44
sejak akhir bulan Desember 1945 telah dikuasai oleh sekutu ikut pindah juga kepedalaman yang tersebar diseluruh daerah-daerah. Kementerian Dalam
Negeri ditempatkan di Purwokerto, Kementerian Kehakiman berkedudukan di Klaten, Kementerian Keuangan sebagian di Magelang dan Kementerian
Pekerjaan Umum sebagian di Purworejo Sastrosatomo, 1987: 203. Sejak ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta, maka sejak
saat itu kota Yogyakarta mempunyai andil yang besar dalam perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
B. Perpecahan Perjuangan Bangsa Indonesia dalam Menghadapi Kolonialisme
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, muncullah berbagai paham di dalam masyarakat Indonesia. Di Indonesia sudah sejak sebelum merdeka
ada partai–partai yang corak dan besar kecilnya semua berbeda. Ada PNI, PKI, PSI, Masyumi, PIR, Parindra, Murba dan sebagainya. Menurut coraknya ada
yang radikal, moderat ada pula yang lunak. Ada yang mengutamakan segi perikemanusiaan, ada yang mementingkan masalah keagamaanKetuhanan,
ada yang mementingkan kebangsaan ada pula yang mementingkan kesosialan. Lebih dari itu masih ada tokoh–tokoh kuat yang tampil sebagai insan yang
tidak berpartai politik. Dengan adanya perbedaan paham tersebut, terjadi pula perbedaan pendapat dalam strategi dan taktik melawan kolonialisme. Strategi
dan taktik yang berbeda–beda itu biasanya berasal dari kaum politisi. Dikalangan kaum politisi pada waktu itu ada yang menghendaki penyelesaian
militer total melawan kolonialisme, yaitu dengan bertempur, ada yang bersikap
45
lunak yaitu dengan jalan diplomasi dan ada yang dengan jalan pertempuran harus dikombinasikan dengan jalan perundingan.
Dua aliran atau faham politik yang terkuat pada waktu itu ialah alam fikiran Sutan Syahrir–Amir Syarifuddin dan aliran Tan Malaka, Sukarni,
Khaerul Saleh, Adam Malik dan Mohammad Yusuf. Pihak yang pertama sebagai pihak yang memerintah dikalangan rakyat, dengan gezag Soekarno–
Hatta. Sedang pihak yang kedua sebagai oposisi. Kelompok Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin mengutamakan
penyelesaian melalui jalan perundingan untuk mendapatkan pengakuan melalui dunia internasional, sedang Tan Malaka melahirkan pandangan dan keyakinan
politik yang didasarkan pada pembentukan potensi dan kekuatan terhimpun Moh. Yamin, 2004: 188.
Pertentangan antara pemerintah dan oposisi meruncing, suhu politik makin panas. Di satu pihak golongan Syahrir–Amir Syarifuddin menganggap
bahwa golongan Persatuan Perjuangan dibawah Tan Malaka merusak strategi perjuangan. Dipihak lain Persatuan Perjuangan menganggap pemerintah
menjalankan strategi putus asa dan menyerah. Pada saat itu Panglima Besar Soedirman menunjukkan sikap lebih
condong kepada politik Persatuan Perjuangan Tan Malaka dari pada politik Kabinet Syahrir dan Amir Syarifuddin. Namun sebagai alat revolusi dan alat
negara kepemimpinan kemiliteran Beliau selalu bersikap loyal, sekalipun selalu kritis dan tanpa protes ke dalam Roeslan Abdulgani, dkk. 2004: 38.
46
Pertentangan antara pemerintah dan militer terjadi juga atas susunan dan wewenang menteri Pertahanan dan MBAP Markas Besar Angkatan Perang,
serta pengangkatan Komandan Divisi sejak semula sudah diketahui kalau Soedirman dan Amir mewakili dua grup yang bertentangan atas persoalan
tentara dan peranannya, ketidaksetujuan mereka atas pepolit Pendidikan Politik Rakyat, organisasi pertahanan, sedang pengangkatan komandan–
komandan dan divisi merupakan faktor tambahan atas berlangsungnya pertentangan. Pertentangan itu berkobar justru karena sesudah bulan Maret
pertempuran melawan musuh mereda, sementara pemerintah sedang giat melakukan tindakan-tindakan diplomatik.
Sementara itu, berdirinya barisan-barisan rakyat, terutama dari partai- partai politik, yang kemudian disebut laskar–laskar yang akan dapat
mempengaruhi persatuan bangsa. Kekeliruan itu menjadi sumber kesulitan- kesulitan yang membawa berbagai perpecahan dan perkelahian antar saudara,
karena memberikan kesempatan kepada partai-partai politik untuk memperjuangkan tujuannya dengan mempergunakan senjata. Penyelesaian
masalah yang sangat rumit itu yang kemudian menjurus kepada perpecahan. Padahal persatuan dan kesatuan nasional sangat diperlukan untuk menghadapi
musuh bersama yaitu Belanda yang membonceng sekutu masuk Indonesia Tjokropranolo, 1993: 62.
47
C. Pro dan Kontra Perundingan PM. Syahrir