Respon Morfologi, Fisiologi Dan Komponen Hasil Beberapa Varietas Padi Terhadap Cekaman Suhu Tinggi

RESPON MORFOLOGI, FISIOLOGI DAN KOMPONEN
HASIL BEBERAPA VARIETAS PADI TERHADAP CEKAMAN
SUHU TINGGI

JUMIATUN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Respon Morfologi,
Fisiologi dan Komponen Hasil Beberapa Varietas Padi terhadap Cekaman Suhu
Tinggi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2016

Jumiatun
NIM A252130211

RINGKASAN
JUMIATUN. Respon Morfologi, Fisiologi dan Komponen Hasil Beberapa
Varietas Padi terhadap Cekaman Suhu Tinggi. Dibimbing oleh AHMAD
JUNAEDI, ISKANDAR LUBIS dan MUHAMAD ACHMAD CHOZIN.
Peningkatan suhu global akibat perubahan iklim memberikan dampak
negatif terhadap tanaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari respon
morfologi, fisiologi dan hasil beberapa varietas padi yang ditanam pada sistem
sawah terhadap cekaman suhu tinggi. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni
2014 sampai dengan Februari 2015 di Kebun Percobaan Cikarawang, Kecamatan
Dramaga, Kabupaten Bogor dan Laboratorium Pasca Panen IPB. Rancangan
penelitian yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) tersarang
(nested) dengan dua faktor perlakuan yaitu faktor pertama adalah perbedaan suhu
dan faktor kedua adalah varietas padi. Satuan percobaan diulang sebanyak tiga
kali, dimana ulangan tersarang pada faktor utama. Perbedaan suhu terdiri atas 3

taraf perlakuan suhu sebagai petak utama dengan suhu rata-rata harian 28.3 ˚C
(T1), 32.1 ˚C (T2), dan 33.1 ˚C (T3). Suhu tinggi pada penelitian ini diperoleh dari
modifikasi rumah plastik dengan pemberian mulsa dan fentilasi. Varietas yang
digunakan sebagai anak petak adalah Ciherang, Menthik Wangi, IPB 3S, IR 64,
Silungonggo, Jatiluhur, Way Apo Buru dan HIPA 14.
Benih padi disemai pada tray persemaian selama 14 hari. Penanaman padi
dilakukan di dalam polibag berukuran 35 x 40 cm dengan volume media tanam 7
l/polibag. Setiap unit percobaan terdiri atas 6 tanaman yang disusun di dalam bak
tanam berukuran 2.5 m x 2.0 m x 0.3 m. Padi ditanam dengan sistem sawah yaitu
menjaga permukaan air sampai 2 cm di atas polibag. Tanaman mendapat
perlakuan suhu tinggi pada umur 56 sampai dengan 130 HSS (hari setelah semai).
Suhu udara dan suhu tanah diukur menggunakan Thermo recorder (TR-71U,
TandD, Japan). Alat ini merekam suhu setiap 30 menit. Pengukuran ini dilakukan
dari awal perlakuan 56 sampai dengan 130 hari setelah semai.
Hasil penelitian menunjukkan perlakuan suhu tinggi sejak 56 hari setelah
semai (HSS) berpengaruh nyata pada peubah panjang malai, kerapatan stomata
dan nilai SPAD. Cekaman suhu rata-rata harian 32.1 ˚C pada tanaman padi dapat
menurunkan hasil berkisar 68.1% sampai dengan 92.0% Perlakuan suhu rata-rata
harian 32.1 ˚C dan 33.1 ˚C menurunkan panjang malai, meningkatkan kerapatan
stomata dan nilai SPAD. Interaksi antara suhu dan varietas berpengaruh nyata

terhadap peubah jumlah anakan, jumlah malai, umur berbunga, umur panen, bobot
tajuk, suhu daun, laju transpirasi, laju fotosintesis, jumlah gabah malai-1,
persentase gabah isi, bobot gabah isi, bobot gabah isi tidak penuh, bobot gabah
hampa dan bobot 1 000 bulir. Varietas yang toleran terhadap suhu tinggi adalah
varietas yang memiliki karakter eksersi malai yang sempurna, suhu daun yang
lebih rendah dan persentase gabah isi yang tinggi. Varietas IR 64 memiliki suhu
daun lebih rendah, Menthik Wangi dan Jatiluhur memiliki eksersi malai sempurna
tetapi persentase gabah isi rendah.
Kata kunci : Pemanasan global, pengisian bulir, sterilitas gabah, eksersi malai.

SUMMARY
JUMIATUN. Morphology, Physiology and Component Yield Responses of Some
Rice Varieties Exposed under High Temperature. Supervised by AHMAD
JUNAEDI, ISKANDAR LUBIS and MUHAMAD ACHMAD CHOZIN.
Increasing temperature caused by global warming can affect on plants
growth and production, including rice plant. The purpose of this research was to
determine morphology, physiology and yield of some rice varieties exposed under
high temperature. The research was conducted in Cikarawang field station and
post harvest laboratory IPB, Bogor from June 2014 to February 2015. This
experiment used randomized block design (RBD) nested with two treatment

factors, they were difference of temperature and rice varieties. The difference of
temperatures were three levels of temperatures as the main plot with the daily
average air temperature of 28.3 ºC (T1), 32.1 ºC (T2), and 33.1 ºC (T3). The
difference of temperature were created through arrangement of plastic house by
mulch application and controlling the air ventilation. Rice varieties as the sub plot
consisted of Ciherang, Methik Wangi, Silungonggo, Way Apo Buru, IPB 3S,
Jatiluhur, IR 64 and HIPA 14.
The seedling of each varieties was planted in the seedling trays for 14
days. Rice were transplanted into polybag 35 x 40 cm with planting media volume
7 l / polybag. Each experimental unit consisted of 6 plants arranged in a planting
container measuring 2.0 x 1.8 x 0.3 m. Rice was planted with lowland systems
that keep the water level up to 2 cm above the polybag. Air and soil temperature
was measured using Thermo recorder (TR-71U, TandD, Japan). This
measurement was conducted from the beginning of treatment 56 days after
seeding (DAS) until harvest.
The results showed high temperature treatment since 56 days after seeding
(DAS) did not significantly affect plant height, however there were significantly
different in panicle length, stomatal density and SPAD value. High temperature
stress with average temperature of 32.1 ˚C decrease yield 68.1% until 92.0%.
Average temperature treatment 32.1 ˚C and 33.1 ˚C decrease panicle length,

increasing stomatal density and SPAD value. The interaction between temperature
and varieties significantly affected the number of tillers, number of productive
tillers, flowering, harvesting time, leaf temperature, transpiration rate,
photosynthesis rate, spkelet panicle-1, seed set, grain weight and weight of 1000
grains. Varieties which tolerant to high temperatures had well exsertion of panicle,
the lower leaf temperature and the high percentage of filled grain. IR 64 has the
lowest leaf temperature, Menthik Wangi and Jatiluhur had well exsertion of
panicle but still have low percentage of filled grain.
Keywords : Global warming, exsertion panicles, grain filling, spikelet sterility

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


RESPON MORFOLOGI, FISIOLOGI DAN KOMPONEN
HASIL BEBERAPA VARIETAS PADI TERHADAP CEKAMAN
SUHU TINGGI

JUMIATUN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Supijatno MSi

PRAKATA


Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya
ilmiah yang berjudul Respon Morfologi, Fisiologi dan Komponen Hasil Beberapa
Varietas Padi terhadap Cekaman Suhu Tinggi.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1. Dr Ir Ahmad Junaedi MSi, Dr Ir Iskandar Lubis MS dan Prof Dr Ir Muhamad
Achmad Chozin MAgr selaku komisi pembimbing yang telah memberi saran,
perbaikan, dukungan materi dan nonmateri dalam pelaksanaan penelitian dan
penulisan karya ilmiah ini.
2. Dr Ir Supijatno MSi selaku dosen penguji yang banyak memberikan saran dan
perbaikan untuk kesempurnaan karya ilmiah ini.
3. Ditjen DIKTI atas beasiswa pendidikan dan dana penelitian yang telah
diberikan.
4. Keluarga tercinta Bapak, Ibu dan adik-adik atas doa, dukungan motivasi dan
kasih sayang yang telah diberikan selama ini.
5. Pak Amit, εember’s δaboratorium bimbingan Bapak Junaedi, Rice Team dan
teman-teman PASCA AGH 2013 yang telah banyak membantu kegiatan
selama di lapangan dan di laboratorium.
6. Pondokan Malea Putri bawah dan group belajar excellent yang selalu

memberikan dukungan motivasi selama proses penelitian sampai dengan
penyusunan tesis ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi ilmu
pengetahuan sebagai bahan rujukan bagi para pihak yang memerlukan.
Bogor, April 2016

Jumiatun

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN


xiii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis

15
15
16
16

TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Padi
Peningkatan Suhu Global dan Dampaknya bagi Pertanian
Respon Tanaman terhadap Cekaman Suhu Tinggi
Mekanisme Toleran terhadap Cekaman Suhu Tinggi

17
17

18
18
20

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Metode
Pelaksanaan Penelitian
Pengamatan
Analisis Data

20
21
21
21
22
22
23


HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Respon Morfologi
Respon Fisiologi
Komponen Hasil

24
24
25
29
32

SIMPULAN DAN SARAN

36

DAFTAR PUSTAKA

37

LAMPIRAN

40

DAFTAR TABEL
1 Respon tanaman padi terhadap cekaman suhu tinggi pada stadia
pertumbuhan tanaman
2 Respon agronomi dan fisiologi pada tanaman serealia terhadap suhu tinggi
3 Stadia tanaman padi pada saat mendapat perlakuan suhu tinggi
4 Tinggi tanaman beberapa varietas pada perlakuan suhu tinggi
5 Jumlah anakan pada interaksi perlakuan suhu tinggi dan varietas
6 Bobot kering tajuk pada interaksi perlakuan suhu tinggi dan varietas
7 Umur berbunga dan umur panen pada interaksi perlakuan suhu tinggi dan
varietas
8 Kerapatan stomata dan kehijauan daun (SPAD) beberapa varietas pada
umur 63 HSS pada perlakuan suhu tinggi
9 Suhu daun, laju transpirasi dan fotosintesis pada umur 63 HSS pada
interaksi perlakuan suhu tinggi dan varietas
10 Panjang malai pada perlakuan suhu tinggi dan varietas
11 Jumlah malai pada interaksi perlakuan suhu tinggi dan varietas
12 Jumlah gabah per malai dan persentase gabah isi pada interaksi
perlakuansuhu tinggi dan varietas
13 Bobot gabah isi, bobot gabah isi tidak penuh dan bobot gabah hampa
pada interaksi perlakuan suhu tinggi dan varietas
14 Bobot 1 000 bulir pada interaksi perlakuan suhu tinggi dan varietas

19
19
24
25
26
27
28
30
31
32
33
33
35
36

DAFTAR GAMBAR
1 Rata-rata harian suhu udara (a), Rata-rata harian suhu tanah (b)
2 Pertambahan jumlah anakan per rumpun pada cekaman suhu tinggi
3 Pengaruh suhu tinggi terhadap eksersi malai

24
26
29

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Deskripsi Varietas Ciherang
Deskripsi Varietas Menthik Wangi
Deskripsi Varietas IPB 3S
Deskripsi Varietas IR 64
Deskripsi Varietas Silugonggo
Deskripsi Varietas Jatiluhur
Deskripsi Varietas Way Apo Buru
Deskripsi Varietas Hipa 14
Rumah Plastik Penelitian

41
42
43
44
45
46
47
48
49

10
11
12
13
14
15
16

Waktu Pengisian Bulir
Dokumentasi Hasil Gabah pada Perlakuan T1
Dokumentasi Hasil Gabah pada Perlakuan T2
Dokumentasi Hasil Gabah pada Perlakuan T3
Skala Keluarnya Malai
Rekapitulasi Sidik Ragam Peubah yang Diamati
Korelasi Antar Peubah

50
51
52
53
54
55
56

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Padi merupakan komoditas tanaman pangan utama bagi masyarakat
Indonesia. Kebutuhan konsumsi beras berkisar 114 kilogram kapita-1 tahun-1 atau
312 gram hari-1 (BPS 2014). Konsumsi beras terus meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2014
bahwa produksi padi pada tahun 2013 sebesar 71.29 juta ton GKG meningkat 2.24
juta ton GKG (3.24%) dibandingkan produksi 2012 sebesar 69.05 juta ton GKG.
Pada tahun 2025 diharapkan produksi padi mencapai 73.0 juta ton GKG. Isu
pemanasan global merupakan salah satu kendala dalam upaya peningkatan
produksi padi nasional.
Kenaikan suhu udara di berbagai provinsi di Indonesia menurut hasil
perhitungan dan analisis BMKG dengan data pada tahun 1981-2012,
menunjukkan tren kenaikan suhu udara maksimum dan minimum di hampir
seluruh wilayah. Berdasarkan data BMKG peningkatan suhu per tahun pada
provinsi Kepulauan Riau 0.022 ˚C, Bangka Belitung 0.036 ˚C, Jambi 0.015 ˚C,
Sumatera Utara 0.028 ˚C, Sumatera Barat 0.213 ˚C (BMKG 2013). Isu pemanasan
global yang terjadi secara perlahan memberikan dampak yang merugikan bagi
pertanian. Perubahan iklim global menyebabkan perubahan musim dan
peningkatan suhu bumi yang selanjutnya akan berpengaruh pada pola tanam dan
serangan OPT yang menyebabkan produksi hasil tanaman menurun (Deptan
2010). Peningkatan suhu menyebabkan evaporasi air di permukaan bumi
meningkat. Hal ini akan merubah berbagai elemen iklim seperti kelembaban,
kondensasi uap air dan curah hujan. Perubahan iklim ini dapat berdampak pada
perubahan pada pola tanam yang berarti mengancam keamanan pangan dan
membuat suatu daerah mengalami kekeringan berkepanjangan dan di wilayah lain
terjadi banjir yang besar.
Produksi padi dapat meningkat pada lingkungan yang optimal. Padi dapat
tumbuh optimum pada kisaran suhu 27-32 ˚C dan batas cekaman suhu 35 ˚C
(Yoshida 1978). Peningkatan suhu global akibat perubahan iklim memberikan
dampak yang negatif terhadap tanaman. Kenaikan rata-rata suhu global dapat
mencapai 2–4 ˚C pada abad 21, diperkirakan peningkatan suhu terus meningkat
(IPCC 2007). Peningkatan suhu diatas suhu optimum akan menyebabkan
tanaman mengalami perubahan aktivitas fisiologi sehingga metabolisme tanaman
terganggu dan denaturasi enzim-enzim meningkat (Taiz dan Zeiger 2006).
Padi memiliki respon yang berbeda-beda terhadap cekaman suhu tinggi
pada stadia pertumbuhannya. Fase pembungaan dan pengisian bulir pada padi
merupakan stadia sensitif terhadap suhu tinggi (Jagadish et al. 2007; Tao et al.
2008). Suhu di atas 34 ˚C pada saat berbunga dapat menyebabkan sterilitas bunga
dan berkurangnya pengisian bulir sehingga menurunkan hasil gabah, namun tidak
berpengaruh nyata pada jumlah bulir per malai dan bobot 1 000 butir padi (Tao et
al. 2008; Tian et al. 2010). Tanaman padi yang mendapat cekaman suhu tinggi
37.6 ˚C sejak awal tanam hingga panen dapat menurunkan hasil hingga 39.5%
(Khamid 2014). Produktivitas padi pada cekaman suhu tinggi berhubungan
dengan kemampuan adaptasi tanaman terhadap kondisi cekaman suhu tinggi
(Tanaka et al. 2009).

Beberapa varietas padi memiliki karakter toleran dengan merubah
metabolisme dalam jaringan tanamannya. Malai padi dapat menghindari
kerusakan panas dengan menurunkan suhu malai. Matsui dan Omasa (2002)
melaporkan bahwa malai padi bisa mencapai suhu 6 ˚C lebih rendah dari
lingkungan ketika suhu atmosfer lebih tinggi, sedangkan dalam kondisi lembab,
suhu pada malai bisa melebihi suhu udara 4 ˚C (Tian et al. 2010). Selain itu,
tanaman memiliki mekanisme ketahanan melalui waktu pembentukan bunga dan
anthesis yang tidak bertepatan dengan puncak suhu maksimum (Jagadish et al.
2007).
Program peningkatan produktivitas padi melalui perakitan varietas padi tipe
baru telah banyak dilakukan. Masyarakat pada umumnya membudidayakan padi
yang memiliki potensi hasil yang tinggi dengan ketahanan terhadap lingkungan
abiotik maupun biotik. Penggunaan beberapa varietas padi pada penelitian ini
merupakan varietas padi yang digunakan oleh masyarakat pada umumnya.
Varietas Ciherang dan IR 64 merupakan varietas unggul baru yang memiliki
potensi hasil yang tinggi dan sudah dibudidayakan oleh masyarakat luas, Menthik
Wangi merupakan varietas padi aromatik/lokal dari daerah jawa, IPB 3S
merupakan vaeritas padi tipe baru yang memiliki potensi hasil lebih tinggi dari
varietas unggul baru, Silungonggo dan Jatiluhur merupakan varietas padi gogo,
Way Apo Buru merupakan varietas amphibi, dan HIPA 14 merupakan varietas
hibrida dengan potensi hasil tinggi.
Penggunaan varietas unggul padi sawah dan padi gogo yang toleran terhadap
cekaman suhu tinggi lebih dikembangkan untuk mengantisipasi perubahan iklim
di masa mendatang. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai respon
beberapa varietas terhadap peningkatan suhu. Perbedaan karakter morfologi dan
fisiologi setiap varietas memerlukan pemahaman yang mendalam tentang dampak
suhu tinggi terhadap hasil produksi padi.
Penelitian mengenai respon tanaman terhadap peningkatan suhu udara
akibat perubahan iklim global di Indonesia belum banyak dilakukan. Hasil
penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai respon fisiologi dan
morfologi padi yang toleran suhu tinggi dan pengembangan tanaman yang
memiliki karakter toleran terhadap suhu tinggi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon morfologi, fisiologi dan
komponen hasil beberapa varietas padi yang ditanam pada sistem sawah terhadap
cekaman suhu tinggi.
Hipotesis
1

Terdapat pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap morfologi, fisiologi dan
komponen hasil pada beberapa varietas padi.
2 Terdapat keragaman respon varietas padi terhadap cekaman suhu tinggi.
3 Terdapat interaksi antara perlakuan suhu tinggi dengan varietas padi.

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Padi
Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman yang tergolong famili
Graminae. Tanaman padi memiliki struktur batang yang tersusun dari beberapa
ruas dan diantara ruas yang satu dengan ruas yang lainnya dipisahkan oleh satu
buku. Pada buku bagian bawah dari ruas, tumbuh daun pelepah yang membalut
ruas sampai buku bagian atas. Pada buku bagian atas ujung daun pelepah terdapat
percabangan dimana cabang yang terpendek menjadi ligule (lidah) daun, dan
bagian yang terpanjang dan terbesar menjadi helaian daun. Daun pelepah yang
membalut ruas yang paling atas batang umumnya disebut daun bendera (Siregar
1987).
Tanaman padi membentuk rumpun dengan anakannya, biasanya anakan
akan tumbuh pada dasar batang. Pembentukan anakan akan terjadi secara
bersusun, yaitu: 1) anakan pertama (primer), anakan primer ini tumbuh di antara
dasar batang dan daun sekunder, sedangkan pada pangkal batang anakan primer
terbentuk perakaran. Anakan primer ini tetap melekat pada batang utama hingga
masa pertumbuhan berikutnya. Namun dalam mendapatkan zat makanan, anakan
tersebut tidak tergantung pada batang utama sebab memiliki perakaran sendiri. 2)
anakan kedua (sekunder), anakan ini tumbuh pada batang bawah anakan primer,
yaitu pada buku pertama dan juga membentuk perakaran sendiri. 3) anakan ketiga
(tersier), anakan tersier ini tumbuh pada buku pertama pada batang anakan
sekunder dengan bentuk yang serupa dengan anakan primer dan sekunder
(Yoshida 1981; Siregar 1987).
Bunga padi adalah bunga majemuk dengan satuan bunga berupa floret,
floret tersusun dalam spikelet. Jumlah benang sari ada 6 buah, tangkai sarinya
pendek dan tipis, kepala sari besar serta mempunyai dua kandung serbuk. Putik
mempunyai dua tangkai putik dengan dua buah kepala putik yang berbentuk malai
dengan warna pada umumnya putih atau ungu. Pada dasar bunga terdapat ladicula
(daun bunga yang telah berubah bentuknya). Ladicula berfungsi mengatur dalam
pembuahan palea, pada waktu berbunga ia menghisap air dari bakal buah,
sehingga mengembang. Pengembangan ini mendorong lemma dan palea terpisah
dan terbuka. Lemma dan palea serta bagian lain akan membentuk sekam atau kulit
gabah, lemma selalu lebih besar dari palea dan menutupi hampir 2/3 permukaan
beras, sedangkan sisi palea tepat bertemu pada bagian sisi lemma.
Tanaman padi dapat tumbuh di daerah tropis/subtropis pada 45 LU dan 45
LS dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi. Rata-rata curah hujan yang baik
adalah 200 mm/bulan atau 1500-2000 mm/tahun. Tanaman padi dapat tumbuh di
tanah kering dengan syarat curah hujan mencukupi kebutuhan tanaman. Tanaman
padi di Indonesia dibudidayakan pada lahan kering atau disebut padi ladang
(Upland Varieties) dan di lahan basah atau lahan sawah (Lowland Varieties).
Terdapat dua tipe tanaman padi yaitu padi pada daerah dataran rendah dengan
ketinggian 0-650 m dpl dengan temperatur 22–27 ˚C dan padi dataran tinggi
dengan ketinggian 650–1500 m dpl dengan temperatur 19–23 ˚C. Tanaman padi
dapat tumbuh optimum pada kisaran suhu optimum sekitar 27 -32 ˚C (Yoshida
1978).

Peningkatan Suhu Global dan Dampaknya bagi Pertanian
Peningkatan suhu global terjadi karena adanya efek gas-gas rumah kaca
(GRK) yang disebabkan oleh kejadian alamiah maupun aktivitas manusia
(Adibroto et al. 2011). Kosentrasi GRK dan aerosol dipertahankan secara konstan
hingga tahun 2000, pada tahun selanjutnya terjadi kenaikan 0.1 ˚C pada setiap
dekadenya. Kenaikan suhu juga bergantung pada emisi spesifik. Berkembangnya
teknologi industri meningkatkan konsentrasi CO2 dan GRK sehingga suhu
permukaan bumi meningkat 0.6 ˚C. Pada tahun 2050 diprediksi suhu permukaan
bumi akan meningkat 2.1 ˚C dan suhu air laut 2.5 ˚C dibandingkan pada tahun
2000 (IPCC 2007).
Cekaman suhu tinggi menyebabkan kerusakan dan gangguan keseimbangan
fotosintesis dan respirasi. Peningkatan suhu udara mengakibatkan proses respirasi
meningkat sehingga asimilat untuk pembentukan organ generatif menurun. Hal
ini dapat menurunkan produktivitas tanaman, meningkatkan konsumsi air,
mempercepat pematangan buah atau biji, menurunkan mutu hasil dan
berkembangnya berbagai hama penyakit (Deptan 2010). Taiz dan Zeiger (2006)
menyatakan bahwa suhu ketika jumlah CO2 yang diserap pada proses fotosintesis
sama dengan jumlah CO2 yang dikeluarkan pada proses respirasi tanaman disebut
titik kompensasi suhu. Pada saat suhu lingkungan di atas titik kompensasi suhu
tanaman, fotosintesis tidak dapat menggantikan karbon yang digunakan sebagai
substrat pada proses respirasi. Hal ini mengakibatkan fotosintat atau cadangan
karbohidrat menurun. Ketidak-seimbangan antara fotosintesis dan respirasi
merupakan salah satu dampak buruk dari suhu tinggi.
Peningkatan suhu udara yang terlalu ekstrem dapat menyebabkan kerusakan
pada sel dan organel sel tanaman. Kerusakan langsung yang terjadi pada tanaman
adalah denaturasi dan agregasi protein. Kerusakan secara tidak langsung adalah
inaktivasi enzim dalam kloroplas dan mitokondria, penghambatan sintesis protein,
degradasi protein dan kehilangan integritas membrane (Taiz dan Zeiger 2006).
Suhu tinggi dapat menyebabkan menghambat pertumbuhan tanaman sehingga
menurunkan hasil panen hingga 41% (Ceccarelli et al. 2010; Krishnan et al.
2011).
Respon Tanaman terhadap Cekaman Suhu Tinggi
Jagadish et al. (2007) menyatakan bahwa perlakuan suhu diatas 33.7 ˚C
Umumnya benang sari merupakan organ yang paling sensitif terhadap kondisi
suhu tinggi (Wassman et al. 2009). Prasad et al. (2006) melaporkan bahwa suhu
tinggi dapat mengakibatkan cekaman berat pada fase pembungaan sehingga
menyebabkan penurunan produksi polen. Fertilitas bulir merupakan komponen
penting dalam hasil produksi padi menurun pada saat terkena paparan suhu tinggi
diatas 35 ˚C (Matsui et al. 1997). Peningkatan suhu juga dapat menyebabkan bulir
padi menjadi mengapur (Tsukaguchi dan Iida 2008).
Tanaman padi memiliki suhu ambang batas pada stadia pertumbuhannya.
Penelitian mengenai respon tanaman padi pada cekaman suhu tinggi adalah
seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Respon tanaman padi terhadap cekaman suhu tinggi pada stadia
pertumbuhan tanaman
Stadia
Suhu ambang Respon tanaman
pertumbuhan
batas( ˚C)
Perkecambahan
40
Memperlambat
dan
menurunnya
perkecamahan
Pembibitan
35
Pertumbuhan bibit terhambat
Anakan
32
Jumlah anakan dan tinggi tanaman
berkurang
Bunting
Berkurangnya jumlah serbuk sari
Antesis
33.7
Pembukaan anther menurun dan steril
Berbunga
35
Sterilitas bunga
Pembentukan bulir 34
Hasil Menurun
Pemasakan bulir
29
Menggurangi pengisian bulir
Sumber : Yoshida 1978; Satake dan Yoshida 1978
Respon tanaman padi pada stadia pertumbuhannya berbeda-beda terhadap
cekaman suhu tinggi (Tabel 2). Oleh karena itu, peningkatan suhu rata-rata pada
saat stadia sensitif dapat menurunkan hasil produksi. Fase reproduktif merupakan
fase yang sensitif terhadap cekaman suhu tinggi. Pada fase pembungaan, cekaman
suhu tinggi menyebabkan produksi serbuk sari menurun sehingga terjadi
penurunan jumlah serbuk sari yang ditangkap oleh stigma (Prasad et al. 2006).
Fertilitas bulir merupakan komponen penting dari hasil produksi. Fertilitas bulir
menurun pada saat terpapar suhu diatas 35 ˚C (εatsui et al. 1997).
Tabel 2 Respon agronomi dan fisiologi pada tanaman serealia terhadap suhu
tinggi
Stadia Pertumbuhan
Cekaman suhu tinggi
Vegetatif
Kerusakan pada organ-organ aktif fotosintesis,
cekaman oksidatif meningkat, fase vegetatif
diperpendek, mengurangi jumlah anakan
Reproduktif
Tidak tercukupi asimilat yang tersedia, penurunan
durasi dan produksi spikelet
Pembungaan
Berbunga lebih cepat
Fertilitas malai
Benang sari hipoplasia dan putik hiperplasia,
rendahnya
anther
dehiscence,
gangguan
penyerbukan, serbuk sari menurun, viabilitas serbuk
sari rendah.
Penggisian bulir
Peningkatan laju dan mengurangi durasi penggisian
bulir,
peningkatan laju pada penuaan daun,
mengurangi bobot 1000/butir, hilangnya remobilisasi
asimilat dan aktivitas sink, mengalami peningkatan
protein, perombakan pati, rendahnya amilosa,
peningkatan chalkiness dan bulir yang rusak
Sumber : Nitten et al. 2014

Peningkatan suhu udara berpengaruh terhadap suhu di dalam tanah yang
juga mengalami peningkatan. Meningkatnya suhu tanah dapat mempengaruhi
pertumbuhan akar tanaman sehingga dapat menghambat proses metabolisme
tanaman. Pada suhu tanah 36.5 ˚C menurunkan bobot bulir padi, jumlah bulir per
malai, bobot 1 000 butir dan tingkat pematangan (Arai-sanoh et al. 2010). Suhu
tanah yang tinggi meningkatkan kebutuhan air bagi tanaman selain itu transpirasi
dan respirasi juga meningkat. Suhu diatas optimum pertumbuhan akar menjadi
terhambat karena penyerapan hara dan pembelahan sel menurun sehingga hasil
produksi menjadi rendah (Prasad et al 2000).
Cekaman kekeringan dan suhu tinggi pada umumnya saling berkaitan. Pada
saat suhu lingkungan naik, tunas-tunas tanaman C3 dan C4 mendapatkan pasokan
air dari proses penguapan H2O melalui stomata. Hal ini bertujuan untuk
menurunkan suhu jaringan tanaman agar tidak mengalami kekeringan akibat
peningkatan suhu lingkungan. Proses fotosintesis dan respirasi akan terhambat
pada suhu tinggi. Pada saat terjadi cekaman suhu tinggi, proses fotosintesis
mengalami penurunan lebih cepat daripada proses respirasi. Hasil penelitian IRRI
menunjukkan bahwa suhu rendah selama masa pemasakan tidak hanya baik bagi
hasil rendahnya respirasi tetapi juga memperpanjang masa pemasakan. Di banyak
daerah, hasil panen tinggi didapatkan apabila masa pemasakan bertambah
panjang.
Mekanisme Toleran Terhadap Cekaman Suhu Tinggi
Kemampuan adaptasi tanaman terhadap cekaman suhu tinggi berbedabeda antar genotipe tanaman. Tanaman memiliki mekanisme ketahanan yang
terdiri dari escape (meloloskan diri) adalah tanaman yang mampu berbunga lebih
awal pada pagi hari sebelum suhu rata-rata meningkat, avoidance (penghindaran)
adalah tanaman yang mampu menurunkan suhu malai melalui transpirasi sehingga
suhu malai lebih rendah daripada suhu lingkungan, dan toleran adalah
karakteristik tanaman dengan kemampuan memproduksi bulir berisi pada kondisi
cekaman suhu tinggi (Wahid et al. 2007).
Tanaman yang toleran terhadap suhu tinggi memiliki benang sari yang
panjang untuk meningkatkan jumlah serbuk sari yang terbentuk dan pori stigma
yang lebar berperan untuk meningkatkan jatuhnya serbuk sari saat pembuahan
(Matsui dan Kagata 2003). Selain itu, struktur putik yang dikelilingi atau dinaungi
oleh beberapa daun bendera, hal ini merupakan mekanisme tanaman untuk
menjaga suhu di kepala putik untuk stabil sehingga dapat meningkatkan serbuk
sari (Wassmann et al. 2009). Mekanisme adapatasi lainnya yaitu dengan
penguraian pati yang dilakukan dengan produksi energi dalam mitokondria. Suhu
tinggi menurunkan kadar amilosa dan meningkatkan rasio ikatan adhesi pada saat
pemasakan, sehingga menghasilkan nasi yang yang bertekstur lembut dan tidak
lengket pada varietas toleran (Tanaka et al. 2009).
Ying et al. (2008) melaporkan bahwa terdapat mekanisme toleransi
tanaman terhadap cekaman suhu tinggi, tanaman memiliki enzim antioksidan
yang dikeluarkan tanaman untuk mengatasi cekaman. Enzim antioksidan yang
dikeluarkan oleh tanaman adalah malondialdehyde, peroksidase, superoksida
dismutase, dan katalase meningkat untuk menekan aktifitas radikal bebas ROS
(reaktive oksigen species).

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan November 2014
di Kebun Percobaan Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.
Kegiatan pasca panen dilakukan pada bulan Desember 2014 sampai dengan
Februari 2015 di Laboratorium Seed Center Leuwikopo dan Pasca Panen
Departemen Agronomi dan Hortikulutra, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah benih padi varietas Ciherang, Menthik Wangi,
IR-64, IPB-3S, Way Apo Buru, Jatiluhur, Silugonggo, dan HIPA 14, Polibag
ukuran 35 x 40 cm, bak tanam, tray persemaian, pupuk kandang sapi, Urea, SP36,
KCl dan pestisida.
Alat yang digunakan antara lain alat-alat pertanian, meteran, timbangan
analitik, oven, hand counter, blower, soil plant analysis development (SPAD-502
plus; Konica Minolta, Japan), Thermo recorder (TR-71U, TandD, Japan),
Mikroskop, Portable Photosynthesis Li-cor 6400.
Metode
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan acak kelompok
(RAK) tersarang (nested) dengan dua faktor perlakuan yaitu perbedaan suhu dan
varietas padi. Satuan percobaan diulang sebanyak tiga kali, dimana ulangan
tersarang pada faktor utama. Perbedaan suhu terdiri atas 3 taraf perlakuan suhu
sebagai petak utama, yaitu :
T1) suhu udara rata-rata harian di dalam rumah plastik 28.3 ˚C ;
T2) shu udara rata-rata harian di dalam rumah plastik 32.1 ˚C ;
T3) suhu udara rata-rata harian di dalam rumah plastik 33.1 ˚C ;
Varietas yang digunakan terdiri dari Ciherang, Menthik Wangi, IR 64, IPB
3S, Silugonggo, Jatiluhur, Way Apo Buru dan HIPA 14 (Deskripsi masingmasing varietas terdapat dalam lampiran 1-8).
Model aditif linier dari rancangan yang akan digunakan adalah sebagai
berikut :

Yijk = µ + Kk + αi +

ik +

βj +(αβ)ij +

ijk

Keterangan :
Yijk
: Nilai pengamatan perlakuan perbedaan suhu ke-i, dan varietas ke-j dan
blok ke-k
µ
: Rataan umum
Kk
: Pengaruh pengelompokan
αi
: Pengaruh petak utama (perbedaan suhu)
βj
: Pengaruh anak petak (varietas)
ik
: Komponen galat dari petak utama (perbedaan suhu)
(αβ)ij : Pengaruh interaksi antara petak utama (perbedaan suhu) dan anak petak
(varietas)
ijk : Pengaruh galat dari interkasi antara petak utama (perbedaan suhu) dan
anak petak (varietas)

Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan di rumah plastik yang terdiri dari 3 kompartemen yang
memiliki perbedaan suhu. Perlakuan suhu tinggi mengikuti suhu lingkungan
dalam rumah plastik. Suhu tinggi pada penelitian ini diperoleh dari modifikasi
rumah plastik dengan pemberian mulsa dan fentilasi. Pada rumah plastik pertama
(T1), bagian atap rumah plastik adalah Polyethylene dan dinding rumah plastiknya
adalah paranet waring. Rumah plastik kedua (T2), ¾ bagian rumah plastiknya
adalah Polyethylene, sedangkan rumah plastik ketiga (T3) seluruh bagian rumah
plastiknya adalah Polyethylene dan lantainya diberikan mulsa hitam perak dengan
warna perak dipermukaan tanah (Lampiran 9).
Pengukuran suhu udara dan suhu tanah dilakukan dengan menggunakan alat
thermo recorder (TR-71U, TandD, Japan). Alat ini merekam suhu setiap 30 menit.
Suhu rata-rata harian diperoleh dari rata-rata suhu udara dan suhu tanah pada
pukul 00:00 sampai dengan 23:30 selama periode perlakuan. Suhu maksimum
diperoleh dari suhu rata-rata harian tertinggi dan suhu minimum diperoleh dari
suhu rata-rata harian terendah selama periode perlakuan. Tanaman mendapat
perlakuan suhu tinggi pada umur 56 sampai dengan 130 HSS (hari setelah semai).
Benih padi disemai pada tray persemaian selama 14 hari. Polibag yang
digunakan berukuran 35 cm x 40 cm dengan volume media tanam 7 l/polibag.
Tanah untuk media tanam merupakan tanah top soil yang sudah dihaluskan
kemudian ditambahkan dengan pupuk kandang dengan perbandingan 5:1. Polibag
yang sudah berisi media tanam digenangi oleh air selama 4 hari supaya terbentuk
lumpur. Penanaman padi dilakukan dengan menanamkan satu bibit padi ke dalam
polibag. Setiap unit percobaan terdiri atas 6 tanaman yang disusun di dalam bak
tanam berukuran 2.0 m x 1.8 m x 0.3 m. Padi ditanam dengan sistem sawah yaitu
menjaga permukaan air sampai 2 cm di atas media tanam.
Pemeliharaan tanaman meliputi pemupukan dengan dosis setara 250 kg
Urea ha-1, 100 kg SP-36 ha-1 dan 100 kg KCl ha-1 yang dilakukan 3 tahap, yaitu
pemupukan pertama 0.52 g Urea tanaman-1, 0.63 g SP-36 tanaman-1, dan 0.63 g
KCl tanaman-1 diberikan 2 MST (minggu setelah pindah tanam), pemupukan
kedua dan ketiga diberikan 0.52 g Urea tanaman-1 pada 5 MST dan 9 MST.
Penggunaan pestisida dilakukan sesuai dengan tingkat serangan hama dan
penyakit pada saat penelitian.
Pengamatan
Parameter pengamatan tanaman yang diamati pada penelitian ini adalah:
a. Tinggi tanaman (cm)
Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun/malai
terpanjang dengan menggunakan meteran.
b. Jumlah anakan
Jumlah anakan dihitung setiap 2 minggu sejak 3 MST sampai dengan 9 MST
dan panen.
c. Umur berbunga dan panen (hari)
Pengamatan umur berbunga dilakukan pada saat berbunga penuh 50% dan
umur panen dilakukan pada saat gabah padi sudah matang (mengguning) 90%.

d. Bobot kering tajuk (g)
Bobot kering tajuk diperoleh dengan menimbang bobot kering batang dan daun
tanaman pada saat panen.
e. Kehijauan daun
Kehijauan warna daun di ukur dengan menggunakan alat SPAD-502 plus pada
saat tanaman berumur 63 HSS. Pengukuran dilakukan pada daun bendera
batang utama sampel. Waktu pengamatan dilakukan pada pukul 10:00 WIB.
f. Suhu daun (˚C), transpirasi (molH2Om-2s-1) dan laju fotosintesis (μmolm2s-1)
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat ukur Li-cor 6400 pada saat
tanaman berumur 64 HSS. Pengukuran dilakukan pada daun bendera batang
utama sampel. Waktu pengamatan dilakukan pada pukul 10:00 WIB.
g. Kerapatan stomata (stomata/mm2)
Pengambilan sampel dilakukan pada umur 63 HSS dengan metode kuteks pada
daun bendera dan preparat diamati di Mikroskop. Pengukuran dilakukan pada
daun bagian bawah. Waktu pengamatan dilakukan pada pukul 10:00, 12:00 dan
14:30 WIB.
h. Panjang malai (cm)
Panjang malai diukur dari pangkal malai (leher malai) sampai ujung malai
dengan menggunakan penggaris.
i. Jumlah malai dan jumlah gabah per malai
Pengamatan ini dilakukan dengan menghitung jumlah malai rumpun-1. Pada
setiap malai dihitung jumlah gabahnya.
j. Persentase gabah isi (%)
Pengamatan persentase gabah isi dilakukan dengan menggunakan rumus :
Persentase gabah isi = Jumlah gabah isi__ x 100%
Jumlah gabah total
k. Bobot gabah isi, gabah isi tidak penuh dan hampa (g)
Pengamatan ini dilakukan dengan memisahkan gabah isi, gabah isi tidak penuh
dan hampa dengan menggunakan blower. Bobot gabah ditimbang dengan
memisahkan gabah isi penuh (bernas), tidak penuh dan hampa.
l. Bobot gabah 1 000 bulir (g)
Bobot gabah 1 000 bulir diperoleh dari bobot gabah bernas.
m. Eksersi malai
Pengamatan dilakukan pada saat panen dengan memberikan skor sesuai dengan
panduan IRRI 1988 (Lampiran 14).
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji F. Apabila hasil sidik
ragam berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut dengan uji beda nyata terkecil
(BNT) pada taraf 5%. Pengolahan data menggunakan software SAS 9.1.3.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Perlakuan suhu tinggi pada penelitian ini dilakukan umur 56 hari sampai
dengan 130 setelah semai (HSS). Stadia petumbuhan pada masing-masing varietas
dapat di lihat pada Tabel 3. IR 64 merupakan varietas berumur genjah sehingga
stadia pertumbuhannya cepat. Menthik wangi merupakan varietas lokal berumur
panjang. Periode kritis pertumbuhan padi terhadap suhu tinggi adalah stadia
pembungaan (Prasad et al. 2006). Perlakuan suhu tinggi dilakukan sebelum
periode kritis tanaman.
Tabel 3 Stadia tanaman padi pada saat mendapat perlakuan suhu tinggi
Varietas
Stadia
Ciherang
Booting
Menthik Wangi
Anakan
IPB 3S
Booting
IR 64
Inisiasi malai
Silngonggo
Anakan
Jatiluhur
Booting
Way Apu Buru
Anakan maksimum
HIPA 14
Booting
Suhu udara dan suhu tanah pada penelitian ini merupakan rata-rata suhu
harian selama periode perlakuan cekaman suhu tinggi. Suhu tinggi diperoleh dari
suhu maksimum rata-rata selama periode perlakuan. Suhu udara maksimum
harian selama periode perlakuan lebih dari 35 ˚C (Gambar 1a).
(a)

(b)

■ (T1, 28.3˚C) ♦ (T2, 32.1 ˚C) ● (T3, 33.1˚C)
Gambar 1 Rata-rata harian suhu udara (a), Rata-rata harian suhu tanah (b).

Suhu 35 ˚C merupakan suhu kritis untuk fase pertumbuhan dan fisiologi
tanaman padi (Yoshida 1978). Pada perlakuan T1 tanaman mendapat cekaman
suhu udara maksimum ± 35 ˚C dari pukul 09:30 sampai 14:30 (5 jam), sedangkan
perlakuan T2 dan T3 tanaman mendapat cekaman suhu maksimum ± 35 ˚C dari
pukul 08:00 sampai 16:00 (8 jam). Suhu udara maksimum dan rata-rata pada
T1(38.2/28.3˚C) ± 5.8, T2(48.1/32.1 ˚C) ± 10.0 dan T3(51.1/33.10C) ± 10.5,
dengan peningkatan suhu udara maksimum hingga 9.9 ˚C (T1 ke T2) dan 11.9 ˚C
(T1 ke T3).
Suhu tanah maksimum dan rata-rata pada T1 (29.3/27.3 ˚C) ± 1.3, T2
(30.9/29.2 ˚C) ± 1.3 and T3 (31.4/29.2 ˚C) ± 1.2 (Gambar 1b). Kondisi media
tanam yang selalu tersedia airnya menyebabkan suhu tanah cenderung stabil
meskipun suhu udara meningkat secara signifikan. Hal ini tujuannya untuk
menjaga agar tanaman tidak mengalami cekaman kekeringan, sehingga respon
tanaman hanya disebabkan cekaman udara suhu tinggi.
Respon Morfologi
Perlakuan suhu tinggi sejak 56 HSS tidak berpengaruh nyata terhadap
peubah tinggi tanaman (Lampiran 15). Hal ini dapat di lihat pada Tabel 4
menunjukkan bahwa perlakuan suhu tinggi tidak mempengaruhi pertumbuhan
tinggi tanaman. Jatiluhur merupakan varietas yang memiliki tinggi tanaman
tertinggi, sedangkan Silungunggo memiliki tinggi tanaman terendah (Tabel 4).
Perbedaan tinggi tanaman antar varietas karena deskripsi setiap varietas berbedabeda.
Tabel 4 Tinggi tanaman beberapa varietas pada perlakuan suhu tinggi
Tinggi tanaman (cm)
Perlakuan
Suhu
T1 (28.3 ˚C)
111.1
T2 (32.1 ˚C)
112.1
T3 (33.1 ˚C)
111.3
Varietas
Ciherang
111.2 cd
Menthik Wangi
115.1 c
IPB 3S
111.1 cd
IR 64
120.9 bc
Silungunggo
97.9 e
Jatiluhur
146.9 a
Way Apo Buru
103.1 de
HIPA 14
125.8 b
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama untuk
masing-masing perlakuan suhu dan varietas tidak berbeda nyata berdasarkan uji
beda nyata terkecil pada taraf uji 5%.

Pertambahan jumlah anakan pada setiap minggu pengamatan relatif sama
sebelum perlakuan yaitu 5 minggu setelah tanam (MST). Tanaman mendapat
perlakuan suhu tinggi pada umur 56 HSS (6 MST). Jumlah anakan meningkat
pada umur 7 MST sampai dengan panen (Gambar 2). Paparan suhu rata-rata
harian 32.1 ˚C dan 33.1 ˚C menyebabkan pertambahan jumlah anakan rumpun-1.

Pertambahan jumlah anakan pada perlakuan T2 dan T3 dipengaruhi oleh
terhambatnya fase generatif. Paparan suhu tinggi yang terjadi pada fase generatif
mengakibatkan terhambatnya asimilasi dari source ke sink karena hasil
fotosintesis yang diperoleh digunakan untuk membentuk energi mempertahankan
kondisi pertumbuhan tanaman (Tao et al. 2008). Jumlah anakan yang tinggi tidak
selalu berkorelasi positif dengan hasil karena pembentukan anakan yang tidak
serempak.

Perlakuan
suhu tinggi

6

■ (T1, 28.3˚C) ♦ (T2, 32.1 ˚C) ● (T3, 33.1˚C)
Gambar 2 Pertambahan jumlah anakan per rumpun pada cekaman suhu tinggi.
Interaksi perlakuan suhu tinggi dan varietas berpengaruh nyata terhadap
peubah jumlah anakan pada saat panen. Perlakuan suhu tinggi meningkatkan
jumlah anakan pada semua varietas (Tabel 5). Tanaman padi memiliki
kemampuan adaptasi dengan memperbanyak jumlah anakan supaya suhu disekitar
daun lebih rendah daripada suhu udara. Arai-sanoh et al. 2010 menyatakan
bahwa tanaman padi meningkatkan jumlah malai per rumpun sebagai mekanisme
adaptasi menurunkan suhu udara disekitar malai.
Tabel 5 Jumlah anakan rumpun-1 pada interaksi perlakuan suhu tinggi dan varietas
Varietas
T1(28.3 ˚C)
T2 (32.1 ˚C)
T3 (33.1 ˚C)
Ciherang
35.0 ij
48.0 h
60.3 cde
Menthik Wangi
39.0 i
52.7 e-h
58.3 c-f
IPB 3S
27.7 jkl
49.0 gh
55.3 d-h
IR 64
24.7 kl
58.0 c-f
70.3 ab
Silungonggo
22.0 l
50.0 fgh
56.3 c-g
Jatiluhur
23.3 kl
62.7 bcd
72.7 a
Way Apo Buru
25.3 kl
57.3 c-f
62.0 bcd
HIPA 14
30.7 ijk
58.3 c-f
64.3 abc
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama untuk
masing-masing perlakuan suhu dan varietas tidak berbeda nyata berdasarkan uji
beda nyata terkecil pada taraf uji 5%.

Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa jumlah anakan berkorelasi positif
sangat nyata dengan bobot kering tajuk (r=0.378*), jumlah malai (r=0.553**),
kerapatan stomata (r=0.331*), SPAD (r=0.646**), suhu daun (r=0.696**), eksersi
malai (r=0.619**) dan bobot gabah hampa (r=0.745**), berkorelasi negatif sangat
nyata bobot gabah isi tidak penuh (r=-0.446*), bobot gabah isi (r=-0.804**),
persentase gabah isi (r=-0.904**) dan bobot gabah 1 000 bulir (r=-0.668**)
(Lampiran 16). Hal ini menunjukkan peningkatan jumlah anakan sejalan dengan
bobot kering tajuk, jumlah malai, kerapatan stomata, SPAD, suhu daun, eksersi
malai tetapi bobot gabah isi tidak penuh, bobot gabah isi, persentase gabah isi dan
bobot 1 000 bulir menurun.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan interaksi perlakuan suhu tinggi
dan varietas berbeda nyata terhadap peubah bobot kering tajuk. Perlakuan suhu
meningkatkan bobot kering tajuk pada semua varietas (Tabel 6). Peningkatan
bobot kering tajuk disebabkan oleh jumlah anakan meningkat pada perlakuan
suhu tinggi. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa bobot kering tajuk berkorelasi
positif nyata dengan jumlah gabah malai-1 (r=0.441*) dan bobot gabah hampa
(r=0.497*) (Lampiran 16). Hal ini mengindikasikan bahwa banyaknya jumlah
gabah malai-1 dan bobot gabah hampa secara nyata dipengaruhi oleh bobot kering
tajuk.
Tabel 6 Bobot kering tajuk pada interaksi perlakuan suhu tinggi dan varietas
Varietas
T1(28.3 ˚C)
T2 (32.1 ˚C)
T3 (33.1 ˚C)
Ciherang
33.9 kl
60.6 e
79.1 b
Menthik Wangi 43.9 ghi
56.6 e
91.2 a
IPB 3S
31.0 l
43.3 ghi
54.9 ef
IR 64
22.7 m
44.9 ghi
49.5 fg
Silungonggo
22.4 m
39.5 kji
49.5 fg
Jatiluhur
34.7 kl
71.2 cd
79.2 b
Way Apo Buru
31.6 l
47.7 gh
60.2 e
HIPA 14
41.3 hi
68.4 d
77.0 bc
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama untuk
masing-masing perlakuan suhu dan varietas tidak berbeda nyata berdasarkan uji
beda nyata terkecil pada taraf uji 5%.

Interaksi perlakuan suhu tinggi dan varietas berpengaruh nyata terhadap
peubah umur berbunga dan umur panen. Pada perlakuan T2, tanaman berbunga
lebih cepat 1-4 hari kecuali pada varietas Menthik Wangi dan Silungonggo
berbunga lebih lambat 2-4 hari dibandingkan dengan perlakuan T3. Perlakuan T3,
tanaman berbunga lebih lambat 1-11 hari dibandingkan perlakuan T2 (Tabel 7).
Paparan suhu tinggi dapat menganggu proses pembungaan tanaman terutama
anthesis. Pada fase pembungaan serbuk sari masaknya tidak bersamaan dengan
putik sehingga stigma hanya menangkap sedikit serbuk sari dalam penyerbukan
sehingga fertilitas serbuk sari menurun (Prasad et al. 2006). IRRI (1982)
menyatakan bahwa perlakuan suhu tinggi 41 ˚C selama 4 jam pada fase
pembungaan menyebabkan kerusakan dan kehampaan total pada padi. Tanaman
padi pada penelitian ini mendapat paparan suhu > 41 ˚C pada perlakuan T2
selama 5 jam dan T3 selama 7 jam.
Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa umur berbunga berkorelasi negatif
nyata dengan jumlah gabah malai-1 (r=-0.404*) (Lampiran 16). Hal ini

menunjukkan bahwa semakin lama umur berbunga tanaman berpotensi
menurunkan jumlah gabah malai-1. Fenomena ini berhubungan dengan lamanya
waktu pengisian bulir. Lamanya waktu pengisian bulir ditentukan oleh
keberhasilan anthesis untuk menghasilkan gabah isi.
Perlakuan suhu tinggi memperlambat umur panen 5-8 hari pada perlakuan
T2 untuk semua varietas (Tabel 7). Berdasarkan deskripsi varietas umur panen
lebih lama terjadi pada Menthik Wangi (lebih lama 3 hari), IPB 3S (lebih lama 2
hari), Silungonggo (lebih lama 30 hari), Jatiluhur (lebih lama 14 hari), HIPA 14
(lebih lama 2 hari). Varietas padi gogo (Silungonggo dan Jatiluhur) memiliki
umur panen yang lebih lama ketika dibudidayakan secara sawah. Tanaman
perlakuan T3 tidak menghasilkan gabah isi pada malainya. Tanaman T3 di
destruksi pada umur 130 HSS pada semua varietas untuk menunggu malai keluar
(eksersi malai), karena sampai umur tersebut malai tidak muncul penuh.
Tabel 7 Umur berbunga dan umur panen pada interaksi perlakuan suhu tinggi dan
varietas
Varietas
Deskripsi
T1(28.3 ˚C)
T2 (32.1 ˚C) T3 (33.1 ˚C)
Umur berbunga (hari)
Ciherang
77.7 jk
74.0 l
81.7 g
Menthik Wangi
102.7 b
104.3 a
105.3 a
IPB 3S
69.3 n
68.3 n
79.3 hi
IR 64
62.0 on
60.3 o
62.9 op
Silungonggo
86.7 e
90.3 d
94.3 c
Jatiluhur
69.7 n
68.3 n
79.0 i
Way Apo Buru
80.3 h
78.3 ij
84.3 f
HIPA 14
72.3 m
68.7 on
76.7 k
Umur panen (hari)
Ciherang
116-125
114.0 e
121.0 b
#
Menthik Wangi 125
121.0 c
128.0 a
#
IPB 3S
± 112
109.0 f
114.0 e
#
IR 64
110-120
106.0 g
114.0 e
#
Silungonggo
85-90
114.0 e
120.0 c
#
Jatiluhur
95-100
109.0 f
114.0 e
#
Way Apo Buru 115-125
109.0 f
116.0 d
#
HIPA 14
± 112
109.0 f
114.0 e
#
Keterangan : # tanaman perlakuan di destruksi pada umur 130 HSS. Angka-angka pada kolom
yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama untuk masing-masing perlakuan
suhu dan varietas tidak berbeda nyata berdasarkan uji beda nyata terkecil pada
taraf uji 5%.

Eksersi malai merupakan kemampuan malai untuk keluar dari seludang
daun. Eksersi malai menjadi karakter penting yang mempengaruhi hasil gabah
pada cekaman suhu tinggi (Rang et al. 2011). Das et al. (2014) melaporkan
bahwa paparan suhu tinggi di atas 40 ˚C menghambat eksersi malai. Pada
penelitian ini tanaman T2 dan T3 mendapat paparan suhu maksimum rata-rata di
atas 40 ˚C. Varietas Menthik Wangi dan Jatiluhur memiliki karakter eksersi malai
lebih baik dibandingkan varietas lainnya sampai dengan paparan suhu maksimum
48.1 ˚C (Gambar 3).

Berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan bahwa eksersi malai berkorelasi
positif sangat nyata dengan bobot gabah hampa (r=0.465**), berkorelasi negatif
sangat nyata pada peubah bobot gabah isi tidak penuh (r=-0.619**), bobot gabah
isi (r=-0.610**), persentase gabah isi (r=-0.620**) dan bobot gabah 1 000 bulir
(r=-0.750**) (Lampiran 16). Hal ini menunjukkan semakin tinggi nilai skoring
eksersi malai (eksersi malai terhambat) berpotensi untuk meningkatkan bobot
gabah hampa dan menurunkan bobot gabah isi penuh maupun tidak penuh,
persentase gabah isi dan bobot gabah 1 000 bulir.

(T1, 28.3 ˚C) □ (T2, 32.1 ˚C) ■ (T3, 33.1 ˚C)

Keterangan : Skoring eksersi malai: 1. Seluruh malai dan leher keluar, 3. Seluruh
malai keluar dan leher sedang, 5. Malai hanya muncul sebatas leher
malai, 7. Sebagian malai keluar, 9. Malai tidak keluar (IRRI 1988)
Gambar 3 Pengaruh suhu tinggi terhadap eksersi malai
Respon Fisiologi
Perlakuan suhu tinggi sejak 56 HSS berpengaruh nyata terhadap peubah
kerapatan stomata dan kehijauan daun (SPAD) pada umur 63 HSS (fase pengisian
gabah). Suhu tinggi meningkatkan kerapatan stomata dan SPAD. Peningkatan
kerapatan stomata berhubungan dengan ukuran stomata. Ciherang merupakan
varietas yang memiliki kerapatan stomata tertinggi dibandingkan dengan varietas
lainnya (Tabel 8). Peningkatan stomata pada perlakuan T2 dan T3 belum
diketahui persentase stomata membukanya.
Peningkatan nilai SPAD disebabkan terhambatnya laju pengisian gabah
pada perlakuan T2 dan T3. Kondisi daun tanaman selalu hijau pada perlakuan T3
(Lampiran 10). Ciherang, Menthik Wangi dan IR 64 adalah varietas yang
memiliki nilai SPAD lebih tinggi dibandingnya dengan varietas lainnya (Tabel 8).
Nilai SPAD berkorelasi positif dengan kosentrasi N dan kandungan klorofil dalam
daun (Fen et al. 2010). Nilai SPAD yang tinggi pada perlakuan T2 dan T3
menunjukkan bahwa fotosintat tinggi dan terakumulasi pada source (daun). Pada
tanaman gandum respon fisiologi tanaman yang terkena paparan suhu tinggi dapat
dilihat pada biomass yang tinggi dan luas daun menurun sedangkan kandungan
klorofilnya meningkat (Tahir et al. 2009).
Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa nilai SPAD berkorelasi positif
sangat nyata dengan suhu daun (r=0.497**) dan eksersi malai (r=0.479**),

berkorelasi negatif sangat nyata dengan persentase gabah isi (r=-0.669**), bobot
gabah isi (r=-0.626**), dan bobot 1 000 bulir (r=-0.540**) (Lampiran 16). Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan nilai SPAD sejalan dengan peningkatan suhu
daun dan eksersi malai, tetapi menurunkan persentase gabah isi, bobot gabah isi
dan bobot 1 000 bulir.
Tabel 8 Kerapatan stomata dan kehijauan daun (nilai SPAD) beberapa varietas
pada umur 63 HSS pada perlakuan suhu tinggi
Perlakuan
Suhu
T1 (28.3 ˚C)
T2 (32.1 ˚C)
T3 (33.1 ˚C)
Varietas
Ciherang
Menthik Wangi
IPB 3S
IR 64
Silungunggo
Jatiluhur
Way Apo Buru
HIPA 14

Kerapatan stomata (stomata/mm2)

Nilai SPAD

174.3 b
189.3 a
187.4 a

35.90 c
39.75 b
40.94 a

214.8
184.9
171.3
181.0
173.9
176.0
183.1
184.2

40.11 a
40.26 a
37.48 b
40.64 a
38.27 b
37.27 b
38.48 b
38.47 b

a
b
b
b
b
b
b
b

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama untuk
masing-masing perlakuan suhu dan varietas tidak berbeda nyata berdasarkan uji
beda nyata terkecil pada taraf uji 5%.

Interaksi perlakuan suhu dan varietas berpengaruh nyata pada peubah suhu
daun, transpirasi dan laju fotosintesis pada umur 6