MULTIPLIKASI TUNAS PISANG ‘KEPOK KUNING’ (GENOM ABB)DAN ‘RAJA BULU’ (GENOM AAB) IN VITRO PADA BERBAGAI KONSENTRASI BENZILADENIN DENGAN DAN TANPA THIDIAZURON

(1)

ABSTRAK

MULTIPLIKASI TUNAS PISANG ‘KEPOK KUNING’ (GENOM ABB) DAN ‘RAJA BULU’ (GENOM AAB) IN VITRO PADA BERBAGAI

KONSENTRASI BENZILADENIN DENGAN DAN TANPA THIDIAZURON

Oleh

HABIBA NURUL ISTIQOMAH

Multiplikasi tunas pisang dengan kultur jaringan dilakukan dengan menambahkan zat pengatur tumbuh golongan sitokinin ke dalam media kultur. Penelitian

bertujuan mengetahui pengaruh konsentrasi, jenis, dan interaksi antara benziladenin (BA) dengan thidiazuron (TDZ) terhadap jumlah propagul eksplan pisang ‘Kepok Kuning’ dan ‘Raja Bulu’. Sumber eksplan pisang ‘Kepok Kuning’ berasal dari bonggol dan sumber eksplan pisang ‘Raja Bulu’ berasal dari tunas aksilar hasil kultur in vitro berumur 12 bulan setelah tanam. Penelitian dilakukan dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga ulangan dan disusun dalam rancangan percobaan faktorial 4x2. Faktor pertama berupa konsentrasi BA, yaitu 1 mg/l, 2 mg/l, 4 mg/l, dan 6 mg/l. Faktor kedua berupa konsentrasi TDZ, yaitu 0 mg/l dan 0,01 mg/l. Media dasar yang digunakan adalah media Murashige dan Skoog (MS). Analisis data dilakukan menggunakan analisis ragam dan pemisahan nilai tengah dilakukan dengan BNT 5%. Hasil penelitian pada eksplan pisang ‘Kepok Kuning’ berumur 28 MSP menunjukkan


(2)

bahwa peningkatan konsentrasi BA dalam media MS dari 1 mg/l menjadi 4 mg/l dan 6 mg/l meningkatkan rata-rata jumlah propaguldari 0,8 menjadi 1,9 dan 3,3 propagul per eksplan. Penambahan 0,01 mg/l TDZ pada media yang mengandung BA mampu meningkatkan rata-rata jumlah propagul per eksplan menjadi 2,1 propagul. Namun, tidak ditemukan adanya interaksi antara BA dan TDZ. Hasil penelitian pada eksplan ‘Raja Bulu’ berumur 12 MSP menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi BA dalam media MS dari 1 mg/l menjadi 6 mg/l

meningkatkan rata-rata jumlah propagul pisang ‘Raja Bulu’ dari 1,6 menjadi 2,8 propagul per eksplan. Penambahan 0,01 mg/l TDZ pada media yang mengandung BA tidak meningkatkan rata-rata jumlah propagul per eksplan. Tidak ditemukan pula adanya interaksi antara BA dan TDZ. Namun, eksplan dalam media perlakuan 6 mg/l BA + 0,01 mg/l TDZ menghasilkan rata-rata jumlah propagul per eksplan terbanyak dibanding perlakuan lain, yaitu 3,8 propagul.

Kata kunci: Benziladenin, in vitro, Kepok Kuning, multiplikasi tunas, Raja Bulu, thidiazuron.


(3)

MULTIPLIKASI TUNAS PISANG ‘KEPOK KUNING’ (GENOM ABB) DAN ‘RAJA BULU’ (GENOM AAB) IN VITRO PADA BERBAGAI

KONSENTRASI BENZILADENIN DENGAN DAN TANPA THIDIAZURON

Oleh

HABIBA NURUL ISTIQOMAH

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

Judul Skripsi

llama Mahasiswa

Nomor Pokok Mahasiswa Jurusan

Fakultas

Prof. Dr. Ir. Yusnlta, !f.Sc. NIP 19610805198@5202

ITULTIPLilTIISI TUNAS PISANG 'IIEPOK KIINING' (GDNOIU ABB) DAN 'nA.tA BULU'{GDNOU AAB) IN VITRO PADA BEBBAGAI

KONSBNTBASI BDNZII,ADDNIN

DENGAN DAII TANPA TITIDIAiZURON

Dr. Ir. D'nil IIapsOrO, !I.SG. NIP 19610dto21986051005

2. Ketua Jurusan Agroteknologi

cfrIahifucfBruf qsfiqffigth

1114121095 Agroteknologi

Pertanian

ITIDNYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Iftrsmanta F. Illdayat, !1.P. NIP 19641118198902rW2


(5)

MENGF,SAIIITAN

: Prof. Dr. Ir. Yusnlta, !I.Sc. 1. fim Penguji

Ketua

Sekretaris

W

: Dr. Ir. Dwr

lrapsoro,

^.u.Wl..ff

Pengqji

Bukan Pembimbing : Srl Banadiana, S.P., !f.Sl.

Pertanian

. Wan Abhas Zalranrla,lll.S. 1987021001


(6)

ST'RAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawatr ini menyatakan bahwa skripsi saya yang

berjudul *MULTIPLIKASI TIINAS PISANG 'KEPOK KUNING' (GENOM

ABB) DAN 'RAJA BULU' (GENOM AAB)

N

WTRO PADA BERBAGAI KONSENTRASI BENALADENIN DENGAN DAN TANPA THtrDIAZURO}V' menrpakan hasil kaqa saya sendiri dan bukan hasil karya orang lain. Semua hasil

yang tertuang dalam skripsi ini telah mengikuti kaidah penulisan karya ilmiah

Universitas Larnpung. Apabila di kemudian hmi terbukti bahwa skripsi ini

menrpakan hasil salinan atau dibuat orang lai*, maka saya be,rsedia menerima sanki sesuai dengan ketenhnn akademik yang berlaku.

Bandar Lampung, 13 Oktober 2015

Habibr Nurul Istiqomah


(7)

RIWAYAT PENULIS

Penulis dilahirkan di Pagai Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat pada 31 Agustus 1993, sebagai anak pertama dari dua bersaudara buah hati Ibu Paweli Arohmah dan Bapak Jumali. Pendidikan formal pertama penulis awali di TK Anggrek Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat pada tahun 1998. Pada tahun 1999, penulis melanjutkan pendidikan dasar di SDN 21 Makalo, Pagai Selatan kemudian pindah ke SD Teladan Metro, Lampung pada tahun 2000. Namun, pendidikan dasar ini diakhiri di SDN 3 Taman Fajar, Purbolinggo, Lampung Timur pada tahun 2005. Di tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMPN 1 Purbolinggo, Lampung Timur hingga lulus pada tahun 2008. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan menengah atas di SMAN 1 Purbolinggo, Lampung Timur dan lulus pada tahun 2011.

Pada tahun 2011, penulis melanjutkan studi pendidikan tinggi di Jurusan

Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN Undangan. Selama menempuh studi, penulis terdaftar sebagai mahasiswa

penerima beasiswa Bidik Misi angkatan II. Penulis pernah mendapatkan hibah PKMP pada tahun 2012. Pada tahun 2014, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sendangretno, Kecamatan Sendang Agung, Lampung Tengah selama 40 hari. Di tahun yang sama, penulis melaksanakan kegiatan


(8)

Praktik Umum (PU) di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor selama 30 hari kerja efektif.

Selama perkuliahan, penulis mendapat kesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar-Dasar Ilmu Tanah, Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan, Teknologi Benih, Fisiologi Tanaman, Kultur Jaringan dan mentor mata kuliah Kimia Dasar di bawah naungan Forum Ilmiah Mahasiswa. Selain itu, penulis juga ikut tergabung sebagai anggota Koperasi Mahasiswa Unila pada tahun 2011-2013, anggota bidang Akademik dan MCF Forum Studi Islam FP pada tahun 2012-2014 serta aktif dalam Persatuan Mahasiswa Agroteknologi dan menjadi Sekretaris Bidang Penelitian dan Pengembangan Keilmuan pada masa jabatan 2013-2014.


(9)

For My Dearest

,


(10)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan

kesanggupannya....”

(QS. Al-Baqarah (2): 286)

“Kemuliaan terbesar bagi kehidupan adalah ketika kita mampu

bermanfaat bagi orang lain”


(11)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam senantiasa diberikan kepada Nabi Muhammad saw.

Penyelesaian pembuatan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Ir. Yusnita, M.Sc., sebagai Pembimbing Utama sekaligus pemberi ide penelitian yang telah meluangkan waktu dalam memberikan nasehat, saran, pengarahan, dan bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Bapak Dr. Ir. Dwi Hapsoro, M.Sc., sebagai Pembimbing Kedua yang telah

meluangkan waktu dalam memberikan nasehat, saran, pengarahan, dan bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Sri Ramadiana, S.P., M.Si., sebagai Penguji yang telah memberi saran, kritik, dan nasehat dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P., sebagai Pembimbing Akademik dan Ketua Jurusan Agroteknologi yang telah memberi nasehat selama penulis kuliah di Jurusan Agroteknologi.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Setyo Dwi Utomo, M.Sc., sebagai Ketua Bidang Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.


(12)

ii 6. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., sebagai Dekan Fakultas

Pertanian Universitas Lampung.

7. Ibu Paweli Arohmah, Ayah Jumali, dan Habiba L. Nurrahmah sebagai orang tua dan adik penulis yang telah memberi dukungan moril maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Mayasari, Oktaviolentina, Defika D. Pratiwi, dan Dwi Safitri, sebagai rekan dalam pelaksanaan penelitian yang telah memberi bantuan dan saran kepada penulis.

9. Hayane A. Warganegara, S.P., M.Si., S. Triyani, S.P., Anggun Fiolita, Yenni, Yanti, Rezlinda, Wiwik, Ria, Yoga, Syanda, Resti, Vanny, Rifky, dan

Eldineri, sebagai anggota keluarga besar Laboratorium Kultur Jaringan yang telah memberi bantuan dan semangat juang.

10. Murni Ariyanti, Dwi A.C. Ningrum, Erdiana Damayanti, Annisa I.P. Harahap, Eka R. Simarmata, Septy Anggreini, Felix T. Wahyudi, Edi Susanto, M. Rizky, Peny Yulianti, Gita L. Putri, Jenny Tumanggor, dan teman-teman Agroteknologi 2011 atas bantuan tenaga dan dukungan moril selama penelitian ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas bantuan yang telah diberikan dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Bandar Lampung, 13 Oktober 2015 Penulis


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2Tujuan Penelitian ... 5

1.3Landasan Teori ... 6

1.4Kerangka Pemikiran ... 10

1.5Hipotesis ... 13

II.TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1Botani Tanaman Pisang ‘Kepok Kuning’ dan ‘Raja Bulu’ ... 14

2.2Perbanyakan Tanaman Pisang secara Konvensional ... 17

2.3Perbanyakan Tanaman Pisang secara in Vitro ... 18

2.4Sitokinin ... 22

III. BAHAN DAN METODE ... 25

3.1Percobaan I. Pengaruh Konsentrasi Benziladenin dengan dan tanpa Thidiazuron terhadap Multiplikasi Tunas Pisang ‘Kepok Kuning’ (Genom ABB) Eksplan Primer (dari Bonggol) ... 25


(14)

iv

3.1.2 Metode Penelitian ... 25

3.1.3 Pelaksanaan Penelitian ... 26

3.1.3.1Sterilisasi Botol dan Alat ... 26

3.1.3.2Pembuatan Media ... 27

3.1.3.3Bahan Tanaman ... 29

3.1.3.4Persiapan Eksplan ... 29

3.1.3.5Sterilisasi dan Penanaman Eksplan ... 30

3.1.3.6Subkultur ke Media Perlakuan ... 32

3.1.3.7Pengamatan ... 33

3.2Percobaan II. Pengaruh Konsentrasi Benziladenin dengan dan tanpa Thidiazuron terhadap Multiplikasi Tunas Pisang ‘Raja Bulu’ (Genom AAB) Eksplan Sekunder ... 33

3.2.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 33

3.2.2 Metode Penelitian ... 34

3.2.3 Pelaksanaan Penelitian ... 34

3.2.3.1Sterilisasi Alat dan Pembuatan Media Tanam ... 34

3.2.3.2Bahan Tanaman ... 35

3.2.3.3Penanaman Eksplan ke dalam Media Prekondisi dan Media Perlakuan ... 35

3.2.3.4Pengamatan ... 35

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1Hasil Penelitian ... 37

4.1.1 Percobaan I. Pengaruh Konsentrasi Benziladenin dengan dan tanpa Thidiazuron terhadap Multiplikasi Pisang ‘Kepok Kuning’ (Genom ABB) Eksplan Primer (dari Bonggol) ... 37

4.1.1.1Perkembangan Umum Kultur ... 37

4.1.1.2Rata-Rata Jumlah Propagul ... 41

4.1.1.3Penampilan Visual Eksplan ... 44

4.2.1 Percobaan II. Pengaruh Konsentrasi Benziladenin dengan dan tanpa Thidiazuron terhadap Multiplikasi Pisang ‘Raja Bulu’ (Genom AAB) Eksplan Sekunder ... 46

4.1.2.1Perkembangan Umum Kultur ... 46

4.1.2.2Rata-Rata Jumlah Propagul ... 50


(15)

v

4.2 Pembahasan ... 55

4.2.1 Perkembangan Umum Kultur ... 55

4.2.2 Rata-Rata Jumlah Propagul ... 60

4.2.3 Penampilan Visual Eksplan ... 63

V.KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

4.3 Kesimpulan ... 66

4.4 Saran ... 67

PUSTAKA ACUAN ... 68

LAMPIRAN ... 73


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Perlakuan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam

media dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962). ... 26

2. Jumlah eksplan pisang ‘Kepok Kuning’ yang masuk perlakuan,

jumlah eksplan hidup, dan persentase eksplan respons pada

28 MSP. ... 41 3. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh konsentrasi BA dan

TDZ terhadap rata-rata jumlah propagul eksplan pisang

‘Kepok Kuning’ pada 28 MSP. ... 41

4. Jumlah eksplan pisang ‘Raja Bulu’ yang masuk perlakuan, jumlah

eksplan hidup, dan persentase eksplan respons pada 12 MSP. ... 49 5. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh konsentrasi BA dan

TDZ terhadap rata-rata jumlah propagul eksplan pisang ‘Raja Bulu’

pada 12 MSP. ... 50 6. Formulasi media dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962) dan

pengelompokan senyawa dalam pembuatan larutan stok

(Yusnita, 2003). ... 74 7. Peranan masing-masing unsur hara dan vitamin dalam media

kultur (Sandra, 2013). ... 75 8. Rata-rata jumlah propagul eksplan pisang ‘Kepok Kuning’

28 MSP. ... 76 9. Hasil uji Bartlett dengan Statistix 8 pada rata-rata jumlah propagul

per eksplan pisang ‘Kepok Kuning’ berumur 28 MSP. ... 76

10.Hasil analisis ragam dengan Statistix 8 pada rata-rata jumlah propagul


(17)

vii 11.Hasil analisis ragam dengan Statistix 8 pada rata-rata jumlah

propagul per eksplan pisang ‘Kepok Kuning’ berumur 28 MSP

(data transformasi (√x+0,5)). ... 77 12.Hasil pemisahan nilai tengah rata-rata jumlah propagul per eksplan

pada kultur in vitropisang ‘Kepok Kuning’ umur 28 MSP sebagai

respons terhadap konsentrasi BA menggunakan uji BNT 5%

dengan Statistix 8. ... 77 13.Hasil pemisahan nilai tengah rata-rata jumlah propagul per eksplan

pada kultur in vitropisang ‘Kepok Kuning’ umur 28 MSP sebagai

respons terhadap penambahan TDZ menggunakan uji BNT 5%

dengan Statistix 8. ... 77 14.Hasil pemisahan nilai tengah rata-rata jumlah propagul per eksplan

pada kultur in vitropisang ‘Kepok Kuning’ umur 28 MSP sebagai

respons terhadap konsentrasi BA dan TDZ menggunakan uji

BNT 5% dengan Statistix 8. ... 78 15.Rata-rata jumlah propagul pada eksplan pisang ‘Raja

Bulu’ 12 MSP. ... 78 16.Hasil uji Bartlett dengan Statistix 8 pada rata-rata jumlah propagul

per eksplan pisang ‘Raja Bulu’ berumur 12 MSP. ... 78 17.Hasil analisis ragam dengan Statistix 8 pada rata-rata jumlah

propagul per eksplan pisang ‘Raja Bulu’ berumur 12 MSP

(data asli). ... 79 18.Hasil analisis ragam dengan Statistix 8 pada rata-rata jumlah

propagul per eksplan pisang ‘Raja Bulu’ berumur 12 MSP

(data transformasi (√x+0,5)). ... 79 19.Hasil pemisahan nilai tengah rata-rata jumlah propagul per eksplan

pada kultur in vitropisang ‘Raja Bulu’ umur 12 MSP sebagai respons terhadap konsentrasi BA menggunakan uji BNT 5%

dengan Statistix 8. ... 80 20.Hasil pemisahan nilai tengah rata-rata jumlah propagul per eksplan

pada kultur in vitropisang ‘Raja Bulu’ umur 12 MSP sebagai respons terhadap penambahan TDZ menggunakan uji BNT 5%

dengan Statistix 8. ... 80 21.Hasil pemisahan nilai tengah rata-rata jumlah propagul per eksplan

pada kultur in vitropisang ‘Raja Bulu’ umur 12 MSP sebagai

respons terhadap konsentrasi BA dan TDZ menggunakan uji BNT 5%


(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Alur kerangka berpikir ... 13 2. Buah pisang (a) ‘Kepok Kuning’ dan (b) ‘Raja Bulu’ ... 16 3. Stuktur molekul (a) benziladenin dan (b) thidiazuron ... 24 4. Calon eksplan berupa jaringan meristematik berdiameter

5-8 cm dan batang semu setinggi 8-10 cm ... 30 5. Penanaman eksplan di media prekondisi ... 31 6. Eksplan yang terkontaminasi (a) cendawan dan (b) bakteri ... 32 7. Eksplan pisang ‘Kepok Kuning’ pada (a) awal tanam di media

prekondisi dan (b) 4 MST ... 37 8. (a) Tunas apikal, (b) tunas aksilar pada media 6 mg/l BA, dan

(c) kondisi eksplan pisang ‘Kepok Kuning’ pada perlakuan selain

6 mg/l BA (4 MSP) ... 38 9. Upaya pematahan dominansi apikal pada eksplan pisang ‘Kepok

Kuning’ melalui (a) pencacahan pada 8 MSP, (b) pembelahan pada

20 MSP, dan (c) tunas aksilar mulai tampak pada 24 MSP ... 39 10. Blackening pada eksplan pisang ‘Kepok Kuning’ berumur

(a) 12 MSP dan (b) 16 MSP ... 39

11. Akar eksplan pisang ‘Kepok Kuning’ pada 12 MSP ditunjukkan

oleh panah berwarna kuning (a) tampak samping dan (b) tampak


(19)

ix 12. Rata-rata jumlah propagul per eksplan pada kultur in vitro pisang

‘Kepok Kuning’ umur 28 MSP sebagai respons terhadap konsentrasi BA. Nilai tengah yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan uji BNT pada taraf 5% berdasarkan data transformasi

(Tabel 12 hlm. 77 di lampiran) ... 42 13. Rata-rata jumlah propagul per eksplan pada kultur in vitro pisang

‘Kepok Kuning’ umur 28 MSP sebagai respons terhadap penambahan

TDZ. Nilai tengah yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan uji BNT pada taraf 5% berdasarkan data

transformasi (Tabel 13 hlm. 77 di lampiran) ... 43 14. Rata-rata jumlah propagul per eksplan pada kultur in vitro pisang

‘Kepok Kuning’ umur 28 MSP sebagai respons terhadap konsentrasi

BA dan TDZ. Nilai tengah yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan uji BNT pada taraf 5% berdasarkan

data transformasi (Tabel 14 hlm. 78 di lampiran) ... 44

15. Penampilan eksplan pisang ‘Kepok Kuning’ pada 28 MSP ... 45

16. Nodul pada eksplan pisang ‘Kepok Kuning’ dalam media

(a) 2 mg/l BA + 0,01 mg/l TDZ, (b) 4 mg/l BA + 0,01 mg/l TDZ,

dan (c) 6 mg/l BA + 0,01 mg/l TDZ ... 46 17. Penampilan (a) induk eksplan pisang ‘Raja Bulu’ berumur

12 bulan, (b) eksplan pada media prekondisi, dan (c) eksplan pada

media perlakuan (0 MSP) ... 47 18. (a) Dominansi apikal dan (b) pencacahan eksplan pisang

‘Raja Bulu’ ... 47 19. (a) Tunas aksilar dan (b) tunas apikal pada eksplan pisang

‘Raja Bulu’ berumur 4 MSP ... 48

20. Akar eksplan pisang ‘Raja Bulu’ pada 4 MSP ditunjukkan oleh

panah berwarna kuning ... 48

21. Eksplan pisang ‘Raja Bulu’ berumur 12 MSP tidak mengalami

blackening ... 49 22. Rata-rata jumlah propagul per eksplan pada kultur in vitro pisang

‘Raja Bulu’ umur 12 MSP sebagai respons terhadap konsentrasi BA. Nilai tengah yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan uji BNT pada taraf 5% berdasarkan data


(20)

x 23. Rata-rata jumlah propagul per eksplan pada kultur in vitro pisang

‘Raja Bulu’ umur 12 MSP sebagai respons terhadap penambahan

TDZ. Nilai tengah yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan uji BNT pada taraf 5% berdasarkan data

transformasi (Tabel 20 hlm. 80 di lampiran) ... 52 24. Rata-rata jumlah propagul per eksplan pada kultur in vitro pisang

‘Raja Bulu’ umur 12 MSP sebagai respons terhadap konsentrasi BA dan TDZ. Nilai tengah yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan uji BNT pada taraf 5% berdasarkan

data transformasi (Tabel 21 hlm. 80 di lampiran) ... 53 25. Eksplan pisang ‘Raja Bulu’ pada 12 MSP ... 54 26. Nodul pada eksplan pisang ‘Raja Bulu’ dalam media


(21)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Pisang (Musa sp.) dikenal sebagai tanaman buah berupa herba yang berasal dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pisang dapat dengan mudah ditemui di berbagai daerah di Indonesia. Menurut FAO (2014), kini pisang menjadi tanaman pangan paling penting nomor 8 di dunia dan nomor 4 di negara berkembang. Asia menyumbang produksi pisang sebesar 56,4% dari total pisang dunia. Indonesia menjadi salah satu negara penghasil pisang di Asia. Produksi pisang Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data FAOSTAT (2014), pada tahun 2009, 2010, 2011, 2012, dan 2013 Indonesia mampu

memproduksi pisang sebanyak 6.373.533, 5.755.073, 6.132.695, 6.189.052, dan 5.359.126 ton/tahun. Angka ini menjadikan Indonesia menempati posisi ketujuh sebagai negara penghasil pisang terbesar di dunia, berada di bawah India, Brazil, Cina, Uganda, Filipina, dan Equador. Billah dkk. (2014) menyatakan bahwa total konsumsi pisang per kapita di Indonesia relatif stabil dengan kecenderungan yang menurun dalam lima tahun terakhir. Konsumsi pisang per kapita pada tahun 2009, 2010, 2011, 2012, dan 2013, yaitu masing-masing sebesar 7,926; 6,831; 8,812; 5,788; dan 5,631 kg per kapita. Namun, peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran penduduk mengenai gizi diperkirakan akan menyebabkan permintaan


(22)

2

terhadap pisang-pisang berkualitas akan semakin meningkat pula. Pisang seperti

‘Kepok Kuning’ dan ‘Raja Bulu’ kian menjadi populer bagi masyarakat dalam

negeri karena rasanya yang enak dan bergizi.

Produksi pisang berkualitas terkendala oleh penanaman yang hanya sebatas tanaman sampingan, luasan lahan untuk menanam pisang masih rendah, penanaman bersifat sporadis (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura, 2005) dan ketersediaan bibit bermutu masih kurang (Billah dkk., 2014). Padahal penyediaan buah pisang yang berkualitas mutlak diawali dengan penyediaan bibit pisang yang berkualitas pula. Secara konvensional, bibit pisang diperoleh dari tunas pisang anakan dengan tinggi 1-1,5 m dan lebar potongan umbi 15-20 cm. Anakan ini berasal dari pohon yang berbuah baik dan sehat. Pada umumnya, bibit anakan yang diambil ada dua jenis, yaitu anakan muda dan dewasa. Namun, anakan dewasa lebih sering digunakan karena sudah mempunyai bakal bunga dan persediaan makanan di dalam bonggol sudah banyak sehingga laju pertumbuhannya lebih cepat. Penggunaan bibit yang berbentuk tombak (daun masih berbentuk seperti pedang, helai daun sempit) lebih diutamakan daripada bibit dengan daun yang lebar (Prihatman, 2000). Kelemahan sistem konvensional ini adalah kesulitan dalam mencari bibit anakan dalam jumlah banyak dan waktu singkat.

Kultur jaringan sudah lama dikenal sebagai perbanyakan tanaman dengan cara cepat. Menurut Yusnita (2003), kultur jaringan merupakan suatu teknik untuk menumbuhkembangkan bagian tanaman in vitro secara aseptik dan aksenik pada media kultur berisi hara lengkap dan kondisi lingkungan terkendali untuk tujuan


(23)

3

tertentu. Kultur jaringan bermula pada teori totipotensi sel yang dikemukaan oleh Schwann dan Schleiden bahwa setiap sel tanaman hidup mempunyai informasi genetik dan perangkat fisiologis lengkap untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh pada kondisi sesuai. Teknik ini mampu menghasilkan banyak tanaman dalam waktu yang relatif singkat, tidak memerlukan tempat yang luas, kegiatan perbanyakan dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa bergantung pada musim, dan menghasilkan bibit yang sehat. Perbanyakan dengan kultur jaringan menjadi pilihan tepat ketika permintaan pasar terhadap suatu tanaman tinggi tetapi pasokannya rendah karena laju perbanyakannya secara konvensional dianggap lambat.

Keberhasilan perbanyakan dengan kultur jaringan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu genotipe tanaman, umur ontogenik, metode pembiakan in vitro, zat pengatur tumbuh (ZPT), dan lingkungan kultur. Secara genotipe, pisang ‘Kepok Kuning’ memiliki genom BBB (Valmayor dkk., 2000). Namun menurut Yusnita (2003), pisang ‘Kepok Kuning’ bergenom ABB. Pernyataan ini sama dengan laporan Wahyuningtyas dkk. (2009), Damayanti dan Roostika (2010), dan Sari dan Badruzsaufari (2013). Dalam penelitiannya, Nisa dkk. (2010) menyebutkan bahwa perbedaan penentuan genom pisang ‘Kepok Kuning’ ini disebabkan oleh adanya variasi sifat ciri dari Musa balbisiana dan kemiripan morfologi

antarpisang yang bergenom ABB dan BBB. Sedangkan untuk genom pisang ‘Raja Bulu’, Yusnita (2015) menyebutkan bahwa pisang ini diketahui memiliki genom AAB.


(24)

4

Pisang dengan genotipe yang mengandung genom B relatif lebih sulit membentuk tunas majemuk dibanding pisang bergenotipe AAA, seperti pisang ‘Ambon Kuning’ dan ‘Cavendish’. Oleh karena itu, percepatan pembentukan mata tunas dan tunas (propagul) umumnya dibantu oleh ZPT jenis sitokinin, seperti

benziladenin (BA), kinetin, isopenteniladenin (2-iP), dan thidiazuron (TDZ). Dari berbagai sitokinin tersebut, BA menjadi sitokinin yang paling sering digunakan karena efektifitas untuk perbanyakan propagul cukup tinggi, mudah didapat, dan relatif lebih murah dibanding jenis sitokinin lain. Sitokinin yang memiliki efektifitas hampir sama atau lebih tinggi dibanding BA adalah TDZ (Yusnita, 2003).

Penelitian Al-Amin dkk. (2009) menunjukkan bahwa pemberian 7,5 mg/l BAP yang dikombinasikan dengan 0,5 mg/l NAA menghasilkan proliferasi tunas pisang ‘BARI banana-I’ tertinggi, yaitu rata-rata 6 tunas pada 30 hari setelah inisiasi. Pada penelitian Jannah (2014) diperoleh hasil media dengan zat pengatur tumbuh tunggal 6 mg/l BA maupun media dengan kombinasi zat pengatur tumbuh 6 mg/l BA dan 2 mg/l kinetin menghasilkan multiplikasi tunas in vitro pisang ‘Raja Bulu’ tertinggi. Hasil penelitian Roy dkk. (2010) menunjukkan bahwa pemberian 0,11 mg/l TDZ dapat meningkatkan tunas pisang ‘Malbhog’ menjadi 45 tunas per eksplan pada 8 minggu setelah inisiasi. Hasil yang sama juga diperoleh pada penelitian Triyani (2014) yang menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi TDZ maupun BA dapat meningkatkan multiplikasi tunas pisang ‘Raja Bulu’. Multiplikasi tunas pisang ‘Raja Bulu’ terbaik diperoleh pada media


(25)

5

Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa BA dan TDZ dapat meningkatkan jumlah propagul pisang secara drastis. Namun konsentrasinya beragam untuk setiap kultivar tanaman pisang. Pada penelitian ini akan dipelajari pengaruh berbagai konsentrasi BA dengan dan tanpa TDZ pada multiplikasi pisang ‘Kepok Kuning’ dan ‘Raja Bulu’in vitro.

Berdasarkan latar belakang, maka penelitian ini dilakukan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan berikut:

1. Berapa konsentrasi BA tunggal yang menghasilkan rata-rata jumlah propagul pisang ‘Kepok Kuning’ dan ‘Raja Bulu’in vitro terbaik?

2. Apakah penambahan TDZ pada BA dapat menghasilkan rata-rata jumlah propagul pisang ‘Kepok Kuning’ dan ‘Raja Bulu’in vitro terbaik?

3. Berapa konsentrasi BA yang ditambahkan dengan TDZ yang menghasilkan rata-rata jumlah propagul pisang ‘Kepok Kuning’ dan ‘Raja Bulu’in vitro

terbaik?

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Menentukan konsentrasi BA tunggal yang menghasilkan rata-rata jumlah propagul pisang ‘Kepok Kuning’ dan ‘Raja Bulu’ in vitro terbaik.

2. Mempelajari pengaruh penambahan TDZ pada BA terhadap rata-rata jumlah propagul pisang ‘Kepok Kuning’ dan ‘Raja Bulu’ in vitro.


(26)

6

3. Menentukan konsentrasi BA dengan pemberian TDZ yang menghasilkan rata-rata jumlah propagul pisang ‘Kepok Kuning’ dan ‘Raja Bulu’ in vitro

terbaik.

1.3 Landasan Teori

Dalam rangka menyusun penjelasan teoritis terhadap pertanyaan yang telah dikemukaan, penulis menggunakan landasan teori sebagai berikut.

Kultivar pisang yang ada saat ini berasal dari dua spesies pisang liar berbiji, yaitu

Musa acuminata (genom A) dan Musa balbisiana (genom B). Persilangan keduanya menyebabkan adanya variasi jenis pisang. Persilangan ini dapat terjadi melalui hibridisasi alami maupun dengan campur tangan manusia. Pisang ‘Kepok Kuning’ dan ‘Raja Bulu’ merupakan hasil persilangan yang terjadi secara alami antara Musa acuminata dengan Musa balbisiana yang menghasilkan masing-masing genom ABB dan AAB. Pisang dengan genom ABB ditandai dengan ciri buah berukuran sedang, sangat bersegi, kulit buah tebal, daging buah masak kuning, dan cocok sebagai buah olahan. Sedangkan pisang dengan genom AAB dicirikan dengan buah panjang gemuk, ujung buah tumpul, dan cocok sebagai buah olahan maupun dimakan segar. Dari segi morfologi, pisang dengan genom ABB memiliki tepi tangkai daun yang umumnya menutup, pangkal helaian daun bertelinga, dan bakal biji selalu tersusun 4 baris teratur dalam ruang bakal biji. Pisang dengan genom AAB memiliki tepi daun yang membuka tegak, pangkal helaian daun membulat, dan bakal biji selalu tersusun 2 baris teratur dalam ruang bakal biji (Jumari dan Pudjoarinto, 2000).


(27)

7

Penelitian Meldia dkk. (2012) menunjukkan bahwa inisiasi eksplan pisang dengan genom ABB maupun AAB lebih lama dibanding genom AAA. Selain itu,

persentase membentuk tunas dan jumlah tunas yang dihasilkan juga lebih rendah dibanding jenis pisang lain. Hal ini karena pisang bergenom B memiliki tingkat kandungan fenol dan aktivitas polyphenoloxidase lebih tinggi dibanding yang lain. Kandungan fenol yang tinggi pada eksplan ditandai dengan warna coklat pada eksplan akibat pelukaan permukaan eksplan. Senyawa fenol bersifat toksik bagi jaringan eksplan sehingga pertumbuhan dan perkembangan eksplan terganggu.

Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang memiliki andil besar dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Sheen (2002), sitokinin mampu mengontrol pembelahan sel (sitokinesis), inisiasi meristem tunas, diferensiasi daun dan akar, biogenesis kloroplas, toleransi stres, dan senescens. Bersama dengan auksin, sitokinin dapat mengubah sel daun yang telah

terdiferensiasi menjadi sel induk dan meregenerasi tunas tanpa batas dalam kultur jaringan tanaman. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa sitokinin mampu mendorong pembelahan sel dalam teknik kultur jaringan melalui peningkatan aktivitas peralihan dari G2 (persiapan pembelahan sel) ke mitosis pada sistem daur sel. Peningkatan aktivitas ini dapat terjadi karena sitokinin mampu menaikkan laju sintesis protein. Beberapa protein tersebut berupa protein pembangun atau enzim yang dibutuhkan untuk mitosis. Sintesis protein ini ditingkatkan dengan cara memacu pembentukan mRNA yang menyandikan protein tersebut. Untuk melakukan hal ini, sitokinin diduga memacu produksi protein inti melalui translasi di sitosol. Selain itu, translasi pesan genetik menjadi protein juga dapat dipercepat dengan cara meningkatkan kestabilan mRNA.


(28)

8

Namun di lain sisi ternyata juga terjadi perubahan tingkat mRNA yang diduga karena sitokinin dapat memacu transkripsi beberapa gen dan menekan transkripsi gen lain. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa sitokinin umumnya bekerja pada transkripsi, pada kestabilan mRNA, atau pada translasi. Bahkan bisa pula sitokinin mempengaruhi ketiga proses tersebut di spesies atau bagian tumbuhan yang berlainan.

Selain sitokinesis, efek lain yang disebabkan oleh sitokinin adalah terjadinya pemelaran sel. Percobaan dengan sel kotiledon lobak dan mentimun

membuktikan bahwa pemberian sitokinin dapat menyebabkan dinding sel mengendur secara inversible dalam tekanan turgor yang biasa. Hal ini

membuktikan terjadinya peningkatan plastisitas dinding sel sehingga sel dapat membesar lebih cepat. Pembelahan yang diikuti dengan pembesaran sel ini akan membentuk tunas tanaman apabila nisbah sitokinin-auksin tinggi (Salisbury dan Ross, 1995).

Menurut Kusmianto (2008), induksi sel oleh sitokinin diawali dengan pengikatan sitokinin pada protein penerima atau cytokinin binding protein (CBP) yang terdapat di membran sel. Pengikatan ini menyebabkan terjadinya aktivasi di bagian transmembrane domain sehingga terjadi autofosforilasi pada kompleks protein histidine kinase (HK). Ikatan fosfat pada protein HK mengaktifkan kerja protein histidine phosphotransfer (HP). Protein HP yang telah mengikat fosfat masuk ke dalam efector response regulator (ERR) dengan memberi gugus fosfat kepada ERR. ERR terdiri atas bagian utama, yaitu reseptor fosfat, bagian DNA,


(29)

9

dan aktivator transkripsi. Setelah gugus fosfat terikat pada reseptor, bagian DNA yang terikat pada ERR akan ditranskripsikan sebagai pemicu sitokinesis.

Penelitian yang dilaporkan oleh Sari (2012) menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi BA (2, 4, 6 mg/l) menyebabkan terjadi peningkatan jumlah tunas pisang ‘Ambon Kuning’. Jumlah tunas terbanyak dihasilkan oleh eksplan yang ditanam pada media dengan 6 mg/l BA, yaitu 16,44 tunas. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa terdapat dosis maksimum penggunaan BA. Penelitian Yusnita dkk. (2015) dengan 3 taraf konsentrasi BA, yaitu 2,5 mg/l, 5 mg/l, dan 7,5 mg/l menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah tunas pada 2,5 dan 5 mg/l BA dan jumlah tunas menurun pada konsentrasi 7,5 mg/l BA. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Avivi dan Ikrarwati (2004), Muhammad dkk. (2007) dan Bhosale dkk. (2011). Avivi dan Ikrarwati (2004) melaporkan bahwa peningkatan parameter jumlah tunas pisang ‘Abaca’ terjadi pada konsentrasi 4, 5, dan 6 mg/l lalu penurunan jumlah tunas terjadi pada konsentrasi 7 mg/l BA. Penelitian Muhammad dkk. (2007) pada pisang ‘Basrai’ menunjukkan bahwa pada konsentrasi 2, 4, dan 6 mg/l terjadi peningkatan jumlah tunas pisang kemudian penurunan jumlah tunas terjadi pada konsentrasi 8 mg/l BA. Penelitian Bhosale dkk. (2011) menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah tunas pisang ‘Ardhapuri’ dan ‘Basrai’ pada 3, 5, 7 mg/l BA dan penurunan jumlah tunas pada 9 mg/l BA. Sedangkan pada pisang ‘Shrimanti’ peningkatan jumlah tunas terjadi pada konsentrasi 3 dan 5 mg/l BA lalu jumlah tunas menurun pada 7 dan 9 mg/l BA. Hal ini menunjukkan bahwa setiap jenis pisang membutuhkan konsentrasi BA yang berbeda-beda untuk dapat


(30)

10

Selain BA, TDZ juga merupakan jenis sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan. Penggunaan TDZ dengan konsentrasi 2 µM (setara dengan 0,44 mg/l) dapat meningkatkan jumlah tunas pada pisang ‘Baka Baling’, ‘Nangka’, dan ‘Rastali’ dan 5 µM (setara dengan 1,1 mg/l) pada pisang ‘Berangan Intan’ dan ‘Berangan’ (Shirani dkk., 2009). Hasil penelitian Isnaeni (2008) dan Triyani (2014) menunjukkan bahwa penggunaan TDZ pada konsentrasi rendah (0,04 mg/l dan 0,05 mg/l) lebih efektif dibandingkan penggunaan BA pada konsentrasi lebih tinggi (3 mg/l dan 6 mg/l). Hal ini karena diduga TDZ mampu memacu produksi sitokinin endogen dan berperan sebagai inhibitor sitokinin oksidase. Sitokinin oksidase merupakan enzim yang dapat menghilangkan keaktifan sitokinin tipe adenin bebas seperti BA. Oleh karena itu, penambahan TDZ dapat meningkatkan kerja sitokinin endogen maupun eksogen (Kusmianto, 2008).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kombinasi BA dan TDZ dapat meningkatkan jumlah tunas pisang in vitro. Kumar dkk. (2011) melaporkan bahwa kombinasi 4 mg/l BA dan 0,4 mg/l TDZ mampu menghasilkan tunas pisang ‘Puttabale’ terbaik di antara perlakuan lain. Hal sejenis juga dilaporkan oleh Yusnita dan Hapsoro (2013) yang menyebutkan bahwa kombinasi 2 mg/l BA dan 0,01 mg/l TDZ mampu meningkatkan pembentukan propagul per eksplan pada kultur in vitro pisang ‘Tanduk’ sebesar sepuluh kali lipat dibanding media dengan 2 mg/l BA.

1.4 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan, berikut ini disusun kerangka pemikiran untuk memberikan penjelasan terhadap rumusan masalah.


(31)

11

Pisang ‘Kepok Kuning’ dan ‘Raja Bulu’ merupakan pisang hasil hibridisasi alami antara Musa acuminata dengan Musa balbisiana yang masing-masing

menghasilkan genom ABB dan AAB. Genom B pada jenis pisang ini

menyebabkan inisiasi dan multiplikasi tunas relatif lebih lama. Hal ini karena kandungan senyawa fenol yang lebih tinggi pada pisang bergenom B dibanding pisang bergenom A saja. Senyawa fenol ditandai dengan adanya warna hitam di sekitar eksplan ketika bereaksi dengan oksigen. Senyawa ini muncul akibat pelukaan dan bersifat toksik pada eksplan sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Oleh karena itu, komposisi media kultur yang tepat diharapkan dapat mempercepat inisiasi dan multiplikasi tunas pisang ‘Kepok Kuning’maupun pisang ‘Raja Bulu’ sehingga eksplan tidak mati akibat fenolik yang dikeluarkannya.

Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang digunakan untuk multiplikasi tunas pada kultur jaringan tanaman. Sitokinin berperan penting dalam

pembelahan sel (sitokinesis). Sitokinin mendorong sitokinesis melalui sistem kerjanya yang mampu mempengaruhi proses yang terjadi di DNA. Sitokinin dapat mempercepat laju transkripsi sehingga memacu aktivitas gen-gen tertentu. Selain itu sitokinin juga mampu meningkatkan kestabilan mRNA sehingga laju translasi meningkat. Peningkatan laju translasi menyebabkan peningkatan laju sintesis protein sehingga mempersingkat replikasi DNA (fase S pada daur sel). Akibatnya, waktu peralihan dari fase G2 (persiapan pembelahan sel) ke mitosis berlangsung lebih singkat. Pembelahan sel pun akan berlangsung lebih cepat. Selain pada pembelahan sel, sitokinin juga berperan dalam peningkatan plastisitas dinding sel sehingga pembesaran sel terjadi lebih cepat. Oleh karena itu,


(32)

12

penambahan sitokinin ke dalam media kultur dapat mempercepat pembelahan sekaligus pembesaran sel. Apabila konsentrasi sitokinin di dalam eksplan lebih tinggi dibanding konsentrasi auksin, sel-sel yang membelah dan membesar tadi akan membentuk tunas.

Benziladenin (BA) dan thidiazuron (TDZ) merupakan jenis sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan. Beberapa penelitian terkait dengan BA pada perbanyakan tunas berbagai pisang in vitro menyebutkan bahwa konsentrasi BA yang semakin tinggi dapat menghasilkan tunas pisang yang semakin banyak pula pada dosis optimum tertentu. Dosis ini berbeda untuk setiap jenis pisang. Beberapa pisang mengalami peningkatan multiplikasi tunas pada konsentrasi BA mencapai 6 mg/l kemudian menurun pada konsentrasi BA lebih dari 6 mg/l. Beberapa penelitian dengan TDZ menunjukkan bahwa pemberian TDZ dalam konsentrasi yang lebih rendah dibanding BA dapat meningkatkan jumlah tunas pisang. Kombinasi BA dengan TDZ diduga dapat meningkatkan multiplikasi tunas pisang in vitro karena sifat TDZ yang diduga mampu meningkatkan kerja sitokinin endogen maupun eksogen. Hal ini terbukti dari penelitian pisang

‘Tanduk’ yang menunjukkan bahwa kombinasi 2 mg/l BA dengan 0,01 mg/l TDZ menghasilkan tunas pisang sepuluh kali lebih banyak dibanding BA tunggal 2 mg/l.


(33)

13

Gambar 1. Alur kerangka berpikir

1.5 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran, maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut.

1. Peningkatan konsentrasi BA tunggal dapat meningkatkan rata-rata jumlah propagul pisang ‘Kepok Kuning’ dan ‘Raja Bulu’in vitro.

2. Penambahan TDZ ke dalam media yang mengandung BA dapat meningkatkan rata-rata jumlah propagul pisang ‘Kepok Kuning’ dan ‘Raja Bulu’in vitro

dibandingkan penggunaan BA tunggal.

3. Peningkatan konsentrasi BA yang dikombinasikan dengan TDZ dapat meningkatkan rata-rata jumlah propagul pisang ‘Kepok Kuning’ dan ‘Raja Bulu’ in vitro.


(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani Tanaman Pisang ‘Kepok Kuning’ dan ‘Raja Bulu’

Tanaman pisang yang ada saat ini merupakan hasil hibridisasi pisang liar yang terjadi secara alami hingga kemudian mengalami domestikasi. Pusat keragaman pisang diduga terdapat di Asia Tenggara. Berikut ini merupakan klasifikasi tanaman pisang dalam Wahyuningtyas (2011).

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Zingiberales Famili : Musaceae Genus : Musa

Spesies : Musa balbisiana

Menurut Cahyono (2003), akar tanaman pisang berupa akar serabut. Akar tersebut tumbuh pada umbi batang. Akar yang tumbuh di bagian bawah mampu memanjang hingga kedalaman 75-150 cm. Sedangkan akar yang tumbuh di bagian atas, tumbuh menyebar ke arah samping hingga 4 m atau lebih. Tanaman pisang memiliki batang sejati berupa umbi batang (bonggol) yang berada di dalam tanah. Batang sejati ini bersifat keras dan memiliki mata tunas. Bagian tanaman pisang yang berdiri tegak menyerupai batang adalah batang semu yang terdiri atas


(35)

15

pelepah-pelepah daun panjang (kelopak daun) yang saling membungkus dan menutupi dengan kelopak daun yang lebih muda berada di bagian paling dalam. Batang semu ini bersifat lunak, banyak mengandung air, dan dapat tumbuh dengan tinggi 3-8 m. Daun tanaman pisang berbentuk lanset memanjang.

Tangkai daunnya bersifat agak keras, kuat, mengandung banyak air, dan memiliki panjang 30-40 cm. Terdapat lapisan lilin pada permukaan bawah daun. Daun pisang tidak memiliki tulang daun pada bagian pinggirnya sehingga daun mudah robek.

Bunga tanaman pisang berbentuk bulat lonjong dengan ujung runcing. Tangkai bunga pisang bersifat keras dan berukuran besar dengan diameter sekitar 8 cm. Seludang bunga berwarna merah tua, tersusun secara spiral, berlapis lilin, dengan panjang 10-25 cm. Mahkota bunga berwarna putih dan tersusun melintang masing-masing sebanyak dua baris. Bunga tanaman pisang berkelamin satu dengan benang sari berjumlah lima buah. Buah pisang memiliki bentuk ukuran, warna kulit, warna daging buah, rasa, dan aroma yang beragam (Cahyono, 2013).

Menurut Prihatman (2000), tanaman pisang tumbuh baik pada iklim tropis basah dengan curah hujan 1.520-3.800 mm/tahun dengan 2 bulan kering. Air harus selalu tersedia tetapi tidak tergenang. Tanaman ini dapat tumbuh baik di tanah kaya humus, berkapur, maupun di tanah berat. Tanaman pisang termasuk tanaman yang toleran akan ketinggian dan kekeringan. Tanaman ini dapat ditemukan pada ketinggian hingga 2.000 mdpl. Suhu yang optimum untuk pertumbuhannya adalah 27oC dan suhu maksimum adalah 38oC.


(36)

16

Pisang ‘Kepok Kuning’ merupakan salah satu jenis pisang Plantain, yaitu pisang yang buahnya cocok disantap dalam bentuk olahan. Daging buah pisang ‘Kepok Kuning’ berwarna kuning dan bertekstur agak keras. Pisang ‘Kepok Kuning’ memiliki rasa buah yang manis namun tidak beraroma harum. Kulit buah tebal dan apabila telah masak akan berwarna hijau kekuningan. Pisang ini memiliki umur panen 16-17 bulan setelah tanam dengan potensi hasil 40-41 kg/tanaman. Berat per buah 105-158 g, berat buah per sisir 2,1-3,5 kg, panjang buah 10-16 cm, diameter buah 4,1-4,5 cm, dan tingkat kemanisan 20,29-23,80oBrix (Siregar dkk., 2013).

Pisang ‘Raja Bulu’ merupakan jenis pisang yang dapat dikonsumsi segar atau sebagai bahan olahan. Daging buah pisang ‘Raja Bulu’ berwarna kuning hingga orange dan bertekstur liat. Pisang ‘Raja Bulu’ memiliki rasa buah yang manis legit. Kulit buah tebal dengan penampang buah bulat bersudut segi empat tumpul. Pisang ini memiliki umur panen 12-15 bulan setelah tanam dan mampu

menghasilkan rata-rata 90 buah per pohon. Berat per buah 110-120 g, berat buah per tandan 12-15 kg, jumlah sisir per tandan 5-7 sisir, panjang buah 15-18 cm, dan tingkat kemanisan 28-31,4oBrix (Siregar dkk., 2013).

Gambar 2. Buah pisang (a) ‘Kepok Kuning’ dan (b) ‘Raja Bulu’


(37)

17

Sebanyak 100 g pisang mengandung air 70 g; karbohidrat 27 g; serat kasar 0,5 g;

protein 1,2 g; lemak 0,3 g; abu 0,9 g; kalsium 80 mg; fosfor 290 mg; β-karoten

2,4 mg; thiamine 0,5 mg; riboflavin 0,5 mg; asam askorbat 120 mg; dan kalori 104 kal (Wahyuningtyas, 2011).

2.2 Perbanyakan Tanaman Pisang secara Konvensional

Perbanyakan pisang di tingkat petani dilakukan secara konvensional. Menurut Santoso (2013), terdapat 4 cara perbanyakan, yaitu dengan anakan langsung, anakan semai, bit anakan (mini bit), dan bit bonggol. Anakan langsung merupakan bibit pisang yang berasal dari pemisahan anakan untuk langsung ditanam di kebun. Bibit yang paling baik digunakan adalah anakan pedang (sword sucker). Anakan semai merupakan bibit yang berasal dari anakan rebung atau anakan yang memiliki bonggol terlalu kecil. Untuk menghindari stres lingkungan, anakan ini disemai terlebih dahulu di polybag sebelum ditanam di kebun. Bit anakan (mini bit) merupakan bibit yang berasal dari anakan yang terlebih dahulu diinduksi untuk menumbuhkan tunas aksilar. Setelah tunas aksilar muncul, barulah bonggol dibelah untuk kemudian ditanam kembali sebanyak tunas yang muncul. Bit bonggol merupakan perbanyakan dengan cara membelah bonggol dengan ukuran 10 cm x 10 cm. sesuai dengan jumlah mata tunas yang ada kemudian hasil belahan langsung ditanam di kebun. Kelemahan teknik konvensional adalah sulit mendapatkan bibit yang seragam dan benar-benar sehat dalam waktu singkat.


(38)

18

2.3 Perbanyakan Tanaman Pisang secara in Vitro

Yusnita (2003) menyatakan bahwa kultur jaringan merupakan suatu teknik untuk menumbuhkembangkan bagian tanaman in vitro secara aseptik dan aksenik pada media kultur berisi hara lengkap dan kondisi lingkungan terkendali untuk tujuan tertentu. Prinsip yang mendasari kultur jaringan adalah teori totipotensi sel, konsep Skoog dan Miller, dan adanya sifat kompeten, dediferensiasi, dan

determinasi tanaman. Teori totipotensi dikemukaan oleh Schwann dan Shleiden pada tahun 1838 menyatakan bahwa setiap sel tanaman hidup mempunyai

informasi genetik untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh jika kondisinya sesuai. Teori ini baru terbukti berkat penemuan hormon auksin dan percobaan yang dilakukan oleh Skoog dan Miller pada tahun 1957. Skoog dan Miller menyebutkan bahwa regenerasi tunas dan akar in vitro (organogenesis) dikontrol secara hormonal oleh sitokinin dan auksin. Namun kecepatan organogenesis maupun embriogenesis dipengaruhi oleh sifat kompeten, dediferensiasi, dan determinasi eksplan tanaman. Suatu eksplan dikatakan kompeten jika eksplan tersebut mampu memberi tanggapan terhadap signal

lingkungan yang diberikan. Eksplan yang kompeten akan memberi respon dengan terbentuknya organ ataupun embrio. Proses ini dikenal sebagai inductive event. Pada inductive event inilah akan terjadi proses dediferensiasi, yaitu perubahan sel tanaman yang sudah terspesialisasi menjadi bentuk yang tidak terspesialisasi dan kembali ke kondisi meristematik. Pada kondisi meristematik ini, signal

lingkungan (hormonal) mengarahkan sel-sel eksplan untuk membentuk organ tunas maupun akar (organogenesis) dan embrio (embriogenesis). Determinasi terjadi apabila eksplan yang sudah terinduksi tetap berkembang menjadi organ


(39)

19

atau embrio meskipun berada di lingkungan yang sudah tidak diberi signal hormonal.

Menurut Yusnita (2003), terdapat lima tahapan dalam perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, yaitu:

1. Tahap 0 merupakan tahap pemilihan dan persiapan tanaman induk untuk eksplan. Tanaman yang akan dikulturkan harus jelas jenis dan varietasnya, serta terbebas dari hama dan penyakit tanaman. Sumber eksplan juga penting diperhatikan, seperti bagian yang diambil sebagai eksplan, umur fisiologis tanaman, dan ukuran eksplan. Hal ini akan menentukan tingkat sterilisasi eksplan.

2. Tahap 1 merupakan inisiasi kultur (culture establishment). Tahapan ini bertujuan untuk mendapatkan kultur yang aseptik dan aksenik. Sterilisasi merupakan langkah yang harus dilakukan untuk mendapatkan kultur yang bebas kontaminan. Sterilisasi induk eksplan dapat dilakukan dengan karantina tanaman induk di rumah kaca disertai dengan pemberian perlakuan khusus terhadap tanaman induk. Sterilisasi permukaan eksplan dapat dilakukan menggunakan bahan kimia seperti NaOCl, CaOCl, etanol, dan HgCl2.

Peningkatan efektifitas sterilisasi dapat dilakukan dengan penambahan Tween-20 sebanyak 2 tetes/100 ml. Menurut Sandra (Tween-2013), Tween-Tween-20 dapat

merendahkan tegangan permukaan bahan desinfektan sehingga bahan

desinfektan tersebut dapat menyentuh lekukan-lekukan maupun rongga-rongga kecil seperti celah di antara bulu-bulu halus yang ada di eksplan sehingga eksplan benar-benar steril. Setiap bahan tanaman mempunyai tingkat kontaminasi yang berbeda, tergantung pada jenis tanaman, sumber eksplan,


(40)

20

morfologi permukaan, lingkungan tumbuh, musim pengambilan eksplan, umur tanaman, dan kondisi tanaman. Hal terpenting dalam sterilisasi adalah

bagaimana menjaga agar eksplan benar-benar steril dengan tetap menjaga tidak terjadi kerusakan jaringan eksplan akibat tingginya konsentrasi desinfektan. Selain sterilisasi, masalah yang sering muncul pada tahap ini adalah terjadinya pencoklatan (browning). Browning terjadi akibat adanya stres mekanik pada eksplan sehingga eksplan mengeluarkan senyawa berfenol. Senyawa ini bersifat toksik sehingga mengganggu pertumbuhan bahkan dapat mematikan jaringan eksplan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi senyawa ini adalah dengan menambahkan antioksidan (asam sitrat dan asam askorbat) pada media kultur.

3. Tahap 2 merupakan tahap multiplikasi propagul. Multiplikasi propagul merupakan perbanyakan tunas maupun embrio tanaman. Tahapan ini dilakukan dengan mengkondisikan eksplan pada lingkungan hormonal yang sesuai. Setelah diperoleh banyak tunas, subkultur dapat dilakukan beberapa kali sampai jumlah tunas yang diharapkan tercapai. Subkultur yang terlalu banyak dapat menurunkan mutu tunas karena terjadi vitrifikasi (kandungan air dalam tanaman tinggi, sukulensi, dan translucency) dan penyimpangan genetik. 4. Tahap 3 merupakan tahap persiapan untuk transfer propagul ke lingkungan

eksternal, seperti pemanjangan tunas, induksi, dan perkembangan akar. Tahapan ini juga membutuhkan lingkungan hormonal yang sesuai.

Pemanjangan tunas dan pengakaran dapat dilakukan bersamaan atau secara bertahap, yaitu pemanjangan tunas terlebih dahulu baru diakarkan. Tahapan yang dilakukan disesuaikan jenis tanaman.


(41)

21

5. Tahap 4 merupakan tahap aklimatisasi plantlet ke lingkungan eksternal. Konsep dasar aklimatisasi adalah memindahkan plantlet ke media aklimatisasi dengan intensitas cahaya rendah dan kelembapan nisbi tinggi kemudian berangsur-angsur intensitas cahaya dinaikkan dan kelembapan diturunkan.

Media kultur termasuk hal penting dalam pembiakan tanaman dengan kultur jaringan. Salah satu jenis media kultur yang paling sering digunakan adalah media hasil percobaan Murashige dan Skoog pada tahun 1962 yang dikenal sebagai media MS (Murashige dan Skoog). MS sering digunakan karena cocok untuk berbagai jenis tanaman. Komposisi media MS dapat dilihat pada Tabel 6 di lampiran. Selain MS, terdapat media lain yang dikembangkan seperti Lin dan Staba untuk kultur wortel, Nitsch dan Nitsch untuk kultur anther, Gamborg untuk kultur suspensi kedelai, Schenk dan Hidebrant (SH) untuk kultur kalus monokotil dan dikotil, dan WPM untuk tanaman berkayu atau tanaman hias perdu (Sandra, 2013).

Media kultur mengandung unsur hara makro dan mikro, gula sukrosa, vitamin, asam amino, zat pengatur tumbuh, persenyawaan organik kompleks (air kelapa, jus tomat, ekstrak kentang, dan sebagainya), bahan pemadat (agar maupun gelrite), aquades, dan arang aktif jika diperlukan. Fungsi masing-masing bahan dapat dilihat pada Tabel 7 di lampiran. Derajat kemasaman (pH) dalam media harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu metabolisme tanaman. Sel-sel tanaman membutuhkan pH berkisar 5,5-5,8. Pengaturan pH dilakukan dengan penambahan NaOH atau KOH dan HCl (Sandra, 2013).


(42)

22

Kondisi lingkungan kultur yang menentukan keberhasilan pembiakan tanaman dengan kultur jaringan, yaitu suhu, cahaya, dan kelembapan. Suhu optimum terjadinya morfogenesis pada setiap tanaman berbeda-beda, umumnya 20-27oC. Kualitas cahaya berpengaruh pada diferensiasi jaringan. Pembentukan tunas dirangsang oleh energi radiasi dekat spektrum ultraviolet dan biru sedangkan cahaya merah dan sedikit cahaya biru dapat merangsang pembentukan akar. Pada umumnya, intensitas cahaya yang optimum pada tahap inisiasi adalah 0-1000 lux, tahap multiplikasi 1000-10000 lux, tahap pengakaran 10000-30000 lux, dan tahap aklimatisasi 30000 lux (Yusnita, 2003). Kelembapan relatif ruang kultur adalah 70%, tetapi kelembapan di dalam botol kultur mencapai 90%. Kelembapan yang terlalu tinggi dalam wadah kultur menyebabkan terjadinya vitrifikasi (Sandra, 2013).

2.4 Sitokinin

Sitokinin merupakan senyawa adenin yang memacu pembelahan sel pada sistem jaringan. Terdapat 2 jenis sitokinin, yaitu sitokinin alami (zeatin, zeatin ribosa, isopentil adenin, dan dihidrozeatin) dan sitokinin sintetis (kinetin, benziladenin (BA), PBA, 2C1-4PU, 2,6C1-4PU, dan thidiazuron). Struktur sitokinin

mempunyai rantai samping panjang serta kaya akan atom hidrogen dan oksigen yang menempel pada nitrogen yang menonjol dari puncak cincin purin (Sandra, 2013).

Menurut Salisbury dan Ross (1995), sitokinin paling banyak ditemukan di bagian organ muda (biji, buah, daun) dan di ujung akar tumbuhan. Sitokinin diduga


(43)

23

disintetis oleh ujung akar lalu diangkut melalui xilem ke bagian tumbuhan lain. Hal ini menjelaskan keberadaan sitokinin pada biji, buah, dan daun. Namun, untuk organ-organ seperti itu pengangkutan melalui floem akan dirasa lebih efisien dibanding pengangkutan melaui xilem. Beberapa penelitian

mengungkapkan bahwa ternyata tajuk dapat mensintesis sendiri sitokinin yang dibutuhkan. Tetapi pengangkutan sitokinin pada tajuk melalui floem agak terbatas dibandingkan pengangkutannya melalui xilem.

Benziladenin (BA) termasuk dalam sitokinin sintetik. BA berisi 2%

N-(phenylmethyl)-1H-purine-6-amine. Zat pengatur tumbuh ini juga memiliki nama lain yaitu N-Benzyl-adenine, 6 benzylaminopurine, N-Phenylmethyl 1H-purin-6-amine, Benzyl (purin-6-yl) amine, dan 6-BA. Senyawa ini memiliki rumus kimia C12H11N5 dengan berat molekul 225,25 g/mol dan termasuk sitokinin jenis purin (Fine Americas, t.t.).

Selain BA, sitokinin yang sering digunakan dalam multiplikasi sebagai suplemen ke media MS adalah thidiazuron (TDZ). Menurut Fertichem (t.t.), TDZ berperan dalam merangsang organogenesis eksplan (regenerasi tunas) dan regenerasi tanaman. Zat pengatur tumbuh ini dapat pula digunakan untuk memproduksi tanaman tahan virus, meningkatkan breeding, dan menyediakan genotipe tanaman baru. Dalam dunia kimia, TDZ dikenal sebagai 1-phenyl-3-(1,2,3-thiadiazol-5-yl) urea dengan rumus molekul C9H8N4OS, dan berat molekul 220,2 g/mol.


(44)

24

Gambar 3. Stuktur molekul (a) benziladenin dan (b) thidiazuron


(45)

III. BAHAN DAN METODE

Penelitian ini terdiri atas 2 percobaan, yaitu:

1. Pengaruh konsentrasi benziladenin dengan dan tanpa thidiazuron terhadap multiplikasi tunas pisang ‘Kepok Kuning’ (genom ABB) eksplan primer (dari bonggol).

2. Pengaruh konsentrasi benziladenin dengan dan tanpa thidiazuron terhadap multiplikasi tunas pisang ‘Raja Bulu’ (genom AAB) eksplan sekunder.

3.1 Percobaan I. Pengaruh Konsentrasi Benziladenin dengan dan tanpa Thidiazuron terhadap Multiplikasi Tunas Pisang ‘Kepok Kuning’ (Genom ABB) Eksplan Primer (dari Bonggol)

3.1.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung pada November 2014 sampai Juni 2015.

3.1.2 Metode Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah dan untuk menguji hipotesis yang diajukan, maka rancangan perlakuan yang digunakan adalah rancangan faktorial 4x2. Faktor pertama adalah empat taraf konsentrasi benziladenin (BA), yaitu 1 mg/l, 2 mg/l, 4 mg/l, dan 6 mg/l. Faktor kedua adalah pemberian


(46)

26

thidiazuron (TDZ), yaitu 0 mg/l dan 0,01 mg/l. Masing-masing dari perlakuan tersebut ditambahkan ke dalam media dasar MS (Murashige dan Skoog).

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan teracak sempurna (RTS). Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Setiap satuan percobaan terdiri atas tiga botol kultur. Setiap botol terdiri atas satu eksplan. Perlakuan yang diterapkan disajikan pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Perlakuan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media dasar MS (Murashige dan Skoog).

Perlakuan ke- BA (mg/l) TDZ (mg/l)

1 1 0

2 2 0

3 4 0

4 6 0

5 1 0,01

6 2 0,01

7 4 0,01

8 6 0,01

Pada penelitian ini, homogenitas data diuji dengan uji Bartlett. Apabila asumsi terpenuhi, selanjutnya dilakukan analisis ragam. Pemisahan nilai tengah dilakukan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf 5%.

3.1.3 Pelaksanaan Penelitian

3.1.3.1 Sterilisasi Botol dan Alat

Semua alat yang digunakan dalam kegiatan kultur jaringan harus berada dalam kondisi aseptik. Sterilisasi botol sebagai tempat kultur merupakan langkah pertama yang harus dilakukan. Sterilisasi botol dilakukan dalam 2 tahapan. Tahap 1, botol hasil kultur sebelumnya disterilisasi menggunakan autoklaf Budenberg selama 30


(47)

27

menit pada suhu 121oC dan tekanan 1,5 kg/cm2. Selanjutnya botol dicuci dengan menghilangkan sisa media tanam sebelumnya dan direndam dalam air yang telah dicampur detergen dan 5 tutup botol desinfektan selama 1 malam. Tahap 2, Botol yang sudah direndam dicuci bersih seluruh bagiannya dan kertas label yang tertera pada botol dihilangkan. Botol yang sudah bersih dibilas menggunakan air mengalir lalu direndam air panas selama 15 menit. Botol hasil rendaman kemudian

ditiriskan dan ditutup dengan plastik menggunakan karet. Sterilisasi tahap akhir dilakukan menggunakan autoklaf Tomy selama 30 menit pada suhu 121oC dan tekanan 1,5 kg/cm2.

Alat yang digunakan berupa alat diseksi (pinset dan scalpel), cawan petri, keramik, botol schott, kapas, dan gelas ukur. Alat diseksi, cawan petri, dan keramik yang sudah bersih dibungkus menggunakan kertas lalu dimasukkan ke dalam plastik tahan panas. Botol schott diisi ¾ air sebagai persiapan untuk air steril. Kapas bersih dimasukkan ke dalam botol kultur steril. Gelas ukur diberi penutup pada bagian mulutnya menggunakan kertas alumunium foil dan plastik tahan panas. Seluruh alat disterilisasi menggunakan autoklaf Tomy selama 30 menit pada suhu 121oC dan tekanan 1,5 kg/cm2.

3.1.3.2 Pembuatan Media

Sebelum dilakukan pembuatan media, semua alat gelas dan nongelas (gelas beaker ukuran 2 L, 1 L, dan 500 ml; gelas ukur ukuran 10 ml, 25 ml, 100 ml, 250 ml, 1000 ml, dan 2000 ml; pipet tetes; labu ukur 500 ml dan 1000 ml; magnet; pinset;

spatula; dan panci enamail) yang akan digunakan dibilas dengan menggunakan aquades terlebih dahulu.


(48)

28

Terdapat 2 jenis media yang digunakan pada penelitian ini, yaitu media prekondisi dan media perlakuan. Kedua media tersebut menggunakan media dasar MS. Media prekondisi berisi garam-garam MS (tertera pada Tabel 6 di lampiran), 50 mg/l asam sitrat, 150 mg/l asam askorbat, 2 mg/l BA, 0,005 mg/l TDZ, dan 30 g/l sukrosa. Komposisi media perlakuan sama dengan media prekondisi, hanya saja BA dan TDZ yang digunakan sesuai dengan perlakuan.

Pembuatan media dilakukan dengan melarutkan garam-garam MS, 50 mg/l asam sitrat, 150 mg/l asam askorbat, BA, TDZ, dan 30 g/l sukrosa hingga homogen. Penghomogenan dilakukan menggunakan magnetic stirrer. Larutan yang telah homogen ditera dengan aquades menggunakan labu ukur 1 L (untuk pembuatan 1 L media). Setelah itu, larutan kembali dihomogenkan lalu pH larutan media

ditetapkan menjadi 5,8 menggunakan pH meter. Penetapan pH dilakukan dengan menambahkan beberapa tetes KOH 1 N jika pH kurang dari 5,8 dan menambahkan beberapa tetes HCl 1 N jika pH lebih dari 5,8. Selanjutnya larutan media

dimasukkan ke dalam panci enamail yang telah berisi 8 g/l agar-agar. Larutan media dimasak hingga mendidih. Selama proses memasak, pengadukan terus dilakukan supaya larutan media dan agar-agar tercampur rata. Sebanyak 25-30 ml media dituangkan ke dalam botol kultur steril lalu ditutup menggunakan plastik,

diikat dengan karet, dan diberi label sesuai dengan komposisi media. Untuk 1 L media dibutuhkan kurang lebih 30 botol kultur steril. Larutan media kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf Tomy selama 7 menit pada suhu 121oC dan tekanan 1,5 kg/cm2. Setelah sterilisasi berakhir, media dikeluarkan dari autoklaf, didiamkan hingga dingin, lalu disimpan dalam ruang kultur.


(49)

29

3.1.3.3 Bahan Tanaman

Kultivar pisang yang digunakan pada percobaan I ini adalah ‘Kepok Kuning’. Bahan tanam yang digunakan berupa eksplan mata tunas (tunas apikal dan aksilar) yang berasal dari bonggol tanaman pisang. Bonggol pisang didapatkan dari Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung Selatan. Pengambilan bonggol pisang dilakukan dengan menggali tanah di sekitar anakan lalu bonggol dipisahkan dari tanaman induk menggunakan sabit. Bonggol yang digunakan adalah bonggol dengan diameter 10-15 cm dengan tinggi batang semu 45-50 cm.

3.1.3.4 Persiapan Eksplan

Bonggol anakan pisang dibersihkan dari tanah maupun kulit batang semu yang sudah membusuk. Beberapa lapisan kulit batang semu dibuang dengan pisau hingga terlihat batang semu berwarna putih (tersisa 3-4 lapis). Bagian bonggol di sekitar batang semu dicungkil menggunakan pisau dengan bentuk segilima sehingga diperoleh eksplan berupa jaringan meristematik berdiameter 5-8 cm dan batang semu setinggi 8-10 cm (Gambar 4). Eksplan selanjutnya direndam dalam larutan 150 mg/l asam askorbat dan 2 g/l fungisida Mankozeb selama 30 menit. Rendaman eksplan kemudian dibawa ke laboratorium untuk dilakukan sterilisasi permukaan eksplan.

Bonggol pisang yang sudah diambil mata tunasnya sebagai eksplan, direndam dengan 2 g/l Growmore dan 2 g/l fungisida Mankozeb selama 10-15 menit. Bonggol yang sudah direndam selanjutnya ditanam dalam bedengan yang sudah disiapkan.


(50)

30

Gambar 4. Calon eksplan berupa jaringan meristematik berdiameter 5-8 cm dan batang semu setinggi 8-10 cm

3.1.3.5 Sterilisasi dan Penanaman Eksplan

Sterilisasi permukaan eksplan dilakukan di ruang persiapan dan ruang tanam laboratorium Ilmu Tanaman. Ukuran eksplan diperkecil dengan menyisakan 2-3 lapis kulit saja. Eksplan direndam dalam larutan detergen selama 15-25 menit lalu dibilas dengan air mengalir sehingga kotoran dan fungisida tidak lagi menempel pada permukaan eksplan. Eksplan yang telah bersih kemudian dimasukkan ke dalam botol schott untuk proses sterilisasi selanjutnya.

Sterilisasi pertama dilakukan dengan menggunakan larutan desinfektan 50%. Desinfektan yang digunakan adalah desinfektan yang mengandung bahan aktif 5,25% NaOCl. Pembuatan larutan desinfektan 50% dilakukan dengan melarutkan 50 ml larutan desinfektan ke dalam 50 ml air steril. Larutan tersebut dimasukkan ke dalam botol schott yang telah berisi ekplan pisang kemudian ditambahkan cairan Tween-20 sebayak 2 tetes/100 ml. Larutan ini dikocok menggunkan shaker selama 30 menit. Setelah itu, eksplan dibilas dengan air steril hingga bersih (± 3 kali).


(51)

31

Proses selanjutnya dilakukan di dalam laminar air flow cabinet (LAFC). Eksplan diperkecil lagi menggunakan alat diseksi hingga bagian meristem bonggol

berukuran 1,5 x 1,5 cm dan tinggi batang semu adalah 2-2,5 cm. Pemotongan dilakukan dengan menghilangkan bagian yang rusak dan menghitam akibat sterilisasi awal. Kulit batang semu dikupas hingga tersisa 1-2 lapis saja. Setelah itu eksplan dimasukkan ke dalam larutan 150 mg/l asam askorbat. Hal ini bertujuan agar eksplan tidak menghitam.

Sterilisasi kedua dilakukan sebelum eksplan ditanam ke media. Sterilisasi ini menggunakan larutan desinfektan yang sama dengan sterilisasi pertama tetapi kadarnya diturunkan menjadi 15%. Larutan desinfektan 15% dibuat dengan cara melarutkan 15 ml larutan desinfektan ke dalam 85 ml air steril dan ditambahkan dengan Tween-20 sebanyak 2 tetes/100 ml. Pengocokan dilakukan secara manual menggunakan tangan selama 10 menit. Setelah itu, eksplan dibilas dengan air steril hingga bersih (± 3 kali). Eksplan ditiriskan kemudian ditanam ke dalam media prekondisi (Gambar 5). Penanaman eksplan pada media prekondisi dilakukan untuk menyeragamkan kandungan sitokinin yang ada pada eksplan sekaligus seleksi terhadap eksplan-eksplan yang kontaminan. Eksplan berada di media prekondisi selama 4 minggu. Eksplan disimpan dalam ruang kultur bersuhu 24-26oC dengan intensitas cahaya 1.000-10.000 lux.


(52)

32

Subkultur (pemindahan) eksplan ke media prekondisi yang baru dilakukan untuk tindakan penyelamatan dan peremajaan. Penyelamatan dilakukan bila ditemukan adanya kontaminasi akibat cendawan maupun bakteri. Apabila kontaminasi terjadi sangat parah, maka eksplan disterilisasi dengan larutan desinfektan 5% selama 5 menit sebelum ditanam ke media yang baru. Peremajaan dilakukan setiap kali eksplan mengalami blackening akibat fenolik yang dikeluarkannya. Apabila fenolik yang dikeluarkan terlalu banyak, bagian meristem pisang cukup dikerok (dikikis) sedikit untuk menghilangkan warna hitam yang timbul akibat fenol.

Gambar 6. Eksplan yang terkontaminasi (a) cendawan dan (b) bakteri

3.1.3.6 Subkultur ke Media Perlakuan

Subkultur ke media perlakuan dilakukan 4 minggu setelah tanam (MST). Pada tahapan ini, seluruh eksplan dihomogenkan ukurannya dalam LAFC. Bagian meristem bonggol berukuran 1-1,5 x 1-1,5 cm dan bagian batang semu berukuran tinggi 0,6-1 cm. Setelah dilakukan pemotongan menggunakan alat diseksi, eksplan ditanam pada media perlakuan. Subkultur eksplan ke media baru dilakukan pada 4, 8, 12, 16, 20, dan 24 minggu setelah perlakuan (MSP).


(53)

33

3.1.3.7 Pengamatan

Variabel yang diamati adalah sebagai berikut.

1. Perkembangan umum eksplan. Perkembangan umum eksplan diamati dengan melihat perkembangan yang terjadi pada eksplan mulai dari awal tanam hingga 28 MSP setiap satu minggu sekali. Variabel pengamatan ini digunakan sebagai data deskriptif untuk menjelaskan kondisi umum eksplan.

2. Jumlah propagul per eksplan. Propagul adalah mata tunas dan tunas aksilar yang tumbuh dari ketiak bonggol eksplan. Pengamatan variabel ini dilakukan sejak muncul mata tunas ataupun tunas aksilar sampai 28 MSP setiap satu minggu sekali.

3. Penampilan visual eksplan. Penampilan visual diamati dengan mengambil gambar eksplan menggunakan kamera pada 0, 4, 8, 12, 16, 20, 24, dan 28 MSP. Variabel pengamatan ini digunakan sebagai penunjang hasil pengamatan

variabel lainnya.

3.2 Percobaan II. Pengaruh Konsentrasi Benziladenin dengan dan tanpa Thidiazuron terhadap Multiplikasi Tunas Pisang ‘Raja Bulu’ (Genom AAB) Eksplan Sekunder

3.2.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung pada Maret 2015 sampai Juni 2015.


(54)

34

3.2.2 Metode Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah dan untuk menguji hipotesis yang diajukan, maka rancangan perlakuan yang digunakan adalah rancangan faktorial 4x2. Faktor pertama adalah empat taraf konsentrasi BA, yaitu 1 mg/l, 2 mg/l, 4 mg/l, dan 6 mg/l. Faktor kedua adalah pemberian TDZ, yaitu 0 mg/l dan 0,01 mg/l. Masing-masing dari perlakuan tersebut ditambahkan ke dalam media dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan teracak sempurna (RTS). Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Setiap satuan percobaan terdiri atas tiga botol kultur. Setiap botol terdiri atas satu eksplan.

Pada penelitian ini, homogenitas data akan diuji dengan uji Bartlett. Apabila asumsi terpenuhi, selanjutnya dilakukan analisis ragam. Pemisahan nilai tengah dilakukan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf 5%.

3.2.3 Pelaksanaan Penelitian

3.2.3.1 Sterilisasi Alat dan Pembuatan Media Tanam

Semua alat yang akan digunakan dalam kegiatan kultur jaringan harus berada dalam kondisi aseptik. Langkah-langkah sterilisasi alat pada percobaan ini sama dengan langkah-langkah sterilisasi alat pada percobaan I.

Terdapat 2 jenis media yang digunakan pada penelitian ini, yaitu media prekondisi dan media perlakuan. Langkah-langkah pembuatan media pada percobaan ini sama dengan langkah-langkah pembuatan media pada percobaan I.


(55)

35

3.2.3.2 Bahan Tanaman

Kultivar pisang yang digunakan adalah pisang ‘Raja Bulu’. Bahan tanam yang digunakan berupa tunas aksilar yang berasal dari ekplan pisang ‘Raja Bulu’ hasil kultur in vitro berumur 12 bulan setelah tanam (BST) hasil penelitian Jannah (2014) dan Triyani (2014).

3.2.3.3 Penanaman Eksplan ke dalam Media Prekondisi dan Media Perlakuan

Tunas aksilar yang akan dijadikan eksplan dipisah dari kultur in vitro‘Raja Bulu’ yang berumur 12 bulan menjadi satu individu dengan bagian bonggol. Penanaman ini dilakukan di media prekondisi selama 14 hari. Ekplan yang sudah berumur 14 hari kemudian diseragamkan panjang tunasnya menjadi 1 cm. Ekplan tersebut dimasukkan ke media perlakuan yang telah ditentukan.

3.2.3.4 Pengamatan

Variabel yang diamati adalah sebagai berikut.

1. Perkembangan umum eksplan. Perkembangan umum eksplan diamati dengan melihat perkembangan yang terjadi pada eksplan mulai dari awal eksplan masuk ke media prekondisi hingga 12 MSP setiap satu minggu sekali. Variabel

pengamatan ini digunakan sebagai data deskriptif untuk menjelaskan kondisi umum eksplan.

2. Jumlah propagul per eksplan. Propagul adalah mata tunas dan tunas aksilar yang tumbuh dari ketiak bonggol eksplan. Pengamatan variabel ini dilakukan sejak muncul mata tunas ataupun tunas aksilar sampai 12 MSP setiap satu minggu sekali.


(56)

36

3. Penampilan visual eksplan. Penampilan visual diamati dengan mengambil gambar eksplan menggunakan kamera pada 0, 4, 8, dan 12 MSP. Variabel pengamatan ini digunakan sebagai penunjang hasil pengamatan variabel lainnya.


(57)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1. Peningkatan konsentrasi benziladenin (BA) dalam media Murashige dan Skoog

(MS) dari 1 mg/l menjadi 4 mg/l dan 6 mg/l meningkatkan rata-rata jumlah

propagul pisang ‘Kepok Kuning’ yang dikulturkan in vitro selama 28 minggu

setelah perlakuan (MSP) dari 0,8 menjadi 1,9 dan 3,3 propagul per eksplan. Peningkatan konsentrasi BA dalam media MS dari 1 mg/l menjadi 6 mg/l meningkatkan rata-rata jumlah propagul pisang ‘Raja Bulu’ eksplan sekunder yang dikulturkan in vitro selama 12 MSP dari 1,6 menjadi 2,8 propagul per eksplan.

2. Dibandingkan dengan media MS yang mengandung BA saja, penambahan 0,01 mg/l thidiazuron (TDZ) bersamaan dengan BA dapat meningkatkan rata-rata jumlah propagul pisang ‘Kepok Kuning’ yang dikulturkan in vitro selama 28 MSP dari 1,3 menjadi 2,1 propagul per eksplan namun tidak meningkatkan rata-rata jumlah propagul pisang ‘Raja Bulu’ eksplan sekunder yang dikulturkan in vitro selama 12 MSP.


(58)

67

3. Rata-rata jumlah propagul pisang ‘Kepok Kuning’ terbanyak (3,0 – 3,5 propagul per eksplan) yang dikulturkan in vitro selama 28 MSP didapatkan pada media MS+6 mg/l BA tanpa ataupun dengan 0,01 mg/l TDZ.

Rata-rata jumlah propagul pisang ‘Raja Bulu’ terbanyak (3,8 propagul per eksplan) yang dikulturkan in vitro selama 12 MSP didapatkan pada media MS+6 mg/l BA+0,01 mg/l TDZ.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, penulis menyarankan agar dilakukan penelitian mengenai multiplikasi tunas pisang ‘Kepok Kuning’ dan

‘Raja Bulu’ dengan konsentrasi BA yang relatif tinggi dengan kisaran 5 – 20 mg/l

dan dilakukan penelitian mengenai penggunaan TDZ secara tunggal untuk mengetahui pengaruh TDZ pada pembentukan nodul.


(59)

PUSTAKA ACUAN

Ahmad, I., T. Hussain, I. Ashraf, dan M. Nafees. 2013. Lethal effects of

secondary metabolites on plant tissue culture. Agric. & Environ. Sci., 13 (4): 539-547.

Al-Amin, M.D., M.R. Karim, M.R. Amin, S. Rahman, dan A.N.M. Mamun. 2009. In vitro micropropagation of banana (Musa spp.). Agril. Res, 34 (4): 645-659.

Avivi, S. dan Ikrarwati. 2004. Mikropropagasi pisang Abaca (Musa textilis Nee) melalui teknik kultur jaringan. Ilmu Pertanian, 11 (2): 27-34.

Bhosale, U.P., S.V. Dubhasigi, N.S. Mali, dan H.P. Rathod. 2011. In vitro shoot multiplication in different spesies of banana. Asian Journal of Plant Science and Research, 1 (3): 23-27.

Billah, T, L. Nuryati, Noviati, A.A. Susanti, dan Suyati. 2014. Outlook Komoditi Pisang. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jendral Kementrian Pertanian.

Cahyono, B. 2013. Pisang: Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Damayanti, F. dan I. Roostika. 2010. Koleksi plasma nutfah pisang secara ex vitro

dan in vitro serta kajian sitologi dan analisa keragaman antarkarater berdasarkan penanda fenotipe. Jurnal Ilmiah Faktor Exacta, 3 (2): 145-157.

Damayanti, F. dan Samsurianto. 2010. Konservasi in vitro plasma nutfah untuk aplikasi di bank gen. Bioprospek 7 (2) : 1-6.

Dayarani, M. dan Dhanarajan. 2013. Control of excessive browning during in-vitro regeneration of musa laterita. Pharm Bio Sci, 4(3): 471 – 476. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura. 2005. Road Map

Pisang: Pasca Panen, Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pisang. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura.


(60)

69

Dun, E.A., B.J. Ferguson, dan C.A. Beveridge. 2006. Apical dominance and shoot branching. Divergent opinions or divergent mechanisms?. Plant

Physiology, 142: 812–819.

FAO. 2014. FAO urges countries to step up action against destructive banana disease. http://www.fao.org/news/story/en/item/223409/icode/. Diakses pada 12 Oktober 2014.

FAOSTAT. 2014. Food and Agriculture Organization of The United Nations: Statistics Division. http://faostat3.fao.org/faostat-gateway/go/to/home/E. Diakses pada 12 Oktober 2014.

Fertichem. T.t. Thidiazuron (TDZ). Technical Bulletin.

Fine Americas. T.t. Configure. Technical Information Bulletin.

George, E.F., M.A. Hall, dan G.J De Klerk. 2008. Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition. Netherland: Springer Publishing.

Guo, B, B.H. Abbasi, A. Zeb, L.L. Xu, dan Y.H. Wei. 2011. Thidiazuron: A multi-dimensional plant growh regulator. African Journal of

Biotechnology, 10 (45): 8984-9000.

Isnaeni, N. 2008. Pengaruh TDZ terhadap Inisiasi dan Multiplikasi Kultur In Vitro Pisang Raja Bulu. (Skripsi). Program Studi Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Jannah, H.F.K. 2014. Pengaruh Konsentrasi Benziladenin dan Kinetin terhadap

Multiplikasi Tunas Pisang ‘Raja Bulu’ (Genom AAB) In Vitro. (Skripsi). Jurusan Agroteknologi. Universitas Lampung.

Jumari dan A. Pudjoarinto. 2000. Kekerabatan fenetik kultivar pisang di Jawa. Biologi, 2 (9): 531-542.

Kasutjianingati, R. Poerwanto, Widodo, N. Khumaida, dan D. Effendi. 2011. Pengaruh media induksi terhadap multiplikasi tunas dan pertumbuhan planlet pisang raja bulu (AAB) dan pisang tanduk (AAB) pada berbagai media multiplikasi. Argon. Indonesia, 39 (3) : 180 -187.

Kumar, K.G., V. Krishna, Venkatesh, dan K. Pradeep. 2011. High Frequency regeneration of plantlets from immature male floral explants of Musa paradisiaca cv. Puttabale-AB genome. Plant Tissue Cult. and Biotech, 21 (2): 199-205.

Kusmianto, J. 2008. Pengaruh Thidiazuron Tunggal dan Kombinasi Thidiazuron dan Benzilaminopurin terhadap Pembentukan Tunas dari Potongan Daun Dendrobium antennatum Lindl. secara In Vitro. (Skripsi). Departemen Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Depok.


(61)

70

Lee, S.W. 2005. Thidiazuron in the improvement of banana micropropagation.

Acta Hort, 692: 67-74.

Lisnandar, D.S., A. Fajarudin, D. Efendi, dan I. Roostika, 2015. Organogenesis bunga aksis pisang bergenom AAB dan ABB. J. Hort, 25 (1): 1-8. Meldia, Y., Makful, Edison, dan Wahyuni. 2012. Pengaruh Varietas terhadap

Multiplikasi Tunas Pisang yang Diperbanyak Melalui Kultur Jaringan. Prosiding Seminar Nasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikultura dalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal. Lembang. 5 Juli 2012.

Muhammad, A., H. Rashid, dan I. Hussain. 2007. Proliferation-rate effects of BAP and kinetin on banana (Musaspp. AAA group) ‘Basrai’.

HortScience, 42 (5): 1253-1255.

Ngomuo, M., E. Mneney, dan P.A. Ndakidemi. 2014. The in vitro propagation techniques for producing banana using shoot tip cultures. American Journal of Plant Sciences, 5: 1614-1622.

Nisa, C., Badruzsaufari, dan E. Wijaya. 2010. Penentuan genom fenetik kultivar pisang yang tumbuh di Kalimantan Selatan. Ziraa’ah, 29 (3): 188-192. Pop, T.I., D. Pamfil, dan C. Bellini. 2011 Auxin control in the formation of

adventitious roots. Not Bot Hort Agrobot Cluj, 39(1): 307-316. Prihatman, K. 2000. Pisang (Musa spp.). Kantor Deputi Menegristek Bidang

Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Rainiyati,D. Martino, Gusniwati, dan Jasminarni. 2007. Perkembangan pisang raja nangka (Musa sp.) secara kultur jaringan dari eksplan anakan dan meristem bunga. Agronomi, 11 (1): 35-40.

Roy, O.S., P. Bantawa, S.K. Ghosh, J.A.T da Silvia, P. Debghosh, dan T.P Mondal. 2010. Micropropagation and field performance of ‘Malbhog’ (Musa paradisiaca, AAB group): a popular banana cultivar with high keeping quality of North East India. Tree and Forestry Science and Biotechnology, 4 (1): 52-58.

Salisbury, F.B. dan Ross, C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Bandung: Penerbit ITB.

Sandra, E. 2013. Cara Mudah Memahami dan Menguasai Kultur Jaringan. Bogor: IPB Press.

Santoso, P.J. 2013. Produksi Benih Pisang dari Rumpun In Situ secara Konvensional. Balai Penelitian Buah. Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian.


(1)

67

3. Rata-rata jumlah propagul pisang ‘Kepok Kuning’ terbanyak (3,0 – 3,5 propagul per eksplan) yang dikulturkan in vitro selama 28 MSP didapatkan pada media MS+6 mg/l BA tanpa ataupun dengan 0,01 mg/l TDZ.

Rata-rata jumlah propagul pisang ‘Raja Bulu’ terbanyak (3,8 propagul per eksplan) yang dikulturkan in vitro selama 12 MSP didapatkan pada media MS+6 mg/l BA+0,01 mg/l TDZ.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, penulis menyarankan agar dilakukan penelitian mengenai multiplikasi tunas pisang ‘Kepok Kuning’ dan ‘Raja Bulu’ dengan konsentrasi BA yang relatif tinggi dengan kisaran 5 – 20 mg/l dan dilakukan penelitian mengenai penggunaan TDZ secara tunggal untuk


(2)

PUSTAKA ACUAN

Ahmad, I., T. Hussain, I. Ashraf, dan M. Nafees. 2013. Lethal effects of

secondary metabolites on plant tissue culture. Agric. & Environ. Sci., 13 (4): 539-547.

Al-Amin, M.D., M.R. Karim, M.R. Amin, S. Rahman, dan A.N.M. Mamun. 2009. In vitro micropropagation of banana (Musa spp.). Agril. Res, 34 (4): 645-659.

Avivi, S. dan Ikrarwati. 2004. Mikropropagasi pisang Abaca (Musa textilis Nee) melalui teknik kultur jaringan. Ilmu Pertanian, 11 (2): 27-34.

Bhosale, U.P., S.V. Dubhasigi, N.S. Mali, dan H.P. Rathod. 2011. In vitro shoot multiplication in different spesies of banana. Asian Journal of Plant Science and Research, 1 (3): 23-27.

Billah, T, L. Nuryati, Noviati, A.A. Susanti, dan Suyati. 2014. Outlook Komoditi Pisang. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jendral Kementrian Pertanian.

Cahyono, B. 2013. Pisang: Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Damayanti, F. dan I. Roostika. 2010. Koleksi plasma nutfah pisang secara ex vitro dan in vitro serta kajian sitologi dan analisa keragaman antarkarater

berdasarkan penanda fenotipe. Jurnal Ilmiah Faktor Exacta, 3 (2): 145-157.

Damayanti, F. dan Samsurianto. 2010. Konservasi in vitro plasma nutfah untuk aplikasi di bank gen. Bioprospek 7 (2) : 1-6.

Dayarani, M. dan Dhanarajan. 2013. Control of excessive browning during in-vitro regeneration of musa laterita. Pharm Bio Sci, 4(3): 471 – 476. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura. 2005. Road Map

Pisang: Pasca Panen, Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pisang. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura.


(3)

69

Dun, E.A., B.J. Ferguson, dan C.A. Beveridge. 2006. Apical dominance and shoot branching. Divergent opinions or divergent mechanisms?. Plant

Physiology, 142: 812–819.

FAO. 2014. FAO urges countries to step up action against destructive banana disease. http://www.fao.org/news/story/en/item/223409/icode/. Diakses pada 12 Oktober 2014.

FAOSTAT. 2014. Food and Agriculture Organization of The United Nations: Statistics Division. http://faostat3.fao.org/faostat-gateway/go/to/home/E. Diakses pada 12 Oktober 2014.

Fertichem. T.t. Thidiazuron (TDZ). Technical Bulletin.

Fine Americas. T.t. Configure. Technical Information Bulletin.

George, E.F., M.A. Hall, dan G.J De Klerk. 2008. Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition. Netherland: Springer Publishing.

Guo, B, B.H. Abbasi, A. Zeb, L.L. Xu, dan Y.H. Wei. 2011. Thidiazuron: A multi-dimensional plant growh regulator. African Journal of

Biotechnology, 10 (45): 8984-9000.

Isnaeni, N. 2008. Pengaruh TDZ terhadap Inisiasi dan Multiplikasi Kultur In Vitro Pisang Raja Bulu. (Skripsi). Program Studi Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Jannah, H.F.K. 2014. Pengaruh Konsentrasi Benziladenin dan Kinetin terhadap Multiplikasi Tunas Pisang ‘Raja Bulu’ (Genom AAB) In Vitro. (Skripsi). Jurusan Agroteknologi. Universitas Lampung.

Jumari dan A. Pudjoarinto. 2000. Kekerabatan fenetik kultivar pisang di Jawa. Biologi, 2 (9): 531-542.

Kasutjianingati, R. Poerwanto, Widodo, N. Khumaida, dan D. Effendi. 2011. Pengaruh media induksi terhadap multiplikasi tunas dan pertumbuhan planlet pisang raja bulu (AAB) dan pisang tanduk (AAB) pada berbagai media multiplikasi. Argon. Indonesia, 39 (3) : 180 -187.

Kumar, K.G., V. Krishna, Venkatesh, dan K. Pradeep. 2011. High Frequency regeneration of plantlets from immature male floral explants of Musa paradisiaca cv. Puttabale-AB genome. Plant Tissue Cult. and Biotech, 21 (2): 199-205.

Kusmianto, J. 2008. Pengaruh Thidiazuron Tunggal dan Kombinasi Thidiazuron dan Benzilaminopurin terhadap Pembentukan Tunas dari Potongan Daun Dendrobium antennatum Lindl. secara In Vitro. (Skripsi). Departemen Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Depok.


(4)

Lee, S.W. 2005. Thidiazuron in the improvement of banana micropropagation. Acta Hort, 692: 67-74.

Lisnandar, D.S., A. Fajarudin, D. Efendi, dan I. Roostika, 2015. Organogenesis bunga aksis pisang bergenom AAB dan ABB. J. Hort, 25 (1): 1-8. Meldia, Y., Makful, Edison, dan Wahyuni. 2012. Pengaruh Varietas terhadap

Multiplikasi Tunas Pisang yang Diperbanyak Melalui Kultur Jaringan. Prosiding Seminar Nasional Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi Hortikultura dalam Mendukung Pembangunan Hortikultura yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal. Lembang. 5 Juli 2012.

Muhammad, A., H. Rashid, dan I. Hussain. 2007. Proliferation-rate effects of BAP and kinetin on banana (Musa spp. AAA group) ‘Basrai’.

HortScience, 42 (5): 1253-1255.

Ngomuo, M., E. Mneney, dan P.A. Ndakidemi. 2014. The in vitro propagation techniques for producing banana using shoot tip cultures. American Journal of Plant Sciences, 5: 1614-1622.

Nisa, C., Badruzsaufari, dan E. Wijaya. 2010. Penentuan genom fenetik kultivar pisang yang tumbuh di Kalimantan Selatan. Ziraa’ah, 29 (3): 188-192. Pop, T.I., D. Pamfil, dan C. Bellini. 2011 Auxin control in the formation of

adventitious roots. Not Bot Hort Agrobot Cluj, 39(1): 307-316. Prihatman, K. 2000. Pisang (Musa spp.). Kantor Deputi Menegristek Bidang

Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Rainiyati,D. Martino, Gusniwati, dan Jasminarni. 2007. Perkembangan pisang raja nangka (Musa sp.) secara kultur jaringan dari eksplan anakan dan meristem bunga. Agronomi, 11 (1): 35-40.

Roy, O.S., P. Bantawa, S.K. Ghosh, J.A.T da Silvia, P. Debghosh, dan T.P Mondal. 2010. Micropropagation and field performance of ‘Malbhog’ (Musa paradisiaca, AAB group): a popular banana cultivar with high keeping quality of North East India. Tree and Forestry Science and Biotechnology, 4 (1): 52-58.

Salisbury, F.B. dan Ross, C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Bandung: Penerbit ITB.

Sandra, E. 2013. Cara Mudah Memahami dan Menguasai Kultur Jaringan. Bogor: IPB Press.

Santoso, P.J. 2013. Produksi Benih Pisang dari Rumpun In Situ secara Konvensional. Balai Penelitian Buah. Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian.


(5)

71

Sari, E.P. 2012. Multiplikasi Tunas Pisang Ambon Kuning sebagai Respon terhadap Konsentrasi Benzyladenine dan Indole-3-Acetic Acid. (Skripsi). Jurusan Agroteknologi. Universitas Lampung.

Sari, S.G. dan Badruzsaufari. 2013. Hubungan kekerabatan fenetik beberapa varietas pisang lokal Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian Sains, 16 (1): 33-36.

Sato, S.S., M. Tanaka, dan H. Mori. 2009. Auxin–cytokinin interactions in the control of shoot branching.Plant Mol Biol. 69: 429–435.

Semarayani, C.I.M. dan D. Dinarti. 2011. Subkultur berulang tunas in vitro pisang kepok unti sayang pada beberapa komposisi media. Prosiding. Simposium dan Seminar Bersama PERAGI-PERHORTI-PERIPI-HIGI Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi yang Berkelanjutan.

Sheen, J. 2002. Phosphorelay and transcription control in sytokinin signal transduction. Science, 298: 1650-1652.

Shirani, S., F. Mahdavi, dan M. Maziah. 2009. Morphological abnormality among regenerated shoot of banana and plantain (Musa spp.) after in vitro

multiplication with TDZ dan BAP from excised shoot-tips. African Journal of Biotechnology, 8 (21): 5755-5761.

Siregar, I.Z., N. Khumaida, D. Noviana, M.H. Wibowo, dan Azizah. 2013. Varietas Tanaman Unggul Institut Pertanian Bogor. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Triyani, S. 2014. Pengaruh Konsentrasi Benziladenin dan Thidiazuron terhadap Multiplikasi Tunas Pisang ‘Raja Bulu’ (Genom AAB) In Vitro. (Skripsi). Jurusan Agroteknologi. Universitas Lampung.

Valmayor, R.V., S.H. Jamaluddin, B. Silayoi, S. Kusumo, L.D. Danh, O.C. Pascua, dan R.R.C. Espino. 2000. Banana Cultivar Names and Synonyms In Southeast Asia. INIBAB. Asia Pasifik. Los Banos. Laguna. Filipina. Wahyuningtyas, N. 2011. Pembuatan Kerupuk dengan Substitusi Pisang Kepok

Kuning (Musa balbisiana). (Tugas Akhir). Program Studi Diploma III Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Wahyuningtyas, W., A. Retnoningsih, dan E.S. Rahayu. 2009. Keanegaragaman genetik pisang bergenom B berdasarkan penanda mikrosatelit.

Biosaintifika, 1 (1): 1-10.

Yusnita dan D. Hapsoro. 2013. Eksplorasi, Karakterisasi, Seleksi, dan Perbanyakan Klonal In Vitro untuk Mendapatkan Genotipe-Genotipe Unggul Pisang Komersial Lampung. Laporan Tahunan Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi. Universitas Lampung.


(6)

Yusnita, E. Danial, dan D. Hapsoro. 2015. In vitro shoot regeneration of Indonesian bananas (Musa spp.) cv. Ambon Kuning and Raja Bulu, plantlet acclimatization and field performance. Agrivita, 37 (1): 51-58. Yusnita. 2003. Kultur Jaringan: Cara Memperbanyak Tanaman secara Efisien.

Jakarta: AgroMedia Pustaka.

. 2015. Kultur Jaringan Tanaman Pisang. Bandar Lampung: Aura Publishing.