Analysis of Spatio Temporal Dynamics Model in Malaria

(1)

RAHMAT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis Model Spasial Temporal pada Dinamika Penyebaran Penyakit Malaria adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2011 Rahmat NIM G551090271


(3)

(4)

ABSTRACT

RAHMAT. Analysis of Spatio Temporal Dynamics Model in Malaria. Under direction of PAIAN SIANTURI and ALI KUSNANTO.

Malaria is an infectious disease caused by protozoa of the genus Plasmodium, which is transmitted from person to another person through the bites of female Anopheles mosquitoes. Mathematical model can be used to study the spread of the disease. The mathematical model discussed in this paper is Ross-MacDonald model and models with spatial heterogeneity of migration model and visitation model. For the models of heterogeneous environments with mobility, we also made numerical simulations for different values of intensity connection between patches, values of e(the proportion of humans migrate) and T (visitation time). Stability analysis of Ross-MacDonald model give two stable equilibrium points. For the migration and visitation models, there are four stable equilibrium points. When in a fragmented environment, humans have a high migration rate between patches, the system will more rapidly reach the same equilibrium prevalence it reached with lower migration rates. When humans visit other patches, an increase in the time devoted to the visits will make the system reach a higher equilibrium prevalence more rapidly. The numerical simulation show that increasing mosquitoes mortality rate makes the number of infected humans being exposed decrease. If average bite of an infected mosquito increases, then the number of infected humans who become exposed also increases. For the mosquito population, increasing mosquitoes mortality rate will cause the number of infected mosquitoes being exposed decrease. Increasing the average bite of an infected mosquito will increase the number of infected mosquitoes that become exposed.

Keywords: Ross-MacDonald model, Migration model, Visitation model, malaria, equilibrium point.


(5)

(6)

RINGKASAN

RAHMAT. Analisis Model Spasial Temporal pada Dinamika Penyebaran Penyakit Malaria. Dibimbing oleh PAIAN SIANTURI dan ALI KUSNANTO

Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus Plasmodium, yang ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Malaria dapat menyerang manusia, burung, kera dan primata lainnya, hewan melata dan hewan pengerat. Penyakit malaria mempunyai penyebaran yang sangat luas, sampai saat ini malaria menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia dan dunia.

Meningkatnya kasus malaria dipengaruhi oleh perubahan pola distribusi vektor malaria (nyamuk Anopheles sp.) yang berkembang dari skala lokal menjadi skala global. Kondisi tersebut didukung oleh perubahan kondisi daerah endemik malaria yang bertambah luas dan meningkatnya jumlah penduduk tanpa didukung oleh sarana kesehatan yang memadahi. Perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain, khususnya dari daerah yang rawan penyakit menular ke daerah lain, menyebabkan daerah yang telah bebas dari penyakit akan terkena kembali.

Berbagai upaya dilakukan untuk memberantas penyakit maupun vektor malaria. Upaya tersebut mencakup pengobatan pasien, penggunaan obat-obatan anti malaria, pemusnahan nyamuk vektor pembawa penyakit serta pemusnahan tempat perkembangbiakan nyamuk. Tetapi upaya tersebut kurang efektif karena obat anti malaria maupun obat pembasmi nyamuk memberikan dampak yang kecil terhadap penurunan kepadatan transmisi nyamuk (Mushinzimana et al.,2004).

Sehubungan dengan banyaknya kendala tersebut, perlu adanya suatu penelitian dan pemikiran yang dilakukan. Pemodelan Matematika dapat membantu memahami dan mengidentifikasi hubungan penyebaran penyakit malaria dengan berbagai parameter epidemiologi. Model matematik yang dimaksud diantaranya ialah model Ross-MacDonald dan model heterogenitas spasial yang terdiri dari model Migrasi dan model Kunjungan.

Pada ketiga model dilakukan analisis kestabilan dan simulasi numerik dengan pemrograman berbasis fungsional. Dalam proses analisis kestabilan, ditentukan titik-titik tetap, nilai eigen dan kestabilan dari titik tetap tersebut. Simulasi dilakukan untuk melihat pengaruh perubahan nilai e(proporsi sebagian manusia yang bermigrasi) pada model Migrasi, pengaruh perubahan nilai T (lama waktu berkunjung) pada model Kunjungan, serta melihat pengaruh perubahan laju kematian nyamuk dan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi terhadap populasi manusia terinfeksi dan nyamuk terinfeksi.

Analisis kestabilan model Ross-MacDonald menghasilkan dua titik tetap, model Migrasi dan model Kunjungan masing-masing menghasilkan empat titik tetap. Simulasi menunjukkan bahwa ketika lingkungan terfragmentasi dengan tingkat migrasi manusia yang tinggi, sistem akan mencapai kesetimbangan yang sama dengan tingkat migrasi yang lebih rendah. Artinya bahwa perubahan nilai e tidak berpengaruh terhadap sistem. Namun, ketika manusia mengunjungi daerah lain dan kembali ke derah asal mereka, lama waktu yang dibutuhkan meningkat, akan membuat sistem mencapai kesetimbangan yang lebih lebih cepat. Artinya bahwa perubahan nilai T berpengaruh terhadap sistem.


(7)

Sedangkan semakin besar rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi maka banyaknya manusia yang terinfeksi semakin banyak. Pada populasi nyamuk terinfeksi, semakin besar laju kematian nyamuk maka banyaknya nyamuk yang terinfeksi semakin sedikit. Sedangkan semakin besar rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi maka banyaknya nyamuk yang terinfeksi semakin banyak.

Kata kunci: model Ross-MacDonald, model Migrasi, model Kunjungan, malaria, heterogenitas, titik tetap, analisis kestabilan


(8)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(9)

(10)

ANALISIS MODEL SPASIAL TEMPORAL

PADA DINAMIKA PENYEBARAN PENYAKIT MALARIA

RAHMAT

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Matematika Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(11)

(12)

Judul Tesis

:

Analisis Model Spasial Temporal pada Dinamika Penyebaran Penyakit Malaria

Nama

:

Rahmat

NIM

:

G551090271

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Paian Sianturi Drs. Ali Kusnanto, M.Si.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Matematika Terapan

Dr. Ir. Endar H. Nugrahani, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(13)

(14)

“Aku tidak menerima apa yang aku inginkan

Tetapi aku menerima apa yang aku butuhkan

Do’a ku terjawab sudah”

ku persembahkan tesis ini untuk


(15)

(16)

PRAKATA

Alhamdulillahi Robbil ’Alamiin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, dan nikmat yang telah diberikanNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011 ini ialah Analisis Model Spasial Temporal pada Dinamika Penyebaran Penyakit Malaria.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Matematika Terapan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa bantuan-bantuan dan arahan-arahan dari kedua pembimbing sangat membantu dalam menyelesaikan karya tulis ini. Penulis sangat berterima kasih kepada Dr. Paian Sianturi selaku pembimbing I dan Drs. Ali Kusnanto, M.Si. selaku pembimbing II.

Penulis menyampaikan terima kasih juga kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc. selaku Rektor Institut Pertanian Bogor.

2. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

3. Dr. Ir. Endar H. Nugrahani, M.S. selaku Ketua Program Studi Matematika Terapan.

4. Dr. Toni Bakhtiar, M.Sc. selaku penguji luar komisi pembimbing. 5. Seluruh dosen dan staf pegawai tata usaha Departemen Matematika. 6. Kementerian Agama RI sebagai sponsor BUD (Beasiswa Utusan Daerah) 7. Orang tua, isteri dan anak tercinta serta seluruh keluargaku yang selalu

memberikan dorongan dan mendoakan keberhasilan studiku.

8. Seluruh mahasiswa Departemen Matematika khususnya teman-teman angkatan tahun 2009 di program studi Matematika Terapan.

9. Sahabat-sahabatku yang tak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

Semoga segala bantuan, bimbingan, dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT.

Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Bogor, Oktober 2011


(17)

(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pontang, Kabupaten Serang Provinsi Banten pada tanggal 13 April 1979 sebagai anak keempat dari enam bersaudara, dari pasangan Bapak H. Samani dan Ibu Hj. Rukajah. Penulis mempunyai isteri bernama Umayah dan anak yang pertama bernama Rafi Hazimulfikri.

Penulis menamatkan pendidikan dasar dan menengah di Kabupaten Serang, yaitu di SDN Tembakang 1 (1992), MI Alkhairiyah Pulokencana (1993), SMPN 1 Pontang (1995) dan SMUN 1 Pabuaran (1998). Setelah lulus dari SMU, penulis melanjutkan studi S1 pada Jurusan Pendidikan Matematika FKIP Universitas Pasundan Bandung dan lulus pada tahun 2003.

Setelah memperoleh gelar sarjana, pada tahun 2004, penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Agama Kabupaten Serang dengan menjadi staf pengajar di MTs Ashabul Maimanah Sujung Tirtayasa Kabupaten Serang. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan S2 Program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), Program Studi Matematika Terapan dengan sponsor Kementerian Agama RI melalui program Beasiswa Utusan daerah (BUD).


(19)

(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ……….. xi

DAFTAR TABEL ……….….. xii

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xiii

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

1.1 Latar Belakang ……….. 1

1.2 Tujuan Penelitian ...………. 3

1.3 Tahap Penelitian ……… 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 5

2.1 Sistem Persamaan Diferensial Biasa...………... 5

2.2 Titik Tetap ………. 6

2.3 Titik Tetap Stabil ………….. ..………. 2.4 Titik Tetap Takstabil ……… 2.5 Nilai Eigen dan Vektor Eigen ..………. 2.6 Pelinearan ……… 2.7 Kestabilan Titik Tetap ………... 6 6 6 7 7 BAB III MODEL PENYEBARAN PENYAKIT MALARIA ………. 9

3.1 Model Ross-MacDonald ..………... 9

3.2 Model Heterogenitas Spasial …...……….. 9

3.2.1 Model Migrasi ………. ……….. 10

3.2.2 Model Kunjungan ……….. 11

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 4.1 Analisis Model Ross-MacDonald ………. 13 13 4.2 Analisis Model Heterogenitas Spasial………... 16

4.2.1 Analisis Model Migrasi ………... 16

4.2.2 Analisis Model Kunjungan ………..……….. 21

4.3 Analisis Numerik Model Ross-MacDonald dan Model dengan Lingkungan Heterogen dengan Mobilitas ……… 26

4.3.1 Simulasi Model Ross-MacDonald ………..……... 26

4.3.2 Simulasi Model Migrasi ………. 30


(21)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ………. 43

5.1 Simpulan ……….……….. 43

5.2 Saran ……….. 44

DAFTAR PUSTAKA ………. 45


(22)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Nilai Eigen Model Ross-MacDonald ... 14 2 Nilai Eigen Model Migrasi ... 20 3 Nilai Eigen Model Kunjungan ... 25 4 Perbedaan Waktu Kestabilan Model Migrasi dan Model Kunjungan .... 41


(23)

(24)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Skema contoh fragmentasi daerah ... 12 2 Banyaknya manusia yang terinfeksi ( ) dan nyamuk yang terinfeksi

( ) disimulasikan menurut waktu untuk model Ross-MacDonald dengan parameter β yang dirubah ... 27 3 Banyaknya manusia yang terinfeksi ( ) dan nyamuk yang terinfeksi

( ) disimulasikan menurut waktu untuk model Ross-MacDonald dengan parameter yang dirubah... 29 4 Banyaknya manusia dan nyamuk yang terinfeksi disimulasikan

menurut waktu untuk model Migrasi dengan nilai yang e yang dirubah... 31 5 Banyaknya manusia yang terinfeksi pada daerah satu ( ),

manusia yang terinfeksi pada daerah dua ( ), nyamuk yang terinfeksi pada daerah satu ( ), dan nyamuk yang terinfeksi pada daerah dua ( ), disimulasikan menurut waktu untuk model Migrasi dengan parameter β yang dirubah ... 35 6 Banyaknya manusia yang terinfeksi pada daerah satu, ( ),

manusia yang terinfeksi pada daerah dua ( ), nyamuk yang terinfeksi pada daerah satu ( ), dan nyamuk yang terinfeksi pada daerah dua ( ), disimulasikan menurut waktu untuk model Migrasi dengan parameter yang dirubah... 34 7 Peningkatan Banyaknya manusia yang terinfeksi disimulasikan

menurut waktu untuk model Kunjungan dengan nilai Tyang dirubah... 36 8 Banyaknya manusia yang terinfeksi pada daerah satu ( ), manusia

yang terinfeksi pada daerah dua ( ), nyamuk yang terinfeksi pada daerah satu ( ), dan nyamuk yang terinfeksi pada daerah dua ( ), disimulasikan menurut waktu untuk model Kunjungan dengan parameter β yang dirubah... 37 9 Banyaknya manusia yang terinfeksi pada daerah satu ( ), manusia

yang terinfeksi pada daerah dua ( ), nyamuk yang terinfeksi pada daerah satu ( ), dan nyamuk yang terinfeksi pada daerah dua ( ), disimulasikan menurut waktu untuk model Kunjungan dengan parameter yang dirubah... 39 10 Perbandingan waktu kestabilan antara model Migrasi dan model


(25)

(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Analisis Kestabilan Model Ross-MacDonald ... 47 2 Analisis Kestabilan Model Migrasi... 50 3 Analisis Kestabilan Model Kunjungan ... 58 4 Simulasi Model Ross-MacDonald ... 69 5 Simulasi Model Migrasi... 69 6 Simulasi Model Kunjungan... 72 7 Simulasi Perbandingan Waktu Kestabilan Model Migrasi dan model


(27)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Malaria adalah suatu istilah yang diperkenalkan oleh Dr. Francisco Torti

pada abad ke-17, malaria berasal dari bahasa Itali yaitu mal artinya kotor,

sedangkan aria artinya udara, sehingga malaria dapat diartikan ”udara yang

kotor” (Gandahusada 2006). Malaria merupakan salah satu penyakit yang

mempunyai penyebaran luas. Vektor malaria adalah nyamuk anopheles. Malaria

sebagai salah satu penyakit infeksi disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus

Plasmodium, yang ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk

Anophelesbetina.

Meningkatnya kasus malaria cenderung dipengaruhi oleh perubahan pola

distribusi vektor malaria. Pola distribusi vektor malaria (nyamuk Anopheles sp.)

berkembang dari skala lokal menjadi skala global. Kondisi tersebut didukung oleh perubahan kondisi daerah endemik malaria yang bertambah luas dan meningkatnya jumlah penduduk tanpa didukung oleh sarana kesehatan yang memadahi. Perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain, khususnya dari daerah rawan penyakit menular ke daerah lain, menyebabkan daerah yang telah bebas dari penyakit akan terkena kembali.

Malaria dapat menyerang manusia, burung, kera dan primata lainnya, hewan melata dan hewan pengerat yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari

genus plasmodium. Penyakit malaria pada manusia ada empat jenis dan

masing-masing disebabkan spesies parasit yang berbeda. Jenis malaria itu adalah:

1. Malaria tertiana (paling ringan), yang disebabkan oleh plasmodium vivax

dengan gejala demam dapat terjadi setiap dua hari sekali.

2. Demam rimba (jungle fever), malaria aestivo-autumnal atau disebut juga

malaria tropika, disebabkan oleh plasmodium falciparum. Plasmodium ini

merupakan sebagian besar penyebab kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau dan kematian.


(28)

3. Malaria kuartana yang disebabkan plasmodium malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama dari pada penyakit malaria tertiana atau tropika. Gejala pertama biasanya terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala itu kemudian akan terulang lagi setiap tiga hari.

4. Malaria yang mirip malaria tertiana, malaria ini paling jarang ditemukan, dan

disebabkan oleh plasmodium ovale. Pada masa inkubasi malaria, protozoa

tumbuh di dalam sel hati. Oganisme tersebut menyerang dan menghancurkan sel darah merah sehingga menyebabkan demam (Prasetyo 2006).

Model matematika telah banyak digunakan sebagai alat bantu untuk

memahami penyebaran penyakit menular. ”As a matter of fact all epidemiology,

concerned as it is with variation of disease from time to time or from place to place, must (sic) be considered mathematically (...), if it is to be considered

scientifically at all” (Ross 1911). Perkembangan model matematika sangat

berpengaruh dalam dinamika penyakit menular. Namun, sebagian model yang diusulkan tidak mempertimbangkan peran dari heterogenitas spasial lingkungan. Beberapa penelitian dengan model matematika telah menemukan bahwa pada lingkungan (seperti meningkatnya interaksi antar daerah) dapat meningkatkan laju penyebaran penyakit (Hess 1996). Interaksi antar populasi dapat meningkatkan ketahanan penyakit yang tidak dapat bertahan dalam kondisi terisolasi. Dalam literatur ekologi, pada lingkungan yang heterogen ada beberapa temuan yang bertentangan. Sebagai contoh, (Hassel & May 1991) bahwa interaksi antar

sub-populasi daerah lain dapat meningkatkan ketahanan regional sistem

host-parasitoid, sedangkan (Bascompte & Sole 1995) menyatakan bahwa interaksi

tersebut mengarah pada perilaku dinamis yang tidak stabil dan dapat mengakibatkan kepunahan suatu populasi dalam kondisi yang terisolasi.

Dalam kasus penyakit malaria, Ross (1909) membahas pada aspek klinis dan biologis. Beberapa penelitian malaria (Anderson & May 1992) telah membahas pengaruh lingkungan heterogen. Seperti dalam kasus umum penyakit menular, penelitian ini menemukan bahwa interaksi antar lingkungan dapat meningkatkan ketahanan suatu penyakit. Namun, literatur tentang lingkungan heterogen pada penyakit malaria sangat langka, dan sangat penting dikembangkan suatu penelitian dalam rangka untuk memperoleh pemahaman tentang proses


(29)

penyebaran penyakit malaria ini. Strategi untuk memberantas penyakit menular umumnya telah berhasil karena fokus pada aspek biologi dan ekologi dari vektor atau parasit, tetapi jarang pada pola mobilitas populasi. Peran migrasi manusia sangat penting dalam peningkatan penyebaran suatu penyakit, karena telah terjadi tidak hanya pada daerah endemik, tetapi juga pada daerah dimana malaria telah diberantas.

Berbagai upaya dilakukan untuk memberantas penyakit maupun vektor malaria. Upaya tersebut mencakup pengobatan pasien, penggunaan obat-obatan anti malaria, pemusnahan nyamuk vector pembawa penyakit serta pemusnahan tempat perkembangbiakan nyamuk. Tetapi upaya tersebut kurang efektif karena obat anti malaria maupun obat pembasmi nyamuk memberikan dampak yang kecil

terhadap penurunan kepadatan transmisi nyamuk (Mushinzimana et al.,2004).

Oleh karena itu diperlukan sistem kewaspadaan dini serta perencanaan pemberantasan malaria yang tepat dan berkesinambungan oleh pemerintah dan masyarakat setempat.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mempelajari pengaruh fragmentasi lingkungan pada dinamika penyebaran penyakit malaria.

2. Mengevaluasi dampak dua pola mobilitas manusia (migrasi dan kunjungan) pada karakteristik penyakit malaria yaitu kondisi lingkungan penyakit dan sifat kestabilan titik tetapnya.

1.3 Tahap Penelitian

Setelah mendapatkan pendekatan model, maka langkah penelitian selanjutnya menentukan analisis kestabilannya dengan cara:

1. Menentukan matriks Jacobi sistem persamaan diferensial yang dievaluasi pada titik tetap kestabilannya.

2. Menentukan nilai eigen dari matriks Jacobi.

3. Untuk model Migrasi dan model Kunjungan, dibuat simulasi numerik untuk


(30)

(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Persamaan Diferensial (SPD) Biasa Definisi 1 SPD Biasa Linear

Misalkan suatu SPD dinyatakan sebagai

̇ = + ; ( ) = , ∈ ℝ (2.1)

dengan adalah matriks koefisien konstan berukuran × dan adalah vektor

konstan. Sistem persamaan (2.1) dinamakan SPD linear orde satu dengan kondisi

awal ( ) = . Jika = , maka sistem dikatakan homogen dan jika ≠ ,

maka sistem dikatakan takhomogen. (Tu 1994)

Definisi 2 SPD Biasa Taklinear

Misalkan suatu SPD dinyatakan sebagai

̇ = ( , ) (2.2)

dengan

=

( ) ( ) ⋮ ( )

dan ( , ) =

( , , , … , ) ( , , , … , )

( , , , … , )

adalah fungsi taklinear dalam , , … , . Sistem persamaan (2.2) disebut SPD

taklinear. (Braun 1983)

Definisi 3 SPD Biasa Mandiri

Misalkan suatu SPD dinyatakan sebagai

̇ = ( ), ∈ ℝ (2.3)

dengan merupakan fungsi kontinu bernilai real dari dan mempunyai turunan

parsial kontinu. Sistem persamaan (2.3) disebut SPD mandiri (autonomous)


(32)

2.2 Titik Tetap

Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial biasa sebagaimana pada

sistem (2.3). Titik disebut titik tetap, jika ( ) = . Titik tetap disebut juga titik

kritis atau titik kesetimbangan. Untuk selanjutnya digunakan istilah titik tetap. (Tu 1994)

2.3 Titik Tetap Stabil

Misalkan ̅ adalah titik tetap sebuah SPD dan x(t) adalah sebuah solusi SPD

yang memenuhi kondisi awal (0) = dengan ≠ ̅. Titik dikatakan titik

tetap stabil untuk sebarang radius > 0, terdapat r > 0 sedemikian sehingga

jika posisi awal memenuhi | − ̅| < , maka solusi x(t) memenuhi

| ( ) − ̅| < ,untuk setiapt> 0.

(Verhulst 1990)

2.4 Titik Tetap Takstabil

Misalkan ̅ adalah titik tetap sebuah SPD dan x(t) adalah sebuah solusi SPD

yang memenuhi kondisi awal (0) = dengan ≠ ̅. Titik dikatakan titik

tetap takstabil untuk sebarang radius > 0, terdapat r > 0 sedemikian sehingga

jika posisi awal memenuhi | − ̅| < , maka solusi x(t) memenuhi

| ( ) − ̅| ≥ ,untuk paling sedikit ada satut> 0.

(Verhulst 1990)

2.5 Nilai Eigen dan Vektor Eigen

Diberikan matriks koefisien konstan berukuran x dan sistem

persamaan diferensial biasa homogen ̇ = , ( ) = , ∈ ℝ . Suatu vektor

taknol di dalam ℝ disebut vektor eigen dari jika untuk suatu skalar

berlaku:

= . (2.4)

Nilai skalar dinamakan nilai eigen dari .

Untuk mencari nilai dari , maka sistem persamaan (2.4) dapat ditulis

( − ) = . (2.5)

dengan adalah matriks identitas. Sistem persamaan (2.5) mempunyai solusi taknol jika dan hanya jika


(33)

( ) = | − | = 0. (2.6)

Persamaan (2.6) merupakan persamaan karakteristik matriks . (Anton 1995)

2.6 Pelinearan

Analisis kestabilan sistem persamaan diferensial taklinear dapat dilakukan melalui pelinearan. Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial biasa taklinear

̇ = ( ), ∈ ℝ (2.7)

dengan ( ) ∈ ℝ adalah suatu fungsi bernilai vektor dalam (waktu)

dan : → ℝ adalah suatu fungsi mulus yang terdefinisi pada subhimpunan

⊂ ℝ .

Dengan menggunakan ekspansi Taylor di sekitar titik tetap , maka sistem

persamaan (2.7) dapat ditulis sebagai

̇ ≡ ̇ = + ( ). (2.8)

dengan adalah matriks Jacobi

= ( )= ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎡

⋯ ⋯

⋮ ⋮

⋱ ⋮ ⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤

, = −

dan ( ) adalah suku berorde tinggi yang bersifat lim → ( ) = 0. pada

sistem persamaan (2.8) disebut pelinearan sistem persamaan (2.7). (Tu 1994)

2.7 Kestabilan Titik Tetap

Diberikan SPD (2.7) dengan pelinearannya adalah SPD (2.8), maka kestabilan titik tetap diperoleh dari nilai eigen persamaan karakteristik matriks

Jacobi dengan kriteria sebagai berikut:

1. Bila semua nilai eigennya real negatif, maka titik tetapnya adalah stabil.

2. Bila semua nilai eigennya adalah real berlainan tanda, maka titik tetapnya adalah sadel.


(34)

3. Bila semua nilai eigennya adalah kompleks dengan bagian realnya negatif, maka titik tetapnya adalah spiral stabil.

4. Bila semua nilai eigennya adalah kompleks dengan bagian realnya positif, maka titik tetapnya adalah spiral takstabil.

5. Bila semua nilai eigennya kompleks dengan bagian nilai realnya nol, maka titik tetapnya adalah center atau spiral.

(Huntley & Johnson 1983) Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kestabilan titik tetap mempunyai perilaku sebagai berikut :

1) Stabil jika :

a) Setiap nilai eigen real adalah negatif ( < 0 untuk setiap i).

b) Setiap komponen nilai eigen kompleks bagian realnya lebih kecil atau

sama dengan nol, (Re( ≤ 0) untuk setiap i).

2) Takstabil jika :

a) Terdapat minimal satu nilai eigen realnya adalah positif.

b) Terdapat minimal satu komponen bagian real nilai eigen kompleks lebih besar dari nol.


(35)

BAB III

MODEL PENYEBARAN PENYAKIT MALARIA 3.1 Model Ross-MacDonald

Pemodelan matematika pada dinamika penularan Malaria pertama kali dilakukan pada awal tahun 1900 oleh R. Ross yang dikenal dengan model Ross. Model Ross kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh G. MacDonald yang merumuskan model-Ross MacDonald untuk transmisi malaria, dengan mempertimbangkan populasi manusia dan nyamuk pada suatu daerah dan tanpa memperhitungkan pola mobilitas manusia dan nyamuk.

Pada model Ross-MacDonald diasumsikan bahwa total manusia dan nyamuk adalah konstan. Dinamika sistem dapat digambarkan dengan persamaan berikut:

( )

= ( )[ − ( )] − ( ) ( )

= ( )[ − ( )] − ( )

(3.1)

dengan Nadalah banyaknya populasi manusia,

M adalah banyaknya populasi nyamuk,

γ adalah laju kesembuhan manusia,

μ adalah laju kematian nyamuk,

β adalah rata-rata menggigit per nyamuk per orang,

X(t) adalah banyaknya manusia yang terinfeksi pada waktu t,

Y(t) adalah banyaknya nyamuk yang terinfeksi pada waktu t.

Untuk memudahkan, diasumsikan proporsi gigitan yang mengakibatkan infeksi pada manusia dan nyamuk adalah konstan.

3.2 Model dengan Heterogenitas Spasial

Model dengan heterogenitas spasial adalah model yang memperhitungkan perbedaan keadaan dan kondisi suatu daerah dengan daerah yang lain, karena suatu daerah yang luas terbagai ke dalam beberapa bagian daerah yang kecil, dan antar bagian daerah tersebut saling berinteraksi dengan yang lain.


(36)

Pada model ini diasumsikan bahwa daerah tempat tingal populasi manusia

dan nyamuk terfragmentasi dalam a bagian (fragment). Selanjutnya diasumsikan

pula bahwa tingkat menggigit per nyamuk per manusia, tingkat penyembuhan manusia dan kematian nyamuk adalah sama. Misalkan bahwa manusia hanya bisa pindah ke bagian lain, dan ketika mereka bergerak ke tempat tersebut dapat menginfeksi dan terinfeksi pada daerah lainnya. Dan diasumsikan pula manusia

dan nyamuk menyebar rata. Karena suatu daerah terbagi kedalam abagian, maka

jumlah manusia dan nyamuk per bagian adalahN/adanM/a. Sedangkan Xi(t) dan

Yi(t) merupakan jumlah manusia dan nyamuk yang terinfeksi di bagiani(i= 1, ...,

a) pada waktut.

Model yang termasuk dalam heterogenitas spasial yaitu model migrasi dan model kunjungan. Model migrasi adalah model yang memperhitungkan jumlah manusia yang bermigrasi dari satu daerah ke daerah lain dan menetap tidak kembali ke daerah asal mereka. Sedangkan model kunjungan adalah model yang memperhitungkan jumlah manusia yang berkunjung ke suatu daerah selama waktu tertentu dan kembali lagi ke daerah asal.

3.2.1 Model Migrasi

Pada model Migrasi digambarkan bahwa terdapat sebagian populasi

manusia yang bermigrasi dari daerahi ke daerah jdan tidak kembali (menetap di

daerah yang di kunjungi), sehingga dapat menambah populasi manusia di daerah j.

Namun pada waktu itu tersebut, terdapat juga sebagian populasi manusia yang

bermigrasi dari daerah j ke daerah i, sehingga dapat menambah populasi manusia

pada daerahi dengan proporsi migrasi tertentu.

Dalam model ini diasumsikan bahwa eij adalah bagian populasi manusia

yang bermigrasi dari daerah i ke daerah j per satuan waktu, dan tidak kembali.

Kemudian diasumsikan ni(t) adalah jumlah populasi manusia di daerah i pada


(37)

Persamaan dinamika sistem tersebut adalah:

( )

= ( ) − ( )

( )

= ( )[ ( ) − ( )] − ( ) + ( ) − ( )

( )

= ( ) − ( ) − ( ) (3.2)

dengan i, j = 1,...,a. Dengan a adalah banyaknya bagian (fragment). Untuk

mempermudah, diasumsikan bahwa eij = e (i, j = 1, ..., a). Jadi jika jumlah

manusia menyebar sama, ada N/amanusia per bagian. Kemudian persamaan (3.2)

dapat dituliskan menjadi :

( )

= ( ) − ( ) − ( ) + ( ) − ( − 1) ( )

( )

= ( ) − ( ) − ( )

(3.3)

3.2.2 Model Kunjungan

Pada model Kunjungan digambarkan terdapat sebagian populasi manusia

yang berkunjung dari daerah ike daerah j selama waktu tertentu dan kembali lagi

ke daerah asal mereka. Sehingga kunjungan bagian populasi manusia tersebut

dapat menambah populasi manusia di daerah j selama waktu kunjungan. Namun

pada waktu tersebut terdapat juga bagian populasi manusia yang berkunjung dari

daerah jke daerah iselama waktu tertentu dan akan kembali lagi ke daerah j.

Diasumsikan bahwa individu dari daerah i berkunjung ke daerah j selama

Tij. Setelah kunjungan itu, individu kembali ke daerah asal mereka. Dengan

asumsi manusia menyebar sama, persamaan dinamika sistemnya adalah:

( )

= ( ) − ( ) − ( ) + − ( ) ( )

( )


(38)

dengan i, j = 1, ..., a, dan a adalah banyaknya bagian (fragment). Untuk

kemudahan, diasumsikan bahwa Tij = T (i, j = 1, ..., a). Kemudian persamaan

(3.4) dapat dituliskan menjadi:

( )

= ( ) − ( ) − ( ) + − ( ) ( )

( )

= ( ) + ( ) − ( ) − ( ) (3.5)

Fragmentasi daerah adalah membagi suatu daerah atau kawasan yang luas ke dalam beberapa bagian daerah yang lebih kecil. Pembagian daerah dalam beberapa bagian bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wabah penyakit dibandingkan dengan lingkungan yang tidak terfragmentasi. Fragmentasi daerah dapat digambarkan dalam skema berikut :

2 KEBUN

HUTAN SKUNDER HUTAN PRIMER

KOTA

HUTAN GUNUNG

LADANG DESA 2 DESA 1

Gambar 1 Skema contoh fragmentasi daerah

Berdasarkan tujuan penelitian, akan diamati bagaimana dinamika populasi malaria yang dipengaruhi oleh adanya fragmentasi daerah. Disamping itu juga akan di evaluasi dampak dua pola mobilitas manusia yaitu migrasi dan kunjungan, terhadap karakteristik penyakit malaria meliputi kondisi lingkungan penyakit dan sifat kestabilan titik tetapnya.


(39)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Model Ross-MacDonald

Dari model Ross-MacDonald pada persamaan (3.1) berikut :

( )

= ( )[ − ( )] − ( ) ( )

= ( )[ − ( )] − ( )

dapat dinyatakan sebagai berikut :

( , ) = ( )[ − ( )] − ( )

( , ) = ( )[ − ( )] − ( ) (4.1)

Analisis sistem persamaan (3.1) diatas dengan langkah-langkah seperti yang akan dijelaskan berikut ini, sedangkan untuk nilai-nilainya dapat dilihat pada Lampiran 1. Dengan melakukan pelinearan persamaan (4.1), maka diperoleh matriks Jacobi:

= = − ( ) − ( ) − ( ) −− ( )

Kestabilan sistem persamaan diperoleh dengan menganalisa nilai eigen J

pada titik tetapnya, yaitu pada titik (0, 0) dan , . Pelinearan pada titik tetap (0, 0) diperoleh matriks Jacobi sebagai berikut:

= −

Nilai eigen dari matriks jacobi dapat ditentukan dengan menyelesaikan

− | = 0, sehingga diperoleh persamaan :

λ + ( + )λ+ ( − ) = 0. Dan akhirnya didapat nilai eigen:


(40)

Dari hasil evaluasi pada tersebut, jika ( + ) − 4( − ) > 0 dengan semua parameter bernilai positif, maka ( + ) akan bernilai positif. Sehingga :

−4( − ) > 0

−4 + 4 > 0 >

Jadi nilai eigen akan negatif jika > , sehingga untuk : a. ( + ) − 4( − ) > 0 maka λ < 0 dan λ < 0.

b. ( + ) − 4( − ) < 0 maka λ dan λ kompleks dengan bagian real (λ ,λ ) < 0.

Pelinearan pada titik tetap kedua ( ( ) , ( ))diperoleh matriks Jacobi sebagai berikut:

= ⎣ ⎢ ⎢ ⎢

⎡−( ( + ) ) −− − ( ( + ) )− − ( ( + ) )− ( ( + ) ) − ⎦− ⎥⎥

⎥ ⎤

Nilai eigen dari matriks Jacobi tersebut dapat ditentukan dengan menyelesaikan

− | = 0 diperoleh persamaan:

+ ( + + ( ) ) + ( − ) = 0. Dan akhirnya didapat nilai eigen:

, =

− ( + + ( ++ ) ) ± ( ( + + ( ++ ) )) − 4( − ) 2

Dari hasil evaluasi pada tersebut, jika :

( ( + + ( ) )) − 4( − ) > 0 dengan semua parameter bernilai positif, maka ( ( + + ( ) )) akan bernilai positif.

Sehingga : −4( − ) > 0

−4 + 4 > 0 > .


(41)

a. ( ( + + ( ) )) − 4( − ) > 0 maka λ < 0 dan λ < 0. b. ( ( + + ( ) )) − 4( − ) < 0 maka λ dan λ

kompleks dengan bagian real (λ ,λ ) < 0.

Jika nilai-nilai parameter memenuhi kondisi tersebut, dan disubstitusikan pada persamaan (3.1), maka diperoleh nilai-nilai eigen yang dituliskan dalam Tabel 1 berikut :

Tabel 1Nilai Eigen Model Ross-MacDonald

Parameter Titik tetap Nilai Eigen Kestabilan

β= 0.0005

N= 250

M= 500

γ= 0.33

μ= 4

(0,0) ==-4.0085-0.321505 Stabil T2(-4443.97, -624.848)* =-2.34513

=0.549542 Sadel takstabil β= 0.0025

N= 250

M= 500

γ= 0.33

μ= 4

(0,0) ==-4.20178-0.128219 Stabil T2(-136.392, -46.5946)* =-4.00699

=0.134453 Sadel takstabil β= 0.005

N= 250

M= 500

γ= 0.33

μ= 4

(0,0) ==-4.712980.382984 Sadel takstabil T2(127.562, 68.7619) =-4.94673

=-0.364887 Stabil

β= 0.05

N= 250

M= 500

γ= 0.33

μ= 4

(0,0) ==-19.937715.6077 Sadel takstabil T2(245.701, 377.188) ==-19.5889-15.8855 Stabil

β= 0.5

N= 250

M= 500

γ= 0.33

μ= 4

(0,0) ==-178.951174.621 Sadel takstabil T2(249.66, 484.476) ==-242.579-128.818 Stabil

*) Pada kondisi nyata, kasus tersebut tidak mungkin terjadi.


(42)

4.2 Analisis Model Heterogenitas Spasial

Jika lingkungan terfragmentasi dalam a bagian, maka jumlah manusia dan nyamuk pada tiap bagian menjadi N/a dan M/a. Dari Persamaan (3.1) berikut :

( )

= ( )[ − ( )] − ( ) ( )

= ( )[ − ( )] − ( ),

maka sistem persamaan yang menggambarkan dinamika pada manusia yang terjangkit nyamuk di setiap bagian adalah :

( )

= ( ) − ( ) − ( ) ( )

= ( ) − ( ) − ( ). (4.2)

4.2.1 Analisis Model Migrasi

Model Migrasi pada persamaan (3.3) berikut :

( )

= ( ) ( ) − ( ) − ( ) + ( ) − ( − 1) ( ) ( )

= ( ) − ( ) − ( ).

Dengan memberikan nilai a= 2 maka diperoleh:

= 2 − − + −

= 2 − − + −

= 2 −

=


(43)

( , , , ) = − − + −

( , , , ) = − − + −

( , , , )= − −

( , , , )= − − . (4.4)

Analisis sistem persamaan (4.3) diatas dengan langkah-langkah seperti yang akan dijelaskan berikut ini, sedangkan untuk nilai-nilainya dapat dilihat pada Lampiran 2. Dengan melakukan pelinearan persamaan (4.4), maka diperoleh matriks Jacobi: = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎡ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎡− − ( + )

− − ( + ) 2 −

0

0 2 −

2 − 0

0

2 −

− − 0

0 − −

⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤

Sistem persamaan memiliki empat titik tetap yaitu: T1 (0,0,0,0),

T2( , , , ), T3 dan T4. Untuk T3 dan T4 dapat

dilihat pada Lampiran 2.

Kestabilan sistem persamaan diperoleh dengan menganalisa nilai eigen J

pada titik tetapnya. Pelinearan pada titik tetap T1(0, 0, 0, 0) diperoleh matriks

Jacobi sebagai berikut:

=

−( + )

−( + ) 0/2 0/2 /2 0


(44)

Nilai eigen dari matriks Jacobi dapat ditentukan dengan menyelesaikan

− | = 0. Dan dengan menggunakan software Mathematica 7.0, diperoleh nilai eigen yang merupakan akar dari persamaan polinomial berderajat empat, yaitu :

+ ( + ) + − + ( + + 2 ) + ( + 2 ) − = 0.

Nilai eigen dapat diekspresikan sebagai berikut:

λ , = ( )± ( ) dan λ , =

( )± ( ) ( )

Dari hasil evaluasi pada tersebut, jika ( + ) − 4 − > 0 dengan semua parameter bernilai positif, maka ( + ) akan bernilai positif. Sehingga :

−4 − > 0

−4 + > 0 >4 > .

Jadi nilai eigen akan negatif jika > maka untuk: a. ( + ) − 4 − > 0, sehingga λ < 0, (i= 1, 2, 3, 4)

b. ( + ) − 4 − < 0, sehingga λ (i = 1, 2, 3, 4) kompleks dengan Re (λ) < 0.

Jika sistem memenuhi kondisi tersebut, maka pada titik tetap T1akan stabil.

Untuk pelinearan titik tetap T2( , , , ),

dengan menggunakan software Mathematica7.0 diperoleh persamaan:

( + + )( + + ) = 0. Nilai eigen dapat diekspresikan sebagai berikut:


(45)

dengan :

a1= ( + 2 ) ( + 2 )

b1= ( + 2 ) ( + 2 ) ( ( ( + ) + 4( + )) + 4( + ))

c1= ( + 2 ) ( + 2 ) ( − ) a2= 4( + 2 )( + 2 )

b2= 2(4 ( + 2 )( + 2 ) + ( ( ( + ) + 4( + ) + 4( + ))) c2= ( + 2 )(4 ( + 2 ) + ( + 2 )( − 4 )).

Sehingga dari hasil evaluasi pada tersebut, nilai eigen akan negatif jika

− 4 > 0.

Karena semua parameter bernilai positif maka bernilai positif.Sehingga: −4 > 0

−4 ( + 2 )3( + 2 )3( + 2 )3( + 2 )3( 4 2− )> 0 −4 ( 4 2− )> 0

Karena semua parameter bernilai positif maka bernilai positif.Sehingga :

−4( 4 2− )> 0

− 2+ 4 > 0

4 > >

Sehingga dari hasil evaluasi pada tersebut, nilai eigen akan negatif jika

< , maka untuk:

a. − 4 > 0, sehingga λ < 0, (i= 1, 2, 3, 4)

b. − 4 < 0, sehingga λ (i= 1, 2, 3, 4) kompleks dengan Re (λ ) < 0. Jika sistem memenuhi kondisi tersebut, maka pada titik tetap T2akan stabil.

Jika nilai-nilai parameter disubstitusikan pada persamaan (3.1), maka diperoleh nilai-nilai yang dituliskan dalam Tabel 2 berikut:


(46)

Tabel 2 Nilai Eigen Model Migrasi Parameter T(xTitik tetap

1, x2, y1, y2) Nilai Eigen Kestabilan

β= 0.0005 N= 250 M= 500 γ= 0.33 μ= 4

(0, 0, 0, 0) =-4.00219

=-0.528881 =-0.32893 =0

Stabil

(-1528.2, -6083.29,

-59.033, -793.454)* ==-3.2803-0.384192 =-0.00051663 =0

Stabil

(-5767.86, -5767.86,

-646, -646)* ==-1.868050.652522 =-0.114544 = 0

Sadel takstabil (-6083.29, -1528.2

-793.454, -59.033)* ==-1.852140.86355 =-0.403524 =0

Sadel takstabil

β= 0.0025 N= 250 M= 500 γ= 0.33 μ= 4

(0, 0, 0, 0) =-4.05394

=-0.505883 =-0.30018 =0

Stabil

(-185.871, -543.868,

-32.8597, -128.741)* ==-3.69943-0.250688 =-0.0411985 =0

Stabil

(-471.073, -471.073,

-104.319, -104.319)* ==-3.251080.278776 =-0.18842 = 0

Sadel takstabil (-543.868, -185.871,

-128.741, -32.8597)* ==-3.159770.421886 =-0.358442 = 0

Sadel takstabil

β= 0.005 N= 250 M= 500 γ= 0.33 μ= 4

(0, 0, 0, 0) =-4.20699

=-0.468502 =-0.184508 =0

Stabil

(-68.1962, -68.1962,

-23.2973, -23.2973)* ==-4.01581-0.337259 =0.0670277 =0

Sadel takstabil

β= 0.05 N= 250 M= 500 γ= 0.33 μ= 4

(0, 0, 0, 0) =-11.2326

=6.8031 =-0.430457 =0 Sadel takstabil (-0.610794, 118.175,

-1.92342, 149.079)* ==-11.2311-7.88316 =6.92704 =0

Sadel takstabil


(47)

149.863, 149.863) =-7.93833 =-7.39488 = 0

(118.175, -0.610794,

149.079, -1.92342)* ==-10.5539-7.24009 =-0.332473 = 0

Stabil

β= 0.5 N= 250 M= 500 γ= 0.33 μ= 4

(0, 0, 0, 0) =-90.6214

=86.1914 =-0.430005 =0 Sadel takstabil (-0.006373, 124.544,

-0.199304, 234.911)* ==-117.886-90.6082 =86.2813 =0

Sadel takstabil (124.65, 124.65,

234.923, 234.923) ==-118.005-117.803 =-66..2993 = 0

Stabil

(124.544, -0.006373,

234.911, -0.199304)* ==-117.919-66.2387 =-0.330263 = 0

Stabil

*) Pada kondisi nyata, kasus tersebut tidak mungkin terjadi.

4.2.2 Analisis Model Kunjungan

Model kunjungan pada persamaan (3.5) berikut :

( )

= ( ) − ( ) − ( ) + − ( ) ( ) ( )

= ( ) + ( ) − ( ) − ( )

Dengan memberikan nilai a= 2 maka diperoleh:

= 2 − − + 2 −

= 2 − − + 2 −

= ( + )

2 − − = ( + )

2 − −


(48)

didefinisikan

( , , , ) = − − + −

( , , , ) = − − + −

( , , , )= ( + ) − −

( , , , )= ( + ) − − (4.6)

Dengan melakukan pelinearan persamaan (4.5), maka diperoleh matriks Jacobi: = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎡ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢

⎡ − ( + ) − 0

0 − ( + ) − 2 − 2 −

2 − 2 −

2 − 2 −

2 − 2 −

− ( +0 ) − − ( + 0 ) − ⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤

Sistem persamaan memiliki empat titik tetap yaitu : T1(0, 0, 0, 0),

T2( ( () ( () ) ), ( () ( () ) ), ( () ( () ) ), ( () ( () ) )),

T3dan T4. Untuk titik tetap T3dan T4dapat di lihat pada Lampiran 3.

Kestabilan diperoleh dengan menganalisa nilai eigen pada titik tetapnya. Pelinearan pada titik tetap kesatu T1(0, 0, 0, 0) diperoleh matriks Jacobi sebagai

berikut:

=

− 0

0 − /2 /2 /2/2

/2 /2


(49)

− | = 0. Dan dengan menggunakan software Mathematica 7.0, diperoleh nilai eigen yang merupakan akar dari persamaan polinomial berderajat empat, yaitu:

+ ( + ) + − (1 + )4 + ( + ) + − (1 − )4 = 0

Nilai eigen dapat diekspresikan sebagai berikut: λ , =

( )± ( ) ( )

dan λ , =

( )± ( ) ( )

Dari hasil evaluasi pada tersebut, jika ( + ) − 4 − ( ) > 0 dengan semua parameter bernilai positif, maka ( + ) akan bernilai positif. Sehingga :

−4 − ( ) > 0 −4 + (1 + ) > 0

(1 + ) > 4 (1 + )4 >

Jadi nilai eigen akan negatif jika ( ) > , sehingga untuk : a. ( + ) − 4 − ( ) > 0 maka λ < 0, (i= 1, 2, 3, 4)

b. ( + ) − 4 − ( ) < 0 maka λ (i= 1, 2, 3, 4) kompleks dengan Re (λ ) < 0.

Jika sistem memenuhi kondisi tersebut, maka pada titik tetap T1akan stabil.

Sedangkan untuk pelinearan titik tetap kedua

T2( ( () ( () ) ), ( () ( () ) ), ( () ( () ) ), ( () ( () ) ),

nilai eigen dari matriks Jacobi dapat ditentukan dengan menyelesaikan

| − | = 0. Dengan menggunakan software Mathematica 7.0 diperoleh persamaan:


(50)

Nilai eigen dapat diekspresikan sebagai berikut: λ , = ± dan λ , = ±

dengan :

a1= 4(1 + ) ( (1 + ) + 2 )( (1 + ) + 2 )

b1= 2(1 + ) ( ( ( + )(1 + ) + 4 (1 + ) + 4 ) + 4 (1 + ) + 4 )

c1= (( (1 + ) + 2 )( (1 + ) + 2 )( (1 + ) − 4(1 + ) ))

a2 = (1 + ) ( (1 + ) + 2 ) ( (1 + ) + 2 ) (2 ( + 2 ) + (2 + ((1 + )

+ 2 γ8 )))

b2= (1 + ) ( (1 + ) + 2 ) ( (1 + ) + 2 )

( ( ( + )(1 + ) + 4 (1 + ) + 4 ) + 4 (1 + ) + 4 )

c2= (1 + )( (1 + ) ( (1 + ) + 2 ) + 2 ( (1 + ) − 4 )

− (1 + ) + 4 (1 + ) + 4 (2 + (1 + ) )

−4 (1 + ) ( (1 + ) + 2 ) − 4(1 + ) ( (1 + ) + 2 ) )

Sehingga dari hasil evaluasi pada tersebut, nilai eigen akan negatif jika

− 4 > 0. Karena semua parameter bernilai positif maka bernilai positif.

Sehingga:

−4 > 0

−4[4(1 + ) ( (1 + ) + 2 )( (1 + ) + 2 )]

[( (1 + ) + 2 )( (1 + ) + 2 )( (1 + ) − 4(1 + ) )] > 0 Karena semua parameter bernilai positif maka :

−4[( (1 + ) − 4(1 + ) )] > 0 −4 (1 + ) + 16(1 + ) > 0

4 (1 + ) < 16(1 + ) ( ) < .

Sehingga dari hasil evaluasi pada tersebut, nilai eigen akan negatif jika

( ) < , maka untuk:

a. − 4 > 0, sehingga λ < 0, (i= 1, 2, 3, 4)

b. − 4 < 0, sehingga λ (i= 1, 2, 3, 4) kompleks dengan Re (λ ) < 0. Jika nilai-nilai parameter disubstitusikan pada persamaan (4.5), maka diperoleh nilai-nilai yang dituliskan dalam Tabel 3 berikut :


(51)

Parameter T(xTitik tetap

1, x2, y1, y2) Nilai Eigen Kestabilan

β= 0.0005 N= 250 M= 500 γ= 0.33 μ= 4 T= 0.9

(0, 0, 0, 0) =-5.01208

=-0.33 =-0.317919 =0

Stabil

(341.975, -10954.8

-9859.07, 8227.9)* ==-4.953094.69469 =0.906681 =0

Sadel takstabil (-10954.8, 341.975,

8227.89, -9859.1)* ==0.155116 + 4.6347 0.155116 - 4.6347 ii

=0.902893 = 0

Sadel Takstabil (-2010.05, -2010.05,

-308.944, -308.94)* ==-3.340820.213862 =-0.0365036 =0

Sadel takstabil

β= 0.0025 N= 250 M= 500 γ= 0.33 μ= 3 T= 0.9

(0, 0, 0, 0) =-5.28538

=-0.33 =-0.0446398 =0

Stabil

(91.0838, 91.0838,

39.8192, 39.8192) ==-5.59561-0.519141 =-0.356177 =0

Stabil

(271.827, -2394.84,

-8085.99, 7157.9)* ==-10.843610.4756 =3.82536 =0

Sadel takstabil (-2394.84, 271.827,

7157.87, -8085.99) ==0.160704 + 10.4576 0.160704 – 10.4576 ii

=3.80267 = 0

Sadel takstabil

β= 0.05 N= 250 M= 500 γ= 0.33 μ= 7 T= 0.9

(0, 0, 0, 0) =-26.5622

=21.2322 =-0.33 =0 Sadel Takstabil (167.221, -163.83,

82.548, -76.9061)* ==-24.249617.9048 =-0.839917 =0

Sadel takstabil (247.912, 247.912,

412.439, 412.439) ==-39.5867-39.5867 =-28.4767 =0

Stabil

(254.625, -370.818,

-1893.63, 1700.3)* ==-55.255853.8897 =18.0256 = 0

Sadel takstabil


(52)

β= 0.5 N= 250 M= 500 γ= 0.33 μ= 7 T= 0.9

(0, 0, 0, 0) =-240.505

=235.175 =-0.33 =0 Sadel Takstabil (247.872, -227.311,

406.179, -365.86)* ==-109.95282.9108 =-38.5531 =0

Sadel takstabil (249.823, 249.823,

489.684, 489.684) ==-465.533-465.529 =-242.328 =0

Stabil

(251.303, -285.582,

-668.387, 601.2)* ==-356.669354.177 =63.5229 = 0

Sadel takstabil *) Pada kondisi nyata, kasus tersebut tidak mungkin terjadi.

4.3 Analisis Numerik Model Ross-MacDonald dan Model dengan Lingkungan Heterogen dengan Mobilitas

4.3.1 Simulasi Model Ross-MacDonald

Untuk simulasi pada model Ross-MacDonald bertujuan untuk mengetahui banyaknya populasi manusia terinfeksi dan nyamuk terinfeksi pada suatu daerah dengan melakukan perubahan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (β) dan kematian nyamuk ( ). Dua parameter ini dipilih karena dianggap berpengaruh dalam penyebaran suatu penyakit dan penanggulangan wabah. Serta untuk mengetahui pengaruh perubahan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (β) dan kematian nyamuk ( ) terhadap penyebaran penyakit malaria.

Nilai-nilai parameter yang diambil untuk simulasi pada model Ross-MacDonald adalah N = 5.000 orang, M = 10.000 nyamuk, γ = 0.33/bulan dan

= 4/bulan. Nilai β yang diambil adalah 0.0025/bulan, 0.003/bulan, 0.01/bulan, 0.05/bulan dan 0.50/bulan. Gambar 2 berikut ini menunjukkan perubahan banyaknya manusia dan nyamuk yang terinfeksi ketika nilai rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (β) dirubah.


(53)

(a) (b)

β= 0.01

(c)

β= 0.05

(d)

β= 0.5

(e)

Gambar 2 Banyaknya manusia yang terinfeksi ( ) dan nyamuk yang terinfeksi ( ) disimulasikan menurut waktu untuk model Ross-MacDonald dengan parameterβ yang dirubah.

Perubahan jumlah populasi, baik pada populasi manusia yang terinfeksi maupun populasi nyamuk yang terinfeksi, karena pengaruh naiknya laju rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (β) sebagaimana yang ditunjukkan dalam Gambar 2 di atas, hasil simulasi memiliki pola yang sama. Perbedaan hanya pada jumlah maksimum atau minimum populasi.

0 1 2 3 4Waktut

0 2000 4000 6000 8000 10000x,y

0 1 2 3 4Waktut

0 2000 4000 6000 8000 10000x,y

0 1 2 3 4 Waktut

0 2000 4000 6000 8000 10000x,y

0 1 2 3 4Waktut

0 2000 4000 6000 8000 10000x,y

0 1 2 3 4Waktut

0 2000 4000 6000 8000 10000x, y


(54)

Pada populasi manusia yang terinfeksi sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2, dengan laju rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (β) naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka banyaknya manusia yang terinfeksi semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena meningkatnya laju rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (β) dapat meningkatkan nilai peluang kontak antara nyamuk terinfeksi dengan manusia sehingga banyaknya manusia yang terinfeksi dan nyamuk terinfeksi semakin bertambah dengan waktu yang semakin cepat.

Pada populasi nyamuk yang terinfeksi sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2, jika rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka jumlah populasi nyamuk yang terinfeksi semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena naiknya rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi dapat meningkatkan nilai peluang kontak antara nyamuk yang terinfeksi dengan manusia yang terinfeksi terinfeksi sehingga populasi nyamuk yang terinfeksi semakin bertambah. Bertambah atau berkurangnya jumlah tiap populasi cenderung tidak sama untuk setiap kenaikan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi, baik pada populasi manusia terinfeksi maupun populasi nyamuk terinfeksi.

Selanjutnya adalah simulasi pada model Ross-MacDonald untuk mengetahui banyaknya manusia terinfeksi dan nyamuk terinfeksi jika nilai parameter kematian nyamuk ( ) yang dirubah. Serta untuk mengetahui pengaruh dari perubahan nilai parameter kematian nyamuk ( ) terhadap populasi manusia terinfeksi dan nyamuk terinfeksi

Nilai-nilai parameter yang diambil untuk simulasi pada model Ross-MacDonald adalahN= 5.000 orang,M= 10.000 nyamuk, γ= 0.33/bulan dan = 0.0025/bulan. Sedangkan perubahan nilai μ yang diambil adalah 4/bulan, 10/bulan, 15/bulan, 20/bulan, dan 25/bulan. Gambar 3 berikut ini menunjukkan perubahan banyaknya manusia yang terinfeksi dan nyamuk yang terinfeksi ketika nilai parameter kematian nyamuk ( )yang dirubah.


(55)

(a) (b) = 15

(c)

= 20

(d) = 25

(e)

Gambar 3 Banyaknya manusia yang terinfeksi ( ) dan nyamuk yang terinfeksi ( ) disimulasikan menurut waktu untuk model Ross-MacDonald dengan parameter yang dirubah.

0 1 2 3 4Waktut

0 2000 4000 6000 8000x,y

0 1 2 3 4Waktut

0 2000 4000 6000 8000x,y

0 1 2 3 4Waktut

0 2000 4000 6000 8000x, y

0 1 2 3 4Waktut

0 2000 4000 6000 8000x,y

0 1 2 3 4Waktut

0 2000 4000 6000 8000x,y


(56)

Perubahan jumlah populasi, baik pada populasi manusia terinfeksi maupun populasi nyamuk terinfeksi, karena naiknya laju kematian nyamuk sebagaimana yang ditunjukkan dalam Gambar 3 di atas, hasil simulasi memiliki pola yang sama. Perbedaan hanya pada jumlah maksimum atau minimum tiap populasi.

Pada populasi manusia yang terinfeksi sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 3, jika laju kematian nyamuk naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka banyaknya populasi manusia yang terinfeksi semakin berkurang. Hal ini dikarenakan peningkatan laju kematian nyamuk menyebabkan penurunan pada jumlah nyamuk termasuk nyamuk terinfeksi.

Pada populasi nyamuk yang terinfeksi sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 3, jika laju kematian nyamuk naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka jumlah populasi nyamuk yang terinfeksi semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena naiknya laju kematian nyamuk dapat menurunkan jumlah nyamuk termasuk nyamuk terinfeksi. Dengan penurunan jumlah tersebut maka kontak nyamuk dengan manusia juga akan berkurang. Bertambah atau berkurangnya jumlah tiap populasi cenderung tidak sama untuk setiap laju kematian nyamuk nyamuk, baik pada populasi manusia terinfeksi maupun populasi nyamuk terinfeksi.

4.3.2 Simulasi Model Migrasi

Simulasi selanjutnya adalah pada model Migrasi. Model ini memperhitungkan adanya nilai parameter e (proporsi manusia yang bermigrasi). Simulasi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan peningkatan nilai e

terhadap kestabilan sistem. Pada simulasi ini, parameter yang digunakan dalah

β = 0.0025/bulan, N = 5.000 orang, M = 10.000 nyamuk, γ = 0.33/bulan,

μ = 4/bulan. Terdapat dua daerah dan simulasi dimulai dengan 1 manusia yang terinfeksi dan 10 nyamuk yang terinfeksi yang terdapat dalam masing-masing daerah, dengan nilai eyang berbeda yaitu e= 0.1, 0.5 dan 0.9. Gambar 4 berikut menunjukkan pengaruh nilai eyang dirubah :


(57)

Gambar 4 Banyaknya manusia dan nyamuk yang terinfeksi disimulasikan menurut waktu untuk model Migrasi dengan nilaieyang dirubah. Perubahan jumlah populasi, baik pada populasi manusia terinfeksi maupun populasi nyamuk terinfeksi, karena adanya perubahan nilai e pada 0.1, 0.5 dan 0.9, sebagaimana yang ditunjukkan dalam Gambar 4 di atas tidak ada perbedaan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada model migrasi perubahan peningkatan nilai e(proporsi manusia yang bermigrasi) tidak berpengaruh terhadap kestabilan sistem. Sehingga pada nilai eberapapun, hasil simulasi akan sama.

Simulasi berikut untuk mengetahui populasi manusia terinfeksi dan nyamuk terinfeksi pada model Migrasi adalah dengan melakukan perubahan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (β) dan laju kematian nyamuk ( ). Dua parameter ini dipilih karena dianggap berpengaruh dalam penanggulangan wabah.

Simulasi pada model Migrasi dengan N= 5.000 orang,M= 10.000 nyamuk, γ = 0.33/bulan dan = 4/bulan. Dalam satu daerah dengan 1 manusia yang terinfeksi dan 10 nyamuk yang terinfeksi. Nilai β yang diambil adalah 0.0025/bulan, 0.003/bulan, 0.01/bulan, 0.05/bulan dan 0.50/bulan. Gambar 5 berikut ini menunjukkan perubahan jumlah manusia dan nyamuk yang terinfeksi ketika nilai rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (β) yang diubah.

0 1 2 3 4Waktut

0 1000 2000 3000 4000

y2, e฀0.1, 0.5, 0.9 y1, e฀0.1, 0.5, 0.9 x2, e฀0.1, 0.5, 0.9 x1, e฀0.1, 0.5, 0.9


(58)

β = 0.0025

(a)

β = 0.003

(b)

β = 0.01

(c)

β = 0.05

(d)

β = 0.5

(e)

Gambar 5 Banyaknya manusia yang terinfeksi pada daerah satu ( ), manusia yang terinfeksi pada daerah dua ( ), nyamuk yang terinfeksi pada daerah satu ( ), dan nyamuk yang terinfeksi pada daerah dua ( ), disimulasikan menurut waktu untuk model Migrasi dengan parameter β yang dirubah.

Perubahan jumlah populasi, baik pada populasi manusia maupun populasi nyamuk, karena naiknya laju rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (β) sebagaimana

0 1 2 3 4 5Waktut

0 1000 2000 3000 4000 5000 x1,x2,y1,y2

0 1 2 3 4 5Waktut

0 1000 2000 3000 4000 5000 x1,x2,y1,y2

0 1 2 3 4 5Waktut

0 1000 2000 3000 4000 5000 x1,x2,y1,y2

0 1 2 3 4 5Waktut

0 1000 2000 3000 4000 5000 x1,x2,y1,y2

0 1 2 3 4 5Waktut

0 1000 2000 3000 4000 5000 x1,x2,y1,y2


(59)

sama. Perbedaan hanya pada jumlah maksimum atau minimum populasi.

Pada populasi manusia sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 5, jika laju rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (β) naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka banyaknya manusia yang terinfeksi semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena naiknya laju rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (β) dapat meningkatkan nilai peluang kontak antara nyamuk terinfeksi dengan manusia sehingga banyaknya manusia yang terinfeksi dan nyamuk terinfeksi semakin bertambah dengan waktu yang semakin cepat.

Pada populasi nyamuk yang terinfeksi sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 5, jika rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka jumlah populasi nyamuk yang terinfeksi semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena naiknya rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi dapat meningkatkan nilai peluang kontak antara nyamuk yang terinfeksi dengan manusia yang terinfeksi terinfeksi sehingga populasi nyamuk yang terinfeksi semakin bertambah. Bertambah atau berkurangnya jumlah tiap populasi cenderung tidak sama untuk setiap kenaikan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi, baik pada populasi manusia terinfeksi maupun populasi nyamuk terinfeksi.

Simulasi pada model Migrasi selanjutnya dengan N = 5.000 orang,

M = 10.000 nyamuk, γ = 0.33/bulan dan β = 0.0025/bulan. Dalam satu daerah dengan 1 manusia yang terinfeksi dan 10 nyamuk yang terinfeksi. Nilai parameter yang dirubah adalah laju kematian nyamuk ( ). Dengan nilai μyang diambil pada simulasi ini adalah 4/bulan, 10/bulan, 15/bulan, 20/bulan, dan 25/bulan. Gambar 6 berikut ini menunjukkan perubahan jumlah manusia dan nyamuk yang terinfeksi ketika nilai parameter laju kematian nyamuk ( ) yang dirubah.


(60)

= 4

(a)

= 10

(b) = 15

(c)

= 20

(d) = 25

(e)

Gambar 6 Banyaknya manusia yang terinfeksi pada daerah satu ( ), manusia yang terinfeksi pada daerah dua ( ), nyamuk yang terinfeksi pada daerah satu ( ), dan nyamuk yang terinfeksi pada daerah dua ( ), disimulasikan menurut waktu untuk model Migrasi dengan parameter yang dirubah.

0 1 2 3 4 5Waktut

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 x1,x2, y1, y2

0 1 2 3 4 5Waktut

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 x1,x2,y1, y2

0 1 2 3 4 5 Waktut

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 x1,x2, y1, y2

0 1 2 3 4 5Waktut

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 x1,x2,y1,y2

0 1 2 3 4 5Waktut

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 x1,x2,y1,y2


(61)

populasi nyamuk terinfeksi, karena naiknya laju kematian nyamuk sebagaimana yang ditunjukkan dalam Gambar 6 di atas, hasil simulasi memiliki pola yang sama. Perbedaan hanya pada jumlah maksimum atau minimum tiap populasi.

Pada populasi manusia yang terinfeksi sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 6, jika laju kematian nyamuk naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka banyaknya populasi manusia yang terinfeksi semakin berkurang. Hal ini dikarenakan dengan peningkatan laju kematian nyamuk menyebabkan penurunan pada jumlah nyamuk termasuk nyamuk terinfeksi. Dengan penurunan jumlah tersebut maka kontak nyamuk dengan manusia akan berkurang.

Pada populasi nyamuk yang terinfeksi sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 6, jika laju kematian nyamuk naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka jumlah populasi nyamuk yang terinfeksi semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena naiknya laju kematian nyamuk dapat menurunkan jumlah nyamuk termasuk nyamuk terinfeksi. Dengan penurunan jumlah tersebut maka kontak nyamuk dengan manusia juga akan berkurang. Bertambah atau berkurangnya jumlah tiap populasi cenderung tidak sama untuk setiap laju kematian nyamuk nyamuk, baik pada populasi manusia terinfeksi maupun populasi nyamuk terinfeksi.

4.3.3 Simulasi Model Kunjungan

Simulasi selanjutnya adalah pada model Kunjungan. Model ini memperhitungkan adanya nilai parameter T (lama waktu berkunjung). Simulasi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan peningkatan nilai T terhadap

kestabilan sistem. Simulasi pada model kunjungan, dengan parameter

β = 0.0025/bulan, N = 5.000 orang, M = 10.000 nyamuk, γ = 0.33/bulan,

μ = 4/bulan, dengan perubahan peningkatan nilai T = 0.1; 0.5; 0.9. Gambar 7 berikut simulasi untuk mengetahui peningkatan banyaknya manusia yang terinfeksi pada model kunjungan dengan nilai T yang berbeda pada satu daerah sebagai berikut :


(62)

X1

Gambar 7 Peningkatan Banyaknya manusia yang terinfeksi disimulasikan menurut waktu untuk model Kunjungan dengan nilaiTyang dirubah. Perubahan jumlah populasi manusia terinfeksi karena adanya perubahan nilai Tsebagaimana yang ditunjukkan dalam Gambar 8 di atas terdapat perbedaan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada model Kunjungan, perubahan meningkatnya jumlah manusia yang terinfeksi terjadi ketikaTmeningkat. Artinya bahwa perubahan nilai Tberpengaruh terhadap kestabilan sistem.

Simulasi berikut untuk mengetahui populasi manusia terinfeksi dan nyamuk terinfeksi pada model Kunjungan dengan melakukan perubahan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (β) dan kematian nyamuk ( ). Dua parameter ini dipilih karena dianggap berpengaruh dalam penyebaran suatu penyakit dan penanggulangan wabah.

Nilai parameter yang digunakan untuk simulasi pada model Kunjungan dengan nilai N= 5.000 orang, M = 10.000 nyamuk, γ = 0.33/bulan, = 4/bulan. Dalam satu daerah dengan 1 manusia yang terinfeksi dan 10 nyamuk yang terinfeksi. Nilai β yang diambil adalah 0.0025/bulan, 0.003/bulan, 0.01/bulan, 0.05/bulan dan 0.50/bulan. Gambar 8 berikut ini menunjukkan perubahan jumlah manusia dan nyamuk yang terinfeksi ketika nilai rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (β) yang diubah.

0 1 2 3 4 5

0 500 1000 1500 2000 2500 3000

x1

t

, T฀0.9 x1

t

, T฀0.5 x1

t

, T฀0.1


(63)

(a) (b)

β = 0.01

(c)

β = 0.05

(d)

β = 0.5

(e)

Gambar 8 Banyaknya manusia yang terinfeksi pada daerah satu ( ), manusia yang terinfeksi pada daerah dua ( ), nyamuk yang terinfeksi pada daerah satu ( ), dan nyamuk yang terinfeksi pada daerah dua ( ), disimulasikan menurut waktu untuk model Kunjungan dengan parameter β yang dirubah.

Perubahan jumlah populasi, baik pada populasi manusia terinfeksi maupun populasi nyamuk terinfeksi, karena naiknya laju rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (β) sebagaimana yang ditunjukkan dalam Gambar 8 di atas, hasil

0 1 2 3 4 5Waktu

t

0 1000 2000 3000 4000 5000 x1,x2,y1,y2

0 1 2 3 4 5Waktu

t

0 1000 2000 3000 4000 5000 x1,x2,y1,y2

0 1 2 3 4 5Waktu

t

0 1000 2000 3000 4000 5000 x1,x2,y1,y2

0 1 2 3 4 5Waktu

t

0 1000 2000 3000 4000 5000 x1,x2,y1,y2

0 1 2 3 4 5Waktu

t

0 1000 2000 3000 4000 5000 x1,x2,y1, y2


(64)

simulasi memiliki pola yang sama. Perbedaan hanya pada jumlah maksimum atau minimum populasi.

Pada populasi manusia yang terinfeksi sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 8, jika laju rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (β) naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka banyaknya manusia yang terinfeksi semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena naiknya laju rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (β) dapat meningkatkan nilai peluang kontak antara nyamuk terinfeksi dengan manusia sehingga jumlah manusia yang terinfeksi dan nyamuk terinfeksi semakin bertambah dengan waktu yang semakin cepat.

Pada populasi nyamuk yang terinfeksi sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 8, jika rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka jumlah populasi nyamuk yang terinfeksi semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena naiknya rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi dapat meningkatkan nilai peluang kontak antara nyamuk yang terinfeksi dengan manusia yang terinfeksi terinfeksi sehingga populasi nyamuk yang terinfeksi semakin bertambah. Bertambah atau berkurangnya jumlah tiap populasi cenderung tidak sama untuk setiap kenaikan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi, baik pada populasi manusia terinfeksi maupun populasi nyamuk terinfeksi.

Simulasi pada model Kunjungan dengan N = 5.000 orang, M = 10.000 nyamuk, γ= 0.33/bulan, β =0.0025/bulan. Dalam satu daerah dengan 1 manusia yang terinfeksi dan 10 nyamuk yang terinfeksi, dengan nilai μ yang diambil adalah 4/bulan, 10/bulan, 15/bulan, 20/bulan, dan 25/bulan. Gambar 9 berikut ini menunjukkan perubahan banyaknya manusia dan nyamuk yang terinfeksi ketika nilai parameter kematian nyamuk ( )yang dirubah.


(65)

(a) (b) = 15

(c)

= 20

(d) = 25

(e)

Gambar 9 Banyaknya manusia yang terinfeksi pada daerah satu ( ), manusia yang terinfeksi pada daerah dua ( ), nyamuk yang terinfeksi pada daerah satu ( ), dan nyamuk yang terinfeksi pada daerah dua ( ), disimulasikan menurut waktu untuk model Kunjungan dengan parameter yang dirubah.

Perubahan jumlah populasi, baik pada populasi manusia terinfeksi maupun populasi nyamuk terinfeksi, karena naiknya laju kematian nyamuk sebagaimana

0 1 2 3 4 5Waktu

t

0 1000 2000 3000 4000 x1,x2,y1,y2

0 1 2 3 4 5Waktu

t

0 1000 2000 3000 4000 x1,x2,y1,y2

0 1 2 3 4 5Waktu

t

0 1000 2000 3000 4000 x1,x2,y1,y2

0 1 2 3 4 5Waktu

t

0 1000 2000 3000 4000 x1,x2,y1,y2

0 1 2 3 4 5Waktu

t

0 1000 2000 3000 4000 x1,x2, y1, y2


(66)

yang ditunjukkan dalam Gambar 9 di atas, hasil simulasi memiliki pola yang sama. Perbedaan hanya pada jumlah maksimum atau minimum tiap populasi.

Pada populasi manusia sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 9, jika laju kematian nyamuk naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka banyaknya populasi manusia yang terinfeksi semakin berkurang. Hal ini dikarenakan peningkatan laju kematian nyamuk menyebabkan penurunan pada jumlah nyamuk termasuk nyamuk terinfeksi. Dengan penurunan jumlah tersebut maka kontak nyamuk dengan manusia akan berkurang.

Pada populasi nyamuk yang terinfeksi sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 9, jika laju kematian nyamuk naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka jumlah populasi nyamuk yang terinfeksi semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena naiknya laju kematian nyamuk dapat menurunkan jumlah nyamuk termasuk nyamuk terinfeksi. Dengan penurunan jumlah tersebut maka kontak nyamuk dengan manusia juga akan berkurang. Bertambah atau berkurangnya jumlah tiap populasi cenderung tidak sama untuk setiap laju kematian nyamuk nyamuk, baik pada populasi manusia terinfeksi maupun populasi nyamuk terinfeksi.

4.4 Simulasi Perbandingan Waktu Kestabilan Model Migrasi dan Model Kunjungan

Simulasi selanjutnya adalah untuk mengetahui perbandingan waktu yang dibutuhkan antara model Migrasi dan model Kunjungan untuk mencapai kestabilan dengan waktu yang cepat. Pada Simulasi ini, nilai parameter yang digunakan untuk kedua model adalah N= 5.000 orang, M= 10.000 nyamuk, γ = 0.33/bulan, β = 0.0025/bulan, e = 0.1 dan T = 0.1. Tabel 6 berikut ini menunjukkan data perbedaan waktu mencapai kestabilan antara model Migrasi dan model Kunjungan.


(67)

dan Model Kunjungan

Waktu Model Migrasi Model Kunjungan

t (dalam bulan) x1(t) x1(t)

0.0 1.0 1.0

0.1 7.05764 18.8461

0.2 15.6258 89.2174

0.3 31.3777 376.765

0.4 61.7254 1159.40

0.5 119.713 2027.95

0.6 226.969 2370.38

0.7 413.382 2442.31

0.8 704.59 2454.57

0.9 1090.94 2456.60

1.0 1504.62 2456.94

1.1 1855.61 2456.99

1.2 2097.77 2457.01

1.3 2241.13 2457.01

1.4 2318.11 2457.01

1.5 2357.21 2457.01

1.6 2376.48 2457.01

1.7 2385.85 2457.01

1.8 2390.36 2457.01

1.9 2392.54 2457.01

2.0 2393.58 2457.01

2.1 2394.08 2457.01

2.2 2394.32 2457.01

2.3 2394.44 2457.01

2.4 2394.49 2457.01

2.5 2394.52 2457.01

2.6 2394.53 2457.01

2.7 2394.54 2457.01

2.8 2394.54 2457.01

2.9 2394.54 2457.01

3.0 2394.54 2457.01

3.1 2394.54 2457.01

3.2 2394.54 2457.01

3.3 2394.54 2457.01

3.4 2394.54 2457.01


(68)

Gambar 10 berikut ini menunjukkan perbedaan waktu mencapai kestabilan antara model Migrasi dan model Kunjungan dilihat secara grafik

X1

Gambar 10 Perbandingan waktu kestabilan antara model Migrasi dan model Kunjungan

Pada Gambar 10 tersebut terlihat bahwa pada model Kunjungan, dengan peningkatan waktu individu berkunjung ke suatu daerah dapat mempercepat waktu kestabilan dibandingkan dengan model Migrasi.

Ketika lingkungan terfragmentasi, migrasi individu tidak mempengaruhi kestabilan penyakit. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada model migrasi perubahan peningkatan nilai e (proporsi manusia yang bermigrasi) tidak berpengaruh terhadap kestabilan sistem. Sebagai konsekuensinya kondisi kestabilan untuk penyakit tidak bervariasi dengan intensitas migrasi.

Ketika lingkungan terfragmentasi dan terdapat kunjungan, penyakit akan cepat menyebar ketika intesitas kunjungan meningkat. Hal ini disebabkan karena adanya pola kunjungan yang berpengaruh. Meningkatnya waktu yang digunakan oleh individu untuk mengunjungi bagian daerah lainnya akan dapat meningkatkan penyakit malaria untuk cepat menyebar. Maka peningkatan nilai T akan memudahkan penyakit untuk menjadi stabil. Sebagai konsekuensi dari peningkatan nilai T,penyakit ini akan lebih cepat menyebar.

0 1 2 3 4 5

0 500 1000 1500 2000 2500 3000

x1

t

Model Kunjungan x1

t

Model Migrasi


(1)

Manipulate[Module[{sol, sol2, sol3, sol4, x1, x2, y1, y2, }, sol1 = First[x1/. NDSolve[{x1′[ ] =

= ∗ y1[ ](2 − x1[ ]) − ∗ x1[ ] + ∗ (2 − x1[ ]) ∗ y2[ ],x2′[ ] = = ∗ y2[ ](2 − x2[ ]) − ∗ x2[ ] + ∗ (2 − x2[ ])y1[ ],y1′[ ] = = ∗ (x1[ ] + ∗ x2[ ])( 2 − y1[ ]) − ∗ y1[ ],y2′[ ] =

= ∗ (x2[ ] + ∗ x1[ ])( 2 − y2[ ]) − ∗ y2[ ],x1[0] == 1,x2[0] = = 1, y1[0] == 10, y2[0] == 10}, {x1, x2, y1, y2}, { , 0,10}]]; sol2 = First[x2/. NDSolve[{x1′[ ] =

= ∗ y1[ ](2 − x1[ ]) − ∗ x1[ ] + ∗ (2 − x1[ ]) ∗ y2[ ],x2′[ ] = = ∗ y2[ ](2 − x2[ ]) − ∗ x2[ ] + ∗ (2 − x2[ ])y1[ ],y1′[ ] = = ∗ (x1[ ] + ∗ x2[ ])( 2 − y1[ ]) − ∗ y1[ ],y2′[ ] =

= ∗ (x2[ ] + ∗ x1[ ])( 2 − y2[ ]) − ∗ y2[ ],x1[0] == 1,x2[0] = = 1, y1[0] == 10, y2[0] == 10}, {x1, x2, y1, y2}, { , 0,10}]]; sol3 = First[y1/. NDSolve[{x1′[ ] =

= ∗ y1[ ](2 − x1[ ]) − ∗ x1[ ] + ∗ (2 − x1[ ]) ∗ y2[ ],x2′[ ] = = ∗ y2[ ](2 − x2[ ]) − ∗ x2[ ] + ∗ (2 − x2[ ])y1[ ],y1′[ ] = = ∗ (x1[ ] + ∗ x2[ ])( 2 − y1[ ]) − ∗ y1[ ],y2′[ ] =

= ∗ (x2[ ] + ∗ x1[ ])( 2 − y2[ ]) − ∗ y2[ ],x1[0] == 1,x2[0] = = 1, y1[0] == 10, y2[0] == 10}, {x1, x2, y1, y2}, { , 0,10}]]; sol4 = First[y2/. NDSolve[{x1′[ ] =

= ∗ y1[ ](2 − x1[ ]) − ∗ x1[ ] + ∗ (2 − x1[ ]) ∗ y2[ ],x2′[ ] = = ∗ y2[ ](2 − x2[ ]) − ∗ x2[ ] + ∗ (2 − x2[ ])y1[ ],y1′[ ] = = ∗ (x1[ ] + ∗ x2[ ])( 2 − y1[ ]) − ∗ y1[ ],y2′[ ] =

= ∗ (x2[ ] + ∗ x1[ ])( 2 − y2[ ]) − ∗ y2[ ],x1[0] == 1,x2[0] = = 1, y1[0] == 10, y2[0] =

= 10}, {x1, x2, y1, y2}, { , 0,10}]]; Plot[{sol1[ ], sol2[ ], sol3[ ], sol4[ ]}, { , 0,10},

PlotRange → {0,5}, {0,5000} , AxesLabel → {Waktu (t),x1,x2,y1,y2}, PlotStyle → {Red, Thick}, {Green, Thick, Dashed}, {Blue, Thick}, {Yellow, Thick, Dashed} ,

PlotLegend → {x1,x2,y1,y2}, LegendPosition → {1, −0.2}, LegendTextSpace → 2, LegendSize → 0.5]], {{ , 0.9},0.1,0.9}];

(∗

∗) (∗ Masukkan nilai parameter ∗)

= 0.0025; = 5000;


(2)

= 25; = 0.33; Needs["PlotLegends`"];

Manipulate[Module[{sol, sol2, sol3, sol4, x1, x2, y1, y2, }, sol1 = First[x1/. NDSolve[{x1′[ ] =

= ∗ y1[ ](2 − x1[ ]) − ∗ x1[ ] + ∗ (2 − x1[ ]) ∗ y2[ ],x2′[ ] = = ∗ y2[ ](2 − x2[ ]) − ∗ x2[ ] + ∗ (2 − x2[ ])y1[ ],y1′[ ] = = ∗ (x1[ ] + ∗ x2[ ])( 2 − y1[ ]) − ∗ y1[ ],y2′[ ] =

= ∗ (x2[ ] + ∗ x1[ ])( 2 − y2[ ]) − ∗ y2[ ],x1[0] == 1,x2[0] = = 1, y1[0] == 10, y2[0] == 10}, {x1, x2, y1, y2}, { , 0,10}]]; sol2 = First[x2/. NDSolve[{x1′[ ] =

= ∗ y1[ ](2 − x1[ ]) − ∗ x1[ ] + ∗ (2 − x1[ ]) ∗ y2[ ],x2′[ ] = = ∗ y2[ ](2 − x2[ ]) − ∗ x2[ ] + ∗ (2 − x2[ ])y1[ ],y1′[ ] = = ∗ (x1[ ] + ∗ x2[ ])( 2 − y1[ ]) − ∗ y1[ ],y2′[ ] =

= ∗ (x2[ ] + ∗ x1[ ])( 2 − y2[ ]) − ∗ y2[ ],x1[0] == 1,x2[0] = = 1, y1[0] == 10, y2[0] == 10}, {x1, x2, y1, y2}, { , 0,10}]]; sol3 = First[y1/. NDSolve[{x1′[ ] =

= ∗ y1[ ](2 − x1[ ]) − ∗ x1[ ] + ∗ (2 − x1[ ]) ∗ y2[ ],x2′[ ] = = ∗ y2[ ](2 − x2[ ]) − ∗ x2[ ] + ∗ (2 − x2[ ])y1[ ],y1′[ ] = = ∗ (x1[ ] + ∗ x2[ ])( 2 − y1[ ]) − ∗ y1[ ],y2′[ ] =

= ∗ (x2[ ] + ∗ x1[ ])( 2 − y2[ ]) − ∗ y2[ ],x1[0] == 1,x2[0] = = 1, y1[0] == 10, y2[0] == 10}, {x1, x2, y1, y2}, { , 0,10}]];

sol4 = First[y2/. NDSolve[{x1′[ ] =

= ∗ y1[ ](2 − x1[ ]) − ∗ x1[ ] + ∗ (2 − x1[ ]) ∗ y2[ ],x2′[ ] = = ∗ y2[ ](2 − x2[ ]) − ∗ x2[ ] + ∗ (2 − x2[ ])y1[ ],y1′[ ] = = ∗ (x1[ ] + ∗ x2[ ])( 2 − y1[ ]) − ∗ y1[ ],y2′[ ] =

= ∗ (x2[ ] + ∗ x1[ ])( 2 − y2[ ]) − ∗ y2[ ],x1[0] == 1,x2[0] = = 1, y1[0] == 10, y2[0] == 10}, {x1, x2, y1, y2}, { , 0,10}]];

Plot[{sol1[ ], sol2[ ], sol3[ ], sol4[ ]}, { , 0,10},

PlotRange → {0,5}, {0,4000} , AxesLabel → {Waktu (t),x1,x2,y1,y2}, PlotStyle → {{Red, Thick}, {Green, Thick, Dashed}, {Blue, Thick}, {Yellow, Thick, Dashed}} ]], {{ , 0.9},0.1,0.9}];

Untuk simulasi kasus yang lain langkahnya sama, dengan nilai parameter yang

disesuaikan.


(3)

=0.0025;

n=5000;

m=10000;

=4;

=0.33;

Needs["PlotLegends`"];

Manipulate[Module[{sol, sol2, sol3, sol4, x1, x2, y1, y2, }, sol1 = First[x1/. NDSolve[{x1′[ ] =

= ∗ y1[ ](2 − x1[ ]) − ∗ x1[ ] + x2[ ] − x1[ ],x2′[ ] = = ∗ y2[ ](2 − x2[ ]) − ∗ x2[ ] + x1[ ] − x2[ ],y1′[ ] = = ∗ x1[ ]( 2 − y1[ ]) − ∗ y1[ ],y2′[ ] =

= ∗ x2[ ]( 2 − y2[ ]) − ∗ y2[ ],x1[0] == 1,x2[0] == 1,y1[0] = = 10, y2[0] == 10}, {x1, x2, y1, y2}, { , 0,10}]]; sol2

= First[x2/. NDSolve[{x1′[ ] =

= ∗ y1[ ](2 − x1[ ]) − ∗ x1[ ] + x2[ ] − x1[ ],x2′[ ] = = ∗ y2[ ](2 − x2[ ]) − ∗ x2[ ] + x1[ ] − x2[ ],y1′[ ] = = ∗ x1[ ]( 2 − y1[ ]) − ∗ y1[ ],y2′[ ] =

= ∗ x2[ ]( 2 − y2[ ]) − ∗ y2[ ],x1[0] == 1,x2[0] == 1,y1[0] = = 10, y2[0] == 10}, {x1, x2, y1, y2}, { , 0,10}]];

sol3 = First[y1/. NDSolve[{x1′[ ] =

= ∗ y1[ ](2 − x1[ ]) − ∗ x1[ ] + x2[ ] − x1[ ],x2′[ ] = = ∗ y2[ ](2 − x2[ ]) − ∗ x2[ ] + x1[ ] − x2[ ],y1′[ ] =

= ∗ x1[ ]( 2 − y1[ ]) − ∗ y1[ ],y2′[ ] == ∗ x2[ ](2 − y2[ ]) − ∗ y2[ ],x1[0] == 1, x2[0] == 1, y1[0] == 10, y2[0] == 10}, {x1, x2, y1, y2}, { , 0,10}]]; sol4 = First[y2/. NDSolve[{x1′[ ] =

= ∗ y1[ ](2 − x1[ ]) − ∗ x1[ ] + x2[ ] − x1[ ],x2′[ ] = = ∗ y2[ ](2 − x2[ ]) − ∗ x2[ ] + x1[ ] − x2[ ],y1′[ ] =

= ∗ x1[ ]( 2 − y1[ ]) − ∗ y1[ ],y2′[ ] == ∗ x2[ ](2 − y2[ ]) − ∗ y2[ ],x1[0] == 1, x2[0] == 1, y1[0] == 10, y2[0] =

= 10}, {x1, x2, y1, y2}, { , 0,10}]]; Plot[{sol1[ ], sol2[ ], sol3[ ], sol4[ ]}, { , 0,10}, PlotRange → {0,10}, {0,5000} , AxesLabel → {Waktut,x1,x2,y1,y2},

PlotStyle → {Blue, Thick}, {Red, Thick}, {Green, Thick}, {Yellow, Thick} , PlotLegend → {x1,x2,y1,y2}, LegendPosition → {1, −0.3},


(4)

sol = NDSolve x1 [ ] == ∗ y1[ ] 2 − x1[ ] − ∗ x1[ ] + x2[ ] − x1[ ],x2 [ ] = = ∗ y2[ ] 2 − x2[ ] − ∗ x2[ ] + x1[ ] − x2[ ],y1 [ ] =

= ∗ x1[ ] 2 − y1[ ] − ∗ y1[ ],y2 [ ] =

= ∗ x2[ ] 2 − y2[ ] − ∗ y2[ ],x1[0] == 1,x2[0] == 1,y1[0] = = 10, y2[0] == 10 , {x1, x2, y1, y2}, { , 0,10} ;

Plot[x1[ ]/. sol〚1, { , 0,5}]; data = Table[{ , x1[ ]}

/. sol〚1, { , 0,5,0.1}]; Text@Grid[Prepend[data, {"t", "x1(t)"}], Alignment → ". ", Dividers → Gray];


(5)

Manipulate[Module[{sol1, sol2, sol3, sol4, x1, x2, y1, y2, }, sol1 = First[x1/. NDSolve[{x1′[ ] =

= ∗ y1[ ](2 − x1[ ]) − ∗ x1[ ] + ∗ (2 − x1[ ]) ∗ y2[ ],x2′[ ] = = ∗ y2[ ](2 − x2[ ]) − ∗ x2[ ] + ∗ (2 − x2[ ])y1[ ],y1′[ ] = = ∗ (x1[ ] + ∗ x2[ ])( 2 − y1[ ]) − ∗ y1[ ],y2′[ ] =

= ∗ (x2[ ] + ∗ x1[ ])( 2 − y2[ ]) − ∗ y2[ ],x1[0] == 1,x2[0] == 1,y1[0] = = 10, y2[0] == 10}, {x1, x2, y1, y2}, { , 0,10}]]; sol2 = First[x2/. NDSolve[{x1′[ ] = = ∗ y1[ ](2 − x1[ ]) − ∗ x1[ ] + ∗ (2 − x1[ ]) ∗ y2[ ],x2′[ ] =

= ∗ y2[ ](2 − x2[ ]) − ∗ x2[ ] + ∗ (2 − x2[ ])y1[ ],y1′[ ] = = ∗ (x1[ ] + ∗ x2[ ])( 2 − y1[ ]) − ∗ y1[ ],y2′[ ] =

= ∗ (x2[ ] + ∗ x1[ ])( 2 − y2[ ]) − ∗ y2[ ],x1[0] == 1,x2[0] == 1,y1[0] = = 10, y2[0] == 10}, {x1, x2, y1, y2}, { , 0,10}]]; sol3 = First[y1/. NDSolve[{x1′[ ] = = ∗ y1[ ](2 − x1[ ]) − ∗ x1[ ] + ∗ (2 − x1[ ]) ∗ y2[ ],x2′[ ] =

= ∗ y2[ ](2 − x2[ ]) − ∗ x2[ ] + ∗ (2 − x2[ ])y1[ ],y1′[ ] = = ∗ (x1[ ] + ∗ x2[ ])( 2 − y1[ ]) − ∗ y1[ ],y2′[ ] =

= ∗ (x2[ ] + ∗ x1[ ])( 2 − y2[ ]) − ∗ y2[ ],x1[0] == 1,x2[0] == 1,y1[0] = = 10, y2[0] == 10}, {x1, x2, y1, y2}, { , 0,10}]]; sol4 = First[y2/. NDSolve[{x1′[ ] = = ∗ y1[ ](2 − x1[ ]) − ∗ x1[ ] + ∗ (2 − x1[ ]) ∗ y2[ ],x2′[ ] =

= ∗ y2[ ](2 − x2[ ]) − ∗ x2[ ] + ∗ (2 − x2[ ])y1[ ],y1′[ ] = = ∗ (x1[ ] + ∗ x2[ ])( 2 − y1[ ]) − ∗ y1[ ],y2′[ ] =

= ∗ (x2[ ] + ∗ x1[ ])( 2 − y2[ ]) − ∗ y2[ ],x1[0] == 1,x2[0] == 1,y1[0] = = 10, y2[0] =

= 10}, {x1, x2, y1, y2}, { , 0,10}]]; Plot[{sol1[ ], sol2[ ], sol3[ ], sol4[ ]}, { , 0,10}, PlotRange → {0,10}, {0,5000} , AxesLabel → {Waktu (t),x1,x2,y1,y2},

PlotStyle → {Blue, Thick}, {Red, Thick}, {Green, Thick}, {Yellow, Thick} , PlotLegend → {x1,x2,y1,y2}, LegendPosition → {1, −0.3},

LegendTextSpace → 2, LegendSize → 1]], {{ , 0.1},1,1}]; sol = NDSolve[{x1′[ ] =

= ∗ y1[ ](2 − x1[ ]) − ∗ x1[ ] + (2 − x1[ ]) ∗ y2[ ],x2′[ ] = = ∗ y2[ ](2 − x2[ ]) − ∗ x2[ ] + (2 − x2[ ])y1[ ],y1′[ ] = = ∗ (x1[ ] + x2[ ])( 2 − y1[ ]) − ∗ y1[ ],y2′[ ] =

= ∗ (x2[ ] + x1[ ])( 2 − y2[ ]) − ∗ y2[ ],x1[0] == 1,x2[0] = = 1, y1[0] == 10, y2[0] == 10}, {x1, x2, y1, y2}, { , 0,10}];


(6)

Plot[x1[ ]/. sol〚1, { , 0,2}]; data = Table[{ , x1[ ]}/. sol1, { , 0,5,0.1}]; Text@Grid[Prepend[data, {"t", "x1(t)"}],

Alignment → ". ", Dividers → Gray];

(∗

∗)

sol=NDSolve[{x1'[t]==*y1[t](n/2-x1[t])- *x1[t]+x2[t]-x1[t],x2'[t]==*y2[t](n/2-x2[t])- *x2[t]+x1[t]-x2[t],y1'[t]==

*x1[t](m/2-y1[t])-*y1[t],y2'[t]==*x2[t](m/2-y2[t])-*y2[t],x1[0]1, x2[0]฀1, y1[0]==10,y2[0]10}, {x1,x2,y1,y2}, {t,0,10}]; sol2=NDSolve[{x1'[t]==*y1[t](n/2-x1[t])-*x1[t]+ (n/2-x1[t])*y2[t],x2'[t]==*y2[t](n/2-x2[t])-*x2[t]+ (n/2-x2[t])y1[t],y1'[t]==

*(x1[t]+x2[t])(m/2-y1[t])-*y1[t],y2'[t]==*(x2[t]+x1[t])(m/2-y2[t])-*y2[t],x1[0]1, x2[0]฀1, y1[0]==10,y2[0]10}, {x1,x2,y1,y2}, {t,0,10}];

grf1=Plot[x1[t]/.sol1\[RightDoubleBracket],{t,0,5}]

grf2=Plot[x1[t]/.sol21\[RightDoubleBracket],{t,-1,5}]

grs3=Plot[{x1[t]/.sol[[1]],x1[t]/.sol2[[1]]},{t,-1,5},PlotRange{{0,5},{0,3000}},PlotLegend{"x1[t] Model Migrasi","x1[t] Model

Kunjungan"},PlotStyle{{Red,Thick},{Blue,Thick,Dashed}}, LegendPosition{1,- 0.3},