Kedudukan Nasabah Koperasi Simpan Pinjam Dalam Pailitnya Koperasi Simpan Pinjam

(1)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

090200308 ERIKSON PURBA

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

KEDUDUKAN NASABAH KOPERASI SIMPAN PINJAM

DALAM PAILITNYA KOPERASI SIMPAN PINJAM.

Oleh

090200308 ERIKSON PURBA

Disetujui Oleh

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

NIP. 19750112 200501 2 002 WINDHA, SH. M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

(Prof. Dr. Sunarmi, SH, MH) (

NIP. 19560329198601 1001 NIP. 19750112200501 2002

Windha, SH, M.Hum)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

KEDUDUKAN NASABAH KOPERASI SIMPAN PINJAM DALAM PAILITNYA KOPERASI SIMPAN PINJAM.

* Erikson Purba ** Sunarmi *** Windha

Masalah koperasi merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji secara ilmiah karena koperasi merupakan sebagian dari tata perekonomian masyarakat Indonesia. undang yang mengatur Koperasi adalah Undang Nomor 25 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah Pengaturan Kepailitan Koperasi Simpan Pinjam? Bagaimanakah kedudukan nasabah koperasi simpan pinjam dalam pailitnya koperasi simpan pinjam? Bagaimanakah tanggung jawab koperasi simpan pinjam terhadap nasabah atas haknya yang tidak terpenuhi dalam penjualan asset? Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah penelitian yuridis normatif (Legal Research). Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisa berbagai kaidah dan pengaturan mengenai Hukum Kepailitan dan Hukum Perusahaan.

Pengaturan Kepailitan Koperasi Simpan Pinjam prosedur permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh pengurus Koperasi Simpan Pinjam telah sesuai dengan ketentuan prosedur permohonan pernyataan pailit sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pemenuhan persyaratan permohonan pailit berkaitan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Kedudukan Debitur Pailit Dengan Berkahirnya Pemberesan. Ada dua cara untuk berakhirnya proses kepailitan, yaitu : dengan pembayaran kembali semua piutang-piutang para kreditur atau dengan tercapainya perdamaian (akkoor) dalam rapat pencocokan piutang (verification), maka proses kepailitan berakhir, Pemberesan harta pailit merupakan kegiatan penjualan atau menguangkan harta kekayaan debitur pailit. Pernyataan putusan pailit yang diucapkan Pengadilan Niaga untuk memenuhi kewajiban debitur pailit pada para kreditur dengan pelaksanaan pemberesan dilakukan sita umum berdasarkan putusan Pengadilan Niaga yang berada pada daerah hukum. Sita umum dengan melalui lelang dan dapat pula dengan dibawah tangan dengan persetujuan Hakim Pengawas. Pengangkatan Hakim Pengawas dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa dan memutus perkara kepailitan.

Kata Kunci : Kedudukan Nasabah Koperasi Simpan Pinjam *Mahasiswa

**Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul KEDUDUKAN NASABAH KOPERASI SIMPAN PINJAM DALAM PAILITNYA KOPERASI SIMPAN PINJAM

Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam penulisan Skripsi ini masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga dapat menjadi perbaikan di masa akan datang.

Dalam penulisan Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara moril dan materil, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Ibu Windha, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai dosen pembimbing II pada penulisan skripsi ini.


(5)

6. Ibu Prof. Sumarni, SH., M.H, selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat dan saran mulai dari awal sampai akhir sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

7. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Terima kasih kepada M. Purba dan Ibunda S. Saragih yang selalu sabar untuk mendukung pendidikan selama ini yang tidak henti-hentinya selalu membawakanku kedalam doa.

9. Kepada rekan-rekan mahasiswa/i, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

10.Rekan-rekan diluar kampus yang tidak bisa disebutkan satu persatu

Penulis berharap semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, Mei 2014 Penulis

090200308 Erikson Purba


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 9

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II PENGATURAN KEPAILITAN KOPERASI SIMPAN PINJAM . 22 A. Jenis-jenis Koperasi di Indonesia ... 22

B. Syarat Kepailitan Koperasi Simpan Pinjam ... 32

C. Putusan Kepailitan Koperasi Simpan Pinjam ... 42

D. Akibat Hukum Pailitnya Koperasi Simpan Pinjam ... 58

BAB III KEDUDUKAN NASABAH KOPERASI SIMPAN PINJAM DALAM PAILITNYA KOPERASI SIMPAN PINJAM ... 62

A. Jenis-Jenis Kreditur Dalam Pailitnya Koperasi Simpan Pinjam 62

B. Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit dalam Pailitnya Koperasi Simpan Pinjam ... 64


(7)

C. Kedudukan Nasabah Koperasi Simpan Pinjam dalam Pailinya

Koperasi Simpan Pinjam ... 67

BAB IV TANGGUNG JAWANB KOPERASI SIMPAN PINJAM TERHADAP NASABAH ATAS HAKNYA YANG TIDAK TERPENUHI DALAM PENJUALAN ASSET ... 71

A. Pemenuhan Hak-hak nasabah Koperasi Simpan Pinjam dalam Putusan Pailit ... 71

B. Bentuk Tanggung jawab Koperasi Simpan Pinjam Terhadap Nasabah ... 75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 79 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

KEDUDUKAN NASABAH KOPERASI SIMPAN PINJAM DALAM PAILITNYA KOPERASI SIMPAN PINJAM.

* Erikson Purba ** Sunarmi *** Windha

Masalah koperasi merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji secara ilmiah karena koperasi merupakan sebagian dari tata perekonomian masyarakat Indonesia. undang yang mengatur Koperasi adalah Undang Nomor 25 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah Pengaturan Kepailitan Koperasi Simpan Pinjam? Bagaimanakah kedudukan nasabah koperasi simpan pinjam dalam pailitnya koperasi simpan pinjam? Bagaimanakah tanggung jawab koperasi simpan pinjam terhadap nasabah atas haknya yang tidak terpenuhi dalam penjualan asset? Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah penelitian yuridis normatif (Legal Research). Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisa berbagai kaidah dan pengaturan mengenai Hukum Kepailitan dan Hukum Perusahaan.

Pengaturan Kepailitan Koperasi Simpan Pinjam prosedur permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh pengurus Koperasi Simpan Pinjam telah sesuai dengan ketentuan prosedur permohonan pernyataan pailit sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pemenuhan persyaratan permohonan pailit berkaitan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Kedudukan Debitur Pailit Dengan Berkahirnya Pemberesan. Ada dua cara untuk berakhirnya proses kepailitan, yaitu : dengan pembayaran kembali semua piutang-piutang para kreditur atau dengan tercapainya perdamaian (akkoor) dalam rapat pencocokan piutang (verification), maka proses kepailitan berakhir, Pemberesan harta pailit merupakan kegiatan penjualan atau menguangkan harta kekayaan debitur pailit. Pernyataan putusan pailit yang diucapkan Pengadilan Niaga untuk memenuhi kewajiban debitur pailit pada para kreditur dengan pelaksanaan pemberesan dilakukan sita umum berdasarkan putusan Pengadilan Niaga yang berada pada daerah hukum. Sita umum dengan melalui lelang dan dapat pula dengan dibawah tangan dengan persetujuan Hakim Pengawas. Pengangkatan Hakim Pengawas dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa dan memutus perkara kepailitan.

Kata Kunci : Kedudukan Nasabah Koperasi Simpan Pinjam *Mahasiswa

**Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah koperasi merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji secara ilmiah karena koperasi merupakan sebagian dari tata perekonomian masyarakat Indonesia. undang yang mengatur Koperasi adalah Undang Nomor 25 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.

Dalam pertimbangan Undang-Undang ini dikatakan bahwa koperasi baik sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan usaha serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat dengan UUD 1945) dalam tata perekonomian Nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi; bahwa koperasi perlu lebih membangun dirinya dan dibangun menjadi kuat dan mandiri berdasarkan prinsip koperasi sehingga mampu berperan sebagai soko guru perekonomian nasional; bahwa pembangunan koperasi merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah dan seluruh rakyat.

Koperasi Simpan Pinjam merupakan salah satu jenis koperasi yang peraturannya mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi (selanjutnya disebut PP No 9 Tahun 1995) dan Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan


(10)

Menengah Republik Indonesia Nomor: 351/Kep/M/XII/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi (selanjutnya disebut Kepmen No: 351/Kep/M/XII/1998).

Kemudahan dalam perijinan pendirian koperasi telah mendorong semakin banyaknya berdiri koperasi, salah satunya adalah Koperasi Simpan Pinjam. Saat ini banyak kita jumpai Koperasi Simpan Pinjam yang bermunculan bak jamur di musim hujan. Ketentuan “calon anggota” dalam Pasal 18 ayat (2) PP No 9 Tahun 1995 ternyata telah dimanfaatkan oleh Koperasi Simpan Pinjam. Koperasi Simpan Pinjam memanfaatkan ketentuan “calon anggota” untuk merekrut masyarakat dengan harapan mereka mau berinvestasi di Koperasi Simpan Pinjamnya sehingga semakin banyak masyarakat yang direkrut semakin banyak pula keuntungan yang didapat. Meskipun ketentuan tentang calon anggota telah diatur secara jelas, bahwa dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah melunasi simpanan pokok harus menjadi anggota. Namun kenyataanya setelah waktu yang ditentukan berakhir calon-calon anggota tersebut statusnya tidak berubah menjadi anggota.

Kegiatan usaha Koperasi Simpan Pinjam telah diatur dalam Pasal 19 ayat (1) PP No 9 Tahun 1995 yang menyebutkan bahwa: “Kegiatan Usaha Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam adalah: a. menghimpun simpanan koperasi berjangka dan tabungan koperasi dari anggota dan calon anggotanya, koperasi lain dan atau anggotanya; b. memberikan pinjaman kepada anggota, calon anggotanya, koperasi lain dan atau anggotanya”. Berdasarkan Kepmen No: 351/Kep/M/XII/1998, dalam melaksanakan kegiatan usaha penghimpunan dana, ada 2 (dua) bentuk simpanan yang diperbolehkan, yaitu tabungan koperasi dan


(11)

simpanan berjangka. Untuk melayani kebutuhan penyimpanan, koperasi dapat menciptakan berbagai jenis tabungan koperasi dan simpanan berjangka. Pemberian nama dan ketentuan mengenai jenis-jenis tabungan koperasi dan simpanan berjangka merupakan wewenang pengurus koperasi.

Dikeluarkannya Inpres No. 18 Tahun 1998 berdampak pada banyaknya jumlah koperasi yang berdiri di Indonesia. Inpres No. 18 Tahun 1998 memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membentuk dan mengelola koperasi tanpa batasan wilayah kerja, koperasi menjadi lebih mandiri dan bebas melakukan aktivitas usahanya tanpa ada campur tangan pemerintah. Kebijakan tersebut tidak terlepas dari keinginan pemerintah dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian rakyat melalui koperasi. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 dinyatakan bahwa koperasi diselenggarakan berdasarkan atas asas kekeluargaan. Koperasi sebagai badan perusahaan yang berdasar atas asas kekeluargaan dianggap sebagai soko guru perekonomian nasional yang sesuai dengan sendi-sendi perekonomian Indonesia yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Namun dalam prakteknya, seringkali Koperasi Simpan Pinjam melakukan penghimpunan dana dari masyarakat yang jelas-jelas bukan anggota koperasi dalam bentuk deposito berjangka dengan memberikan bunga kepada nasabahnya di atas bunga bank. Dengan menempatkan sejumlah uangnya pada koperasi, para calon nasabah diberikan harapan nantinya akan mendapatkan pengembalian yang


(12)

tinggi, tanpa harus bekerja keras keuntungan pun bisa didapat. Tawaran semacam ini sangat menggiurkan, karena orang akan lebih cenderung bersikap pragmatis untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Dorongan kuat akan memperoleh keuntungan tinggi mampu membuat orang tanpa perlu lagi mempertimbangkan secara masak terhadap rasionalitas usaha maupun kemungkinan resikonya. Sehingga banyak masyarakat yang kemudian tertarik dan menginvestasikan uangnya1

Perizinan bagi setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diawasi. Hal ini mengingat dalam kegiatan itu terkait perlindungan dana masyarakat yang disimpan. Terkait dengan kasus Koperasi Simpan Pinjam yang menghimpun dana dari masyarakat di luar anggotanya, hal tersebut mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 44 Undang-Undang No 17 Tahun 2012 juncto Pasal 18 ayat (1) PP No 9 Tahun 1995. Ditinjau dari Undang-Undang Perbankan, Koperasi Simpan Pinjam yang menghimpun dana masyarakat diluar anggota juga diindikasikan melanggar ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Pasal 21 Undang-Undang No 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang No 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa salah satu bentuk hukum suatu bank yaitu koperasi. Berdasarkan ketentuan tersebut, secara normatif jika suatu koperasi ingin menghimpun dana dari masyarakat, maka koperasi tersebut harus mendapat izin sebagai bank dari Bank Indonesia. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal


(13)

16 ayat (1) Undang-Undang Perbankan menyebutkan bahwa: Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Menteri, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dan peran serta kelembagaan Koperasi dalam perekonomian nasional, maka pemberdayaan tersebut perlu dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan masyarakat secara menyeluruh, sinergi dan berkesinambungan. Dalam memberdayakan koperasi, seluruh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan koperasi merupakan suatu kesatuan saling melengkapi dengan Undang-Undang ini.

Kepailitan pada dunia usaha dimungkinkan dengan bentuk-bentuk usaha tertentu. Secara sederhana, perusahaan dapat diklasifikasikan ke dalam empat bentuk usaha, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole proprietorship), Persekutuan (partnership firm and limited partnership), Perseroan Terbatas (corporation), Koperasi (cooperative).2

Pengertian perusahaan secara yuridis dapat ditemukan definisinya di dalam peraturan perundang-undangan, karena sesungguhnya perusahaan itu adalah sebagai lembaga ekonomi. Dengan kriteria tersebut maka dapat dengan

2 Johannes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan – Pola Kemitraan dan Badan


(14)

mudah mengklasifisikan suatu kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan dan dilakukan secara legal (tidak bertentangan dengan hukum), serta dimaksudkan untuk mencari laba, maka kegiatan itu adalah merupakan kegiatan usaha. Lembaganya adalah perusahaan tertentu. Dalam hal ini dapat dilihat pada Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Dagang yang menyatakan : “Bahwa setiap orang yang menjalankan perusahaan diwajibkan untuk menyelenggarakan catatan-catatan menurut syarat-syarat perusahaannya tentang keadaan hartanya dan tentang apa saja yang berhubungan dengan perusahaannya, dengan cara yang demikian sehingga dari catatan-catatan yang diselenggarakan itu sewaktu-waktu dapat diketahui segala hak dan kewajibannya”.

Berdasarkan latar belakang dan uraian tersebut di atas maka penulis tertarik memilih judul Kedudukan Nasabah Koperasi Simpan Pinjam Dalam Pailitnya Koperasi Simpan Pinjam.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka pokok permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut

1. Bagaimanakah Pengaturan Kepailitan Koperasi Simpan Pinjam?

2. Bagaimanakah kedudukan nasabah koperasi simpan pinjam dalam pailitnya koperasi simpan pinjam?

3. Bagaimanakah tanggung jawab koperasi simpan pinjam terhadap nasabah atas haknya yang tidak terpenuhi dalam penjualan asset?


(15)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penelitian ini adalah

a. Untuk mengetahui Pengaturan Kepailitan Koperasi Simpan Pinjam. b. Untuk mengetahui kedudukan nasabah koperasi simpan pinjam dalam

pailitnya koperasi simpan pinjam

c. Untuk mengetahui tanggung jawab koperasi simpan pinjam terhadap nasabah atas haknya yang tidak terpenuhi dalam penjualan aset?

2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis

Diharapkan pembahasan terhadap masalah yang diangkat dan dibahas mampu melahirkan pemahaman mengenai akibat hukum dari putusan pernyataan pailit tersebut.

b. Secara Praktis

Secara praktis, skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembaca terutama sebagai para pelaku usaha agar memahami bagaimana Kedudukan Nasabah Koperasi Simpan Pinjam Dalam Pailitnya Koperasi Simpan Pinjam

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran dan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh penulis baik di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulis


(16)

menemukan judul tentang Kedudukan Nasabah Koperasi Simpan Pinjam Dalam Pailitnya Koperasi Simpan Pinjam

Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas cabang Fakultas Hukum yang mirip yang penulis temukan adalah :

1. Nama : Kemala Atika Hayati NIM : 070200358

Judul : Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Jaminan Fidusia Karena Debiturnya Dinyatakan Pailit

2. Nama : Hendrika S R Sinaga NIM : 080200219

Judul : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Terhadap Pemegang Hak Tanggungan .

3. Nama : Rudi Sunardi NIM : 030200052

Judul : Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan dan Nasabah dalam Koperasi Simpan Pinjam Syariah (Studi pada Kasus Syariah Mitra Amaliyah)

Bila ternyata terdapat skripsi yang sama dengan skripsi ini sebelum dibuat penulis bertanggungjawab sepenuhnya


(17)

E. TinjauanPustaka 1. Pengertian Koperasi

Koperasi secara etimologis terdiri dari 2 (dua) suku kata yaitu, co dan operation, yang mengandung arti bekerja sama untuk mencapai tujuan.3

Tujuan Koperasi sebagaimana dikemukan dalam Pasal 3 Undang - Undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian di Indonesia adalah : “Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”. Mengingat arti koperasi sebagaimana tersebut di atas maka koperasi mempunyai peranan yang cukup besar dalam menyusun Oleh karena itu, koperasi adalah “suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan usaha yang memberikan kebebasan masuk dan keluar sebagai anggota dengan bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan usaha untuk mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para anggota. Dasar hukum keberadaan Koperasi di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian di Indonesia adalah : “Badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hokum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan”.


(18)

usaha bersama dari orang-orang yang mempunyai kemampuan ekonomi terbatas. Usaha bersama dari orang-orang yang memenuhi kebutuhan yang dirasakan bersama, yang pada akhirnya mengangkat harga diri, meningkatkan kedudukan serta kemampuan untuk mempertahankan diri dan membebaskan diri dari kesulitan.

Untuk mendirikan koperasi yang kokoh perlu adanya landasan tertentu. Landasan ini merupakan suatu dasar tempat berpijak yang memungkinkan koperasi untuk tumbuh dan berdiri kokoh serta berkembang dalam pelaksanaan usaha-usahanya untuk mencapai tujuan dan cita-citanya.

Landasan hukum koperasi di Indonesia sangat kuat dikarenakan koperasi ini telah mendapatkan tempat yang pasti. Namun demikian perlu disadari bahwa perubahan sistem hukum dapat berjalan lebih cepat dari pada perubahan alam pikiran dan kebudayaan masyarakat, sehingga koperasi dalam kenyataannya belum berkembang secepat yang diinginkan meskipun memiliki landasan hukum yang kuat. Dalam Pasal 4 Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2012, fungsi dan peranan koperasi adalah: Koperasi bertujuan meningkatkan kesejahteraan Anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, sekaligus sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan perekonomian nasional yang demokratis dan berkeadilan

2. Dasar Hukum Koperasi

Pasal 33 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD N RI 1945), menentukan, perekonomian disusun sebagain usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Dalam penjelasan Pasal 33


(19)

UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD N RI 1945),4 dikemukakan bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah penilikan anggotaanggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran orangseorang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Untuk merealisasikan Pasal 33 ayat (1) U ndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD N RI 1945), pembentuk undangundang telah mengundangkan UndangUndang Nomor 12 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Perkoperasian. Kemudian undangundang ini diganti dengan UndangUndang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Berdasarkan undang-undang ini, apabila akta pendirian yang memuat Anggaran Dasar koperasi disahkan oleh Pemerintah, maka koperasi ini telah memperoleh status badan hukum.5

3. Pengertian Kepailitan

Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan “pailit”. Dalam Black’s Law Dictionary pailit atau “Bangkrupt”adalah : “the state or condition of e person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due”. The term includes a person againts whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bangkrupt”6

4 Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 1995), hlm. 97

6Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Dreksi Atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: Raja


(20)

Dari pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary tersebut, dapat kita lihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang (debitur) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampun tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar debitur), suatu permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan. Sedangkan di dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang sebagai pengganti dari UU No. 4 Tahun 1998 definisi mengenai kepailitan dapat kita lihat di dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu : Kapailitan adalah Sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang

4. Syarat Permohonan Pernyataan Pailit

Syarat-syarat permohonan pernyataan pailit dalam pasal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Syarat debitur mempunyai dua kreditur atau lebih (Concursus Creditorum) Dalam UUK dan PKPU disebutkan bahwa : “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.7

7 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


(21)

Syarat debitur mempunyai dua kreditur atau lebih (Concursus Creditorum) Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.8 Sedangkan kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.9

Dalam kepailitan ada 3 (tiga) golongan kreditur yaitu : 10

a. Kreditur konkuren/bersaing, yaitu kreditur-kreditur yang tidak termasuk golongan khusus dan golongan istimewa. Piutang mereka dibayar dengan sisa hasil penjualan/pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan kreditur separatis dan kreditur preferen. Sisa penjualan harta pailit itu dibagi menurut imbangan besar kecilnya piutang para kreditur konkuren (Pasal 1132 KUHPerdata).

b. Kreditur yang mempunyai privilege atau hak istimewa sering disebut kreditur preferen, adalah kreditur yang mempunyai hak untuk didahulukan pembayaran piutangnya dari kreditur lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya yang diistimewakan. Hal tersebut dapat mengenai benda-benda tertentu saja atau dapat mengenai semua benda-benda bergerak pada umumnya. Mereka ini menerima pelunasan terlebih dahulu dari penjualan barang yang bersangkutan.

Untuk mengetahui piutang-piutang mana yang diistimewakan dapat dilihat dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata. Menurut Pasal 1139,

8

Pasal 1 ayat (2) UUK dan PKPU

9Pasal 1 ayat (3) UUK dan PKPU

10 Agus Sudradjat, Kepailitan Dan Kaitannya Dengan Lembaga Perbankan, Makalah

Seminar Nasional Lembaga Kepailitan Dalam Pembaharuan Hukum Ekonomi Di Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Katolik Soegijapranata, 1996), hlm. 4


(22)

piutang-piutang yang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu, antara lain:

1) biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu benda bergerak maupun tidak bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan penjualan benda tersebut terlebih dahulu dari semua piutang lainnya yang diistimewakan, bahkan lebih dahulu pula daripada gadai dan hipotek;

2) uang sewa dari benda-benda tidak bergerak, biaya-biaya perbaikan yang menjadi kewajiban si penyewa, beserta segala apa yang mengenai kewajiban memenuhi persetujuan sewa;

3) harta pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar; 4) biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang; 5) biaya untuk melakukan pekerjaan pada suatu barang, yang masih harus

dibayar kepada seorang tukang;

6) apa yang telah diserahkan oleh seorang pengusaha rumah penginapan sebagai demikian kepada seorang tamu;

7) upah-upah pengangkutan dan biaya-biaya tambahan;

8) apa yang harus dibayar kepada tukang batu, tukang kayu dan lain-lain tukang untuk pembangunan, penambahan dan perbaikan benda-benda tidak bergerak, asal saja piutangnya tidak lebih tua dari tiga tahun dan hak milik atas persil yang bersangkutan masih tetap pada si berutang;


(23)

9) penggantian serta pembayaran yang harus dipikul oleh pegawai yang memangku suatu jabatan umum, karena segala kelalaian, kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan yang dilakukan dalam jabatannya.

Adapun Pasal 1149 KUHPerdata menentukan bahwa piutang-piutang yang diistimewakan atas semua benda bergerak dan tidak bergerak pada umumnya adalah yang disebutkan di bawah ini, piutang-piutang mana dilunasi dari pendapatan penjualan benda-benda itu menurut urutan sebagai berikut :

1) Biaya-biaya perkara, yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan; biaya-biaya ini didahulukan daripada gadai dan hipotek.

2) Biaya-biaya penguburan, dengan tidak mengurangi kekuasaan hakim untuk menguranginya, jika biaya itu terlampau tinggi.

3) Semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang penghabisan.

4) Upah para buruh selama tahun yang lalu dan upah yang sudah dibayar dalam tahun yang sedang berjalan, beserta jumlah uang kenaikan upah menurut Pasal 1602 q.

5) Piutang karena penyerahan bahan-bahan makanan yang dilakukan kepada si berutang beserta keluarganya, selama waktu enam bulan yang terakhir.

6) Piutang-piutang para pengusaha sekolah berasrama, untuk tahun yang penghabisan.


(24)

7) Piutang anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang terampu terhadap sekalian wali dan pengampu mereka.

c. Kreditur separatis atau kreditur golongan khusus, adalah kreditur yang dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.11

2) Syarat harus adanya utang

Kreditur golongan khusus ini dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan utang seolah-olah tidak ada kepailitan. Dari hasil penjualan itu kreditur mengambil sebesar piutangnya sebagai pelunasan, sedang sisanya di setor ke kurator. Bila ternyata hasil penjualan itu kurang dari jumlah piutangnya, maka ia dapat menggabungkan diri sebagai kreditur konkuren untuk sisanya. Kreditur separatis mempunyai ikatan tertentu dan hak-haknya dijamin dengan perjanjian tertentu, oleh karenanya kedudukan mereka diluar kepailitan. Artinya mereka tidak diverifikasikan tetapi dimasukkan ke dalam daftar pembagian dan didaftarkan pada kurator. Sedangkan yang termasuk kreditur preferen dan kreditur konkuren harus diverifikasikan dalam rapat verifikasi serta masuk dalam daftar pembagian

Di bawah ini beberapa pendapat para pakar hukum mengenai pengertian utang, yaitu :

a) Menurut Kartini dan Gunawan Widjaja, utang adalah perikatan, yang merupakan prestasi atau kewajiban dalam lapangan harta kekayaan yang harus dipenuhi oleh setiap debitur dan bila tidak dipenuhi, kreditur berhak mendapat pemenuhannya dari harta debitur. Pada dasarnya UUK dan

11Pasal 55 UUK dan PKPU.


(25)

PKPU tidak hanya membatasi utang sebagai suatu bentuk utang yang bersumber dari perjanjian pinjam-meminjam uang saja.12

b) Menurut Setiawan, utang seyogianya diberi arti luas, baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitur harus membayar sejumlah uang tertentu.13

Kontroversi mengenai pengertian utang, akhirnya dapat disatuartikan dalam UUK dan PKPU, yaitu : Dari definisi utang yang diberikan oleh UUK & PKPU jelaslah bahwa definisi utang harus ditafsirkan secara luas, tidak hanya meliputi utang yang timbul dari perjanjian utang piutang atau perjanjian pinjam-meminjam, tetapi juga utang yang timbul karena undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah uang

3) Syarat satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih

Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa kreditur sudah mempunyai hak untuk menuntut debitur untuk memenuhi prestasinya. Menurut penulis, syarat ini menunjukkan bahwa utang harus lahir dari perikatan sempurna (adanya schuld dan haftung). Dengan demikian, jelas bahwa utang yang lahir dari perikatan alamiah (adanya schuld dan haftung) tidak dapat dimajukan untuk permohonan pernyataan pailit. Misalnya utang yang lahir dari perjudian. Meskipun utang yang lahir dari perjudian telah

12

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), hlm. 11.

13 Sjahdeini, Op.cit, hlm.108, mengutip dari Setiawan dalam buku Rudhy A. Lontoh,

Denny Kailimang & Benny Ponto [Ed], Penyelesaian Utang Piutang: Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 117


(26)

jatuh waktu, hal ini tidak melahirkan hak kepada kreditur untuk menagih utang tersebut. Dengan demikian, meskipun debitur mempunyai kewajiban untuk melunasi utang itu, kreditur tidak mempunyai alas hak untuk menuntut pemenuhan utang tersebut. Dengan demikian, kreditur tidak berhak memajukan permohonan pailit atas utang yang lahir dari perjudian.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah penelitian yuridis normatif (Legal Research). Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisa berbagai kaidah dan pengaturan mengenai Hukum Kepailitan dan Hukum Perusahaan. Sedangkan pendekatan normatif digunakan untuk menambah pemahaman yang lebih luas terhadap Kepailitan dan PKPU Koperasi serta hal-hal yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian14

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis. Penelitian ini melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Deskriptif dalam arti bahwa dalam penelitian ini, penulis bermaksud untuk menggambarkan dan melaporkan secara rinci, sistematis dan menyeluruh, mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan kedudukan nasabah koperasi simpan pinjam dalam pailitnya koperasi simpan pinjam

14 Ronny Hanitijo Sumitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghlmia


(27)

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro data sekunder adalah :15

a) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari :

Data yang diperoleh dari bahan kepustakaan dengan membaca dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan. Data sekunder dalam penelitian hukum terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer berupa : Norma Dasar Pancasila, UUD 1945, Undang-undang, Yurisprudensi dan traktat dan berbagai peraturan perundang-undangan sebagai peraturan organilnya. Bahan hukum sekunder berupa: Rancangan peraturan perundang-undangan, buku-buku hasil karya para sarjana dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Dan bahan hukum tersier berupa Bibliograf dan indeks komulatif.

Dalam penelitian ini yang dijadikan data sekunder adalah data yang bersumber dari :

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian

2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

3. Yurisprudensi.

b) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terdiri dari :

15 Ibid


(28)

1) Hukum kepailitan, buku yang membahas tentang kepailitan.

2) Hukum perusahaan, buku-buku yang membahas tentang perkoperasian 4. Analisa Data

Analisa data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dari data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara Normatif kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas. Pengertian analisa di sini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis, sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berfikir deduktif-induktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan-laporan penelitian ilmiah.

Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara Deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.16

G. Sistematika Penulisan

Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan ini.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menguraikan bab demi bab sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan membahas tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan


(29)

BAB II PENGATURAN KEPAILITAN KOPERASI SIMPAN PINJAM Pada bab ini akan membahas tentang jenis-jenis koperasi di Indonesia, Syarat kepailitan koperasi simpan pinjam, putusan kepailitan koperasi simpan pinjam dan akibat hukum pailitnya koperasi simpan pinjam.

BAB III KEDUDUKAN NASABAH KOPERASI SIMPAN PINJAM DALAM PAILITNYA KOPERASI SIMPAN PINJAM

Pada bab ini akan membahas tentang jenis-jenis kreditur dalam pailitnya koperasi simpan pinjam. Pengurusan dan pemberesan harta pailitnya koperasi simpan pinjam dan kedudukan nasabah koperasi simpan pinjam dalam pailitnya koperasi simpan pinjam

BAB IV TANGGUNG JAWAB KOPERASI SIMPAN PINJAM

TERHADAP NASABAH ATAS HAKNYA YANG TIDAK TERPENUHI DALAM PENJUALAN ASSET

Bab ini akan membahas tentang pemenuhan hak-hak nasabah koperasi simpan pinjam setelah putusan pailit dan bentuk tanggung jawab koperasi simpan pinjam terhadap nasabah atas haknya yang tidak terpenuhi dalam penjualan asset

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab kesimpulan dan saran dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian penelitian, kemudian


(30)

dilengkapi dengan saran yang mungkin bermanfaat di masa yang akan datang untuk penelitian lanjutan.


(31)

A. Jenis-jenis Koperasi di Indonesia

Keberadaan koperasi di Indonesia dapat dipahami melalui sejarah regulasi yang mengatur tentang koperasi di Indonesia. Melalui kronologi dan sejarah peraturan perundang-undangan tersebut, maka akan diketahui pokok-pokok pikiran dan pokok-pokok perubahan dalam pengaturan, sehingga dapat diketahui arah perkembangan koperasi yang ada di Indonesia. Kekhususan koperasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh ideologi bangsa dan sistem politik ekonomi negara yang tercermin dari isi peraturan perundang-undangan yang mengatur perkoperasian di Indonesia.17

Mulamula Koperasi tumbuh pada awal abad ke19, sebagai hasil usaha spontan yang dilakukan oleh orangorang yang mempunyai kemampuan ekonomi terbatas serta akibat penderitaan sosial ekonomi yang timbul dari sistem kapitalisme. Kemudian mereka mempersatukan diri untuk menolong diri mereka sendiri, serta ikut mengembangkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Koperasi tumbuh dan berkembang terutama di negaranegara yang menganut paham demokratis, karena disini rakyatnya memiliki kesempatan untuk melakukan sendiri pilihannya untuk menentukan dan melakukan usaha yang sesuai dengan kepentingan dan kemampuannya, untuk menolong dirinya sendiri secara bersamasama Koperasi pada mulanya tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya

17 Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemay, Hukum


(32)

pikiran-pikiran tentang pembaharuan masyarakat, yang terutama diperoleh oleh aliran gerakan sosialis. Aliran ini sangat kuat pengaruhnya dalam pertumbuhan koperasi, karena

a. Koperasi membentuk suatu dasar bagi organisasi kemasyarakatan yang berbeda dengan bentuk dan cita‐cita sistem kapitalisme yang berkuasa di banyak negara barat pada waktu itu. Motif utama sistem kapitalis adalah mencapai laba yang sebesarbesarnya, sehingga sistem ini menimbulkan akibat yang berat dari kaum buruh karena mereka menjadi kaum yang ditindas. Oleh karena itu, gerakan sosialis berusaha melenyapkan penderitaan ini.

b. Dengan munculnya perkumpulan koperasi, maka koperasi dianggap oleh gerakan sosialis sebagai cara praktis bagi kaum buruh dan produsen kecil untuk melepaskan diri dari penindasan kaum kapitalis. Oleh karena itu gerakan sosialis sangat menganjurkan berdirinya koperasi.

Bibit koperasi di Indonesia tumbuh di Purwokerto pada tahun 1896. Waktu itu seorang pamong praja bernama R. Aria Wiria Atmaja mendirikan sebuah bank yang di beri nama “Hulphen Spaar Bank” (Bank Pertolongan dan Simpanan). Bank ini dimaksudkan untuk menolong para priyayi/pegawai negeri yang terjerat utang pada lintah darat. Bank ini meminjamkan kepada para pegawai negeri dengan bunga yang rendah dari dana yang dikumpulkan oleh para pegawai itu sendiri. Usaha Wiria Atmaja ini kemudian dibantu dan diteruskan oleh Asisten Residen Belanda De Wolf van Westerorde yang telah mempelajari koperasi


(33)

sistem Raffaisen dan Schulze Delitzch di Jerman pada masa cutinya. Akan tetapi usaha De Wolf ini tidak banyak berhasil, karena :

a. Ia terlalu tergesagesa menerapkan prinsip koperasi yang modern, b. Ekonomi kaum pribumi yang masih lemah,

c. Adanya kecenderungan para pengurusnya, serta d. Halangan dari pemerintah Belanda

Pemerintah Belanda menghalangi berkembangnya koperasi waktu itu karena takut organisasi koperasi diperalat untuk alat politik melawan penjajah dan kemampuan rakyat dalam berorganisasi lewat koperasi dapat menjadi embrio kemampuan berorganisasi politik. Ternyata apa yang menjadi kekuatiran pemerintah Hindia Belanda ini, akhirnya memang menjadi kenyataan. Berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 yang disusul oleh Sarekat Dagang Islam (kemudian menjadi Serikat Islam) membangkitkan juga gerakan koperasi. Ke dua organisasi ini membangkitkan semangat rakyat dan mendorong pembentukan koperasi rumah tangga (Koperasi Industri Kecil dan Kerajinan) dan koperasi konsumsi yang merupakan alat memperjuangkan secara mandiri peningkatan taraf hidup. Sekalipun terdapat kesulitan dalam mengembangkan koperasi pada periode ini yaitu karena kekurangan skill dan modal, namun banyak koperasi dikalangan pengusaha kecil, petani dan pegawai negeri berkembang pesat. Pada tahun 1939 jumlah koperasi telah mencapai 1712 dan yang terdaftar 172 dengan anggota sebanyak 14.134, karena kewalahan membendung gerakan koperasi di kalangan rakyat itu, maka pemerintah Hindia Belanda bermaksud mengaturnya. Dan akhirnya keluarlah undang-undang tentang koperasi yang dikenal dengan nama


(34)

Verodening op de Cooperatieve Verenigingen pada tahun 1915. Akan tetapi karena undang-undang ini berkiblat pada hukum perniagaan eropa, maka lebih banyak menghambat daripada mendorong pertumbuhan koperasi. Salah satu contohnya adalah undang-undang itu pada salah satu pasal-pasalnya menyebutkan bahwa akta atau rancangan pendirian koperasi harus diperiksa dan disetujui oleh Gubernur Jenderal dengan rakyat kecil yang dijajah sangatlah jauh, maka berarti mendapatkan akta pendirian koperasi tidaklah mudah.

Melihat hal ini kaum nasionalis mendesak kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mengadakan peninjauan kembali terhadap undang-undang tersebut. Permintaan ini dikabulkan, sehingga Belanda pada tahun 1920 membentuk Komisi Koperasi yang diketuai oleh Prof. DR. JH. Boeke. Setelah bekerja selama 7 tahun, komisi ini melahirkan “Ordonansi Perkumpulan Koperasi Bumiputera” pada tahun 1927. Ordonansi ini sudah lebih maju karena dikatakan dalam salah satu pasalnya bahwa koperasi adalah perkumpulan orang-orang Indonesia sehingga baginya berlaku Hukum Sipil dan Hukum Dagang Indonesia. Dengan demikian akta pendirian tidak diperiksa dan disetujui oleh Gubernur Jenderal lagi, melainkan oleh “Penasihat Urusan Perkreditan Rakyat dan Koperasi”.

Koperasi berkembang dengan cepat waktu itu, namun karena depresi dunia, maka pada tahun 1932 banyak koperasi yang mati. Ketika Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942 dan mengambil alih penjajahan dari Belanda, didirikanlah oleh pemerintah Jepang semacam koperasi yang disebut kumiai. Pendirian kumiai itu bisa diduga untuk menarik simpati rakyat Indonesia. Dalam kenyataannya kumiai ini hanyalah alat untuk memeras rakyat Indonesia. kumiai


(35)

hanyalah alat untuk mengumpulkan kebutuhan perang tentara Jepang dari rakyat Indonesia, dengan cara membeli secara paksa hasil-hasil bumi rakyat dengan harga sangat murah. Karena hal ini, maka kepercayaan rakyat terhadap koperasi ala Jepang makin memudar.

Pada saat awal Indonesia merdeka, para pengurus kumiai mengubah kumiai menjadi koperasi, karena Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) secara tegas menyatakan bahwa bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaan dan usaha bersama adalah koperasi. Kemudian pada tanggal 12 Juli 1947, di Tasikmalaya diselenggarakan Kongres Koperasi Indonesia yang pertama (hari koperasi pertama), menghasilkan beberapa keputusan, yaitu:

a. Membentuk organisasi yang diberi nama Sentral Organisasi Koperasi Republik Indonesia (SOKRI).

b. Menetapakan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi Indonesia yang tiap tahun harus diperingati.

c. Menetapkan gotong royang sebagai asas koperasi.

d. Mengusahakan koperasi desa sebagai dasar untuk memperkuat susunan perekonomian.

e. Mengusahakan berdirinya bank koperasi untuk mengorganisasi permodalan koperasi,.

f. Memperhebat dan memperluas pendidikan di kalangan pengurus dan pegawai koperasi serta di kalangan masyarakat.


(36)

Pada periode 19501960 atau yang lebih dikenal sebagai periode ekonomi liberal, koperasi harus berjuang susah payah melawan kekuatan ekonomi lain, sementara bantuan dari pemerintah belumlah mencukupi. Maka pada periode ini banyak koperasi macet. Namun demikian pada periode ini sudah Nampak adanya konsolidasi organisasi koperasi dari tingkat daerah sampai tingkat nasional. Pada periode ini, tepatnya pada tanggal 12 Juli 1953 dalam Kongres Koperasi Indonesia II di Bandung, telah ditetapkan antara lain;

a. Membentuk Dewan Koperasi Indonesia (DKI) sebagai pengganti SOKRI. b. Menetapkan pendidikan koperasi sebagai satu pelajaran di sekolah

sekolah lanjutan.

c. Dr. Moh. Hatta sebagai bapak koperasi Indonesia atas jasa beliau mengembangkan perkoperasian di Indonesia.18

Jenis koperasi di Indonesia, berdasarkan sejarah timbulnya gerakan koperasi adalah:

a. Koperasi Konsumsi; b. Koperasi Kredit; c. Koperasi Produksi.

Sedangkan jenis koperasi berdasarkan lapangan usaha/tempat tinggal anggotanya, adalah:

a. Koperasi Desa, anggotanya para penduduk desa yang memiliki kepentingankepentingan yang sama dalam koperasi, dan menjalankan aneka usaha dalam suatu lingkungan tertentu.

18 Pandji Anoraga, dan Ninik Widiyanti, Dinamika Koperasi, (Jakarta: Rineka Cipta,


(37)

b. Koperasi Unit Desa, merupakan gabungan koperasikoperasi pertanian atau koperasi desa dalam wilayah unit desa, yang kemudian dilebur menjadi Koperasi Unit Desa. Koperasi Unit Desa ini merupakan organisasi ekonomi yang merupakan wadah bagi pengembangan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat pedesaan serta memberikan pelayanan kepada anggotanya dan masyarakat pedesaan.

c. Koperasi Konsumen, yaitu koperasi yang anggotanya terdiri dari tiaptiap orang yang mempunyai kepentingan langsung dalam lapangan konsumsi. Koperasi jenis ini biasanya menjalankan usahanya untuk mencapai kebutuhan sehari‐hari para anggotanya dan masyarakat sekitarnya.

d. Koperasi Pertanian, yaitu koperasi yang anggotaanggotanya terdiri dari para petanipetani atau buruh tani, atau orangorang yang mata pencahariannya berkaitan dengan usaha pertanian.

e. Koperasi Peternakan, yaitu koperasi yang anggotanya terdiri dari para peternak, pengusaha peternakan, buruh peternakan, atau orangorang yang mata pencahariannya berkaitan dengan usaha peternakan.

f. Koperasi Perikanan, yaitu koperasi yang anggotanya terdiri dari para peternak ikan, pengusaha perikanan, pemilik kolam ikan, pemilik alat perikanan, nelayan, serta pihakpihak yang berhubungan dengan usaha perikanan.

g. Koperasi Kerajinan/Koperasi Industri, yaitu koperasi yang terdiri dari para pengusaha kerajinan dan industri, serta buruh yang berkepentingan yang mata pencahariannya berhubungan dengan kerajinan dan industri.


(38)

h. Koperasi Simpan Pinjam, yaitu koperasi yang anggotanya terdiri dari orangorang yang mempunyai kepentingan langsung dalam soal perkreditan/simpan pinjam.

Berdasarkan pendekatan menurut golongan fungsional, maka dikenal jenisjenis koperasi sebagai berikut:19

a. Koperasi Pegawai Negeri (KPN); b. Koperasi Angkatan Darat (KOPAD); c. Koperasi Angkatan Laut (KOPAL); d. Koperasi Angkatan Udara (KOPAU); e. Koperasi Angkatan Kepolisian (KOPAK); f. Koperasi Pensiunan Angkatan Darat; g. Koperasi Karyawan;

h. Koperasi Pensiunan Pegawai Negeri.

Koperasi Simpan Pinjam secara yuridis diatur menurut ketentuan Pasal 88 UU Nomor.17 Tahun.2012 jo. PP Nomor 9 Tahun 1995. Pasal 88 yang berbunyi (1) Koperasi Simpan Pinjam harus memperoleh izin usaha simpan pinjam dari Menteri. (2) Untuk memperoleh izin usaha simpan pinjam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Koperasi Simpan Pinjam harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.

Ragam produk investasi yang kerap ditawarkan oleh KSP dengan tingkat pengembalian yang tinggi dengan biasa dikemas melalui penggunan istilah program simpanan, Simpanan Berjangka dengan disertai pemberian hadiah-hadiah

19 R.T. Sutantya Rahardja Hadikusuma,Hukum Koperasi Indonesia,cetakan II, Jakarta:


(39)

lainnya, bahkan ada yang menggunakan penawaran berupa deposito berjangka. Adapun yang dimaksud dengan Simpanan Berjangka adalah simpanan di koperasi yang penyetorannya dilakukan sekali dan penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan koperasi yang bersangkutan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah No. 351/Kep/M/XII/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi pada romawi V, dinyatakan bahwa: ”Dalam melaksanakan kegiatan usaha penghimpunan dana, ada 2 (dua) bentuk simpanan yang diperbolehkan yaitu tabungan koperasi dan simpanan berjangka. Untuk melayani kebutuhan penyimpanan, koperasi dapat menciptakan berbagai jenis tabungan koperasi dan simpanan berjangka. Pemberian nama dan ketentuan mengenai jenis-jenis tabungan koperasi dan simpanan berjangka merupakan wewenang pengurus koperasi.”

Koperasi Simpan Pinjam menjadi bermasalah ketika dalam melakukan kegiatan usahanya telah menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena alasan dorongan agar memperoleh keuntungan/laba yang tinggi dan semakin ketatnya persaingan sesama koperasi, maka mereka saling berinovasi dan berlomba untuk menarik calon-calon anggota dengan memberikan berbagai tawaran produk investasi simpanan, serta pemberian bonus-bonus dan hadiah-hadiah menarik lainnya.

Strategi mencari nasabah dengan cara memanfaatkan adanya status ”calon anggota” ini begitu gencar, meskipun sasaran yang sebenarnya lebih cenderung kepada masyarakat luas. Mengenai calon anggota koperasi menurut ketentuan


(40)

Pasal 18 Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi, disebutkan bahwa: ” (2). Calon anggota koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus menjadi anggota dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah melunasi simpanan pokok.”20

Penyimpangan yang lain, yaitu KSP membuka beberapa kantor cabang di kota-kota lain di luar domisili hukumnya, meskipun tanpa atau belum adanya izin operasional dari instansi vertikal yang berwenang maupun instansi setempat yang berwenang mengeluarkan perizinan dan melakukan pengawasan

Pola pencarian calon nasabah seperti telah tersebut di atas, sebagai alasan pembenarnya lebih pada pertimbangan promosi sisi bisnis, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh koperasi sesungguhnya sudah beregeser dan semakin jauh dari prinsip dan tujuan koperasi itu sendiri. Tujuan koperasi yang terutama seharusnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan para anggotanya.

21

20Ibrahim, Johannes, Hukum Organisasi Perusahaan, Pola Kemitraan dan Badan Hukum,

(Bandung : Refika Aditama. 2006), hlm. 76

21 Untung, Budi, Hukum Koperasi dan Peranan Notaris Indonesia, (Yogyakarta, Andi

Offset, 2005), hlm 18

KSP melakukan penghimpunan dana dari masyarakat yang jelas-jelas notabene bukan anggota koperasi dalam bentuk deposito berjangka dengan memberikan bunga kepada nasabahnya diatas bunga bank. Permasalahan akan semakin meruncing pada waktu simpanan para nasabah sudah pada jatuh tempo, akan tetapi dana milik para nasabah tersebut tidak mampu dibayar oleh Koperasi Simpan Pinjam. Ketidakmampuan untuk mengembalikan dana milik para nasabah dapat diakibatkan oleh beberapa sebab, antara lain yaitu: janji pemberian bunga


(41)

pengembalian tinggi yang tidak dibarengi dengan jenis kegiatan usaha riil yang rasional, tidak diperhitungkannya tingkat resiko atas keuntungan maupun kerugian dari kegiatan usaha yang sudah terlanjur dijanjikan (keuntungan yang diperoleh tidak sebanding/jauh lebih kecil), tindakan penyelewengan oleh oknum pengurus karena lemahnya pengawasan/kontrol.

B. Syarat Kepailitan Koperasi Simpan Pinjam

Menurut Undang-Undang Kepailitan, pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara permohonan kepailitan adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur. Yang dimaksud pengadilan menurut Undang-Undang kepailitan ini adalah, Pengadilan Niaga yang merupakan pengkhususan pengadilan di bidang perniagaan yang dibentuk dalam lingkupan Peradilan Umum. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan melalui panitera, yang menurut Undang-Undang Kepailitan Pasal 7 ayat (1) harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek. Surat permohonan tersebut harus disertai dokumen-dokumen atau surat-surat yang dibuat rangkap sesuai dengan jumlah pihak, serta ditambah rangkap 4 (empat) untuk Majelis dan Arsip. Salinan / dokumen atau surat-surat yang berupa foto copy harus dilegalisir sesuai dengan aslinya oleh pajabat yang berwenang / panitera Pengadilan Negeri / Pengadilan Niaga Setempat.

Dokumen / surat-surat yang harus dilampirkan untuk permohonan kepailitan sesuai dengan ketentuan lampiran Undang-Undang Kepailitan Nomor 4 tahun 1998 Pasal 1 jo Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004, bahwa kepailitan dapat dilakukan oleh pihak-pihak sebagai berikut :


(42)

a. Debitur sendiri;

b. Seorang atau lebih krediturnya; c. Kejaksaan untuk kepentingan umum; d. Bank Indonesia (BI);

e. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM); dan f. Menteri Keuangan.22

Permohonan pernyataan pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang harus diajukan oleh seorang advokat. Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas dapat diketahui bahwa untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit harus memenuhi formalitas prosedur sebagai berikut :

a. Permohonan pernyataan pailit diajukan kreditur pada ketua pengadilan yang daerah hukum meliputi domisili debitur;

b. Permohonan tersebut harus diajukan oleh seorang advokat. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pengurus koperasi

Permohonan tersebut diajukan di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri. Diajukannya permohonan pernyataan pailit oleh pengurus koperasi yang diwakili kuasa hukumnya di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri. Sampai saat ini Pengadilan Niaga di Indonesia baru ada beberapa saja antara lain Pengadilan Niaga Jakarta, Pengadilan Niaga Surabaya, Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Makasar. Pembentukan Pengadilan Niaga ini dilakukan secara bertahap berdasarkan Keputusan Presiden dengan memperhatikan kebutuhan dan

22 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang,


(43)

kesiapan sumber daya manusia yang diperlukan sebagaimana diatur dalam lampiran Undang-undang Kepailitan Pasal 281 ayat (2).

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa prosedur permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh pengurus Koperasi Simpan Pinjam telah sesuai dengan ketentuan prosedur permohonan pernyataan pailit sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Pemenuhan persyaratan permohonan pailit berkaitan dengan ketentuan. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah termohon memiliki utang yang sudah jatuh tempo kepada 2 (dua) kreditur atau lebih. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan bahwa debitur yang memiliki 2 (dua) kreditur atau lebih dan memiliki sedikitnya 1 (satu) utang yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan. Dengan demikian undang-undang ini hanya memungkinkan seorang debitur dinyatakan pailit apabila debitur memiliki paling sedikit 2 (dua) kreditur. Syarat mengenai adanya minimal 2 (dua) atau lebih kreditur dikenal dengan concursus creditorum.23

23 Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, hlm.


(44)

Undang-Undang Kepailitan merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata.24

Alasan mengapa seorang debitur tidak dapat dinyatakan pailit jika ia hanya mempunyai seorang kreditur adalah bahwa tidak ada keperluan untuk membagi asset debitur diantara para kreditur. Kreditur berhak dalam perkara ini atas nama semua asset debitur, tidak ada concursus creditorum. Jadi, kreditur yang masuk dalam ruang lingkup Pasal 1 ayat (1) adalah semua kreditur dan tidak memandang apakah kreditur tersebut itu kreditur konkuren, kreditur separatis, ataukah kreditur preferen. Hal ini dapat dimaklumi karena dalam kepailitan, yang terjadi sebenarnya sita umum terhadap semua harta kekayaan debitur yang diikuti dengan likuidasi paksa, untuk nanti perolehan dari likuidasi paksa tersebut dibagi secara pari passu prorate parte di antara krediturnya, kecuali apabila ada di antara para krediturnya yang harus didahulukan menurut Pasal 1132 KUH Perdata.25

24

Kartini Muljadi, Pengertian dan Prinsip-prinsip Umum Hukum kepailitan, dalam Rudy A. Lontoh (ed), Menyelesaikan Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001, hlm. 107

25Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan

Pemberesan Harta Pailit, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 24.

Tentang syarat untuk pailit dalam Undang-Undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 diatur dalam Pasal 1 dan dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang diatur dalam Pasal 2 ayat (1), pada prinsipnya keduanya mengatur hal sama, hanya beda penempatan pasal saja. Syarat lain yang harus dipenuhi bagi seorang pemohon pernyataan pailit ialah harus adanya utang. Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Penundaan Pembayaran utang menerangkan bahwa yang dimaksud dengan utang adalah : “Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang


(45)

baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinyu, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur”.26

Utang dalam Pasal 1 UUK adalah prestasi yang harus dibayar yang timbul sebagai akibat perikatan. Utang di sini dalam arti luas. Menurut Jerry Hoff, dalam Setiawan utang seyogyanya diberikan dalam arti luas, baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang piutang, maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitur harus membayar sejumlah uang tertentu. Dengan perkataan lain yang dimaksud dengan utang bukan hanya kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu yang disebabkan karena debitur telah menerima sejumlah uang tertentu karena perjanjian kredit, tetapi juga kewajiban membayar debitur yang timbul dari perjanjian-perjanjian lain27

Utang dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mempunyai arti yang luas dan berbeda dengan pengertian utang yang tercantum dalam ketentuan sebelumnya.

KUHPerdata maupun rezim hukum keperdataan tidak dikenal utang dalam arti sempit maupun utang dalam arti luas. Utang adalah utang. Tidak ada utang dalam arti luas dan tidak ada utang dalam arti sempit. Utang adalah utang sebagaimana yang tersurat antara lain dalam Pasal 1233 KUHPerdata.

26 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktek di Peradilan,

Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 381.


(46)

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menentukan bahwa yang dimaksud dengan “jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu baik karena telah diperjanjikan, percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, pengenaan sanksi atau denda oleh instansi berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbiter suatu perjanjian tidak mengatur ketentuan mengenai jatuh tempo utang, utang ini sudah waktunya untuk dibayar setelah pemberitahuan adanya kelalaian diberikan kepada debitur. Dalam pemberitahuan ini suatu jangka waktu yang harus diberikan kepada kreditur untuk melunasi utangnya.

Istilah “jatuh waktu” dan “dapat ditagih”, menurut pendapat Sutan Remy Sjahdeni menyatakan : “Bahwa kedua istilah itu berbeda pengertian dan kejadiannya. Suatu utang dapat saja telah dapat ditagih, tetapi belum jatuh waktu. Utang yang telah jatuh waktu dengan sendirinya menjadi utang yang telah dapat ditagih namun utang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan utang yang telah jatuh waktu. Utang hanyalah jatuh waktu apabila menurut perjanjian kredit atau perjanjian utang piutang telah sampai jadwal waktunya untuk dilunasi oleh debitur sebagaimana ditentukan di dalam perjanjian itu”28

Kreditur memiliki hak untuk menagih debitur seluruh jumlah yang terutang dan jatuh tempo. Dalam pada itu terdapat juga kemungkinan bahwa kreditur dapat mempercepat jatuh tempo utang debitur jika terjadi event of devault. Dengan even of default dimaksudkan terjadinya sesuatu atau tidak

28 Sutan Remy Syahdeni, Hukum Kepailitan, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002,


(47)

dipenuhinya sesuatu yang dperjanjikan oleh debitur dalam perjanjian kredit45 dalam suatu klausula yang diberi judul events of default29

a. Eksistensi dan suatu utang debitur yang dimohonkan kepailitan, yang telah jatuh tempo;

Jatuh waktu dan dapat ditagih dalam kasus kepailitan koperasi telah terjadi mengingat utang sebagai syarat utamanya telah terpenuhi. Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.

Jika kita perhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka jelas bahwa yang dimaksud dengan pembuktian sederhana adalah adanya dua kreditur atau Iebih dan adanya fakta utang yang telah jatuh tempo.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan pembuktian sederhana adalah mengenai:

b. Eksistensi dari dua atau lebih kreditur dan debitur yang dimohonkan kepailitan.30

Berdasarkan uraian di atas mengenai pembuktian dalam perkara kepailitan, hakim dituntut untuk menguasai hukum pembuktian dan hukum perdata (serta hukum Iainnya yang relevan) dalam mengurai hubungan hukum yang ada antara

29

Setiawan, Pengertian Jatuh Tempo dan Pembuktian Adanya Dua Kreditur Atau Lebih, Makalah disampaikan pada Lokakarya dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Jakarta, 11 – 12 Juni 2002, hlm. 1.

30 Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, PedomanMenangani Perkara Kepailitan,


(48)

para pihak (pemohon dan termohon pailit). Hasil dari pembuktian tersebut yang akan mendasari putusan hakim untuk menolak atau menerima permohonan pailit. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak memberikan penjelasan yang rinci mengenai bagaimana pembuktian sederhana ini dilakukan dalam memeriksa permohonan pailit. Pembuktian sederhana adalah pembuktian sumir pada umumnya. Seandainya kata “sederhana” merupakan lawan dari “tidak sederhana”, maka Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak menjawab sejauh mana batasan pembuktian sederhana dan tidak tersebut. Tidak ada definisi serta batasan yang jelas atau indikator-indikator yang dapat menjadi pegangan apa yang dimaksud dengan pembuktian sederhana. Sejauh mana hakim dapat menentukan dapat dibuktikan sederhana atau tidak bila terdapat sanggahan terhadap bukti yang diajukan. Atau bila ada sanggahan terhadap perrnohonan tersebut yang membuat perkara dianggap menjadi kompleks.

Hal ini kemudian membuka ruang diskresi yang lebar pada para hakim dalam menafsirkan pengertian pembuktian sederhana dalam menyelesaikan permohonan kepailitan. Dengan kerangka waktu yang sempit untuk memutuskan dikabulkan tidaknya suatu permohonan pailit, seringkaIi terjadi penolakan permohonan oleh Majelis Hakim dengan alasan perkara tersebut tidak dapat dibuktikan secara sederhana.

Pada dasarnya, jenis penyelesaian perkara kepailitan adalah permohonan dan pemeriksaannya bersifat sepihak. Seperti layaknya pemeriksaan


(49)

“permohonan” pada umumnya, Majelis Hakim hanya bertugas memeriksa kelengkapan dokumen persyaratan untuk dikabulkannya suatu permohonan dengan melakukan cross check dengan si pemohon atau pihak terkait, seperti misalnya dalam permohonan perwalian, pengampuan, dan lain-lain. Bila ada cukup alat bukti untuk membuktikan prasyarat pailit, maka permohonan pernyataan pailit dikabulkan. Pemeriksaan permohonan kepailitan dalam kaitannya dengan pembuktian, Majelis Hakim memfokuskan pada :

a) Apakah ada hubungan perutangan antara kredior dan debitur di mana utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih;

b) Apakah ada hubungan perutangan antara debitur dengan kreditur lainnya. Dalam hal Majelis Hakim harus memeriksa apakah ada bukti yang cukup dan otentik untuk membuktikan keduanya. Untuk membuktikan adanya utang, berarti melihat ada tidaknya hubungan perutangan, yaitu perikatan yang mendasari hubungan tersebut. Lebih jauh lagi, siapa yang berperan sebagai kreditur dan debitur serta apa objek perutangannya (prestasi). Bukti adanya hubungan perutangan ini dapat dilihat dan adanya akta perjanjian atau pun sekedar buku tagihan, namun tidak jarang Majelis Hakim menyimpulkan adanya utang dan pengakuan debitur / termohon pailit.

Pembuktian sederhana dalam kasus kepailitan koperasi telah dapat dilakukan, sehingga memenuhi persyaratan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Apabila kita mengacu kepada ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang maka permohonan pernyataan pailit harus


(50)

dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1).

Namun sebaliknya permohonan pernyataan pailit harus ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga apabila ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak terpenuhi. Proses kepailitan koperasi dilakukan tanpa melewati proses perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 114 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyebutkan bahwa debitur Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditur. Perdamaian tersebut diajukan paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat pencocokan piutang. Dan rumusan tersebut di atas dapat diketahui bahwa perdamaian merupakan hak dari debitur pailit, sehingga apabila debitur pailit tidak mempergunakan haknya tersebut maka proses perdamaian tidak akan pernah terjadi dalam perkara kepailitan.

Meskipun permasalahan test keuangan tidak terdapat pengaturannya dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang akan tetapi patut untuk dipertimbangkan, mengingat apabila modal suatu perusahaan lebih besar dari utangnya, maka perusahaan tersebut tidak sewajarnya untuk dipailitkan, namun apabila ternyata utang lebih besar dari pada asset perusahaan dan tidak mungkin lagi disehatkan, maka dapat dipailitkan. Untuk itu dalam upaya penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan di Indonesia pada masa mendatang permasalahan solvency test perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut dan


(51)

mendapatkan pengaturan yang jelas dalam Undang-Undang Kepailitan, untuk lebih terwujudnya kepastian dan perlindungan hukurn yang berkeadilan. Kedua hal tersebut di atas dalam perkara kepailitan Koperasi simpan pinjam saling memiliki korelasi yang sangat erat.

Jika koperasi tersangkut dalam masalah hutang piutang dengan pihak lain sehingga tidak mampu menyelesaikan. Upaya hukum melalui pengadilan pada akhirnya menjadi jalan yang harus ditempuh karena adanya keterlibatan antara kreditur dan debitur. Dari sinilah pengadilan bisa menyatakan suatu badan usaha atau koperasi dinyatakan pailit dan menunjuk kurator sebagai pihak untuk menyelesaikan masalah kepailitan tersebut.

C. Putusan Kepailitan Koperasi Simpan Pinjam

Putusan Kepailitan Nomor : 01/Pailit/ 2008/PN.Niaga Smg, terhadap Undang-Undang Nomor : 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Menurut Undang-Undang Kepailitan, pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara permohonan kepailitan adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur. Yang dimaksud pengadilan menurut Undang-Undang kepailitan ini adalah, Pengadilan Niaga yang merupakan pengkhususan pengadilan di bidang perniagaan yang dibentuk dalam lingkupan Peradilan Umum.

Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan melalui panitera, yang menurut Undang-Undang Kepailitan Pasal 7 ayat (1) harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek. Surat permohonan tersebut harus disertai dokumen-dokumen atau surat-surat yang


(52)

dibuat rangkap sesuai dengan jumlah pihak, serta ditambah rangkap 4 (empat) untuk Majelis dan Arsip. Salinan / dokumen atau surat-surat yang berupa foto copy harus dilegalisir sesuai dengan aslinya oleh pajabat yang berwenang / panitera Pengadilan Negeri / Pengadilan Niaga Setempat.

Dokumen / surat-surat yang harus dilampirkan untuk permohonan kepailitan sesuai dengan ketentuan lampiran Undang-Undang Kepailitan Nomor 4 tahun 1998 Pasal 1 jo Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004, bahwa kepailitan dapat dilakukan oleh pihak-pihak sebagai berikut :

a. Debitur sendiri;

b. Seorang atau lebih krediturnya; c. Kejaksaan untuk kepentingan umum; d. Bank Indonesia (BI);

e. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM); dan f. Menteri Keuangan.31

1. Bahwa pemohon adalah suatu badan hukum berbentuk koperasi yang telah disahkan oleh Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah

Pada tanggal 21 Januari 2008 menjadi titik balik. Pada tanggal itu pengurus Koperasi Sumber Artha Mandiri mempailitkan terhadap diri koperasi Sumber Artha Mandiri dan dikabulkan oleh hakim Pengadilan Niaga karena dinilai tidak mampu membayar utang yang sudah jatuh tempo dan sudah harus dibayar terhadap kreditur / penyimpan dana. Adapun permohonan Pailit dari Pemohon Pailit tersebut didasarkan pada dalil-dalil permohonan sebagai berikut :

31Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang,


(53)

Republik Indonesia dengan Nomor 14042/BH/KDK.11/II/2004, Tanggal 9 Februari 2004;

2. Bahwa oleh karena pemohon pailit berbentuk badan hukum berbentuk koperasi telah menampung dana penyimpan berbentuk simpanan jangka pendek ataupun simpanan jangka menengah serta jangka panjang dengan bunga berkisar 13 – 17 persen pertahun;

3. Bahwa oleh karena simpanan jangka pendek ataupun simpanan jangka menengah serta jangka panjang yang ada pada pemohon pailit harus diberikan bunga, maka pemohon pailit juga menyalurkan kepada debitur / peminjam dengan bunga berkisar 33 – 36 persen pertahun;

4. Bahwa para debitur pemohon pailit ada yang sudah jatuh tempo dan ada yang belum jatuh tempo, sehingga total asset pemohon pailit yang telah disalurkan kepada para peminjam / debitur keseluruhan total sebesar Rp 13.367.226.866,- (tiga belas milyar tiga ratus enam puluh tujuh juta dua ratus dua puluh enam ribu delapan ratus enam puluh enam rupiah);

5. Bahwa para penyimpan dana yang tercatat pada pemohon pailit pada saat ini (simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan sukarela, dan simpanan berjangka) yang ada pada pasiva pertanggal 23 Juli 2007 sebesar Rp 14.408.302.192,- (empat belas milyar empat ratus delapan juta tiga ratus dua ribu seratus sembilan puluh dua rupiah);

6. Apabila simpanan berjangka yang tercatat pada pemohon pailit bervariatif dan keseluruhannya apabila diuraikan sebagai berikut :


(54)

a. Simpanan berjangka dengan nominal sampai dengan Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) keseluruhannya sebesar Rp 329.161.601,- (tiga ratus dua puluh sembilan juta seratus enam puluh satu ribu enam ratus satu rupiah);

b. Simpanan berjangka dengan nominal sampai dengan Rp 20.000.000,- (dua puluh juta) keseluruhan sebesar Rp 437.347.276,- (empat ratus tiga puluh tujuh juta tiga ratus empat puluh tujuh ribu dua ratus tujuh puluh enam rupiah);

c. Simpanan berjangka dengan nominal sampai dengan Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) keseluruhan sebesar Rp 2.018.962.672,- (dua milyar delapan belas juta sembilan ratus enam puluh dua ribu enam ratus tujuh puluh dua rupiah);

d. Simpanan berjangka dengan nominal sampai dengan Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) keseluruhan sebesar Rp 10.679.408.002 (sepuluh milyar enam ratus tujuh puuh sembilan juta empat ratus delapan ribu dua rupiah); (dana penyimpan / kreditur tersebut diantaranya simpanan berjangka antar koperasi keseluruhann sebesar Rp 1.359.000.000,- (satu milyar tiga ratus lima puluh sembilan juta rupih;

7. Bahwa dana berupa kas sebesar Rp 871.000,- (delapan ratus tujuh puluh satu ribu rupiah) maupun pada simpanan di koperasi lain yang tercatat saat ini sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) di koperasi Anugrah Buana Artha sedangkan asset berupa barang-barang bergerak (Aktiva tetap dan Inventaris) sebesar Rp 169.457.400,- (seratus enam puluh sembilan juta empat


(55)

ratus lima puluh tujuh ribu empat ratus rupiah) yang tercatat pada aktiva pertanggal 23 Juli 2007;

8. Bahwa kewajiban pemohon pailit terhadap kreditur / para penyimpan dana yang saat ini sudah jatuh tempo yang sudah diminta agar pemohon pailit menyelesaikan kewajiban, akan tetapi pemohon pailit tidak sanggup menyelesaikan kewajiban tersebut karena uang para kreditur yang telah disalurkan dalam bentuk pinjaman juga belum tertarik dan akhirnya kreditur pemohon melaporkannya di Kepolisian sesuai Laporan Polisi Nomor LP/96/VIII/2007/Ops. Tanggal 28 Agustus 2007 dan adanya Surat Tanda Penerimaan data No.STP/93 B/IX/2007/RESKRIM Tanggal 21 September 2007 atas laporan tersebut yang berakibat Ketua Koperasi dan Manager Koperasi ditahan;

9. Bahwa kewajiban pemohon pailit yang sudah jatuh tempo dan yang diminta oleh kreditur untuk segera menyelesaikan tersebut diantaranya :

a. Ratna Gunarti, Alamat : Jl. Dr Rajiman 34 Surakarta, sebagai kreditur I, sedangkan kewajiban pemohon yang seharusnya diselesaikan sebesar Rp 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah);

b. Melia Widyawati, Alamat : Jl. Cendrawasih M 2, Solo Baru, sebagai kreditur II, sedangkan kewajiban pemohon yang seharusnya diselesaikan sebesar Rp 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah);

c. Ma Fang Fang, Alamat : Jl. IR Juanda 87, Surakarta, sebagai kreditur III, sedangkan kewajiban pemohon yang seharusnya diselesaikan sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);


(56)

10.Bahwa terhadap kewajiban pemohon tersebut yang sudah seharusnya dibayar akan tetapi belum dapat dibayar sehingga para penyimpan dana tersebut telah melaporkan kepada Polwil Surakarta sebagaimana Laporan Polisi No. LP/96/VIII/2007/ Ops. Tanggal 28 Agustus 2007, sehingga saat ini Bambang Suyadi, SH (ketua Koperasi Sumber Artha Mandiri) dan Handayani (Manager koperasi Sumber Artha Mandiri) ditahan, sedangkan pemohon pailit sudah berupaya melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan kepada debitur Erma Henny K, Sugiarto SIP (Gaguk) dan Lukgianto untuk segera mengembalikan hutangnya guna dipergunakan menyelesaikan kewajiban pemohon pailit dan upaya tersebut masih belum menghasilkan tagihan;

11.Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bahwasanya pemohon telah memenuhi persyaratan untuk diajukan pailit baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditur; 12.Bahwa kewajiban pemohon kepada para penyimpan dana / kreditur (simpanan pokok, simpanan wajib, sinpanan sukarela, dan simpanan berjangka) ada yang sudah jatuh tempo yang merupakan kewajiban pemohon pailit kepada para kreditur lainya apabila ditotal keseluruhannya sebesar Rp 14.408.302.192,- (empat belas milyar empar ratus delapan juta tiga ratus dua ribu seratus sembilan puluh dua rupiah);

13.Bahwa nilai asset pemohon pailit maupun piutang yang sudah jatuh tempo maupun yang belum jatuh tempo keseluruhannya sebesar Rp 13.367.226.866,- (tiga belas milyar tiga ratus enam puluh tujuh juta dua ratus dua puluh enam


(1)

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya yang dikaitkan dengan permasalahan maka dapat disimpulkan sebagai berikut

1. Pengaturan Kepailitan Koperasi Simpan Pinjam Prosedur permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh pengurus koperasi simpan pinjam telah sesuai dengan ketentuan prosedur permohonan pernyataan pailit sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pemenuhan persyaratan permohonan pailit berkaitan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah termohon memiliki utang yang sudah jatuh tempo kepada 2 (dua) kreditur atau lebih. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan bahwa debitur yang memiliki 2 (dua) kreditur atau lebih dan memiliki sedikitnya 1 (satu) utang yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan

2. Kedudukan Debitur Pailit Dengan Berkahirnya Pemberesan. Ada dua cara untuk berakhirnya proses kepailitan, yaitu : dengan pembayaran kembali semua piutang-piutang para kreditur atau dengan tercapainya perdamaian (akkoor) dalam rapat pencocokan piutang (verification), maka proses


(2)

kepailitan berakhir, atau Dalam pelaksanaan, harta kekayaan debitur tidak mencukupi untuk pembayaran kembali semua piutang kreditur.

3. Pemberesan harta pailit merupakan kegiatan penjualan atau menguangkan harta kekayaan debitur pailit. Pernyataan putusan pailit yang diucapkan Pengadilan Niaga untuk memenuhi kewajiban debitur pailit pada para kreditur dengan pelaksanaan pemberesan dilakukan sita umum berdasarkan putusan Pengadilan Niaga yang berada pada daerah hukum. Sita umum dengan melalui lelang dan dapat pula dengan dibawah tangan dengan persetujuan Hakim Pengawas. Pengangkatan Hakim Pengawas dilakukan oleh Majelis HakimPengadilan Niaga yang memeriksa dan memutus perkara kepailitan. Permohonan pernyataan pailit didaftarkan malalui Panitera Pengadilan.

B. Saran

Pada kegiatan akhir pembahasan skripsi ini penulis merasa perlu untuk menuliskan saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan-kesimpulan diatas, yaitu: 1. Untuk menghindari konflik kepentingan antara kreditur dan penyelesai

berkaitan dengan pembubaran koperasi karena koperasi dinyatakan pailit., perlu diatur secara tegas batas-batas kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang mengatur.

2. Pemerintah harus segera membentuk Lembaga Penjamin Koperasi Simpan Pinjam yang menyelenggarakan program penjaminan Simpanan bagi Anggota Koperasi Simpan Pinjam, agar anggota yang menyimpan dananya di koperasi simpan pinjam tidak merasa ragu-ragu atas keamanan dana mereka


(3)

3. Asas-azas yang terkandung dalam Undang-undang Kepailitan dan PKPU yaitu azas keseimbangan, azas kelangsungan, azas keadilan dan integrasi dapat diwujudkan oleh setiap unsur yang menjalankan dalam proses, prosedural, pengurusan dan pemberesan kepailitan


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995

Agus Sudradjat, Kepailitan Dan Kaitannya Dengan Lembaga Perbankan, Makalah Seminar Nasional Lembaga Kepailitan Dalam Pembaharuan Hukum Ekonomi Di Indonesia, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Katolik Soegijapranata, 1996

Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemay, Hukum Koperasi Indonesia, Jakarta: BPFHUI, 2005

Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, dan Herni Sri Nurbyanti, Analisis Hukum Pailitan Indonesia,Kepailitan Di Indonesia, Pusat studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2004

Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Dreksi Atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003

H.B. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif Bagian II, Surakarta: UNS Press, 1988 Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan

Pemberesan Harta Pailit, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004

Ibrahim, Johannes, Hukum Organisasi Perusahaan, Pola Kemitraan dan Badan Hukum, Bandung : Refika Aditama. 2006

Johannes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan – Pola Kemitraan dan Badan Hukum, Bandung : Refika Aditama, 2006.

Jack. P. Friedman, Dictionary Of Businness Terms, Educational Series, New York, USA : Barron’s, Inc, 1987, hlm 289

Koermen, Manajemen Koperasi Terapan, Prestasi Pustaka Raya, Jakarta, 2003 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan,

Jakarta: Rajawali Press, 2003.

Kartini Muljadi, Pengertian dan Prinsip-prinsip Umum Hukum kepailitan, dalam Rudy A. Lontoh (ed), Menyelesaikan Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001

Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, PedomanMenangani Perkara Kepailitan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003


(5)

Kartini Muljadi, Pengertian dan Prinsip-prinsip Umum Hukum kepailitan, dalam Rudy A. Lontoh (ed), Menyelesaikan Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001

Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, PedomanMenangani Perkara Kepailitan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003

Kantor Menteri Negara Urusan Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi, Jakarta, 2001, hlm. 66.

M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktek di Peradilan, Prenada Media Group, Jakarta, 2008

Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pememrintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan, Bandung : Mandar Maju, 1999

Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002

Mariam Darus Badrulzaman, Posisi Hak Tanggungan Dalam Hukum Jaminan Nasional, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. 27 Mei 1996 di Bandung. dan dalam Seminar Nasional Sehari

Pandji Anoraga, dan Ninik Widiyanti, Dinamika Koperasi, Jakarta: Rineka Cipta, 2003

Ronny Hanitijo Sumitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghlmia Indonesia, 1998

R.T. Sutantya Rahardja Hadikusuma,Hukum Koperasi Indonesia,cetakan II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000

Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2008

Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2008

Sjahdeini, Op.cit, hlm.108, mengutip dari Setiawan dalam buku Rudhy A. Lontoh, Denny Kailimang & Benny Ponto [Ed], Penyelesaian Utang Piutang: Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001


(6)

Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002 Setiawan, Kepailitan Serta Aplikasi Kini, Tata Nusa, Jakarta, 1999

Sutan Remy Syahdeni, Hukum Kepailitan, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002Setiawan, Pengertian Jatuh Tempo dan Pembuktian Adanya Dua Kreditur Atau Lebih, Makalah disampaikan pada Lokakarya dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Jakarta

Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002 Setiawan, Kepailitan Serta Aplikasi Kini, Tata Nusa, Jakarta, 1999

Sutan Remy Syahdeni, Hukum Kepailitan,Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002 Setiawan, Pengertian Jatuh Tempo dan Pembuktian Adanya Dua Kreditur Atau

Lebih, Makalah disampaikan pada Lokakarya dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Jakarta, 11 – 12 Juni 2002

Sudargo Gautama, Komentar atas Peraturan Baru Untuk Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998

Untung, Budi, Hukum Koperasi dan Peranan Notaris Indonesia, Yogyakarta, Andi Offset, 2005

B. Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 jo Undang-Undang No. 25 Tahun 192

C. Internet

dalam-koperasi-simpan-pinjam, 16 Maret 2014, pukul 11.01.