Dynamics Model of National Salt Sufficiency.

MODEL DINAMIK SWASEMBADA GARAM NASIONAL

SRI DHARMAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Dinamik
Swasembada Garam Nasional adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013


Sri Dharmayanti
NIM H451110441

RINGKASAN
SRI DHARMAYANTI. Model Dinamik Swasembada Garam Nasional.
Dibimbing oleh SUHARNO dan AMZUL RIFIN.
Garam memiliki peran strategis yaitu sebagai bahan pokok bagi kebutuhan
konsumsi dan juga merupakan bahan baku berbagai industri. Kebutuhan konsumsi
antara lain digunakan untuk konsumsi rumah tangga, industri makanan, industri
minyak goreng, industri pengasinan dan pengawetan ikan, sedangkan kebutuhan
industri antara lain untuk industri perminyakan, tekstil dan penyamakan kulit,
industri pakan ternak, industri chlor alkali (CAP), industri farmasi (Deperin 2009).
Lahan potensial tambak garam di Indonesia sebesar 34 ribu hektar, namun hingga
saat ini baru sekitar 60 persen dari lahan potensial tambak garam Indonesia yang
telah dimanfaatkan sebagai lahan tambak produktif.
Produksi yang dihasilkan oleh lahan tambak garam produktif Indonesia
tergolong rendah sehingga belum dapat memenuhi tingginya kebutuhan.
Kesenjangan antara produksi dan kebutuhan menimbulkan ketergantungan
terhadap garam impor. Sebagai langkah untuk mengurangi ketergantungan

terhadap garam impor, maka pada tahun 2011, pemerintah menggagas kebijakan
swasembada garam nasional. Tercapainya swasembada garam nasional dapat
diukur melalui ketersediaan baik pada garam konsumsi maupun garam industri.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) membangun model sistem ketersediaan
garam nasional untuk mengukur ketercapaian swasembada garam nasional, (2)
menganalisis dampak pencapaian kebijakan swasembada bagi ketersediaan garam
nasional, dan (3) menyusun kebijakan alternatif yang dibutuhkan sebagai upaya
pencapaian swasembada garam nasional. Untuk menjawab penelitian tersebut
digunakan pendekatan dinamika sistem. Dampak kebijakan swasembada garam
nasional dianalisis dengan menggunakan 5 skenario, yaitu : (1) skenario 1 (jika
pencapaian kebijakan swasembada sebesar 60% dari indikator capaian), (2)
skenario 2 (jika pencapaian kebijakan swasembada sebesar 80% dari indikator
capaian, (3) skenario 3 (jika pencapaian kebijakan swasembada sebesar 100% dari
indikator capaian, dengan nilai batas bawah ekstensifikasi), (4) skenario 4 (jika
pencapaian kebijakan swasembada sebesar 100% dari indikator capaian, dengan
nilai tengah ekstensifikasi) dan (5) skenario 5 (jika pencapaian kebijakan
swasembada sebesar 100% dari indikator capaian, dengan nilai batas atas
ekstensifikasi). Sedangkan untuk menyusun kebijakan alternatif digunakan 3
skenario, yaitu (1) skenario 6 : Skenario 4 dengan koreksi atas kebijakan
peningkatan produktivitas PUGAR menjadi sebesar 97 ton per hektar, (2)

skenario 7 : skenario 6 dengan asumsi seluruh pengusahaan garam rakyat
merupakan anggota kelompok PUGAR, dan (3) skenario 8 : skenario 7 plus
reduksi konsumsi garam untuk rumah tangga mengikuti rekomendasi salt intake
berdasarkan WHO (2007) yaitu 5 gram per hari per kapita dan peningkatan
kualitas garam yang dihasilkan oleh garam rakyat sehingga tidak memerlukan
pemurnian.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kondisi aktual, ketersediaan
garam konsumsi berfluktuasi selama periode simulasi. Ketersediaan defisit dalam
cuaca ekstrim. Sedangkan dalam cuaca normal, Indonesia dapat mencapai

swasembada garam konsumsi. Pengelolaan secara actual tidak dapat menjadikan
Indonesia berswasembada garam konsumsi secara kontinu. Sedangkan
ketersediaan garam industri pada model aktual defisit di sepanjang periode
simulasi. Kondisi ini dikarenakan dengan pengelolaan aktual, Indonesia tidak
dapat memproduksi garam industrinya sendiri.
Analisis dampak kebijakan swasembada garam nasional menunjukkan
Kebijakan swasembada garam nasional berdampak pada pencapaian swasembada
garam konsumsi pada tahun 2012. Simulasi terhadap 5 skenario menunjukkan
bahwa swasembada garam konsumsi secara berkelanjutan sudah dapat tercapai
setidaknya apabila 80 persen dari indikator kebijakan tercapai. Sementara pada

garam industri, ketersediaan masih menunjukkan nilai negatif sepanjang periode
simulasi.
Kebijakan alternatif yang disusun dapat mengantarkan Indonesia mencapai
swasembada garam konsumsi secara berkelanjutan selama periode simulasi.
Sedangkan swasembada garam industri baru dapat tercapai apabila skenario 8
diterapkan, yaitu kebijakan peningkatan kualitas garam rakyat sehingga
memenuhi kriteria kebutuhan industri. Ketersediaan pada skenario 8 menunjukkan
nilai tertinggi dibandingkan skenario lainnya, hal ini dikarenakan adanya
penggabungan kebijakan dari sisi penyediaan baik secara kuantitas maupun
kualitas dan pengurangan konsumsi.

Kata kunci: dinamika sistem, ketersediaan, garam, swasembada

SUMMARY
SRI DHARMAYANTI. Dynamics Model of National Salt Sufficiency.
Supervised by SUHARNO and AMZUL RIFIN

Salt has a strategic role as the staple food towards consumption needs and
industrial needs in raw materials. The consumption needs covers all aspects in
house hold consumption, cooking oil industries, fish curing industries, and other

common industries such as oil industry, textile and tannery, feed, chlor alkali
(CAP), and pharmacy (Deperin 2009). The potential area for salt sea bank is
about 34 hectare, but only 60 percent of this area are used as productive salt sea
bank.
The production produced by a productive salt sea bank in Indonesia are
considered very low as they cannot fulfill the needs generally. The gap between
supply and demand generate high dependency towards imported salt. As a step to
reduce the dependency, in 2011, the government came up with the idea of the
national salt self sufficiency. The achievement of this program can be measured
by the availability of consumption and industrial salt needs.
This research was done to (1) build a model of the national salt supply
system to measure the achievement of the national salt self sufficiency, (2)
analyze the impact of this self sufficiency achievement in the national salt self
sufficiency, and (3) compose an alternative policy needed as an effort to achieve
the salt self sufficiency. In this research, the dynamic system approach is used.
The impact of this national salt self sufficiency policy is analyzed using five
scenario: (1) scenario 1 (if the achievement of the national salt self sufficiency
reach 60 percent of the achievement indicator), (2) scenario 2 (if the achievement
of the national salt self sufficiency reach 80 percent of the achievement indicator),
(3) scenario 3 (if the achievement of the national salt self sufficiency reach 100

percent of the achievement indicator with the lower limit of extensification), (4)
scenario 4 (if the achievement of the national salt self sufficiency reach 100
percent of the achievement indicator with the middle limit of extensification), (5)
scenario 5 (if the achievement of the national salt self sufficiency reach 100
percent of the achievement indicator with the upper limit of extensification).
In arranging the alternative policy, three scenarios are needed; (1)
scenario 6: scenario 4 with the correction in the PUGAR productivity
increasement policy in 97 tons/hectare, (2) scenario 7: scenario 6 with the
assumption of ; all grassroots salt companies are the member of PUGAR, and (3)
scenario 8: scenario 7 plus salt consumption reduction for household based on the
salt intake recommendation of WHO (2007) which is 5 grams per day per capita
and and the increasement of salt quality produced by the grassroots supplier so
there will be no more purification needed.
The analysis shown that in real condition, the supply of consumption salt
fluctuated during the stimulation period. Deficit supply in extreme weather. While
during normal weather, Indonesia could achieve the consumption salt self
sufficiency. But the actual processing of salt in Indonesia does not support the self
sufficiency program gradually. While the industrial salt supply is lack during the

stimulation program. This condition happened because in actual processing,

Indonesia cannot produce their own industrial salt.
The national salt self sufficiency policy impact analysis shown that the
policy resulted in the achievement of the consumption salt self sufficiency in
2012. The simulation through the 5 scenarios shown that, gradually, the
consumption salt self sufficiency will be achieved if at least 80 percent of the
indicators are achieved as well. While in industrial salt, the supplies are negative
during the whole simulation.
The composed alternative policy can support Indonesia to reach
continuous consumption salt self sufficiency during the simulation period. While
the industrial salt self sufficiency will be able to be achieved if the 8th scenario is
applied, which is the increase of the grassroots salt production quality policy as it
will fulfill the criteria of industrial needs. The supply in the 8th scenario shown
the highest number compared to other scenarios. This is caused by the
combination of policies in supply either quantity or quality and the depletion of
consumption.
Keywords: dynamic system, supply, salt, self sufficiency

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MODEL DINAMIK SWASEMBADA GARAM NASIONAL

SRI DHARMAYANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr Ir Nunung Kusnadi, MS

Penguji Program Studi

: Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Judul Tesis
Nama
NIM

: Model Dinamik Swasembada Garam Nasional
: Sri Dharmayanti
: H451110441

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


IV

Dr Ir Suharno, MAdev
Ketua

Dr Arnzul Rifin, SP MA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Agribisnis
セLMオN

」Aッ G . .Yカャセu@

Pascasarj ana

セNG@


--------

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Tanggal Ujian: 5 Juni 2013

Tanggal Lulus:

2 4 JUL 2013

Judul Tesis
Nama
NIM

: Model Dinamik Swasembada Garam Nasional
: Sri Dharmayanti
: H451110441

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Suharno, MAdev
Ketua

Dr Amzul Rifin, SP MA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Agribisnis

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 5 Juni 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayahNya, tesis yang berjudul “Model Dinamik Swasembada Garam Nasional”
dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan
studi dan memperoleh gelar Master pada Program Studi Agribisnis, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik
atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini,
penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi
tingginya kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:
1. Bapak Dr Ir Suharno, MAdev, selaku ketua komisi pembimbing dan
Bapak Dr Amzul Rifin, SP MA, selaku anggota komisi pembimbing atas
segala bimbingan, arahan, motivasi yang sangat berharga bagi penulisan
tesis ini.
2. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis,
dosen evaluator pada kolokium proposal penelitian dan juga dosen penguji
perwakilan program studi pada ujian tesis, yang telah banyak memberikan
masukan mulai dari proposal hingga penyelesaian tesis.
3. Dr Ir Nunung Kusnadi, MS selaku Dosen Penguji Luar Komisi atas arahan
dan masukan sehingga karya ilmiah ini menjadi lebih baik lagi.
4. Seluruh staf pengajar dan staf akademik program studi Magister Sains
Agribisnis
5. Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri (BPKLN) Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan atas beasiswa melalui program Beasiswa
Unggulan yang telah diberikan hingga saya dapat menyelesaikan studi.
6. Bapak Gumilar beserta staf dari KP3K Kementerian Kelautan dan
Perikanan atas bantuannya dalam pengumpulan data penelitian.
7. Bapak Bukhori dari Kementerian Perindustrian atas informasi terkait
kondisi pergaraman nasional sehingga memudahkan saya untuk dapat
menyelesaikan tesis ini.
8. Seluruh teman-teman MSA 2 atas atas diskusi, motivasi dan bantuannya
selama penulis menyelesaikan tesis.
9. Lia Emiria Mustika dan Nia Astuti atas bantuannya sehingga memudahkan
proses penyusunan tesis.
10. Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan
kepada kedua orangtua dan mertua atas doa restu yang telah menjadikan
proses penyusunan ini terasa lebih mudah.
11. Ucapan terimakasih khusus disampaikan kepada suami tercinta Fredi
Raharja beserta anak-anak tersayang Balqis Fathiya Imani, M. Tsabit
Thoriqussalam dan Zia Aqila Azkadina yang telah memberikan dukungan
penuh.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013

Sri Dharmayanti

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

iii

DAFTAR GAMBAR

iii

DAFTAR LAMPIRAN

iv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Definisi Operasional

1
1
4
6
6
6

2 TINJAUAN PUSTAKA
7
Dinamika Kebijakan Pergaraman Nasional
7
Kebijakan Swasembada Garam Nasional
8
Pendekatan Model Dinamika Sistem untuk Memproyeksikan Ketercapaian
Kebijakan Swasembada
10
Kerangka Pemikiran
12
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data

17
17
18

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
30
Keragaan Sistem Ketersediaan Garam Nasional
30
Model Dinamika Sistem Ketersediaan Garam Nasional
41
Dampak Pencapaian Kebijakan Swasembada Garam Nasional
57
Skenario Alternatif Kebijakan Pengembangan Sistem Ketersediaan Garam
Nasional
65
Model Ketersediaan Dengan Konversi Atas Kualitas Garam Rakyat
71
5

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

74
74
74
v
79
101

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

Indikator capaian swasembada garam konsumsi
Indikator capaian swasembada garam industri
Data dan sumber data
Analisis kebutuhan pihak-pihak yang terlibat
Formulasi permasalahan pihak-pihak yang terlibat
Asumsi pada submodel penyediaan garam konsumsi
Asumsi pada submodel kebutuhan garam konsumsi
Asumsi pada submodel penyediaan garam industri
Asumsi pada submodel kebutuhan garam industri
Indikator Capaian Ekstensifikasi Lahan
Kualitas garam berdasarkan kandungan NaCl dan air
Kualitas garam rakyat tahun 2004-2009
Konsumsi garam (Visible salt) tahun 2002, 2007, dan 2009
Populasi penduduk Indonesia tahun 2001-2011
Hasil uji validitas kinerja model sistem ketersediaan garam nasional
Luas lahan tambak garam pada kondisi aktual tahun 2008-2025
Perkembangan produktivitas tambak garam dalam kondisi aktual
berdasarkan pelaku usahanya tahun 2008-2025
Perkembangan jumlah hari panen, tahun 2008-2025
Produksi garam konsumsi pada kondisi aktual, tahun 2008-2025
Penyediaan garam dari dalam negeri pada kondisi aktual,
tahun 2008-2025
Kebutuhan garam konsumsi pada kondisi aktual tahun 2008-2025
(dalam ton)
Neraca ketersediaan garam konsumsi pada kondisi aktual tahun 20082025
Perkembangan impor dan stok garam konsumsi pada kondisi aktual
tahun 2008-2025
Perkembangan kebutuhan garam industri pada kondisi aktual,
tahun 2008-2025
Neraca ketersediaan garam industri
Perkembangan impor garam industri pada kondisi aktual tahun 20082025
Penyediaan, kebutuhan dan neraca ketersediaan garam konsumsi
dengan memperhitungkan kualitas garam, tahun 2008-2025
Perbandingan ketersediaan garam konsumsi antara model aktual dan
model dengan memperhitungkan kualitas garam, tahun 2008-2025

9
9
17
18
19
22
25
26
27
29
32
32
37
38
41
43
45
46
47
49
50
51
52
54
55
56
72
73

DAFTAR GAMBAR
1 Perkembangan produksi dan kebutuhan garam nasional tahun 20012011
2 Produksi garam nasional berdasarkan pelaku usahanya
3 Perkembangan kebutuhan garam nasional berdasarkan pemanfaatannya
tahun 2008 - 2012
4 Perkembangan impor garam berdasarkan pemanfaatnya tahun 20082012
5 Pola Umum perilaku dinamika sistem
6 Diagram sebab akibat simulasi model dinamik swasembada garam
nasional
7 Diagram blackbox ketersediaan Garam Nasional
8 Diagram alir submodel penyediaan garam konsumsi
9 Diagram alir submodel kebutuhan garam konsumsi
10 Diagram alir submodel penyediaan garam industri
11 Diagram alir submodel kebutuhan garam industri
12 Perkembangan produksi garam rakyat, PT Garam dan total produksi
nasional tahun 1977 - 2012
13 Perkembangan luas tambak garam milik garam rakyat, PT Garam dan
total luas lahan tambak garam nasional tahun 1997 - 2012
14 Peta sentra garam tahun 2011
15 Peta wilayah penyangga garam tahun 2011
16 perkembangan produktivitas tambak garam tahun 1997 - 2012
17 Perkembangan impor garam konsumsi tahun 2006 - 2012
18 Perkembangan kebutuhan garam konsumsi tahun 2008- 2012
19 Perkembangan impor garam industri tahun 2006 – 2012
20 Persentase kebutuhan garam rata-rata tahun 2008-2011
21 Kebutuhan garam industri berdasarkan kelompok penggunanya
22 Produksi garam di beberapa Negara di dunia ( dalam ton )
23 Luas lahan tambak garam pada kondii aktual, tahun 2008- 2025 (dalam
hektar)
24 Perkembangan produktivitas garam dalam kondisi aktuak berdasarkan
pelaku usahanya, tahun 2008-2025.
25 Perkembangan jumlah hari panen
26 Produksi garam pada kondisi aktual tahun 2008-2025
27 Penyediaan garam dari dalam negeri pada kondisi aktual tahun 20082025
28 Kebutuhan garam konsumsi pada kondisi aktual tahun 2008-2025
29 Ketersediaan garam konsumsi pada kondisi aktual tahun 2008-2025
30 perekembangan kebutuhan garam industri pada kondisi aktual tahun
2008-2025
31 Neraca ketersediaan garam industri pada kondisi aktual tahun 20082025
32 perkembangan impor garam industri pada kondisi aktual yahun 20082024

1
2
3
3
15
20
21
22
24
26
27
31
33
34
34
35
36
37
39
40
41
42
43
44
46
47
48
49
51
53
55
56

33 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam konsumsi dalam kondisi
aktual dan skenario 1
34 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam industri dalam kondisi
aktual dan skenario 1
35 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam konsumsi dalam kondisi
aktual dan skenario 2
36 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam industri dalam kondisi
aktual dan skenario 2
37 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam konsumsi dalam kondisi
aktual dan skenario 3, 4 dan 5
38 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam industri dalam kondisi
aktual dan skenario 3
39 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam industri dalam kondisi
aktual dan skenario 4
40 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam industri dalam kondisi
aktual dan skenario 5
41 Perbandingan ketersediaan garam konsumsi antar skenario kebijakan
swasembada garam nasional
42 Perbandingan ketersediaan garam industri antar skenario
kebijakan swasembada garam nasional
43 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam konsumsi dalam kondisi
aktual dan skenario 6
44 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam industri dalam kondisi
aktual dan skenario 6
45 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam konsumsi dalam kondisi
aktual dan skenario 7
46 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam industri dalam kondisi
aktual dan skenario 7
47 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam konsumsi dalam kondisi
aktual dan skenario 8
48 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam industri dalam kondisi
aktual dan skenario 8
49 Perbandingan Ketersediaan garam konsumsi antar skenario
50 Perbandingan ketersediaan garam industri antar skenario
51 Diagram Alir model keterbatasan garam konsumsi
52 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam konsumsi dengan
memperhitungkan kualitas garam tahun 2008-2025

58
59
60
60
61
62
62
63
63
64
65
66
67
67
68
69
70
70
71
72

DAFTAR LAMPIRAN
1 Model dinamik swasembada garam nasional kondisi aktual
81
2 Persamaan matematis model dinamik swasembada garam nasional
kondisi aktual
82
3 Model dinamik dampak kebijakan swasembada garam nasional
83
4 Persamaan matematis model dinamik swasembada garam nasional
kondisi aktual
91
5 Neraca ketersediaan swasembada garam nasional dalam kondisi aktual
dan setelah ada kebijakan
100

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 24 Juli 1981 dari ayah
AW Suharto dan ibu Lyn Sawalin Mardiningsih. Penulis adalah anak ke 3 dari 3
bersaudara.
Pendidikan formal penulis diawali di SDN Pengadilan 3 Bogor dari tahun
1986 - 1992. Penulis lalu melanjutkan studi di SMP Negeri 1 Bogor pada tahun
1992 – 1996. Tahun 1996 penulis melanjutkan ke jenjang menengah atas di SMA
Negeri 1 Bogor hingga tahun 1999. Di akhir studi, penulis lulus seleksi masuk
IPB melalui jalur undangan pada program studi Sosial Ekonomi Perikanan (SEI)
FPIK IPB. Penulis berhasil menyelesaikan studi S1 pada tahun 2003. Tahun 2011
penulis mendapatkan kesempatan untuk meneruskan studi ke program Magister
Sains Agribisnis dan memperoleh sponsor dari beasiswa unggulan BPKLN
Kemdiknas.
Tahun 2004 - 2005 penulis bekerja sebagai Guru di SMP IT Ummul Quro
Bogor. Di tahun 2005 - 2007 penulis bekerja sebagai asisten pengembangan
produk di Unit Usaha Syariah PT Bank DKI.
Penulis menikah dengan Fredi Raharja pada tanggal 28 Mei 2006 dan
dikaruniai 3 anak, Balqis Fathiya Imani, M.Tsabit Thoriqussalam dan Zia Aqila
Azkadina.

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Garam merupakan bahan pokok bagi kebutuhan konsumsi juga merupakan
bahan baku berbagai industri. Garam ditetapkan sebagai satu dari sembilan bahan
pokok (sembako) berdasarkan Peraturan Pemerintah no.140 tahun 1961 tentang
Penyaluran Bahan-bahan dan Barang-barang Pokok Keperluan Rakyat. Garam
juga dicanangkan sebagai komoditas pangan strategis dalam “Feed Indonesia,
Feed the World II” di tahun 2012. Di sektor industri, garam digunakan di
berbagai industri seperti industri klor alkali, industri pengolahan logam, industri
sabun, industri karet, industri tekstil, minyak, keramik, farmasi dan kertas.
Indonesia memiliki potensi alam yang mendukung untuk dapat memenuhi
kebutuhan garam dari produksinya sendiri. Secara geografis, Indonesia terletak
pada pertemuan jalur pergerakan lempeng tektonik dan pegunungan muda
sehingga menyebabkan terbentuknya berbagai macam sumber daya mineral yang
potensial untuk dimanfaatkan. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu
negara maritim terbesar di dunia dengan luas laut sebesar 5.8 juta km2 atau 70
persen dari luas seluruh Indonesia dan juga merupakan negara dengan garis
pantai terpanjang kedua di dunia yaitu sepanjang 95 181 km. Berdasarkan
Balitbang KKP (2012) sebesar 34 ribu hektar lahan di Indonesia memenuhi
kriteria teknis sebagai lahan tambak garam. Namun, pemanfaatan terhadap potensi
lahan tambak garam di Indonesia tersebut belum seluruhnya digarap, hanya 20
ribu hektar atau 60 persen dari lahan tambak garam potensial yang sudah
dimanfaatkan untuk produksi garam. Lumbung produksi terbesar nasional adalah
Pulau Madura dengan luas lahan yang telah dieksploitasi sebesar 15 ribu hektar.
4,000,000
3,500,000

(dalam ton)

3,000,000
2,500,000
2,000,000
1,500,000
1,000,000
500,000
0
2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

tahun
produksi

kebutuhan

Gambar 1 Perkembangan produksi dan kebutuhan garam nasional
tahun 2001- 2011
Sumber : Kemenperin 2012

2011

2
Produksi yang dihasilkan oleh lahan tambak garam produktif Indonesia
tergolong rendah sehingga belum dapat memenuhi tingginya kebutuhan (Gambar
1). Dalam cuaca normal, produksi garam nasional cenderung stabil. Gambar 1
menunjukkan bahwa pada periode tahun 2001 hingga tahun 2009 produksi garam
cenderung stabil dengan rata-rata produksi per tahun sebesar 1.2 juta ton.
Sedangkan pada tahun 2010 terjadi perubahan cuaca ekstrim sehingga produksi
turun hingga mencapai 30 ribu ton. Perkembangan produksi garam selama 10
tahun terakhir mengindikasikan ketergantungan yang tinggi pada cuaca dan
minimnya sentuhan inovasi teknologi.
Produksi garam nasional dipasok oleh produksi PT.Garam dan produksi
garam rakyat. 80 persen dari total produksi nasional merupakan produksi garam
rakyat (Gambar 2). Secara umum, teknologi produksi yang digunakan di
Indonesia masih sederhana, yaitu penguapan air laut dengan cahaya matahari
(solar evaporation). Meskipun terdapat kesamaan dalam penggunaan teknologi
produksi, namun terdapat perbedaan dalam metode produksi yang digunakan baik
oleh PT Garam maupun garam rakyat. Garam rakyat menggunakan metode
produksi kristalisasi total, sedangkan PT Garam menggunakan metode kristalisasi
bertingkat. Perbedaan ini mempengaruhi kuantitas dan kualitas garam yang
dihasilkan. Metode kristalisasi total menghasilkan kuantitas yang cenderung lebih
tinggi namun dengan kualitas yang lebih rendah.
1,600,000

produksi (ton)

1,400,000
1,200,000
1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

tahun
PT Garam

garam rakyat

Gambar 2 Produksi garam nasional berdasarkan pelaku usahanya
Sumber : Kemenperin (2012) dan PT Garam (2013)

Garam dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri.
Kebutuhan konsumsi antara lain digunakan untuk konsumsi rumah tangga,
industri makanan, industri minyak goreng, industri pengasinan dan pengawetan
ikan, sedangkan kebutuhan industri antara lain untuk industri perminyakan, tekstil
dan penyamakan kulit, industri pakan ternak, industri chlor alkali (CAP), industri
farmasi (Deperin 2009). Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan
(2012), secara kuantitas rata-rata kebutuhan garam nasional pada tahun 2008-2011
sebesar 3 juta ton, yaitu 1.2 juta ton untuk garam konsumsi dan 1.8 juta ton untuk
garam industri. Berdasarkan gambar 3 terlihat bahwa kebutuhan industri
mendominasi total kebutuhan garam nasional dengan rata-rata 1.6 juta per tahun.

3
3,500,000

Kebutuhan (ton)

3,000,000
2,500,000
2,000,000
1,500,000
1,000,000
500,000
2008

2009

2010

2011

2012

tahun
garam konsumsi

garam industri

Gambar 3 Perkembangan kebutuhan garam nasional berdasarkan pemanfaatannya
tahun 2008-2012
Sumber : Kemenperin 2013

Kebutuhan garam tidak hanya secara kuantitas harus terpenuhi namun juga
dari sisi kualitas. Kualitas garam yang dihasilkan Indonesia memiliki kandungan
NaCl dibawah 90 persen. Sehingga dengan kualitas tersebut, garam lokal baru
dapat memenuhi kriteria kebutuhan konsumsi. Sedangkan untuk memenuhi
kebutuhan industri, garam lokal belum dapat memasok baik segi kuantitas
maupun kualitas. Kriteria kualitas garam untuk kebutuhan industri adalah
memiliki kandungan NaCl minimal 98 persen.
Senjang antara produksi dan kebutuhan baik secara kuantitas maupun
kualitas memberikan peluang bagi garam impor untuk masuk ke pasar Indonesia.
Impor dilakukan untuk memenuhi kekurangan pasokan atas kebutuhan konsumsi
maupun industri. Berdasarkan Kemenperin (2013) trend impor garam memiliki
kecenderungan yang terus meningkat sebelum tahun 2012 (Gambar 4).
Ketergantungan terhadap garam impor yang semakin menguat pada akhirnya
menimbulkan polemik di berbagai kalangan yang kemudian marak diangkat
berbagai media nasional belakangan ini.
3,000,000

Impor (ton)

2,500,000
2,000,000
1,500,000
1,000,000
500,000
-

2008

2009

2010

2011

2012

tahun
garam konsumsi

garam industri

Gambar 4 Perkembangan impor garam berdasarkan pemanfaatannya
tahun 2008-2012
Sumber : Kemenperin 2013

4
Penyediaan garam yang bersumber dari luar negeri (impor) dari sisi
pemenuhan kebutuhan memang dapat memberikan solusi bagi kekurangan
pasokan garam lokal. Namun di sisi lain seperti yang diuraikan Wirjodirdjo (2004)
dapat berdampak pada penyediaan garam lokal, yaitu tidak bersaingnya garam
lokal baik terhadap harga maupun kualitas garam impor. Kondisi ini pada jangka
panjang dapat berakibat pada semakin tidak menariknya industri pergaraman
nasional bagi masyarakat dan ketergantungan terhadap impor semakin tinggi.
Ketergantungan terhadap garam impor merupakan ironi bagi bangsa
mengingat potensi sumberdaya alam Indonesia dan latar belakang historis
Indonesia sebagai negara pengekspor garam. Untuk itu maka pada tahun 2011
pemerintah mengeluarkan kebijakan swasembada garam nasional sebagai bentuk
intervensi. Ihsanudin (2012) menguraikan latar belakang pencetusan swasembada
garam antara lain bertujuan untuk (1) memenuhi kebutuhan garam nasional baik
garam konsumsi maupun garam industri yang belum bisa terpenuhi. Perlu diingat
bahwa pemenuhan kebutuhan garam ini bukan saja berkaitan dengan kuantitas
namun juga dengan kualitas (terutama yang diperlukan industri). (2)
menghentikan atau paling tidak mengurangi jumlah impor garam nasional yang
sedikitnya menyerap devisa sekitar $100 juta per tahun. (3) adanya manfaat efek
ganda (multiplier effect) dari usaha pegaraman yang sangat tinggi. Efek ganda ini
terkait dengan berjalannya kegiatan ekonomi (baik pada aktivitas di lahan,
transportasi, pemasaran maupun industri), (4) mendukung pencapaian kualitas
kesehatan masyarakat (pemenuhan kebutuhan garam konsumsi beriodium
penduduk yang masih 72.81 persen).
Keberhasilan swasembada garam tidak hanya keberhasilan dalam
memenuhi kebutuhan konsumsi melainkan juga kebutuhan industri. Pada
penelitian ini akan dikaji bagaimana kemungkinan Indonesia dalam mencapai
swasembada garam. Ketercapaian swasembada akan ditelaah melalui ketersediaan
fisik garam yang mampu dipasok oleh kemampuan domestik.

Perumusan Masalah

Dalam upaya membangkitkan kembali pergaraman nasional sedikitnya ada
5 komponen terkait, yaitu usaha garam rakyat, PT Garam, industri, konsumen
rumah tangga dan pemerintah. Usaha garam rakyat dan PT Garam sebagai
penyedia garam dalam negeri. Rendahnya produktivitas, ketergantungan onfarm
terhadap cuaca yang sangat tinggi, rendahnya kualitas merupakan permasalahan
pada sisi penyediaan di dalam negeri. Situasi semakin diperburuk dengan semakin
kuatnya keberadaan garam impor di Indonesia. Impor garam mengalami trend
yang cenderung meningkat, terlebih pada saat cuaca ekstrim seperti yang terjadi
pada tahun 2010, 99 persen fisik garam yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan nasional merupakan garam impor. Keberadaan garam impor yang pada
awalnya menjadi solusi atas kurangnya pasokan dalam negeri untuk memenuhi
kebutuhan baik kebutuhan konsumsi maupun industri, lambat laun dengan

5
lemahnya tata niaga garam nasional menjadikan posisi garam impor justru
semakin menguat.
Kebijakan swasembada garam merupakan bentuk intervensi pemerintah
yang berupaya memutus permasalahan lemahnya pergaraman nasional. Kebijakan
ini fokus pada peningkatan penyediaan dalam negeri sehingga ketergantungan
terhadap garam impor secara bertahap akan dikurangi. Kebijakan swasembada
garam nasional menargetkan swasembada garam konsumsi di tahun 2012 dan
swasembada garam industri di tahun 2015. Untuk mencapai swasembada
dibutuhkan produksi hingga 3 ton per tahun dengan kandungan NaCl lebih dari 98
persen. Peningkatan produktivitas, penambahan lahan tambak garam
(ekstensifikasi), perbaikan kualitas melalui proses pencucian merupakan berbagai
strategi untuk dapat mencapai swasembada. Permasalahannya kemudian adalah
mampukah Indonesia mencapai swasembada. Beberapa pihak menyangsikan
tercapainya swasembada garam ini dikarenakan sejumlah isu yang belum
tertangani seperti isu harga, tata niaga, infrastruktur dan juga kualitas. Balitbang
KKP (2012) menguraikan fakta permasalahan pada pergaraman nasional yang
menjadi penghambat pelaksanaan kebijakan swasembada, antara lain yaitu
masalah sumber daya manusia (SDM), permodalan, kualitas dan penguasaan
lahan, teknologi produksi dan pasca panen, kelembagaan produksi, infrastruktur,
regulasi pedagangan dan ketersediaan data produksi dan konsumsi.
Penelitian ini akan memproyeksikan ketercapaian swasembada hingga
tahun 2025. Pengukuran swasembada akan didekati melalui neraca ketersediaan
yang mengukur kemampuan dalam negeri dalam menyediakan garam secara fisik
(penyediaan) untuk memenuhi kebutuhan nasional. Dalam penelitian ini proyeksi
tehadap ketercapaian swasembada dilakukan dengan mengukur besarnya
ketersediaan dalam negeri. Proyeksi didahului dengan pembangunan model yang
dapat merupakan abstraksi dari kondisi pergaraman nasional. Pembangunan
model berdasarkan Eriyatno (1999) dilakukan untuk memberikan suatu abstraksi
dari situasi aktual yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak langsung
serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Model dibangun dengan
pendekatan dinamika sistem agar dapat memberikan gambaran yang utuh
mengenai dinamika ketersediaan garam secara nasional dari waktu ke waktu.
Dengan kondisi sebagaimana yang telah diuraikan, maka penelitian ini
ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
a. Pada kondisi aktual, mungkinkah Indonesia mencapai swasembada
garam?
b. Pada saat ada intervensi berupa kebijakan swasembada garam
nasional, mungkinkah Indonesia mencapai swasembada garam
konsumsi secara berkelanjutan?
c. Pada saat ada intervensi berupa kebijakan swasembada garam
nasional, mungkinkah Indonesia mencapai swasembada garam
industri di tahun 2015?
d. Kebijakan apa yang dapat mengantarkan Indonesia berswasembada
garam secara berkelanjutan baik konsumsi maupun industri?

6
Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian rumusan permasalahan, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Membangun model swasembada garam nasional dengan menggunakan
pendekatan dinamika sistem
2. Menganalisis dampak kebijakan swasembada garam nasional terhadap
ketersediaan garam nasional
3. Menyusun alternatif kebijakan yang dibutuhkan sebagai upaya pencapaian
swasembada garam nasional

Ruang Lingkup Penelitian

1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.

Swasembada akan didekati dengan melakukan pengukuran terhadap fisik
garam lokal yang mampu disediakan untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri
Ketersediaan dibagi menjadi ketersediaan garam konsumsi dan ketersediaan
garam industri
Neraca ketersediaan mengakomodir komponen penyediaan dan kebutuhan
baik pada garam konsumsi maupun garam industri
Penyediaan meliputi produksi dalam negeri dan cadangan dari tahun lalu
Penyediaan garam konsumsi terbagi menjadi garam rakyat dan PT Garam
Penyediaan garam tidak dibedakan kualitasnya
Impor merupakan penyediaan yang bersumber dari luar negeri. Besarnya
impor dalam model ditentukan dari selisih antara penyediaan dan kebutuhan
di dalam negeri

Definisi Operasional

Garam konsumsi

Garam industri

Garam dengan kadar Natrium Khlorida minimum 94.7
persen atas dasar berat kering, dengan kandungan
impurities Sulfat, Magnesium dan Kalsium maksimum 2
persen dan sisanya adalah kotoran (lumpur, pasir). Kadar
air maksimal 7 persen. Garam jenis ini digunakan untuk
garam meja, garam dapur, bahan baku dalam industri
penyedap makanan, industri makanan mutu tinggi,
industri sosis dan keju, industri minyak goreng, industri
makanan menengah seperti kecap, tahu, pakan ternak
dan untuk pengasinan ikan (Deperin 2009)
Garam dengan kadar Natrium Chlorida diatas 98.5
persen dengan impuritis Sulfat, Magnesium, Kalium dan
kotoran (insoluble matter) yang sangat kecil (Deperin
2009)

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

Dinamika Kebijakan Pergaraman Nasional

Kebijakan pergaraman nasional berubah secara dinamis sejalan dengan
perubahan-perubahan sistem ekonomi di Indonesia. Dinamika kebijakan tersebut
mempengaruhi ketersediaan garam nasional baik secara langsung maupun tidak
langsung. Dalam Rochwulaningsih (2008), pada masa pemerintah kolonial
Belanda, kebijakan tataniaga pengusahaan garam bersifat monopoli. Pada masa itu
garam merupakan komoditi ekspor dan menjadi salah satu sumber pendapatan
negara, sehingga monopoli garam sangat menguntungkan secara ekonomi. Pada
masa perang kemerdekaan (1945-1949), kontrol pemerintah terhadap monopoli
garam berkurang disebabkan instabilitas politik. Hal tersebut berdampak pada
turunnya produksi garam nasional, bahkan hingga kebutuhan nasional tidak
terpenuhi. Pada tahun 1959, pemerintah melalui Undang-undang no.13 tahun
1959 mengenai penghapusan sistem monopoli garam, memutuskan untuk
menghapus sistem monopoli dan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk
mengembangkan usaha garam secara bebas. Hal ini dilakukan untuk mengatasi
ancaman kekurangan pasokan garam. Penghapusan sistem monopoli, memberikan
dampak nyata berupa melimpahnya ketersediaan garam yang bersumber dari
peningkatan produksi garam rakyat, sehingga pada akhirnya berdampak pada
turunnya harga di tingkat petambak. Sejak saat itu garam cenderung menjadi
komoditas yang “tidak ada harganya”. Selain itu peningkatan ketersediaan garam
secara kuantitas tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas.
Keputusan Presiden no. 69 tahun 1994 tentang pengadaan garam iodium
memberikan pembatasan terhadap petambak garam dalam menjual garam krosok
yang dihasilkannya. Garam krosok tidak lagi dapat dijual langsung kepada
konsumen karena belum memenuhi standar kebutuhan kesehatan. Pada akhirnya,
keberadaan kepres ini menyebabkan kemerosotan posisi garam rakyat dalam pasar
garam. Ketersediaan garam lokal tidak dapat diserap di pasar sendiri. Dengan
alasan kualitas rendah (NaCl kurang dari 92.7 persen) dan tidak memenuhi
kualifikasi SNI, maka kalangan pengusaha besar enggan menerima pasokan garam
rakyat untuk kebutuhan industrinya dan cenderung melakukan impor baik garam
konsumsi maupun industri. Dalam Wirjodirdjo (2004), sebagai upaya memenuhi
kebutuhan nasional yang terus meningkat dan melindungi kepentingan konsumen,
maka pada periode tahun 1998 hingga 1999 pemerintah membebaskan bea masuk
garam impor. Dengan dibebaskannya bea masuk, keberadaan garam impor
semakin kuat dan sebaliknya posisi garam rakyat menjadi semakin lemah.
Penyerapan garam rakyat terhambat oleh keberadaan garam impor. Kebijakan
pergaraman nasional dari waktu ke waktu belum menunjukkan keberpihakan
sepenuhnya pada petambak garam skala kecil, melainkan lebih berpihak kepada
para pemodal besar dan importir garam. Keberadaan garam impor semakin kokoh
menguasai tata niaga pergaraman nasional. Fenomena ini ditandai dengan
keberadaan praktek kartel garam di Indonesia.

8
Sejak tahun 2004, pemerintah perlahan mulai menunjukkan
keberpihakannya pada petambak garam skala kecil melalui usaha perlindungan
terhadap garam rakyat dengan mengeluarkan sejumlah regulasi yang mengatur
mengenai ketentuan impor garam dan penentuan harga dasar garam. Peraturan
Dirjen Perdagangan Luar Negeri nomor 02/Daglu/Per/5/2011 menetapkan harga
garam terendah di titik-titik pengumpul untuk kualitas KP1 sebesar Rp750/kg dan
KP2 Rp550/kg. Namun pada faktanya, harga di tingkat petambak masih berada
dibawah ketentuan tertulis. Ketidakmampuan petambak sebagai pricemaker
dikarenakan masih tingginya ketergantungan petambak kepada pemilik modal
seperti tengkulak, sehingga pemilik modal dapat dengan mudah menentukan harga.
Hal ini menggambarkan terjadinya gejala policy resistance pada pergaraman
nasional.
Seiring dengan berkembangnya pemberitaan mengenai ironi pergaraman
nasional, pada tahun 2011, pemerintah menetapkan kebijakan swasembada garam
nasional. Kebijakan ini berupaya melepaskan diri dari ketergantungan terhadap
impor secara bertahap melalui peningkatan kuantitas dan kualitas garam nasional.
Keseriusan KKP dalam memacu produksi garam rakyat dibuktikan dengan
program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) yang dilaksanakan di 40
Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia sebagai program turunan dari kebijakan
swasembada garam nasional. Program ini memberikan subsidi input dalam bentuk
bantuan langsung masyarakat (BLM) untuk merangsang peningkatan
produktivitas, pembangunan infrastruktur, penetapan harga garam, penataan impor
dan ekstensifikasi lahan. Kebijakan ini membedakan target pencapaian
swasembada pada garam konsumsi dan garam industri. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan kualitas dari keduanya. Untuk garam konsumsi, pemerintah
menargetkan tercapai swasembada di tahun 2012 yang lalu. Sementara untuk
garam industri ditargetkan tercapai di tahun 2015.
Berdasarkan Rismana (2013), swasembada garam konsumsi sudah dapat
tercapai pada kondisi cuaca normal sekalipun tanpa program PUGAR.
Permasalahannya kemudian adalah bagaimana mempertahankan swasembada di
tahun-tahun berikutnya, terutama bila cuaca tidak mendukung. Sedangkan untuk
garam industri, hampir seluruhnya dipasok oleh garam impor, sehingga
swasembada garam industri menjadi tantangan besar bagi pergaraman nasional.

Kebijakan Swasembada Garam Nasional

Program ini pada pelaksanaannya melibatkan tiga kementerian, yaitu
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian dan
Kementerian Perdagangan dibawah koordinasi Kementerian Perekonomian.
Melalui kebijakan ini, pemerintah menghendaki terwujudnya swasembada garam
nasional melalui peningkatan produksi dan kualitas serta pemberdayaan
masyarakat. Adapun indikator capaian swasembada garam nasional diuraikan
pada Tabel 1 dan Tabel 2. Indikator capaian tersebut merupakan dasar asumsi
simulasi dampak kebijakan.

9
Tabel 1 Indikator capaian swasembada garam konsumsi
Indikator capaian
Outcome
Terpenuhinya garam konsumsi
Meningkatnya produktivitas dari
nasional tahun 2012.
60 menjadi 84 ton/ha/tahun
Surplus produksi garam nasional
Memberikan dampak penambahan
disamping untuk stok garam
produksi sebesar 1 690 500 ton
konsumsi juga untuk mendukung
Aktifnya kembali lahan garam
stok garam industri pada tahun
dengan
produktivitas
84
2013.
ton/ha/tahun
Menurunnya volume garam impor
Pengembangan
Mina
Politan
pada tahun 2012 (412 000 ton)
Garam
sampai tidak tergantung sama
Distribusi garam lancar dengan
sekali pada tahun 2013
harga layak
Kelompok usaha bersama (KUB)
Menguatnya
kelembagaan
garam rakyat berkembang sebagai
petambak garam dengan usaha
badan usaha garam rakyat pada
yang
menguntungkan
bagi
tahun 2012
kesejahteraan petambak garam

Tabel 2 Indikator capaian swasembada garam industri
Indikator
Lahan baru terolah
Produktivitas

Unit
Ha

2012
1 315

2013
3 945

2014
5 698

2015
7 890

ton/ha

75

75-100

75-125

100-125

Pemenuhan kebutuhan
%
30
59
95
garam industri
Outcome
Berkurangnya pengeluaran devisa negara akibat penurunan impor
Terciptanya lapangan pekerjaan baru
Penurunan angka pengangguran
Penguatan ketahanan negara dari sisi ketergantungan terhadap produk impor
Peningkatan jumlah industri lain yang mendukung industri garam industri,
Peningkatan kesejahteraan sosial
Berdasakan Widiarto (2012) KKP
bertanggungjawab
terhadap
pencapaian swasembada garam untuk keperluan konsumsi dengan
melaksanakan intensifikasi dan revitalisasi lahan produktif, peningkatan
produksi dan mutu garam rakyat, pemberdayaan petambak garam, inovasi
teknologi produksi dan mutu garam. Kemenperin bertanggungjawab terhadap
pencapaian swasembada garam untuk industri melalui kegiatan peningkatan mutu
garam untuk industri, pemenuhan kebutuhan garam untuk industri CAP dan non
CAP, dan pengembangan garam industri dengan inovasi teknologi industri.
Kemendag bertanggungjawab pada 2 (dua) hal, yaitu
(1) Kebijakan
pentarifan dan harga garam melalui penetapan harga dasar garam, kebijakan
ini dipandang perlu karena selama ini garam konsumsi dalam negeri, tidak
dapat bersaing dengan garam konsumsi impor karena petambak garam di

10
negara pengekspor diberi subsidi oleh pemerintahnya (India dan Cina); (2)
Kebijakan penentuan impor garam terutama untuk kebutuhan industri dengan
mempertimbangkan keberadaan garam produksi nasional dan menjamin
kecukupan garam untuk kebutuhan nasional.
Kebijakan swasembada garam nasional menggunakan berbagai strategi
meliputi aspek infrastruktur, produksi, tata niaga, kelembagaan dan permodalan.
Strategi dari aspek infrastruktur adalah dengan melakukan intensifikasi dan
ekstensifikasi lahan. Strategi ini juga dilakukan pada komoditas beras. Penelitian
Mulyana (1998) mengenai keragaan penawaran dan permintaan beras Indonesia
dan prospek swasembada menuju era perdagangan bebas mengungkapkan bahwa
secara ekonomi, swasembada beras periode tahun 1984 hingga tahun 1996 dapat
dipertahankan salah satunya dengan menambah areal intensifikasi. Wirjodirdjo
(2004) merumuskan intensifikasi dan ekstensfikasi lahan merupakan strategi yang
dapat digunakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor garam. Aspek
infrastruktur lainnya adalah dengan melakukan perbaikan infrastruktur dan
pemetaan lahan.
Di aspek produksi, strategi yang digunakan adalah dengan meningkatkan
kuantitas dan kualitas produksi. Peningkatan kuantitas dan kualitas garam rakyat
dilakukan salah satunya dengan meluncurkan program PUGAR. Melalui program
ini, pelaku usaha garam rakyat diberikan subsidi input berupa pemberian bantuan
pengadaan alat-alat produksi. Penelitian Hasan et al. (2000) mengenai kebijakan
swasembada gandum di Sudan, menemukan bahwa kebijakan subsidi input berupa
air dan perbaikan jaringan irigasi sebagai bentuk perbaikan infrastruktur pertanian
telah meningkatkan produksi gandum.
Aspek tata niaga untuk mencapai swasembada adalah dengan melakukan
pembatasan impor dan penetapan harga dasar. Harga dasar garam ditetapkan
melalui Peraturan Dirjen Perdagangan Luar Negeri no. 2 tahun 2011
tentang Penetapan Harga Penjualan Garam di Tingkat Petani. Namun, pada
faktanya kebijakan penetapan harga tidak berjalan dengan baik. Struktur pasar
yang masih harus dibenahi sehingga penerapan harga dasar tidak berjalan dengan
baik.

Pendekatan Model Dinamika Sistem untuk Memproyeksikan Ketercapaian
Kebijakan Swasembada

Proses panjang untuk mencapai swasembada garam nasional melibatkan
berbagai pihak sebagai suatu sistem yang saling terkait. Untuk itu, keterkaitan
antara pergaraman nasional dan kebijakan pemerintah dapat menggunakan
pendekatan sistem yang dinamis. Dinamika sistem merupakan pendekatan yang
berorientasi terhadap masalah multidisiplin yang memungkinkan untuk
mengidentifikasi, memahami, dan memanfaatkan hubungan antara perilaku dan
struktur dalam sebuah sistem yang bersifat kompleks dan dinamis. Berdasarkan
Giraldo et al. (2008) konsep yang mendasari dinamika sistem menyiratkan bahwa
pemahaman terhadap perilaku sistem yang kompleks hanya dapat dicapai melalui
sistem yang utuh daripada pendekatan yang bersifat parsial (Giraldo et al. 2008).
Namun, penting untuk diketahui bahwa pendekatan ini tidak sepenuhnya holistik,

11
seperti diperlukannya penggunaan beberapa elemen dari reduksionisme untuk
menggambarkan perilaku dari berbagai komponen dari sistem (Colin 1997 dalam
Giraldo et al. 2008).
Penggunaan pendekatan dinamika sistem dalam upaya memproyeksikan
ketercapaian swasembada sudah banyak dilakukan. Proyeksi atas pencapaian
swasembada banyak dilakukan dengan menganalisa neraca ketersediaan. Irawan
(2005) dan Nurmalina (2007) memproyeksikan swasembada komoditas beras,
Harmini et al. (2011) memproyeksikan tercapainya swasembada daging sapi,
Nugrahapsari (2013) memproyeksikan swasembada gula kristal putih. Proyeksi
dikembangkan melalui simulasi model dapat memberikan arah perencanaan bagi
ketersediaan berbagai komoditas tersebut.
Secara umum swasembada dianalisa melalui neraca ketersediaan.
Ketersediaan didekati melalui dua subsistem yaitu subsistem penyediaan dan
kebutuhan. Pada penelitian Somantri dan Machfud (2006) kebutuhan dibagi
menjadi dua sub sistem lagi, yaitu kebutuhan konsumsi dan kebutuhan industri.
Hal ini dilakukan mengingat perbedaan karakteristik antara kebutuhan konsumsi
dan industri. Variabel yang digunakan dalam sistem ketersediaan disesuaikan
berdasarkan karakteristik permasalahan masing-masing komoditas. Kemampuan
dalam mendalami latar belakang kondisi ketersediaan masing-masing komoditas
dapat membantu dalam penentuan variabel yang akan digunakan.
Wirjodirdjo (2004) mengkaji ketersediaan garam dalam rangka
mengurangi ketergantungan luar negeri. Pada penyusunan model, submodel
produksi dibangun dari 3 kelompok besar yaitu produksi petambak garam di
kawasan Madura, luar Madura dan produksi PT Garam. Pengelompokan tersebut
dilatarbelakangi kondisi pergaraman sebelum tahun 2004 dimana sentra produksi
garam di kawasan luar Madura belum banyak dikembangkan, sehingga terdapat
perbedaan karakter seperti produktivitas lahan tambak garam. Namun pemisahan
tersebut tidak relevan lagi untuk dilakukan saat ini, mengingat tidak signifikannya
perbedaan pada pengusahaan garam rakyat di berbagai lokasi. Pada penelitian ini
pemisahan garam berdasarkan kelompok kebutuhannya tidak diakomodir.
Sehingga kebijakan yang disusun bersifat global tanpa membedakan kelompok
kebutuhan konsumsi maupun industri. Hal ini dapat menimbulkan kesalahan
dalam penarikan kesimpulan mengenai ketergantungan Indonesia terhadap
keberadaan garam impor. Dari telaah terhadap berbagai pustaka terkait sistem
ketersediaan, maka penelitian ini berupaya untuk menyempurnakan kelemahan
yang ada, yaitu antara lain dengan membedakan pembahasan garam berdasarkan
kebutuhannya dan mengakomodir variabel stok.
Berhasil tidaknya pencapaian swasembada melalui proyeksi atas
implementasi kebijakan swasembada garam nasional menjadi evaluasi penting
bagi pengembangan pergaraman nasional. Untuk itu dalam penelitian ini juga
akan dirumuskan kebijakan alternatif yang dapat dilakukan agar swasembada
dapat tercapai. Berdasarkan Giraldo et al. (2008) para penyusun kebijakan
biasanya menggunakan model untuk mendukung keputusan yang diambil. Dalam
Sunitiyoso et al. (2012), pemodelan sistem merupakan metode yang disarankan
dalam pengembangan kebijakan.