Berbeda dengan pola perbanyakan tunas samping, organogenesis tanaman terdiri dari 3 fase, yaitu dediferensiasi, induksi, dan diferensiasi. Pada tahap
dediferensiasi, sel yang telah terdiferensiasi kembali tidak terdiferensiasi. Ketika sudah mengalami dediferensiasi, sel memiliki kemampuan untuk merespon
stimulus morfogenik tertentu yang disebut pada kondisi kompeten. Ketika sel yang kompeten merealisasikan kemampuannya dengan merespon sinyal hormonal
atau sinyal lain yang tersedia, pada saat itu sel mengalami fase induksi. Pada fase induksi menghasilkan populasi sel yang terdeterminasi yaitu sel yang sudah pasti
arah perkembangannya. Sel akan tetap terditerminasi meskipun sinyal hormonal telah tidak ada lagi. Ketika sel mengalami determinasi maka fase induksi
dikatakan telah berakhir. Fase selanjutnya adalah fase diferensiasi atau fase ekspresi. Pada fase ini sel-sel mengalami determinasi untuk menjadi suatu
struktur morfologi misalnya organ. Pola regenerasi tanaman embriogenesis berupa embriogenesis somatik dan
zigotik. Perkembangan embrio somatik dibagi menjadi beberapa tahap. Beberapa tahap perkembangan yang terjadi pada tanaman dikotil berbeda dangan tanaman
monokotil. Pada tanaman dikotil, tahap pertama adalah tahap globular, yaitu kelompok yang lebih besar dari sel membentuk suatu struktur kecil berbentuk
bulat globe pada permukaan kalus atau pada jaringan yang terdiferensiasi. Selanjutnya embrio somatik berbentuk hati yang disebut tahap hati. Tahap ketiga
adalah tahap torpedo yaitu pemajangan embrio pada tahap hati. Tahap keempat terlihat primordia tajuk dan tampak sepasang kotiledon sehingga disebut tahap
kotiledon. Sedangkan perkembangan embrio somatik pada tanaman monokotil dimulai dengan pembentukan suatu struktur yang tampak seperti pro-embrio lalu
berkembang menuju tahap globular, selanjutnya membentuk suatu struktur mirip skutelum dengan notch pada bagian ujung dan koleoptilnya tahap hati. Tahap
selanjutnya tampak struktur lebih jelas koleoptil dan skutelum yang lebih besar Hapsoro dan Yusnita, 2016.
2.4 Zat Pengatur Tumbuh ZPT
Zat pengatur tumbuh ZPT adalah semua senyawa, baik alami maupun sintetik
yang dalam konsentrasi rendah dapat mengatur merangsang atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan sel atau tanaman Yusnita, 2003. Ada lima
kelompok ZPT yang dikenal yaitu auksin, sitokonin, giberelin, etilen dan asam absisat. ZPT yang banyak digunakan adalah auksin dan sitokinin, untuk mengatur
pertumbuhan dan morfogenesis dalam jaringan tanaman dan kultur organ George dkk., 2008.
Salah satu sitokinin yang sering digunakan adalah benziladenin BA atau dikenal
dengan nama lain N-Benzyl-adenine, 6 benzylaminopurine, N-phenylmethyl 1H- purine-6amine, Benzyl purine-6-yl amine, dan 6-BA. BA mengadung 2 N-
Phenylmethyl-1H-purine-6-amine. Senyawa ini termasuk sitokinin jenis purin dengan rumus kimia C
12
H
11
N
5
dengan berat molekul 222,25 gmol. Anegra 2008 menerangkan bahwa penggunaan media MS + BA 4 mgl menghasilkan
jumlah tunas terbaik yaitu 5,7 tunas per eksplan setelah dikulturkan selama 16 minggu. BA memiliki fungsi utama merangsang pertumbuhan dan morfogenesis
eksplan yang dikulturkan. Hasil penelitian Hapsari dan Astutik 2009 menunjukkan penambahan 4 mgl BA menghasilkan tunas terbanyak yaitu 3,46
tunaseksplan pada minggu ke 12. Hasil penelitian Muhammad, dkk. 2007,
menunjukkan bahwa pemberian 2- 6 mgl BA menyebabkan peningkatan jumlah tunas pisang Basrai kemudian jumlah tunas menurun pada konsentrasi 8 mgl BA.
Selain BA, jenis sitokinin lain yang dapat digunakan adalah thidiazuron TDZ.
TDZ berperan dalam merangsang organogenesis eksplan regenerasi tunas dan regenerasi tanaman. Dalam dunia kimia, TDZ dikenal sebagai 1-pheniyl-3-1,2,3-
thidiazuron-5-yl urea dengan rumus molekul C
6
H
8
N
4
OS, dan berat molekul 220,2 gmol Sajid, 2009. TDZ dalam konsentrasi rendah dapat meningkatkan
multiplikasi tunas atau embriogenesis somatik dalam beberapa tanaman. Menurut Lee 2005, p
ada konsentrasi rendah kurang dari 1μM, TDZ menginduksi proliferasi lebih besar dari tunas ketiak dibandingkan sitokinin lainnya. Pada
konsentrasi yang lebih tinggi, TDZ merangsang pembentukan kalus, tunas atau embrio somatik. Menurut penelitian Winarto, dkk. 2010 pada kultur anther
Anthurium, kombinasi 2,4-D 1,0 mgl dengan TDZ 0,5 mgl merupakan kombinasi terbaik untuk regenerasi kalus dengan 5,3 tunas per eksplan. Menurut
penelitian Winarno 2010 konsentrasi TDZ 2,0 mgl merupakan konsentrasi terbaik untuk regenerasi kalus anter Anthurium.
Dalam kultur jaringan auksin dikenal mampu berperan menginduksi terjadinya
kalus, menghambat kerja sitokinin membentuk klorofil dalam kalus, mendorong proses morfogenesis kalus, membentuk akar dan tunas, mendorong proses
embriogenesis dan juga mempengaruhi kestabilan genetik sel. Pikloram merupakan ZPT dari golongan auksin yang dikenal sebagai 4-amino-3,5,6-
trichloro-2-pyridinecarboxylic acid dengan rumus molekul C
6
H
3
Cl
3
N
2
O
2
. Pikloram aktif pada konsentrasi rendah dengan perbedaan konsentrasi yang besar.