Hubungan Retensio Sekundinae Danendometritisdenganefisiensi Reproduksi Pada Sapi Perah: Studi Kasus diKoperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat
HUBUNGAN RETENSIO SEKUNDINAE DAN
ENDOMETRITIS DENGAN EFISIENSI REPRODUKSI PADA
SAPI PERAH : Studi Kasus di Koperasi Peternak Sapi
Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat
RISTA PRIHATINI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Hubungan Retensio
Sekundinae dan Endometritis dengan Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah: Studi
Kasus di Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang” adalah
karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Februari 2011
Rista Prihatini
NIM B04063318
ABSTRAK
RISTA PRIHATINI. Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis
dengan Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di Koperasi Peternak
Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat. Dibimbing oleh YUDI dan
LIGAYA ITA TUMBELAKA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara retensio
sekundinae dan endometritis dengan efisiensi reproduksi yaitu conception rate
(CR) dan service per conception (S/C) pada sapi perah. Penelitian dilaksanakan di
Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang dan Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor,
Jawa Barat. Data retensio sekundinae, endometritis, dan efisiensi reproduksi
selama tahun 2007-2009 diperoleh dari KPSBU Lembang dan data curah hujan
selama tahun 2007-2009 diperoleh dari BMKG Stasiun Klimatologi Dramaga
Bogor, Jawa Barat. Data direkapitulasi dan dianalisis secara deskriptif dan
korelasi. Koefisien korelasi (r) dan koefisien determinan (r2%) dianalisis
menggunakan Minitab versi 14. Koefisien korelasi (r) digunakan untuk
mengetahui derajat hubungan antara variabel, sedangkan koefisien determinan
(r2%) untuk mengetahui presentase pengaruh hubungan diatara variabel. Hasil
menunjukkan bahwa retensio sekundinae berkorelasi dengan endometritis (r =
0.013), CR (r = 0.279), S/C (r = -0.119), dan curah hujan (r = 0.235). Endometritis
berkorelasi dengan CR (r = 0.264), S/C (r = -0.159), dan curah hujan (r = -0.198).
Curah hujan berkorelasi dengan efisiensi reproduksi (CR) (r = 0.103) dan (S/C) (r
= -0.222). Retensio plasenta dapat mempengaruhi 0.017% endometritis, 7.78%
CR, 1.42% S/C, dan dipengaruhi oleh 5.52% curah hujan. Endometritis dapat
mempengaruhi 6.97% CR, 2.53% S/C, dan dipengaruhi oleh 3.92% curah hujan.
Curah hujan mempengaruhi efisiensi reproduksi 1.06% CR dan 4.93% S/C. Di
KPSBU Lembang, retensio plasenta, endometritis, dan curah hujan merupakan
faktor-faktor yang mempengaruhi CR dan S/C.
Kata kunci: retensio sekundinae, endometritis, CR, S/C, curah hujan
ABSTRACT
RISTA PRIHATINI. Retained Placenta and Endometritis in Correlation
with Reproduction Efficiency in Dairy Cows: A Study Case in Koperasi Peternak
Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, West Java. Under direction of YUDI
and LIGAYA ITA TUMBELAKA.
This study aims to explore the relationship between retained placenta and
endometritis with reproduction efficiency i.e. conception rate (CR) and service per
conception (S/C) in dairy cows. The study was conducted at Koperasi Peternak
Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, and Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika (BMKG) Dramaga Bogor Station, West Java. Data of retained
placenta, endometritis cases, and reproduction efficiency during 2007-2009 were
collected from KPSBU Lembang, and data of rainfall during 2007-2009 were
compiled from BMKG Dramaga Bogor Station, West Java. Descriptive and
correlation analysis were applied in data processing. Correlation coefficient (r)
and determination coefficient (r2%) were tested using Minitab version 14 to
respectively show degree of relationship and influence between variables. The
result shows that retained placenta has correlation with endometritis (r=0.013),
CR (r = 0.279), S/C (r=-0.119), and rainfall (r=0.235). Endometritis is correlated
with CR (r=0.264), S/C (r=-0.159), and rainfall (r=-0.198). The rainfall has
correlation with reproduction efficiency (CR) (r=0.103) and (S/C) (r=-0.222).
Retained placenta explains 0.017% of endometritis, 7.78% of CR, 1.42% of S/C,
and 5.52% of rainfall. Endometritis illustrates 6.97% of CR, 2.53% of S/C, and
3.92 of rainfall. Rainfall clarifies reproduction efficiency 1.06% of CR and 4.93%
of S/C. Thus, retained placenta, endometritis, and rainfall are factors influencing
CR and S/C.
Keywords: retained placenta, endometritis, CR, S/C, rainfall
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
HUBUNGAN RETENSIO SEKUNDINAE DAN
ENDOMETRITIS DENGAN EFISIENSI REPRODUKSI PADA
SAPI PERAH : Studi Kasus di Koperasi Peternak Sapi
Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat
RISTA PRIHATINI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi
Nama
NRP
: Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis dengan
Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di
Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang,
Jawa Barat
: Rista Prihatini
: B04063318
Disetujui,
drh. Yudi, M. Si.
Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, M. Sc.
Ketua
Anggota
Diketahui,
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal lulus :
PRAKATA
Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan tugas akhir (skripsi) dengan baik. Skripsi ini
berjudul “Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis dengan Efisiensi
Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di Koperasi Peternak Sapi
Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. drh. Yudi, M. Si. dan Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, M. Sc. selaku
dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan
pikiran dalam membimbing penulis dalam melakukan penelitian hingga
menyelesaikan skripsi ini.
2. drh. Yusuf Ridwan, M. Si. dan drh. Savitri Novelina, M. Si. sebagai dosen
penguji yang telah memberikan koreksi demi kesempurnaan skripsi ini.
3. drh. Yudi, M. Si. selaku dosen pembimbing akademik.
4. Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat
atas segala bantuannya.
5. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Klimatologi
Dramaga Bogor atas segala bantuannya.
6. Keluarga (Bapak, Ibu, Adik, Kakek, Nenek) dan saudara di rumah atas
semangat dan do’anya.
7. Puguh Santoso, Vivi, Lina, Yoga, Moy, Igit, Sifa, Vita, Hadi, Damas, Intan,
David, dan seluruh anggota Omda Mahagiri, Aesculapius 43, dan keluarga
Irafan atas kebersamaannya.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Namun
demikian, penulis berharap tulisan ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2011
Rista Prihatini
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Rista Prihatini, merupakan anak pertama dari
dua bersaudara yang lahir dari pasangan Sukino dan Supatmi. Penulis dilahirkan
di Pacitan pada tanggal 19 April 1988. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD
Negeri Sukodono 1 pada tahun 2000, kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP
Negeri 1 Donorojo, Kabupaten Pacitan dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun
yang sama penulis melanjutkan studi di SMA Negeri 2 Wonogiri dan lulus pada
tahun 2006.
Pada tahun 2006 penulis melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (SNMPTN). Setelah satu tahun melewati Tingkat Persiapan
Bersama (TPB), penulis diterima di mayor Kedokteran Hewan, Fakultas
Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti kegiatan intra
kampus Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia (Himpro Ruminansia) dan
menjadi anggota Organisasi Mahasiswa Daerah “Mahagiri”, kabupaten Wonogiri.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
vi
PENDAHULUAN .............................................................................. ........
Latar Belakang ...................................................................................
Tujuan dan Manfaat ...........................................................................
1
1
2
TINJAUAN PUSTAKA .. ..........................................................................
Deskripsi Sapi Perah ..........................................................................
Sejarah Peternakan Sapi Perah di Indonesia .....................................
Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah ...............................................
Pemberian Pakan ......................................................................
Perkandangan ...........................................................................
Pemeliharaan Kesehatan ..........................................................
Gangguan Reproduksi pada Sapi Perah ............................................
Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah ...............................................
4
4
5
7
7
8
9
10
12
MATERI DAN METODE ..........................................................................
Tempat dan Waktu .............................................................................
Materi dan Metode .............................................................................
Analisis Data ......................................................................................
15
15
15
15
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
Gambaran Umum KPSBU Lembang.................................................
Hubungan Retensio Sekundinae dengan Endometritis ......................
Hubungan Retensio Sekundinae dengan Efisiensi Reproduksi .........
Hubungan Retensio Sekundinae dengan Curah Hujan ......................
Hubungan Endometritis dengan Efisiensi Reproduksi ......................
Hubungan Endometritis dengan Curah Hujan ...................................
Hubungan Efisiensi Reproduksi dengan Curah Hujan ......................
17
17
18
21
23
24
27
29
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
32
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
33
LAMPIRAN ................................................................................................
36
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Ciri utama beberapa bangsa sapi perah……………………………..
4
2
Nilai koefisien korelasi (r) dan koefisien determinan (r2%) antara
retensio sekundinae, endometritis, CR, S/C, dan curah hujan di
KPSBU Lembang……………………………...……………………
31
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Contoh beberapa bangsa sapi perah ………………………………...
5
2
Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan endometritis di KPSBU
Lembang selama tahun 2007-2009 …………………………………
19
Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan nilai efisiensi
reproduksi (CR dan S/C) di KPSBU Lembang selama tahun 20072009………………………………………………………………….
22
Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan jumlah curah hujan di
KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009………………………...
24
Frekuensi kejadian endometritis dan nilai efisiensi reproduksi (CR
dan S/C) di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009……………
26
Frekuensi kejadian endometritis dan jumlah curah hujan di KPSBU
Lembang selama tahun 2007-2009………………………………….
28
Nilai efisiensi reproduksi (CR dan S/C) dan jumlah curah hujan di
KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009………………………...
30
3
4
5
6
7
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
2
3
Data kejadian retensio sekundinae dan endometritis di KPSBU
Lembang selama tahun 2007-2009………………………………….
37
Data efisiensi reproduksi (CR dan S/C) di KPSBU Lembang selama
tahun 2007-2009…………………………………………………….
37
Data curah hujan daerah Lembang, Bandung selama tahun 20072009………………………………………………………………….
38
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi merupakan salah satu hewan ternak sebagai sumber daging, susu,
tenaga kerja, dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%)
kebutuhan daging, 95% kebutuhan susu, dan 85% kebutuhan kulit di dunia
(Bappenas 2000). Peternakan sapi perah merupakan salah satu bentuk usaha yang
sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia dan dapat menghasilkan
produk pangan berupa protein hewani, terutama susu dan daging. Kebutuhan susu
dan daging di Indonesia sangat besar seiring bertambah pesatnya jumlah
penduduk. Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai sekitar 225 juta orang
dengan konsumsi susu 55 gelas (setara dengan 10 liter)/kapita/tahun. Kebutuhan
susu nasional saat ini adalah sekitar 6.4 juta liter/hari. Produksi susu nasional saat
ini hanya mampu memenuhi sekitar 23.45% kebutuhan susu nasional, sehingga
sisanya 76.55% masih impor (Unjianto 2010).
Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi
dan produksi susu sapi perah. Peternakan sapi perah yang ada di Indonesia masih
merupakan jenis peternakan rakyat, berskala kecil, dan masih merujuk pada
sistem pemeliharaan konvensional. Masih banyak permasalahan yang timbul
dalam peternakan seperti permasalahan pakan dan kesehatan, khususnya
gangguan reproduksi. Gangguan reproduksi berdampak pada rendahnya fertilitas
induk, sehingga angka kebuntingan dan kelahiran pedet menurun atau dengan kata
lain efisiensi reproduksi menurun. Akibat dari semua itu adalah lambatnya
pertambahan populasi sapi perah dan produksi susu nasional. Gangguan
reproduksi yang umum terjadi pada sapi perah di antaranya adalah retensio
sekundinae, distokia, abortus, kelahiran prematur, dan endometritis (Dascanio et
al. 2000, Ratnawati et al. 2007). Sebagai contoh, kejadian retensio sekundinae dan
endometritis adalah 32.95% dan 19.89% dari total kasus reproduksi di KPS
Gunung Gede, Jawa Barat pada tahun 2003 (Ilham 2004). Sedangkan abortus
terjadi sekitar 2.96% (83 kasus) dari total kasus reproduksi di PT Taurus Dairy
Farm, Jawa Barat selama tahun 1995-1999 (Harila 2001).
2
Retensio sekundinae merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
endometritis, karena dengan adanya infeksi bakteri atau mikroorganisme pada
uterus postpartus dapat mengakibatkan peradangan (Ilham 2004). Lingkungan
uterus yang kotor, ditambah dengan penanganan postpartus yang buruk
mengakibatkan proses involusi kurang berjalan dengan sempurna. Sehingga pada
saat dikawinkan mengakibatkan angka efisiensi reproduksi yang rendah.
Beberapa parameter untuk menilai efisiensi reproduksi antara lain adalah
conception rate (CR), service per conception (S/C), dan calving interval (CI)
(Hardjopranjoto 1995). CR merupakan angka kebuntingan hasil IB pertama, dan
nilai CR yang ideal adalah sekitar 50% (Jainudeen & Hafez 2000a). S/C
merupakan jumlah inseminasi yang dibutuhkan untuk terjadinya satu kebuntingan,
dan nilai S/C yang ideal adalah mendekati 1.0. CI merupakan jarak antara
kelahiran ke kelahiran berikutnya, dan nilai CI yang ideal adalah 12 bulan
(Jainudeen & Hafez 2000a).
Gangguan reproduksi dan hubungannya dengan penurunan tingkat
efisiensi reproduksi yang terjadi perlu dicermati sepanjang musim berkaitan
dengan perubahan musim di Indonesia. Hal ini karena musim hujan dengan
sanitasi lingkungan yang buruk, penanganan penyakit, dan keadaan ternak yang
kurang baik dapat meningkatkan keparahan penyakit (Hardjopranjoto 1995).
Sedangkan pada musim kemarau dengan kualitas pakan yang buruk. Sehingga
ternak kekurangan pakan dalam hal komposisi dan nutrisi, bisa mengakibatkan
gangguan reproduksi (Manan 2002). Setiap peternakan sebaiknya mempunyai
pengelolaan ternak sapi perah yang disesuaikan dengan kondisi setempat, seperti
pengelolaan pakan, pengelolaan kandang, dan pengelolaan kesehatan (Santosa
2004). Oleh karena itu penelitian hubungan retensio sekundinae dan endometritis
dengan efisiensi reproduksi pada sapi perah dan kaitannya dengan perubahan
musim perlu dilakukan.
Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan retensio sekundinae
dan endometritis dengan efisiensi reproduksi (berdasarkan CR dan S/C) pada sapi
perah berkaitan dengan musim (curah hujan) di peternakan rakyat.
3
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam
melakukan
tindakan
antisipasi/pencegahan
gangguan
reproduksi
melalui
peningkatan pemeliharaan ternak yang baik dan upaya pengobatan terhadap
gangguan-gangguan reproduksi yang dapat menurunkan efisiensi reproduksi.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Sapi Perah
Taksonomi sapi perah adalah kingdom Animalia, filum Chordata, kelas
Mammalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae, subfamili Bovinae, genus Bos,
spesies B. taurus, dan dengan nama binomial Bos taurus (Linnaeus 1758). Pada
jaman pra-sejarah hanya ada dua jenis sapi di dunia, yaitu Auroch (Bos taurus) di
Eropa dan Zebu (Bos indicus) di Asia, Afrika, dan India. Domestikasi sapi mulai
dilakukan sekitar 400 tahun SM. Sapi diperkirakan berasal dari Asia Tengah,
kemudian menyebar ke Eropa, Afrika, dan seluruh wilayah Asia (Bappenas 2000).
Jenis sapi dapat digolongkan menjadi sapi potong, sapi dwiguna, dan sapi
perah (Suharno & Nazaruddin 1994). Sapi potong merupakan sapi yang
dibudidayakan untuk penggemukan dan dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan
dagingnya. Beberapa contoh sapi potong yaitu sapi bali, ongol, madura, grati,
brahman, aberden angus, dan hereford. Sapi dwiguna merupakan sapi yang
dibudidayakan untuk dimanfaatkan susunya dan sebagai sapi pekerja. Beberapa
contoh sapi dwiguna yaitu hariana, kankrej, tharpakar, dan angoni (Williamson
& Payne 1993). Sapi perah merupakan sapi yang dibudidayakan dengan tujuan
utama untuk dimanfaatkan susunya. Beberapa jenis sapi perah yang yang unggul
dan paling banyak dipelihara adalah sapi shorthorn (Gambar 1a), jersey, ayrshire
(Gambar 1b), brownswiss (Gambar 1c), dan frisian holstein (Gambar 1d)
(Bappenas 2000). Beberapa ciri khas dari masing-masing sapi tersebut
diperlihatkan pada tabel 1.
Tabel 1 Ciri utama beberapa bangsa sapi perah
Bangsa sapi perah
Ciri utama
Sapi shorthorn
Sapi jersey
Sapi ayrshire
Sapi brownswiss
Sapi frisian holstein
warna kulit merah tua sampai putih, kepala pendek dan lebar
warna kulit coklat dan ekornya berwarna hitam kontras
warna kulit merah bercampur putih atau coklat bercampur putih
warna kulit perak hingga sawo matang dengan ekor hitam
warna kulit hitam dan putih (ada juga yang berwarna merah dan
putih), kepala panjang, lebar, dan lurus
Sumber : Williamson & Payne (1993), Suharno & Nazaruddin (1994)
5
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 1 Contoh beberapa bangsa sapi perah a) shorthorn, b) ayrshire,
c) brownswiss, d) frisian holstein (Friend 1978)
Sejarah Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia dapat dibagi menjadi
dua periode, yaitu periode pemerintahan Hindia Belanda (abad ke-19 sampai
tahun 1940) dan periode pemerintah Indonesia (tahun 1950 sampai sekarang)
(Hardjosworo & Levine 1987). Pada periode pemerintahan Hindia Belanda,
peternakan sapi perah berbentuk perusahaan susu yang memelihara sapi perah,
menghasilkan susu, dan menjualnya kepada konsumen langsung. Konsumen pada
umumnya adalah orang-orang Eropa atau orang asing lainnya, karena pada masa
itu penduduk Indonesia belum suka minum susu.
Periode pemerintahan Hindia Belanda dimulai sejak abad ke-19, yaitu
ketika dilakukan impor milking shorthorn, ayrshire, dan jersey dari Australia,
serta sapi pejantan FH dari Belanda. Pada perkembangannya, terdapat beberapa
jenis sapi perah yang didatangkan di Indonesia yaitu sapi FH, hissar, ayrshire,
brownswiss, guernsey, dan jersey (Blakely & Bade 1991). Sapi hissar
kemampuan produksi susunya kurang baik dan hanya terdapat di Sumatra Utara.
Sapi ayrshire dan jersey didatangkan dari Australia tapi kurang disukai peternak
lokal sehingga kurang berkembang. Jenis-jenis sapi tersebut masih kalah unggul
dibandingkan dengan sapi FH, sehingga yang terus berkembang di masyarakat
6
sampai dengan sekarang adalah sapi FH (Suharno & Nazaruddin 1994). Sapi FH
juga sangat disukai untuk tujuan produksi daging, karena ukuran badan, kecepatan
pertumbuhan, dan karkasnya yang bagus (Blakely & Bade 1991). Sapi FH
terkenal dengan produksi susu yang tinggi dengan kadar lemak rendah sehingga
sering dimanfaatkan untuk pembuatan keju.
Pada periode pemerintahan Indonesia, selain terdapat perusahaan susu
yang dimiliki oleh pribumi juga terdapat peternakan sapi perah rakyat dengan
skala kepemilikan 2-3 ekor/keluarga. Jenis sapi yang biasa dipelihara masyarakat
pribumi hingga sekarang adalah sapi FH. Walaupun demikian para peternak sejak
jaman dulu telah melakukan perkawinan silang diantara jenis sapi, untuk
mendapatkan turunan yang sesuai dengan kehendak mereka. Salah satunya, terjadi
persilangan antara sapi peranakan ongole dengan sapi perah FH di Grati, Jawa
Timur untuk memperoleh sapi perah jenis baru yang sesuai dengan iklim dan
kondisi di Indonesia (Bappenas 2000). Inilah yang merupakan peletakan dasar
dari terbentuknya sapi Grati. Pada tahun 1950-an Jawatan Kehewanan di Grati
membangun Pusat Penampungan Susu (milk centre) sehingga Grati menjadi pusat
pengembangbiakan sapi perah dan menghasilkan susu sapi rakyat. Pada tahun
1956 pemerintah mengimpor sapi perah red danish dari Denmark, namun sapi
tersebut tidak berkembang karena tidak sesuai dengan lingkungan di Indonesia.
Pada tahun 1962 sapi FH diimpor dari Denmark sebanyak 1000 ekor, dan pada
tahun 1964 dari Belanda sebanyak 1354 ekor.
Pada masa-masa tersebut beberapa peternakan sapi perah rakyat diarahkan
menjadi koperasi peternakan yang dapat diandalkan secara nasional. Maka
terbentuklah koperasi-koperasi sapi perah, antara lain Koperasi Peternakan dan
Pemerahan Air Susu SAE (Sinau Andadani Ekonomi) di Pujon (Malang) (1962),
Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan di Bandung Selatan
(1967), dan Koperasi Peternakan Lembu Perah Setia Kawan di Pasuruan (1967)
(Hardjosworo & Levine 1987). Koperasi-koperasi peternakan tersebut diikuti
koperasi-koperasi yang lain dan berkembang sampai sekarang. Salah satunya
yaitu Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang yang didirikan
pada tanggal 8 Agustus 1971.
7
Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah
Keberhasilan suatu peternakan tergantung dari manajemen pemeliharaan
yang dilakukan (Santosa 2004). Beberapa manajemen pemeliharaan sapi perah
yang penting dilakukan dan diperhatikan oleh peternak antara lain adalah
pengelolaan pakan, kandang, dan pemeliharaan kesehatan.
Pemberian Pakan
Pengelolaan pemberian pakan dapat dilakukan dengan cara ad libitum
(jumlah yang selalu tersedia) atau diberikan dalam jumlah dibatasi (Santosa
2004). Cara pemberian ad libitum seringkali tidak efisien karena pakan banyak
terbuang dan yang tersisa menjadi busuk sehingga akan membahayakan ternak
bila termakan. Cara pemberian pakan yang baik yaitu membatasi jumlah pakan
namun dengan kualitas dan kuantitas yang mencukupi kebutuhan.
Sumber pakan sapi perah umumnya dibagi menjadi tiga yaitu hijauan,
konsentrat, dan limbah pertanian (Santosa 2004). Sumber pakan hijauan antara
lain meliputi rumput-rumputan dan kacang-kacangan. Rumput-rumputan yang
biasanya diberikan antara lain rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput
benggala (Pennisetum maximum), rumput lapangan, dan rumput signal
(Brachiaria decumbens). Kacang-kacangan yang biasa diberikan antara lain daun
lamtoro, turi, dan gamal. Bahan konsentrat yang umum diberikan sebagai pakan
antara lain dedak, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, jagung, kedelai, atau
campuran dari bahan-bahan tersebut. Limbah pertanian yang umum dimanfaatkan
untuk pakan antara lain jerami padi, jerami jagung, dan jerami kedelai.
Jumlah pakan hijauan yang diberikan biasanya sekitar 10% sedangkan
konsentrat sekitar 2% dari bobot badan sapi (Suharno & Nazaruddin 1994).
Pemberian pakan dengan rasio hijauan tinggi akan menstimulasi produksi saliva
dan pH tinggi, sehingga yang tinggi akan meningkatkan produksi asetat dan lemak
susu. Sedangkan rasio konsentrat yang tinggi akan menurunkan produksi saliva
dan meningkatkan fermentasi asam propionat, sehingga dapat menurunkan pH
dan mengurangi asupan pakan karena menurunkan produksi mikroba di rumen
(Kelly 2000).
8
Pemberian air minum sebaiknya dilakukan secara ad libitum untuk
mencukupi kebutuhan minum ternak sapi (Suharno & Nazaruddin 1994). Air
berfungsi sebagai komponen utama dalam metabolisme dan sebagai kontrol suhu
tubuh sehingga ketersediaan air harus selalu ada. Air minum harus bersih, segar,
jernih, dan tidak mengandung mikroorganisme berbahaya. Kebutuhan air minum
dapat berasal dari air minum khusus yang disediakan pada bak-bak air di padang
penggembalaan, di kandang atau di halaman pengelolaan.
Perkandangan
Kandang diperlukan untuk melindungi ternak sapi dari keadaan
lingkungan yang merugikan sehingga dengan adanya kandang ini ternak akan
memperoleh kenyamanan (Suharno & Nazaruddin 1994). Kandang dibuat
berjauhan dari rumah tinggal dan diusahakan menghadap ke arah matahari terbit.
Kandang sapi dapat berupa kandang barak atau kandang individual. Selain itu,
sebaiknya disediakan juga kandang pemerahan, kandang khusus untuk pejantan,
dan kandang untuk pedet (Williamson & Payne 1993).
Luas kandang individu untuk pedet adalah 1.03x1.52 m dan kandang
dewasa 1.83x1.22 m (Williamson & Payne 1993). Tinggi kandang 3 m, dan atap
dibuat lebih tinggi sehingga ventilasi udara cukup lebar. Ventilasi berfungi untuk
mengurangi kelembaban dalam kandang, mengurangi organisme penyakit,
mengurangi debu dan udara kotor sehingga mudah diganti dengan udara segar,
mengurangi limbah produksi terutama yang berasal dari kotoran dan urine seperti
amonia, hidrogen sulfida, karbondioksida, dan gas methan (Santosa 2002).
Bangunan kandang sebaiknya dilengkapi dengan sistem drainase atau
pengaliran air agar kotoran mudah dibersihkan dan air buangan mengalir lancar
(Suharno & Nazaruddin 1994). Lantai kandang diusahakan dibuat dari semen
dengan kondisi kedap air dan tidak licin. Atap sebaiknya dibuat dari genting atau
asbes. Peralatan kandang yang perlu disiapkan antara lain tempat pakan dan
minum, serta alat pembersih kandang seperti sapu lidi dan ember.
9
Pemeliharaan Kesehatan
Pemeliharaan kesehatan sapi sangat penting untuk diperhatikan, meliputi
tindakan pencegahan terjadinya penyakit dan penanganan/pengobatan jika sudah
terjadi penyakit. Manajemen kesehatan untuk mencegah terjadinya penyakit dapat
dilakukan dalam beberapa hal, meliputi menjaga kebutuhan pakan dan minum
selalu terpenuhi, sanitasi kandang dari parasit maupun mikroorganisme,
memantau status kesehatan ternak, melakukan pengobatan dini, pencegahan
penyakit dengan menjaga kontak dengan ternak lain yang sakit dan melakukan
vaksinasi, mengkarantina hewan yang baru datang dan melalukan tes beberapa
penyakit yang relevan, serta melakukan pemerahan yang baik dan benar (Andrews
& Gibson 2000, Nababan 2008). Salah satu indikator untuk mengamati kesehatan
sapi yaitu melalui tingkah laku sapi (Akoso 1996). Sapi yang sehat akan
menampakkan gerakan yang aktif, sikapnya yang sigap, selalu sadar dan tanggap
terhadap perubahan situasi sekitar yang mencurigakan.
Tindakan pengobatan dilakukan setelah timbul adanya penyakit. Tindakan
pengobatan dilakukan sesuai dengan penyakit yang menyerang. Obat-obatan yang
biasa digunakan untuk tindakan pengobatan seperti pemberian antibiotik,
antiviral, vitamin, pemberian preparat hormonal, dan lain-lain (Hardjopranjoto
1995). Aplikasi pemberian obat bisa dengan cara peroral, intramuskular,
intravena, implan, dan lain-lain.
Fasilitas kesehatan sebaiknya dilengkapi dengan tempat dipping atau
spraying dan kandang jepit (Santosa 2002). Tempat ini berguna untuk mencegah
dan mengobati penyakit yang disebabkan parasit eksternal dengan cara merendam
atau menyemprotkan antiparasit. Penggunaan dipping juga dilakukan terhadap
puting susu setelah melakukan pemerahan pada sapi perah untuk menghindari
masuknya sumber penyakit melalui puting/ambing. Kandang jepit digunakan
untuk memfiksir/menjepit hewan pada saat memeriksa atau memberikan
perlakuan kesehatan ternak, misalnya vaksinasi dan pengobatan.
Beberapa penyakit yang sering dijumpai pada sapi perah adalah antrak,
bruselosis, septichaemia epizootica, tripanosomiasis, dan timpani (BPTP 2001).
Sapi perah juga sangat rentan terkena mastitis atau peradangan ambing (Suharno
& Nazaruddin 1994). Proses penanganan setelah pemerahan yang kurang baik
10
didukung faktor sanitasi lingkungan yang kurang bersih mengakibatkan banyak
mikroorganisme yang masuk ke dalam ambing melalui puting susu yang
berkelanjutan
menjadi
mastitis.
Pengobatan
mastitis
dilakukan
dengan
memberikan antibiotik, dan sapi mastitis diberi tanda untuk memisahkan dalam
pemerahan serta susunya tidak dicampur dengan susu sapi yang lain sehingga
tidak mengkontaminasi susu yang lain (Nababan 2008). Pencegahan yang dapat
dilakukan untuk menghindari kejadian mastitis adalah dengan melakukan sanitasi
kandang dan celup ambing. Kasus lain yang sering terjadi berupa gangguan
reproduksi antara lain adalah retensio sekundinae, distokia, abortus, kelahiran
prematur, dan endometritis (Dascanio et al. 2000, Ratnawati et al. 2007).
Gangguan Reproduksi pada Sapi Perah
Proses reproduksi dimulai sejak hewan mencapai dewasa kelamin yang
dipengaruhi oleh faktor dari dalam dan luar tubuh. Tidak munculnya salah satu
faktor dapat menyebabkan hambatan proses reproduksi sehingga dapat terjadi
gangguan reproduksi (Hardjopranjoto 1995).
Gangguan reproduksi secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok (Partodihardjo 1980). Pertama, gangguan reproduksi karena faktor
pengelolaan termasuk teknik inseminasi, tenaga pelaksana yang kurang terampil,
kurang pakan, dan defisiensi mineral. Kedua, gangguan reproduksi karena faktor
internal hewan, dalam hal ini dapat dibagi menjadi hewan jantan dan betina. Di
daerah yang menerapkan perkawinan secara IB faktor pejantan dapat diabaikan,
sedangkan di daerah non-IB faktor pejantan ikut mengambil peranan dalam
keberhasilan reproduksi. Faktor internal dapat dibagi lagi menjadi beberapa
kelompok, antara lain karena kelainan bentuk anatomi, kelainan fungsi endokrin,
dan penyakit. Ketiga, faktor-faktor lain yang bersifat aksidental (kecelakaan atau
kelainan dapatan) yang pada umumnya ditemukan secara sporadis, misalnya
distokia dan torsio uteri.
Beberapa gangguan reproduksi yang sering terjadi pada sapi perah di
antaranya adalah retensio sekundinae dan endometritis (Dascanio et al. 2000,
Ratnawati et al. 2007). Retensio sekundinae yaitu tertahannya plasenta atau
selaput fetus setelah partus melebihi batas normalnya. Secara fisiologik selaput
11
fetus dikeluarkan dalam waktu 3-5 jam postpartus. Apabila plasenta menetap lebih
lama dari 8-12 jam kondisi ini dianggap patologik, sehingga disebut retensio
sekundinae (retensi plasenta) (Manan 2002). Patologi kejadian retensio
sekundinae adalah kegagalan pelepasan vili kotiledon fetal dari kripta karunkula
maternal. Setelah fetus keluar dan korda umbilikalis putus, tidak ada darah yang
mengalir ke vili fetal sehingga vili tersebut berkerut dan mengendur terhadap
kripta karankula. Uterus terus berkontraksi dan sejumlah darah yang tadinya
mengalir ke uterus sangat berkurang. Karunkula meternal mengecil karena suplai
darah berkurang sehingga kripta pada karunkula berdilatasi. Akibat dari semua itu
vili kotiledon lepas dari kripta karankula sehingga plasenta terlepas. Pada retensio
sekundinae, pemisahan dan pelepasan vili fetal dari kripta maternal terganggu,
sehingga pertautan diantara keduanya masih terjadi.
Endometritis merupakan peradangan pada endometrium, dan apabila
terjadi pengumpulan sejumlah eksudat purulen dalam lumen uterus disebut
dengan piometra (Ratnawati et al. 2007). Patogenesa terjadinya endometritis bisa
disebabkan oleh penularan dari berbagai mikroorganisme langsung pada
endometrium (primer) atau karena peradangan sekunder dari bagian tubuh yang
lain. Endometritis juga bisa terjadi karena kelanjutan kelahiran yang tidak normal,
seperti abortus, retensio sekundinae, kelahiran prematur, distokia, dan penanganan
kelahiran yang tidak lege artis. Selain itu juga bisa terjadi karena infeksi yang
diakibatkan karena perkawinan alam, yaitu betina terinfeksi dari pejantan yang
menderita penyakit seperti brucelosis, trichomoniasis, dan vibriosis. Pelaksanaan
inseminasi buatan intrauterin juga mempunyai resiko terjadinya endometritis,
karena mungkin saja bakteri atau mikroba lain terbawa oleh alat inseminasi karena
pelaksanaan IB yang tidak lege artis, atau terbawa oleh semen. Adanya infestasi
mikroorganisme
tersebut
mengakibatkan
terjadinya
peradangan
pada
endometrium, sehingga terjadilah endometritis (Hardjopranjoto 1995).
Retensio sekundinae biasanya berlanjut dengan terjadinya infeksi di dalam
uterus, sehingga retensio sekundinae menjadi salah satu predisposisi endometritis
(Hardjopranjoto 1995). Infeksi uterus postpartus yang diawali dari kejadian
retensio sekundinae atau karena kelahiran yang sukar (distokia) tanpa penanganan
yang baik, menyebabkan terjadinya peradangan pada uterus (endometritis) yang
12
bersifat akut. Retensio sekundinae dan atau endometritis dapat menurunkan
kesuburan (infertilitas) pada penderita sampai pada kemajiran, sehingga
mengganggu proses reproduksi. Infertilitas yang terjadi dapat berbentuk matinya
embrio yang masih muda karena pengaruh mikroorganisme atau terganggunya
perlekatan embrio pada dinding uterus (kegagalan implantasi). Sehingga dengan
adanya gangguan pada saluran reproduksi khususnya uterus akan mempengaruhi
tingkat keberhasilan dari perkawinan. Sapi yang mengalami endometritis ringan
masih dapat menunjukkan gejala birahi, namun bila dikawinkan akan gagal
menjadi bunting karena terjadi kematian embrio dini. Oleh karena itu,
endometritis juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kawin berulang pada
sapi perah.
Penurunan fertilitas betina akibat terjadinya gangguan pada uterus dapat
dilihat dalam jangka pendek dan jangka panjang. Akibat dalam jangka pendek
adalah dapat menurunkan kesuburan, yaitu memperpanjang calving interval (CI),
menurunkan nilai conception rate (CR), meningkatkan service per conception
(S/C), dan kegagalan perkawinan (Santosa 2002). Oleh karena itu dapat dikatakan
efisiensi reproduksi menurun. Akibat dalam jangka panjang adalah dapat
menyebabkan sterilitas (kemajiran) karena terjadi perubahan pada saluran
reproduksi.
Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah
Efisiensi reproduksi adalah ukuran kemampuan seekor sapi untuk bunting
dan menghasilkan keturunan yang layak dalam waktu satu tahun (Niazi & Aleem
2003). Secara umum, hewan dikatakan memiliki tingkat efisiensi reproduksi yang
baik jika setiap tahun dapat menghasilkan anak. Efisiensi reproduksi tercapai
apabila kapasitas reproduksi sudah dimanfaatkan secara maksimum (Jainudeen &
Hafez 2000b). Beberapa parameter yang umum digunakan untuk menilai efisiensi
reproduksi pada sapi perah adalah conception rate (CR), service per conception
(S/C), dan calving interval (CI).
Conception rate (CR) merupakan angka kebuntingan hasil IB pertama,
nilai CR yang ideal adalah sekitar 50% (Jainudeen & Hafez 2000a). Service per
conception (S/C) merupakan jumlah inseminasi yang dibutuhkan untuk terjadinya
13
satu kebuntingan, dan nilai S/C yang ideal adalah mendekati 1 yang artinya 1
straw menghasilkan 1 kebuntingan. Calving interval (CI) merupakan jarak antara
kelahiran ke kelahiran berikutnya, nilai CI yang ideal pada sapi perah adalah 12
bulan.
Kapasitas reproduksi yang tinggi disertai pengelolaan ternak yang baik
akan menghasilkan efisiensi reproduksi dan produktivitas ternak yang tinggi.
Adanya gangguan reproduksi dapat menyebabkan penurunan efisiensi reproduksi
dan dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar bagi peternak, seperti
pertumbuhan populasi ternak yang lambat dan rendahnya produksi ternak (daging
dan susu) (Hardjopranjoto 1995). Kejadian retensio sekundinae dan endometritis
yang tinggi dapat menurunkan tingkat efisiensi reproduksi. Hal ini dapat terjadi
akibat dari retensio sekundinae yang tidak segera sembuh dan berlanjut menjadi
infeksi uterus (endometritis) sehingga mengganggu tingkat fertilitas sapi betina.
Hubungan efisiensi reproduksi terhadap musim (curah hujan) terkait
dengan menejemen pemeliharaan khususnya terhadap keberadaan pakan (Manan
2002). Pada musim penghujan banyak rumput yang berkualitas baik, ketersediaan
pakan terpenuhi dengan baik. Namun, keadaan lingkungan pada musim penghujan
yang buruk, kandang tergenang air, dan sanitasi kandang yang buruk
mengakibatkan banyak rumput yang menjadi kotor dan basah. Selain itu, adanya
parasit pada rumput dapat menginfeksi ternak. Apabila daya tahan tubuh ternak
turun maka akan menimbulkan kesakitan pada ternak.
Pada musim kemarau ketersediaan rumput menjadi berkurang atau rumput
menjadi tua atau kering dan dalam kualitas yang buruk. Kekurangan pakan dalam
waktu yang lama menyebabkan kekurusan, daya tahan tubuh menurun,
pertumbuhan lambat, dan fertilitas menurun. Penurunan fertilitas dapat
menurunkan tingkat efisiensi reproduksi (Rakhwana 2007).
Produksi ternak yang efisien setidaknya dapat dicapai melalui empat cara
(Wodzicka-Tomaszewska et. al. 1991). Pertama, perbaikan sistem pemeliharaan
ternak, merangsang pertumbuhan dan laktasi, kontrol penyakit, dan penerapan
ekonomi pertanian. Kedua, perbaikan mutu genetika untuk menyediakan ternak
yang tumbuh lebih cepat, produksi susu lebih tinggi baik kualitas maupun
kuantitas, atau mempunyai banyak anak. Ketiga, mengembangkan teknologi
14
untuk memaksimalkan potensi performans reproduksi ternak jantan dan betina.
Keempat, mengurangi kerugian produksi hasil ternak, terutama dengan cara
perbaikan teknik atau metode pengawetan dan penyimpanannya.
15
MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu
Kegiatan penelitian dilaksanakan di Koperasi Peternak Sapi Perah
Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat dan Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Dramaga
Bogor, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2010.
Materi dan Metode
Data diperoleh dari dokumen-dokumen koperasi dan rekap data kasus dari
KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009. Data curah hujan tahun 2007-2009
(per wilayah dan per bulan) diperoleh dari BMKG Stasiun Klimatologi Dramaga
Bogor, Jawa Barat. Data dikumpulkan, direkapitulasi, kemudian dilakukan
pengolahan dan analisis data untuk dicari kaitan penyakit dengan efisiensi
reproduksi dan musim (curah hujan). Untuk data endometritis merupakan
gabungan dari data kasus endometritis dan piometra karena batasan-batasan yang
diberikan di lapangan tidak jelas.
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan korelasi. Analisis korelasi
digunakan untuk melihat hubungan antara retensio sekundinae, endometritis,
efisiensi reproduksi, dan curah hujan. Analisis dilakukan untuk melihat derajat
hubungan dengan menghitung nilai koefisien korelasi (r) sebagai berikut:
hubungan retensio sekundinae (bulan n) dengan endometritis (bulan n+2), retensio
sekundinae (bulan n) dengan efisiensi reproduksi (CR dan S/C) (bulan n+2),
retensio sekundinae (bulan n) dengan curah hujan (bulan n), endometritis (bulan
n+2) dengan efisiensi reproduksi (CR dan S/C) (bulan n+2), endometritis (bulan
n+2) dengan curah hujan (bulan n+2), dan efisiensi reproduksi (bulan n+2) dengan
curah hujan (bulan n+2). Korelasi dianalisis dengan analisis korelasi
menggunakan Minitab versi 14. Nilai koefisien korelasi (r) selanjutnya digunakan
untuk menghitung nilai koefisien determinasi/penentu (r2) yang merupakan 100
16
r2% dari variasi yang terjadi dalam variabel tak bebas Y dapat dijelaskan oleh
variabel bebas X (Sudjana 2005).
Rumus penghitungan koefisien korelasi (r) adalah
Sedangkan koefisien determinan (r2) adalah
dan
17
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum KPSBU Lembang
Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang terletak di
Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung yang berjarak sekitar 22 km di sebelah
utara Kota Bandung dan 4 km dari ibu kota Kecamatan Lembang. Wilayah kerja
KPSBU memiliki ketinggian rata-rata 1 200 m diatas permukaan laut dengan jenis
tanah mayoritas andosol. Berdasarkan kondisi geografis dan topografinya,
wilayah tersebut merupakan dataran tinggi. Data klimatologis rata-rata wilayah
KPSBU Lembang adalah temperatur maksimal 24.6oC, temparatur minimal
13.8oC, kelembaban rata-rata 80.5%, curah hujan rata-rata 2 393 mm/tahun,
evaporasi 3.4 mm/hari, dan radiasi 285 cal/cm (BMKG 2009).
KPSBU Lembang didirikan pada tanggal 8 Agustus 1971 dengan jumlah
anggota pada saat pendirian sebanyak 35 orang. Produksi susu KPSBU Lembang
pada awal pendiriannya adalah sebesar 650 liter/hari. Saat ini kegiatan usaha yang
dilakukan oleh KPSBU Lembang meliputi penerimaan susu dari peternak sampai
dengan penyetoran ke industri pengolahan susu (IPS), pelayanan kesehatan
hewan, penyediaan hijauan pakan ternak (kerjasama dengan Perum Perhutani
melakukan penanaman rumput gajah, kaliandra, dan jagung seluas 500 Ha),
fermentasi jerami, pendirian warung serba ada (waserda), kredit lunak, dan
pelayanan kesehatan anggota. Pelayanan kredit sapi bergulir mandiri (tanpa
bunga) telah dilaksanakan sejak tahun 2006 sebanyak 40 ekor, tahun 2007
sebanyak 39 ekor, dan tahun 2008 sebanyak 40 ekor. Selain pemasaran ke IPS,
koperasi juga melakukan pengolahan dan memasarkan olahan susu secara
langsung ke konsumen dalam skala kecil, misalnya yoghurt dan susu pasteurisasi.
Pelayanan keuangan dan perkreditan juga dilakukan dengan proses yang mudah
dan cepat. Pelayanan kesehatan bagi anggota dan keluarganya dilakukan dengan
pemberian kartu sehat sebanyak lima kartu untuk satu tahun.
Pelayanan kepada ternak sapi yang diberikan oleh KPSBU Lembang
meliputi pelayanan teknis, seperti pelayanan kesehatan hewan, dan inseminasi
buatan (keswan-IB), pelayanan potong kuku, dan pelayanan penyuluhan kepada
18
para anggota. Penyuluhan dilaksanakan dari kandang ke kandang, melalui siaran
radio, melalui alat peraga, dan dengan mengadakan pendidikan dasar-dasar
perkoperasian. KPSBU Lembang juga telah melaksanakan pembibitan sapi yang
hasilnya dijual kepada anggota dengan harga terjangkau untuk menanggulangi
kekurangan bibit sapi perah berkualitas.
Jumlah anggota KPSBU Lembang sampai akhir tahun 2009 adalah
sebanyak 6 907 orang dengan produksi susu rata-rata 125 000 kg/hari. Populasi
sapi perah pada tahun 2007 mencapai 16 741 ekor, kemudian mengalami
penurunan sehingga pada tahun 2008 tercatat sebanyak 16 469 ekor, dan populasi
sapi pada tahun 2009 meningkat kembali menjadi 19 045 ekor.
Hubungan Retensio Sekundinae dengan Endometritis
Kejadian retensio sekundinae di KPSBU Lembang selama tahun 20072009 berjalan relatif fluktuatif. Kejadian retensio sekundinae (Gambar 2a) selama
tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Desember yaitu sebanyak 151 kasus,
sedangkan kejadian endometritis (Gambar 2b) pada bulan n+2, yaitu bulan
Februari 2008 sebanyak 134 kasus. Kejadian retensio sekundinae terjadi
penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak 114 kasus, sedangkan kejadian
endometritis pada bulan n+2 yaitu bulan Juli sebanyak 189 kasus.
Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian retensio sekundinae terjadi
peningkatan pada bulan Agustus, September, dan Oktober yaitu sebanyak 155,
154, dan 177 kasus. Sedangkan kejadian endometritis pada bulan n+2 yaitu bulan
Oktober, November, dan Desember adalah sebanyak 179, 198, dan 184 kasus.
Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Februari yaitu
sebanyak 104 kasus, sedangkan kejadian endometritis pada bulan n+2 yaitu bulan
April adalah sebanyak 188 kasus.
Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus retensio sekundinae selama
bulan September, Oktober, dan November yaitu masing-masing sebanyak 172,
211, dan 181 kasus. Pada bulan n+2, yaitu bulan November dan Desember angka
kejadian endometritis yaitu 297 dan 277 kasus. Penurunan kejadian retensio
sekundinae terjadi pada bulan Maret dan April yaitu sebanyak 95 dan 91 kasus,
19
sedangkan pada bulan n+2, yaitu bulan Mei dan Juni kejadian endometritis
sebanyak 246 dan 303 kasus.
Analisis statistika menunjukkan bahwa kejadian retensio sekundinae
berkorelasi terhadap kejadian endometritis dengan koefisien korelasi (r) sebesar
0.013 (Tabel 2). Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien
determinan (r2%) dapat dijelaskan bahwa retensio sekundinae menyebabkan
0.017% kejadian endometritis.
Gambar 2 Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan endometritis di KPSBU
Lembang selama tahun 2007-2009
Pada dasarnya retensio plasenta adalah kegagalan pelepasan vili kotiledon
fetal dari kripta karunkula maternal (Manan 2002). Setelah fetus keluar dan korda
umbilikalis putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetal sehingga vili
tersebut berkerut dan mengendur terhadap kripta karankula. Uterus terus
berkontraksi dan sejumlah darah yang tadinya mengalir ke uterus sangat
berkurang. Karunkula meternal mengecil karena suplai darah berkurang sehingga
kripta pada karunkula berdilatasi. Akibat dari semua itu vili kotiledon lepas dari
kripta karankula sehingga plasenta terlepas. Pada retensi plasenta, pemisahan dan
20
pelepasan vili fetalis dari kripta maternal terganggu sehingga masih terjadi
pertautan. Sebanyak 0.3% kasus kejadian retensio sekundinae disebabkan oleh
gangguan mekanis, 1-2% kasus disebabkan karena induk kekurangan kekuatan
untuk mengeluarkan sekundinae setelah melahirkan, dan 98% kasus karena
gangguan pelepasan sekundinae dari karankula induknya (Hardjopranjoto 1995).
Sebanyak 16.55% retensio sekundinae disebabkan oleh faktor pakan. Pada periode
postpartus dengan defisiensi vitamin A, D, dan E serta defisiensi mineral
selenium, iodin, zink, dan kalsium dapat menyebabkan retensio sekundinae (Alsic
et al. 2008).
Sekitar 75-80% penderita retensio sekundinae tidak menunjukkan tandatanda sakit, sedangkan sekitar 20-25% memperlihatkan gejala metritis dan metritis
septik seperti anoreksia, depresi, suhu badan meninggi, pulsus meningkat,
produksi susu dan berat badan menurun (Manan 2002). Presentase tingginya
kejadian retensio sekundinae disebabkan oleh faktor-faktor diantaranya sistem
manajemen kandang yang kurang baik, kurangnya exercise (latihan) pada sapi
yang sedang bunting, dan kualitas pakan yang rendah (Ilham 2004).
Retensio sekundinae merupakan salah satu predisposisi terjadinya
endometritis, karena dengan adanya infeksi bakteri atau mikroorganisme pada
uterus postpartus dapat mengakibatkan peradangan (Hardjopranoto 1995). Hal ini
bisa disebabkan karena penanganan yang tidak aseptis dan adanya infeksi bakteri
dari luar yang mengakibatkan peradangan. Saat penanganan kelahiran apabila
karankula terputus maka terjadi perlukaan dan dengan adanya infeksi
mikroorganisme maka dapat mengakibatkan terjadinya endometritis. Pada kasus
yang berat retensio sekundinae dapat disertai dengan metritis, metritis septik,
perimetritis, peritonitis, vagina nekrotik, paresis puerpuralis, dan asetonemia.
Berdasarkan analisis korelasi dapat diketahui bahwa kejadian retensio
sekundinae hanya menyebabkan sekitar 0.017% kejadian endometritis di KPSBU
Lembang. Kejadian endometritis tidak hanya disebabkan oleh retensio
sekundinae, masih banyak faktor-faktor penyebab kejadian endometritis.
Beberapa penyebab endometritis
meliputi
infeksi
mikroorganisme pada
endometrium akibat penanganan postpartus yang tidak benar, perkawinan alam,
21
inseminasi buatan intrauterin, dan semen pejantan yang mungkin membawa
mikroorganisme patogen (Hardjopranjoto 1995).
Hubungan Retensio Sekundinae dengan Efisiensi Reproduksi
Kejadian retensio sekundinae di KPSBU Lembang selama tahun 20072009 berjalan relatif fluktuatif. Kejadian retensio sekundinae (Gambar 3a) selama
tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Desember yaitu sebanyak 151 kasus,
sedangkan nilai efisiensi reproduksi yaitu CR (Gambar 3b) dan S/C (Gambar 3c)
pada bulan n+2, yaitu bulan Februari 2008 yaitu CR (52.30%) dan S/C (1.95).
Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak
114 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan n+2 yaitu bulan Juli
yaitu CR (28%) dan S/C (3).
Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian retensio sekundinae terjadi
peningkatan pada bulan Agustus, September, dan Oktober yaitu sebanyak 155,
154, dan 177 kasus. Sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan n+2 yaitu
bulan Oktober, November, dan Desember adalah CR (60.76%, 59.69%, dan
59.04%) dan S/C (1.62, 1.7, dan 1.69). Kejadian retensio sekundinae terjadi
penurunan pada bulan Februari yaitu sebanyak 104 kasus, sedangkan nilai
efisiensi reproduksi pada bulan n+2 yaitu bulan April adalah CR (52.85%) dan
S/C (1.86).
Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus retensio sekundinae selama
bulan September, Oktober, dan November yaitu masing-masing sebanyak 172,
211, dan 181 kasus. Pada bulan n+2, yaitu bulan November dan Desember nilai
efisiens
ENDOMETRITIS DENGAN EFISIENSI REPRODUKSI PADA
SAPI PERAH : Studi Kasus di Koperasi Peternak Sapi
Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat
RISTA PRIHATINI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Hubungan Retensio
Sekundinae dan Endometritis dengan Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah: Studi
Kasus di Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang” adalah
karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Februari 2011
Rista Prihatini
NIM B04063318
ABSTRAK
RISTA PRIHATINI. Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis
dengan Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di Koperasi Peternak
Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat. Dibimbing oleh YUDI dan
LIGAYA ITA TUMBELAKA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara retensio
sekundinae dan endometritis dengan efisiensi reproduksi yaitu conception rate
(CR) dan service per conception (S/C) pada sapi perah. Penelitian dilaksanakan di
Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang dan Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor,
Jawa Barat. Data retensio sekundinae, endometritis, dan efisiensi reproduksi
selama tahun 2007-2009 diperoleh dari KPSBU Lembang dan data curah hujan
selama tahun 2007-2009 diperoleh dari BMKG Stasiun Klimatologi Dramaga
Bogor, Jawa Barat. Data direkapitulasi dan dianalisis secara deskriptif dan
korelasi. Koefisien korelasi (r) dan koefisien determinan (r2%) dianalisis
menggunakan Minitab versi 14. Koefisien korelasi (r) digunakan untuk
mengetahui derajat hubungan antara variabel, sedangkan koefisien determinan
(r2%) untuk mengetahui presentase pengaruh hubungan diatara variabel. Hasil
menunjukkan bahwa retensio sekundinae berkorelasi dengan endometritis (r =
0.013), CR (r = 0.279), S/C (r = -0.119), dan curah hujan (r = 0.235). Endometritis
berkorelasi dengan CR (r = 0.264), S/C (r = -0.159), dan curah hujan (r = -0.198).
Curah hujan berkorelasi dengan efisiensi reproduksi (CR) (r = 0.103) dan (S/C) (r
= -0.222). Retensio plasenta dapat mempengaruhi 0.017% endometritis, 7.78%
CR, 1.42% S/C, dan dipengaruhi oleh 5.52% curah hujan. Endometritis dapat
mempengaruhi 6.97% CR, 2.53% S/C, dan dipengaruhi oleh 3.92% curah hujan.
Curah hujan mempengaruhi efisiensi reproduksi 1.06% CR dan 4.93% S/C. Di
KPSBU Lembang, retensio plasenta, endometritis, dan curah hujan merupakan
faktor-faktor yang mempengaruhi CR dan S/C.
Kata kunci: retensio sekundinae, endometritis, CR, S/C, curah hujan
ABSTRACT
RISTA PRIHATINI. Retained Placenta and Endometritis in Correlation
with Reproduction Efficiency in Dairy Cows: A Study Case in Koperasi Peternak
Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, West Java. Under direction of YUDI
and LIGAYA ITA TUMBELAKA.
This study aims to explore the relationship between retained placenta and
endometritis with reproduction efficiency i.e. conception rate (CR) and service per
conception (S/C) in dairy cows. The study was conducted at Koperasi Peternak
Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, and Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika (BMKG) Dramaga Bogor Station, West Java. Data of retained
placenta, endometritis cases, and reproduction efficiency during 2007-2009 were
collected from KPSBU Lembang, and data of rainfall during 2007-2009 were
compiled from BMKG Dramaga Bogor Station, West Java. Descriptive and
correlation analysis were applied in data processing. Correlation coefficient (r)
and determination coefficient (r2%) were tested using Minitab version 14 to
respectively show degree of relationship and influence between variables. The
result shows that retained placenta has correlation with endometritis (r=0.013),
CR (r = 0.279), S/C (r=-0.119), and rainfall (r=0.235). Endometritis is correlated
with CR (r=0.264), S/C (r=-0.159), and rainfall (r=-0.198). The rainfall has
correlation with reproduction efficiency (CR) (r=0.103) and (S/C) (r=-0.222).
Retained placenta explains 0.017% of endometritis, 7.78% of CR, 1.42% of S/C,
and 5.52% of rainfall. Endometritis illustrates 6.97% of CR, 2.53% of S/C, and
3.92 of rainfall. Rainfall clarifies reproduction efficiency 1.06% of CR and 4.93%
of S/C. Thus, retained placenta, endometritis, and rainfall are factors influencing
CR and S/C.
Keywords: retained placenta, endometritis, CR, S/C, rainfall
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
HUBUNGAN RETENSIO SEKUNDINAE DAN
ENDOMETRITIS DENGAN EFISIENSI REPRODUKSI PADA
SAPI PERAH : Studi Kasus di Koperasi Peternak Sapi
Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat
RISTA PRIHATINI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi
Nama
NRP
: Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis dengan
Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di
Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang,
Jawa Barat
: Rista Prihatini
: B04063318
Disetujui,
drh. Yudi, M. Si.
Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, M. Sc.
Ketua
Anggota
Diketahui,
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal lulus :
PRAKATA
Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan tugas akhir (skripsi) dengan baik. Skripsi ini
berjudul “Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis dengan Efisiensi
Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di Koperasi Peternak Sapi
Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. drh. Yudi, M. Si. dan Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, M. Sc. selaku
dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan
pikiran dalam membimbing penulis dalam melakukan penelitian hingga
menyelesaikan skripsi ini.
2. drh. Yusuf Ridwan, M. Si. dan drh. Savitri Novelina, M. Si. sebagai dosen
penguji yang telah memberikan koreksi demi kesempurnaan skripsi ini.
3. drh. Yudi, M. Si. selaku dosen pembimbing akademik.
4. Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat
atas segala bantuannya.
5. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Klimatologi
Dramaga Bogor atas segala bantuannya.
6. Keluarga (Bapak, Ibu, Adik, Kakek, Nenek) dan saudara di rumah atas
semangat dan do’anya.
7. Puguh Santoso, Vivi, Lina, Yoga, Moy, Igit, Sifa, Vita, Hadi, Damas, Intan,
David, dan seluruh anggota Omda Mahagiri, Aesculapius 43, dan keluarga
Irafan atas kebersamaannya.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Namun
demikian, penulis berharap tulisan ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2011
Rista Prihatini
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Rista Prihatini, merupakan anak pertama dari
dua bersaudara yang lahir dari pasangan Sukino dan Supatmi. Penulis dilahirkan
di Pacitan pada tanggal 19 April 1988. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD
Negeri Sukodono 1 pada tahun 2000, kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP
Negeri 1 Donorojo, Kabupaten Pacitan dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun
yang sama penulis melanjutkan studi di SMA Negeri 2 Wonogiri dan lulus pada
tahun 2006.
Pada tahun 2006 penulis melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (SNMPTN). Setelah satu tahun melewati Tingkat Persiapan
Bersama (TPB), penulis diterima di mayor Kedokteran Hewan, Fakultas
Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti kegiatan intra
kampus Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia (Himpro Ruminansia) dan
menjadi anggota Organisasi Mahasiswa Daerah “Mahagiri”, kabupaten Wonogiri.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
vi
PENDAHULUAN .............................................................................. ........
Latar Belakang ...................................................................................
Tujuan dan Manfaat ...........................................................................
1
1
2
TINJAUAN PUSTAKA .. ..........................................................................
Deskripsi Sapi Perah ..........................................................................
Sejarah Peternakan Sapi Perah di Indonesia .....................................
Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah ...............................................
Pemberian Pakan ......................................................................
Perkandangan ...........................................................................
Pemeliharaan Kesehatan ..........................................................
Gangguan Reproduksi pada Sapi Perah ............................................
Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah ...............................................
4
4
5
7
7
8
9
10
12
MATERI DAN METODE ..........................................................................
Tempat dan Waktu .............................................................................
Materi dan Metode .............................................................................
Analisis Data ......................................................................................
15
15
15
15
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
Gambaran Umum KPSBU Lembang.................................................
Hubungan Retensio Sekundinae dengan Endometritis ......................
Hubungan Retensio Sekundinae dengan Efisiensi Reproduksi .........
Hubungan Retensio Sekundinae dengan Curah Hujan ......................
Hubungan Endometritis dengan Efisiensi Reproduksi ......................
Hubungan Endometritis dengan Curah Hujan ...................................
Hubungan Efisiensi Reproduksi dengan Curah Hujan ......................
17
17
18
21
23
24
27
29
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
32
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
33
LAMPIRAN ................................................................................................
36
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Ciri utama beberapa bangsa sapi perah……………………………..
4
2
Nilai koefisien korelasi (r) dan koefisien determinan (r2%) antara
retensio sekundinae, endometritis, CR, S/C, dan curah hujan di
KPSBU Lembang……………………………...……………………
31
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Contoh beberapa bangsa sapi perah ………………………………...
5
2
Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan endometritis di KPSBU
Lembang selama tahun 2007-2009 …………………………………
19
Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan nilai efisiensi
reproduksi (CR dan S/C) di KPSBU Lembang selama tahun 20072009………………………………………………………………….
22
Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan jumlah curah hujan di
KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009………………………...
24
Frekuensi kejadian endometritis dan nilai efisiensi reproduksi (CR
dan S/C) di KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009……………
26
Frekuensi kejadian endometritis dan jumlah curah hujan di KPSBU
Lembang selama tahun 2007-2009………………………………….
28
Nilai efisiensi reproduksi (CR dan S/C) dan jumlah curah hujan di
KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009………………………...
30
3
4
5
6
7
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
2
3
Data kejadian retensio sekundinae dan endometritis di KPSBU
Lembang selama tahun 2007-2009………………………………….
37
Data efisiensi reproduksi (CR dan S/C) di KPSBU Lembang selama
tahun 2007-2009…………………………………………………….
37
Data curah hujan daerah Lembang, Bandung selama tahun 20072009………………………………………………………………….
38
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi merupakan salah satu hewan ternak sebagai sumber daging, susu,
tenaga kerja, dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%)
kebutuhan daging, 95% kebutuhan susu, dan 85% kebutuhan kulit di dunia
(Bappenas 2000). Peternakan sapi perah merupakan salah satu bentuk usaha yang
sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia dan dapat menghasilkan
produk pangan berupa protein hewani, terutama susu dan daging. Kebutuhan susu
dan daging di Indonesia sangat besar seiring bertambah pesatnya jumlah
penduduk. Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai sekitar 225 juta orang
dengan konsumsi susu 55 gelas (setara dengan 10 liter)/kapita/tahun. Kebutuhan
susu nasional saat ini adalah sekitar 6.4 juta liter/hari. Produksi susu nasional saat
ini hanya mampu memenuhi sekitar 23.45% kebutuhan susu nasional, sehingga
sisanya 76.55% masih impor (Unjianto 2010).
Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi
dan produksi susu sapi perah. Peternakan sapi perah yang ada di Indonesia masih
merupakan jenis peternakan rakyat, berskala kecil, dan masih merujuk pada
sistem pemeliharaan konvensional. Masih banyak permasalahan yang timbul
dalam peternakan seperti permasalahan pakan dan kesehatan, khususnya
gangguan reproduksi. Gangguan reproduksi berdampak pada rendahnya fertilitas
induk, sehingga angka kebuntingan dan kelahiran pedet menurun atau dengan kata
lain efisiensi reproduksi menurun. Akibat dari semua itu adalah lambatnya
pertambahan populasi sapi perah dan produksi susu nasional. Gangguan
reproduksi yang umum terjadi pada sapi perah di antaranya adalah retensio
sekundinae, distokia, abortus, kelahiran prematur, dan endometritis (Dascanio et
al. 2000, Ratnawati et al. 2007). Sebagai contoh, kejadian retensio sekundinae dan
endometritis adalah 32.95% dan 19.89% dari total kasus reproduksi di KPS
Gunung Gede, Jawa Barat pada tahun 2003 (Ilham 2004). Sedangkan abortus
terjadi sekitar 2.96% (83 kasus) dari total kasus reproduksi di PT Taurus Dairy
Farm, Jawa Barat selama tahun 1995-1999 (Harila 2001).
2
Retensio sekundinae merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
endometritis, karena dengan adanya infeksi bakteri atau mikroorganisme pada
uterus postpartus dapat mengakibatkan peradangan (Ilham 2004). Lingkungan
uterus yang kotor, ditambah dengan penanganan postpartus yang buruk
mengakibatkan proses involusi kurang berjalan dengan sempurna. Sehingga pada
saat dikawinkan mengakibatkan angka efisiensi reproduksi yang rendah.
Beberapa parameter untuk menilai efisiensi reproduksi antara lain adalah
conception rate (CR), service per conception (S/C), dan calving interval (CI)
(Hardjopranjoto 1995). CR merupakan angka kebuntingan hasil IB pertama, dan
nilai CR yang ideal adalah sekitar 50% (Jainudeen & Hafez 2000a). S/C
merupakan jumlah inseminasi yang dibutuhkan untuk terjadinya satu kebuntingan,
dan nilai S/C yang ideal adalah mendekati 1.0. CI merupakan jarak antara
kelahiran ke kelahiran berikutnya, dan nilai CI yang ideal adalah 12 bulan
(Jainudeen & Hafez 2000a).
Gangguan reproduksi dan hubungannya dengan penurunan tingkat
efisiensi reproduksi yang terjadi perlu dicermati sepanjang musim berkaitan
dengan perubahan musim di Indonesia. Hal ini karena musim hujan dengan
sanitasi lingkungan yang buruk, penanganan penyakit, dan keadaan ternak yang
kurang baik dapat meningkatkan keparahan penyakit (Hardjopranjoto 1995).
Sedangkan pada musim kemarau dengan kualitas pakan yang buruk. Sehingga
ternak kekurangan pakan dalam hal komposisi dan nutrisi, bisa mengakibatkan
gangguan reproduksi (Manan 2002). Setiap peternakan sebaiknya mempunyai
pengelolaan ternak sapi perah yang disesuaikan dengan kondisi setempat, seperti
pengelolaan pakan, pengelolaan kandang, dan pengelolaan kesehatan (Santosa
2004). Oleh karena itu penelitian hubungan retensio sekundinae dan endometritis
dengan efisiensi reproduksi pada sapi perah dan kaitannya dengan perubahan
musim perlu dilakukan.
Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan retensio sekundinae
dan endometritis dengan efisiensi reproduksi (berdasarkan CR dan S/C) pada sapi
perah berkaitan dengan musim (curah hujan) di peternakan rakyat.
3
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam
melakukan
tindakan
antisipasi/pencegahan
gangguan
reproduksi
melalui
peningkatan pemeliharaan ternak yang baik dan upaya pengobatan terhadap
gangguan-gangguan reproduksi yang dapat menurunkan efisiensi reproduksi.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Sapi Perah
Taksonomi sapi perah adalah kingdom Animalia, filum Chordata, kelas
Mammalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae, subfamili Bovinae, genus Bos,
spesies B. taurus, dan dengan nama binomial Bos taurus (Linnaeus 1758). Pada
jaman pra-sejarah hanya ada dua jenis sapi di dunia, yaitu Auroch (Bos taurus) di
Eropa dan Zebu (Bos indicus) di Asia, Afrika, dan India. Domestikasi sapi mulai
dilakukan sekitar 400 tahun SM. Sapi diperkirakan berasal dari Asia Tengah,
kemudian menyebar ke Eropa, Afrika, dan seluruh wilayah Asia (Bappenas 2000).
Jenis sapi dapat digolongkan menjadi sapi potong, sapi dwiguna, dan sapi
perah (Suharno & Nazaruddin 1994). Sapi potong merupakan sapi yang
dibudidayakan untuk penggemukan dan dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan
dagingnya. Beberapa contoh sapi potong yaitu sapi bali, ongol, madura, grati,
brahman, aberden angus, dan hereford. Sapi dwiguna merupakan sapi yang
dibudidayakan untuk dimanfaatkan susunya dan sebagai sapi pekerja. Beberapa
contoh sapi dwiguna yaitu hariana, kankrej, tharpakar, dan angoni (Williamson
& Payne 1993). Sapi perah merupakan sapi yang dibudidayakan dengan tujuan
utama untuk dimanfaatkan susunya. Beberapa jenis sapi perah yang yang unggul
dan paling banyak dipelihara adalah sapi shorthorn (Gambar 1a), jersey, ayrshire
(Gambar 1b), brownswiss (Gambar 1c), dan frisian holstein (Gambar 1d)
(Bappenas 2000). Beberapa ciri khas dari masing-masing sapi tersebut
diperlihatkan pada tabel 1.
Tabel 1 Ciri utama beberapa bangsa sapi perah
Bangsa sapi perah
Ciri utama
Sapi shorthorn
Sapi jersey
Sapi ayrshire
Sapi brownswiss
Sapi frisian holstein
warna kulit merah tua sampai putih, kepala pendek dan lebar
warna kulit coklat dan ekornya berwarna hitam kontras
warna kulit merah bercampur putih atau coklat bercampur putih
warna kulit perak hingga sawo matang dengan ekor hitam
warna kulit hitam dan putih (ada juga yang berwarna merah dan
putih), kepala panjang, lebar, dan lurus
Sumber : Williamson & Payne (1993), Suharno & Nazaruddin (1994)
5
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 1 Contoh beberapa bangsa sapi perah a) shorthorn, b) ayrshire,
c) brownswiss, d) frisian holstein (Friend 1978)
Sejarah Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia dapat dibagi menjadi
dua periode, yaitu periode pemerintahan Hindia Belanda (abad ke-19 sampai
tahun 1940) dan periode pemerintah Indonesia (tahun 1950 sampai sekarang)
(Hardjosworo & Levine 1987). Pada periode pemerintahan Hindia Belanda,
peternakan sapi perah berbentuk perusahaan susu yang memelihara sapi perah,
menghasilkan susu, dan menjualnya kepada konsumen langsung. Konsumen pada
umumnya adalah orang-orang Eropa atau orang asing lainnya, karena pada masa
itu penduduk Indonesia belum suka minum susu.
Periode pemerintahan Hindia Belanda dimulai sejak abad ke-19, yaitu
ketika dilakukan impor milking shorthorn, ayrshire, dan jersey dari Australia,
serta sapi pejantan FH dari Belanda. Pada perkembangannya, terdapat beberapa
jenis sapi perah yang didatangkan di Indonesia yaitu sapi FH, hissar, ayrshire,
brownswiss, guernsey, dan jersey (Blakely & Bade 1991). Sapi hissar
kemampuan produksi susunya kurang baik dan hanya terdapat di Sumatra Utara.
Sapi ayrshire dan jersey didatangkan dari Australia tapi kurang disukai peternak
lokal sehingga kurang berkembang. Jenis-jenis sapi tersebut masih kalah unggul
dibandingkan dengan sapi FH, sehingga yang terus berkembang di masyarakat
6
sampai dengan sekarang adalah sapi FH (Suharno & Nazaruddin 1994). Sapi FH
juga sangat disukai untuk tujuan produksi daging, karena ukuran badan, kecepatan
pertumbuhan, dan karkasnya yang bagus (Blakely & Bade 1991). Sapi FH
terkenal dengan produksi susu yang tinggi dengan kadar lemak rendah sehingga
sering dimanfaatkan untuk pembuatan keju.
Pada periode pemerintahan Indonesia, selain terdapat perusahaan susu
yang dimiliki oleh pribumi juga terdapat peternakan sapi perah rakyat dengan
skala kepemilikan 2-3 ekor/keluarga. Jenis sapi yang biasa dipelihara masyarakat
pribumi hingga sekarang adalah sapi FH. Walaupun demikian para peternak sejak
jaman dulu telah melakukan perkawinan silang diantara jenis sapi, untuk
mendapatkan turunan yang sesuai dengan kehendak mereka. Salah satunya, terjadi
persilangan antara sapi peranakan ongole dengan sapi perah FH di Grati, Jawa
Timur untuk memperoleh sapi perah jenis baru yang sesuai dengan iklim dan
kondisi di Indonesia (Bappenas 2000). Inilah yang merupakan peletakan dasar
dari terbentuknya sapi Grati. Pada tahun 1950-an Jawatan Kehewanan di Grati
membangun Pusat Penampungan Susu (milk centre) sehingga Grati menjadi pusat
pengembangbiakan sapi perah dan menghasilkan susu sapi rakyat. Pada tahun
1956 pemerintah mengimpor sapi perah red danish dari Denmark, namun sapi
tersebut tidak berkembang karena tidak sesuai dengan lingkungan di Indonesia.
Pada tahun 1962 sapi FH diimpor dari Denmark sebanyak 1000 ekor, dan pada
tahun 1964 dari Belanda sebanyak 1354 ekor.
Pada masa-masa tersebut beberapa peternakan sapi perah rakyat diarahkan
menjadi koperasi peternakan yang dapat diandalkan secara nasional. Maka
terbentuklah koperasi-koperasi sapi perah, antara lain Koperasi Peternakan dan
Pemerahan Air Susu SAE (Sinau Andadani Ekonomi) di Pujon (Malang) (1962),
Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan di Bandung Selatan
(1967), dan Koperasi Peternakan Lembu Perah Setia Kawan di Pasuruan (1967)
(Hardjosworo & Levine 1987). Koperasi-koperasi peternakan tersebut diikuti
koperasi-koperasi yang lain dan berkembang sampai sekarang. Salah satunya
yaitu Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang yang didirikan
pada tanggal 8 Agustus 1971.
7
Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah
Keberhasilan suatu peternakan tergantung dari manajemen pemeliharaan
yang dilakukan (Santosa 2004). Beberapa manajemen pemeliharaan sapi perah
yang penting dilakukan dan diperhatikan oleh peternak antara lain adalah
pengelolaan pakan, kandang, dan pemeliharaan kesehatan.
Pemberian Pakan
Pengelolaan pemberian pakan dapat dilakukan dengan cara ad libitum
(jumlah yang selalu tersedia) atau diberikan dalam jumlah dibatasi (Santosa
2004). Cara pemberian ad libitum seringkali tidak efisien karena pakan banyak
terbuang dan yang tersisa menjadi busuk sehingga akan membahayakan ternak
bila termakan. Cara pemberian pakan yang baik yaitu membatasi jumlah pakan
namun dengan kualitas dan kuantitas yang mencukupi kebutuhan.
Sumber pakan sapi perah umumnya dibagi menjadi tiga yaitu hijauan,
konsentrat, dan limbah pertanian (Santosa 2004). Sumber pakan hijauan antara
lain meliputi rumput-rumputan dan kacang-kacangan. Rumput-rumputan yang
biasanya diberikan antara lain rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput
benggala (Pennisetum maximum), rumput lapangan, dan rumput signal
(Brachiaria decumbens). Kacang-kacangan yang biasa diberikan antara lain daun
lamtoro, turi, dan gamal. Bahan konsentrat yang umum diberikan sebagai pakan
antara lain dedak, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, jagung, kedelai, atau
campuran dari bahan-bahan tersebut. Limbah pertanian yang umum dimanfaatkan
untuk pakan antara lain jerami padi, jerami jagung, dan jerami kedelai.
Jumlah pakan hijauan yang diberikan biasanya sekitar 10% sedangkan
konsentrat sekitar 2% dari bobot badan sapi (Suharno & Nazaruddin 1994).
Pemberian pakan dengan rasio hijauan tinggi akan menstimulasi produksi saliva
dan pH tinggi, sehingga yang tinggi akan meningkatkan produksi asetat dan lemak
susu. Sedangkan rasio konsentrat yang tinggi akan menurunkan produksi saliva
dan meningkatkan fermentasi asam propionat, sehingga dapat menurunkan pH
dan mengurangi asupan pakan karena menurunkan produksi mikroba di rumen
(Kelly 2000).
8
Pemberian air minum sebaiknya dilakukan secara ad libitum untuk
mencukupi kebutuhan minum ternak sapi (Suharno & Nazaruddin 1994). Air
berfungsi sebagai komponen utama dalam metabolisme dan sebagai kontrol suhu
tubuh sehingga ketersediaan air harus selalu ada. Air minum harus bersih, segar,
jernih, dan tidak mengandung mikroorganisme berbahaya. Kebutuhan air minum
dapat berasal dari air minum khusus yang disediakan pada bak-bak air di padang
penggembalaan, di kandang atau di halaman pengelolaan.
Perkandangan
Kandang diperlukan untuk melindungi ternak sapi dari keadaan
lingkungan yang merugikan sehingga dengan adanya kandang ini ternak akan
memperoleh kenyamanan (Suharno & Nazaruddin 1994). Kandang dibuat
berjauhan dari rumah tinggal dan diusahakan menghadap ke arah matahari terbit.
Kandang sapi dapat berupa kandang barak atau kandang individual. Selain itu,
sebaiknya disediakan juga kandang pemerahan, kandang khusus untuk pejantan,
dan kandang untuk pedet (Williamson & Payne 1993).
Luas kandang individu untuk pedet adalah 1.03x1.52 m dan kandang
dewasa 1.83x1.22 m (Williamson & Payne 1993). Tinggi kandang 3 m, dan atap
dibuat lebih tinggi sehingga ventilasi udara cukup lebar. Ventilasi berfungi untuk
mengurangi kelembaban dalam kandang, mengurangi organisme penyakit,
mengurangi debu dan udara kotor sehingga mudah diganti dengan udara segar,
mengurangi limbah produksi terutama yang berasal dari kotoran dan urine seperti
amonia, hidrogen sulfida, karbondioksida, dan gas methan (Santosa 2002).
Bangunan kandang sebaiknya dilengkapi dengan sistem drainase atau
pengaliran air agar kotoran mudah dibersihkan dan air buangan mengalir lancar
(Suharno & Nazaruddin 1994). Lantai kandang diusahakan dibuat dari semen
dengan kondisi kedap air dan tidak licin. Atap sebaiknya dibuat dari genting atau
asbes. Peralatan kandang yang perlu disiapkan antara lain tempat pakan dan
minum, serta alat pembersih kandang seperti sapu lidi dan ember.
9
Pemeliharaan Kesehatan
Pemeliharaan kesehatan sapi sangat penting untuk diperhatikan, meliputi
tindakan pencegahan terjadinya penyakit dan penanganan/pengobatan jika sudah
terjadi penyakit. Manajemen kesehatan untuk mencegah terjadinya penyakit dapat
dilakukan dalam beberapa hal, meliputi menjaga kebutuhan pakan dan minum
selalu terpenuhi, sanitasi kandang dari parasit maupun mikroorganisme,
memantau status kesehatan ternak, melakukan pengobatan dini, pencegahan
penyakit dengan menjaga kontak dengan ternak lain yang sakit dan melakukan
vaksinasi, mengkarantina hewan yang baru datang dan melalukan tes beberapa
penyakit yang relevan, serta melakukan pemerahan yang baik dan benar (Andrews
& Gibson 2000, Nababan 2008). Salah satu indikator untuk mengamati kesehatan
sapi yaitu melalui tingkah laku sapi (Akoso 1996). Sapi yang sehat akan
menampakkan gerakan yang aktif, sikapnya yang sigap, selalu sadar dan tanggap
terhadap perubahan situasi sekitar yang mencurigakan.
Tindakan pengobatan dilakukan setelah timbul adanya penyakit. Tindakan
pengobatan dilakukan sesuai dengan penyakit yang menyerang. Obat-obatan yang
biasa digunakan untuk tindakan pengobatan seperti pemberian antibiotik,
antiviral, vitamin, pemberian preparat hormonal, dan lain-lain (Hardjopranjoto
1995). Aplikasi pemberian obat bisa dengan cara peroral, intramuskular,
intravena, implan, dan lain-lain.
Fasilitas kesehatan sebaiknya dilengkapi dengan tempat dipping atau
spraying dan kandang jepit (Santosa 2002). Tempat ini berguna untuk mencegah
dan mengobati penyakit yang disebabkan parasit eksternal dengan cara merendam
atau menyemprotkan antiparasit. Penggunaan dipping juga dilakukan terhadap
puting susu setelah melakukan pemerahan pada sapi perah untuk menghindari
masuknya sumber penyakit melalui puting/ambing. Kandang jepit digunakan
untuk memfiksir/menjepit hewan pada saat memeriksa atau memberikan
perlakuan kesehatan ternak, misalnya vaksinasi dan pengobatan.
Beberapa penyakit yang sering dijumpai pada sapi perah adalah antrak,
bruselosis, septichaemia epizootica, tripanosomiasis, dan timpani (BPTP 2001).
Sapi perah juga sangat rentan terkena mastitis atau peradangan ambing (Suharno
& Nazaruddin 1994). Proses penanganan setelah pemerahan yang kurang baik
10
didukung faktor sanitasi lingkungan yang kurang bersih mengakibatkan banyak
mikroorganisme yang masuk ke dalam ambing melalui puting susu yang
berkelanjutan
menjadi
mastitis.
Pengobatan
mastitis
dilakukan
dengan
memberikan antibiotik, dan sapi mastitis diberi tanda untuk memisahkan dalam
pemerahan serta susunya tidak dicampur dengan susu sapi yang lain sehingga
tidak mengkontaminasi susu yang lain (Nababan 2008). Pencegahan yang dapat
dilakukan untuk menghindari kejadian mastitis adalah dengan melakukan sanitasi
kandang dan celup ambing. Kasus lain yang sering terjadi berupa gangguan
reproduksi antara lain adalah retensio sekundinae, distokia, abortus, kelahiran
prematur, dan endometritis (Dascanio et al. 2000, Ratnawati et al. 2007).
Gangguan Reproduksi pada Sapi Perah
Proses reproduksi dimulai sejak hewan mencapai dewasa kelamin yang
dipengaruhi oleh faktor dari dalam dan luar tubuh. Tidak munculnya salah satu
faktor dapat menyebabkan hambatan proses reproduksi sehingga dapat terjadi
gangguan reproduksi (Hardjopranjoto 1995).
Gangguan reproduksi secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok (Partodihardjo 1980). Pertama, gangguan reproduksi karena faktor
pengelolaan termasuk teknik inseminasi, tenaga pelaksana yang kurang terampil,
kurang pakan, dan defisiensi mineral. Kedua, gangguan reproduksi karena faktor
internal hewan, dalam hal ini dapat dibagi menjadi hewan jantan dan betina. Di
daerah yang menerapkan perkawinan secara IB faktor pejantan dapat diabaikan,
sedangkan di daerah non-IB faktor pejantan ikut mengambil peranan dalam
keberhasilan reproduksi. Faktor internal dapat dibagi lagi menjadi beberapa
kelompok, antara lain karena kelainan bentuk anatomi, kelainan fungsi endokrin,
dan penyakit. Ketiga, faktor-faktor lain yang bersifat aksidental (kecelakaan atau
kelainan dapatan) yang pada umumnya ditemukan secara sporadis, misalnya
distokia dan torsio uteri.
Beberapa gangguan reproduksi yang sering terjadi pada sapi perah di
antaranya adalah retensio sekundinae dan endometritis (Dascanio et al. 2000,
Ratnawati et al. 2007). Retensio sekundinae yaitu tertahannya plasenta atau
selaput fetus setelah partus melebihi batas normalnya. Secara fisiologik selaput
11
fetus dikeluarkan dalam waktu 3-5 jam postpartus. Apabila plasenta menetap lebih
lama dari 8-12 jam kondisi ini dianggap patologik, sehingga disebut retensio
sekundinae (retensi plasenta) (Manan 2002). Patologi kejadian retensio
sekundinae adalah kegagalan pelepasan vili kotiledon fetal dari kripta karunkula
maternal. Setelah fetus keluar dan korda umbilikalis putus, tidak ada darah yang
mengalir ke vili fetal sehingga vili tersebut berkerut dan mengendur terhadap
kripta karankula. Uterus terus berkontraksi dan sejumlah darah yang tadinya
mengalir ke uterus sangat berkurang. Karunkula meternal mengecil karena suplai
darah berkurang sehingga kripta pada karunkula berdilatasi. Akibat dari semua itu
vili kotiledon lepas dari kripta karankula sehingga plasenta terlepas. Pada retensio
sekundinae, pemisahan dan pelepasan vili fetal dari kripta maternal terganggu,
sehingga pertautan diantara keduanya masih terjadi.
Endometritis merupakan peradangan pada endometrium, dan apabila
terjadi pengumpulan sejumlah eksudat purulen dalam lumen uterus disebut
dengan piometra (Ratnawati et al. 2007). Patogenesa terjadinya endometritis bisa
disebabkan oleh penularan dari berbagai mikroorganisme langsung pada
endometrium (primer) atau karena peradangan sekunder dari bagian tubuh yang
lain. Endometritis juga bisa terjadi karena kelanjutan kelahiran yang tidak normal,
seperti abortus, retensio sekundinae, kelahiran prematur, distokia, dan penanganan
kelahiran yang tidak lege artis. Selain itu juga bisa terjadi karena infeksi yang
diakibatkan karena perkawinan alam, yaitu betina terinfeksi dari pejantan yang
menderita penyakit seperti brucelosis, trichomoniasis, dan vibriosis. Pelaksanaan
inseminasi buatan intrauterin juga mempunyai resiko terjadinya endometritis,
karena mungkin saja bakteri atau mikroba lain terbawa oleh alat inseminasi karena
pelaksanaan IB yang tidak lege artis, atau terbawa oleh semen. Adanya infestasi
mikroorganisme
tersebut
mengakibatkan
terjadinya
peradangan
pada
endometrium, sehingga terjadilah endometritis (Hardjopranjoto 1995).
Retensio sekundinae biasanya berlanjut dengan terjadinya infeksi di dalam
uterus, sehingga retensio sekundinae menjadi salah satu predisposisi endometritis
(Hardjopranjoto 1995). Infeksi uterus postpartus yang diawali dari kejadian
retensio sekundinae atau karena kelahiran yang sukar (distokia) tanpa penanganan
yang baik, menyebabkan terjadinya peradangan pada uterus (endometritis) yang
12
bersifat akut. Retensio sekundinae dan atau endometritis dapat menurunkan
kesuburan (infertilitas) pada penderita sampai pada kemajiran, sehingga
mengganggu proses reproduksi. Infertilitas yang terjadi dapat berbentuk matinya
embrio yang masih muda karena pengaruh mikroorganisme atau terganggunya
perlekatan embrio pada dinding uterus (kegagalan implantasi). Sehingga dengan
adanya gangguan pada saluran reproduksi khususnya uterus akan mempengaruhi
tingkat keberhasilan dari perkawinan. Sapi yang mengalami endometritis ringan
masih dapat menunjukkan gejala birahi, namun bila dikawinkan akan gagal
menjadi bunting karena terjadi kematian embrio dini. Oleh karena itu,
endometritis juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kawin berulang pada
sapi perah.
Penurunan fertilitas betina akibat terjadinya gangguan pada uterus dapat
dilihat dalam jangka pendek dan jangka panjang. Akibat dalam jangka pendek
adalah dapat menurunkan kesuburan, yaitu memperpanjang calving interval (CI),
menurunkan nilai conception rate (CR), meningkatkan service per conception
(S/C), dan kegagalan perkawinan (Santosa 2002). Oleh karena itu dapat dikatakan
efisiensi reproduksi menurun. Akibat dalam jangka panjang adalah dapat
menyebabkan sterilitas (kemajiran) karena terjadi perubahan pada saluran
reproduksi.
Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah
Efisiensi reproduksi adalah ukuran kemampuan seekor sapi untuk bunting
dan menghasilkan keturunan yang layak dalam waktu satu tahun (Niazi & Aleem
2003). Secara umum, hewan dikatakan memiliki tingkat efisiensi reproduksi yang
baik jika setiap tahun dapat menghasilkan anak. Efisiensi reproduksi tercapai
apabila kapasitas reproduksi sudah dimanfaatkan secara maksimum (Jainudeen &
Hafez 2000b). Beberapa parameter yang umum digunakan untuk menilai efisiensi
reproduksi pada sapi perah adalah conception rate (CR), service per conception
(S/C), dan calving interval (CI).
Conception rate (CR) merupakan angka kebuntingan hasil IB pertama,
nilai CR yang ideal adalah sekitar 50% (Jainudeen & Hafez 2000a). Service per
conception (S/C) merupakan jumlah inseminasi yang dibutuhkan untuk terjadinya
13
satu kebuntingan, dan nilai S/C yang ideal adalah mendekati 1 yang artinya 1
straw menghasilkan 1 kebuntingan. Calving interval (CI) merupakan jarak antara
kelahiran ke kelahiran berikutnya, nilai CI yang ideal pada sapi perah adalah 12
bulan.
Kapasitas reproduksi yang tinggi disertai pengelolaan ternak yang baik
akan menghasilkan efisiensi reproduksi dan produktivitas ternak yang tinggi.
Adanya gangguan reproduksi dapat menyebabkan penurunan efisiensi reproduksi
dan dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar bagi peternak, seperti
pertumbuhan populasi ternak yang lambat dan rendahnya produksi ternak (daging
dan susu) (Hardjopranjoto 1995). Kejadian retensio sekundinae dan endometritis
yang tinggi dapat menurunkan tingkat efisiensi reproduksi. Hal ini dapat terjadi
akibat dari retensio sekundinae yang tidak segera sembuh dan berlanjut menjadi
infeksi uterus (endometritis) sehingga mengganggu tingkat fertilitas sapi betina.
Hubungan efisiensi reproduksi terhadap musim (curah hujan) terkait
dengan menejemen pemeliharaan khususnya terhadap keberadaan pakan (Manan
2002). Pada musim penghujan banyak rumput yang berkualitas baik, ketersediaan
pakan terpenuhi dengan baik. Namun, keadaan lingkungan pada musim penghujan
yang buruk, kandang tergenang air, dan sanitasi kandang yang buruk
mengakibatkan banyak rumput yang menjadi kotor dan basah. Selain itu, adanya
parasit pada rumput dapat menginfeksi ternak. Apabila daya tahan tubuh ternak
turun maka akan menimbulkan kesakitan pada ternak.
Pada musim kemarau ketersediaan rumput menjadi berkurang atau rumput
menjadi tua atau kering dan dalam kualitas yang buruk. Kekurangan pakan dalam
waktu yang lama menyebabkan kekurusan, daya tahan tubuh menurun,
pertumbuhan lambat, dan fertilitas menurun. Penurunan fertilitas dapat
menurunkan tingkat efisiensi reproduksi (Rakhwana 2007).
Produksi ternak yang efisien setidaknya dapat dicapai melalui empat cara
(Wodzicka-Tomaszewska et. al. 1991). Pertama, perbaikan sistem pemeliharaan
ternak, merangsang pertumbuhan dan laktasi, kontrol penyakit, dan penerapan
ekonomi pertanian. Kedua, perbaikan mutu genetika untuk menyediakan ternak
yang tumbuh lebih cepat, produksi susu lebih tinggi baik kualitas maupun
kuantitas, atau mempunyai banyak anak. Ketiga, mengembangkan teknologi
14
untuk memaksimalkan potensi performans reproduksi ternak jantan dan betina.
Keempat, mengurangi kerugian produksi hasil ternak, terutama dengan cara
perbaikan teknik atau metode pengawetan dan penyimpanannya.
15
MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu
Kegiatan penelitian dilaksanakan di Koperasi Peternak Sapi Perah
Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat dan Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Dramaga
Bogor, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2010.
Materi dan Metode
Data diperoleh dari dokumen-dokumen koperasi dan rekap data kasus dari
KPSBU Lembang selama tahun 2007-2009. Data curah hujan tahun 2007-2009
(per wilayah dan per bulan) diperoleh dari BMKG Stasiun Klimatologi Dramaga
Bogor, Jawa Barat. Data dikumpulkan, direkapitulasi, kemudian dilakukan
pengolahan dan analisis data untuk dicari kaitan penyakit dengan efisiensi
reproduksi dan musim (curah hujan). Untuk data endometritis merupakan
gabungan dari data kasus endometritis dan piometra karena batasan-batasan yang
diberikan di lapangan tidak jelas.
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan korelasi. Analisis korelasi
digunakan untuk melihat hubungan antara retensio sekundinae, endometritis,
efisiensi reproduksi, dan curah hujan. Analisis dilakukan untuk melihat derajat
hubungan dengan menghitung nilai koefisien korelasi (r) sebagai berikut:
hubungan retensio sekundinae (bulan n) dengan endometritis (bulan n+2), retensio
sekundinae (bulan n) dengan efisiensi reproduksi (CR dan S/C) (bulan n+2),
retensio sekundinae (bulan n) dengan curah hujan (bulan n), endometritis (bulan
n+2) dengan efisiensi reproduksi (CR dan S/C) (bulan n+2), endometritis (bulan
n+2) dengan curah hujan (bulan n+2), dan efisiensi reproduksi (bulan n+2) dengan
curah hujan (bulan n+2). Korelasi dianalisis dengan analisis korelasi
menggunakan Minitab versi 14. Nilai koefisien korelasi (r) selanjutnya digunakan
untuk menghitung nilai koefisien determinasi/penentu (r2) yang merupakan 100
16
r2% dari variasi yang terjadi dalam variabel tak bebas Y dapat dijelaskan oleh
variabel bebas X (Sudjana 2005).
Rumus penghitungan koefisien korelasi (r) adalah
Sedangkan koefisien determinan (r2) adalah
dan
17
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum KPSBU Lembang
Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang terletak di
Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung yang berjarak sekitar 22 km di sebelah
utara Kota Bandung dan 4 km dari ibu kota Kecamatan Lembang. Wilayah kerja
KPSBU memiliki ketinggian rata-rata 1 200 m diatas permukaan laut dengan jenis
tanah mayoritas andosol. Berdasarkan kondisi geografis dan topografinya,
wilayah tersebut merupakan dataran tinggi. Data klimatologis rata-rata wilayah
KPSBU Lembang adalah temperatur maksimal 24.6oC, temparatur minimal
13.8oC, kelembaban rata-rata 80.5%, curah hujan rata-rata 2 393 mm/tahun,
evaporasi 3.4 mm/hari, dan radiasi 285 cal/cm (BMKG 2009).
KPSBU Lembang didirikan pada tanggal 8 Agustus 1971 dengan jumlah
anggota pada saat pendirian sebanyak 35 orang. Produksi susu KPSBU Lembang
pada awal pendiriannya adalah sebesar 650 liter/hari. Saat ini kegiatan usaha yang
dilakukan oleh KPSBU Lembang meliputi penerimaan susu dari peternak sampai
dengan penyetoran ke industri pengolahan susu (IPS), pelayanan kesehatan
hewan, penyediaan hijauan pakan ternak (kerjasama dengan Perum Perhutani
melakukan penanaman rumput gajah, kaliandra, dan jagung seluas 500 Ha),
fermentasi jerami, pendirian warung serba ada (waserda), kredit lunak, dan
pelayanan kesehatan anggota. Pelayanan kredit sapi bergulir mandiri (tanpa
bunga) telah dilaksanakan sejak tahun 2006 sebanyak 40 ekor, tahun 2007
sebanyak 39 ekor, dan tahun 2008 sebanyak 40 ekor. Selain pemasaran ke IPS,
koperasi juga melakukan pengolahan dan memasarkan olahan susu secara
langsung ke konsumen dalam skala kecil, misalnya yoghurt dan susu pasteurisasi.
Pelayanan keuangan dan perkreditan juga dilakukan dengan proses yang mudah
dan cepat. Pelayanan kesehatan bagi anggota dan keluarganya dilakukan dengan
pemberian kartu sehat sebanyak lima kartu untuk satu tahun.
Pelayanan kepada ternak sapi yang diberikan oleh KPSBU Lembang
meliputi pelayanan teknis, seperti pelayanan kesehatan hewan, dan inseminasi
buatan (keswan-IB), pelayanan potong kuku, dan pelayanan penyuluhan kepada
18
para anggota. Penyuluhan dilaksanakan dari kandang ke kandang, melalui siaran
radio, melalui alat peraga, dan dengan mengadakan pendidikan dasar-dasar
perkoperasian. KPSBU Lembang juga telah melaksanakan pembibitan sapi yang
hasilnya dijual kepada anggota dengan harga terjangkau untuk menanggulangi
kekurangan bibit sapi perah berkualitas.
Jumlah anggota KPSBU Lembang sampai akhir tahun 2009 adalah
sebanyak 6 907 orang dengan produksi susu rata-rata 125 000 kg/hari. Populasi
sapi perah pada tahun 2007 mencapai 16 741 ekor, kemudian mengalami
penurunan sehingga pada tahun 2008 tercatat sebanyak 16 469 ekor, dan populasi
sapi pada tahun 2009 meningkat kembali menjadi 19 045 ekor.
Hubungan Retensio Sekundinae dengan Endometritis
Kejadian retensio sekundinae di KPSBU Lembang selama tahun 20072009 berjalan relatif fluktuatif. Kejadian retensio sekundinae (Gambar 2a) selama
tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Desember yaitu sebanyak 151 kasus,
sedangkan kejadian endometritis (Gambar 2b) pada bulan n+2, yaitu bulan
Februari 2008 sebanyak 134 kasus. Kejadian retensio sekundinae terjadi
penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak 114 kasus, sedangkan kejadian
endometritis pada bulan n+2 yaitu bulan Juli sebanyak 189 kasus.
Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian retensio sekundinae terjadi
peningkatan pada bulan Agustus, September, dan Oktober yaitu sebanyak 155,
154, dan 177 kasus. Sedangkan kejadian endometritis pada bulan n+2 yaitu bulan
Oktober, November, dan Desember adalah sebanyak 179, 198, dan 184 kasus.
Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Februari yaitu
sebanyak 104 kasus, sedangkan kejadian endometritis pada bulan n+2 yaitu bulan
April adalah sebanyak 188 kasus.
Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus retensio sekundinae selama
bulan September, Oktober, dan November yaitu masing-masing sebanyak 172,
211, dan 181 kasus. Pada bulan n+2, yaitu bulan November dan Desember angka
kejadian endometritis yaitu 297 dan 277 kasus. Penurunan kejadian retensio
sekundinae terjadi pada bulan Maret dan April yaitu sebanyak 95 dan 91 kasus,
19
sedangkan pada bulan n+2, yaitu bulan Mei dan Juni kejadian endometritis
sebanyak 246 dan 303 kasus.
Analisis statistika menunjukkan bahwa kejadian retensio sekundinae
berkorelasi terhadap kejadian endometritis dengan koefisien korelasi (r) sebesar
0.013 (Tabel 2). Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien
determinan (r2%) dapat dijelaskan bahwa retensio sekundinae menyebabkan
0.017% kejadian endometritis.
Gambar 2 Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan endometritis di KPSBU
Lembang selama tahun 2007-2009
Pada dasarnya retensio plasenta adalah kegagalan pelepasan vili kotiledon
fetal dari kripta karunkula maternal (Manan 2002). Setelah fetus keluar dan korda
umbilikalis putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetal sehingga vili
tersebut berkerut dan mengendur terhadap kripta karankula. Uterus terus
berkontraksi dan sejumlah darah yang tadinya mengalir ke uterus sangat
berkurang. Karunkula meternal mengecil karena suplai darah berkurang sehingga
kripta pada karunkula berdilatasi. Akibat dari semua itu vili kotiledon lepas dari
kripta karankula sehingga plasenta terlepas. Pada retensi plasenta, pemisahan dan
20
pelepasan vili fetalis dari kripta maternal terganggu sehingga masih terjadi
pertautan. Sebanyak 0.3% kasus kejadian retensio sekundinae disebabkan oleh
gangguan mekanis, 1-2% kasus disebabkan karena induk kekurangan kekuatan
untuk mengeluarkan sekundinae setelah melahirkan, dan 98% kasus karena
gangguan pelepasan sekundinae dari karankula induknya (Hardjopranjoto 1995).
Sebanyak 16.55% retensio sekundinae disebabkan oleh faktor pakan. Pada periode
postpartus dengan defisiensi vitamin A, D, dan E serta defisiensi mineral
selenium, iodin, zink, dan kalsium dapat menyebabkan retensio sekundinae (Alsic
et al. 2008).
Sekitar 75-80% penderita retensio sekundinae tidak menunjukkan tandatanda sakit, sedangkan sekitar 20-25% memperlihatkan gejala metritis dan metritis
septik seperti anoreksia, depresi, suhu badan meninggi, pulsus meningkat,
produksi susu dan berat badan menurun (Manan 2002). Presentase tingginya
kejadian retensio sekundinae disebabkan oleh faktor-faktor diantaranya sistem
manajemen kandang yang kurang baik, kurangnya exercise (latihan) pada sapi
yang sedang bunting, dan kualitas pakan yang rendah (Ilham 2004).
Retensio sekundinae merupakan salah satu predisposisi terjadinya
endometritis, karena dengan adanya infeksi bakteri atau mikroorganisme pada
uterus postpartus dapat mengakibatkan peradangan (Hardjopranoto 1995). Hal ini
bisa disebabkan karena penanganan yang tidak aseptis dan adanya infeksi bakteri
dari luar yang mengakibatkan peradangan. Saat penanganan kelahiran apabila
karankula terputus maka terjadi perlukaan dan dengan adanya infeksi
mikroorganisme maka dapat mengakibatkan terjadinya endometritis. Pada kasus
yang berat retensio sekundinae dapat disertai dengan metritis, metritis septik,
perimetritis, peritonitis, vagina nekrotik, paresis puerpuralis, dan asetonemia.
Berdasarkan analisis korelasi dapat diketahui bahwa kejadian retensio
sekundinae hanya menyebabkan sekitar 0.017% kejadian endometritis di KPSBU
Lembang. Kejadian endometritis tidak hanya disebabkan oleh retensio
sekundinae, masih banyak faktor-faktor penyebab kejadian endometritis.
Beberapa penyebab endometritis
meliputi
infeksi
mikroorganisme pada
endometrium akibat penanganan postpartus yang tidak benar, perkawinan alam,
21
inseminasi buatan intrauterin, dan semen pejantan yang mungkin membawa
mikroorganisme patogen (Hardjopranjoto 1995).
Hubungan Retensio Sekundinae dengan Efisiensi Reproduksi
Kejadian retensio sekundinae di KPSBU Lembang selama tahun 20072009 berjalan relatif fluktuatif. Kejadian retensio sekundinae (Gambar 3a) selama
tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Desember yaitu sebanyak 151 kasus,
sedangkan nilai efisiensi reproduksi yaitu CR (Gambar 3b) dan S/C (Gambar 3c)
pada bulan n+2, yaitu bulan Februari 2008 yaitu CR (52.30%) dan S/C (1.95).
Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak
114 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan n+2 yaitu bulan Juli
yaitu CR (28%) dan S/C (3).
Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian retensio sekundinae terjadi
peningkatan pada bulan Agustus, September, dan Oktober yaitu sebanyak 155,
154, dan 177 kasus. Sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan n+2 yaitu
bulan Oktober, November, dan Desember adalah CR (60.76%, 59.69%, dan
59.04%) dan S/C (1.62, 1.7, dan 1.69). Kejadian retensio sekundinae terjadi
penurunan pada bulan Februari yaitu sebanyak 104 kasus, sedangkan nilai
efisiensi reproduksi pada bulan n+2 yaitu bulan April adalah CR (52.85%) dan
S/C (1.86).
Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus retensio sekundinae selama
bulan September, Oktober, dan November yaitu masing-masing sebanyak 172,
211, dan 181 kasus. Pada bulan n+2, yaitu bulan November dan Desember nilai
efisiens