Studi Karakter Morfologi dan Fisiologi yang Berkaitan dengan Efisiensi Pemakaian Air Varietas Padi Gogo

STUDI KARAKTER MORFOLOGI DAN FISIOLOGI
YANG BERKAITAN DENGAN EFISIENSI PEMAKAIAN AIR
VARIETAS PADI GOGO

LAILI MUNAWAROH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Karakter Morfologi
dan Fisiologi yang Berkaitan dengan Efisiensi Pemakaian Air Varietas Padi Gogo
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015

Laili Munawaroh
NIM A252120381

RINGKASAN
LAILI MUNAWAROH. Studi Karakter Morfologi dan Fisiologi yang Berkaitan
dengan Efisiensi Pemakaian Air Varietas Padi Gogo. Dibimbing oleh EKO
SULISTYONO dan ISKANDAR LUBIS.
Kebutuhan akan konsumsi pangan beras semakin meningkat dengan
meningkatnya populasi penduduk sedangkan lahan sawah saat ini semakin
mengalami pengurangan luasannya. Untuk itu, telah banyak dikembangkan
pemanfaatan lahan kering pada budidaya tanaman, termasuk budidaya padi lahan
kering (padi gogo). Pengelolaan tanaman di lahan kering umumnya terkendala
oleh ketersediaan air, sebab ketersediaan air hanya bersumber dari hujan dan
kemampuan tanah menahan air. Dalam budidaya padi lahan kering diperlukan
budidaya yang spesifik khususnya penggunaan varietas tanaman yang memiliki
efisiensi pemakaian air yang baik atau varietas-varietas tanaman yang mampu
beradaptasi pada kondisi ketersediaan air yang terbatas. Penelitian mengenai studi

morfologi dan fisiologi yang berkaitan dengan efisiensi pemakaian air varietasvarietas padi gogo perlu terus dikembangkan agar pemanfaatan lahan kering
tersebut dapat optimal.
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober 2013 sampai April 2014 di
rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan IPB, Dramaga, Bogor. Rancangan
penelitian disusun dalam percobaan faktorial dua faktor dengan menggunakan
rancangan acak kelompok. Faktor pertama adalah 5 varietas padi gogo (Inpago 5,
Batutegi, Jatiluhur, Inpago 8 dan Sarinah). Faktor kedua adalah 4 interval irigasi
yaitu 3, 6, 9, dan 12 hari. Dengan demikian terdapat 20 kombinasi perlakuan.
Setiap perlakuan diulang 3 kali dan setiap satuan percobaan terdiri atas 3 media
sehingga keseluruhan terdapat 180 media tanam. Setiap media tanam terdiri atas 3
tanaman contoh (satu rumpun). Tanaman dalam polibag digunakan sebagai
tanaman destruktif yang diamati pada saat masuk fase vegetatif dan fase generatif
berdasarkan karakteristik masing-masing varietas. Tanaman dalam wadah ember
digunakan untuk pengukuran pertumbuhan sampai dengan hasil.
Karakter morfologi, agronomi dan fisiologi padi gogo hemat air adalah
tanaman lebih tinggi, malai lebih panjang, volume akar lebih besar, daun lebih
sempit, evapotranspirasi lebih tinggi, waktu berbunga lebih cepat, daun lebih
hijau, jumlah daun dan jumlah anakan lebih banyak, bobot kering brangkasan
lebih berat, jumlah gabah lebih banyak, bobot 100 butir dan bobot gabah kering
lebih berat. Untuk menghasilkan gabah kering 3.39 ton ha-1, fraksi air tersedia

yang diserap untuk fase primordia, fase inisiasi berbunga dan panen masingmasing adalah 83.36%, 137.14% dan 116.65%. Produktivitas masing-masing
varietas pada interval irigasi 3 hari adalah 3.80 ton ha -1 (Inpago 5), 3.27 ton ha -1
(Batutegi), 3.86 ton ha -1 (Jatiluhur), 3.91 ton ha -1 (Inpago 8) dan 2.12 ton ha -1
(Sarinah).
Kata kunci: Batutegi, evapotranspirasi, fraksi air, produktivitas

SUMMARY
LAILI MUNAWAROH. Study on Morphology and Physiology Characters
Related to Water Use Efficiency of Upland Rice Varieties. Supervised by EKO
SULISTYONO and ISKANDAR LUBIS.
The demand for food consumption of rice increased with the increasing
population, while recently wetland experiencing a great reduction. Therefore, dry
land cultivation has been developed, including cultivation of upland rice. Dry land
crop management in general is constrained by the availability of water, because
source of water are only the rain and the soil's ability to retain water. Upland rice
cultivation required specific cultivation, particularly the use of crop varieties that
have good water-use efficiency or varieties of plants that are able to adapt to the
conditions of limited water availability. Research on morphological and
physiological studies related to water use efficiency of upland rice varieties need
to be developed in order to create optimum utilization of dry land.

The research was conducted from October 2013 to April 2014 in the
greenhouse IPB Experimental Station Cikabayan, Bogor. The research design was
arranged in factorial experiment and using a randomized block design. The first
factor was 5 upland rice varieties (Inpago 5, Batutegi, Jatiluhur, Inpago 8 and
Sarinah). The second factor was 4 irrigation intervals which were 3, 6, 9, and 12
days. Thus there are 20 combinations of treatment. Each treatment was repeated 3
times and each experimental unit consisted of 3 media so that overall there are
180 growing media. Each planting medium consisted of three plant sample (one
family). Plants in polythene bags are used as destructive plants, and were
observed at the time of entry phase of the vegetatife phase and the generative
phase based on the characteristics of each variety. Plants in buckets are used for
the measurement of growth until the generative phase.
Characteristics that assosiated with water saving of upland rices were higher
plant height, longer panicle, larger roots volume, narrower leaves, higher
evapotranspiration, faster flowering phase, greener leaves, higher number of
leaves and tillers, heavier dry matter, higher number of grains, heavier 100 grain
weight and dry weight of grains. The fraction of available absorbed water at
panicle inisiation, flowering inisiation and harvesting phase was 83.36%,
137.14% and 116.65%, respectively, to obtain dry grains of 3.39 ton ha-1.
Productivity of each variety at intervals of 3 days irrigation was 3.80 ton ha-1

(Inpago 5), 3.27 ton ha-1 (Batutegi), 3.86 ton ha-1 (Jatiluhur), 3.91 ton ha-1 (Inpago
8) and 2.12 ton ha-1 (Sarinah).
Keywords: Batutegi, evapotranspiration, productivity, water fraction

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STUDI KARAKTER MORFOLOGI DAN FISIOLOGI
YANG BERKAITAN DENGAN EFISIENSI PEMAKAIAN AIR
VARIETAS PADI GOGO

LAILI MUNAWAROH


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Ahmad Junaedi, MSi

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya
ilmiah yang berjudul “Studi Karakter Morfologi dan Fisiologi yang Berkaitan
dengan Efisiensi Pemakaian Air Varietas Padi Gogo”. Penelitian dilaksanakan
sejak bulan Oktober 2013 hingga April 2014. Sebagian karya ilmiah ini sedang
dalam proses publikasi pada Jurnal Agronomi Indonesia.

Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dr Ir Eko Sulistyono, MSi dan Dr Ir Iskandar Lubis, MS selaku komisi
pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan saran selama masa
penelitian hingga terselesaikannya karya ilmiah ini.
2. Teman-teman Pasca Agronomi dan Hortikultura 2012 yang telah memberikan
motivasi, masukan, dan bantuan.
3. Direktorat Pengelolaan Air Irigasi, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana
Pertanian, Kementerian Pertanian atas kepercayaan dan kesempatan dalam
pendidikan pascasarjana.
4. Segenap keluarga besar, suami dan anak-anak tercinta yang telah memberikan
dukungan dan kasih sayang yang melimpah selama ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan dapat menjadi acuan bagi
penelitian-penelitian selanjutnya.

Bogor, Juni 2015
Laili Munawaroh

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


v

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Hipotesis

1
1
2
2


2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Padi
Kebutuhan Air Tanaman
Respon Tanaman Terhadap Kondisi Defisit Air
Efisiensi Pemakaian Air

3
3
4
5
6

3 BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Bahan dan Alat
Metode

6
6
7

7

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian
Rekapitulasi Sidik Ragam
Karakter Morfologi, Fisiologi dan Agronomi Padi Gogo Hemat Air
Tinggi Tanaman, Jumlah Daun dan Jumlah Anakan
Fase Vegetatif dan Fase Generatif
Hasil dan Komponen Hasil
Kebutuhan Air Tanaman dan Fraksi Air Tersedia yang Diresap Tanaman

10
10
11
13
14
15
17
21


5 SIMPULAN

23

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

28

RIWAYAT HIDUP

40

DAFTAR TABEL
1 Rekapitulasi hasil sidik ragam tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah
anakan

11

2 Rekapitulasi hasil sidik ragam fase vegetatif dan generatif

12

3 Luas daun, panjang akar, berat kering akar, berat kering tajuk 5 varietas
padi gogo dengan interval irigasi yang berbeda pada fase primordia
16
4 Luas daun, panjang akar, berat kering akar, berat kering tajuk 5 varietas
padi gogo dengan interval irigasi yang berbeda pada fase awal berbunga

16

5 Pengaruh interaksi 5 varietas padi gogo dengan interval irigasi yang
berbeda terhadap panjang akar (fase awal berbunga)

17

6 Umur berbunga, nilai kehijauan daun, jumlah anakan produktif, panjang
malai, berat kering akar, berat kering tajuk 5 varietas padi gogo dengan
interval irigasi yang berbeda

18

7 Jumlah gabah isi, jumlah gabah tidak terisi penuh, jumlah gabah hampa,
jumlah gabah per malai 5 varietas padi gogo dengan interval irigasi yang
berbeda

19

8 Persentase gabah isi, persentase gabah tidak terisi penuh, persentase
gabah hampa, bobot 100 butir 5 varietas padi gogo dengan interval irigasi
yang berbeda

20

9 Indeks panen, bobot gabah kering per rumpun dan efisiensi penggunaan
air 5 varietas padi gogo dengan interval irigasi yang berbeda

20

10 Pengaruh interaksi 5 varietas padi gogo dengan interval irigasi yang
berbeda terhadap jumlah gabah hampa, panjang malai dan bobot 100
butir

21

11 Evapotranspirasi, fraksi air yang dapat diserap tanaman dan konversi
gabah per ha 5 varietas padi gogo dengan interval irigasi yang berbeda

22

DAFTAR GAMBAR
1 Jumlah curah hujan di Dramaga Bogor dari bulan Desember 2013 sampai
bulan Maret 2014 (Sumber : Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor)

10

2 Diagram jalur keterkaitan karakter morfologi, agronomi dan fisiologi
dengan EPA
13
3 Pengaruh varietas padi terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah
anakan

15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Deskripsi varietas Inpago 5

28

2 Deskripsi varietas Inpago 8

29

3 Deskripsi varietas Batutegi

30

4 Deskripsi varietas Jatiluhur

31

5 Deskripsi varietas Sarinah

32

6 Data curah hujan harian bulan Desember 2013 – Maret 2014 di daerah
Dramaga Bogor

33

7 Evaporasi panci 3 harian selama penelitian

34

8 Korelasi antar peubah

35

9 Produktivitas masing-masing varietas pada berbagai interval irigasi

39

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air adalah mutlak dibutuhkan oleh semua makhluk hidup termasuk
tumbuhan. Pengairan atau irigasi merupakan proses pemberian air pada tanah
untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Air merupakan kebutuhan yang mutlak
diperlukan oleh tanaman dalam setiap fase pertumbuhannya. Air memiliki
peranan yang sangat penting baik sebagai sumber nutrisi maupun sebagai media
tanam pengganti tanah (Wirosoedarmo et al. 2001) dan lebih dari 80% merupakan
senyawa dari jaringan tumbuh (Ati et al. 2012). Pemberian air pada tanaman
hendaknya dilakukan secara tepat, baik jumlah maupun waktu pemberiannya.
Pengairan pertanian lahan kering ditujukan hanya untuk memberi air pada
tanaman terutama pada saat-saat dibutuhkan (Kurnia 2004).
Perubahan cuaca yang tidak menentu dan isu pemanasan global
dikhawatirkan dapat berakibat pada berkurangnya pasokan air dan juga akan
berdampak pada penurunan produktivitas tanaman khususnya tanaman pangan
padi yang merupakan bahan makanan pokok masyarakat Indonesia (Saleh et al.
2012). Kebutuhan konsumsi pangan beras semakin meningkat dengan
meningkatnya populasi penduduk sedangkan lahan sawah saat ini banyak
mengalami alih fungsi lahan. Untuk mengatasi hal tersebut, saat ini banyak
dikembangkan pemanfaatan lahan kering pada budidaya tanaman dalam upaya
mendukung ketersediaan pangan nasional, termasuk budidaya padi lahan kering
(padi gogo). Lahan potensial tersedia untuk pengembangan padi gogo di Indonesia
adalah sebesar 5,5 juta Ha (Wahyunto dan Shofiyanti 2013) namun produktivitas
lahan kering memang masih belum optimal. Potensi pengembangan padi pada
lahan kering masih sangat diperlukan guna peningkatan produkivitas yang lebih
optimal. Produksi padi gogo di lahan kering berkisar antara 3-8 ton/Ha bila
didukung input dan teknologi yang memadai (Badan Litbang Pertanian 2013).
Budidaya padi lahan kering sangat penting untuk terus dikembangkan guna
mendukung ketahanan pangan nasional.
Pengelolaan tanaman di lahan kering umumnya terkendala oleh ketersediaan
air, sebab ketersediaan air hanya bersumber dari hujan dan kemampuan tanah
menahan air. Budidaya padi lahan kering diperlukan budidaya yang spesifik
khususnya penggunaan varietas tanaman yang memiliki efisiensi pemakaian air
yang baik atau varietas-varietas tanaman yang mampu beradaptasi pada kondisi
ketersediaan air yang terbatas. Penggunaan tanaman yang responsif terhadap
perubahan iklim dalam pertumbuhannya, konsumsi air dan pemanfaatan efisiensi
serta mengeksplorasi mekanisme yang terkait adalah cara yang efektif untuk
keamanan sumber makanan di masa yang akan datang (Wang et al. 2014).
Bouman et al. (2007) pada kondisi lahan kering, salin dan lingkungan rawan
banjir, kombinasi varietas unggul dengan paket manajemen tertentu memiliki
potensi untuk meningkatkan hasil sebesar 50-100% dalam 10 tahun mendatang
dengan investasi penelitian dan penyuluhan yang intensif. Hal tersebut selaras
dengan pernyataan Farooq et al. (2009) bahwa manajemen budidaya padi yang
menghasilkan produksi tinggi dengan sedikit air sangat penting. Oleh sebab itu,

2
peluang untuk meningkatkan produksi tanaman pada pertanian tadah hujan
ditekankan bagaimana memaksimalkan produksi per unit air (Prijono 2008).
Kekeringan merupakan salah satu faktor lingkungan yang besar
pengaruhnya terhadap penurunan produksi tumbuhan. Cekaman kekeringan
terjadi jika (1) curah hujan lebih rendah dari evapotranspirasi ((2) serapan air oleh
akar tidak bisa mengimbangi tingginya evapotranspirasi, atau (3) suplai air irigasi
kurang (Sulistyono et al. 2006, Sulistyono dan Yanuar 2007). Menurut Syafi
(2008) tipe cekaman kekeringan beragam mulai dari radiasi matahari yang
diterima tanaman cukup tinggi sampai pada lahan bermasalah yang mengalami
defisit air, dan kelembaban udara sangat rendah di lingkungan sangat kering.
Cekaman kekeringan dapat menurunkan hasil panen padi 20-25 % (Bouman et al.
2007).
Setiap daerah memiliki karakteristik masing-masing mengenai iklim, curah
hujan maupun lama penyinaran matahari. Indonesia merupakan negara tropis
dengan 2 musiman, memiliki daerah-daerah yang termasuk dalam kategori daerah
kering seperti Nusa Tenggara, Maluku dan Marauke. Dalam pertanian, daerah
kering tidak hanya terpaku pada penanaman secara kering, akan tetapi lebih
merupakan penanaman di daerah bercurah hujan terbatas (Notohadiprawiro 2006).
Penelitian mengenai studi morfologi dan fisiologi yang berkaitan dengan efisiensi
pemakaian air perlu terus dikembangkan agar pemanfaatan lahan kering dapat
optimal dengan penggunaan varietas padi dan manajemen air yang tepat.
Tujuan
1.
2.
3.

Mempelajari karakter morfologi dan fisiologi yang berkaitan dengan efisiensi
pemakaian air.
Mendapat fraksi air tersedia yang dapat diserap oleh beberapa varietas padi
gogo pada beberapa interval irigasi.
Perbedaan respon pertumbuhan dan produksi dari 5 varietas padi gogo
terhadap interval irigasi.
Hipotesis

1.
2.
3.

Terdapat beberapa karakter morfologi dan fisiologi padi gogo hemat air.
Terdapat nilai fraksi air tersedia yang dapat diabsorbsi oleh masing-masing
varietas padi gogo.
Terdapat perbedaan respon pertumbuhan dan produksi dari 5 varietas padi
gogo pada interval irigasi yang berbeda.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Padi
Tanaman padi diklarifikasikan ke dalam Divisio Spermatophyta, dengan
Sub divisio Angiospermae, termasuk ke dalam Kelas Monocotyledoneae, Ordo
adalah Poales, Famili adalah Graminae, Genus adalah Oryza Linn, dan
Speciesnya adalah Oryza sativa L (Vaughan 1989 dalam Rosadi 2013). Tanaman
padi bersifat merumpun, artinya tanaman tersebut menghasilkan anakan yang
tumbuh dari tanaman induk dengan sistem perakaran serabut. Tanaman padi
mempunyai batang yang tersususun dari beberapa ruas (Makarim dan Suhartatik
2009). Ruas-ruas ini merupakan bumbung kosong yang ditutup oleh buku dan
panjang ruasnya tidak sama. Ruas yang terpendek berada di pangkal batang, ruas
yang kedua dan seterusnya lebih panjang dari ruas-ruas yang lebih bawah. Pada
buku bagian bawah dari ruas, tumbuh daun pelepah yang membalut ruas sampai
buku bagian atas. Tepat pada buku bagian atas ujung daun pelepah
memperlihatkan percabangan dimana cabang yang terpendek menjadi ligule
(lidah) daun, dan bagian yang terpanjang dan terbesar menjadi helaian daun. Daun
pelepah itu menjadi ligule dan pada helaian daun terdapat embel sebelah kiri dan
kanan yang disebut auricular. Auricular dan ligule dapat digunakan dalam
mengidentifikasi suatu varietas dengan warnanya, yang kadang-kadang bewarna
hijau atau ungu. Daun pelepah yang membalut ruas yang paling atas batang
umumnya disebut daun bendera. Tepat dimana daun pelepah teratas menjadi
ligule dan daun bendera, disitulah timbul ruas yang menjadi bulir padi (De Datta
1981).
Tanaman padi selama hidupnya melalui 3 fase: (1) fase vegetatif (saat benih
berkecambah sampai dengan inisiasi primordia malai), (2) reproduktif (dimulai
dari inisiasi primordia malai sampai berbunga), dan (3) pemasakan (dimulai dari
berbunga sampai panen). Lama fase vegetatif tidak sama untuk setiap varietas,
sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan umur panen, sedangkan fase
reproduktif dan fase pemasakan umumnya sama untuk setiap varietas (Makarim
dan Suhartatik 2009). Fase vegetatif ditandai oleh pembentukan anakan aktif,
yaitu pertambahan anakan yang cepat sampai tercapai anakan yang maksimal,
bertambah tingginya tanaman, dan daun tumbuh secara teratur. Fase reproduktif
ditandai dengan memanjangnya ruas batang, berkurangnya pertambahan jumlah
anakan, munculnya daun bendera, bunting, dan pembungaan, Inisiasi primordia
malai biasanya dimulai 30 hari sebelum pembungaan. Pembungaan (heading)
adalah stadia keluarnya malai sedangkan antesis mulai bila benangsari bunga
paling ujung pada tiap cabang malai telah keluar. Setelah antesis, gabah
mengalami pemasakan yang terdiri dari masak susu, masak tepung, menguning,
dan masak panen. Fase pemasakan ditandai dengan menuanya daun dan
pertumbuhan biji/gabah, yaitu bertambahnya ukuran biji, berat, dan perubahan
warna (Ismunadji 1993).

4
Kebutuhan Air Tanaman
Jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhannya berbedabeda pada tiap jenis tanaman. Pengairan atau irigasi merupakan proses pemberian
air pada tanah untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Pengairan bertujuan untuk
memberikan tambahan air pada air hujan dalam jumlah yang cukup dan pada
waktu diperlukan tanaman (Kurnia 2004). Proses fisiologi yang berlangsung
dalam tanaman banyak berkaitan dengan air atau bahan-bahan (senyawa atau ion)
yang terlarut di dalam air. Air masuk ke dalam tanaman melalui fungsi kerja akar
berdasarkan perbedaan gradien tekanan. Air bergerak dari potensial air tinggi ke
potensial air rendah. Proses pergerakan air tersebut dalam rangka pemenuhan
kebutuhan air tanaman untuk proses metabolismenya, baik dalam proses
fotosintesis, respirasi maupun transpirasi. Kebutuhan air tanaman didefinisikan
sebagai besarnya jumlah air yang hilang melalui proses evapotranspirasi.
Evapotranspirasi tanaman adalah jumlah total air tanah yang digunakan untuk
transpirasi oleh tanaman dan penguapan dari permukaan tanah di sekitarnya (FAO
1985).
Kebutuhan air tanaman dipengaruhi oleh besarnya evaporasi dan transpirasi.
Jumlah air yang harus diberikan untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi dan
untuk menghindari kelebihan air harus disesuaikan dengan kemampuan tanah
memegang air. Metoda tidak langsung penentuan kebutuhan air tanaman (ETc)
yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan nilai evapotranspirasi acuan
(ETo) yang berdasarkan kepada data iklim atau cuaca, kemudian dikalikan dengan
faktor koefisien tanaman (Kc). Metoda penentuan ETo antara lain metoda Blaney
dan Criddle, metoda Penman dan metoda Penman-Monteith. Dari uji yang
dilakukan oleh FAO, metoda Penman-Monteith memberikan hasil kebutuhan air
tanaman yang lebih mendekati dengan pengukuran langsung (Savva and Frenken
2002). Untuk mendapatkan kualitas hasil yang maksimum dan lebih baik,
tanaman ditanam di rumah kaca dan dengan perlakuan manajemen air yang baik.
Dengan metoda tanam seperti ini, efisiensi penggunaan air dan pupuk dapat
dicapai lebih tinggi, sehinggga sangat sesuai untuk mengatasi masalah
sumberdaya dan lingkungan yang semakin menguat akhir-akhir ini (Sapei dan
Soon 2008). Tekstur tanah dan penguapan menjadi faktor utama yang
mempengaruhi respon transpirasional defisit air (Wu et al. 2010a).
Hasil penelitian Nurhayati (2009) memerlihatkan bahwa cekaman air
berpengaruh nyata terhadap jumlah kebutuhan air kumulatif tanaman kedelai,
tinggi tanaman umur 15, 30 dan 45 hari setelah tanam (HST), panjang akar, berat
kering akar, berat kering berangkasan, jumlah polong, jumlah polong berisi dan
berat kering biji pertanaman. Jumlah kebutuhan air kumulatif tanaman umur 8 –
90 HST tergantung pada keadaan kadar air tanah tersedia, semakin tinggi kadar air
tanah semakin banyak air yang digunakan untuk evapotranspirasi. Hal tersebut
menggambarkan bahwa cekaman air dalam tanah mempengaruhi volume air yang
dibutuhkan tanaman kedelai. Selanjutnya pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai
tertinggi diperoleh pada kandungan air 100% kapasitas lapang dan berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya. Perlakuan cekaman air memberikan respon yang
berbeda antar perlakuan. Persentase kadar air tanah tertinggi memberikan respon
terbesar dan semakin menurun dengan rendahnya persentase kadar air tanah.

5
Berdasarkan penelitian Fauzi (2012) dengan sistem gogo dihasilkan nilai
efisiensi konsumsi air tertinggi dibandingkan sistem konvensional maupun
intermitten. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Sumardi (2007) yaitu
pengelolaan air selama periode pertumbuhan vegetatif pada sekitar kapasitas
lapang memberikan hasil gabah per rumpun 124.93 g, sedangkan yang digenangi
terus-menerus sedalam 2 cm memberikan hasil sebesar 99.19 g. Tingkat efisiensi
penggunaan air juga berbeda menurut lokasi. Berdasarkan hasil penelitian Budi
dan Kartaatmadja (2002) pada wilayah tengah memiliki efisiensi penggunaan air
tertinggi dibandingkan pada wilayah hulu maupun hilir. Nilai efisiensi
penggunaan air merupakan indeks yang dapat digunakan dalam menilai adaptasi
tanaman terhadap kekeringan.
Respon Tanaman Terhadap Kondisi Defisit Air
Respon suatu tanaman terhadap kondisi lingkungan sekitarnya akan
berpengaruh terhadap produktivitasnya. Salah satunya yaitu respon terhadap
cekaman kekeringan yang merupakan istilah untuk menyatakan bahwa tanaman
mengalami kekurangan suplai air dari lingkungannya yaitu media tanam.
Kekurangan air (water deficit) akan mengganggu keseimbangan kimiawi dalam
tanaman yang berakibat berkurangnya hasil fotosintesis atau semua proses-proses
fisiologis berjalan tidak normal (Harwati 2007). Cekaman air juga dapat
menurunkan kandungan klorofil pada kloroplas, mesofil pada sel yang aktif
berfotosintesis. Respon penurunan kandungan klorofil yang diteliti oleh Yusnaeni
(2002) pada tanaman Hoya (Asclepiadaceae) menunjukkan bahwa kandungan
klorofil menurun pada perlakuan penyiraman setiap minggu dibandingkan dengan
penyiraman setiap hari.
Sumber genetik ketahanan akan kekeringan telah diidentifikasi pada semua
padi khususnya mengenai identifikasi dan pemetaan genetik guna peningkatan
genetik adaptik kekeringan (Serraj et al. 2009). Keberhasilan tanaman untuk
tumbuh dalam kondisi defisit air menunjukkan kemampuan tanaman dalam
menghemat air dalam jaringan internalnya (Loustau et al. 2001). Berdasarkan
penelitian Supijatno et al. (2012) mengenai evaluasi konsumsi beberapa genotipe
padi, varietas jatiluhur merupakan varietas yang paling efisien dalam penggunaan
air. Dilihat dari karakter daunnya, varietas jatiluhur memiliki daun yang tebal,
jumlah stomata yang sedikit serta indek luas daun yang kecil. Ketebalan daun
berhubungan dengan ketebalan lapisan kutikula yang mampu mengurangi
kehilangan air. Efisiensi transpirasi didorong oleh sifat tanaman yang mengurangi
transpirasi dan air yang digunakan selama pertumbuhan hingga mencapai
produksi (Blum 2009). Hasil penelitian Setiawan et al. (2013) respon tanaman
nilam terhadap cekaman air terlihat pada menurunnya konduktivitas stomata, laju
transpirasi dan kandungan air nisbi.
Penggulungan daun merupakan respon awal tanaman padi terhadap
cekaman kekeringan diikuti dengan mengeringnya daun. Penggulungan daun
merupakan mekanisme penghindaran terhadap kekeringan (drought avoidence)
yang berkaitan dengan kemampuan penyesuaian laju transpirasi untuk
mempertahankan potensial air daun tetap tinggi pada kondisi kekeringan. Varietas

6
dengan skor penggulungan dan kekeringan daun yang tinggi memiliki indeks
toleransi kekeringan yang rendah (Tubur et al. 2012).
Efisiensi Pemakaian Air
Pengelolaan air sangat penting dalam budidaya tanaman, termasuk juga
pada tanaman padi. Padi mempunyai kebutuhan air yang berbeda di tiap fase
tumbuhnya. Padi gogo merupakan jenis tanaman yang tahan pada kondisi lahan
kering, namun kebutuhan air tanaman tersebut tetap harus terpenuhi guna
menghasilkan produksi yang optimal. Hubungan antara kebutuhan air dan
penggunaan air yang efisien sangat erat hubungannya dengan pencapaian produksi
yang optimal. Evapotranspirasi yang tinggi melebihi curah hujan atau pada saat
tidak adanya air hujan, produksi dan pertumbuhan tanaman tergantung pada air
yang tersedia di tanah (Guan et al. 2014; Li et al. 2011; Solichatun et al. 2005).
Efisiensi penggunaan air ditentukan setelah mendapatkan besarnya
evapotranspirasi tanaman. Proses evapotranspirasi terdiri dari dua proses terpisah:
transpirasi (T) dan evaporasi (E). Transpirasi adalah terjadinya kehilangan air ke
atmosfer dari lubang kecil pada permukaan daun, yang disebut stomata. Evaporasi
atau penguapan adalah air menguap atau "hilang" dari tanah basah dan permukaan
tanaman (Al-Kaisi and Broner 2009; Sheriff and Muchow 1992). Efisiensi
penggunaan air dapat ditingkatkan dengan meningkatkan efisiensi pengangkutan
air dan sistem aplikasi serta mengoptimalkan waktu dan distribusi irigasi (Stanhill
1986), sedangkan Boutfiras (2007) menyatakan bahwa efisiensi penggunaan air
dapat dicapai melalui perbaikan tanaman dengan meningkatkan efisiensi
transpirasinya. Hasil penelitian Dalal et al. (2011) dengan peningkatan efisiensi
penggunaan air dapat meningkatkan produksi gandum 8 kg ha -1 mm-1 sampai 12
kg ha-1 mm-1. Nilai efisiensi transpirasi padi adalah dalam kisaran yang lebih
rendah dibandingkan dengan sereal gandum kecil lainnya (Haefele et al. 2009).
Nilai efisiensi penggunaan air irigasi (EPAI) akan meningkat sesuai dengan
pertambahan source seperti jumlah daun, lebar daun, dan jumlah anakan pada padi
(Sulistyono et al. 2005). Hasil penelitian Sulistyono dan Juliana (2014) pada
tanaman cabai menunjukkan bahwa perlakuan dengan jumlah daun terbesar
menghasilkan bobot kering tanaman yang lebih besar dan juga meningkatkan nilai
EPAI.

3 METODE
Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian dilakukan di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan, University
Farm, dan Laboratorium Pascapanen Departemen Agronomi dan Hortikultura,
Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2013
sampai dengan bulan April 2014.

7
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih padi gogo 5
varietas yang berasal dari BB Padi Sukamandi dan Balitpa Muara, Ciomas –
Bogor. Bahan lainnya yang digunakan ialah pupuk anorganik berupa Urea, SP-36,
KCl, insektisida, fungisida dan media tanah. Alat yang digunakan adalah polibag
ukuran 40 cm x 45 cm, ember (diameter permukaan 22 cm) yang didesain sebagai
lisimeter sederhana, panci evaporasi dengan diameter 55 cm dan ketinggian air 40
cm, gelas ukur 500 mL dan 1 000 mL, timbangan analitik kapasitas 1 000 g dan
50 kg, Leaf Area Meter untuk mengukur indeks luas daun, SPAD untuk
pengamatan nilai kehijauan daun.
Metode
Rancangan penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK)
dengan 2 faktor perlakuan, yaitu varietas dan interval irigasi. Varietas yang
digunakan yaitu varietas Inpago 5, Batutegi, Jatiluhur, Inpago 8 dan Sarinah,
sedangkan interval irigasi yang digunakan 4 taraf yaitu 3, 6, 9, dan 12 hari,
sehingga terdapat 20 kombinasi perlakuan. Setiap perlakuan diulang 3 kali dan
setiap satuan percobaan terdiri atas 3 wadah sehingga keseluruhan terdapat 180
wadah tanaman. Tanaman yang ditanam dalam polibag digunakan sebagai
tanaman destruktif yang diamati pada saat masuk fase primordia dan fase awal
berbunga berdasarkan karakteristik masing-masing varietas. Tanaman dalam
wadah ember digunakan sebagai lisimeter sederhana, serta pengamatan hingga
panen.
Model linear untuk rancangan yang digunakan adalah:
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij +

k

+

ijk

Keterangan:
Yijk
µ
αi
βj
(αβ)ij
k
ijk

: Respon pengamatan dari perlakuan varietas ke-i, interval
irigasi ke-j, dan ulangan ke-k
: Rataan umum
: Pengaruh perlakuan varietas ke-i (i: 1, 2, 3, 4, 5)
: Pengaruh perlakuan interval irigasi ke-j (j: 1, 2, 3, 4)
: Pengaruh interaksi perlakuan varietas ke-i dengan interval
irigasi ke-j
: Pengaruh ulangan ke-k (k: 1,2,3)
: pengaruh galat percobaan perlakuan varietas ke-i, interval
irigasi ke-j, dan ulangan ke-k

Analisis ragam dilakukan terhadap semua peubah untuk mengetahui apakah
ragam disebabkan oleh perlakuan. Jika analisis ragam (uji F) menunjukkan
pengaruh perlakuan nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range
Test (DMRT) untuk membedakan antara varietas dan interval irigasi. Selain itu
juga dilakukan uji korelasi antar peubah. Pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan software SAS.

8
Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan di rumah kaca. Ember (22 L) pada bagian dasar dilubangi
dengan diameter lubang 2 cm untuk menampung air perkolasi (sebagai lisimeter
sederhana). Polybag (40 cm x 45 cm) dan ember (22 L) diisi dengan media tanah
dengan volume media setiap wadah adalah 10 kg. Kapasitas lapang dan titik layu
permanen dari tanah yang digunakan adalah 35.37% dan 22.69% bobot kering.
Khusus untuk media ember pada bagian bawah diberi alas bata agar terdapat
ruang untuk meletakkan penampung air perkolasi.
Benih ditanam langsung sebanyak 6 benih per lubang. Penyulaman
dilakukan 1 minggu setelah tanam (MST) pada tanaman yang tidak tumbuh, dan
setelah 2 MST dilakukan penjarangan sehingga per media tanam terdiri atas 3
tanaman (satu rumpun). Ember tanpa tanaman juga dilakukan penyiraman sesuai
dengan perlakuan interval air irigasi untuk mendapatkan nilai evaporasi.
Pada awal penanaman semua satuan percobaan diari sama. Perlakuan
interval irigasi dimulai pada 3 MST dengan mengembalikan tanah pada kondisi
kapasitas lapang. Kelebihan air irigasi yang diberikan akan ditampung pada
wadah penampung air perkolasi yang diletakkan di bawah ember. Pemupukan
Urea, SP-36 dan KCl dengan dosis setara 250 kg, 100 kg dan 50 kg ha-1 1 MST,
khusus pupuk Urea diberikan 2 tahap yaitu 1 MST dan 4 MST. Pengendalian
hama dan penyakit dilakukan sesuai dengan tingkat serangan dilapangan.
Pemanenan dilakukan dengan melihat gejala kematangan gabah yang ditandai
dengan gabah menguning penuh dan bulir padi telah bernas sesuai dengan kriteria
masing-masing varietas.
Analisis tanah untuk menentukan kapasitas lapang dan layu permanen
dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah Departemen Ilmu Tanah IPB.
Pengukuran destruktif tanaman dan analisis komponen hasil dilakukan di
Laboratorium Pascapanen Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pengamatan
Pengamatan data dasar
Berat kering tanah per pot dihitung berdasarkan berat tanah per pot
masing-masing 10 kg dan pada saat yang sama ditentukan kadar air tanahnya
dengan metode grafimetri yaitu 34.36 %, jadi berat kering tanah setiap pot adalah
7.46 kg. Penentuan berat kering tanah dengan rumus :
KA = (BB – BK) x 100%
BK
Keterangan: KA = kadar air
BB = berat basah
BK = berat kering
Kadar air kapasitas lapang adalah 35.37 % (2,54 Pf) dan titik layu
permanen 22.69 % (4,2 Pf), yang ditentukan di laboratorium fisika tanah Institut
Pertanian Bogor.
Pengamatan evapotranspirasi
Evapotranpirasi diukur berdasarkan neraca air pada lisimeter yaitu Irigasi =
Evapotranspirasi + perkolasi + Δε. Δε merupakan perubahan kelembaban tanah
nilainya sama dengan nol karena kelembaban tanah awal dan akhir sama yaitu

9
kapasitas lapang. Evaporasi diamati dari lisimeter tanpa tanaman setiap satuan
percobaan. Transpirasi diperoleh dengan pengurangan evapotranspirasi dengan
evaporasi. Efisiensi pemakaian air dihitung berdasarkan nisbah produksi gabah
kering giling dengan nilai evapotranspirasi.
Pengamatan pertumbuhan vegetatif
Parameter pertumbuhan vegetatif yang diamati adalah tinggi tanaman,
jumlah daun dan jumlah anakan dihitung tiap minggu sejak tanaman berumur 3
MST hingga 8 MST. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dari permukaan tanah
hingga daun tertinggi. Jumlah daun dan jumlah anakan dihitung per rumpun dari
tanaman sampel. Daun yang dihitung adalah daun yang masih hijau. Luas daun,
nilai kehijauan daun dan pengamatan akar diamati pada umur tanaman fase
primordia dan fase awal berbunga (tanaman destruktif). Pengamatan akar meliputi
volume akar dan panjang akar.
Hasil dan komponen hasil
Hasil dan komponen hasil yang diamati adalah jumlah anakan produktif,
dihitung sejak pembentukan malai berdasarkan jumlah anakan yang menghasilkan
malai. Umur berbunga (hari), umur berbunga diamati pada saat tiap varietas
menghasilkan bunga. Panjang malai (cm), diukur pada saat panen dari pangkal
hingga ujung malai, jumlah bulir permalai dihitung dari 3 malai per rumpun.
Bobot kering gabah per rumpun (g) ditentukan dengan menimbang total gabah di
setiap rumpun setelah kering angin selama 3 hari. Bobot 100 butir (g), ditentukan
dengan menimbang 100 gabah bernas dari setiap rumpun setelah dijemur 3 hari.
Jumlah gabah hampa, jumlah gabah tidak terisi penuh dan jumlah gabah isi.
Persen gabah hampa (%), dihitung setelah panen dengan membandingkan bobot
gabah hampa terhadap berat gabah total. Pemisahan gabah hampa, gabah tidak
terisi penuh dan gabah isi adalah secara manual. Bobot basah dan bobot kering
tajuk dan akar tanaman (g) diamati pada saat fase primordia, fase awal berbunga
dan pada saat panen. Bobot basah tajuk dan akar tanaman ditimbang pada saat
panen, sedangkan bobot kering tajuk dan akar ditimbang setelah dikeringkan
dalam oven pada suhu 80 0C selama 48 jam.
Indeks panen ditentukan berdasarkan persamaan:
Indeks Panen = Bobot kering gabah
Bobot kering tajuk
Fraksi air tersedia yang dapat diserap tanaman
Fraksi air tersedia yang dapat diserap tanaman (f) dapat dihitung
berdasarkan rumus :
F
=
ET
KL – TLP
Keterangan : F
= Fraksi air tersedia yang dapat diserap tanaman (%)
ET = Evapotranspirasi (ml/pot) setiap interval irigasi
KL = Kapasitas lapang (ml/pot)
TLP = Titik layu permanen (ml/pot)

10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian

Curah hujan (mm)

Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2013 sampai April 2014,
penanaman dilakukan pada 2 November 2013. Lokasi penelitian yaitu di rumah
kaca University Farm Cikabayan, Dramaga Bogor. Secara umum, kondisi
tanaman padi pada awal pertumbuhan baik, namun pada saat tanaman berumur 4
MST (minggu setelah tanam) mulai terlihat gejala daun mulai menggulung pada
tahap awal yaitu mulai menunjukkan lipatan terutama varietas Inpago 5, Inpago 8
dan Sarinah pada perlakuan interval irigasi 12 hari. Gejala daun menggulung lebih
terlihat lagi pada saat tanaman berumur 6 MST dimana hampir semua varietas
menunjukkan gejala tersebut terutama pada perlakuan penyiraman dengan interval
9 dan 12 hari. Gejala daun mulai mengering mulai terlihat pada umur tanaman 6
MST setelah kejadian daun menggulung.
800

600
400
CH

200
0
Des-13

Jan-14

Feb-14

Mar-14

Bulan
Gambar 1 Jumlah curah hujan di Dramaga Bogor dari bulan Desember 2013
sampai bulan Maret 2014 (Sumber : Stasiun Klimatologi Dramaga
Bogor)
Saat tanaman berumur 10 MST terjadi serangan jamur dan pada saat
tanaman berumur 15 MST terjadi serangan kutu daun dan ulat. Untuk mengatasi
masalah jamur dan serangan hama dilakukan penyemprotan fungisida dan
insektisida setiap minggu sejak serangan terjadi sampai umur tanaman 18 MST.
Serangan hama dan penyakit terutama jamur terjadi dikarenakan selama masa
penelitian merupakan musim penghujan dengan intensitas yang cukup tinggi
terutama pada fase awal pertumbuhan, sehingga jamur dan hama penyakit
berkembang dengan pesat (gambar 1). Hal ini sesuai dengan penelitian Hutapea
(2011) yang menyatakan bahwa periodesitas timbulnya suatu hama erat
hubungannya dengan periodesitas curah hujan tahunan dan perubahannya. Dalam
rumah kaca, suhunya lebih tinggi dan kelembaban rendah dibandingkan suhu dan
kelembaban udara di luar rumah kaca sehingga berpengaruh terhadap tumbuhnya
serangan hama (Rosadi 2013). Panen dilakukan secara bertahap yaitu pada
tanaman yang telah menunjukkan gabah telah menguning dan bernas atau pada
tanaman yang mengalami kekeringan permanen. Panen pertama kali yang
dilakukan pada penelitian ini adalah pada umur tanaman mencapai 20 MST pada

11
beberapa tanaman yang telah menunjukkan gejala gabah menguning penuh dan
bulir sudah bernas.
Rekapitulasi Sidik Ragam
Hasil sidik ragam didapatkan hasil bahwa varietas padi dan interval irigasi
memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah
daun, dan jumlah anakan (Tabel 1).
Tabel 1 Rekapitulasi hasil sidik ragam tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah
anakan
Peubah
Tinggi tanaman (cm)
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
9 MST
10 MST
11 MST
12 MST
Jumlah daun
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
9 MST
10 MST
11 MST
12 MST
Jumlah anakan
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
9 MST
10 MST
11 MST
12 MST

Var

P>F
Int

Var*Int