusi, komposisi dan interaksi dalam komunitas, serta struktur dan dinamika komunitas biota air laut (Walther et al., 2002 dalam Hobday et al., 2008). Siklus reproduksi, rekrutmen dan migrasi rajungan dipengaruhi suhu air (de Lestang et al., 2003; Caputi et al., 2010).

Penelitian fisiologis dan biogeografi terakhir dalam sistem kelautan juga melibatkan suhu sebagai pengendali utama dalam rentang spesies, dan proses evolusi jelas secara substansial dapat mempengaruhi pola dan tingkat respon terhadap perubahan iklim (Parmesan, 2006). Secara teoritis, evolusi juga dapat mendorong berbagai pergeseran dalam ketiadaan perubahan lingkungan (Holt, 2003 dalam Parmesan, 2006). Dan adaptasi mikro evolusi dapat berlangsung secara cepat pada populasi biota air di alam, namun hal ini masih kurang didukung oleh bukti empiris adanya perubahan genetik pada biota air termasuk rajungan dalam menanggapi kenaikan suhu akibat perubahan iklim sehingga tidak jelas apakah perubahan iklim dalam singkat dapat menyebabkan perubahan fenotipik terkait dengan genetik atau akibat perubahan fenotipik plastisitas (Kovach et al., 2012).

Rajungan yang mempunyai keragaman genetik tinggi dapat beradaptasi secara maksimal terhadap perubahan iklim karena memiliki toleransi yang lebih luas terhadap perubahan lingkungan air yang diakibatkan perubahan iklim (Guo et al., 2012; Hosseini et al. ,2011; Pullin dan White, 2011). Dan perlu dipahami bagaimana ekspresi gen rajungan yang berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan air, misalnya suhu dan salinitas.


(4)

Metode mikro array salah satu pendekatan untuk memahami ekspresi gen rajungan berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan air tersebut (Pullin dan White, 2011; Xu dan Liu, 2011 ).

Informasi keragaman genetik dapat digunakan sebagai dasar menyusun strategi dalam pengelolaan sumberdaya rajungan. Hasil kajian keragaman genetik secara potensial dapat digunakan dalam beberapa hal yang terkait dengan pengelolaan biota air termasuk rajungan, yaitu seperti mengidentifikasi spesies, mendikskripsikan struktur stok, jalur migrasi, adanya hibridisasi, penghanyutan gen, pemahaman silang dalam (inbreeding), dan dampak negatif penangkapan dan akuakultur terhadap genetika populasi (Soewardi, 2007; Sukoso, 2008). Namun, kajian keragaman genetik rajungan di Indonesia sampai saat ini masih terbatas. Informasi keragaman genetik telah digunakan dalam merevisi spesies rajungan (Portunus pelagucus, Lai et al., 2010).

Dalam pengelolaan rajungan seharusnya perlu dipertimbangkan aspek keragaman genetik dan dampak potensial perubahan iklim. Oleh karena itu, dalam makalah ini dibahas peranan informasi keragaman genetik dalam pengelolaan stok alami rajungan demikian juga dalam pengelolaan rajungan berbasis budidaya yang adaptif terhadap perubahan iklim. 1.2 Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk pembahas (1) keragaman genetik rajungan berdasarkan sebaran geografi, (2) kaitan keragaman genetik dengan perubahan iklim, (3) ekspesi gen rajungan akibat perubahan lingkungan perairan, dan (4) peranan kajian keragaman genetik dalam pengelolaan rajungan stok alami dan berbasis budidaya adaptif terhadap perubahan iklim. Diharapkan substansi yang dibahas dalam makalah ini dapat memberikan informasi dan pemahaman tentang keragaman genetik rajungan kaitannya dengan sebaran geografi dan perubahan iklim serta peranan kajian keragaman genetik dalam pengelolaan rajungan.

2 KERAGAMAN GENETIK RAJUNGAN 2.1 Keragaman Genetik Rajungan Berdasarkan Sebaran Geografi

Hasil penelitian Moria et al. (2005) terhadap beberapa induk rajungan berasal dari perairan Cilacap, Situbondo, Jembrana, dan Pulau Saugi (Sulawesi Selatan) menggunakan metode RFLP mitochondria DNA (mt-DNA) dengan enzim restriksi Sau3A1 (GATC), Dra1


(5)

(GCG’C), Hinc1(CATG’) dan Ase1 (AG’CT), dan amlifikasi PCR dengan primer universal menghasilkan pita tunggal dengan berat molekul sebesar 450 bp. Variasi genetik rajungan tertinggi ditemukan pada populasi dari perairan Cilacap, yaitu sebesar 0,14 (Tabel 1) dan populasi rajungan dari perairan Jembrana dan Situbondo mempunyai jarak genetik terdekat, 0,0013 sedangkan dari perairan Pulau Saugi mempunyai jarak genetik terjauh, 0,002 (Moria et al., 2005).

Tabel 1. Keragaman genetik, heterozygositas (Ho) dan jamlah alel dalam 22 lokus pada rajungan berdasarkan lokasi geografi

Paramater Jembarana Situmbondo Cilacap Pulau Saugi

Jumlah contoh (n) 90 66 40 109

Jumlah lokus 22 21 22 21

Jumlah lokus polimorfik 2 2 3 2

% lokus polimorfik 0,09 0,09 0,14 0,09

Jumlah alel per lokus 1,18 1,09 1,18 1,09

Heterosigositas:

Teramati (Ho) 0,004 0,001 0,004 0,001

Harapan (He) 0,004 0,003 0,004 0,002

Ho/He 1 0,333 1 0,5

Sumber : Moria et al., (2005) Ho : rataan heterosigositas teramati sebanyak 22 lokus He : rataan heterosigositas yang diharapkan

Keragaman genetik yang ditemukan pada keempat lokasi perairan Indonesia tersebut, khususnya jumlah lokus polimorfik lebih rendah dibandingkan dengan ditemukan di perairan Thailand (Klimnbunga et al., 2007). Adanya perbedaan yang ditemukan pada kedua penelitian tersebut diduga diantaranya disebabkan perbedaan menggunaan metode penentuan keragaman genetik, disamping faktor lainnya, seperti perbedaan kondisi ekologi dari kedua perairan tersebut.

Keragaman genetik rajungan di perairan Thailand dengan metode AFLP dan empat kombinasi primer (PACC/MCAA, PAGT/MCAA, PAGT/MCAC, dan PATC/MCAA) menampilkan 227 pita amplifikasi, dengan berat molekul berkisar 100-600 bp (Gambar 1, Klinbunga et al., 2007). Sebaliknya dengan metode RAPD ditemukan ada lima kombinasi primer (UBC122, UBC158, OPA02, OPA14, OPB10) dan menampilkan 117 band dan 107 (95,5%)adalah pita polimorfik (Gambar 2, Klinbunga et al., 2010).


(6)

Jarak genetik antara pasangan contoh geografis masing-masing adalah 0,1097- 0,3786 untuk PACC/MCAA, 0,0655-0,2577 PAGT/MCAA, 0,1218-0,3086 PAGT/MCAC, dan 0,0180-0,2616 PATC/MCAA. Rataan jarak genetik antara sampel pada semua kombinasi primer dengan metode AFLP berkisar 0,1151-0,2440 (Tabel 2). Heterogenitas geografis yang signifikan ditemukan pada semua perbandingan sampel yang dianslisis berpasangan (P<0,0001), kecuali PATC/MCAA Chanthaburi dan Prachuap Khiri Khan (P=0,6812) tidak terjadi perbedaan genetik yang signifikan. Data gabungan dari semua kombinasi primer terjadi perbedaan genetik dari semua yang diperbandingkan (P<0,0001 untuk uji ketepatan dan P<0,01 untuk Fst berbasis statistik) dan tingkat aliran gen antara pasangan sampel geografis rajungan di perairan Thailand kurang dari satu migran per generasi menunjukkan tingkat aliran gen rajungan yang ketat (Klinbunga et al., 2007). Sebaliknya, struktur genetik rajungan di perairan Australia sangat dinamis yang berlangsung selama skala waktu evolusi dan ini juga seperti terjadi pada ikan yang hidup di perairan pesisir (Sezmis, 2004).

Tabel 2. Jarak Genetik Rajungan antar pasangan lokasi geografi di Perairan Thailand berdasarkan metode AFLP

CHN SUT PKK RNG KRB

CHN - 0,8889 0,7963 0,8611 0,8087

SUT 0,1177 - 0,8290 0,8913 0,8883

PKK 0,2278 0,1876 - 0,7898 0,7834

RNG 0,1495 0,1151 0,2360 - 0,8890

KRB 0,2123 0,1184 0,2440 0,1176

-Sumber : Klinbunga et al. (2007)

Keterangan: CHN, Chanthaburi, PKK, Prachuap Khiri Khan, SUT, Suratthani terletak di Teluk Thailand (timur), RNG, Ranong, dan KRB, Krabi terletak di Laut Andaman (barat) Diagonal Atas: rataan identitas genetik. Diagonal Bawah: jarak genetik Nei (1978)

Keragaman genetik rajungan di perairan Thailand tinggi ditemukann pada semua lokasi geografis untuk kedua metode (Tabel 3). Pita polimorfik pada semua primer AFLP ditemukan pada setiap sampel, namun antar lokasi geogragfis menunjukkan perbedaan. Sampel rajungan dari laut Andaman (94,38% di Krabi dan Ranong 90,20%) lebih besar daripada sampel rajungan di Teluk Thailand (73,24 di Chanthaburi dan 66,19% Prachuap


(7)

Khiri Khan), dan rajungan dari Suratthani memiliki Pita polimorfik lebih tinggi (93,84%) daripada dua lokasi lainnya di Teluk Thailannd (Klinbunga et al., 2007).

Gambar 1. Contoh pola pita rajungan dengan metode AFLP dari beberapa lokasi di perairan Thailand (Sumber : Klinbunga et al., 2007)

Keterangan: Ranong (jalur 1), Suratthani (jalur 2), Krabi (jalur 3), Prachuap Khiri Khan (jalur 4), dan Chanthaburi (jalur 5-18) diperkuat oleh PAGT/ MCAC ukuran fraksionasi melalui gel poliakrilamid 6% denaturing. Jalur M dan m adalah 100 dan 50 bp sebagai penanda DNA. Panah menunjukkan fragmen calon AFLP spesies-spesifik (ditemukan pada sedikitnya 95% dari semua spesimen diteliti) rajungan

Demikian juga, analisis heterogenitas geografis rajungan di perairan Thailand berdasarkan metode RAPD setiap primer menunjukkan signifikan genetik heterogenitas diantara 43 dari 50 perbandingan yang dilakukan, setelah itu penyesuaian berurutan Bonferroni (P<0,01) (Klinbunga et al., 2010). Data gabungan dikonfirmasi tingkat skala halus subdivisi populasi antara semua perbandingan pasangan dari rajungan hasil analisis


(8)

dengan metode AFLP (P <0,0001 untuk tes yang tepat dan P <0,01 untuk q) (Klinbunga et al., 2010). Bootstrapping rendah pada interval kepercayaan 95% semua contoh rajungan dan pasangan sampel geografis lokus keseluruhan juga jauh lebih besar dari nol (0,2227 dan 0,1226-0,3023) dan hal ini lebih menegaskan bahwa telah terjadi diferensiasi genetik rajungan antar lokasi geografi di perairan Thailand (Klinbunga et al., 2010).

Gambar 2. Contoh pola pita rajungan dengan metode RAPD dari beberapa lokasi di perairan Thailand (Sumber : Klinbunga et al., 2010)

Keterangan: Chanthaburi (jalur 1-2, AE), Ranong (jalur 3-4, AE), Suratthani (jalur 5-6, AE), Krabi (jalur 7-8, AE), dan Prachuap Khiri Khan (jalur 9-11, AC dan jalur 9, DE) yang dihasilkan oleh OPA02 (A), OPA14 (B), OPB10 (C), UBC122 (D), UBC158 (E). M = 100-bp DNA. Panah menunjukkan kandidat fragmen RAPD spesies-spesifik rajungan

Tabel 3. Keragaman genetik rajunganberdasarkan metode AFLP dan RAPD dari beberapa lokasigeografi di Perairan Thailand


(9)

∑ Pita ∑ Pita polimorfik ∑ Pita monomorfik

AFLP RAPD AFLP RAPD AFLP RAPD AFLP RAPD

1. Chanthaburi (N=12) (N=23)

PAAC/MCAA UBC122 26 21 12 18 14 3

PAGT/MCAA UBC158 44 23 41 19 3 4

PAGT/MCAC OPA02 23 23 4 19 19 4

ATC/MCAA OPA14 49 22 47 19 2 3

OPB10 - 18 - 16 - 2

Total AFLP 142 104 (73,24%) 38 (26,76%)

Total RAPD 107 91 (85,0%) 16 (15,0%)

2. Ranong (N =14) (N=23)

PAAC/MCAA UBC122 27 22 19 17 8 5

PAGT/MCAA UBC158 47 24 46 15 1 9

PAGT/MCAC OPA02 32 25 26 23 6 2

ATC/MCAA OPA14 47 22 47 21 0 1

OPB10 17 15 2

Total AFLP 153 138 (90,20%) 15 (9,80%)

Total RAPD 110 91 (82,7% 19 (17,3%)

3. Suratthani (N=16) (N=21)

PAAC/MCAA UBC122 29 21 25 17 4 4

PAGT/MCAA UBC158 36 24 35 14 1 10

PAGT/MCAC OPA02 33 24 30 21 3 3

ATC/MCAA OPA14 48 22 47 13 1 9

OPB10 19 15 4

Total AFLP 146 137 (93,84%) 9 (6,16%)

Total RAPD 110 80 (72,7%) 30 (27,3%) 4. Krabi (N=14) (N=22)

PAAC/MCAA UBC122 27 19 26 14 1 5

PAGT/MCAA UBC158 46 22 44 17 2 5

PAGT/MCAC OPA02 36 24 36 22 0 2

ATC/MCAA OPA14 51 16 45 12 6 4

OPB10 19 17 2

Total AFLP 160 151 (94,38%) 9 (5,62%)

Total RAPD 100 82 (82,0%) 18 (18,0%) 5. Prachuap Khiri Khan (N=16) (N=20)

PAAC/MCAA UBC122 24 19 12 16 12 3

PAGT/MCAA UBC158 44 20 33 18 11 2

PAGT/MCAC OPA02 33 23 19 19 14 4

ATC/MCAA OPA14 38 13 28 9 10 4

OPB10 16 14 2

Total AFLP 139 92 (66,19%) 47 (33,81%)

Total RAPD 91 76 (83,5%) 15 (16,5%) Sumber : Klinbunga et al. (2007, 2010)

Keragaman genetik rajungan di periran Thailand seperti dijelaskan di atas lebih tinggi daripada kepiting pasir (Ovalipes punctatus ) di Cina Timur dan Laut Kuning (Yu


(10)

et al., 2010 ) keduanya menggunakan metode AFLP. Dari 196 lokus kepiting pasir yang terdeteksi oleh empat kombinasi primer hanya 117 (59,69%) merupakan polimorfik, serta dilihat dan proporsi lokus polimorfik dan jarak genetik Nei untuk lima populasi masing-masing berkisar dari 23,15 - 53,49 %, dan 0,0029 - 0,0138 (Yu et al., 2010).

Adanya variasi genetik seperti ditemukan pada beberapa lokasi di perairan Indonesia dan Thailand seperti dijelaskan sebelum diantaranya berkaitan dengan jarak geografi antar lokasi. Hasil penelitian yang baru dilakukan Guo et al. (2012) pada delapan (8) populasi rajungan (P. trituberculatus) di pantai China dengan uji mantel menunjukkan antara jarak geografis dan genetik jarak rajungan korelasi positif yang signifikan (r = 0,8234, P < 0,0153; Gambar 3). Berarti secara konsisten bahwa semakin dekat jarak geografi maka semakin dekat hubungan genetik rajungan (Feng et al., 2008 dalam Guo et al., 2012).

Jarak Geografi (km)

Gambar 3. Hubungan isolasi menurut jarak geografi (km) dan jarak genetik (FST) populasi rajungan P. trituberculatus (Sumber : Guo et al., 2012)

Keterangan : Dihasilkan dari uji Mantel (10.000 permutasi) pada delapan populasi P. trituberculatus dan FST sebagai jarak genetik (r = 0,8234, P < 0,0153) Faktor lain adanya keragaman genetik adalah faktor ekologi dan demografi meliputi ukuran populasi, waktu generasi, perilaku reproduksi dan pola migrasi antar habitat yang cocok dapat mempengaruhi distribusi variasi genetik dalam dan di antara populasi (Bay, 2005). Seleksi alam mungkin frekuensi alel bentuk dalam menanggapi kondisi lokal dan pergeseran genetik mungkin kuat evolusi berlaku pada populasi terisolasi (Slatkin, 1985 dalam Bay, 2005). Faktor variasi genetik tersebut pada tingkat mutasi dan rekombinasi


(11)

lebih lanjut dapat mempengaruhi komposisi genetik populasi. Pemahaman tentang proses yang bertanggung jawab atas struktur genetik populasi sehingga memerlukan rincian apresiasi bagaimana faktor-faktor berinteraksi, dan bagaimana mereka bervariasi secara spasial dan temporal (Bay, 2005). Selanjutnya dikatakan bahwa struktur genetik populasi dari banyak spesies dipengaruhi oleh isolasi sejarah, kemacetan genetik dan terkait dengan kolonisasi habitat baru. Hadirnya pola variasi genetik dalam dan di antara banyak populasi biota air mungkin disebabkan oleh hasil dari interaksi yang kompleks antara faktor sejarah hidup dan peristiwa yang terjadi saat ini (Grant dan Bowen 1998; Benzie 1999 dalam Bay, 2005).

Hasil penelitian Sezmis (2004) di perairan Australia menemukan adanya variasi pola pada enam lokus mikrosatelit dan dalam sub unit citokrom oksidase I (COI) gen dalam DNA mitokondria dengan berat molekul 342 bp untuk sampel rajungan yang berasal dari 16 lokasi perairan berbeda geografi di Australia, yaitu pantai barat, pantai timur, pantai utara, dan pantai selatan Australia. Sebelumnya dilaporkan bahwa struktur genetik populasi rajungan di perairan Australia dengan analisis allozyme ditemukan tujuh lokus polimorfik (Bryars dan Adams, 1999).

Berdasarkan penilaian tradisional struktur genetik populasi menunjukkan bahwa rajungan di perairan Australia memiliki heterogenitas genetik yang besar (misalnya FST untuk data mikrosatelit = 0,098; [theta- ] ST untuk data COI = 0,375 dan [phi-ρ] ST untukɵ COI Data = 0,492) (Sezmis, 2004). Selanjutnya Sezmis (2004) melaporkan bahwa rajungan menampilkan berbagai tingkat heterogenitas genetik dalam dan di antara wilayah geografis di perairan Australia, yaitu sebagai berikut :

(1) Susunan genetik dari sampel dari garis pantai yang berbeda (yaitu utara, selatan, timur dan barat) selalu menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik untuk setidaknya dua lokus mikrosatelit, meskipun perbedaan antara sampel dari pesisir timur, Darwin dan individu-individu dari pesisir barat ke utara dari Port Denison tidak sama besar dengan individu-individu pada sampel pesisir barat atau pada sampel Australia Selatan,

(2) Komposisi genetik dari sampel dari kumpulan populasi di pesisir timur Australia, yang berkisar dari Mackay ke Port Stephens, pada dasarnya homogen,


(12)

(3) Sampel dari kumpulan populasi rajungan di pesisir barat Australia, yaitu mulai dari Broome ke Teluk Geographe, menunjukkan tingkat heterogenitas genetik yang signifikan. Selain itu, populasi rajungan di selatan Port Denison membentuk kelompok (tetapi tidak bervasiasi) sangat khas daripada poluasi rajungan yang berasal dari tempat lain, dan

(4) Sampel dari Australia Selatan juga genetiknya sangat khas dibandingkan dengan rajungan yang berasal dari tempat lain, meskipun mereka juga menunjukkan heterogenitas yang signifikan di antara mereka sendiri. Temuan di atas lebih atau kurang dinyatakan oleh mikrosatelit dan COI, meskipun sebelumnya umumnya memberikan gambaran dengan resolusi yang lebih tinggi dari struktur populasi rajungan yang ditemukan saat ini.

Rajungan nampaknya memperlihatkan keragaman genetik netral tingkat tinggi sepanjang jangkauan distrbusi geografisnya di perairan Australia. Tingkat keragaman genetik netral rajungan di perairan Australia menunjukkan adanya variasi distribusi spasial. Tingkat keragaman genetik rajungan di perairan Australia berdasarkan metode mikrosatelit dan COI secara seluruhan nampaknya tinggi jangakuan geografinya, khususnya dengan penanda COI di perairan dengan iklim sedang, yaitu pada pantai sisi barat (seperti selatan Port Denison), namun di perairan Australia Selatan terlihat mengalami penurunan (Sezmis, 2004). Sebagai contoh, nilai keragaman tipe haploid dengan metode COI berkisar 0,756-1,00 dan nilai rataan heterozigot untuk loki mikrosatelit berkisar 0,695- 0,838, dimana nilai terendah keduaya ditemukan di Darwin, beriklim tropis (Sezmis, 2004).

Rajungan sebelumnya dianggap hanya satu spesies, dan hasil penelitian Lai et al. (2010) direvisi menjadi empat spesies, yaitu Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758), P. segnis (Forskål, 1775), P. reticulatus (Herbst, 1799) dan P. armatus (A. Milne-Edwards, 1861), dan dua spesies samar, yaitu P. pelagicus dengan P. armatus di Australia Utara dan P. pelagicus di Jepang. Pendekatan genetik dengan metode COI merupakan salah satu metode yang digunakan Lai et al. (2010) dalam merevisi spesies rajungan. Keragaman haplotip dan nukleotida individu setiap populasi dari berkisar 0-1 dan 0-0,013, dimana keragaman genetik setiap spesies rajungan tersebut seperti terlihat pada Tabel 4. Secara keseluruhan, 80 dari 109 haplotip (73%) dan haplotip yang diperoleh dari empat spesies


(13)

ditemukan sebagai terpisah dan sisanya haplotip sebagian besar bersifat bebas atau terbagi diantara individu dari wilayah geografis yang sama. Namun, untuk tipe haploid 32 dan 51 terdiri dari P. pelagicus dan P. reticulatus (Lai et al., 2010).

Tabel 4. Keragaman genetik populasi kumpulan spesies rajungan berdasarkan metode COI

Spesies N Nh NP h π

Portunus armatus 50 29 38 0.950 ± 0.017 0.0189 ± 0.0097

Portunus reticulatus 77 22 52 0.776 ± 0.040 0.0570 ± 0.0279 Portunus reticulatus1 54 17 17 0.649 ± 0.076 0.0018 ± 0.0014 Portunus segnis 45 11 15 0.753 ± 0.045 0.0076 ± 0.0042 Portunus pelagicus 128 49 58 0.925 ± 0.013 0.0138 ± 0.0071 Portunus pelagicus2 126 44 39 0.891 ± 0.020 0.0056 ± 0.0032 Sumber : Lai et al. (2010)

Keterangan: Ukuran sampel (n), jumlah tipe haploid (Nh), jumlah lokus polimorfik (Np), keragaman tipe haploid (h) dan keragaman nukleotida (π). 1 dan 2 mengacu pada analisis Tipe haploid P. reticulatus termasuk mereka yang bersama dengan P. pelagicus dan analisis Tipe haploid P. pelagicus termasuk dua haplotip ditemukan sampel dari Jepang yang diduga kemungkinan sebagai spesies samar

Keragaman genetik rajungan yang tinggi tersebut juga umumnya seperti ditemukan pada beberapa jenis ikan laut dan biota laut lainnya (Lavery et al., 1996a,b; Barber et al., 2002 dalam Sezmis, 2004; Bay, 2005). Pada umumnya, jenis biota laut cerendung mempunyai tingkat keragaman genetik netral lebih tinggi daripada spesies yang hidup di sistem air tawar atau di darat, dan merupakan suatu fenomena yang secara umum diduga berkaitan dengan populasi efektif yang relatif besar ukurannya pada spesies biota laut (DeWoody dan Avise, 2000 dalam Sezmis, 2004).

Bryars dan Adams (1999) dengan penanda allozyme menentukan keragaman genetik populasi rajungan di antara Teluk Spencer, Teluk Santo Vincent Australia Selatan dan kawasan pantai Barat, menunjukkan terpisah dalam sub populasi dengan aliran gen terbatas. Mereka juga menemukan bahwa dispersal larva inter-regional adalah tertahan, dan setiap sub populasi sangat tergantung pada sumber larvanya. Selanjutnya Chaplin et al. (2001 dalam Svane dan Hooper, 2004) dengan penanda mikrosatelit, menemukan bahwa kumpulan rajungan di embayment (teluk) Australia Selatan secara genetis menunjukkan


(14)

adanya perbedaaan dalam meta populasi. Tingkat migrasi antara populasi tersebut diduga terbatas dan dimanika populasi dalam embayment sepertinya ditentukan oleh faktor lokal (Svane dan Hooper, 2004).

2.2 Filogeografi dan Sejarah Demografi Rajungan

Filogeografi rajungan di perairan Australia menunjukkan tipe kelima (V), dan hal ini dicirikan oleh pohon gen yang dangkal, dan terkait dengan variasi distribusi geografi (Sezmis, 2004), dan hal ini seperti umumnya ditemukan biota laut, khususnya kelompok krustasea (Avise, 2000 dalam Sezmis, 2004). Namun, beberapa krustasea di perairan Indo Pasifik Barat, kecuali rajungan memperlihatkan filogenetik yang relatif dalam dan sangat terkait dengan struktur geografi, dan sepertinya merupakan sub bagian antara Samudera Hindia dengan Pasifik (Lavery, 1996b; Gopurenko et al., 1999; Barber et al., 2002; Gopurenko dan Hughes, 2002 dalam Sezmis, 2004).

Hasil penelitian Sezmis (2004) dapat mengungkapkan filogeografi dan sejarah demografi rajungan yang baru di perairan Australia, yaitu (i) filogeni dibangun dari variasi urutan COI yang dangkal dengan garis keturunan menunjukkan adanya variasi distribusi geografis, (ii) hasil analisis klade tersarang variasi ini menunjukkan bahwa jangkauan ekspansi lebih dominan dipengaruhi sejarah dan demografi kontemporer rajungan yang terjadi di perairan ini, seperti perubahan iklim atau perubahan fluktuasi muka air laut pada waktu lampau yang terjadi di perairan Australia, (iii) contoh rajungan yang berasal dari kumpulan di sisi pantai barat ke selatan Port Denison memiliki tingkat keragaman genetik yang rendah, sebuah sub-set keragaman yang nampak pada contoh rajungan dari lokasi lintang rendah di sisi pantai barat, dan hasil analisis mikrosatelit ditemukan bukti bahwa yang berasal popualsi rajungan dari sisi pantai barat Australia mengalami hambatan (atau efek pendiri) diikuti dengan perluasan dalam ukuran, dan (iv) contoh rajungan dari populasi di Australia Selatan juga memiliki tingkat keragaman genetik yang rendah, dan mempunyai kedekatan filogenetik dengan contoh rajungan dari populasi sisi pantai bagian timur, dan berdasarkan bukti mikrosatelit dari populasi rajungan mengalami hambatan (atau efek pendiri) diikuti oleh ekspansi dalam ukuran. Untuk memperjelas uraian tersebut (khususnya bagian iii dan iv) dapat dilihat dari perbedaan distribusi pasangan nukleotida


(15)

rajungan yang ditemukan setiap lokasi di perairan Australia (Gambar 4). Pada Gambar 4 terlihat bahwa perbedaan pasangan nukleotida untuk rajungan yang ditemukan pada bagian Selatan dan Barat Australia lebih rendah dibandingkan dengan bagian Timur dan Utara Australia.

Rajungan secara bertahap dan dalam arti evolusi baru saja terjadi perluasan jangkauan distribusi geografisnya di perairan Australia (Sezmis, 2004). Tampaknya koloni rajungan yang terbentuk pada pesisir bagian barat dan timur Australia kemungkinan terjadi pada waktu yang sama, dan selanjutnya rajungan memperluas distribusinya, yaitu dari utara ke selatan, sepanjang kedua dari bagian pantai tersebut (Sezmis, 2004). Secara umum, tampaknya rajungan sepanjang pesisir timur mengalami semacam sedikit hambatan untuk memperluas distribusinya dibandingkan dengan pada bagian pesisir barat Australia. Terkait dengan hal ini, rajungan tampaknya telah membuat koloni di perairan Australia Selatan dari sisi selatan distribusinya di pesisir timur, mungkin koloni rajungan terjadi melalui jarak jauh (Sezmis, 2004).

Faktor penyebab dan waktu terjadinya perluasan jangkauan disribusi rajungan di perairan Australia tidak dinyatakan secara definitif, namun hanya mungkin dinyatakan secara relatif, yaitu baru terjadi dalam hal evolusi, misalnya selama masa holocen (100 000 tahun lalu) yang berkaitan dengan perubahan iklim dan/atau fluktuasi permukaan laut yang menjadi ciri periode ini (Sezmis, 2004). Namun, hasil penelitin Lai et al., (2010) yang didasarkan pada jam molekuler tingkat mutasi COI pada spesies P. pelagicus sensu lato kompleks mengalami penyimpang pada waktu yang berbeda, berkisar berkisar 0,78 - 5,4 juta tahun yang lalu (Lai et al., 2010). Hal ini sesuai dengan catatan fosil seperti pada P. sanguinolentus ditemukan pada periode miosen (23-5,3jutaan tahun yang lalu) (Glaessner, 1969; Müller, 1984 dalam Lai et al., 2010). Guo (2012) melaporkan bahwa distribusi rajungan (Portunus trituberculatus) sepanjang pantai Cina dan Jepang mengalami ekspansi demografi atau spasial secara mendadak, dimana proses glasiasi pada periode pleistosen diduga berkontribusi pada proses ini.


(16)

Gambar 4. Histogram perbedaan distribusi pasangan nukleotida rajungan pada setiap lokasi di Perairan Australia (Sezmis, 2004)

Berdasarkan hasil analisis klade tersarang dan didukung dengan hasil penilaian secara tradisional dari struktur genetik populasi rajungan di perairan Australia menunjukkan bahwa rajungan mengalami hambatan yang signifikan untuk aliran gen, yaitu seperti terjadi "isolasi karena efek jarak" dalam kisaran yang luas (Sezmis, 2004). Berdasarkan pola spasial diferensiasi genetik, Sezmis (2004) menunjukkan bahwa diferensiasi genetik populasi rajungan yang ditemukan di perairan Australia yang berkaitan dengan distributis menampilkan ada empat hal, yaitu (i) jarak geografis yang relatif luas terhadap jarak distribusi yang biasa dicapai setiap individu rajungan, (ii) diskontinuitas distribusi lingkungan pesisir yang terlindung diperlukan oleh rajungan dewasa dan juvenil, (iii) hambatan hidrologis dapat menghambat distribusi rajungan, dan (iv) kemungkinan suhu yang relatif rendah di pinggiran jangkauan distrubusi rajuangan ke bagian selatan perairan


(17)

Australia. Distribusi lingkungan pesisir yang terlindung bersifat diskontinuitas, dan pada badan air tertentu pola sirkulasi air rendah (semi tertutup), kondisi ini tampaknya sangat mendukung terjadinya diferensiasi genetik atau membatasi aliran gen rajungan di sepanjang pesisir barat perairan Australia (Sezmis, 2004).

Menurut Templeton et al. (1995) bahwa asosiasi alel acak atau tipe haploid dengan lokasi geografis dapat terjadi yang diakibatkan oleh aliran gen terbatas, peristiwa sejarah (fragmentasi, perluasan jangkauan, kolonisasi), atau campuran dari faktor-faktor ini. Salah satu metode yang digunakan untuk menentukan aliran gen terbatas, dan mengidentifikasi pola hubungan yang signifikan yang diakibatkan peristiwa sejarah adalah dengan analisis kladistik tersarang jarak geografis (Templeton et al., 1995).

Rajungan menunjukkan tahap larva plankton cukup panjang (26-45 hari) dan mobilitas yang tinggi selama fase awal kepiting sehingga diharapkan terjadi aliran gen pada tingkat tinggi pada spesies ini (Klinbunga et al., 2010). Hasil penelitian terhadap struktur populasi genetik rajungan di perairan Australia menunjukkan bahwa rajungan dewasa dan juvenil bersifat sebagai organisme bentik dan larva sebagai fase planktonik yang menghuni lingkungan pesisir terlindung dalam siklus hidupnya dengan durasi yang sederhana (Sezmis, 2004).

Perairan Australia Barat secara geografis terletak di Samudra Hindia, namun taksa pola tipe haploid COI rajungan yang berasal dari berbagai Australia Barat biasanya berafiliasi kuat dengan rajungan di Samudera Pasifik atau Hindia dan pada waktu lain berupa campuran keduanya (Benzie et al., 2002; Williams et al., 2002 dalam Lai et al, 2010). Australia Timur dan Barat dipengaruhi oleh Samudera Pasifik dan Hindia, biasanya dianggap sebagai daerah biogeografi terpisah, tetapi rajungan (P. armatus) dari hasil penelitian Lai et al. (2010) tidak menunjukkan perbedaan geografis untuk populasi Australia Timur dan Barat berdasarkan data COI. Tipe haploid dari semua individu P. armatus dikumpulkan dari seluruh Australia dan Caledonia Baru memperlihatkan populasi yang heterogen antara kedua lokasi ini (berdasarkan uji signifikan populasi berpasangan Fsts), tetapi tidak ada asosiasi yang dapat disimpulkan (Lai et al., 2010).

Keragaman genetik populasi P. armatus diperlakukan dengan hati-hati, karena mereka tetap menunjukkan genetika berbeda antara spesies Australia dan Pasifik Selatan


(18)

yang memiliki distribusi tipe haploid heterogen (Lai et al., 2010). Hasil ini adalah sesuai dengan pola-pola genetik dilaporkan oleh Sezmis (2004), dan hasil penelitian yang dilakukan dengan metode allozyme (Bryars dan Adams, 1999). Secara khusus, Sezmis (2004) melaporkan bahwa garis keturunan filogenetik dari P. armatus menunjukkan distribusi geografisnya bervariasi, dan kecenderungan ini juga ditemukan dari jaringan haplotip berdasarkan dari hasil penelitian Lai et al. (2010). Haplotip rajungan dari Australia Barat dan Caledonia Baru dianggap sebagai populasi "private", yaitu populasi dengan batas tertentu, dan hal ini terjadi diduga sebagian besar disebabkan oleh isolasi geografis dan terhambat distribusinya oleh Samudra Hindu dan Pasifik (Lai et al., 2010).

3. KAITAN KERAGAMAN GENETIK DENGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KONDISI LINGKUNGAN PERAIRAN

3.1 Keragaman Genetik dan Perubahan Iklim

Berdasarkan beberapa uraian yang dijelaskan sebelumnya, kaitan antara keragaman genetik rajungan dengan perubahan iklim sudah terjadi sejak lama (waktu evoluasi), yaitu sejak periode miosen, pleistosen dan halocen yang berlangsung dari puluhan jutaan sampai ribuan tahun yang lalu (Sezmis, 2004; Lai et al., 2010; Guo et al., 2012). Pada setiap periode tersebut terjadi perubahan iklim yang cukup signifikan yang ditandai peningkatan suhu, mencairnya es sehingga muka air laut meningkat yang mengakibatkan perubahan distribusi geografi rajungan dan timbulnya fragmentasi habitat atau terjadinya habitat rajungan terisolasi. Perubahan habitat rajungan tersebut akan menyebabkan terjadi mutasi gen, dan merubah keragaman genetik dan filogeografi rajungan karena terputusnya aliran gen dari leluhurnya sehingga akan melahirkan strain dan spesies baru. Namun, disisi lain perubahan iklim berpotensi dapat mengancam kepunahan spesies yang tidak dapat beradaptasi.

Perubahan iklim, seperti siklus glasiasi yang terjadi 2,4 juta tahun terakhir, telah secara berkala membatasi beberapa spesies menjadi terpisah refugia (terisolasi). Kisaran terbatas ini dapat mengakibatkan “kemacetan populasi”yang mengurangi variasi genetik. Setelah pembalikan perubahan iklim memungkinkan untuk migrasi cepat keluar dari daerah refugial, spesies ini menyebar dengan cepat ke habitat baru yang tersedia (http://en.


(19)

wikipediaorg/wiki/Phylogeography). Untuk memprediksi bagaimana perubahan iklim akan mempengaruhi populasi maka perlu memahami mekanisme, terutama mikroevolusi dan fenotipik plastisitas memungkinkan populasi dapat bertahan dalam kondisi lingkungan yang baru. Meskipun bukti untuk perubahan iklim yang menyebabkan perubahan fenotipik pada populasi tersebar luas, namun bukti yang mendokumentasikan kejadian perubahan fenotipik karena mikroevolusi sangat jarang (Kovach et al., 2012).

Peristiwa evolusi pada tingkat spesies, terjadi baik mutasi baru yang sesuai atau arsitektur genetik baru (kompleks gen baru) harus muncul untuk memungkinkan respon terhadap seleksi (Parmesan, 2006). Lynch dan Lande (1993 dalam Parmesan, 2006) menggunakan model genetik untuk menyimpulkan tingkat perubahan lingkungan yang memungkinkan populasi untuk merespon secara adaptif. Namun, Travis dan Futuyma (1993 dalam Parmesan, 2006) membahas pertanyaan yang sama dari populasi yang luas ditinjau dari perspektif kompleksitas paleontologi, genetik, dan ekologis yang mencoba menduga masa tanggapan dari proses dikenal yang terjadi saat ini. Lima belas tahun kemudian, jawaban masih terbentang sangat banyak dalam pengamatan empiris (Parmesan, 2006). Pengamatan ini menunjukkan bahwa, meskipun lokal respon evolusioner untuk perubahan iklim telah terjadi dengan frekuensi tinggi, ada bukti toleransi mutlak suatu spesies terhadap perubahan iklim. pandangan ini didukung dengan jumlah yang tidak proporsional dari kepunahan populasi didokumentasikan di sepanjang tepi selatan dan rentang elevasi yang rendah dalam menanggapi pemanasan iklim yang terjadi saat ini, mengakibatkan spesies berkontraksi pada kisaran 'batas yang hangat’, serta banyak spesies terancam kepunahan (Parmesan, 2006).

Secara historis, ahli ekologi telah melihat relung spesies sebagai pergeseran statis dan rentang waktu ke waktu sebagai respon pasif terhadap perubahan lingkungan utama (pergeseran iklim global atau perubahan geologi pada koridor dan hambatan) Parmesan (2006). Parmesan (2006) yang mengutip beberapa sumber pustaka mengatakan bahwa tidak ada keraguan bahwa iklim memainkan peran utama dalam membatasi rentang spesies darat, serta mengutip penelitian terakhir tentang fisiologis dan biogeografi dalam sistem kelautan juga melibatkan suhu sebagai pengendali utama pada rentang spesies. Namun, proses evolusi jelas secara substansial dapat mempengaruhi pola dan tingkat respon


(20)

terhadap perubahan iklim. Secara teoritis, evolusi juga bisa mendorong berbagai pergeseran dalam ketiadaan perubahan lingkungan (Holt 2003 dalam Parmesan, 2006). Sebuah contoh utama dari ini adalah hibridisasi dari dua spesies lalat buah Australia yang menyebabkan adaptasi terbaru, memungkinkan jarak ekspansi tanpa perubahan lingkungan bersamaan (Lewontin dan Birch 1966 dalam Parmesan, 2006).

Masalah menduga peran relatif evolusi dan plastisitas yang berlangsung secara luas, membutuhkan data ekologi jangka panjang dan aspek genetik (Parmesan, 2006). Beberapa bukti perubahan iklim yang terjadi saat ini telah mempengaruhi perubahan genetik pada orgnisme darat, antara lain (i) hasil analisis genetik dari populasi tupai merah di Kutub Utara menunjukkan bahwa 62% dari perubahan perkembangbiakan yang terjadi selama periode 10 tahun adalah hasil dari plastisitas fenotipik, dan 13% adalah akibat dari perubahan genetik dalam populasi (Berteaux et al., 2004, R'eale et al., 2003 dalam Parmesan, 2006), dan (ii) rusa merah di Norwegia menunjukkan respon sepenuhnya plastik dari perubahan iklim, yaitu ukuran tubuh mereka merespon dengan cepat terhadap variabilitas suhu tahunan musim dingin. Musim dingin yang lebih panas menyebabkan jantan berkembang menjadi lebih besar sementara betina menjadi lebih kecil (Post et al., 1999 dalam Parmesan, 2006). Karena itu, hasil akhir dari tren pemanasan musim dingin bertahap telah menjadi peningkatan dimorfisme seksual (Parmesan, 2006).

Bukti pengaruh perubahan iklim terhadap perubahan genetik biota air, seperti ditemukan pada populasi salmon pink (Oncorhynchus gorbuscha, Kovach et al., 2012). Dalam penelitian Kovach et al. ( 2012) tersebut menggunakan data 32 tahun genetik (17 generasi lengkap) dan hasil yang diperoleh antara lain (i) telah terjadi perubahan fenotipik, waktu migrasi rata-rata terjadi hampir dua minggu lebih awal dari itu 40 tahun yang lalu, (ii) data genetik yang diperoleh dari percobaan mendukung hipotesis bahwa telah terjadi seleksi terarah terhadap waktu migrasi sebelumnya, mengakibatkan penurunan substansial pada fenotipe migrasi terakhir, yaitu awalnya lebih dari 30% menjadi kurang dari 10% dari kelimpahan total, (iii) dari 1983 hingga 2011, telah terjadi perubahan yang signifikan penurunan tiga kali lipat lebih pada frekuensi penanda genetik untuk waktu migrasi akhir, tetapi ditemukan frekuensi alel pada lokus netral lainnya, dan (iv) mereka menyimpulkan bahwa telah terjadi evolusi mikro yang cepat untuk waktu migrasi sebelumnya pada


(21)

populasi salmon pink. Namun, gen irama sirkadian tidak menunjukkan bukti adannya perubahan selektif selama 1993-2009 (Kovach et al., 2012).

3.2 Eksperesi Gen dan Perubahan Lingkungan Perairan

Perubahan iklim seperti djelaskan sebelumnya diantaranya dapat mengakibatkan perubahan lingkungan perairan seperti suhu dan salinitas. Portunus trituberculatus merupakan salah jenis kelompok rajungan, dan spesies ini juga bersifat euryhalin sama seperti jenis rajungan lainnya, dimana kondisi salinitas dapat mempengaruhi distribusi, jalur migrasi, dan pemijahan buatannya (Xu dan Liu, 2011) dan adaptasi salinitas terhadap perubahan iklim. Salinitas dan suhu air mempunyai hubungan erat dan berkolerasi positif, dimana peningkatan suhu air juga akan ikut meningkatkan salinitas. Salah satu cara untuk melihat ekspesi gen rajungan (kelompok Portunus) akibat perubahan salinitas digunakan pendekatan secara molekuler, yaitu teknik mikroarray cDNA (Xu dan Liu, 2011).

Xu dan Liu (2011) menggunakan metode mikro array cDNA untuk mengetahui ekspresi gen pada P. trituberculatus terkena tekanan salinitas berbeda, yaitu menggunakan 2426 sekuen tag ekspresi (ESTs-expressed sequence tags) berasal dari perpustakaan cDNA insang yang dipilih sebagai spot pada cDNA chip mikro array dan dilakukan validasi dengan metode qRT-PCR yang menggunakan sampel yang sama, dan hasilnya antara lain seperti tertera pada Tabel 5. Dari 28 gen yang diteliti, 26 gen menunjukkan mengubah arah yang sama (ke atas atau bawah) dari kedua metode dan serupa berubah lipatan seperti yang dideteksi oleh uji mikro array (Tabel 5, Xu dan Liu, 2011).

Hasil penelitian Xu dan Liu (2011) antara lain mengungkapkan bahwa (i) secara total, 417 diferensial dinyatakan gen-gen yang diidentifikasi dan dikelompokkan menjadi delapan kelompok dengan analisis clustering hirarkis, (ii) sekitar 71,5% dari gen dikelompokkan memiliki tiga pola ekspresi bebas dan ketiga pola ekspresi gen ini dapat mewakili tiga jalur toleransi stres atau jaringan penting pada P. trituberculatus, (iii) berdasarkan data cDNA mikro array dapat ditemukan perbedaan dalam pola ekspresi gen dari P. trituberculatus terhadap aklimatisasi pada salinitas rendah dan tinggi, (iv) ada dua tantangan salinitas untuk menghasilkan variasi yang luas dari ekspresi gen di P. trituberculatus, dan (v) ada serangkaian gen seperti CCAAT/binding enhancer protein,


(22)

Na/K ATPase β-subunit, dan gen protein heat shock (HSPs) yang diusulkan untuk menjadi elemen kunci selama proses aklimatisasi dan adaptasi rajungan terhadap perubahan salinitas akibat perubahan iklim.

Tabel 5. Tingkat ekspresi gen rajungan dari 14 gen terpilih pada salinitas kontrol (25%) dan salinitas perlakuan (10 atau 40%) berdasarkan analisis mikro array dan qPCR

Gen Identitas

(ID)

Metode qPCR Metode Mikro Array 10 Vs 25%o 40 Vs 25%o 10 Vs 25%o 40 Vs 25%o CCAAT/enchancer

binding protien PT0037G05 3,6922 2.7720 3,9188 5,3379

Catalase PT0026G08 1,2141 0,7474 2,3810 0,9658

Na/K ATPase-α PT0045B08 1,5639 0,6638 1,6881 0,8011

Na/K ATPase-β PT0027E09 3,1808 0,4509 2,2437 0,3347

Proton tipe V ATPase-d PT0038G03 1,0591 1,1900 1,0878 1,0322

Ferritin PT0013D12 1,1027 0,5054 1,1686 0,1779

Proteasome β tipe-5 PT0004B07 1,1609 0,5902 2,0911 0,0569 T-komples protein 1 zeta PT0010B09 0,3039 3,0992 0,7877 3,3296 12 kDa FK506 binding

protein PT0015B10 0,5442 2,1372 0,9728 2,3112

Superixida dimutase,

mitokondria PT0004F09 1,6358 1,6817 1,0190 2,2587

Sock protein panas 70

kDa PT0028G08 1,6509 2,3810 0,7663 2,1416

Sock protein panas 90

kDa - α PT0034C05 1,1329 3,1589 0,6246 4,425

Glutation S-transferase,

isoform C PT0019D10 0,1466 1,1892 0,4566 1,7695

Antilipopolysakarida

faktor PT0035G08 0,7295 0,7595 0,4894 0,3519

Sumber : Xu dan Liu (2011)

Secara umum, penelitian Xu dan Liu (2011) ini merupakan laporan pertama dari pemanfaatan teknik mikro array untuk penelitian aklimatisasi salinitas pada rajungan P. trituberculatus. Hasil yang diperoleh menunjukkan kompleksitas jalur adaptasi salinitas pada P. trituberculatus dan sejumlah besar gen bersifat responsif terhadap perubahan salinitas. Selain itu, dapat mengungkapkan beberapa jalur aklimatisasi salinitas penting yang memungkinkan membantu dalam memahami dasar molekuler osmoregulasi dan adaptasi salinitas pada rajungan terhadap perubahan iklim. Selanjutnya Xu dan Liu (2011)


(23)

menyarakan analisis lebih lanjut dengan menggunakan transfected sel atau tanaman transgenik untuk mengetahui ekspresi gen salinitas tersebut dalam mengidentifikasi gen adaptif dan fungsinya dalam adaptasi salinitas.

Pendekatan mikro array cDNA atau analisis EST, juga telah digunakan pada dua spesies kepiting Carcinus maenas dan Callinectes sapidus untuk mengeksplorasi mekanisme fisiologis adaptasi salinitas (Xu dan Liu, 2011). Selanjutnya Xu dan Liu (2011) dengan mengutipkan beberapa hasil penelitian sebelum mengatakan bahwa Kepiting Carcinus maenas dianggap sebagai spesies model yang baik untuk studi keseimbangan ion dan air karena toleransi yang luar biasa terhadap tekanan lingkungan, termasuk perubahan salinitas. Dan sebanyak 15.637 sekuen tag ekspresi telah diidentifikasi dalam kelipatan-jaringan yang dinormalisasi cDNA perpustakaan dari C. maenas (Towle dan Smith, 2006 dalam Xu dan Liu, 2011) dan analisis sekuen transkrip mikro array insang menanggapi penunuran salinitas telah dilaporkan (Towle et al., 2010 dalam Xu dan Liu, 2011). Kepiting C. sapidus juga sebagai spesies model yang penting dalam penelitian fisiologis, dan beragam transporter dan transportasi yang berhubungan dengan protein dari spesies ini telah diidentifikasi (Coblentz et al., 2006 dalam Xu dan Liu, 2011), dan 10563 ESTs yang tersedia (Stillman et al., 2008 dalam Xu dan Liu, 2011).

Penelitian fisiologis terkait dengan adaptasi suhu akibat perubahan iklim pada kelompok rajungan sampai saat ini belum didapatkan informasinya. Namun, penelitian pada invertebrata kongenerik yang hidup di intertidal berbatu terhadap tekanan suhu menunjukkan bahwa adaptasi pemanasan kongener merupakan yang paling rentan terhadap kepunahan lokal karena batas akut suhu atas mereka (nilai LT 50 ) berada di dekat suhu makasimal saat ini dan kemampuan mereka untuk meningkatkan toleransi suhu melalui aklimatisasi sangat terbatas (Somero, 2010). Selanjutnya dikatakan bahwa tantangan yang lebih besar terhadap evolusi adaptif adalah lesi dalam genom dari spesies stenotermal seperti juga terjadi pada ektotermal Laut Antartika yang telah kehilangan gen penanda protein dan gen regulasi mekanisme yang diperlukan untuk mengatasi peningkatan suhu, sehingga mereka yang


(24)

pertama ancaman perubahan iklim (Somero, 2010). Spesies stenotermal ekstrim, bersama dengan eurytermal yang hidup di daerah hangat, tropis telah beradaptasi hidup didekat batas atas termal mereka, diduga merupakan yang pertama 'kalah' atau punah akibat dari perubahan iklim (Somero, 2010).

Penelitian fisiologi tersebut dapat membantu memprediksi dampak perubahan iklim dengan batas atas toleransi termalnya, dimana sistem fisiologis menetapkan batas ini, dan bagaimana spesies berbeda dalam kapasitas aklimatisasi untuk memodifikasi toleransi termal mereka (Somero, 2010). Selanjutnya dijelaskan bahwa reduksionis penelitian pada tingkat molekuler dapat berkontribusi untuk analisis ini dengan mengungkapkan berapa banyak perubahan dalam urutan yang diperlukan untuk protein beradaptasi pada suhu tinggi sehingga memberikan wawasan ke tingkat potensial evolusi adaptif, - dan menentukan bagaimana isi genom, protein gen penanda dan gen yang mengatur mekanisme, dan kapasitas pengaruh untuk beradaptasi dengan peningkatan akut dan jangka panjang terhadap perubahan suhu (Somero, 2010).

4. PERANAN KAJIAN KERAGAMAN GENETIK DALAM PENGELOLAAN RAJUNGAN ADAPTIF TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

4.1 Peranan Kajian Keragaman Genetik Dalam Pengelolaan Stok Alami Rajungan Pengelolaan sumberdaya ikan secara kovensional yang dilakukan sampai saat hanya mengandalkan informasi berkaitan dinamika populasi atau lebih menitikberatkan pada stok suatu spesies dengan tanpa melibatkan informasi aspek genetik. Pengelolaan konvesional rajungan yang hidup suatu perairan dianggap satu populasi dilihat aspek dinamika populasi, sedangkan dari segi keragaman genetiknya kemungkinan rajungan tersebut terdiri dari dua populasi atau lebih. Pendekatan pengelolaan konvensional kemungkinan merupakan salah satu penyebab terjadinya penurunan stok sumberdaya ikan saat ini yang berlangsung dengan cepat, disamping karena tekanan penangkapan yang tinggi, degradasi habitat,


(25)

pencemaran perairan, dan perubahan iklim (Dixon, 2011). Oleh karena itu pengelolaan sumberdaya perikanan, khususnya rajungan yang berhasil dengan baik mungkin dapat mengabaikan pertimbangan informasi kajian keragaman genetik atau aspek genetika populasi (Soewardi, 2007).

Rajungan yang hidup pada suatu kawasan perairan kemungkinan mempunyai keragaman genetik yang berbeda. Sebagai contoh rajungan yang ditemukan pada tiga lokasi di perairan Teluk Thailand, yaitu Chanthaburi Prachuap Khiri Khan, dan Suratthani ternyata mempunyai keragaman genetik berbeda (Klinbunga et al., 2007, 2010) sehingga pengelolaan rajungan di ketiga lokasi ini sebaiknya dilakukan sebagai unit terpisah. Demikian pula pengelolaan populasi rajungan sebaiknya dilakukan sebagai unit populasi terpisah untuk rajungan di perairan Cilacap, Situbondo, Jembaran dan Pulau Saugi (Sulawesi Selatan), dimana keempat lokasi ini memperlihatkan keragaman genetik berbeda (Moria et al., 2005). Penelitian keragaman genetik rajungan di perairan Indonesia sampai saat ini masih terbatas, untuk itu kajian ini perlu dikembangkan sehingga dapat diketahui dengan pasti potensi keragaman genetik rajungan dan juga dapat mendukung pengelolaan rajungan di perairan Indonesia.

Dari sudut pandang pengelolaan, populasi rajungan yang terisolasi secara genetik harus diperlakukan sebagai unit manajemen yang terpisah. Perbaikan stok rajungan melalui program pemacuan stok untuk mengatasi efek akibat eksploitasi berlebihan dari rajungan alami dapat dilakukan dengan menggunakan tingkat skala terkecil (fine scale) populasi lokal sebagai pendiri (Klinbunga et al., 2007). Pengetahuan tentang keragaman genetik dan diferensiasi populasi rajungan tidak hanya menghasilkan informasi penting mengenai aspek biogeografi dan evolusi dari rajungan tetapi juga memungkinkan pengembangan program dan demestikasi dan restocking rajungan (Klinbunga et al., 2007; 2010).

Informasi filogeografi rajungan dapat membantu dalam penentuan daerah prioritas yang memiliki nilai tinggi untuk konservasi, dan juga memainkan peran penting dalam menentukan unit signifikan evolusi (ESU, Evaluation significant unit), yaitu sebuah unit dari konservasi di bawah tingkat spesies yang sering didefinisikan pada distribusi geografis yang unik dan pola genetik mitokondria (http://en.wikipedia.org/wiki/Phylogeography).


(26)

Kajian molekuler atau keragaman genetik dapat daerah dideteksi migrasi ikan atau rajungan dapat dengan tepat berdasarkan hubungan kesamaan dari sidik jari DNA yang dimiliki, sehingga upaya perlindungan atau pengamanan wilayah jalur migrasi dari ikan-ikan dan biota perairan penting dapat dilindungi sehingga tidak dilakukan penangkapan pada saat ikan dan rajungan matang gonad pada daerah yang dituju oleh kedua biota tersebut sebagai daerah pemijahan, atau juga berguna dalam upaya pengembangan sea-ranching (Sukoso, 2008). Kajian keragaman genetik dapat menjadi informasi dalam penentuan taksonomi rajungan, seperti telah dilakukan Lai et al (2011) pada upaya merevisi spesies Portunus pelagicus.

Penelitian tentang kajian keragaman genetik atau genetik populasi rajungan diperairan Indonesia sampai saat masih terbatas sehingga kondisi keragaman genetik rajuangan di peraian ini belum dapat diketahui dengan pasti. Disisi lain, tingkat penangkapan rajungan di beberapa lokasi perairan Indonesi telah dilakukan secara intensif bahkan telah menunjukkan tanda-tanda overfishing, seperti ditemukan di Teluk Lasongko Kabupeten Buton dimana hasil tangkapan dan ukuran rajungan semakin menurun dan kecil (Hamid, 2011). Pertanyaan yang muncul sekarang adalah bagaimana kondisi keragamanen genetik rajungan di perairan tersebut, apakah ikut berubah dengan berubahnya kondisi perubahan hasil tangkapan dan ukuraan, karena tekanan penangkapan yang tinggi (overfishing) berpotensi merubahan keragaman genetik biota air (Soewardi, 2007).

Oleh karena itu, sebaiknya perlu segera dilakukan kajian-kajian keragaman genetik rajungan di perairan Indonesia sehingga diperoleh informasi potensi keragaman genetik rajungan diperairan ini dan juga dapat diketahui dengan pasti lokasi pusat kantung-kantung induk rajungan yang banyak tersebar di beberapa wilayah di Indonesia (Sukoso, 2010). Namun, kondisinya terkadang sudah overfishing, pada hal wilayah tersebut merupakan penyedia induk dengan tingkat keragaman genetik yang sangat tinggi (Sukoso, 2008). Jika informasi sejak dini bisa diketahui, maka upaya-upaya perlindungan, atau pembatasan penangkapan melalui upaya seleksi yang ketat akan dapat diterapkan (Sukoso, 2008) sehingga populasi rajungan dengan keragaman genetik yang tinggi dapat terlindungi.


(27)

4.2 Peranan Kajian Keragaman Genetik dalam Pengelolaan Rajungan Berbasis Budidaya Adaptif Pada Perubahan Iklim

Beberapa kriteria yang disebutkan Pullin danWhite (2011) terhadap jenis biota air yang dikembangkan melalui kegiatan penangkapan dan budidaya yang adaptif terhadap perubahan iklim. Rajungan termasuk biota air yang memenuhi kriteria tersebut karena memiliki pertumbuhan cepat, reproduksi tinggi, tahan terhadap perubahan suhu, pH, dan salinitas, rantai makanan pendek, kualitas daging baik, dan hasilnya tinggi (Hosseini et al., 2012; Guo et al., 2012) sehingga rajungan berpotensi dikembangkan dalam pola pengelolaan berbasis budidaya adaptif terhadap perubahan iklim.

Pengelolaan rajungan berbasis budidaya adaptif terhadap perubahan iklim dapat menerapkan berbagai bioteknologi budidaya untuk meningkatkan kebugaran populasi yang dipelihara dan ditangkap pada kondisi perubahan iklim dan perubahan lingkungan. Bioteknologi yang dimaksud untuk menghasilkan benih rajungan unggul meliputi pembiakan selektif (termasuk marker-assisted selection), persilangan dan hibridisasi, manipulasi kromosom dan populasi monosex, dan genomik, penemuan gen dan transgenesis (Pullin dan White, 2011). Semua potensi tersebut tergantung pada konservasi keragaman genetik seluas mungkin untuk sifat yang ditargetkan pada spesies penting pada saat ini dan yang potensi kembangkan di masa depan (Pullin dan White, 2011).

Hasil kajian keragaman genetik rajungan sangat berguna untuk mendukung kegiatan pemuliaan dan perkembangbiakan rajungan sehingga kegiataan ini dapat dilakukan secara rasional berdasarkan peta genom individu rajungan sehingga tidak hanya memanfaatkan sumber induk dari satu lokasi saja, tetapi dapat disilangkan dari kantong induk lainnya berdasarkan informasi tingkat keragaman genetik yang dimiliki oleh induk rajungan dari setiap di wilayah perairan (Sukoso, 2008). Melalui kegiatan yang terencana semacam ini, maka tidak menutup kemungkinan suatu daerah akan mampu memproduksi benih-benih unggul sebagai sumber pendapatan yang kontinyu. Selain dari aspek tersebut kemungkinan upaya restocking terhadap sumberdaya hayati yang perlu diperbaiki dapat dilakukan dengan cepat (Sukoso, 2008).


(28)

Pemetaan genetik hingga ke tingkat molekuler terhadap sumberdaya perikanan dan kelautan belum banyak dilakukan di Indonesia (Sukoso et al., 2001 dalam Sukoso, 2008). Pemetaan keragaman genetik rajungan antara lain baru dilakukan Moria et al. (2005) dalam menentukan lokasi perairan sebagai sumber induk untuk mendukung budidaya rajungan. Kajian identifikasi keragaman genetik sangat bermafaat untuk membangun landasan yang kuat dalam upaya pemuliaan, breeding dan reproduksi untuk mendukung pengembangan pengelolaan rajungan berbasisi budidaya (Klinbunga et al., 2007, 2010; Sukoso, 2008). Selanjutnya pemetaan keragaman genetik dapat membantu dalam pelaksanaan penelitian genetika kuantitatif rajungan dan hasilnya digunakan untuk mendukung kegiatan pengelolaan sumberdaya rajungan berbasis budidaya yang adaptif terhadap perubahan iklim. Informasi keragaman genetik rajungan juga berguna untuk menentukan luas kawasan perairan yang akan dijadikan sebagai lokasi sea ranching rajungan.

Pengelolaan rajungan berbasis budidaya adaptif terhadap perubahan iklim dapat dilakukan melalui domestikasi, sea ranching, pemacuan stok, restoking, dan transplansi bertujunan untuk memperbaiki stok alami dan peningkatan produksi rajungan. Namun, kegiatan pengelolaan ini tergantung pada ketersediaan benih rajungan yang diproduksi secara massal melalui pembenihan. Produksi massal benih rajungan di Indonesia sampai saat ini belum dapat dilakukan seperti pada udang windu dan vanamei, sehingga hal ini menjadi hambatan pengembangan pengelolaan rajungan berbasis budidaya. Dengan kata lain keberhasilan pengelolaan rajungan berbasis budidaya adatif terhadap perubahan iklim tergantung pada kemampuan melakukan domestikasi rajungan dan didukung oleh penerapan bioteknologi budidaya dengan memanfaatkan informasi hasil kajian keragaman genetik rajungan.

5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Rajungan mempunyai keragaman dan diferensiasi genetik yang tinggi berdasarkan sebaran geografinya dan memperlihatkan filogeografi yang dangkal disebabkan oleh fragmentasi habitat dan aliran gen terhambat antar lokasi geografi,


(29)

2. Perubahan keragaman genetik rajungan berlangsung dalam skala evolusi (puluhan juta tahun sampai ribuan tahun yang lalu) dan terkait dengan perubahan iklim yang ditandai suhu air dan muka air laut meningkat dan es mencair. Bukti perubahan genetik rajungan sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim saat ini belum tersedia, namun hal ini dapat dilihat dari perubahan genetik pada ikan salmon merah mudah,

3. Serangkaian gen CCAAT/binding enhancer protein, Na/K ATPase subunit β, dan gen heat shock protein (HSPs) diusulkan untuk menjadi elemen kunci selama proses aklimatisasi dan adaptasi rajungan terhadap salinitas kaitannya dengan perubahan iklim, 4. Informasi kajian keragaman genetik sangat berperan untuk mendukung pengelolaan stok

alami rajungan seperti dalam penentuan unit stok, jalur migrasi, konservasi dan pemacuan stok, demikian juga dalam pengelolaan rajungan berbasis budidaya adaptif terhadap perubahan iklim seperti dalam penentuan lokasi sumber induk dan kawasan sea ranching, domestikasi, pemacuan stok, restoking dan tranplantasi rajungan.

5.2 Saran

Di Indonesia perlu dilakukan kajian genetika populasi rajungan sehingga dapat diketahui potensi keragaman genetiknya serta dapat dijadikan dasar dalam pengelolaan rajungan stok alami dan berbasis budidaya yang adaptif terhadap perubahan iklim.

DAFTAR PUSTAKA

Bay LK. 2005. Chapter 1: General introduction. http://eprints.jcu.edu.au/14/2/02 chapter1 .pdf. Diakses tanggal 4 November 2012

Bryars S dan M Adams . 1999. An allozyme study of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus (Crustacea : Portunidae), in Australia: stock delineation in southern Australia and evidence for a cryptic species in northern waters. Marine and Freshwater Research, 50 (1): 15-26

Caputi, N., Pearce, A. and Lenanton, R. 2010. Fisheries-dependent indicators of climate change in Western Australia WAMSI Sub-project 4.2.3. Fisheries Research Report No. 213. Department of Fisheries, Western Australia

de Lestang S, NG Hall, IC Potter. 2003. Reproductive biology of the blue swimmer crab (Portunus pelagicus, Decapoda: Portunidae) in five bodies of water on the west coast of Australia. Fishery Bulletin US, 101: 745-757


(30)

Dixon C. 2011. Blue swimmer crab Portunus pelagicus In p: 63-75: Pecl GT, Doubleday Z, Ward T, Clarke S, Day J, Dixon C, Frusher S, Gibbs P, Hobday A, Hutchinson N, Jennings S, Jones K, Li X, Spooner D, and Stoklosa R. Risk Assessment of Impacts of Climate Change for Key Marine Species in South Eastern Australia. Part 2: Species profiles. Fisheries and Aquaculture Risk Assessment. Fisheries Research and Development Corporation, Project 2009/070. Hobart, Tasmania

Guo E , Y Liu , Z Cui, X Li, Y Cheng, X Wu. 2012. Genetic variation and population structure of swimming crab (Portunus trituberculatus) inferred from mitochondrial control region. Molecular Biology Reproduction, 39: 1453-1463

Hamid A. 2011. Kondisi kepiting rajungan di Teluk Lasonko Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Mitra Bahari, 5 (2) : 75-86

Hobday, A. J., E. S. Poloczanska, and R. J. Matear (eds). 2008. Implications of climate change for australian fisheries and aquaculture: a preliminary assessment. Report to the Department of Climate Change, Canberra, Australia.

Hosseini M, A Vazirizade, Y Parsa and A Mansori. 2012. Sex ratio, size distribution and seasonal abundance of blue swimming crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) in Persian Gulf Coasts, Iran. World Applied Sciences Journal 17 (7): 919-925

http://en.wikipedia.org/wiki/Phylogeography diakses tanggal 8 November 2012

Kovach RP, AJ Gharrett and DA Tallmon. 2012. Genetic change for earlier migration

timing in a pink salmon population. Proceeding Biology Science. Sep 22, 279 (1743):

3.870-8. Jurnal online diakses tanggal 9 November 2012

Klinbunga S, K Khetpu, B Khamnamtong, P Menasveta. 2007. Genetic heterogeneity of the blue swimming crab (Portunus pelagicus) in Thailand determined by AFLP analysis. Biochem. Genet. 47: 42-55

Klinbunga S, V Yuvanatemiya, S Wongphayak, K Khetpu, P Menasveta and B Khamnamtong. 2010. Genetic population differentiation of the blue swimming crab Portunus pelagicus (Portunidae) in Thai waters revealed by RAPD analysis. Genetics and Molecular Research 9 (3): 1615-1624

Lai JCY, PKL Ng, PJF Davie. 2010. A revision of the Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) species complex (Crustacea: Brachyura: Portunidae), with the recognition of four species. The Raffles Bulletin Of Zoology, 58(2): 199–237

Moria SB, Haryanti, GN Permana, dan B Susanto. 2005. Karakteristik genetik induk rajungan, Portunus pelagicus dari beberapa perairan melalui analisis RFLP mtDNA. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 11 (5) : 57-62

Parmesan C. 2006. Ecological and evolutionary responses to recent climate change. Annual Reviuw Ecology Evolution. System, 37:637–69

Pullin R and P White. 2011. Climate change and aquatic genetic resources for food and agriculture: State of knowledge, risks and opportunities. Commission On Genetic Resources For Food And Agriculture, FAO, Roma


(31)

Sezmis E. 2004. The population genetic structure of Portunus pelagicus in Australian waters. Ph.D. thesis, Murdoch University, Australia

Soerwardi K. 2007. Pengelolaan keragaman genetik sumberdaya perikanan dan kelautan. Departemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor

Somero GN. 2010. Physiology of climate change: how potentials for acclimatization and genetic adaptation will determine 'winners' and 'losers' Journal Experimental Bioliogy, 213 : 912-920

Sukuso, 2008. Peran Bioteknologi Molekuler dalam Pembangunan Bidang Perikanan dan Kelautan Indonesia. Makalah disampaikan dalam rangka Dies Natalis XXXIX Universitas Brawijaya, Malang tanggal 20 Januari 2008

Templeton AR, E Routman and CA Phillips. 1995. Separating population structure from population history: A cladistic analysis of the geographical distribution of mitochondrial dna Tipe haploids in the tiger salamander, Ambystoma tigrinurn. Genetics 140 :767-782

Xu Q, Y Liu. 2011. Gene expression profiles of the swimming crab Portunus rituberculatus exposed to salinity stress. Marine Biology, 158:2161–2172

Yu CG, ZQ Han, J Zheng, LJ Xue and TX Gao. 2010. Genetic population structure of Ovalipes punctatus revealed by AFLP markers. Scientific Research and Essays, 5(13) : 1649-1654

Svane I and GE Hooper. 2004. Blue Swimmer crab (Portunus pelagicus) Fishery. Fishery assessment report to PIRSA for the blue crab fishery management committee. South Asustralian Research and Development Institute (Aquatic Science), Adelaide. RD 03/0274-2


(1)

Kajian molekuler atau keragaman genetik dapat daerah dideteksi migrasi ikan atau rajungan dapat dengan tepat berdasarkan hubungan kesamaan dari sidik jari DNA yang dimiliki, sehingga upaya perlindungan atau pengamanan wilayah jalur migrasi dari ikan-ikan dan biota perairan penting dapat dilindungi sehingga tidak dilakukan penangkapan pada saat ikan dan rajungan matang gonad pada daerah yang dituju oleh kedua biota tersebut sebagai daerah pemijahan, atau juga berguna dalam upaya pengembangan sea-ranching (Sukoso, 2008). Kajian keragaman genetik dapat menjadi informasi dalam penentuan taksonomi rajungan, seperti telah dilakukan Lai et al (2011) pada upaya merevisi spesies Portunus pelagicus.

Penelitian tentang kajian keragaman genetik atau genetik populasi rajungan diperairan Indonesia sampai saat masih terbatas sehingga kondisi keragaman genetik rajuangan di peraian ini belum dapat diketahui dengan pasti. Disisi lain, tingkat penangkapan rajungan di beberapa lokasi perairan Indonesi telah dilakukan secara intensif bahkan telah menunjukkan tanda-tanda overfishing, seperti ditemukan di Teluk Lasongko Kabupeten Buton dimana hasil tangkapan dan ukuran rajungan semakin menurun dan kecil (Hamid, 2011). Pertanyaan yang muncul sekarang adalah bagaimana kondisi keragamanen genetik rajungan di perairan tersebut, apakah ikut berubah dengan berubahnya kondisi perubahan hasil tangkapan dan ukuraan, karena tekanan penangkapan yang tinggi (overfishing) berpotensi merubahan keragaman genetik biota air (Soewardi, 2007).

Oleh karena itu, sebaiknya perlu segera dilakukan kajian-kajian keragaman genetik rajungan di perairan Indonesia sehingga diperoleh informasi potensi keragaman genetik rajungan diperairan ini dan juga dapat diketahui dengan pasti lokasi pusat kantung-kantung induk rajungan yang banyak tersebar di beberapa wilayah di Indonesia (Sukoso, 2010). Namun, kondisinya terkadang sudah overfishing, pada hal wilayah tersebut merupakan penyedia induk dengan tingkat keragaman genetik yang sangat tinggi (Sukoso, 2008). Jika informasi sejak dini bisa diketahui, maka upaya-upaya perlindungan, atau pembatasan penangkapan melalui upaya seleksi yang ketat akan dapat diterapkan (Sukoso, 2008) sehingga populasi rajungan dengan keragaman genetik yang tinggi dapat terlindungi.


(2)

4.2 Peranan Kajian Keragaman Genetik dalam Pengelolaan Rajungan Berbasis Budidaya Adaptif Pada Perubahan Iklim

Beberapa kriteria yang disebutkan Pullin danWhite (2011) terhadap jenis biota air yang dikembangkan melalui kegiatan penangkapan dan budidaya yang adaptif terhadap perubahan iklim. Rajungan termasuk biota air yang memenuhi kriteria tersebut karena memiliki pertumbuhan cepat, reproduksi tinggi, tahan terhadap perubahan suhu, pH, dan salinitas, rantai makanan pendek, kualitas daging baik, dan hasilnya tinggi (Hosseini et al., 2012; Guo et al., 2012) sehingga rajungan berpotensi dikembangkan dalam pola pengelolaan berbasis budidaya adaptif terhadap perubahan iklim.

Pengelolaan rajungan berbasis budidaya adaptif terhadap perubahan iklim dapat menerapkan berbagai bioteknologi budidaya untuk meningkatkan kebugaran populasi yang dipelihara dan ditangkap pada kondisi perubahan iklim dan perubahan lingkungan. Bioteknologi yang dimaksud untuk menghasilkan benih rajungan unggul meliputi pembiakan selektif (termasuk marker-assisted selection), persilangan dan hibridisasi, manipulasi kromosom dan populasi monosex, dan genomik, penemuan gen dan transgenesis (Pullin dan White, 2011). Semua potensi tersebut tergantung pada konservasi keragaman genetik seluas mungkin untuk sifat yang ditargetkan pada spesies penting pada saat ini dan yang potensi kembangkan di masa depan (Pullin dan White, 2011).

Hasil kajian keragaman genetik rajungan sangat berguna untuk mendukung kegiatan pemuliaan dan perkembangbiakan rajungan sehingga kegiataan ini dapat dilakukan secara rasional berdasarkan peta genom individu rajungan sehingga tidak hanya memanfaatkan sumber induk dari satu lokasi saja, tetapi dapat disilangkan dari kantong induk lainnya berdasarkan informasi tingkat keragaman genetik yang dimiliki oleh induk rajungan dari setiap di wilayah perairan (Sukoso, 2008). Melalui kegiatan yang terencana semacam ini, maka tidak menutup kemungkinan suatu daerah akan mampu memproduksi benih-benih unggul sebagai sumber pendapatan yang kontinyu. Selain dari aspek tersebut kemungkinan upaya restocking terhadap sumberdaya hayati yang perlu diperbaiki dapat dilakukan dengan cepat (Sukoso, 2008).


(3)

Pemetaan genetik hingga ke tingkat molekuler terhadap sumberdaya perikanan dan kelautan belum banyak dilakukan di Indonesia (Sukoso et al., 2001 dalam Sukoso, 2008). Pemetaan keragaman genetik rajungan antara lain baru dilakukan Moria et al. (2005) dalam menentukan lokasi perairan sebagai sumber induk untuk mendukung budidaya rajungan. Kajian identifikasi keragaman genetik sangat bermafaat untuk membangun landasan yang kuat dalam upaya pemuliaan, breeding dan reproduksi untuk mendukung pengembangan pengelolaan rajungan berbasisi budidaya (Klinbunga et al., 2007, 2010; Sukoso, 2008). Selanjutnya pemetaan keragaman genetik dapat membantu dalam pelaksanaan penelitian genetika kuantitatif rajungan dan hasilnya digunakan untuk mendukung kegiatan pengelolaan sumberdaya rajungan berbasis budidaya yang adaptif terhadap perubahan iklim. Informasi keragaman genetik rajungan juga berguna untuk menentukan luas kawasan perairan yang akan dijadikan sebagai lokasi sea ranching rajungan.

Pengelolaan rajungan berbasis budidaya adaptif terhadap perubahan iklim dapat dilakukan melalui domestikasi, sea ranching, pemacuan stok, restoking, dan transplansi bertujunan untuk memperbaiki stok alami dan peningkatan produksi rajungan. Namun, kegiatan pengelolaan ini tergantung pada ketersediaan benih rajungan yang diproduksi secara massal melalui pembenihan. Produksi massal benih rajungan di Indonesia sampai saat ini belum dapat dilakukan seperti pada udang windu dan vanamei, sehingga hal ini menjadi hambatan pengembangan pengelolaan rajungan berbasis budidaya. Dengan kata lain keberhasilan pengelolaan rajungan berbasis budidaya adatif terhadap perubahan iklim tergantung pada kemampuan melakukan domestikasi rajungan dan didukung oleh penerapan bioteknologi budidaya dengan memanfaatkan informasi hasil kajian keragaman genetik rajungan.

5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Rajungan mempunyai keragaman dan diferensiasi genetik yang tinggi berdasarkan sebaran geografinya dan memperlihatkan filogeografi yang dangkal disebabkan oleh fragmentasi habitat dan aliran gen terhambat antar lokasi geografi,


(4)

2. Perubahan keragaman genetik rajungan berlangsung dalam skala evolusi (puluhan juta tahun sampai ribuan tahun yang lalu) dan terkait dengan perubahan iklim yang ditandai suhu air dan muka air laut meningkat dan es mencair. Bukti perubahan genetik rajungan sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim saat ini belum tersedia, namun hal ini dapat dilihat dari perubahan genetik pada ikan salmon merah mudah,

3. Serangkaian gen CCAAT/binding enhancer protein, Na/K ATPase subunit β, dan gen heat shock protein (HSPs) diusulkan untuk menjadi elemen kunci selama proses aklimatisasi dan adaptasi rajungan terhadap salinitas kaitannya dengan perubahan iklim, 4. Informasi kajian keragaman genetik sangat berperan untuk mendukung pengelolaan stok

alami rajungan seperti dalam penentuan unit stok, jalur migrasi, konservasi dan pemacuan stok, demikian juga dalam pengelolaan rajungan berbasis budidaya adaptif terhadap perubahan iklim seperti dalam penentuan lokasi sumber induk dan kawasan sea ranching, domestikasi, pemacuan stok, restoking dan tranplantasi rajungan.

5.2 Saran

Di Indonesia perlu dilakukan kajian genetika populasi rajungan sehingga dapat diketahui potensi keragaman genetiknya serta dapat dijadikan dasar dalam pengelolaan rajungan stok alami dan berbasis budidaya yang adaptif terhadap perubahan iklim.

DAFTAR PUSTAKA

Bay LK. 2005. Chapter 1: General introduction. http://eprints.jcu.edu.au/14/2/02 chapter1 .pdf. Diakses tanggal 4 November 2012

Bryars S dan M Adams . 1999. An allozyme study of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus (Crustacea : Portunidae), in Australia: stock delineation in southern Australia and evidence for a cryptic species in northern waters. Marine and Freshwater Research, 50 (1): 15-26

Caputi, N., Pearce, A. and Lenanton, R. 2010. Fisheries-dependent indicators of climate change in Western Australia WAMSI Sub-project 4.2.3. Fisheries Research Report No. 213. Department of Fisheries, Western Australia

de Lestang S, NG Hall, IC Potter. 2003. Reproductive biology of the blue swimmer crab (Portunus pelagicus, Decapoda: Portunidae) in five bodies of water on the west coast of Australia. Fishery Bulletin US, 101: 745-757


(5)

Dixon C. 2011. Blue swimmer crab Portunus pelagicus In p: 63-75: Pecl GT, Doubleday Z, Ward T, Clarke S, Day J, Dixon C, Frusher S, Gibbs P, Hobday A, Hutchinson N, Jennings S, Jones K, Li X, Spooner D, and Stoklosa R. Risk Assessment of Impacts of Climate Change for Key Marine Species in South Eastern Australia. Part 2: Species profiles. Fisheries and Aquaculture Risk Assessment. Fisheries Research and Development Corporation, Project 2009/070. Hobart, Tasmania

Guo E , Y Liu , Z Cui, X Li, Y Cheng, X Wu. 2012. Genetic variation and population structure of swimming crab (Portunus trituberculatus) inferred from mitochondrial control region. Molecular Biology Reproduction, 39: 1453-1463

Hamid A. 2011. Kondisi kepiting rajungan di Teluk Lasonko Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Mitra Bahari, 5 (2) : 75-86

Hobday, A. J., E. S. Poloczanska, and R. J. Matear (eds). 2008. Implications of climate change for australian fisheries and aquaculture: a preliminary assessment. Report to the Department of Climate Change, Canberra, Australia.

Hosseini M, A Vazirizade, Y Parsa and A Mansori. 2012. Sex ratio, size distribution and seasonal abundance of blue swimming crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) in Persian Gulf Coasts, Iran. World Applied Sciences Journal 17 (7): 919-925

http://en.wikipedia.org/wiki/Phylogeography diakses tanggal 8 November 2012

Kovach RP, AJ Gharrett and DA Tallmon. 2012. Genetic change for earlier migration

timing in a pink salmon population. Proceeding Biology Science. Sep 22, 279 (1743):

3.870-8. Jurnal online diakses tanggal 9 November 2012

Klinbunga S, K Khetpu, B Khamnamtong, P Menasveta. 2007. Genetic heterogeneity of the blue swimming crab (Portunus pelagicus) in Thailand determined by AFLP analysis. Biochem. Genet. 47: 42-55

Klinbunga S, V Yuvanatemiya, S Wongphayak, K Khetpu, P Menasveta and B Khamnamtong. 2010. Genetic population differentiation of the blue swimming crab Portunus pelagicus (Portunidae) in Thai waters revealed by RAPD analysis. Genetics and Molecular Research 9 (3): 1615-1624

Lai JCY, PKL Ng, PJF Davie. 2010. A revision of the Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) species complex (Crustacea: Brachyura: Portunidae), with the recognition of four species. The Raffles Bulletin Of Zoology, 58(2): 199–237

Moria SB, Haryanti, GN Permana, dan B Susanto. 2005. Karakteristik genetik induk rajungan, Portunus pelagicus dari beberapa perairan melalui analisis RFLP mtDNA. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 11 (5) : 57-62

Parmesan C. 2006. Ecological and evolutionary responses to recent climate change. Annual Reviuw Ecology Evolution. System, 37:637–69

Pullin R and P White. 2011. Climate change and aquatic genetic resources for food and agriculture: State of knowledge, risks and opportunities. Commission On Genetic Resources For Food And Agriculture, FAO, Roma


(6)

Sezmis E. 2004. The population genetic structure of Portunus pelagicus in Australian waters. Ph.D. thesis, Murdoch University, Australia

Soerwardi K. 2007. Pengelolaan keragaman genetik sumberdaya perikanan dan kelautan. Departemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor

Somero GN. 2010. Physiology of climate change: how potentials for acclimatization and genetic adaptation will determine 'winners' and 'losers' Journal Experimental Bioliogy, 213 : 912-920

Sukuso, 2008. Peran Bioteknologi Molekuler dalam Pembangunan Bidang Perikanan dan Kelautan Indonesia. Makalah disampaikan dalam rangka Dies Natalis XXXIX Universitas Brawijaya, Malang tanggal 20 Januari 2008

Templeton AR, E Routman and CA Phillips. 1995. Separating population structure from population history: A cladistic analysis of the geographical distribution of mitochondrial dna Tipe haploids in the tiger salamander, Ambystoma tigrinurn. Genetics 140 :767-782

Xu Q, Y Liu. 2011. Gene expression profiles of the swimming crab Portunus rituberculatus exposed to salinity stress. Marine Biology, 158:2161–2172

Yu CG, ZQ Han, J Zheng, LJ Xue and TX Gao. 2010. Genetic population structure of Ovalipes punctatus revealed by AFLP markers. Scientific Research and Essays, 5(13) : 1649-1654

Svane I and GE Hooper. 2004. Blue Swimmer crab (Portunus pelagicus) Fishery. Fishery assessment report to PIRSA for the blue crab fishery management committee. South Asustralian Research and Development Institute (Aquatic Science), Adelaide. RD 03/0274-2