IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sistematika hasil dan pembahasan disajikan dalam beberapa sub bagian yaitu Fluks metana dan karakteristik tanah pada budidaya lima macam tanaman;
Pengaruh pengelolaan air terhadap populasi mikroba tanah pada tanah sawah; dan Pengaruh pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N terhadap populasi
mikroba tanah, fluks metana serta nitrous oksida pada tanah sawah serta Pembahasan umum.
Fluks Metana dan Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman
Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman
Dari kelima macam budidaya yang diamati, tanah pada tanaman padi
mempunyai kadar air yang paling tinggi
112.97 ± 2.85
, pH tanah yang lebih tinggi
6.65 ± 0.02
serta potensial redoks yang paling rendah
-158.5 ± 2.50 mV
dibanding tanah pada macam budidaya yang lain Tabel 4.1.. Hal ini berkaitan erat dengan penyiapan lahan pada padi sawah yaitu adanya perlakuan
penggenangan dan pelumpuran. Dengan pelumpuran terjadi pemecahan agregat dan penggenangan menghambat suplai oksigen dari permukaan ke tubuh tanah.
Penurunan ketersediaan oksigen dalam tanah memicu respirasi mikroba secara anaerobik yang diikuti dengan penurunan potensial redoks. Pada budidaya padi
sawah tanah bersifat reduktif, sementara keempat macam budidaya yang lain tanah bersifat oksidatif. Terdapat keseimbangan antara potensial elektron dan
potensial hidrogen dalam larutan tanah, penurunan potensial redoks pada tanah sawah diikuti dengan peningkatan pH tanah. Pada keempat budidaya lain yang
bersifat oksidatif pH tanahnya terukur lebih rendah. Dari aspek komposisi bentuk nitrogen, tanah sawah didominasi oleh bentuk
amonium 48.60 ± 3.95 ppm N dibanding bentuk nitrat sebesar
3.03 ± 0.33
ppm N. Hal ini mengindikasikan bahwa proses mineralisasi N pada tanah tersebut
didominasi oleh tahap amonifikasi dan laju nitrifikasi yang terhambat. Pada keempat macam budidaya yang lain dominasi amonium terhadap nitrat tanah
semakin berkurang dibanding pada tanah sawah, hal ini menunjukkan pada tanah tersebut proses nitrifikasi tidak terhambat. Peningkatan ketersediaan
oksigen pada kadar air tanah yang lebih rendah memacu aktivitas nitrifier.
Tabel 4.1. Karakteristik tanah pada budidaya lima macam tanaman
Budidaya Kadar Air
Tanah pH Tanah
Eh mV Nitrat ppm
N Amonium
ppm N Nisbah
amonium nitrat
Sayuran 36.91 ± 0.38
4.72 ± 0.05 293.0 ± 23.0
12.08 ± 0.14 8.87 ± 0.61
0.73 Ubi jalar
43.97 ± 0.09 5.39 ± 0.01
294.0 ± 6.0 31.78 ± 0.27
31.85 ± 1.82 1.00
Padi sawah 112.97 ± 2.85
6.65 ± 0.02 -158.5 ± 2.5
3.03 ± 0.33 48.60 ± 3.95
16.04 Bengkuang
45.61 ± 1.24 4.38 ± 0.06
312.5 ± 6.5 36.24 ± 2.16
32.39 ± 0.38 0.89
Jagung 36.53 ± 0.16
5.21 ± 0.15 278.0 ± 8.0
4.78± 0.69 26.55 ± 3.79
5.55
Fluks CH
4
pada Budidaya Lima Macam Tanaman
Tanaman padi sawah menghasilkan fluks metana paling tinggi 7.50 ± 0.53 mg CH
4
-C m
-2
jam
-1
dibanding tanaman lain yang berkisar antara -0.77 ± 0.64 hingga 0.46 ± 0.53 mg CH
4
-C m
-2
jam
-1
Gambar 4.1. Tingginya fluks CH
4
pada tanah sawah dipengaruhi oleh aktivitas mikroba penghasil dan pengoksidasi CH
4
serta kondisi lingkungan yang menstimulasinya. Potensial redoks tanah yang rendah akibat penggenangan dan ketersediaan substrat organik merupakan
prasyarat lingkungan pembentukan metana. Seluruh ruang pori tanah terisi air bahkan kadar air pada kondisi jenuh. Aktivitas metanotrof pengoksidasi CH
4
pada pertanaman padi terbatas pada daerah rizosfer yang bersifat oksidatif. Dominasi bakteri metanogen terhadap bakteri metanotrof pada lahan sawah
menyebabkan tingginya fluks metana Watanabe et al.,1997. Pada keempat pertanaman yang lain produksi CH
4
selain rendah juga
diimbangi oleh aktivitas mikroba pengoksidasi CH
4
yang lebih tinggi sehingga fluks CH
4
lebih rendah dibanding pada padi sawah. Budidaya sayuran dan jagung menghasilkan fluks CH
4
yang jauh lebih rendah dibanding padi sawah, masing-masing sebesar 0.46 ± 0.53 dan 0.16 ± 0.18 mg CH
4
-C m
-2
jam
-1
. Sedangkan ubi jalar dan bengkuang menghasilkan fluks CH
4
negatif, masing- masing sebesar -0.77 ± 0.64 dan -0.39 ± 0.51 mg CH
4
-C m
-2
jam
-1
, yang berarti budidaya tersebut bersifat netto sink CH
4
. Pada keempat pertanaman ini
ruang pori terisi air mencapai
61.9 hingga 77.3.
Masih tersedia ruang pori tanah yang terisi udara yang memungkinkan proses oksidasi CH
4
. Perbedaan teknik budidaya berupa penambahan pupuk kandang pada pertanaman sayuran dan
jagung, menghasilkan fluks CH
4
yang lebih tinggi dibanding pada ubi jalar dan bengkuang. Perlakuan pembumbunan dan pembalikan tanaman serta tanpa
penambahan pupuk kandang pada budidaya ubi jalar dan bengkuang diduga sebagai penyebab rendahnya fluks CH
4
pada kedua budidaya tersebut.
Gambar 4.1. Fluks CH
4
dan ruang pori tanah terisi air pada budidaya lima macam tanaman error bar menunjukkan standar deviasi
Mikroba Fungsional pada Budidaya Lima Macam Tanaman
Nitrosomonas dan nitrobacter selaku bakteri pengoksidasi amonium dan nitrat dijumpai pada semua jenis budidaya Tabel 4.2.. Nitrosomonas dan
nitrobacter termasuk nitrifier yang bertanggung jawab atas proses nitrifikasi dalam tanah. Keberadaan mikroba tersebut dipengaruhi oleh kadar amonium,
nitrat dan tingkat oksidasi tanah. Pada umumnya nitrifier banyak dijumpai pada kondisi tanah aerob, seperti pada budidaya sayuran, ubi jalar, bengkuang dan
jagung. Pada tanah sawah ternyata keberadaan bakteri tersebut cukup menonjol jumlahnya, hal ini disebabkan oleh kemampuan akar tanaman padi menyediakan
oksigen pada rizosfernya. Populasi nitrifier pada pertanaman yang diamati berkisar antara 3.13x10
3
hingga 3.18x10
4
MPN g
-1
tanah BKM, berat kering mutlakoven 105
o
C. Denitrifier selaku mikroba pereduksi nitrat dijumpai pada semua jenis
pertanaman. Keberadaan mikroba tersebut dipengaruhi oleh jumlah nitrat dalam tanah dan tingkat oksidasi tanah. Pada umumnya denitrifier banyak dijumpai
pada kondisi tanah anaerob, seperti pada budidaya padi sawah. Pada tanaman non padi pada kondisi tidak tergenang, keberadaan denitrifier terdapat pada site-
site yang bersifat lokal anaerob. Beberapa jenis fungi pada tanah ternyata mampu menggunakan nitrat sebagai alternatif akseptor elektron pada proses
-2 2
4 6
8 10
12
Sa yu
ra n
Ub i ja
la r
Pa di
Ben gk
ua ng
Ja gu
ng
Tanaman Fl
uk s
m e
ta n
a m
g C
H
4
-C m
-2
jam
-1
da n
W F
P S
x2 vo
lu m
Fluks metana mg CH4- Cm2jam
W FPS volum
respirasinya Laughlin dan Stevens, 2002, hal ini mampu menjelaskan mengapa pada tanaman non padi seperti pada ubi jalar, bengkuang dan jagung,
keberadaan denitrifier juga cukup tinggi. Populasi denitrifier pada pertanaman yang diamati berkisar antara 3.77x10
3
hingga 1.17x10
5
MPN g
-1
BKM tanah. Antar jenis pertanaman sayuran, ubi jalar, padi sawah, bengkuang dan
jagung. tidak dijumpai proporsi total propagul, nitrosomonas, nitrobacter dan denitrifier yang spesifik. Perbedaan budidaya jenis tanaman dan teknis
budidaya belum mampu menjawab variabilitas komposisi mikroba fungsional tanah yang diamati.
Tabel 4.2. Mikroba fungsional pada budidaya lima macam tanaman
Budidaya Total propagul
spk g
-1
BKM tanah
Nitrosomonas MPN g
-1
BKM tanah Nitrobacter
MPN g
-1
BKM tanah Nitrifier MPN
g
-1
BKM tanah
Denitrifier MPN g
-1
BKM tanah
Sayuran
1.41 10
6
3.42 10
3
1.51 10
4
1.85 10
4
3.77 10
3
Ubi jalar
1.02 10
6
0.65 10
3
2.48 10
3
3.13 10
3
1.22 10
4
Padi sawah
2.75 10
5
5.21 10
3
2.66 10
4
3.18 10
4
1.00 10
4
Bengkuang
2.45 10
6
1.78 10
3
2.04 10
4
2.2 10
4
1.17 10
5
Jagung
3.10 10
6
0.48 10
3
1.71 10
4
1.76 10
4
1.01 10
5
Korelasi CH
4
, Mikroba Tanah dan Sifat Tanah
Kadar air nyata berkorelasi negatif terhadap potensial redoks r=-0.981, nyata berkorelasi positif terhadap pH r=0.862, konsentrasi amonium r=0.787
dan fluks CH
4
r=0.951. Reaksi tanah nyata berkorelasi positif dengan fluks CH
4
r=0.852 dan amonium r=0.687 serta nyata berkorelasi negatif terhadap Eh r=-0.901 dan denitrifier r=-0.635. Potensial redoks nyata berkorelasi negatif
terhadap fluks CH
4
r=-0.982dan amonium r=-0.710. Amonium nyata berkorelasi negatif terhadap denitrifier r=-0.681 Tabel 4.3.
Peningkatan kadar air menyebabkan berkurangnya oksigen bebas dalam tanah. Penggunaan substrat yang mengandung oksigen oleh mikroba sebagai
akseptor elektron dalam proses respirasi menyebabkan penurunan potensial redoks. Kondisi ini menjelaskan korelasi negatif yang nyata antara kadar air
tanah dengan potensial redoks. Hubungan antara kadar air tanah dengan Eh dapat dinyatakan dengan persamaan Y = -6.12 X + 541.53 Y=Eh mV dan X=KA
, R
2
= 0.962. Peningkatan kelembaban tanah hingga batas tertentu mampu menghambat
laju nitrifikasi dan mempertahankan bentuk nitrogen sebagai amonium. Oksidasi amonium menjadi nitrat berlangsung dalam suasana aerob, sehingga
kelembaban tanah nyata berkorelasi positif terhadap kadar amonium dalam tanah.
Potensial redoks berkeseimbangan dengan potensial hidrogen, penurunan potensial redoks akan menyebabkan peningkatan pH. Peningkatan kelembaban
tanah yang diikuti oleh penurunan potensial redoks menstimulir peningkatan pH tanah, sehingga kelembaban tanah juga nyata berkorelasi positif dengan pH.
Terhadap fluks CH
4
, kelembaban tanah nyata berkorelasi positif, yang berarti peningkatan kelembaban tanah memacu pembentukan CH
4
dalam tanah. Hubungan antara kadar air tanah dengan fluks CH
4
dapat dinyatakan dengan persamaan Y = 0.14 X - 5.64 Y= fluks CH
4
dalam mg CH
4
-C m
-2
jam
-1
dan X=KA , R
2
= 0.905, berlaku pada kisaran KA 36.4 – 115.8. Hal ini berkaitan erat dengan perilaku potensial redoks, mengingat reaksi pembentukan CH
4
sangat erat dikendalikan oleh potensial redoks Minamikawa dan Sakai, 2005.
Penurunan potensial redoks meningkatkan fluks CH
4
. Hubungan antara Eh tanah dengan fluks CH
4
dapat dinyatakan dengan persamaan Y = -0.02 X + 6.44 Y=fluks CH
4
dalam mg CH
4
-C m
-2
jam
-1
dan X=Eh mV, R
2
= 0.9648. Keberadaan amonium dalam tanah erat berkaitan dengan laju nitrifikasi,
bila amonium banyak dijumpai dalam tanah mengindikasilan oksidasi amonium menjadi nitrat berlangsung lebih lambat. Penghambatan pembentukan nitrat
mempunyai aspek praktikal penting bagi bidang pertanian, karena jumlah nitrat yang melebihi kemampuan serap tanaman yang dibudidayakan akan tercuci
ataupun menjadi substrat denitrifier pada kondisi anoksik. Pencucian nitrat menjadi penyebab utama kontaminasi air tanah oleh nitrat terlarut. Aktivitas
denitrifier akan membebaskan N baik dalam bentuk N
2
maupun N
2
O ke atmosfer. Selain meningkatkan efisiensi pemupukan N, penghambatan laju nitrifikasi
hingga batas tertentu juga berpengaruh positif terhadap lingkungan, dengan pengurangan pencemaran nitrat terlarut serta emisi N
2
O sebagai salah satu komponen GRK. Dominasi amonium terhadap nitrat menyebabkan populasi
denitrifier tertekan. Dinamika nitrogen terutama aspek nitrifikasi-denitrifikasi inilah yang mampu menjelaskan mengapa amonium nyata berkorelasi negatif dengan
denitrifier. Berdasarkan keterkaitan antar parameter tersebut dapat dikatakan bahwa
pengelolaan air merupakan salah satu kunci utama pengendalian potensial redoks yang berkenaan dengan reaksi tanah, konsentrasi amonium dan laju
nitrifikasi, aktivitas denitrifikasi dan pembentukan serta emisi CH
4
.
Tabel 4.3. Tabel korelasi antar parameter karakteristik tanah, mikroba dan fluks CH
4
Parameter
KA Eh pH CH
4
Propa gul
Nitroso monas
Nitrobac ter
Denitri fier
NO
3 -
pH 0.862 CH
4
0.951 -0.982
Eh -0.981 1.00
-0.901 Propagul
-0.453 0.409
-0.432 -0.364
NO
3 -
-0.414 0.565 -0.572 -0.602
0.182 -0.493 -0.128 0.003
NH
4 +
0.787 -0.710 0.687 0.614 -0.172 0.116 -0.113 -0.681 -0.049
Keterangan: , = berkorelasi nyata pada taraf 95 dan 99
Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Fluks Metana dan Populasi Mikroba Tanah pada Tanah Sawah
Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Fluks CH
4
Variasi dua mingguan fluks CH
4
dipengaruhi oleh perlakuan pengelolaan air Gambar 4.2.. Fluktuasi fluks CH
4
berkisar antara -4.63 hingga 12.37 mg CH
4
m
-2
jam
-1
. Fluks CH
4
yang tinggi dijumpai pada stadia awal pertumbuhan 2 minggu setelah pindah tanamMST dipengaruhi oleh rendahnya potensial redoks
yang disebabkan oleh penggenangan kontinyu selama penyiapan lahan yang dilaksanakan 3 minggu sebelum pindah tanam. Pada bulan pertama setelah
pindah tanam, dekomposisi bahan organik yang berupa residu dari penanaman sebelumnya berlangsung aktif dan menstimulir kondisi yang menunjang aktivitas
metanogen. Fluks CH
4
pada 2 – 8 MST dipengaruhi oleh fase pertumbuhan cepat, tanaman padi membebaskan banyak eksudat akar yang mengandung
senyawa karbon mudah larut dalam air seperti gula, asam amino serta asam organik yang sangat cepat terdekomposisi oleh mikroba menjadi H
2
, CO
2
, metanol dan asetat. Bahan-bahan ini bertindak sebagai substrat bagi metanogen
yang mengkonversinya menjadi CH
4
. Fluks CH
4
yang rendah pada 6 MST disebabkan oleh drainase singkat selama 4 – 5 hari untuk pemupukan kedua dan
penyiangan yang dilakukan beberapa hari menjelang pengambilan contoh gas. Drainase akan menekan aktivitas metanogen dan meningkatkan oksidasi CH
4
. Stadia pembungaan terjadi pada 8 MST sebagai puncak fase pertumbuhan
vegetatif. Penurunan fluks CH
4
pada 12 MST disebabkan oleh drainase total selama fase pematangan. Drainase total diikuti dengan peningkatan Eh dan
oksidasi CH
4
menekan produksi CH
4
Hou et al., 2000a.
a
b Gambar 4.2. Variasi fluks CH
4
dua mingguan: a antara perlakuan pengelolaan air, b rata-rata antar perlakuan pengelolaan air, error bar
menunjukkan standar deviasi n=20 Kondisi macak-macak menghasilkan fluks CH
4
yang lebih rendah dibanding perlakuan lain Gambar 4.3. Ekosistem sawah juga mampu berperan
sebagai sink CH
4
yang disebabkan oleh kehadiran dan aktivitas mikroba pengoksidasi CH
4
metanotrof pada lapisan tanah oksidatif dan pada site rizosfer. Intermiten, drainase periodik menjelang pemupukan pada sistem
penanaman padi sawah di Indonesia mampu menghambat emisi CH
4
melalui mekanisme peningkatan oksidasi CH
4
serta penurunan aktivitas metanogen
-6 -4
-2 2
4 6
8 10
2 4
6 8
10 12
M inggu s e te lah tanam Fl
uk s
m e
ta na
m g C
H
4
-C m
-2
ja m
-1
Macak-macak Intermiten
Penggenangan 5 cm Penggenangan 10 cm
-4 -2
2 4
6 8
10 12
14
2 4
6 8
10 12
Minggu setelah tanam
Fl uk
s m
e ta
na m
g C H
4
-C m
-2
ja m
-1
selama siklus penggenangan terputus. Perlakuan drainase dan pengairan intermiten secara nyata mampu menurunkan emisi CH
4
pada tanah andisol dan gleysol di Jepang Minamikawa dan Sakai, 2005. Namun dalam penelitian ini
perlakuan intermiten tidak mampu menurunkan fluk CH
4
. Hal ini senada dengan hasil penelitian Nugroho et al. 1994a yang mencatat bahwa fluks CH
4
pada perlakuan intermiten tidak berbeda dengan perlakuan penggenangan. Dengan
demikian pengaruh perlakuan irigasi terputus terhadap fluks CH
4
tidak nyata pada lahan sawah yang dicobakan.
Gambar 4.3. Fluks metana antar perlakuan pengelolaan air, error bar menunjukkan standar deviasi n=30
Penggenangan menghasilkan fluks CH
4
yang lebih tinggi dibanding dengan kondisi macak-macak. Penggenangan menghambat difusi oksigen dari
atmosfer ke dalam lapisan tanah dan menurunkan potensial redoks tanah. Kondisi ini menstimulir aktivitas metanogen untuk memproduksi CH
4
. Hasil penelitian Husin et al. 1995 juga menunjukkan bahwa fluks CH
4
pada kondisi penggenangan secara kontinyu lebih tinggi dibanding dengan pada keadaan
macak-macak. Dinamika fluks CH
4
pada tanah sawah berkaitan erat dengan potensial redoks tanah yang dipengaruhi oleh pengelolaan air Hou et al.,
2000a.
Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Populasi Mikroba Tanah
Dinamika fluks
CH
4
pada lahan sawah erat berkaitan dengan populasi mikroba. Pada penelitian ini, total propagul pada 4 dan 8 MST lebih rendah
-5 5
10 15
Macak-macak Intermiten
Penggenangan 5 cm
Penggenangan 10 cm
Pengelolaan air F
luk s
m e
ta na
mg C H
4
-C m
-2
jam
-1
dibanding pada 12 MST dan populasi terendah terjadi pada 8 MST Gambar 4.4. Total mikroba tertekan pertumbuhannya selama penggenangan. Pada 12 MST,
total mikroba meningkat seiring dengan drainase yang menyebabkan pengurangan kadar air dan peningkatan potensial redoks. Peningkatan
kandungan oksigen tanah mendukung kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan mikroba.
Gambar 4.4. Populasi total mikroba pada empat macam pengelolaan air, error bar menunjukkan standar deviasi n=5
Produksi CH
4
merupakan hasil dari aktivitas sejumlah kelompok mikroba meliputi bakteri zymogenik, pengguna H
2
- asam asetat serta metanogen. Metabolisme dari kelompok mikroba yang berbeda akan mendekomposisi karbon
organik dari senyawa yang sangat kompleks dengan berat molekul yang tinggi menjadi senyawa karbon yang paling sederhana misalnya CH
4
Hou et al., 2000a. Sebagian dari CH
4
yang diproduksi pada tanah sawah akan dioksidasi oleh mikroba pengoksidasi CH
4
menjadi CO
2
sebelum dibebaskan ke atmosfer Watanabe et al., 1997. Dengan demikian fluks CH
4
merupakan hasil keseimbangan antara proses produksi dan oksidasinya, dan inilah yang menjadi
alasan mengapa korelasi antara antara total mikroba dengan fluks CH
4
sangat rendah r = 0.31. fluks CH
4
berkaitan erat dengan mikroba spesifik dari kelompok metanogen dan metanotrof.
Perubahan musiman dari populasi nitrifier disajikan pada gambar 4.5. Rata-rata pupolasi nitrifier pada 4, 8 dan 12 MST secara berurutan adalah 9.75 x
10
3
g
-1
, 2.35 x 10
3
g
-1
, 2.46 x 10
3
g
-1
. Tingginya jumlah nitrifier pada 4 MST berkaitan dengan tingginya ketersediaan amonium yang disebabkan oleh
20 40
60 80
4 8
12
Minggu setelah tanam
J um
la h pr
opa gul
1
6
g
-1
Macak-macak Intermiten
Penggenangan 5 cm Penggenangan 10 cm
pemupukan nitrogen, sementara pada 8 dan 12 MST ketersediaan amonium dari tanah telah menurun oleh serapan tanaman padi. Irigasi intermiten menyebabkan
jumlah nitrifier yang lebih tinggi, hal ini disebabkan oleh drainase secara periodik pada saat pengeringan yang akan meningkatkan masukan oksigen yang
mendukung keberadaan nitrifier.
Gambar 4.5. Populasi nitrifier pada empat macam pengelolaan air Denitrifier merupakan mikroba yang dominan pada proses transformasi
nitrogen pada tanah sawah Gambar 4.6.. Penggenangan dan potensial redoks tanah yang rendah merupakan kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan
denitrifier Hou et al., 2000a dan b. Tidak dijumpai korelasi yang erat baik antara nitrifier maupun denitrifier terhadap fluks CH
4
, berturut-turut r = 0.56, 0.32, karena fluks CH
4
lebih berhubungan dengan aktivitas metanogen serta pengoksidasi CH
4
.
Gambar 4.6. Pengaruh pengelolaan air terhadap populasi nitrifier dan denitrifier pada 4 minggu setelah tanam
2 4
6 8
10 12
14 16
18
N it
rif ie
r x
1
3
MP N
g
-1
4 8
12
Minggu setelah tanam
Macak-macak Intermiten
Penggenangan 5 cm Penggenangan 10 cm
5 10
15 20
25 30
P o
p u
las i
x 10
3
MP N
g
-1
Nitrifier Denitrifier
Macak-macak Intermiten
Penggenangan 5 cm Penggenangan 10 cm
Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Komposisi N Tanah
Pengelolaan air pada tanah sawah berpengaruh terhadap transformasi nitrogen Gambar 4.7.. Konsentrasi amonium tanah berkisar antara 23.5 – 47.4
mg N-NH
4 +
kg
-1
berat kering mutlak tanah. Ammonium merupakan bentuk nitrogen tanah yang dominan 18.6 – 32 kali lebih tinggi dibanding N-NO
3 -
pada tanah sawah, kondisi anaerob menghambat laju nitrifikasi. Konsentrasi nitrat
pada tanah sawah relatif sangat kecil, berkisar antara 1.22 – 1.48 mg N-NO
3 -
kg
-1
berat kering mutlak tanah, nitrat tersebut merupakan produk dari aktivitas bakteri nitrifikasi yang mengubah amonium menjadi nitrat pada kondisi oksidasi terutama
pada daerah rizosfer. Perakaran padi mempunyai kemampuan untuk mengoksidasi tanah di sekitar akar rambutnya. Kondisi tergenang menghasilkan
amonium yang lebih tinggi dibanding perlakuan pengelolaan air yang lain. Tidak dijumpai hubungan yang spesifik antara nitrifier dan denitrifier terhadap
kandungan amonium dan nitrat tanah.
Gambar 4.7. Pengaruh pengelolaan air terhadap konsentrasi amonium dan nitrat tanah pada 4 dan 8 MST, error bar menunjukkan standar deviasi
n=5
Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Hasil Padi
Perlakuan penggenangan menghasilkan anakan lebih banyak dibanding perlakuan yang lain. Jumlah anakan berkisar antara 23.8 hingga 25.3 Gambar
4.8.. Tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan intermiten, penggenangan 5 cm dan penggenangan 10 cm terhadap jumlah anakan.
Penggenangan 5 cm bertendensi menghasilkan jumlah anakan dan bobot jerami yang lebih banyak dibanding perlakuan macak-macak. Nampaknya perlakuan
10 20
30 40
50 60
70
Macak-macak Intermiten
Penggenangan 5 cm Penggenangan 10 cm
Pengelolaan air mg
N k
g
-1
BKM t
a n
a h
NO3-N 4 MST NO3-N 8 MS T
NH4-N 4 MST NH4-N 8 MST
tersebut mampu memberikan lingkungan yang seimbang yang mampu secara optimal mendukung pertumbuhan tanaman padi. Antar perlakuan pengelolaan air
tidak terdapat perbedaan bobot gabah yang nyata. Hal ini berarti bahwa pengurangan pemberian air dengan perlakuan macak-macak maupun intermiten
tidak diikuti oleh penurunan hasil padi. Perlakuan macak-macak dan intermiten mampu meningkatkan efisiensi penggunaan air pada sistem penanaman padi
sawah. Berdasarkan hasil penelitian ini perlakuan pengelolaan air dengan cara macak-macak dapat disarankan untuk mengurangi fluks CH
4
tanpa menurunkan hasil padi.
Perlakuan pengelolaan air macak-macak menurunkan fluks CH
4
pada tanah sawah hingga sekitar 25 dibanding perlakuan penggenangan sebagai
perlakuan kontrol tanpa mengurangi bobot gabah yang dihasilkan.
a
b
Gambar 4.8. Pengaruh pengelolaan air terhadap hasil tanaman: a jumlah anakan, b bobot jerami dan gabah, error bar menunjukkan
standar deviasi n=5
20 21
22 23
24 25
26
Macak-macak Intermiten
Penggenangan 5 cm
Penggenangan 10 cm
Pengelolaan air
Ju m
lah an
akan
2 4
6 8
10 12
14 16
18
Macak-m acak Interm iten
Penggenangan 5 cm
Penggenangan 10 cm
Pengelolaan air B
e ra
t je ra
m i da
n ga
ba h
k g pe
ta k
-1
Jerami Gabah
Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk N terhadap Populasi Mikroba Tanah, Fluks Metana serta Nitrous Oksida pada Tanah Sawah
Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk N terhadap Sifat Kimia Tanah
Selama pertumbuhan tanaman padi potensial redoks tanah berada pada nilai negatif, baru pada minggu ke 10 Eh tanah menjadi positif dan meningkat
hingga minggu ke 12 Gambar 4.9.. Fenomena umum pada tanah sawah, dengan kegiatan pelumpuran dan penggenangan menstimulir kondisi reduktif
yang dicirikan oleh Eh negatif. Tindakan drainase yang menyebabkan masuknya oksigen akan meningkatkan Eh tanah.
Antar perlakuan pengelolaan air tidak dijumpai perbedaan potensial redoks. Artinya perlakuan penggenangan terus menerus maupun macak-macak
tidak berpengaruh terhadap Eh tanah. Pengurangan tinggi muka air dengan cara perlakuan macak-macak mampu meningkatkan difusi udara dari atmosfer ke
lapisan tanah sawah, namun pada percobaan ini tidak berpengaruh terhadap Eh tanah. Hal ini dipengaruhi oleh musim, percobaan ini berlangsung pada musim
penghujan. Penurunan nilai Eh mencapai nilai –150 mV. Kondisi tersebut berada pada selang pengontrolan Eh untuk menekan emisi CH
4
, menurut Minamikawa dan Sakai 2005 pengelolaan Eh diperlukan bila Eh tanah mencapai nilai di
bawah –150 mV. Sedangkan Hou et al. 2000a menyarankan pengelolaan Eh pada batas nilai -100 mV untuk menekan emisi CH
4
. Potensial redoks antar perlakuan bahan organik tidak berbeda nyata.
Walaupun pada perlakuan pemberian bahan organik 6 ton ha
-1
menunjukkan Eh yang lebih rendah dibanding tanpa pengembalian jerami. Nilai Eh terendah pada
perlakuan pembenaman jerami mencapai -157 mV, sedangkan tanpa jerami mencapai -136 mV. Nisbah CN jerami yang digunakan adalah 34.9. Hasil
penelitian Wihardjaka 2001 dengan pengembalian jerami ber CN 32.11 rata- rata Eh tanah mencapai -152 mV dan aplikasi kompos jerami ber CN 11.98
rata-rata Eh tanah mencapai -120mV. Respon perubahan Eh tanah terhadap tindakan penggenangan erat
berkaitan dengan status kandungan bahan organik tanah Gao et al., 2002. Semakin tinggi kandungan bahan organik tanah, Eh tanah akan turun secara
tajam oleh perlakuan penggenangan. Pada tanah percobaan dengan kandungan C organik tanah 1.45 , penambahan bahan organik segar berupa jerami tidak
berdampak terhadap penurunan Eh secara drastis.
Gambar 4.9. Pengaruh pengelolaan air a, bahan organik b dan pupuk nitrogen
c terhadap Eh tanah Pengembalian jerami ke tanah sawah relatif lebih kecil dibanding
pengembalian secara alami dari akar dan tunggul tanaman. Dari pengamatan selintas diperkirakan 15 ton ha
-1
berat kering mutlak bahan organik asal akar dan tunggul jerami dikembalikan ke tanah sawah setiap musim tanam. Hal tersebut
senada dengan penelitian Sudarsono 2000 yang menyatakan bahwa pengembalian bahan organik secara alami melalui akar tanaman padi
memegang peranan penting dalam pemeliharaan keseimbangan bahan organik tanah.
Dampak penurunan Eh secara drastis oleh pembenaman jerami segar terjadi pada penanaman padi sawah berikutnya Wihardjaka, 2001. Peningkatan
konsentrasi carbon mudah larut dalam air dari sisa jerami yang terdekomposisi lebih lanjut menopang penurunan Eh. Aspek praktikal dari informasi tersebut,
Pengaruh pupuk nitrogen terhadap Eh
-200 -100
100 200
2 4
6 8
10 12
Minggu setelah tanam
Eh m
V
Urea CRF30
CRF50
Pengaruh bahan organik terhadap Eh
-200 -100
100 200
2 4
6 8
10 12
Minggu setelah tanam Eh
m V
0 ton ha-1 6 ton ha-1
Pengaruh pengelolaan air terhadap Eh
-200 -100
100 200
2 4
6 8
10 12
Minggu setelah tanam Eh
m V
Tergenang Macak-macak
a b
c
pembenaman jerami untuk pemeliharaan produktivitas tanah dilakukan pada penanaman padi dan pada rotasi berikutnya lahan tersebut digunakan untuk
pertanaman tanpa penggenangan. Dekomposisi sisa jerami secara anaerob pada pertanaman berikutnya diharapkan mampu meningkatkan kapasitas
produksi tanah. Antar pemupukan nitrogen tidak menghasilkan Eh tanah yang berbeda
nyata. Pemberian Urea cenderung menurunkan Eh tanah lebih besar dibanding pupuk CRF. Pelepasan amonium yang lebih cepat pada urea dibanding dengan
CRF berpengaruh terhadap penurunan nilai Eh tanah. Ketersediaan amonium meningkatkan aktivitas mikroba nitrifier di daerah rizosfer dan meningkatkan
persaingan penggunaan oksigen antar mikroba. Kondisi tersebut menstimulir kelangkaan oksigen yang memicu respirasi secara anaerob dan diikuti dengan
penurunan Eh. Dinamika Eh tanah sawah percobaan antar perlakuan yang dicobakan
pada 0 hingga 10 MST disajikan pada Gambar 4.10. Pada 0 hingga 8 MST nilai Eh tanah negatif, sedangkan pada 10 MST nilai Eh tanah positif karena adanya
drainase. Selama periode penanaman padi pH tanah meningkat dibanding pH awal.
Penggenangan menyebabkan pH tanah sedikit lebih tinggi dibanding perlakuan macak-macak walau tidak berbeda nyata. Pemberian bahan organik tidak
berpengaruh terhadap pH. Antar perlakuan jenis pupuk N tidak terdapat perbedaan pH tanah. Variasi pH tanah oleh lama penggenangan. Pada saat
pindah tanam 0 MST pH tanah sekitar 6 kemudian meningkat menjadi pH 7 pada 2 MST kemudian relatif konstan hingga 8 MST. Pada minggu ke 10 turun
karena drainase dan minggu ke 12 kembali ke pH awal oleh drainase permanen Gambar 4.11..
Pengaruh pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen terhadap kadar amonium tanah disajikan pada gambar 4.12. Tidak terdapat perbedaan
yang nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap kadar amonium tanah pada 0, 4, 8 dan 12 MST. Penambahan bahan organik jerami juga tidak meningkatkan
kadar amonium tanah secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu pula antar macam pupuk nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata
terhadap kadar amonium tanah pada berbagai waktu pengamatan.
Gambar 4.10. Dinamika Eh tanah sawah antar perlakuan pengelolaan air, bahan
organik dan pupuk N
Dinamika Eh Tanah pada 0 MST
-200 -150
-100 -50
Pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N
Eh m
V
Tergenang Macak-macak
0 t on ha-1 6 t on ha-1
Urea CRF30
CRF50
Dinamika Eh Tanah pada 4 MST
-200 -150
-100 -50
Pe nge lolaan air, bahan organik dan pupuk N
Eh m
V
Tergenang M acak-macak
0 t on ha-1 6 t on ha-1
Urea CRF30
CRF50
Dinamika Eh Tanah pada 6 MST
-200 -150
-100 -50
Pe nge lolaan air, bahan organik dan pupuk N
Eh m
V
Tergenang M acak-macak
0 t on ha-1 6 t on ha-1
Urea CRF30
CRF50
Dinamika Eh Tanah pada 8 MST
-150 -100
-50
Pe nge lolaan air, bahan organik dan pupuk N
Eh m
V
Tergenang M acak-macak
0 t on ha-1 6 t on ha-1
Urea CRF30
CRF50
Dinamika Eh Tanah pada 10 MST
-50 50
100
Pe ngelolaan air, bahan organik dan pupuk N
Eh m
V
Tergenang M acak-macak
0 t on ha-1 6 t on ha-1
Urea CRF30
CRF50
Dinamika Eh Tanah pada 2 MST
-200 -150
-100 -50
Pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N
Eh m
V
Tergenang Macak-macak
0 t on ha-1 6 t on ha-1
Urea CRF30
CRF50
Gambar 4.11. Pengaruh pengelolaan air a, bahan organik b dan pupuk nitrogen c terhadap pH tanah
Pada perlakuan pengelolaan air, kadar amonium tanah pada 0 MST dengan perlakuan macak-macak sedikit lebih rendah dibanding perlakuan
penggenangan. Hal tersebut disebabkan oleh sebagian amonium pada perlakuan tersebut mengalami nitrifikasi. Dengan suasana macak-macak, amonium
dioksidasi oleh nitrifier menjadi nitrat, dugaan tersebut diperkuat data kadar nitrat pada waktu pengamatan tersebut sedikit lebih tinggi dibanding kadar nitrat tanah
pada perlakuan penggenangan. Pada pengamatan amonium 4 dan 8 MST, amonium terukur pada perlakuan macak-macak sedikit lebih tinggi dibanding
perlakuan penggenangan. Kadar amonium yang sedikit lebih tinggi tersebut berasal dari mineralisasi N dari bahan organik. Pada suasana macak-macak
aktivitas dekomposisi jerami sedikit lebih aktif dibanding suasana tergenang. Dengan kelembaban tanah yang tinggi tahap mineralisasi N dari bahan organik
berada pada tahap aminisasi dan amonifikasi dengan produk terminal berupa amonium. Sedangkan pada waktu pengamatan terakhir yaitu 12 MST, kembali
kadar amonium pada perlakuan macak-macak sedikit lebih rendah dibanding a b
5,5 6
6,5 7
7,5
2 4
6 8
10 12
pH
Minggu setelah tanam
c
Urea CRF-30
CRF-50
perlakuan tergenang. Sejak tanaman berumur 9 MST drainase secara berangsur dilaksanakan, kondisi tersebut menyebabkan oksidasi amonium menjadi nitrat
pada tanah dengan perlakuan macak-macak.
Gambar 4.12. Pengaruh pengelolaan air a, bahan organik b dan pupuk nitrogen c terhadap amonium tanah
Pada perlakuan penambahan bahan organik, kadar amonium pada 0 MST pada perlakuan pembenaman jerami sedikit lebih tinggi dibanding dibanding
perlakuan tanpa penambahan jerami. Pembenaman jerami selama masa penyiapan lahan telah mampu membebaskan N dari senyawa yang mengandung
N mudah larut dalam air. Pada pengamatan amonium 4 dan 8 MST, amonium terukur antar perlakuan bahan organik menunjukkan perbedaan hasil yang tidak
50 100
150
4 8
12
NH
4 +
-N p pm
Minggu setelah tanam
a
Tergenang
50 100
150
4 8
12
NH
4 +
-N p pm
Minggu setelah tanam
b
0 ton ha-1 6 ton ha-1
50 100
150
4 8
12
NH
4 +
-N ppm
Minggu setelah tanam
c
Urea CRF30
CRF50
berarti. Sedangkan pada waktu pengamatan terakhir yaitu 12 MST, kembali kadar amonium pada perlakuan pembenaman jerami sedikit lebih tinggi
dibanding perlakuan tanpa jerami. Sejak tanaman berumur 9 MST drainase secara berangsur dilaksanakan, kondisi tersebut memacu dekomposisi bahan
organik yang membebaskan amonium ke dalam tanah. Takaran jerami padi yang dibenamkan setara dengan 6 ton BKM per
hektar dengan kandungan N sebesar 0.98 yang berarti pengembalian sebesar 58.8 kg N per hektar. Berdasarkan penelitian Bird et al. 2001 pembenaman
jerami mampu meningkatkan C
mic
dan N
mic
lebih tinggi dibanding dengan perlakuan pembenaman abu jerami setelah pembakaran di lapang. Dengan
waktu paruh N
mic
yang berkisar antara 0.55 hingga 0.87 tahun, dalam jangka panjang pembenaman jerami akan meningkatkan recovery pupuk N.
Pembenaman jerami meningkatkan pool N baik yang aktif maupun yang labil, dan berindikasi menurunkan ketergantungan budidaya padi sawah terhadap
penambahan input pupuk N. Pemahaman tersebut semakin memperkuat pentingnya pengelolaan jerami pada budidaya padi sawah. Pengelolaan jerami
pada budidaya padi sawah di Indonesia cukup beragam, pada beberapa tempat dibenamkan secara langsung, di tempat lain jerami dibakar terlebih dahulu baru
dibenamkan, sementara di lokasi lain jerami ditumpuk pada pematang sawah. Pembenaman jerami dengan cara dicacah kasar dan diaplikasikan bersamaan
dengan penggaruan seperti yang dilaksanakan pada penelitian ini merupakan perpaduan memaksimalkan pemanfaatan jerami dengan teknik yang relatif
sederhana. Pada perlakuan pupuk nitrogen, kadar amonium tanah pada 0 dan 4 MST
pada perlakuan urea sedikit lebih tinggi dibanding perlakuan CRF. Hal tersebut dapat dimengerti karena urea didisain mempunyai kecepatan larut yang lebih
tinggi, sedangkan CRF kelarutannya lebih lambat. Baru pada pengamatan 8 MST, kadar amonium antar perlakuan urea dan CRF tidak menunjukkan
perbedaan yang berarti. Kadar amonium yang terukur adalah amonium tersedia dalam tanah setelah penyerapan oleh tanaman. Sedangkan pada pengamatan
kadar amonium pada 12 MST, amonium pada perlakuan CRF menjadi sedikit lebih tinggi dibanding urea, residu N yang lebih lambat tersedia pada CRF
menjadi tersedia. Dominasi amonium terhadap nitrat antar perlakuan disajikan pada
gambar 4.13. Bird et al. 2001 menyatakan amonium merupakan bentuk N
anorganik terekstrak selama periode penggenangan. Keberadaan nitrat pada tanah sawah menunjukkan bahwa proses nitrifikasi pada tanah sawah dengan
kelembaban air yang tinggi tetap terjadi. Kemampuan tanaman padi mentranlokasikan oksigen ke daerah rizosfer, menopang aktivitas nitrifier untuk
mengoksidasi amonium menjadi nitrat. Nitrat yang tersedia berpeluang diserap oleh tanaman, diimobilisasi oleh mikroba, tercuci ke lapisan tanah yang lebih
rendah yang pada tanah sawah akan terhambat oleh keberadaan lapisan bajak serta mengalami denitrifikasi pada lapisan reduktif menjadi N
2
O dan N
2
.
Gambar 4.13. Kadar amonium dan nitrat tanah pada perlakuan pengelolaan air
a, bahan organik b dan pupuk nitrogen c pada 0, 4, 8 dan 12 MST
Tanaman padi menyerap N terutama dalam bentuk amonium, keberadaan nitrat pada tanah sawah tidak terlalu bermanfaat bagi tanaman justru
menjadi peluang terjadinya denitrifikasi yang berdampak pada penurunan efisiensi pemupukan N maupun emisi N
2
O. Konsentrasi nitrat tanah tertinggi dijumpai pada pengamatan 0 MST, pada saat tanam difusi oksigen dari atmosfer
Dinam ika am m onium dan nitrat pada pengelolaan air
40 80
120
4 8
12
Minggu setelah tanam pp
m- N
A mmo nium , Tergenang A mmo nium , M acak-macak
Nitrat , Tergenang Nitrat , M acak-macak
Dinam ika am m onium dan nitrat pada pengelolaan bahan organik
40 80
120
4 8
12
Minggu setelah tanam pp
m -N
A mmo nium , 0 to n ha-1 A mmo nium , 6 to n ha-1
Nitrat , 0 to n ha-1 Nitrat , 6 to n ha-1
Dinam ika am m onium dan nitrat pada pengelolaan pupuk nitrogen
40 80
120 160
4 8
12
Minggu setelah tanam pp
m -N
A mmo nium , Urea Ammo nium , CRF30
Ammo nium , CRF50 Nitrat , Urea
Nitrat , CRF30 Nitrat , CRF50
a b
c
ke lapisan tanah cukup tinggi dan memacu oksidasi amonium menjadi nitrat. Keberadaan nitrat pada tanah sawah sangat dipengaruhi oleh panjang waktu,
frekuensi dan tingkat drainase. Data komposisi N pada kombinasi perlakuan disajikan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Kadar N tanah pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N pada 0, 4, 8 dan 12 MST
Perlakuan Kadar N Tanah ppm N pada
0 MST 4 MST
8MST 12MST
NH
4 +
NO
3 -
NH
4 +
NO
3 -
NH
4 +
NO
3 -
NH
4 +
NO
3 -
W1B1N1 104 3 95 0.6 80 1.6
33 0.3
W1B1N2 30 2 75 0.6 97 1.1
39 3.5
W1B1N3 69 11 61 1.9 75 0.5
73 0.6
W1B2N1 106 3 135 4.8 97 1.8
50 2.0
W1B2N2 117 16 67 0.7 83 2.1 54
5.6 W1B2N3
55 6 83 1.0 66 2.8 50
0.2 W2B1N1
49 8 155 0.2 83 0.7 28
5.2 W2B1N2
31 4 152 0.5 93 2.0 33
4.6 W2B1N3
39 3 35 1.5 101 2.3
50 0.6
W2B2N1 78 11 114 0.3 92 4.8
35 0.4
W2B2N2 47 12 67 1.6 81 2.9
50 2.1
W2B2N3 99 8 61 3.4 81 2.4
42 2.1
Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk N terhadap Populasi Mikroba Tanah
Pengaruh kombinasi perlakuan pengelolan air, bahan organik dan pupuk N terhadap populasi mikroba tanah yaitu mikroba total, nitrobacter, nitrosomonas
dan denitrifier disajikan pada Tabel 4.5. Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen terhadap jumlah total mikroba disajikan pada
gambar 4.14. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap jumlah total mikroba tanah pada 0, 4, 8 dan 12 MST. Penambahan
bahan organik jerami juga tidak meningkatkan jumlah total mikroba tanah secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu pula antar macam pupuk
nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata terhadap jumlah total mikroba tanah pada berbagai waktu pengamatan.
Pada perlakuan pengelolaan air, jumlah total mikroba tanah pada saat 0 MST antara penggenangan dan macak-macak hampir sama. Penyiapan lahan
sebelum tanam dilakukan dengan pengelolaan air yang sama dan tidak mempengaruhi jumlah total mikroba pada saat tanam. Pada pengamatan 4, 8
dan 12 MST, jumlah total mikroba pada perlakuan penggenangan sedikit lebih
banyak dibanding pada perlakuan macak-macak. Nampaknya mikroba in situ tempatan lebih adaptif terhadap perlakuan penggenangan seperti yang biasa
diterapkan oleh petani setempat. Perlakuan macak-macak mengubah kondisi lingkungan bagi mikroba tempatan sehingga populasinya belum bisa menyamai
pada kondisi yang sudah biasa terjadi. Tabel 4.5. Populasi mikroba tanah pada kombinasi perlakuan pengelolaan air,
bahan organik dan pupuk N
Perlaku an
Populasi Mikroba tanah pada 0 MST
4 MST MT
Nitrobacter 10
3
MPN Nitrosomo
nas 10
3
MPN Denitrifier
10
4
MPN MT
Nitrobacter 10
3
MPN Nitrosomo
nas 10
3
MPN Denitrifier
10
4
MPN g
-1
BKM tanah g
-1
BKM tanah W1B1N1 1.1
0.5 0.2
2.1 22.3
0.8 20.9
108.7 W1B1N2 1.0
4.5 0.3
5.4 17.2
0.5 24.6
4.7 W1B1N3 0.7
0.9 0.9
2.8 5.0
1.3 12.0
19.2 W1B2N1 0.2
0.5 0.9
2.8 20.6
0.2 27.4
157.3 W1B2N2 1.6
0.5 5.1
5.1 23.4
0.8 17.4
5.2 W1B2N3 0.8
0.1 0.2
6.9 26.6
1.1 23.2
5.5 W2B1N1 1.7
0.5 4.5
36.1 22.7 1.4
18.1 37.1
W2B1N2 1.3 0.4
0.1 6.3
14.1 5.2
17.7 165.9
W2B1N3 1.6 2.2
0.8 56.1 11.9
0.8 1.1
132.0 W2B2N1 0.7
0.5 0.3
48.3 23.5 0.1
2.4 141.9
W2B2N2 0.7 0.8
0.4 6.1
16.8 0.3
15.0 142.8
W2B2N3 0.7 0.4
0.4 3.6
15.5 0.3
3.7 194.4
Perlaku an
Populasi Mikroba tanah pada 8 MST
12 MST MT
Nitrobacter 10
3
MPN Nitrosomo
nas 10
3
MPN Denitrifier
10
4
MPN MT
Nitrobacter 10
3
MPN Nitrosomo
nas 10
3
MPN Denitrifier
10
4
MPN g
-1
BKM tanah g
-1
BKM tanah W1B1N1 3.1
0.2 0.6
25.5 39.0 1.8
16.8 152.0
W1B1N2 16.8 0.6
1.6 311.2 25.2
3.9 23.7
272.1 W1B1N3
11.1 4.3 26.5 157.4 22.4
13.9 24.1 135.7 W1B2N1
8.9 1.2 16.5
115.5 6.2
0.6 14.5 4.3 W1B2N2
2.5 0.8 15.2 8.8
17.5 6.7 23.9
268.2 W1B2N3 3.9
2.5 16.0
255.1 32.7 0.6
6.7 266.1
W2B1N1 2.9
0.5 12.7 115.3
33.0 0.3 10.5
127.0 W2B1N2
7.5 0.7 18.1
164.5 7.0
4.9 21.3 135.2
W2B1N3 7.3 3.4
9.1 154.8 17.1
0.5 14.1
236.0 W2B2N1
6.8 0.7 15.7
41.8 26.7
1.1 16.0 115.5
W2B2N2 11.4 1.0
24.3 139.9
7.6 1.6
5.8 124.7
W2B2N3 4.4
1.5 30.3 126.0
3.8 3.1 13.8 2.3
Keterangan: MT: Mikroba total x 10
7
SPK Pada perlakuan bahan organik, jumlah total mikroba tanah pada saat 0
MST antara perlakuan pembenaman jerami dan tanpa jerami hampir sama. Pembenaman bahan organik jerami yang ber CN 34.9 selama masa penyiapan
lahan belum mampu menyediakan tambahan energi dan tidak mempengaruhi jumlah total mikroba pada saat tanam. Pada pengamatan 4 MST total mikroba
pada perlakuan jerami sedikit lebih tinggi dibanding pada perlakuan tanpa jerami. Pada saat tersebut jerami yang dibenamkam telah mengalami dekomposisi yang
lebih lanjut dan mampu membebaskan senyawa-senyawa sederhana yang mudah larut dalam air dan mendukung pertumbuhan mikroba. Zaman et al.
2002 menyatakan bahwa penambahan bahan organik meningkatkan aktivitas enzimatik dan biomasa mikroba tanah. Begitu pula pada pengamatan 12 MST,
total mikroba pada perlakuan jerami sedikit lebih tinggi dibanding pada tanpa jerami. Drainase yang dilaksanakan sebelumnya mampu meningkatkan
dekomposisi bahan organik secara aerobik dan mendukung pertumbuhan mikroba heterotrof.
Gambar 4.14. Jumlah total mikroba tanah pada perlakuan pengelolaan air a, bahan organik b dan pupuk nitrogen c pada 0, 4, 8 dan 12
MST
Populasi total mikroba tanah pada perlakuan pupuk nitrogen menunjukkan pola yang sejalan dengan perlakuan bahan organik. Pada
pengamatan 0 MSPT, antar perlakuan pupuk N menghasilkan total mikroba yang hampir sama. Penyiapan lahan dengan pengelolaan air yang sama, serta belum
mampunya jerami memberikan tambahan energi bagi mikroba, menyebabkan
5 10
15 20
25 30
4 8
12
P opul
a s
i x 10
7
sp k
g
-1
BK M
ta na
h
Minggu setelah tanam
a
Tergenang Macak-macak
5 10
15 20
25 30
4 8
12
P opul
a s
i x 10
7
sp k
g
-1
BK M
ta na
h
Minggu setelah tanam
b
0 tonha 6 tonha
5 10
15 20
25 30
4 8
12
P opul
a s
i x 10
7
spk g
-1
BK M
ta na
h
Minggu setelah tanam
c
Ure CRF-30
CRF-50
total mikroba antar perlakuan pupuk N pada saat tanam tidak berbeda. Pada pengamatan 4 MST total mikroba pada perlakuan Urea sedikit lebih tinggi
dibanding pada perlakuan CRF, dengan urutan urea, CRF
30
dan CRF
50
. Hal ini berkenaan dengan perbedaan tingkat penyediaan hara dari pupuk yaitu berturut-
turut urea, CRF
30
dan CRF
50
membebaskan hara nitrogen dan menstimulir pertumbuhan mikroba. Begitu pula pada pengamatan 12 MST, total mikroba
pada perlakuan urea sedikit lebih tinggi dibanding CRF, dengan urutan urea, CRF
50
dan CRF
30
. Drainase yang dilaksanakan sebelumnya mampu meningkatkan pertumbuhan mikroba autotrof.
Kesamaan pola dinamika total mikroba pada perlakuan bahan organik dan pupuk nitrogen, menunjukkan kemiripan respon mikroba baik autotrof
maupun heterotrof pada tanah sawah terhadap masukan energi. Secara umum pola populasi mikroba pada seluruh perlakuan yang dicobakan terhadap umur
tanaman adalah meningkat pada 4 MST seiring dengan kurva pertumbuhan cepat pada tanaman padi. Menurun pada 8 MST yang karena faktor eksternal,
beberapa hari sebelum pengamatan dilaksanakan drainase pada seluruh perlakuan karena tanaman menunjukkan gejala keracunan besi. Dan kembali
meningkat drastis pada 12 MST pada saat tanaman memasuki fase pengisian biji. Ada korelasi positif antara pertumbuhan tanaman di atas tanah dengan
eksudat akar yang dibebaskan. Eksudat tersebut merupakan sumber energi bagi pertumbuhan mikroba tanah.
Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen terhadap nitrosomonas disajikan pada gambar 4.15. Tidak terdapat perbedaan
yang nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap jumlah nitrosomonas pada 0, 4, 8 dan 12 MST. Penambahan bahan organik jerami juga tidak meningkatkan
jumlah nitrosomonas secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu pula antar macam pupuk nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata
terhadap jumlah nitrosomonas pada berbagai waktu pengamatan. Pada perlakuan pengelolaan air, jumlah nitrosomonas pada saat 0 MST
antara penggenangan dan macak-macak hampir sama. Penyiapan lahan sebelum tanam dilakukan dengan pengelolaan air yang sama dan tidak
mempengaruhi jumlah nitrosomonas pada saat tanam. Nitrosomonas merupakan mikroba pengoksidasi amonium menjadi nitrit yang juga disebut nitritasi, sebagai
reaksi tahap pertama dari proses nitrifikasi. Keberadaan mikroba tersebut dipengaruhi oleh ketersediaan amonium dan aerasi tanah. Pada pengamatan 4
MST, jumlah nitrosomonas pada perlakuan penggenangan sedikit lebih banyak dibanding pada perlakuan macak-macak. Ketersediaan amonium pada 4 MST
yang berasal dari hidrolisis pupuk pada perlakuan penggenangan lebih banyak dibanding pada perlakuan macak-macak. Kondisi tergenang yang menghambat
pertumbuhan nitrosomonas nampaknya dapat ditolerir oleh mikroba tersebut. Pengaliran air secara berkala untuk mempertahankan kondisi tergenang secara
kontinyu, mampu juga meningkatkan oksigen terlarut dalam air sehingga mampu menopang pertumbuhan nitrosomonas. Pada pengamatan 8 MST jumlah
nitrosomonas pada perlakuan tergenang sedikit lebih rendah dibanding pada perlakuan macak-macak. Pada saat pengamatan tersebut kadar amonium antara
perlakuan penggenangan dan macak-macak hampir sama dan penggenangan berdampak sedikit menekan pertumbuhan nitrosomonas. Pada akhir
pengamatan 12 MST kembali nitrosomonas pada perlakuan penggenangan sedikit lebih banyak dibanding macak-macak. Secara umum perlakuan
penggenangan tidak berdampak terhadap penghambatan nitrosomonas. Respon nitrosomonas terhadap penambahan bahan organik, ternyata
pada masa pengamatan 0 dan 4 MST, nitrosomonas pada perlakuan bahan organik hampir sama dengan tanpa bahan organik. Perlakuan jerami hingga 4
MST belum berpengaruh terhadap ketersediaan substrat maupun lingkungan pertumbuhan nitrosomonas. Baru pada 8 MST, nitrosomonas pada perlakuan
jerami sedikit lebih banyak dibanding tanpa jerami, pada saat tersebut hasil dekomposisi bahan organik telah membebaskan sejumlah amonium sebagai
sumber energi nitrosomonas. Namun pada akhir pengamatan 12 MST, nitrosomonas pada perlakuan jerami sedikit lebih rendah dibanding tanpa jerami.
Pengembalian jerami berpengaruh terhadap perbaikan lingkungan pertumbuhan nitrosomonas.
Populasi nitrosomonas terhadap perlakuan pupuk nitrogen baru nampak pada 4 MST. Pada saat tersebut jumlah nitrosomonas pada perlakuan urea dan
CRF
30
sedikit lebih tinggi dibanding pada CRF
50
. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa pelepasan N dari urea yang relatif cepat dan cukup banyak N telah
dibebaskan dari CRF
30
karena pupuk tersebut mampu melepaskan 80 N pada 30 hari setelah aplikasi. Pada pengamatan nitrosomonas 8 MST, sebaliknya
nitrosomonas pada perlakuan CRF
50
sedikit lebih banyak dibanding pupuk N lain, karena pada saat tersebut telah lebih dari 80 N dibebaskan oleh pupuk
tersebut.
Gambar 4.15. Jumlah nitrosomonas pada perlakuan pengelolaan air a, bahan organik b dan pupuk nitrogen c pada 0, 4, 8 dan 12 MST
Terdapat korelasi yang erat antara nitrosomonas dengan total mikroba tanah r=0.646 pada 0 MST, yang bermakna sekitar 41.7 variasi perubahan
total mikroba dapat dijelaskan oleh variasi perubahan nitrosomonas. Sedangkan korelasi antara nitrosomonas dengan nitrifier pada 0, 4, 8 dan 12 MST berturut-
turut mencapai sebesar r=0.7841, 0.9884, 0.9929, dan 0.9147, dengan korelasi secara keseluruhan 0-12 MST sebesar 0.9669, n=84. Berarti sekitar hampir
93.5 variasi perubahan nitrifier dapat dijelaskan oleh variasi perubahan nitrosomonas. Hubungan antara nitrosomonas dengan nitrifier dapat dinyatakan
dengan persamaan y = 1.093x + 0.5225, R = 0.9339, di mana y adalah populasi nitrifier dan x adalah populasi nitrosomonas. Informasi tersebut juga
mengindikasikan dominansi peran nitrosomonas dalam proses nitrifikasi, kondisi ini berbeda dengan lahan kering dimana populasi nitrobacter lebih dominan
sebagai nitrifier seperti ditunjukkan pada Tabel 4.2. a b
5 10
15 20
25
4 8
12 Nitr
oso m
on as
x 1
3
MP N g
-1
BKM ta
nah
Minggu setelah tanam
c
Ure CRF-30
Korelasi antara nitrosomonas dengan nitrobacter pada 0, 4, 8 dan 12 MST berturut-turut mencapai sebesar r=
-0.1743
,
0.3319
,
0.3526
, dan
0.4025
, dengan korelasi secara keseluruhan 0-12 MST sebesar
0.3047
, n=84. Pada 0 MST antara populasi nitrosomonas dengan populasi nitrobacter tidak berkorelasi
dan menunjukkan gejala saling berkompetisi, dengan meningkatnya waktu dari 4 ke 12 MST peningkatan populasi nitrosomonas diikuti dengan peningkatan
populasi nitrobacter. Oksidasi amonium menjadi nitrit oleh nitrosomonas menyediakan sumber energi bagi nitrobacter untuk mengoksidasi nitrit menjadi
nitrat. Sayangnya korelasi antara nitrosomonas dengan kadar amonium tanah sebagai sumber energi dan kadar nitrat hasil akhir nitrifikasi tidak
menunjukkan angka yang tinggi. Hal ini dapat dipahami bahwa amonium dan nitrat tanah yang diukur adalah pada kondisi amonium dan nitrat telah
dimanfaatkan oleh tanaman maupun mikroba. Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen
terhadap nitrobacter disajikan pada Gambar 4.16. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap jumlah nitrobacter pada 0,
4, 8 dan 12 MST. Penambahan bahan organik jerami juga tidak meningkatkan jumlah nitrobacter secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu
pula antar macam pupuk nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata terhadap jumlah nitrobacter pada berbagai waktu pengamatan.
Nitrobacter merupakan mikroba pengoksidasi nitrit menjadi nitrat atau proses nitratasi, sebagai reaksi tahap kedua dalam nitrifikasi. Dari aspek mata
rantai makanan, keberadaan nitrobacter merupakan kelanjutan dari nitrosomonas. Kehadirannya sangat dibutuhkan karena peningkatan konsentrasi
nitrit sebagai hasil antara proses nitrifikasi yang dilakukan oleh nitrosomonas, bersifat toksik bagi tanaman budidaya. Aktivitas mikroba ini dipengaruhi oleh
konsentrasi nitrit dalam substrat dan aerasi. Respon Nitrobacter terhadap perlakuan pengelolaan air, hampir pada
seluruh waktu pengamatan 0, 8 dan 12 MST, nitrobacter pada perlakuan penggenangan sedikit lebih tinggi dibanding dengan macak-macak. Hal ini
berkaitan dengan hasil aktivitas oksidasi amonium pada kondisi tergenang, keberadaan nitrit yang lebih banyak pada suasana tergenang menjadi sumber
energi bagi pertumbuhan nitrobacter.
Gambar 4.16. Jumlah nitrobacter pada perlakuan pengelolaan air a, bahan organik b dan pupuk nitrogen c pada 0, 4, 8 dan 12 MST
Pada seluruh waktu pengamatan, nitrobacter pada perlakuan jerami sedikit lebih rendah dibanding tanpa jerami. Dekomposisi jerami menghasilkan
sejumlah substrat organik yang siap dioksidasikan. Terjadi peluang persaingan antara mikroba pengoksidasi nitrit nitrobacter yang bersifat autotrof dengan
pengoksidasi senyawa organik yang bersifat heterotrof. Perlakuan pupuk CRF menyebabkan populasi nitrobacter yang sedikit
lebih tinggi dibanding perlakuan urea, pada seluruh waktu pengamatan 0, 4, 8 dan 12 MST. Pengaruh CRF terhadap populasi nitrobacter semakin menguat
dengan umur tanaman. Hal ini berkaitan dengan waktu tunda kelarutan hara pada pupuk CRF.
Pada keseluruhan waktu pengamatan tidak didapat korelasi yang nyata antara nitrobacter dengan total mikroba. Nitrobacter berkorelasi sangat nyata
terhadap total nitrifier dengan nilai korelasi r = 0.5393 p ≤ 0.01 dengan n=84.
Hal ini mengindikasikan bahwa dalam proses nitrifikasi peran nitrobacter kurang menonjol dibanding nitrosomonas. Lebih kecilnya populasi nitrobacter dibanding
a b
1 2
3 4
5
4 8
12
P opul
a s
i Ni tr
ob ac
te r
x 1
3
MP N g
-1
Minggu setelah tanam
c
Urea CRF-30
CRF-50
nitrosomonas terhadap keseluruhan nitrifier, perlu dikaji lebih cermat. Karena kelebihan nitrit hasil kerja nitrosomonas yang tidak mampu seluruhnya
dimanfaatkan oleh nitrobacter, potensial di denitrifikasi menjadi N
2
O. Memang pendekatan populasi tidak sepenuhnya akurat untuk memprediksi aktivitas
nitrosomonas maupun nitrobacter, karena seringkali populasi tidak mencerminkan aktivitas mikroba.
Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen terhadap denitrifier disajikan pada Gambar 4.17. Tidak terdapat perbedaan yang
nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap jumlah denitrifier pada 0, 4, 8 dan 12 MST. Penambahan bahan organik jerami juga tidak meningkatkan jumlah
denitrifier secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu pula antar macam pupuk nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata terhadap jumlah
denitrifier pada berbagai waktu pengamatan. Denitrifier berperan dalam reaksi reduksi nitrat menjadi nitrit, kemudian
menjadi N
2
O dan atau N
2
yang dibebaskan ke atmosfer dalam bentuk gas. Berdasarkan kiprah kerja denitrifier, keberadaan mikroba tersebut erat berkaitan
dengan ketersediaan nitrat serta suasana reduktif dalam tanah. Dalam siklus nitrogen secara utuh, keberadaan denitrifier merupakan bagian dari nitrifikasi,
sebagian nitrat hasil nitrifikasi menjadi sumber energi bagi denitrifier. Reaksi denitrifikasi yang secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut:
NO
3 -
NO
2 -
NO N
2
O N
2
Jumlah denitrifier pada 0 dan 4 MST pada perlakuan penggenangan sedikit lebih rendah dibanding pada perlakuan macak-macak. Pada 8 dan 12
MST, denitrifier pada perlakuan penggenangan sedikit lebih banyak dibanding pada perlakuan macak-macak. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa bahwa
respon denitrifier terhadap pengelolaan air sangat fleksibel. Pada kondisi macak- macak dukungan lingkungan tumbuh denitrifier setara dengan pada kondisi
tergenang. Respon denitrifier terhadap penambahan bahan organik baru nampak
pada 8 dan 12 MST, dimana penambahan jerami justru sedikit menekan pertumbuhan denitrifier. Pendapat secara umum penambahan jerami menstimulir
suasana reduktif yang mendukung pertumbuhan denitrifier. Keberadaan denitrifier merupakan resultante sejumlah faktor meliputi kandungan air tanah,
kandungan bahan organik tanah, potensial redoks, respirasi tanah. Nampaknya
proporsi peran bahan organik terhadap denitrifier pada kondisi percobaan tesebut cukup kecil dibanding faktor-faktor yang lain.
Gambar 4.17. Jumlah denitrifier pada perlakuan pengelolaan air a, bahan organik b dan pupuk nitrogen c pada 0, 4, 8 dan 12 MST
Pengaruh perlakuan pupuk nitrogen, denitrifier pada 0 dan 4 MST dengan perlakuan urea sedikit lebih tinggi dibanding CRF, dan pada waktu pengamatan
berikutnya yaitu 8 dan 12 MST, denitrifier dengan perlakuan CRF sedikit lebih tinggi dibanding perlakuan urea. Hal ini berkaitan erat dengan kecepatan
pembebasan hara nitrogen dari masing-masing pupuk. Urea yang lebih cepat membebaskan hara nitrogen meningkatkan jumlah denitrifier di awal percobaan,
sedangkan CRF yang lebih lambat melepaskan hara nitrogen baru mampu mensuplai energi bagi pertumbuhan denitrifier pada waktu berikutnya.
Korelasi antara denitrifier dengan parameter mikrobiologis lain yang diamati sangat rendah. Nampaknya saling keterkaitan antar mikroba dalam siklus
a b
5 10
15 20
25
4 8
12
Po pul
as i x
1
5
MP N g
-1
BKM
ta na
h
Minggu setelah tanam
c
Urea CRF-30
CRF-50
transformasi N khususnya dinamika nitrifikasi dan denitrifikasi sulit untuk dipahami secara separatis.
Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen terhadap respirasi disajikan pada Gambar 4.18. Tidak terdapat perbedaan yang
nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap respirasi pada 0, 4, 8 dan 12 MST. Penambahan bahan organik jerami juga tidak meningkatkan jumlah
respirasi secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu pula antar macam pupuk nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata terhadap respirasi
pada berbagai waktu pengamatan.
Gambar 4.18. Respirasi pada perlakuan pengelolaan air a, bahan organik b dan pupuk nitrogen c pada 0, 4, 8 dan 12 MST
Respirasi tanah merupakan salah satu parameter yang sering digunakan untuk menggambarkan aktivitas kehidupan biologi tanah. Pendekatan respirasi
lebih komprehensif karena di dalamnya tercakup informasi variasi populasi, a b
20 40
60
4 6
8 12
Res p
iras i
m g
CO
2
-C k g
-1
ta na
h
ha ri
-1
Minggu setelah tanam
c
Urea CRF30
CRF50
ukuran dan aktivitas yang secara bersamaan mempengaruhi produksi CO
2
dari tanah. Dari penelitian ini respirasi antar perlakuan yang dicobakan hampir
seragam. Kesamaan pola respirasi antar perlakuan mengindikasikan bahwa dinamika respirasi tanah hanya berkaitan erat dengan stadia pertumbuhan
tanaman. Hal tersebut senada dengan pernyataan Cheng et al. 1996 bahwa
respirasi mikroba tanah tidak dipengaruhi oleh karbon tersedia di daerah rizosfer, penambahan jerami 6 ton ha
-1
belum berpengaruh terhadap respirasi. Respirasi meningkat dari 0 hingga 8 MST kemudian turun pada 12 MST membentuk pola
hiperbola. Pertumbuhan tanaman menyediakan substrat bagi mikroba untuk aktivitasnya, pada pertumbuhan cepat sejumlah eksudat akar dibebaskan dan
menjadi sumber energi bagi mikroba. Namun sayangnya tidak dijumpai korelasi yang erat antara respirasi dengan total mikroba. Data populasi hanya merujuk
pada jumlah individukoloni persatuan bobot tanah, data tersebut tidak mencakup distribusi ukuran sehingga sering tidak klop pada saat diperhadapkan dengan
data respirasi Djajakirana, 2003. Salah satu parameter yang sering digunakan untuk mengukur aktivitas
mikroba tanah adalah Cmic, yaitu karbon yang digunakan untuk menyusun tubuh mikroba. Dari perlakuan yang dicobakan hanya penambahan jerami yang
meningkatkan Cmic. Jerami padi lebih kaya selulose yang relatif mudah didegradasi dari pada lignin. Pada perlakuan tanpa pengembalian jerami, sumber
bahan organik berasal dari pengembalian akar dan tunggul padi yang lebih kaya dengan kandungan lignin dan relatif sulit terdegradasi. Sebagai pembanding
digunakan data sekunder dari Lou et al. 2006, pada jerami padi kadar lignin 107.0 ± 6.4 dan selulose 283.0 ± 6.9 g kg
-1
, sementara pada akar padi kadar lignin 174.0 ± 5.8 dan selulose 268.0 ± 4.3 g kg
-1
. Data C-organik, Cmic dan nisbah CmicC-organik disajikan pada Gambar 4.19 dan Tabel 4.6. Nisbah
CmicC-organik menggambarkan proporsi C-organik yang terinkorporasi pada penyusunan tubuh mikroba, semakin tinggi nilai nisbah tersebut mengindikasikan
proses penyimpanan karbon dalam tanah.
Tabel 4.6. C-organik, Cmic dan nisbah CmicC-organik pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N
Perlakuan
4 MST 6 MST
8 MST 12 MST
C-organik C
mic
μgg tanah
C-organik C
mic
μgg tanah
C
mic
Corg C-
organik C
mic
μgg tanah
C
mic
C org
W1B1N1
1.55 27.6
1.46 151.6
1.03 1.21 24.8 0.20
W1B1N2
1.58 55.1
1.59 110.3
0.70 1.29 79.9 0.62
W1B1N3
1.63 93.7
1.56 91.0
0.59 1.12 66.2 0.59
W1B2N1
1.66 33.1
1.63 140.6
0.87 1.64 165.4 1.01
W1B2N2
1.80 88.2
1.71 129.5
0.77 1.41 176.4 1.27
W1B2N3
1.69 66.2
1.61 137.8
0.85 1.58 99.2 0.61
W2B1N1
1.69 170.9
1.53 82.7
0.54 1.36 104.7 0.79
W2B1N2
1.79 115.8
1.50 179.2
1.18 1.37 68.9 0.42
W2B1N3
1.69 16.5
1.58 82.7
0.52 1.49 63.4 0.44
W2B2N1
1.80 187.4
1.67 102.0
0.61 1.58 118.5 0.75
W2B2N2
1.77 93.7
1.67 135.1
0.81 1.57 124.0 0.75
W2B2N3
1.79 148.8
1.81 118.5
0.67 1.64 79.9 0.47
Gambar 4.19. Cmic pada perlakuan pengelolaan air a, bahan organik b dan pupuk nitrogen c pada 6, 8 dan 12 MST
a b
30 60
90 120
150
6 8
12
C
mi c
ug g
-1
ta na
h
Minggu setelah tanam
c
Urea CRF30
CRF50
Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk N terhadap Fluks CH
4
dan N
2
O
Rata-rata fluks
CH
4
antar perlakuan selama masa pengamatan disajikan pada Gambar 4.20. Dinamika fluks CH
4
pada tanaman padi nampak sejalan dengan fase pertumbuhan tanaman padi. Pertumbuhan fase vegatatif padi
ditandai dengan pertambahan jumlah anakan, tinggi tanaman dan jumlah daun. Sedangkan pertumbuhan generatif ditandai dengan pemanjangan ruas batang,
pembentukan daun bendera serta pembungaan. Seiring dengan pertumbuhan, bertambah pula pori mikro pada daun, ruang udara antar sel serta kelebatan
akar. Seperti diketahui bahwa emisi metana dari lahan sawah terdiri dari emisi
langsung dari tanah maupun emisi yang dimediasi oleh tanaman. Emisi CH
4
melalui tanaman padi melibatkan sejumlah proses. Pelarutan CH
4
dalam air di sekitar perakaran dan dengan kontak akar berdifusi ke dalam korteks akar. Difusi
dalam tanaman berlangsung melalui korteks dan aerenkim dan kemudian dibebaskan ke atmosfer melalui pori-pori mikro pada daun Wassmann dan
Aulakh, 2000. Setyanto et al. 1997a menyatakan bahwa emisi CH
4
dari tanah sawah ke udara melalui aerenkim tanaman padi sebesar 69.2 hingga 82.6. dari
emisi total. Penjelasan tersebut yang mendasari fenomena fluktuasi fluks CH
4
seiring dengan pola pertumbuhan tanaman.
Gambar 4.20. Fluks CH
4
dua mingguan pada umur 0 – 12 MST, gabungan seluruh perlakuan, error bar menunjukkan standar deviasi, n=36.
Fluks CH
4
merupakan resultante aktivitas metanogen dan metanotrof, yang dipengaruhi oleh ketersediaan energi dan faktor lingkungan pendukungnya.
-5 5
10 15
20 25
2 4
6 8
10 12
Fluk s m
e tan
mg CH4-C
m-2 jam -
1
Umur tanaman MST
Pada saat tanaman muda, eksudat akar yang dibebaskan yang menjadi sumber energi bagi mikroba masih terbatas sehingga CH
4
yang dibebaskanpun masih terbatas. Pada fase pertumbuhan cepat memasuki umur 6 MST, kondisi
lingkungan sangat mendukung aktivitas metanogen sehingga fluks CH
4
mencapai maksimalnya. Pada umur tanaman berikutnya terjadi trend penurunan fluks CH
4
. Drainase yang dilaksanakan pada 9 MST menyebabkan aktivitas metanogen berkurang dan sebaliknya metanotrof bertambah. Inubushi et al.
2002 menjelaskan bahwa fluks CH
4
nyata berkurang setelah fase pembungaan ke fase pengisian bulir. Pada saat tersebut jumlah dan aktivitas metanogen
berkurang seiring dengan bertambahnya umur tanaman, sedangkan jumlah dan aktivitas metanotrof menunjukkan trend meningkat. Populasi metanogen
mencapai 10
5
g
-1
bobot kering tanah, sementara populasi metanotrof berkisar antara 10
4
hingga mendekati 10
6
g
-1
bobot kering tanah. Kisaran fluks selama pengamatan antara -4.6 hingga 60.4 mg CH
4
-C m
-2
jam
-1
sebagai perbandingan data kisaran fluks di Jepang sebagai representasi negara subtropis berkisar
antara 0-60 mg CH
4
m
-2
jam
-1
. Data fluks CH
4
dan N
2
O dianalisis dengan program IRRIStat, untuk mengetahui perlakuan tunggal pengelolaan air, bahan organik, pupuk N, interaksi
pengelolaan air-bahan organik, pengelolaan air- pupuk N, bahan organik-pupuk N, maupun pengelolaan air- bahan organik- pupuk N. Kemudian dilanjutkan
dengan pengujian perbedaan antar rata-rata kombinasi perlakuan. Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen
terhadap fluks CH
4
disajikan pada Gambar 4.21. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pengelolan air terhadap CH
4
pada 0, 4, 8 dan 12 MST. Penambahan bahan organik jerami juga tidak meningkatkan CH
4
secara signifikan pada berbagai waktu pengamatan. Begitu pula antar macam pupuk
nitrogen yang diberikan tidak berdampak nyata terhadap CH
4
pada berbagai waktu pengamatan.
Perlakuan pengelolaan air baru berdampak pada fluks CH
4
pada pengamatan 4 dan 6 MST, di mana penggenangan menghasilkan fluks CH
4
lebih tinggi dibanding perlakuan macak-macak. Kondisi penggenangan kondusif bagi
pertumbuhan dan aktivitas metanogen dalam memproduksi CH
4
. Pola tersebut sejalan dengan hasil penelitian Husin et al. 1995 serta Minamikawa dan Sakai
2005. Kisaran rata-rata fluks CH
4
harian pada perlakuan penggenangan adalah
1.34 – 14.09 mg CH
4
-C m
-2
jam
-1
, sedangkan rata-rata fluks CH
4
harian pada perlakuan macak-macak adalah 1.25 – 9.8 mg CH
4
-C m
-2
jam
-1
dengan n=18. Pembenaman jerami secara umum menghasilkan fluks CH
4
yang sedikit lebih tinggi dibanding tanpa penambahan jerami terutama pada awal
pertumbuhan tanaman 0 hingga 6 MST. Hal ini mengindikasikan dekomposisi bahan organik dari tambahan jerami mampu memacu aktifitas metanogen.
Kisaran rata-rata fluks CH
4
harian pada perlakuan jerami adalah 3.40 – 14.71 mg CH
4
-C m
-2
jam
-1
, sedangkan rata-rata fluks CH
4
harian pada perlakuan tanpa jerami adalah 0.66 – 14.7 mg CH
4
-C m
-2
jam
-1
dengan n=18. Sebagai pembanding hasil penelitian Wihardjaka 2001 rata-rata fluks CH
4
harian pada perlakuan tanpa jerami, jerami segar dan kompos jerami berturut-turut sebesar
7.31, 14.36 dan 11.15 mg CH
4
m
-2
jam
-1
.
Gambar 4.21. Fluks CH
4
pada perlakuan pengelolaan air a, bahan organik b dan pupuk nitrogen c pada 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 MST, error
bar menunjukkan standar deviasi, n=18
-10 -5
5 10
15 20
25 30
2 4
6 8
10 12
fl u
k s
met a
na mg CH
4-
C m
-2
jam
-1
Minggu setelah tanam
a
Tergenang Macak-macak
-10 -5
5 10
15 20
25 30
2 4
6 8
10 12
Fl uk
s M
e ta
n a
m g
C H
4
-C m
-2
ja m
-1
Minggu setelah tanam
b
0 ton ha-1 6 ton ha-1
-5 5
10 15
20 25
30 35
40
2 4
6 8
10 12
Fl uk
s Me ta
na mg
CH
4
-C m
-2
jam
-1
Minggu setelah tanam
c
Urea CRF30
Penelitian Nugroho et al. 1996 menunjukkan peningkatan fluks metana oleh penambahan jerami sebesar 1.3 hingga 1.6 kali dibanding tanpa jerami,
rata-rata fluks metana selama pertumbuhan padi pada plot tanpa jerami berkisar antara 16.0 – 26.1 mg CH
4
m
-2
jam
-1
sedangkan pada plot dengan penambahan jerami berkisar antara 23.3 – 34.9 mg CH
4
m
-2
jam
-1
. Sedangkan Subadiyasa et al. 1997 menyatakan rata-rata fluks metana pada Alfisol sebesar 1.37-2.13 mg
CH
4
m
-2
jam
-1
pada plot tanpa jerami dan 2.14-3.62 mg CH
4
m
-2
jam
-1
pada penambahan jerami. Pada Inseptisol nilainya sedikit lebih tinggi 2.32-3.32 mg
CH
4
m
-2
jam
-1
pada plot tanpa jerami dan 4.18-6.35 mg CH
4
m
-2
jam
-1
pada penambahan jerami. Penelitian Nugroho et al. 1994b menunjukkan bahwa fluks
metana pada pembenaman jerami lebih tinggi dibanding pupuk hijau Sesbania serta pupuk kandang.
Pupuk CRF menghasilkan fluks CH
4
yang sedikit lebih tinggi dibanding pupuk urea. Kisaran rata-rata fluks CH
4
harian pada perlakuan urea, CRF
30
dan CRF
50
berturut-turut sebesar 0.50 – 14.96, 0.57 – 17.71 dan 1.47-18.53 mg CH
4
- C m
-2
jam
-1
dengan n=18. Penundaan ketersediaan N pada pupuk CRF pada penelitian ini memberikan kesempatan kepada mikroba heterotrof termasuk
metanogen untuk berkembang pesat sehingga menghasilkan CH
4
yang lebih tinggi dibanding pupuk N cepat tersedia.
Emisi CH
4
disajikan pada Gambar 4.22. dan Tabel 4.7. Pengairan secara macak-macak mampu menekan emisi sebesar 24.17 dibanding perlakuan
tergenang, yaitu penurunan dari 167.88 menjadi 127.30 kg CH
4
-C ha
-1
. Sebagai pembanding hasil penelitian Nugroho et al. 1994a rata-rata emisi CH
4
pada perlakuan penggenangan secara kontinyu dan intermiten masing-masing
sebesar 36-45 dan 29-44 g CH
4
m
-2
. Penerapan drainase mid-season di jepang mampu menurunkan emisi 49-63 dibanding kontrol Yagi, 2005.
Emisi CH
4
pada perlakuan jerami dan tanpa jerami masing-masing sebesar 161.36 dan 145.03 kg CH
4
-C ha
-1
. Bahan organik meningkatkan emisi
11.267. Pengaruh tersebut lebih kecil dibanding pengelolaan air. Bahan organik yang diberikan sudah mulai mengalami dekomposisi, bila terlalu segar
peningkatan emisi tinggi sekali. Emisi CH
4
pada perlakuan urea, CRF
30
dan CRF
50
berturut-turut sebesar 137.67, 152.49 dan 167.45 kg CH
4
-C ha
-1
. CRF meningkatkan emisi berturut-
turut 10.77 dan 21.64 dibanding urea. Sumber pupuk N berpengaruh terhadap besarnya emisi CH
4
. Sebagai pembanding hasil penelitian Nugroho et
al. 1994b dan Minamikawa et al. 2005 menyimpulkan bahwa pemberian amonium sulfat pada takaran N yang sama menghasilkan emisi CH
4
yang lebih rendah dibanding pemberian urea. Dalam hal tersebut sulfat sebagai senyawa
ikutan mampu berperan sebagai aseptor elektron dan menyebabkan persaingan antara metanogen dan mikroba pereduksi sulfat. Suharsih et al. 2002
menyatakan bahwa penambahan pupuk N dalam bentuk urea pril mampu menekan fluks CH4 sebesar 3.8, sebaliknya pemberian urea tablet
meningkatkan fluks CH4 sebesar 15.2 disbanding tanpa pupuk N.
Gambar 4.22. Emisi CH
4
kg CH
4
-Cha pada perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen error bar menunjukkan standar
deviasi, n=18
Dari kajian ini dapat disintesis hasil bahwa penambahan bahan organik tidak menimbulkan masalah peningkatan emisi CH
4
asal diikuti pengairan macak- macak dan pupuk N yang segera tersedia. Informasi ini sangat bermanfaat
karena dari kajian pustaka disebutkan bahwa pemberian bahan organik ditengarai meningkatkan emisi CH
4
. Pada tanah-tanah di daerah tropika dengan tingkat dekomposisi bahan organik yang tinggi, masalah bahan organik menjadi
sangat penting untuk pemeliharaan produktivitas tanah. Setelah panen padi, jerami dicacah kasar agar memudahkan pembenaman dan tidak mengganggu
kegiatan penggaruan serta penanaman padi. Cacahan jerami ditumpuk di pematang untuk membantu proses dekomposisi dan baru dibenamkan ke dalam
tanah pada saat pengolahan lahan kedua bersamaan dengan penggaruan dan pembuatan leleran setelah pembajakan.
50 100
150 200
250 300
Emisi kg CH
4
-C ha
Tabel 4.7. Emisi CH
4
antar perlakuan dan kombinasi pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N
Perlakuan Emisi CH
4
kg CH
4
-C ha
-1
pada umur tanaman MST
0-2 2-4
4-6 6-8
8-10 10-12
TOTAL
Pengelolaan air Tergenang
6.95 16.80
35.06 a 39.00
33.38 36.68
167.88
Macak- macak
8.10 6.74
14.26 a 31.25
32.71 33.02
127.29 Bahan organik
0 ton ha-1
5.56 9.76
20.00 a 34.22
34.98 40.52
145.03
6 ton ha-1
9.87 15.19
32.28 a 38.20
32.97 31.23
161.36
Pupuk N Urea
9.46 14.13
24.09 ab 34.17
20.90 33.66
137.67
CRF30
3.43 16.92
43.88 a 40.90
24.43 22.92
152.49
CRF50
10.25 6.29
9.76 b 33.55
56.57 51.04
167.45
Perlakuan Emisi CH
4
kg CH
4
-C ha
-1
pada umur tanaman MST
0-2 2-4
4-6 6-8
8-10 10-12
TOTAL
W1B1N1
-0.30 0.27
32.12 ab 49.54
35.59 36.03
153.25
W1B1N2
0.96 25.51
46.16 ab 26.29
12.93 10.94
122.78
W1B1N3
1.44 -0.37
9.50 b 34.43
30.28 55.16
130.45
W1B2N1
20.51 32.29
45.20 ab 39.09
9.52 24.77
171.38
W1B2N2
7.73 34.34
75.41 a 77.54
32.44 5.91
233.37
W1B2N3
13.65 14.39
13.69 b 20.10
90.65 99.51
251.99
W2B1N1
15.12 15.92
5.01 b 20.28
23.07 49.64
129.05
W2B1N2
7.38 8.22
20.89 ab 23.98
45.41 69.59
175.47
W2B1N3
8.78 8.99
6.31 b 50.78
62.57 21.75
159.18
W2B2N1
2.51 4.98
9.00 b 27.79
15.43 24.21
76.66
W2B2N2
-2.32 -0.39
33.08 ab 35.78
6.96 5.23
78.34
W2B2N3
17.14 2.13
9.53 b 28.87
42.79 27.72
128.19
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji wilayah berganda Duncan dengan p 0.05
Dari aspek kombinasi perlakuan kisaran emisi CH
4
mencapai 76.66 hingga 251.99
kg CH
4
-C ha
-1
Gambar 4.23. dengan rata-rata sebesar 150.84 ± 53.17
CH
4
-C ha
-1
. Emisi terendah
ditemui pada perlakuan W2B2N1 Macak- macak, tambah jerami, Urea dan emisi tertinggi pada perlakuan W1B2N3
tergenang, jerami, CRF50. Perlakuan W2B2N1 Macak-macak, tambah jerami,
Urea mampu menurunkan emisi sebasar 49.97 dibanding kontrol.
Gambar 4.23. Emisi CH
4
pada berbagai kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen error bar menunjukkan standar
deviasi, n=3
Purata fluks N
2
O gabungan seluruh perlakuan selama masa pengamatan disajikan pada Gambar 4.24. Fluks N
2
O berkisar antara 0.04 hingga 3.76 μg N
m
-2
jam
-1
. Fluks N
2
O meningkat dari 0 hingga 4 MSPT, pada 6 MST turun menjadi sangat rendah dan hampir stabil hingga akhir pengamatan pada 12
MST. Fluks N
2
O tertinggi tercapai pada 4 MST, data tersebut senada dengan Xu et al. 2002 yang mendapatkan fluks N
2
O tertinggi pada padi pada 20 HST dan Kumar et al. 2000 pada 30 HST. Pada awal masa pertumbuhan ketersediaan N
hasil hidrolisis pupuk melebihi kapasitas serapan tanaman yang masih terbatas. Amonium hasil hidrolisis pupuk yang tidak diserap oleh tanaman berpeluang
mengalami nitrifikasi dan nitrat yang dihasilkan berpeluang mengalami proses denitrifikasi. Hasil samping nitrifikasi dan denitrifikasi berupa N
2
O. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan fluks N
2
O pada 0 hingga 4 MST. Pada minggu ke 6 dan selanjutnya, N dari pupuk mampu dimanfaatkan secara optimal sehingga
fluks N
2
O dari 6 hingga 12 MST turun. Setyanto et al. 1997b menyatakan puncak pelepasan N
2
O didapatkan pada 3-5 hari setelah pemupukan, fluks N
2
O tetap tinggi pada 1-2 minggu setelah pemupukan kemudian menurun dengan
tajam.
50 100
150 200
250 300
350 400
450
W1B1N1W1B1N2W1B1N3W1B2N1W1B2N2W1B2N3W2B1N1W2B1N2W2B1N3W2B2N1W2B2N2W2B2N3
Emisi kg CH
4
-C ha
Gambar 4.24. Fluks N
2
O dua mingguan pada umur 0 – 12 MST, gabungan seluruh perlakuan, error bar menunjukkan standar deviasi, n=36
Pengaruh pengelolaan air, bahan organik serta pupuk nitrogen terhadap fluks N
2
O disajikan pada Gambar 4.25. Pengaruh pengelolaan air terhadap fluks N
2
O secara umum nampak bahwa pada kondisi tergenang menghasilkan fluks yang sedikit lebih rendah dibanding kondisi macak-macak. Kisaran fluks N
2
O pada kondisi tergenang antara 0.01 – 4.82 sedangkan pada pada kondisi
tergenang lebih lebar yaitu 0.00 – 5.20 μg N m
-2
jam
-1
. Suratno et al. 1998 mendapatkan data bahwa penggenangan mampu menekan fluks N
2
O dibanding perlakuan intermitten.
Pada seluruh waktu pengamatan, pemberian jerami meningkatkan fluks N
2
O. Kisaran fluks N
2
O pada kondisi tanpa penambahan jerami antara 0.00 – 3.45 sedangkan pada pada penambahan jerami lebih tinggi yaitu 0.04 – 4.08
μg N m
-2
jam
-1
. Pemberian jerami akan menambah sejumlah karbon yang mudah teroksidasi. Menurut Azam et al. 2002 kombinasi ketersediaan N dan karbon
mudah teroksidasi akan meningkatkan fluks N
2
O. Dari data amonium tanah, nampak bahwa penambahan jerami berkontribusi terhadap peningkatan
amonium tanah. Clemens dan Huschka 2001 menggunakan indikator BOD untuk menggambarkan karbon tersedia dalam bahan organik, dan mendapatkan
bahwa fluks N
2
O berkorelasi erat dengan BOD. Selain itu penambahan jerami meningkatkan imobilisasi N dalam tanah, N yang terimobilisasi akan dibebaskan
dan meningkatkan peluang nitrifikasi dan denitrifikasi yang berkontribusi terhadap pelepasan N
2
O. Begitu juga Khalil et al. 2002 melaporkan bahwa penambahan
-15 -10
-5 5
10 15
0 MST 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST 10
MST 12
MST
Um ur tanam an Fl
uk s
N
2
O u
g N
2
O-N m
-2
ja m
-1
bahan organik yang mengandung senyawa karbon mudah terdekomposisi akan meningkatkan fluks N
2
O.
Gambar 4.25. Fluks N
2
O pada perlakuan pengelolaan air a, bahan organik b dan pupuk nitrogen c pada 0, 2, 4, 8, 10 MST
Penggunaan pupuk N, CRF meningkatkan fluks N
2
O. Pupuk CRF dengan laju pelepasan N yang lambat tidak mampu menekan fluks N
2
O dibanding pupuk urea. Fluks N
2
O pada perlakuan pupuk urea, CRF30 dan CRF50 berturut-turut sebesar 0.01 – 2.78, 0.04 – 6.40 dan 0.02 – 2.38
μg N m
-2
jam
-1
. Kondisi ini bertentangan dengan teori bahwa penggunaan slow release fertilizer mampu
mengurangi fluks N
2
O. Peningkatan ini disebabkan oleh penundaan pelepasan N menyebabkan semakin tingginya peluang nitrifikasi pada kondisi tersebut
dengan hasil samping dibebaskannya N
2
O. Kelarutan urea yang lebih tinggi juga memungkinkan pencucian dan memperkecil peluang pembentukan N
2
O. Peningkatan fluks N
2
O oleh CRF juga dilaporkan oleh Li et al. 2002 pada
Andisol Jepang yang ditanami wortel.
a b
-5 5
10 15
2 4
6 8
10
F luks N
2
O u
g m
-2
ja m
-1
Minggu setelah pindah tanam
c
Urea CRF30
CRF50
Emisi N
2
O disajikan pada Gambar 4.26. Perlakuan macak-macak meningkatkan fluks secara drastis dibanding perlakuan tergenang yaitu dari
16.01 menjadi 31.81 g N ha
-1
atau sebesar 98.7. Peningkatan diffusi oksigen oleh perlakuan pengairan macak-macak menunjang fluks N
2
O baik melalui proses nitrifikasi maupun denitrifikasi.
Gambar 4.26. Emisi N
2
O pada perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen error bar menunjukkan standar deviasi, n=18
Penambahan bahan organik meningkatkan emisi N
2
O sebesar 51.2 yaitu dari 19.76 menjadi 29.88 g N ha
-1
. Sementara pemberian CRF
30
meningkatkan emisi sebesar 69.2 dibanding pupuk urea yaitu dari 19.85 menjadi 33.58 g N ha
-1
12 minggu
-1
. Kombinasi ini perlu dicermati karena penambahan bahan organik yang bertujuan memelihara produktifitas tanah dan
modifikasi pupuk urea yang diharapkan mampu meningkatkan efisiensi pemupukan ternyata meningkatkan emisi N
2
O. Pengelolaan pupuk N melalui pengaturan takaran pemberian pupuk mampu mengurangi emisi N
2
O Ruser et al., 2001. Penggunaan pupuk N dengan takaran CRF yang lebih rendah
diharapkan mampu menurunkan emisi N
2
O. Dari aspek kombinasi perlakuan kisaran emisi N
2
O mencapai -2.5 hingga 67.9
g N ha
-1
Gambar 4.27. Emisi terendah
ditemui pada perlakuan kontrol yaitu W1B1N1 Tergenang, tanpa jerami, Urea dan emisi tertinggi pada
perlakuan W2B2N2 Macak-macak, jerami, CRF
30
.
-10 10
20 30
40 50
60 70
Tergenang Macak-macak
0 ton ha-16 ton ha-1 Urea
CRF30 CRF50
Emisi g N
2
O-Nha
Gambar 4.27. Emisi N
2
O pada berbagai kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen error bar menunjukkan standar
deviasi, n=3 Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik dan Pupuk N terhadap Produksi
Padi dan Nisbah Produksi-Emisi
Jumlah anakan padi antar perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen saling tidak berbeda nyata Tabel 4.8. Kisaran jumlah anakan
sangat sempit antar perlakuan. Berat jerami serta berat gabah per petak juga tidak dipengaruhi oleh perlakuan.
Dari paparan data tersebut nampaknya masing-masing kombinasi perlakuan mempunyai kemampuan yang sama dalam menunjang pertumbuhan
tanaman padi. Respon tanaman padi terhadap pengelolaan air secara macak- macak telah diteliti oleh peneliti Pusat Penelitian Tanah pada tahun 1980 an
Abas, 1985; Abas dan Abduracman, 1986; Abas dan Sudradjat, 1987; Sudradjat dan Abas, 1988. Para peneliti tersebut menyimpulkan bahwa pengurangan air
dengan cara pengairan macak-macak tidak berpengaruh terhadap penurunan hasil padi. Penelitian tersebut difokuskan kepada peningkatan efisiensi
pemakaian air, mengingat semakin meningkatnya persaingan penggunaan sumber daya alam tersebut. Dengan mensintesis informasi yang didapat,
penelitian ini mampu memperkaya upaya pengelolaan air. Dengan perlakuan macak-macak, hasil panen padi meningkat, efisiensi pemakaian air meningkat
dan sekaligus emisi CH
4
dapat dikurangi, namun perlu diwaspadai pengaruhnya terhadap N
2
O. Perlakuan macak-macak mampu meningkatkan bobot gabah 87, mengurangi emisi CH
4
sebesar 24.17 serta meningkatkan emisi N
2
O 98.7 dibanding perlakuan penggenangan.
-40 -20
20 40
60 80
100
W1B1N1 W1B1N2 W1B1N3 W1B2N1 W1B2N2 W1B2N3 W2B1N1 W2B1N2 W2B1N3 W2B2N1 W2B2N2 W2B2N3
Emisi g
N
2
O-Nha
Tabel 4.8. Pengaruh perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N terhadap jumlah anakan, bobot jerami dan bobot gabah.
Perlakuan Jumlah anakan
Jerami ton ha
-1
Gabah ton ha
-1
Pengelolaan air Tergenang
24.0 11.027
2.549 Macak-macak
24.6 11.199
4.775 Bahan organik
0 tonha 23.9
11.190 3.432
10 tonha 24.7
11.929 3.675
Pupuk N Urea
24.2 12.342
3.813 CRF30
24.4 12.748
3.564 CRF50
24.3 12.053
3.609
Penambahan jerami sebanyak 6 ton berat kering mutlak per hektar tidak berpengaruh terhadap performansi tanaman. Upaya tersebut dilaksanakan dalam
rangka mempertahankan status bahan organik tanah. Penambahan tersebut hanya setara dengan peningkatan kandungan bahan organik tanah sebesar
0.3. Pada tingkat bahan organik tanah yang rendah seperti pada lokasi percobaan, penambahan tersebut belum terlalu signifikan pengaruhnya.
Pengembalian jerami sebanyak 6 ton ha
-1
mampu meningkatkan gabah 7, meningkatkan emisi CH
4
sebesar 11.3 serta meningkatkan emisi N
2
O 51.2 dibanding perlakuan tanpa pengembalian jerami.
Antar pupuk N yang dicobakan juga tidak mempengaruhi performansi tanaman padi. Dengan lingkungan penelitian di daerah tropis CRF yang
digunakan tidak mampu menunjukkan kiprahnya secara maksimal. Penggunaan urea dinilai telah memadai dengan cara diberikan secara bertahap, sebagai
pupuk dasar yang diberikan bersamaan dengan waktu tanam sambil diinjak agar masuk ke lapisan reduksi dan diberikan sebagai top dressing pada umur 4 MST
bersamaan dengan penyiangan. Penyebaran secara merata dan dilanjutkan dengan penginjakan sambil mencabut dan membenamkan gulma dirasa cukup
untuk membenamkan pupuk tersebut pada lapisan reduksi. Penggunaan CRF
30
menurunkan berat gabah 6.5, meningkatkan emisi CH
4
sebesar 10.8 serta meningkatkan emisi N
2
O 69.2 dibanding perlakuan pupuk urea. Kombinasi perlakuan serta gabah, emisi CH
4
dan N
2
O disajikan pada Gambar 4.28 dan Tabel 4.9. Hasil panen berkisar antara 2.5 hingga 5.4 ton
gabah per hektar. Hasil gabah tertinggi sebesar 5.4 ton per hektar didapat pada kombinasi perlakuan W2B2N1 macak-macak, tambah bahan organik, urea.
Perlakuan tersebut potensial diterapkan selain memberikan hasil gabah yang
tinggi juga menghasilkan emisi CH
4
terendah serta N
2
O yang rendah pula. Penilaian efektifitas perlakuan dalam mempengaruhi fluks didekati dari nisbah
emisi terhadap bobot gabah. Semakin rendah nilai nisbah tersebut menunjukkan perlakuan lebih efektif dibanding perlakuan yang lain. Kombinasi perlakuan
W2B2N1 macak-macak, tambah bahan organik, urea meningkatkan bobot gabah sebesar
114.75,
menurunkan emisi CH
4
dan nisbah emisi terhadap bobot gabah masing-masing sebesar 49.97 dan
76.7.
Gambar 4.28. Bobot gabah, emisi CH
4
dan N
2
O pada berbagai kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen
Tabel 4.9. Jumlah anakan, bobot gabah, emisi serta nisbah emisi CH
4
dan N
2
O terhadap bobot gabah pada kombinasi perlakuan pengelolaan air,
bahan organik dan pupuk N
Perlakuan Jumlah
anakan maksimum
Gabah ton ha
-1
CH
4
kg C ha
-1
N
2
O g N ha
-1
g CH
4
-C kg
-1
gabah mg N
2
O-N kg
-1
gabah W1B1N1
23.3 2.531
153.25 -2.50
60.5 -1.0
W1B1N2 24.0
2.364 122.78
4.06 51.9
1.7 W1B1N3
23.5 2.451
130.45 23.39
53.2 9.5
W1B2N1 24.3
2.918 171.38
32.20 58.7
11.0 W1B2N2 24.7 2.487
233.37 30.80
93.8 12.4
W1B2N3 24.1
2.544 251.99
8.13 99.0
3.2 W2B1N1
24.0 4.367
129.05 26.91
29.6 6.2
W2B1N2 23.8
4.189 175.47
31.54 41.9
7.5 W2B1N3
24.9 4.691
159.18 29.44
33.9 6.3
W2B2N1 25.1
5.436 76.66
22.78 14.1
4.2 W2B2N2
24.9 5.218
78.34 67.95
15.0 13.0
W2B2N3 24.7
4.749 128.19
12.25 27.0
2.6
W1 B1
N1 W1
B1 N2
W 1B
1N 3
W1 B2
N1 W1
B2 N2
W1 B2
N3 W2
B1 N1
W 2B
1N2 W2
B1 N3
W 2B
2N 1
W2 B2
N2 W2
B2 N3
gabah tonha CH4 kg Cha
N2O g Nha
Pengaruh Populasi Mikroba terhadap Fluks CH
4
dan N
2
O
Korelasi antara fluks CH
4
dengan sifat biologi tanah yang diamati disajikan pada Tabel 4.10. Hampir tidak ada korelasi yang nyata antara populasi
mikroba total, nitrosomonas, nitrobacter, nitrifier, denitrifier, respirasi dan C
mic
terhadap fluks CH
4
, kecuali korelasi antara nitrobacter dengan fluks CH
4
pada minggu ke 8. Populasi mikroba total serta aktivitasnya yang didekati dengan
parameter respirasi dan Cmic tidak mampu menunjukkan korelasi yang nyata terhadap fluks CH
4
. Diperlukan pemilihan parameter mikrobiologis yang lebih selektif untuk mempelajari kinerja mikroba yang berperan dalam fluks CH
4
, misalnya kelompok metanogenik dan metanotrof. Walaupun hasil penelitian
Asakawa dan Hayano 1995 menunjukkan bahwa penggenangan pada padi sawah tidak berpengaruh terhadap populasi bakteri metanogenik
Hou et al. 2000a, b menjelaskan fluks CH
4
berhubungan dengan aktivitas sejumlah mikroba tanah yaitu kelompok bakteri zimogenik, produser
asam asetat-hidrogen, metanogen dan metanotrof. Namun dalam penelitiannya, fluks CH4 hanya berkorelasi nyata dengan logaritme jumlah bakteri zimogenik
r=0.76, n=12, p ≤1. Populasi bakteri zimogenik digunakan sebagai prediktor
fluks CH
4
dengan model: Fc = 11.969 x LogNzb – 62.429 ; Fc adalah fluks CH4 dan Nzb adalah populasi bakteri zimogenik. Tidak ada korelasi yang nyata
antara fluks CH4 dengan populasi mikroba produser asam asetat- hydrogen, metanogen dan metanotrof.
Tabel 4.10. Korelasi fluks CH
4
dengan populasi mikroba tanah Korelasi fluks CH
4
dengan sifat biologi tanah pada minggu ke 4
8 12
gabungan Mikroba total
-0.260 0.362
-0.260 0.031
0.014 Nitrosomonas -0.157 0.219 -0.205 0.094 0.074
Nitrobacter -0.174 -0.125
0.490 -0.124
0.007 Nitrifier -0.251
0.184 -0.132
0.015 0.067
Denitrifier -0.263 -0.114
0.099 -0.372
-0.044 Respirasi
0.001 0.194
-0.077 0.140
C
mic
-0.368 0.048
-0.156 n 24
24 24
24 Hubungan antara populasi mikroba total, respirasi dan fluks CH
4
secara simultan disajikan pada Gambar 4.29. Pada minggu ke 0 hingga 4 MST serta
minggu ke 8 hingga ke 12 nampak hal yang menarik, peningkatan populasi mikroba total diikuti dengan kenaikan fluks CH
4
. Data yang tidak sinkron nampak
pada minggu ke 8 dimana respirasi meningkat namun populasi mikroba total justru turun. Pada minggu ke 8 dilakukan drainase untuk mengatasi gejala
keracunan besi, dan tindakan drainase tersebut sangat mengganggu mikroba total.
Gambar 4.29. Hubungan antara populasi mikroba total, respirasi dan fluks CH
4
Webster dan Hopkins 1996 menyatakan bahwa emisi bersih N
2
O dari tanah bergantung pada laju pembentukan N
2
O, laju difusi keluar dari tanah serta laju konsumsi N
2
O selama proses denitrifikasi. Pembentukan N
2
O berasal dari proses denitrifikasi, nitrifikasi, proses biologis yg lain serta denitrifikasi secara
kimiawi. Mengetahui korelasi antara mikroba tanah yang berperan dalam proses nitrifikasi dan denitrifikasi terhadap fluks N
2
O sangat membantu memahami proses pembebasan N
2
O dari tanah sawah. Kajian korelasi antara fluks dan emisi N
2
O dengan sifat biologi tanah yaitu mikroba total, nitrosomonas, nitrobacter maupun denitrifier disajikan pada Tabel
4.11. Pada 0 MST fluks N
2
O berkorelasi nyata dengan mikroba total, Nitrobacter dan nitrifier. Nitrobacter adalah bakteri pengoksidasi nitrit, korelasi yang nyata
antara nitrobacter dengan fluks N
2
O menunjukkan kontribusi proses antara nitrifikasi terhadap pembentukan N
2
O. Hal tersebut didukung oleh korelasi nyata antara nitrifier dengan fluks N
2
O. Fakta korelasi nyata antara nitrobacter dan nitrifier dengan fluks N
2
O menegaskan pentingnya kontribusi proses nitrifikasi terhadap pembebasan N
2
O. Korelasi nyata antara denitrifier dengan fluks N
2
O
0,0 2,0
4,0 6,0
8,0 10,0
12,0
10 20
30 40
50 60
4 8
12
Populas i m
ikrob a t
o tal x
1
7
SPK g
tanah d an
fl uks
CH
4
mg CH
4
-
Cm
2
jam
Respirasi mg CO
2
-C k
g
ta na
hha ri
Minggu setelah tanam
Respirasi Mikroba total
Fluks CH4
pada 0 MST menjelaskan peran denitrifikasi sebagai salah satu sumber N
2
O tanah. Hal yang menarik adalah korelasi nyata antara mikroba total terhadap
fluks N
2
O. Mikroba total meliputi nitrifier, denitrifier serta mikroba yang lain termasuk fungi. Korelasi nyata mikroba total dengan fluks N
2
O, mengisyaratkan bahwa pada tanah sawah, selain nitrifikasi dan denitrifikasi juga terdapat proses
biologis yg lain yang berkontribusi terhadap fluks N
2
O. Tabel 4.11. Korelasi fluks N
2
O dengan populasi mikroba tanah Korelasi fluks N
2
O dengan sifat biologi tanah pada minggu ke 4
8 12
gabungan Mikroba total
0.546 -0.234 -0.088 0.198 0.180
Nitrosomonas
0.207 0.124 0.251 0.283 0.077
Nitrobacter
0.520 0.059 0.167 0.288 -0.061
Nitrifier
0.523 0.126 0.260 0.336 0.051
Denitrifier
0.510 -0.484 0.371 0.164 -0.280
n 24 24
24 24
96 Korelasi nyata antara denitrifier dengan fluks N
2
O pada 0, 4 MST serta pada seluruh gabungan menunjukkan pentingnya peranan denitrifier dalam fluks
N
2
O. Korelasi negatif antara denitrifier dengan fluks N
2
O menunjukkan bahwa proses denitrifikasi mampu mengurangi fluks N
2
O melalui proses konsumsi N
2
O selama proses denitrifikasi. Hal ini senada dengan pendapat Webster dan
Hopkins 1996 bahwa pada tanah sawah, dari total produksi N
2
O, 82 dikonsumsi oleh oleh denitrifier dan 18 diemisikan. Denitrifikasi mampu
berperan baik sebagai penghasil N
2
O maupun penkonsumsi N
2
O. Dalam kenyataannya proses nitrifikasi dan denitrifikasi merupakan proses
yang saling berkaitan, begitu pula antara populasi nitrifier dan denitrifier. Dominasi amonium terhadap nitrat, dominasi nitrosomonas pada nitrifier seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya menguatkan interaksi nitrifikasi dan denitrifikasi pada pengelolaan fluks N
2
O pada tanah sawah. Wrage et al. 2001 menjelaskan bahwa produksi N
2
O pada tanah melibatkan proses nitrifikasi baik oleh nitrifier ototrof maupun heterotrof, denitrifikasi, pasangan nitrifikasi-
denitrifikasi, kemodenitrifikasi maupun denitrifikasi oleh nitrifier nitrifier denitrification. Fenomena yang terakhir yaitu nitrifier denitrification merupakan
perkembangan yang berdasar pada fakta bahwa nitrifier tidak hanya melakukan proses nitrifikasi namun juga sekaligus proses denitrifikasi. Konsep nitrifier
denitrification ini dikembangkan sebagai teknologi baru pada pengelolaan limbah
cair melalui teknik OLAND Oxygen-Limited Autotrophic Nitrification- Denitrification dan ANAMMOX Anaerobic Ammonium Oxidation.
Pada tanah sawah, kegiatan penggenangan mengubah sifat kimia, sifat mikrobiologis dan kapasitas penyediaan hara oleh tanah. Kondisi ini menciptakan
perbedaan lingkungan makro dan mikro yang meliputi status redoks, sifat fisik, hara dan penetrasi cahaya yang memungkinkan skala luas mikroba untuk aktif
Roger et al., 1993. Nakajima et al. 2005 melaporkan tidak ada korelasi antara aktivitas denitrifikasi dengan fluks N
2
O. Pada tanah masam Pasirmayang Jambi, disimpulkan nitrifier heterotrof sebagai kontributor utama emisi N
2
O. Sedikit sekali pengoksidasi amonium autotrof dan pengoksidasi nitrit autotrof, yang
dominan justru nitrifier heterotrof. Dari hasil penelitian ini dapat disintesis bahwa fluks N
2
O pada tanah sawah berasal baik dari proses nitrifikasi maupun denitrifikasi.
Hubungan antara populasi mikroba denitrifier dan nitrifier dan fluks N
2
O secara simultan disajikan pada Gambar 4.30. Pada minggu ke 0 hingga 4
peningkatan populasi mikroba nitrifier dan denitrifier seiring dengan peningkatan fluks N
2
O, hal ini ditunjang dengan ketersediaan N dalam bentuk amonium dan nitrat. Interaksi konsentrasi N, populasi mikroba mempengaruhi fluks N
2
O. Dominasi amonium terhadap nitrat, dominasi nitrosomonas terhadap nitrifier
memperkuat pendapat tentang kontribusi proses nitrifikasi terhadap fluks N
2
O.
Gambar 4.30. Hubungan antara populasi mikroba denitrifier, nitrifier dan fluks N
2
O
0,0 0,5
1,0 1,5
2,0 2,5
3,0 3,5
4,0 4,5
20 40
60 80
100 120
140 160
180
4 8
12
Fluks N
2
O
P opulasi mikroba
Minggu setelah tanam
Nitrifier Denitrifier
N2O
Hubungan Sifat Tanah, Hasil Tanaman dengan Fluks CH
4
serta N
2
O
Fluks CH
4
sangat erat berkaitan dengan sifat tanah. Pembentukan CH
4
berlangsung pada suasana Eh yang rendah. Pada banyak penelitian Eh tanah berkorelasi negatif dan sangat nyata dengan fluks CH
4
, namun pada penelitian ini korelasi antara Eh dengan fluks CH
4
sangat rendah dengan pola yang tidak beraturan. Berturut-turut nilai korelasi pada 0, 2, 4, 6, 8, 10, 12 MST dan
gabungan adalah
0.231 n=12, -0.303 n=24, 0.041 n=24, -0.245 n=36, -0.179 n=36, 0.025 n=36, 0.190 n=24 dan 0.068 n=192.
Pada 2 MST, nilai korelasi agak tinggi sebesar -0.303, n=24 namun selang kepercayaan lebih dari 5
sehingga belum bermakna dalam menjelaskan keeratan hubungan antar parameter. Kondisi ini sangat berbeda dengan hasil penelitian awal yang
menunjukkan korelasi Eh tanah – fluks CH
4
sebesar -0.982 n=15 pada kondisi Eh dan CH
4
yang sangat beragam pada macam budidaya tanaman yang berbeda.
Begitu pula keeratan hubungan antara fluks CH
4
dengan C-organik tanah sangat rendah. Kandungan C-organik tanah sebagai sumber karbon dalam
pembentukan CH
4
mestinya berkorelasi nyata positif terhadap fluks CH
4
. Pengembalian jerami sebesar 6 ton BKM ha
-1
tidak menyebabkan variasi kandungan C-org yang besar dalam tanah.
Sifat tanah yang berkorelasi positif secara sangat nyata terhadap fluks CH
4
adalah Fe tanah tersedia pada 4 MST yaitu sebesar 0.606 n=24, p ≤0.01
yang disajikan pada Gambar 4.31. Peningkatan Fe tersedia ini berkorelasi dengan kandungan C-organik tanah dengan r = 0.342 n=24. Fe tersedia yang
terekstrak dengan pengekstrak Morgan kebanyakan adalah bentuk besi
II
.
Gambar 4.31. Hubungan antara konsentrasi Fe tanah tersedia dengan fluks CH
4
pada 4 MST n=24
y = 0.1374x - 12.411 R
2
= 0.367
-10 10
20 30
40 50
50 100
150 200
250 300
350
Fe tanah tersedia ppm Fl
u k
s C
H
4
m g C
H
4
-C m
-2
jam
-1
Furukawa dan Inubushi 2004 menjelaskan pada tanah sawah, besi oksida merupakan aseptor elekton yang terpenting. Pada tanah yang kaya
dengan besi oksida dari Fe
III
, peningkatan emisi metana oleh penambahan bahan organik dapat ditekan. Pada lokasi penelitian kandungan besi pada
sebelum penggenangan sebesar 20 ppm penambahan jerami 6 ton per hektar tidak berpengaruh drastis terhadap peningkatan fluks CH
4
. Pemberian jerami cenderung meningkatkan Fe terlarut Gambar 4.32, reduksi besi mampu
menekan pembentukan CH
4
Yao dan Conrad, 2000. Peningkatan Fe terlarut pada penambahan jerami segar lebih tinggi dibanding dengan kompos.
Pengantian pembenaman jerami segar dengan kompos di Jepang mampu menurunkan emisi sebesar 22-89 Yagi, 2005.
Tidak terdapat korelasi yang kuat antara fluks dan emisi N
2
O dengan sifat tanah yang diamati baik dari pH, Eh maupun kandungan amonium dan nitrat
tanah. Selain kombinasi pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N diperlukan alternatif lain untuk menekan emisi N
2
O. Van der Weerden et al. 1999 menyatakan korelasi negatif yang kuat r=-0.82 antara pH tanah dengan ratio
N
2
O:N
2
O+N
2
pada legum. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut sebagai cara mitigasi emisi N
2
O yang lebih murah dengan pengelolaan pH misalnya dengan pengapuran pada lahan kering Klemedtsson et al., 1997. Xu et al. 2002,
melaporkan penambahan penghambat nitrifikasi DCD yang dikombinasikan dengan HQ nyata mampu meningkatkan pertumbuhan padi dan menekan emisi
N
2
O serta CH
4
selama pertumbuhan tanaman padi.
Gambar 4.32. Konsentrasi besi dan fluks CH
4
pada perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen 4 MST
50 100
150 200
Te rg
en an
g M
ac ak-
m aca
k 0 to
n h a-
1 6 to
n ha -1
Ur ea
CR F3
CR F5
Perlakuan Fe
p p
m
-5 5
10 15
20 25
F lu
ks C H
4
m g
C H
4
-C m
-2
ja m
-1
Fe CH4
Korelasi antara pertumbuhan dan hasil padi yaitu jumlah anakan, bobot jerami serta bobot gabah terhadap emisi CH
4
dan N
2
O juga sangat rendah. Korelasi fluks CH
4
dengan jumlah anakan, bobot jerami serta bobot gabah masing-masing sebesar -0.044, -0.123 dan -0.029 sedangkan terhadap fluks N
2
O masing-masing sebesar -0.166, -0.072 dan -0.028 dengan n masing-masing
sebesar 36. Shin dan Yun 2000 juga melaporkan tidak adanya korelasi yang nyata antara berat kering jerami dengan fluks CH
4
pada beberapa kultivar padi di Korea. Hasil ini tidak selaras dengan hasil penelitian peneliti lain yang
menghasilkan korelasi dengan komponen secara nyata positif. Antar kombinasi perlakuan yang dicobakan menghasilkan lingkungan pertumbuhan tanaman yang
kurang bervariasi keragamannya sehingga daya dukung terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi serta fluks CH
4
dan N
2
O yang kurang beragam pula.
Gambar 4.33. Suhu udara, curah hujan dan fluks CH
4
serta N
2
O hingga12 MST
20 40
60 80
100 120
140
1 15
29 43
57 71
85
Hari ke Suh
u
o
C da
n C
ur a
h hu
ja n
mm
2 4
6 8
10 12
14
Fl u
ks C H
4
m g
C H
4
-C m
-2
ja m
-1
Suhu oC CH mm
Fluks CH4
20 40
60 80
100 120
140
1 15
29 43
57 71
85
Hari ke Suh
u
o
C da
n C
ur a
h hu
ja n
mm
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3.5 4
Fl uk
s N
2
O ug N
2
O- N
m
-2
ja m
-1
Suhu oC CH mm
FluksN2O
Parameter agronomi tanaman padi yang erat berhubungan dengan fluks CH
4
dan N
2
O adalah eksudat akar dan daya oksidasi akar. Kultivar padi yang mempunyai sedikit anakan tidak produktif, sistem perakaran terbatas, aktivitas
oksidasi perakaran tinggi serta indeks panen yang tinggi sangat ideal untuk mitigasi CH
4
dan N
2
O pada tanah sawah Wang dan Adachi, 2000. Data suhu udara harian, curah hujan harian dan fluks N
2
O serta CH
4
selama pertumbuhan tanaman padi disajikan pada Gambar 4.33. Pola hubungan antara curah hujan dan suhu udara harian dengan fluks kedua gas yang diamati
tidak jelas. Fluks N
2
O serta CH
4
lebih berkaitan dengan stadia pertumbuhan tanaman padi.
Hubungan antara Fluks CH
4
dan N
2
O
Pola keterkaitan antara fluks CH
4
dan N
2
O selama pertumbuhan tanaman padi disajikan pada Gambar 4.34. Pada periode 0 hingga 4 MST, nampak laju
fluks CH
4
dan N
2
O sejalan dengan pertumbuhan padi. Ketersediaan substrat berupa karbon tersedia dalam tanah dan N tanah mendukung peningkatan fluks
CH
4
dan N
2
O. Pada periode 4 hingga 6 MST laju fluks CH
4
dan N
2
O saling berlawanan, pada fluks CH
4
masih terjadi peningkatan yang berkaitan dengan periode pertumbuhan vegetatif cepat yaitu fase pembentukan anakan
maksimum. Eksudat akar yang kaya dengan karbon mudah tersedia dikonversi menjadi CH
4
. Pada periode pertumbuhan vegetatif cepat diikuti dengan serapan N maksimum yang mengurangi ketersediaan N tanah bagi proses denitrifikasi
yang ditandai dengan penurunan fluks N
2
O. Pada periode 6 hingga 12 MST fluks CH
4
dan N
2
O sama-sama menuju konstan. Pola keterkaitan antara emisi CH
4
dan N
2
O dengan perlakuan pengelolaan air, bahan organik serta pupuk N disajikan pada Gambar 4.35.
Pengurangan air mengurangi emisi CH
4
namun meningkatkan emisi N
2
O. Pengurangan air menyebabkan pengurangan suasana anaerobik, sehingga
memberikan kesempatan proses oksidasi CH
4
yang menyebabkan penurunan emisi CH
4
. Kondisi tersebut juga meningkatkan peluang oksidasi amonium menjadi nitrat yang mampu memicu proses pembentukan N
2
O, melalui hasil antara proses nitrifikasi maupun denitrifikasi dari nitrat. Pengembalian jerami
meningkatkan emisi keduanya. Jerami dengan CN ratio 34.9 mampu menambah ketersediaan substrat karbon dan N mudah tersedia yang memacu kerja mikroba
yang berperan dalam pembentukan CH
4
dan N
2
O sehingga meningkatkan emisi
keduanya. Semakin lambat pelepasan pupuk meningkatkan emisi CH
4
, dan membentuk pola hiperbolik dengan emisi N
2
O.
Gambar 4.34. Keterkaitan fluks CH
4
dan N
2
O selama pertumbuhan tanaman padi
Gambar 4.35. Keterkaitan emisi CH
4
dan N
2
O pada perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N
Pola keterkaitan antara emisi CH
4
dan N
2
O dengan kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik serta pupuk N disajikan pada Gambar 4.36. Pola
hubungan antara emisi CH
4
dan N
2
O tidak terlalu jelas, peningkatan emisi CH
4
-2 -1
1 2
3 4
5 6
7 8
-5 5
10 15
20 25
2 4
6 8
10 12
Fluks N
2
O ug N
2
O- N m
-2
ja m
-1
Fluks CH
4
m g CH
4
-C m
-2
ja m
-1
Umur tanaman MST
Fluks CH4 Fluks N2O
-50 50
100 150
200 250
300
Te rgen
ang M
aca k-m
aca k
0 to n ha
-1 6
to n h
a- 1
U re
a CRF
30 CR
F50
Perlakuan Fl
u k
s
Total fluks CH4 kg CH4-C ha12 minggu Total fluks N2O g N2O-N ha12 minggu
tidak selalu diikuti dengan peningkatan atau penurunan emisi N
2
O secara konsisten. Tidak dijumpai kombinasi perlakuan yang mampu menurunkan emisi
CH
4
dan N
2
O secara bersamaan. Korelasi antara emisi CH
4
dan N
2
O menunjukkan nilai yang rendah yaitu r=-0.126, n=36 Gambar 4.37. Terjadi
gejala ringan saling berlawanan antara emisi CH
4
dan N
2
O.
Gambar 4.36. Keterkaitan emisi CH
4
dan N
2
O pada kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N
Gambar 4.37. Hubungan antara emisi CH
4
dan N
2
O n=36 Penilaian fluks CH
4
dan N
2
O pada tanah sawah didasarkan pada potensi pemanasan global sebagai penjumlahan dari hasil kali emisi masing-masing gas
-50 50
100 150
200 250
300
W2 B2
N 1
W2 B2
N 2
W 1B1
N 2
W2 B2
N 3
W2 B1
N 1
W1 B1
N 3
W1 B1
N1 W
2B1 N
3 W1
B2 N
1 W2
B1 N
2 W
1B2 N
2 W1
B2 N
3
Total fluks CH4 kg CH4-C ha12 minggu
Total fluks N2O g N2O-N ha12 minggu
Hubungan antara total fluks CH
4
dan N
2
O
y = -0.0427x + 30.804 R
2
= 0.0159
-100 -50
50 100
150
100 200
300 400
500 600
Total fluks CH
4
Tot a
l f luk
s N
2
O
terhadap indeks GWPnya. Dari keseluruhan kombinasi perlakuan yang dicobakan, kontribusi CH
4
dan N
2
O terhadap GWP gabungannya masing-masing sebesar 99.57±0.93 dan 0.43±0.93 n=36. Fakta ini menunjukkan dominansi
peran CH
4
terhadap GWP dari tanah sawah. Implikasi praktis dari hasil kajian ini adalah, mitigasi GRK pada tanah sawah bertumpu pada mitigasi CH
4
. Pengelolaan irigasi secara macak-macak dan penggunaan pupuk urea yang
mampu menurunkan fluks CH
4
dapat digunakan sebagai upaya mengurangi GWP dari tanah sawah. Data GWP dari perlakuan yang dicobakan disajikan
pada Gambar 4. 38 dan Tabel 4.12. Tabel 4.12. Kontribusi CH
4
dan N
2
O terhadap GWP dari kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N
Perlakuan
Emisi GWP setara kg CO
2
ha Kontribusi terhadap
GWP CH
4
kg CH
4
-C N
2
O g N
2
O-N CH
4
N
2
O CH
4
+ N
2
O CH
4
N
2
O CH
4
+ N
2
O W1B1N1 153.25 -2.50
3524.70 -0.74
3523.96 100.02
-0.02 100
W1B1N2 122.78 4.06 2824.00
1.20 2825.20
99.96 0.04
100 W1B1N3 130.45 23.39
3000.30 6.92
3007.22 99.77
0.23 100
W1B2N1 171.38 32.20 3941.65
9.53 3951.18
99.76 0.24
100 W1B2N2 233.37 30.80
5367.40 9.12
5376.51 99.83
0.17 100
W1B2N3 251.99 8.13 5795.85
2.41 5798.26
99.96 0.04
100 W2B1N1 129.05 26.91
2968.06 7.97
2976.02 99.73
0.27 100
W2B1N2 175.47 31.54 4035.73
9.33 4045.06
99.77 0.23
100 W2B1N3 159.18 29.44
3661.23 8.71
3669.94 99.76
0.24 100
W2B2N1 76.66 22.78
1763.27 6.74
1770.02 99.62
0.38 100
W2B2N2 78.34 67.95
1801.89 20.11
1822.00 98.90
1.10 100
W2B2N3 128.19 12.25 2948.36
3.63 2951.99
99.88 0.12
100
Pengurangan air hingga macak-macak mampu mengurangi 24 GWP dibanding penggenangan. Penambahan bahan organik memberikan peningkatan
GWP sebesar 11.34 dibanding tanpa jerami. Pemberian slow release fertilizer meningkatkan 10.87 – 21.57 GWP dibanding urea. Di antara perlakuan yang
dicobakan urutan kemampuannya dalam mempengaruhi GWP adalah pengelolaan air, pengelolaan pupuk N baru pengembalian jerami. Perlakuan
W2B2N1 pengairan macak-macak, pengembalian jerami dan pupuk urea mampu mengurangi 49.77 GWP dibanding perlakuan kontrol
W1B1N1
yaitu pengairan tergenang, tanpa pengembalian jerami dan pupuk urea.
a
b Gambar 4.38. Pengaruh pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N terhadap
GWP pada tanah sawah a dan GWP pada berbagai kombinasi perlakuan b
GWP CH
4
dan N
2
O
1000 2000
3000 4000
5000 6000
7000
Te rgena
ng M
ac ak
-m ac
ak ton
ha-1 6
ton ha-1 Ur
ea CR
F30 CR
F50
Perlakuan G
W P
set ar
a kg C
O
2
ha 1
2 m
inggu
GWP pada berbagai kombinasi perlakuan
1000 2000
3000 4000
5000 6000
7000 8000
9000 10000
W 1B1
N 1
W 1B1
N 2
W 1B1
N 3
W 1B2
N 1
W 1B2
N 2
W 1B2
N 3
W 2B1
N 1
W 2B1
N 2
W 2B1
N 3
W 2B2
N 1
W 2B2
N 2
W 2B2
N 3
Perlakuan G
W P
s et
ar a kg
C O
2
ha 1
2 m
inggu
Pembahasan Umum
Dari kajian metana dan mikroba tanah pada beberapa pertanaman, nampak bahwa fluks CH
4
pertanaman lahan kering yang sangat rendah dan padi sawah mempunyai fluks CH
4
yang paling tinggi. Perunutan lebih lanjut menunjukkan bervariasinya mikroba tanah pada masing-masing pertanaman.
Perbedaan sifat tanah yang mendasar antara lahan sawah dan non sawah pada hamparan yang sama adalah pada perilaku Eh dan pH tanah, di mana lahan
sawah memiliki Eh yang rendah bahkan negatif dan pH yang lebih tinggi. Perbedaan karakteristik tersebut menyebabkan perbedaan daya dukung
terhadap pertumbuhan mikroba tanah. Terdapat hubungan yang spesifik antara karakteristik tanah dengan
mikroba yang tumbuh di dalamnya, misalnya hubungan antara pH tanah dengan denitrifier. Tanah bukanlah suatu media yang statik dan homogen, bahkan tanah
digambarkan sebagai laboratorium yang dinamis. Dugaan awal bahwa lahan non sawah didominasi oleh nitrifier dan lahan sawah lebih kaya dengan denitrifier
tidak sepenuhnya benar. Adanya site-site yang khusus serta kemampuan adaptasi mikroba, nitrifier juga dijumpai pada rizosfer padi dan denitrifierpun
dijumpai pada lahan non sawah. Pemahaman tentang perilaku mikroba fungsional dalam tanah sangat
membantu dalam pemahaman dinamika hara dalam siklus hara misalnya dinamika amonium-nitrat dengan implikasi agronomis maupun dampaknya
terhadap kualitas lingkungan. Penilaian keeratan hubungan antara karakteristik kimia tanah dan biologi tanah membantu membuat langkah perencanaan
pengelolaan lahan. Kompleksitas perilaku hubungan pH, Eh, kadar air, denitrifier, fluks CH
4
, dapat disederhanakan. Hasil studi menunjukkan bahwa pengelolaan air menjadi salah satu kunci utama pengelolaan potensial redoks yang berkaitan
erat dengan pH tanah, dinamika nitrifikasi - denitrifikasi serta pembentukan dan emisi CH
4
. Pentingnya peranan sawah untuk pemenuhan kebutuhan pangan di
Indonesia dan potensi meningkatkan konsentrasi CH
4
dunia, perlu diikuti dengan penyesuaian teknik budidaya. Dengan mengaplikasikan model pengelolaan air
pada tanah sawah yang telah dikembangkan dikaji lebih lanjut pengaruhnya terhadap performansi produksi dan fluks CH
4
. Pengurangan air hingga kondisi macak-macak ternyata mampu menghasilkan berat gabah yang tidak berbeda
nyata dengan perlakuan intermiten, penggenangan sekitar 5 cm bahkan
penggenangan sekitar 10 cm yang banyak diterapkan petani. Telaah pengelolaan air pada padi sawah banyak dikaitkan dengan masalah efisiensi
pemakaian air. Kombinasi informasi ini semakin menguatkan perlunya upaya pengelolaan air pada lahan sawah dengan pendekatan yang lebih holistik yaitu
efisiensi sumber daya alam sekaligus pengurangan emisi GRK. Pengurangan air mempengaruhi dinamika mikroba pada tanah sawah,
mengurangi fluks CH
4
serta tidak menurunkan hasil tanaman padi. Pada banyak kajian perlakuan air dengan cara intermiten maupun macak-macak mampu
menurunkan fluks CH
4
secara drastis, namun pada penelitian ini hanya perlakuan macak-macak yang mampu menunjukkan pengurangan fluks CH
4
. Dinamika mikroba yang diamati belum mampu menjawab permasalahan
karakteristik tanah dan fluks CH
4
. Hubungan yang jelas hanya dijumpai pada dinamika mikroba transformasi N dengan dinamika amonium-nitrat. Hal tersebut
mengisyaratkan kompleksitas dinamika CH
4
di lahan sawah. Integrasi pengelolaan air, ketersediaan senyawa organik melalui
pengelolaan bahan organik, ketersediaan nitrat melalui pengelolaan pupuk N dipandang cukup komprehensif sebagai dasar pengelolaan emisi CH
4
dan N
2
O pada lahan sawah. Hasil studi menunjukkan pada penanaman yang
dilaksanakan pada musim hujan ini perlakuan macak-macak menunjukkan keunggulannya. Perbedaan emisi CH
4
antara perlakuan penggenangan dan macak-macak pada musim penghujan tidak sebesar pada musim kemarau, hal
ini berkenaan dengan rutinnya penambahan air melalui curah hujan termasuk pada perlakuan macak-macak. Fluks CH
4
pada musim penghujan lebih tinggi dibanding pada penanaman musim kemarau Gambar 4.39.
Gambar 4.39. Fluks CH
4
antar musim tanam padi
2 4
6 8
10 12
14
2 4
6 8
10 12
Umur tanam MST Fl
uk s
C H
4
m g C
H
4
-C m
-2
ja m
-1
MH Des 04-Maret 05 MK Juni-Okt 04
Pengamatan lapang di lahan petani sekitar petak percobaan pada musim penghujan, cukup banyak tanaman padi pertumbuhannya terhambat pada
perlakuan tanah tergenang. Beberapa lahan bahkan sangat parah sehingga digagalkan dengan cara dibiarkan tanpa pemeliharaan. Perunutan lanjut
menunjukkan bahwa penggenangan kontinyu pada musim penghujan menyebabkan penurunan potensial redoks yang drastis dan menyebabkan
peningkatan kelarutan besi. Serapan besi yang berlebihan menyebabkan tanaman keracunan dan menunjukkan gejala bronzing disease. Pada kondisi
tersebut konsentrasi Fe dalam tanah mencapai 180 ppm. Konsentrasi Fe dan Mn pada akar mencapai 1467 dan 249 ppm, sedangkan konsentrasi Fe dan Mn pada
tanaman padi mencapai 985 dan 49 ppm. Gejala tersebut sangat sedikit dijumpai pada perlakuan macak-macak. Penelitian lapang ini sekaligus menjadi
wahana pembelajaran secara langsung, karena petani juga dapat langsung menyimpulkan bahwa perlakuan macak-macak membuat tanaman lebih sehat
dan kemudian diterapkan pada lahan mereka. Perlakuan macak-macak mampu meningkatkan hasil gabah, menurunkan emisi CH
4
namun meningkatkan emisi N
2
O. Pembenaman jerami segar yang banyak disinyalir menurunkan Eh tanah
secara drastis dan memicu peningkatan fluks CH
4
pada perlakuan ini ternyata tidak terbukti. Penambahan jerami pada tanah dengan kandungan bahan organik
yang sangat rendah seperti pada lahan percobaan ini sangatlah diperlukan untuk pemeliharaan produktivitas tanah. Penambahan jerami juga merupakan kunci
dari siklus karbon secara global. Karbon yang ditambahkan ke dalam tanah melalui penambahan bahan organik akan berkurang dari tanah dalam bentuk
karbon larut dalam air melalui drainase dan perkolasi serta hilang dalam bentuk gas melalui kegiatan respirasi dan emisi CH
4
. Dari hasil percobaan ternyata pengembalian jerami mampu meningkatkan gabah namun sekaligus sedikit
meningkatkan emisi CH
4
dan N
2
O. Sehingga perlu dikombinasikan dengan metode lain untuk mendapatkan kemanfaatan maksimal.
Pemilihan pupuk N pada tanaman sawah didasarkan pada beberapa aspek di antaranya harga persatuan bobot unsur, bentuk senyawa N, tingkat
pelepasan serta reaksinya dalam tanah. Bentuk pupuk N yang paling banyak digunakan petani adalah pupuk urea. Kajian bentuk pupuk dengan
memperbandingkan urea dengan CRF ternyata tidaklah menunjukkan perbedaan
yang berarti. CRF dirancang sebagai pupuk N berpelepas lambat berupa poly- olefin coated urea. Pupuk yang dirancang pada daerah subtropis dengan
fluktuasi suhu dan curah hujan yang lebih sempit dengan di daerah tropik ini nampaknya tidak mampu menunjukkan kinerjanya secara optimal. Bahkan ada
kecenderungan peningkatan fluks CH
4
dan N
2
O oleh pupuk tersebut. Penggunaan pupuk urea dengan cara di split dan diupayakan mencapai daerah
reduksi sudah cukup memadai untuk menopang pertumbuhan tanaman padi dengan hasil yang cukup.
Secara keseluruhan pertanaman padi yang kedua pada musim penghujan menunjukkan tingkat hasil yang lebih rendah dibanding penanaman pada musim
kemarau 5-6 tonha. Peningkatan jarak tanam dari 20 cm x 20 cm menjadi 25 cm x 25 cm untuk mengantisipasi tingkat kelembaban yang tinggi di sela
tanaman tidak menunjukkan hasil. Hasil gabah pada musim penghujan 3.662±1.766 tonha masih bisa lebih ditingkatkan lagi.
Dari aspek dinamika mikroba, kembali yang nampak jelas adalah hubungan antara mikroba transformator N terutama dari kelompok nitrifier.
Penilaian aktivitas mikroba dengan pendekatan parameter respirasi perlu diikuti dengan parameter lain misal C
mic
ataupun diversitas mikroba. Dinamika mikroba untuk pendugaan fluks metana sangat sulit didekati dari analogi reduksi nitrat
denitrifier maupun total mikroba. Diperlukan pengamatan metanogen dan metanotrof untuk lebih memahami dinamika CH
4
. Fluks N
2
O berkorelasi erat dengan populasi mikroba total, nitrifier dan denitrifier, menunjukkan peranan
nitrifikasi, denitrifikasi terhadap fluks N
2
O. Dari aspek keterkaitan fluks CH
4
dan N
2
O yang menunjukkan gejala ringan saling menekan antar keduanya, memungkinkan disimulasikannya suatu
model yang mampu mengkombinasikan total fluks kedua gas tersebut. Perimbangan emisi CH
4
dan N
2
O pada suatu nisbah tertentu perlu dicari untuk membangun modelteknik budidaya padi dengan emisi GRK yang rendah.
Menarik untuk disimak adalah hasil kajian yang dilakukan Santoso 2005 dengan mempergunakan runtun data 1980, 1990 dan 2000. Upaya pemenuhan
kebutuhan beras nasional melalui upaya swasembada beras berdampak pada peningkatan emisi GRK setara 212 642 ton karbon tahun 2000 dengan biaya
eksternalitas sebesar Rp. 274.123 milyar asumsi harga karbon US 7.5 per ton atau sebesar Rp. 101.8 per kg gabah kering giling. Apabila biaya eksternalitas
tersebut sepenuhnya dibebankan kepada konsumen maka harga gabah kering
giling pada tahun tersebut seharusnya terkoreksi 8.23 persen lebih tinggi. Selanjutnya disarankan implikasi kebijakan yang bisa segera diambil adalah
dihasilkannya paket rekomendasi budidaya padi yang rendah emisi GRK. Dari kajian hubungan antara CH
4
dan N
2
O didapatkan informasi menarik, dominansi CH
4
sebagai penyumbang GWP dan efek GRK yang didekati dengan GWP dapat dikurangi dengan pengurangan air irigasi hingga macak-macak dan
pupuk urea. Pengembalian jerami untuk pemeliharaan produktivitas tanah dapat dilakukan dengan pencacahan kasar dan pendekomposisian awal dengan
peningkatan GWP yang tidak terlalu drastis. Dari kombinasi perlakuan yang dicobakan, perlakuan W2B2N1 macak-
macak, jerami, urea dapat diandalkan untuk mencapai produksi padi tinggi, emisi CH
4
dan N
2
O yang relatif rendah dan GWP yang rendah. Efektivitas kombinasi perlakuan ini juga dapat dikaji melalui nisbah emisi terhadap bobot
gabah yang relatif rendah. Pengelolaan air secara macak-macak dan penggunaan pupuk urea dapat mengimbangi pengaruh negatif pembenaman
bahan organik jerami. Secara kuantitatif kombinasi perlakuan ini mampu meningkatkan bobot gabah sebesar
114.75
serta menurunkan GWP sebesar
49.77. Kombinasi perlakuan ini diharapkan memperkaya pilihan dalam rangka menghasilkan paket rekomendasi budidaya padi yang rendah emisi GRK.
V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan