Replacement of Fat Diet from Coconut Meal with Different Oil Sources on Performance of Female Javanese Thin-Tailed Sheep

PENGG
GANTIAN
N LEMAK
K RANSU
UM YANG
G BERAS
SAL DAR
RI
BU
UNGKIL KELAPA
A DENGA
AN SUMB
BER MIN
NYAK
BERB
BEDA TE
ERHADAP
P PENAM
MPILAN
PRODUK
KSI CALON INDU

UK
DOM
MBA EKO
OR TIPIS

SKRIPS
SI
IN
NDRI NOP
PITA

DEP
PARTEME
EN ILMU NUTRISI
N
DAN
D
TEKN
NOLOGI P
PAKAN

FAKUL
LTAS PETE
ERNAKAN
N
INSTITUT
T PERTAN
NIAN BOGOR
2012
  i

RINGKASAN
INDRI NOPITA. D24080388. 2012. Penggantian Lemak Ransum yang Berasal
dari Bungkil Kelapa dengan Sumber Minyak Berbeda terhadap Penampilan
Produksi Calon Induk Domba Ekor Tipis. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota

: Ir. Kukuh Budi Satoto, MS.
: Ir. Sri Rahayu, M.Si.


Bungkil kelapa merupakan limbah dari proses pembuatan minyak kelapa
yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak sumber protein dengan kandungan protein
kasarnya sebesar 22,75% (Moorthy dan Viswanathan, 2009). Akan tetapi, bungkil
kelapa banyak mengandung asam lemak jenuh dengan persentase asam lemak
tertinggi adalah 46,9% asam laurat (Santoso et al., 2006). Penggunaan asam lemak
jenuh yang tinggi dapat meningkatkan produk ternak (daging) tinggi kolesterol
(Muttakin, 2006) dan jika dibandingkan dengan asam lemak tak jenuh, asam lemak
jenuh kurang dapat meningkatkan kualitas reproduksi ternak betina (Thomas, 1997).
Asam lemak tak jenuh rantai panjang (Polyunsaturated Fatty Acid, PUFA) seperti
asam lemak arakhidionat dan Decosahexaenoic Acid (DHA) merupakan asam lemak
esensial untuk perkembangan organ reproduksi (Huang dan Craig-Schmidt, 1996).
Penambahan minyak dapat meningkatkan kandungan lemak, dimana dapat
tersedianya kandungan asam lemak esensial dalam ransum. Lemak merupakan salah
satu bahan konsentrat yang padat energi. Kearl (1982) menyebutkan ransum yang
mengandung energi hingga 68,1% dapat meningkatkan konsumsi bahan kering pada
domba. Minyak jagung dan minyak ikan lemuru merupakan sumber energi dan asam
lemak esensial. Kedua jenis minyak tersebut merupakan bahan-bahan yang
mengandung lemak terutama asam lemak tak jenuh yang cukup tinggi. Asam-asam
lemak ini sangat penting untuk sistem kekebalan, pertumbuhan, perkembangan

fungsi reproduksi dan kesehatan (Judith et al., 2006; Pal et al., 1999).
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh ransum yang tinggi
lemak jenuh dengan penambahan sumber minyak (minyak jagung, minyak ikan
lemuru dan minyak ikan lemuru terproteksi) yang kaya lemak tak jenuh terhadap
penampilan produksi domba ekor tipis. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini
adalah domba ekor tipis betina lepas sapih sebanyak 12 ekor dengan bobot badan
rata-rata 9,32±2,38 kg dengan CV 24,73%. Rancangan percobaan yang digunakan
adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 3 kelompok
sebagai ulangan. Perlakuan 1 (M0) = ransum kontrol, Perlakuan 2 (MJ) = Ransum
mengandung 1,5% Minyak Jagung, Perlakuan 3 (MIL) = Ransum mengandung 1,5%
minyak ikan lemuru, dan Perlakuan 4 (MILT) = Ransum mengandung 1,5% minyak
ikan lemuru terproteksi. Ransum yang digunakan selama penelitian adalah ransum
yang mengandung Total Digestible Nutrient (TDN) berkisar 66,03%-77,33% dan
kadar protein kasar (PK) berkisar 16,32%-18,27%. Ransum yang digunakan terdiri
atas rumput lapang dan konsentrat dengan perbandingan 30:70 dan air diberikan ad
libitum. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisa ragam
(ANOVA) dan apabila ada perbedaan dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel dan
Torrie, 1993). Penelitian ini juga menggunakan analisis korelasi sederhana antar
variabel. Peubah yang diamati adalah konsumsi bahan kering, protein kasar, serat
  ii


kasar, lemak kasar, Total Digestible Nutrient, pertambahan bobot badan, efisiensi
pakan serta Income Over Feed Cost.
Hasil penelitian menunjukkan ransum dengan penambahan sumber minyak
tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap konsumsi bahan kering,
protein kasar, serat kasar, Total Digestible Nutrient, pertambahan bobot badan,
efisiensi pakan dan Income Over Feed Cost, namun, sangat berpengaruh nyata
(P0.05) intake of dry
matter, protein, crud fiber, total digestible nutrient, daily weight gain, and feed
efficiency ratio. The treatment significantly affected (P 3

2,6

1,8

1,2

15,2

10,3


8,1

10

17

30

130

95

75

119

124

135


359,1

359,2

312

25

20

18

Rata-rata bibot sapih
Per ekor (kg)
Kematian prasapih (%)
Laju pertumbuhan prasapih
(g/ekor/hari)
Laju pertumbuhan lepas sapih
(g/ekor/hari)

Umur pubertas betina (hari)
Rata-rata bobot badan setahun (kg)
Sumber : Tiesnamurti (1999)

Bahan Pakan
Rumput Lapang
Rumput memegang peranan yang sangat penting didalam makanan ternak di
Indonesia, namun hal ini akan menunjang apabila hijauan tersebut bermutu baik.
Rumput lapang merupakan campuran dari beberapa jenis rumput lokal yang
umumnya tumbuh secara alami dengan daya produksi dan kualitas nutrisi yang
rendah (Wiradarya, 1989). Kualitas rumput lapang sangat beragam karena tergantung
pada kesuburan tanah, iklim, komposisi spesies, waktu pemotongan, cara
pemberiannya, dan secara umum kualitasnya dapat dikatakan rendah. Walaupun
demikian rumput lapang merupakan hijauan pokok yang sering diberikan pada ternak
(Pulungan, 1988).
Menurut Aboenawan (1991), rumput lapang merupakan pakan yang sudah
umum digunakan sebagai pakan utama ternak ruminansia diantaranya sapi dan
domba. Rumput lapang banyak terdapat disekitar sawah atau ladang, pegunungan,
tepi jalan dan semak-semak. Karena rumput lapang tumbuh liar sehingga memiliki
mutu yang kurang baik untuk pakan ternak. Seekor domba secara umum

membutuhkan 5-7 kg rumput lapang sebagai ransum tunggal.

4

Prabowo et al. (1984) melaporkan jenis-jenis rumput lapang diantaranya
yaitu rumput tatambangan (Uehaeum sp.), rumput pahit (Axonopus/Paspalum sp.),
rumput perimping (Themeda sp.), rumput katumpang (Callicarpa sp.), rumput
kakawatan (Cynodon sp.) dan lain-lain yang belum teridentifikasi.
Rumput lapang yang dikeringkan matahari memiliki kandungan bahan kering
78,37%, abu 0,33%, protein kasar 7,12%, lemak 0,91%, serat kasar 27,59% dan
BETN 35,61% (Herman, 1989).
Onggok
Ubi kayu merupakan tanaman penghasil pangan kedua terbesar setelah padi
di Indonesia, sehingga mempunyai prospek yang besar sebagai sumber karbohidrat
untuk sebagai bahan pangan dan keperluan industi. Berdasarkan data dari
Departemen Pertanian (2011) produksi ubi kayu pada Desember 2011 mencapai
20.924.159 ton. Ubi kayu (Manihot utilissima) dikenal sebagai salah satu bahan
pangan sumber serat. Pengolahan ubi kayu dapat menghasilkan berbagai produk
seperti tepung gaplek, gula cair dan tepung tapioka.
Tepung tapioka dapat digunakan pada industri makanan, pakan ternak,

dekstrin dan bahan baku glukosa. Selain menghasilkan tepung, industri pengolahan
tapioka juga menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair. Onggok
merupakan salah satu limbah padat agro industri pengolahan ubi kayu menjadi
tepung tapioka, selain kulit ubi kayu.
Ditinjau dari komposisi zat makanannya, onggok merupakan sumber energi
dengan kandungan karbohidrat sekitar 97,29%, namun kandungan protein kasar
onggok sangat rendah yaitu sekitar 1,45% dengan serat kasar yang tinggi sekitar
10,94% (Halid, 1991). Komposisi kimia onggok beragam, tergantung pada mutu
bahan baku, efisiensi proses ekstasi pati dan penanganan onggok itu sendiri (Ciptadi
et al., 1983). Komposisi zat makanan onggok dari beberapa penelitian sebelumnya
dapat dilihat pada Tabel 2.

5

Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Onggok (%BK)
Sumber

Abu

Protein


Lemak

Serat

Kasar

BETN1

kasar

Halid (1991)

1,03

1,45

0,23

10,94

86,35

Haroen (1993)

1,2

3,53

0,42

8,71

86,14

1)

BETN : Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen.

Bungkil Kelapa
Bungkil kelapa merupakan limbah dari proses pembuatan minyak kelapa
yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak sumber protein. Bungkil kelapa
mengandung bahan kering 90,46%; protein kasar 22,75%; lemak kasar 2,89%; serat
kasar 12,11%; abu 7,41%; BETN 54,84%; kalsium 0,40% dan fospor 0,63%
(Moorthy dan Viswanathan, 2009). Selain itu, di dalam bungkil kelapa juga
mengandung asam lemak. Kandungan asam lemak dalam bungkil kelapa dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan Asam Lemak dalam Bungkil kelapa
Asam Lemak

Jumlah (%)

Kaprilat

4,05

Kaprat

4,52

Laurat

46,9

Miristat

19,9

Palmitat

10,3

Palmitoleat

-

Stearat

2,06

Oleat

10,0

Linoleat

2,23

Sumber : Santoso et al. 2006

Aregheore (2005) menyatakan bahwa peningkatan pemberian bungkil kelapa
dapat menurunkan konsumsi bahan kering, namun dapat meningkatkan pertambahan
bobot badan dan memberikan konversi pakan yang rendah. Theodore (2010)
melaporkan bahwa pemberian bungkil kelapa menghasilkan jumlah anak sekelahiran
lebih baik dibandingkan pemberian bungkil inti sawit.

6

Minyak Jagung
Minyak jagung adalah suatu hasil ikutan industri penggilingan-basah jagung
yang diperoleh dari germ jagung. Jagung (Zea mays L.) biasanya ditumbuhkan untuk
digunakan sebagai pati, pemanis, alkohol, tepung, dan makanan ternak, jadi jumlah
jagung yang tersedia untuk produksi minyak diturunkan dari pasaran-pasaran
tersebut (White, 1992).
Minyak jagung kasar dimurnikan, dipucatkan, dan dihilangkan baunya untuk
memproduksi suatu minyak yang berkualitas baik. Minyak jagung kaya akan kalori,
yaitu sekitar 250 kalori per ons. Komposisi asam lemak khas dari minyak jagung
komersial di Amerika Serikat disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi dan Konstanta Kimiawi Minyak Jagung
Asam Lemak

Jumlah (%)

Palmitat

16:0

12,2

Palmitoleat

16:1

0,1

Stearat

18:0

2,2

Oleat

18:1

27,5

Linoleat

18:2

57,0

Linolenat

18:3

0,9

Arakhidat

20:0

0,1

Sumber : White 1992

Penggunaan minyak jagung dalam ransum menghasilkan gas CH4 sebesar
20,8% dan efisiensi penggunaan energi (VFA) sebesar 81%. Selanjutnya penggunaan
minyak jagung relatif lebih banyak memberi keuntungan daripada kerugian (Sutardi,
1997). Lemak dalam ransum akan mempengaruhi fermentasi rumen. Lemak sebagai
senyawa nonpolar, tidak mudah atau segera akan larut dalam medium cairan rumen,
karena itu lemak cenderung berasosiasi dengan partikel pakan dan mikrob rumen dan
bentuk asosiasinya berupa penutupan permukaan secara fisik oleh lemak (Pantoja et
al., 1995)
Minyak Ikan Lemuru
Minyak ikan lemuru merupakan limbah atau hasil samping dari proses
pengalengan maupun penepungan ikan lemuru yang banyak terdapat di daerah

7

Muncar Jawa Timur. Proses pengalengan ikan lemuru diperoleh rendemen berupa
minyak sebesar 5% (b/b) dan dari proses penepungan sebesar 10% (b/b).
Pengalengan satu ton ikan lemuru akan diperoleh 50 kg limbah berupa minyak ikan
dan selanjutnya dari satu ton bahan mentah sisa-sisa penepungan akan diperoleh
kurang lebih 100 kg hasil samping berupa minyak ikan lemuru (Setiabudi, 1990).
Sifat minyak ikan secara umum mempunyai sifat fisik antara lain berat jenis
yang lebih kecil daripada berat jenis air, membiaskan cahaya dengan sudut yang
spesifik untuk setiap jenis minyak ikan, derajat kekentalan yang spesifik, tidak larut
dalam air tetapi larut dalam pelarut lemak seperti eter, benzena dan petroleum eter
serta berwarna kuning muda sampai kuning keemasan. Sifat kimia minyak ikan
tersebut mudah beroksidasi dengan udara karena adanya asam lemak bebas, bersifat
adisi karena adanya ikatan-ikatan karbon tak jenuh dan mempunyai sifat untuk
polimerisasi (Weiss, 1983).
Penggunaan minyak ikan lemuru selain karena ketersediaannya yang tinggi
juga karena kandungan asam lemaknya. Susunan asam lemak minyak ikan lemuru
tidak berbeda dengan minyak ikan lainnya maupun minyak sayur, yaitu terdiri dari
trigliserida dengan panjang rantai yang bervariasi. Kelebihan minyak ikan lemuru
adalah jumlah asam lemak tidak jenuhnya lebih tinggi dengan lima atau enam ikatan
rangkap yang dimulai pada atom karbon ke tiga dari gugus metil (Lubis, 1993).
Komposisi asam lemak minyak jagung disajikan dalam Tabel 5.
Asam lemak terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam
lemak tidak jenuh dibedakan atas Monounsaturated Faty Acid (MUFA) dan
Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA). Dua jenis PUFA yang penting adalah asam
lemak omega 3 (n-3) dan asam lemak omega 6 (n-6) seperti linoleat dan
arachidionat. Menurut Lubis (1993) kandungan asam lemak omega 3 yang tertinggi
dalam minyak ikan lemuru adalah dari jenis (Eicosapentaenoic Acid, EPA) (C
20:5N3) dan (Decosahexaenoic Acid, DHA) (C 22:6n3) yaitu sebesar 34,7% dan
21,7%. Kandungan tersebut lebih tinggi bila dibandingakan dengan minyak ikan
lainnya.

8

Tabel 5. Komposisi Asam Lemak Minyak Ikan Lemuru
Komposisi
Jenis Asam Lemak

(g/100g) Contoh

Persentase (%)

C14:0 (Miristat)

6,20

12,5

C16:0 (Palmitat)

1,05

9,5

C16:1 (Palmitoleat)

0,65

3,8

C17:1

0,20

0,8

C18:0 (Stearat)

0,34

0,8

C18:1 (Oleat)

1,62

3,9

C18:2 (Linoleat)

0,45

1,1

C18:3n-6

0,04

0,1

C18:3n-3

0,24

0,6

C20:0

0,68

1,6

C20:1n-4

0,01

0,1

C20:2n-6

0,01

0,1

C20:3n-3

0,21

1,3

C20:5n-3 (EPA)

8,67

34,7

C20:1n-4

0,20

0,5

C20:3n-3

0,16

0,4

C22:6n-3 (DHA)

6,77

27,1

Sumber : Lubis (1993)

Ackman (1982) menyatakan bahwa DHA mempunyai peranan sangat
penting yaitu sebagai bagian dari fosfolipid semua jaringan pada otak dan
sistem syaraf. EPA dan DHA bersama-sama dengan asam arakidonat (AA, asam
lemak omega-6) bertanggung jawab terhadap pembentukan eicosanoids dalam
tubuh yang mempunyai peranan pada berbagai reaksi sistem kekebalan
(Andersen, 1995).
Minyak Ikan Lemuru Terproteksi
Minyak ikan lemuru terproteksiatau campuran garam karboksilat kering
(CGKK) adalah salah satu cara perlindungan lemakyang dilakukan secara kimiawi
melalui hidrolisis asam. Campuran garam karboksilat kering (CGKK) dapat

9

dicampur dengan konsentrat pada pakan ternak (Tasse, 2010). Minyak ikan yang
diolah menggunakan hidrolisis asam memiliki waktu yang lebih singkat
dibandingkan proses hidrolisis basa. Pembuatan Campuran Garam Karboksilat
Kering (CGKK) menurut Tasse (2010) adalah dengan membuat garam karboksilat
terlebih dahulu melalui proses kimiawi dengan mereaksikan bahan lemak, larutan
asam klorida (HCl) dan kalium hidroksida (KOH), garam karboksilat yang telah
terbentuk dicampur dengan onggok 1:5 b/b dan dimasukkan ke dalam oven pada
suhu 320C hingga kering.
Proteksi asam lemak tak jenuh minyak ikan lemuru dalam campuran garam
karboksilat kering bertujuan untuk membantu penyerapan zat makanan oleh ternak
ruminansia. Hal ini dikarenakan, terjadinya aksi biohidrogenasi mikroba rumen yang
dapat mengkonversikan asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh (Tymchuk
et al. 1998). Asam lemak dalam bentuk campuran garam karboksilat kering dapat
lolos dari biohidrogenasi mikroba rumen sehingga lolos ke pencernaan pasca rumen
dan diserap dalam usus. Pemberian campuran garam karboksilat kering dalam pakan
sapi perah dapat menghasilkan inkorporasi EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan DHA
(Decosahexaenoic Acid) dalam lemak susu (Tasse, 2010). Sudarman et al. (2008)
melaporkan bahwa minyak ikan yang diproteksi dengan sabun-Ca dalam ransum
sampai taraf 1,5% memberikan hasil yang baik pada pertambahan bobot badan dan
konversi pakan.
Kebutuhan Zat Makanan Domba Lokal
Kebutuhan ternak akan zat-zat gizi bervariasi antar species ternak dan umur
fisologis yang berlainan. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan zat gizi
antar lain adalah jenis kelamin, tingkat produksi keadaan lingkungan serta aktifitas
fisik ternak (Haryanto dan Djajanegara, 1993). Zat makanan yang diperlukan ternak
dapat dipisahkan menjadi komponen utama antara lain energi, protein, mineral dan
vitamin. Zat-zat makanan tersebut berasal dari pakan yang dikonsumsi. Kebutuhan
nutrien untuk domba berbobot badan 10 kg dan 20 kg dapat dilihat pada Tabel 6.
Dalam keadaan normal, faktor umur berkaitan erat dengan bobot badan (Parakkasi,
1999).

10

Tabel 6. Kebutuhan Harian Zat-zat Makanan untuk Ternak Domba
Sumber
Kearl (1982)

NRC (1985)

Bobot

PBB

BK

PK

TDN

Badan

(g/hari)

(g)

(g)

(g)

10

50

530

49

290

20

100

560

58

380

10

200

500

127

400

20

250

1000

167

800

Keterangan : PBB = pertambahan bobot badan; BK = bahan kering; PK = protein kasar , TDN = total
digestible nutrients.

Konsumsi Pakan
Konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh
ternak, dan zat yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan
hidup pokok dan untuk produksi hewan tersebut (Tilman et al., 1998). Faktor-faktor
yang mempengaruhi konsumsi adalah palatabilitas yang tergantung dari beberapa hal
yaitu penampilan dan bentuk pakan, bau, rasa, tekstur, dan temperatur lingkungan
(Church dan Pond, 1988).Konsumsi ransum juga dipengaruhi oleh kualitas makanan
dan kebutuhan energi ternak. Semakin baik kualitas makanannya, semakin tinggi
konsumsi ransum ternak (Parakkasi, 1999).
Maulidina et al. (2011) melaporkan bahwa konsumsi bahan kering ransum
domba betina calon induk yang menggunakan bungkil kelapa, onggok dan minyak
kelapa sawit (Crude Palm Oil, CPO) konsumsi bahan kering berkisar antara 450,29517,21 (g/ekor/hari) atau 3,20%-3,49% bobot badan. Shaliha et al. (2012) juga
melaporkan bahwa jumlah konsumsi bahan kering yang dikonsumsi oleh domba
jantan yang diberi ransum dengan menggunakan jagung, onggok dan bungkil kelapa
konsumsi bahan keringnya 422-500 (g/ekor/hari) atau 59-68 g/kg BB0,75 atau 3,1%3,5% dari bobot badan. Hartati et al. (2007) menunjukkan bahwa penambahan
mineral seng pada PPG (Pakan Padat Gizi) mengandung 1,50% minyak lemuru
tidak berpengaruh terhadap konsumsi bahan kering.
Perbedaan jenis bahan pakan dalam ransum dapat menimbulkan perbedaan
palatabilitas, kandungan nutrisi dan kecernaan, yang pada akhirnya menyebabkan
perbedaan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak (Hamdan et al., 2004). Scollan
et al. (2001), melaporkan bahwa ransum dengan minyak ikan cenderung mengurangi

11

konsumsi pakan. Chillard dan Doreau (1997) juga melaporkan bahwa asupan jagung
dan konsentrat yang dilengkapi dengan minyak ikan menurunkan konsumsi bahan
kering pada sapi perah.
Protein Kasar
Protein adalah senyawa kimia yang tersusun atas asam-asam amino. Winarno
(1992) menyatakan bahwa protein merupakan suatu zat makanan yang sangat
penting bagi tubuh. Protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, zat
pembangun dan pengatur. Protein berfungsi sebagai zat pembangun karena protein
merupakan bahan pembentuk jaringan-jaringan baru yang selalu terjadi dalam tubuh.
Protein digunakan sebagai bahan bakar jika kebutuhan energi tubuh terpenuhi oleh
karbohidrat dan lemak. Menurut NRC (1985) protein merupakan unsur penting
dalam tubuh hewan dan diperlukan terus menerus untuk memperbaiki sel dalam
proses sintesis. Transformasi protein ke dalam protein tubuh merupakan proses
penting dalam nutrisi dan metabolisme. Fungsi dari protein antara lain untuk
membangun dan memelihara protein jaringan dan organ tubuh, menyediakan energi
dalam tubuh, menyediakan sumber lemak badan dan menyediakan asam amino
(Tillman et al., 1991).
Boorman (1980) menyatakan konsumsi protein dipengaruhi oleh level
pemberian pakan. Pemberian pakan yang tidak dibatasi (melebihi hidup pokok) akan
meningkatkan konsumsi protein karena ternak mempunyai kesempatan untuk makan
lebih banyak (Haryanto dan Djajanegara, 1993). Peningkatan konsumsi protein juga
dipengaruhi oleh kandungan protein dalam pakan yaitu semakin tinggi kandungan
protein semakin banyak pula protein yang terkonsumsi (Boorman, 1980). Menurut
NRC (2006) domba yang sedang tumbuh membutuhkan protein yang kebih tinggi
dibandingan domba dewasa. Ternak yang berbobot badan rendah dan masuk masa
pertumbuhan membutuhkan protein lebih tinggi dibandingkan ternak dewasa yang
telah masuk masa penggemukan (Orskov, 1992). Konsumsi protein kasar domba
lepas sapih menurut Maulidina et al. (2011); Shaliha et al. (2012) yaitu berturut-turut
sebesar 67,08-86,6 (g/ekor/hari); 67-80 (g/ekor/hari).

12

Serat Kasar
Serat tergolong ke dalam karbohidrat dan merupakan sumber energi utama
bagi ternak ruminansia. Menurut Larbier (1987) pakan yang mengandung serat kasar
tinggi akan mempengaruhi pencernaan dan absorbsi zat gizi yang lain, karena serat
kasar dapat mengikat air sehingga laju perjalanannya dalam pencernaan bisa lebih
cepat. Maynard dan Loosli (1993) menyatakan domba dan ternak ruminansia lainnya
membutuhkan serat kasar sekitar 18% didalam ransum.
Pakan hijauan, perlu diperhatikan komponen serat (dinding sel tanaman)
karena komponen ini mempunyai nilai cerna yang bervariasi, sedangkan bagian isi
sel tanaman praktis dapat tercerna seluruhnya (Van Soest et al., 1966). Serat (neutral
detergen fiber) yang tidak tercerna, teutama dalam makanan berserat tinggi, akan
mempengaruhi kecukupan energi dan mungkin menekan konsumsi bahan kering
ransum melalui mekanisme kontrol fisik. Pakan hijauan yang merupakan sumber
serat kasar sangat penting keberadaannya di dalam ransum ternak ruminansia, karena
serat kasar yang dapat dicerna dibutuhkan untuk proses memamah biak (ruminasi)
dan dapat merangsang pertumbuhan alat-alat pencernaan pada ternak-ternak yang
sedang tumbuh (Gohl, 1981).
Shaliha et al. (2012) melaporkan bahwa domba jantan lepas sapih yang diberi
ransum dengan kandungan serat kasar sebesar 21,27%-22,25% konsumsi serat
kasarnya sebesar 94-106 (g/ekor/hari). Tilman et al. (1991) menyatakan semakin
banyak serat kasar yang terdapat didalam suatu bahan pakan, maka semakin tebal
dinding sel dan akibatnya semakin rendah daya cerna dari bahan makanan.
Lemak Kasar
Lemak atau lipid adalah zat makanan yang tidak larut dalam air tetapi dapat
larut dalam pelarut organik seperti eter, kloroform atau benzene (Joseph, 2007).
Berdasarkan sifat fisik temperature kamar lemak (fat) adalah bentuk lemak yang
berupa padatan misalnya lemak asal hewani dan minyak (oil) adalah bentuk lemak
yang berupa cairan misalnya lemak asal nabati (Pilliang dan Djojosoebagio 2002).
Tingkat konsumsi lemak kasar dipengaruhi oleh sifat kimia pakan, yaitu salah
satunya kandungan asam lemak tak jenuh dalam perlakuan. Haddad dan Younis
(2004) menyimpulkan konsumsi lemak kasar dapat meningkat sejalan dengan
penambahan jumlah lemak dalam ransum dengan persentase penambahan lemak

13

dalam ransum sebesar 0%; 2,5%; dan 5% pada ransum domba awwasi jantan lepas
sapih pada periode pembesaran signifikan dapat meningkatkan konsumsi lemak kasar
secara linier sebesar 21%; 59%; dan 67%. Machmuler et al. (2000) menyebutkan
hijauan dapat menyumbang komponen lemak dalam pakan domba. Menurut
Parakkasi (1999), komponen asam lemak hijauan terdiri dari asam lemak tak jenuh.
Total Digestable Nutrient
Total Digestable Nutrient merupakan nilai yang menunjukkan jumlah dari
zat-zat makanan yang dapat dicerna oleh hewan, yang merupakan jumlah dari semua
zat-zat makanan organik yang dapat dicerna seperti protein, lemak, serat kasar dan
BETN. Aboenawan (1991) menyatakan bahwa Total Digestable Nutrient merupakan
salah satu cara untuk mengetahui energi pakan. Semakin tinggi nilai Total Digestable
Nutrient suatu pakan maka pakan tersebut akan semakin baik karena semakin banyak
zat-zat makanan yang dapat digunakan. Selain itu Lallo (1996) melaporkan bahwa
konsumsi energi akan meningkat sejalan dengan peningkatan kandungan energi
pakan.
Maulidina et al. (2011) melaporkan bahwa konsumsi Total Digestable
Nutrient domba yaitu sebesar 306,53-390,51 (g/ekor/hari). Shaliha et al. (2012) juga
melaporkan bahwa konsumsi Total Digestable Nutrient domba yaitu sebesar 277-327
(g/ekor/hari) dan Menurut Purbowati et al.(2009) konsumsi Total Digestable
Nutrient antar perlakuan yang tidak berbeda nyata dapat disebabkan oleh kandungan
Total Digestable Nutrient pakan relatif sama dan konsumsi bahan kering yang tidak
berbeda nyata. Kurangnya konsumsi energi dapat mengakibatkan pertumbuhan
lambat atau berhenti, bobot hidup berkurang, fertilitas menjadi rendah, kegagalan
reproduksi, rendahnya kualitas wol, daya tahan tubuh terhadap penyakit berkurang
dan angka kematian tinggi (Ensminger, 1991).
Pertambahan Bobot Badan
Pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan ukuran dari tulang, otot,
organ dalam, dan bagian lain dari tubuh ternak. Pertumbuhan secara normal dimulai
dari saat sebelum lahir dan sesudah lahir hingga ternak mencapai ukuran tubuh
dewasa (Ensminger, 2002). Hewan yang sedang tumbuh membutuhkan energi

14

pemeliharaan tubuh (hidup pokok), memenuhi kebutuhan akan energi mekanik untuk
gerak otot, dan sintesa jaringan-jaringan baru (Tillman et al., 1998).
Maulidina et al. (2011) melaporkan bahwa ransum yang menggunakan
bungkil kelapa, onggok dan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil, CPO)
pertambahan bobot badannya yaitu sebesar 82,74-104,87 (g/ekor/hari). Shaliha et al.
(2012) melaporkan bahwa pertambahan bobot badan domba jantan lepas sapih yang
diberi ransum dengan menggunakan jagung, onggok dan bungkil kelapa konsumsi
protein kasar berkisar antara 67-80 (g/ekor/hari). Mathius et al. (1998)

juga

melaporkan ransum yang menggunakan bahan pakan bungkil kedelai yang mendapat
perlindungan molases dan minyak kelapa sawit yang mendapat perlindungan CaCO3
menghasilkan pertambahan bobot badan domba sebesar 71,67-100 (g/ekor/hari).
Blakely dan Bade (1998) menyatakan bahwa zat makanan utama yang dibutuhkan
oleh ternak untuk tujuan pertumbuhan adalah energi. Hasil penelitian Hasnudi dan
Wahyuni (2005) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan yang tidak berbeda
nyata dapat juga disebabkan ternak domba mengonsumsi pakan yang jumlahnya
tidak berbeda nyata.
Efisiensi Pakan
Efisiensi ransum merupakan kebalikan dari konversi ransum, semakin tinggi
nilai efisiensi ransum maka jumlah ransum yang diperlukan untuk menghasilkan satu
kilogram daging semakin sedikit. Lemak dan energi dalam ransum dapat
memperbaiki efisiensi ransum karena semakin tinggi kadar lemak dan energi
dalam ransum lebih sedikit tetapi menghasilkan pertambahan bobot badan yang
tinggi.

Tingginya

kandungan dinding

penghambat menjadi

salah

satu

sel

ransum

dan

adanya

komponen

faktor pembatas bagi ternak untuk dapat

meningkatkan kegunaan ransum. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa penambahan
protein dalam ransum dapat meningkatkan pertambahan bobot badan sedangkan
penambahan serat kasar dalam ransum akan menurunkan bobot badan. Efisiensi
pakan dapat ditingkatkan dengan menambahkan lemak pada ransum tetapi akan
berakibat penurunan konsumsi ransum. Penambahan lemak dalam ransum dapat
meningkatkan efisiensi karena lemak dalam ransum tersebut akan dideposisi
dalam tubuh sehingga akan meningkatkan bobot badan.

15

Kook et al. (2002) yang memakai sapi jantan dan sapi jantan yang dikastrasi
memiliki efisiensi 0,12 dan 0,08 dengan perlakuan 5% minyak ikan dalam ransum.
Campbell et al. (2006) menyatakan bahwa efisiensi dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain kemampuan ternak dalam mencerna bahan pakan, kecukupan zat
makanan untuk hidup pokok, pertumbuhan dan fungsi tubuh serta jenis pakan yang
digunakan.
Income Over Feed Cost
Analisa ekonomi sangat penting karena tujuan akhir berternak adalah untuk
mencapai keuntungan. Income Over Feed Cost adalah salah satu cara untuk
menghitung pendapatan yang diterima oleh peternak. Secara sederhana, perhitungan
Income Over Feed Cost adalah pendapatan dari penjualan ternak dikurangi biaya
pakan.
Komponen utama yang diperhatikan dari perhitungan Income Over Feed Cost
adalah harga jual domba, harga beli bakalan, dan biaya pakan. Kasim (2002)
menambahkan bahwa konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan harga pakan
saat pemeliharaan dapat berpengaruh terhadap nilai perhitungan Income Over Feed
Cost. Pertambahan bobot badan yang tinggi belum tentu menjamin keuntungan yang
maksimum, tetapi pertumbuhan yang baik diikuti dengan konversi pakan yang baik
pula serta biaya pakan yang minimal akan mendapatkan keuntungan yang maksimal.

16

METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu
Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pengujian pakan dilakukan di
Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU). Waktu penelitian dilaksanakan dari
bulan Juli 2011 sampai Februari 2012.
Materi
Ternak Percobaan
Penelitian ini menggunakan 12 ekor domba ekor tipis betina lepas sapih umur
3-4 bulan dengan bobot badan rata-rata 9,32±2,38 kg dengan CV 24,73%. Domba
tersebut berasal dari Unit Pendidikan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J), Fakultas
Peternakan IPB yang berada di daerah Jonggol, Jawa Barat. Ternak dikandangkan
secara individu dan dipelihara selama delapan bulan. Contoh ternak domba yang
digunakan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Contoh Domba Penelitian
Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 12 buah, merupakan
kandang individu yang berukuran 125 x 55 cm dengan ketinggian 110 cm. Kandang
yang digunakan pada penelitian ditunjukkan pada Gambar 3.

17

(a)

(b)

Gambar 3. (a) Kandang Domba Penelitian, (b) Kandang Individu
Peralatan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempat pakan,
tempat minum, timbangan digital dan timbangan gantung dengan kapasitas 50 kg
untuk menimbang bobot hidup domba. Contoh peralatan yang digunakan di lapang
ditunjukkan pada Gambar 4.

(a)

(b)

©

(c)
Gambar 4.

(d)

(a) Tempat Pakan, (b) Tempat Minum, (c) Timbangan Digital
Kapasitas, (d) Timbangan Gantung Kapasitas 50 kg

18

Ransum
Ransum yang digunakan selama penelitian berupa rumput lapang dan
konsentrat dengan perbandingan 30:70 serta air min