Hubungan Retensio Sekundinae Dan Endometritis Pada Sapi Perah: Studi Kasus Di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (Kpbs) Pangalengan, Jawa Barat

HUBUNGAN RETENSIO SEKUNDINAE DAN
ENDOMETRITIS PADA SAPI PERAH: Studi Kasus di Koperasi
Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Jawa Barat

FITRI JATI NURALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Retensio
Sekundinae dan Endometritis pada Sapi Perah: Studi Kasus di Koperasi
Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Jawa Barat adalah benar karya
saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Fitri Jati Nuralam
NIM B04110027

ABSTRAK
FITRI JATI NURALAM. Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis pada
Sapi Perah: Studi Kasus di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS)
Pangalengan, Jawa Barat. Dibimbing oleh KURNIA ACHJADI.
Retensio sekundinae dan endometritis merupakan gangguan reproduksi
yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak. Tujuan penelitian ini
adalah untuk membuktikan adanya hubungan kejadian retensio sekundinae dan
endometritis serta mengetahui pengaruhnya pada sapi perah. Penelitian
dilaksanakan di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan,
Jawa Barat. Data kejadian retensio sekundinae dan endometritis selama tahun
2011 sampai 2013 dianalisis secara deskriptif dan korelasi menggunakan aplikasi
SPSS 22.0 untuk menyatakan ada atau tidaknya hubungan antara dua kejadian
tersebut. Hasil menunjukan bahwa korelasi signifikannya yaitu 0.036 < 0.05.
Hasil tersebut dapat dikatakan retensio sekundinae memiliki korelasi yang

signifikan dengan endometritis. Nilai koefisien korelasinya positif yaitu 0.351
yang menunjukan bahwa jika jumlah kasus retensio sekundinae naik maka
endometritis juga akan naik dan sebaliknya. Pengaruh kejadian tersebut yaitu
dapat menurunkan tingkat kesuburan dan produksi pada sapi perah.
Kata kunci: endometritis, retensio sekundinae, sapi perah

ABSTRACT
FITRI JATI NURALAM. Retained Placenta and Its Relationship with
Endometritis in Dairy Cow: A Case Study in Koperasi Peternakan Bandung
Selatan (KPBS) Pangalengan, West Java. Supervised by KURNIA ACHJADI.
Retained placenta and endometritis are reproductive disorders which
cause economic losses to farmers. This research aims to determine the relations
between retained placenta and endometritis and their impacts on dairy cows. The
research was conducted at Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS)
Pangalengan, West Java. Data of retained placenta and endometritis from 2011
to 2013 were analyzed with descriptive and correlation analysis to determine
their correlation using SPSS 22.0. Analysis results showed that the significant
correlation was less than 0.05 (0.036). Thus, retained placenta has a significant
correlation with endometritis. Positive correlation coefficient value was acquired
0.351 which means the increase of retained placenta cases will increase the

occurrence of endometritis and vice-versa. The impacts of those disorders may
decrease fertility rate and productivity of dairy cows.
Keywords: dairy cows, endometritis, retained placenta

HUBUNGAN RETENSIO SEKUNDINAE DAN
ENDOMETRITIS PADA SAPI PERAH: Studi Kasus di Koperasi
Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Jawa Barat

FITRI JATI NURALAM

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini adalah gangguan
reproduksi dengan judul Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis pada
Sapi Perah: Studi Kasus di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS)
Pangalengan, Jawa Barat.
Selama penyusunan skripsi ini penulis mendapat begitu banyak bantuan
yang telah diberikan oleh berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis ingin
menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Drh R. Kurnia Achjadi, MS selaku dosen pembimbing utama atas segala
motivasi, kritik, saran, bantuan, dan kesabaran yang telah diberikan
selama penelitian hingga penyelesaian skripsi.
2. Drh. Adi Winarto, Ph.D sebagai pembimbing akademik yang telah
memberikan bantuan dan dukungan selama penulis menjalankan studi di
tingkat sarjana.
3. Ayah, ibu, dan segenap keluarga besar atas doa, bantuan, semangat, dan
motivasi yang telah diberikan.
4. Pengurus dan staff Koperasi Peternakan Bandung Selatan yang telah
memberikan izin dalam melakukan penelitian.

5. Drh H Asep Rahmat Khaerudin sebagai manajer kesehatan hewan di
Koperasi Peternakan Bandung Selatan yang selama pengambilan data
selalu membimbing dan membantu dalam studi kasus ini.
6. Petugas kesehatan hewan di Koperasi Peternakan Bandung Selatan yang
senantiasa sabar dan membantu dalam studi kasus ini. Mohon maaf tidak
dapat disebutkan satu per satu.
7. Teman satu penelitian Wuri Wulandari yang sama-sama berjuang dalam
menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman-teman satu angkatan “Ganglion 48”. Terimakasih atas
kebersamaannya selama ini.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna, walaupun demikian penulis berharap semoga karya ilmiah ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2015
Fitri Jati Nuralam

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian


2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Retensio sekundinae

2

Endometritis

3

METODE

4

Tempat dan waktu


4

Metode Penelitian

4

Analisis Data

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Gambaran Umum Koperasi Peternakan Bandung Selatan

5

Gambaran Umum Potensi Peternakan di KPBS Pangalengan


6

Kejadian Retensio Sekundinae di KPBS Pangalengan

6

Kejadian Endometritis di KPBS Pangalengan

7

Hubungan Retensio sekundinae dan Endometritis

8

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

9
9

10

DAFTAR PUSTAKA

10

LAMPIRAN

13

RIWAYAT HIDUP

21

DAFTAR TABEL
1 Populasi sapi perah di Koperasi Peternakan Bandung Selatan
2 Persentase jumlah kelahiran dengan kejadian retensio sekundinae di
KPBS Pangalengan
3 Hasil analisis korelasi pearson antara retensio sekundinae dan
endometritis


5
7
9

DAFTAR GAMBAR
1 Frekuensi jumlah kejadian retensio sekundinae di KPBS Pangalengan
tahun 2011 sampai 2013
2 Frekuensi jumlah kejadian endometritis di KPBS Pangalengan tahun
2011 sampai 2013

8
8

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil kuesioner peternak
2 Kuesioner peternak

13
16

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peternakan sapi perah merupakan suatu usaha yang sudah lama berkembang
di Indonesia khususnya Jawa Barat. Menurut Badan Pusat Statistik (2014),
populasi ternak sapi perah di Jawa Barat mengalami penurunan pada tahun 2011
sampai 2013 yaitu 140.000 ekor menjadi 103.830 ekor. Seiring dengan penurunan
populasi sapi perah tersebut, pola hidup masyarakat mulai mengalami peningkatan
kesadaran terhadap konsumsi susu. Namun saat ini, produksi susu yang dihasilkan
di Indonesia tidak sebanding dengan peningkatan konsumsi susu di masyarakat.
Menurut Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan (2009), produksi
susu segar di Indonesia hanya mampu memenuhi sekitar 30% kebutuhan nasional
dan selebihnya impor. Impor susu yang cukup tinggi di negara kita dapat ditekan
jumlahnya dengan memperbaiki pengelolaan manajemen pemeliharaan sapi perah.
Salah satu faktor yang sangat penting dalam manajemen pemeliharaan sapi perah
adalah produktivitas dari ternak tersebut. Ternak dengan produktivitas tinggi
disertai seleksi perkawinan yang baik akan meningkatkan produksi ternak
(Lindsay et al. 1982). Produktivitas ternak tersebut akan berhubungan dengan
kemampuan reproduksinya.
Gangguan reproduksi pada sapi perah merupakan suatu hal yang harus
diperhatikan. Gangguan reproduksi tersebut dapat menimbulkan kerugian
ekonomi yang cukup besar sehingga angka kebuntingan dan kelahiran pedet
menurun. Hal ini mengakibatkan perkembangan populasi sapi perah dan produksi
susu nasional menjadi lambat. Gangguan reproduksi yang biasa terjadi pada sapi
perah yaitu retensio sekundinae, distokia, abortus, kelahiran prematur, dan
endometritis (Ratnawati et al. 2007).
Retensio sekundinae merupakan tertahannya plasenta lebih dari 8 sampai 12
jam (Manan 2002), 12 jam (Sammin et al. 2009), atau lebih dari 12 sampai 24 jam
(Shenavai et al. 2010) setelah melahirkan. Plasenta tersebut tertahan karena vili
kotiledon fetus gagal melepaskan diri dari kripta karunkula induk. Endometritis
adalah peradangan pada endometrium yang disebabkan oleh infeksi
mikroorganisme patogen. Mikroorganisme patogen tersebut dapat masuk secara
langsung ke endometrium melewati vulva, vagina, serviks, uterus dan hematogen.
Menurut Ilham (2004), retensio sekundinae merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya endometritis. Penanganan retensio sekundinae yang tidak
baik disertai adanya infeksi mikroorganisme dari luar dapat mengakibatkan
peradangan pada endometrium sehingga terjadilah endometritis.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya hubungan kejadian
retensio sekundinae dan endometritis serta mengetahui pengaruhnya pada sapi
perah.

2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam
melakukan tindakan pencegahan gangguan reproduksi melalui perbaikan
manajemen secara menyeluruh.

TINJAUAN PUSTAKA
Retensio Sekundinae
Etiologi
Retensio sekundinae adalah suatu kondisi tertahannya plasenta karena vili
kotiledon fetus masih bertaut dengan kripta karunkula induk dan gagal
melepaskan diri antara keduanya. Kotiledon fetus biasanya keluar 3 sampai 8 jam
setelah melahirkan. Jika plasenta tidak keluar 8 sampai 12 jam (Manan 2002), 12
jam (Sammin et al. 2009), atau lebih dari 12 sampai 24 jam (Shenavai et al. 2010)
setelah melahirkan maka dianggap sebagai kondisi patologis yang disebut retensio
sekundinae. Menurut Krizanec dan Kosec (2003), beberapa penyakit yang
disebabkan oleh virus seperti Infectious Bovine Rhinotracheitis/Infectious
Pustular Vulvovaginalis dan Bovine Viral Diarhea serta penyakit jamur dapat
menyebabkan retensio sekundinae.
Gejala Klinis
Gejala yang terlihat pada kasus retensio sekundinae adalah adanya
plasenta yang menggantung diluar alat kelamin (Hardjopranjoto 1995) dan ada
juga yang menetap dalam uterus atau vagina. Pemeriksaan melalui uterus dapat
dilakukan dalam waktu 24 sampai 36 jam setelah melahirkan. Kesulitan dalam
memasukan tangan kedalam uterus dan serviks biasanya terjadi setelah 48 jam
setelah melahirkan. Menurut Toelihere (1985), kontraksi serviks akan terhambat
jika plasenta berada didalam serviks. Sekitar 75 sampai 80% sapi dengan retensio
sekundinae tidak menunjukkan gejala sakit dan sekitar 20 sampai 25%
memperlihatkan gejala-gejala metritis seperti anoreksia, depresi, suhu badan
tinggi, pulsus meningkat dan berat badan turun (Toelihere 1985).
Sapi yang akan mengalami retensio sekundinae biasanya mengalami
penurunan sistem imun nonspesifik yang terjadi 1 sampai 2 minggu sebelum
melahirkan (Kimura et al. 2002). Hewan yang mengalami masalah keseimbangan
energi negatif atau suboptimal kadar vitamin E pada minggu terakhir sebelum
melahirkan akan lebih rentan untuk mengalami retensio sekundinae (LeBlanc et al.
2004).
Pencegahan dan Pengobatan
Prinsip pencegahan adalah untuk mengoptimalkan sistem imun pada
periode peripartum melalui peningkatan manajemen konsumsi pakan. Retensio
sekundinae dapat dikurangi dengan mencegah hipokalsemia dan kadar Se yang

3
mencukupi pada sapi perah (Wilde 2006). Menurut Krunoslav et al. (2008),
nutrisi seimbang dari Ca dan P dalam diet, pemberian Se intramuskular, dan
injeksi vitamin A dengan suntikan β-karoten pada periode prepartum harus
dipertimbangkan untuk mengurangi kejadian retensio sekundinae. Secara khusus,
diet prepartum harus mencakup 0,3 ppm selenium dan vitamin E sebanyak 10002000 IU/sapi/hari. Menurut Han dan Kim (2005), faktor-faktor yang harus
dihindari adalah tingginya body condition score saat melahirkan, hipokalsemia,
serta diet kekurangan vitamin A, D, E, selenium, yodium, dan seng.
Metode pengobatan yang digunakan untuk kasus retensio sekundinae pada
sapi perah yaitu pengeluaran plasenta secara manual dan pemberian antibiotik
intrauterin sistemik dengan atau tanpa oksitosin dan PGF 2α (Drillich et al. 2006) .
Endometritis
Etiologi
Endometritis adalah peradangan lokal permukaan endometrium tanpa
tanda-tanda sistemik. Peradangan ini disebabkan oleh infeksi bakteri patogen
seperti Arcanobacterium pyogenes, Escherichia coli, Fusobacterium
necrophorum, dan Prevotella sp yang berlangsung selama lebih dari 3 minggu
setelah melahirkan (Foldi et al. 2006). Endometritis dapat bersifat klinis dan
subklinis. Endometritis klinis mempengaruhi sekitar 20% dari sapi perah laktasi
dengan prevalensi antara 5 sampai lebih dari 30% di beberapa ternak (Galvao et al.
2009; McDougall et al. 2007). Studi pada endometritis subklinis memiliki
prevalensi antara 12 sampai 94% pada suatu peternakan (Barlund et al. 2008;
Hammon et al. 2006; Kasimanickam et al. 2005).
Gejala Klinis
Endometritis klinis ditandai dengan adanya keluaran yang bersifat purulen
(lebih dari 50% nanah) atau mukopurulen (sekitar 50% nanah, 50% lendir)
eksudat rahim dalam vagina serta diameter serviks yang membesar. Eksudat
tersebut keluar 21 hari atau lebih setelah melahirkan dan tidak disertai dengan
tanda-tanda sistemik (Sheldon et al. 2006). Sapi yang mengalami endometritis
klinis 27% lebih lama untuk bisa mengalami kebuntingan lagi (Hammon et al.
2006).
Endometritis
subklinis
ditandai
dengan
adanya
neutrofil
(polimorfonuklear) lebih dari 18% dalam sampel sitologi rahim yang
dikumpulkan antara 21 sampai 33 hari setelah melahirkan. Menurut Sheldon et al.
(2006), neutrofil yang lebih dari 10% polimorfonuklear antara 34 sampai 47 hari
setelah melahirkan dapat dikatakan juga mengalami endometritis subklinis.
Diagnosa
Vaginoscopy diperlukan untuk mengidentifikasi 44% dari kasus
endometritis, namun metode lain seperti pemeriksaan cairan yang keluar dari leher
rahim juga efektif untuk mengidentifikasi endometritis klinis (McDougall et al.
2007). Jika menggunakan vaginoscopy, maka spekulum harus dimasukan ke

4
dalam vagina sampai os eksternal serviks. Pemeriksaan cairan dalam rahim dapat
dilakukan dengan bantuan lampu flash.
Teknik-teknik baru telah dijelaskan untuk mendiagnosis endometritis
subklinis. Peradangan endometrium ditandai dengan proporsi polimorfonuklear
sel dalam sampel sitologi. Sampel sitologi dapat diperoleh dengan pembilasan
lumen uterus (Sheldon et al. 2006), mengambil biopsi endometrium (Chapwanya
et al. 2010), atau menggunakan teknik cytobrush (Kasimanickam et al. 2005).
Teknik cytobrush dilakukan dengan menggunakan kuas kecil yang dimasukkan ke
dalam rahim untuk mengumpulkan sel endometrium dan untuk menentukan
proporsi polimorfonuklear dalam sampel.
Endometritis dapat didiagnosis dengan deteksi cairan dalam rahim
menggunakan ultrasonografi. Namun, metode ini kurang sensitif dibandingkan
sitologi endometrium (Balund et al. 2008).
Pencegahan dan Pengobatan
Prinsip terapi endometritis adalah untuk membalikkan perubahan
inflamasi yang mengganggu kesuburan dengan mengurangi bakteri patogen dan
meningkatkan proses pertahanan dan perbaikan rahim. Menurut Kasimanickam et
al. (2005), pengobatan menggunakan cephapirin intra uterin atau PGF2α dapat
meningkatkan angka kebuntingan pada sapi yang mengalami endometritis
subklinis. Pengobatan endometritis klinis 4 minggu setelah melahirkan dengan
500 mg cephapirin intrauterin secara signifikan dapat mempercepat terjadinya
kebuntingan daripada sapi yang tidak diobati (LeBlanc et al. 2002). Pemberian
secara intrauterin dari cephapirin benzathine atau intramuskular PGF2α juga
efektif dalam pengobatan endometritis klinis atau subklinis.

METODE
Tempat dan Waktu
Kegiatan studi kasus dilaksanakan di wilayah Koperasi Peternakan Bandung
Selatan (KPBS) Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat dari bulan Januari
2014 sampai Februari 2015

Metode Penelitian
Metode yang digunakan berupa pengumpulan data sekunder dari laporan
kegiatan di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan,
Kabupaten Bandung, Jawa Barat dan kuesioner yang diberikan pada peternak
sebagai bahan pendukung materi. Data sekunder yang diambil yaitu jumlah
kejadian retensio sekundinae dan endometritis pada tahun 2011 sampai 2013. Data
dikumpulkan, direkapitulasi, kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data
untuk mencari hubungan dari kejadian retensio sekundinae dan endometritis.

5
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan korelasi pearson (skala-skala).
Teknik korelasi pearson ini dibantu menggunakan aplikasi SPSS 22.0. Analisis
korelasi dilakukan untuk menyatakan ada atau tidaknya hubungan antara variabel
X dengan variabel Y (Usman dan Akbar 2000). Variabel X dan Y pada analisis ini
yaitu kejadian retensio sekundinae dan endometritis. Uji hipotesis korelasi
menggunakan tingkat kepercayaan 95% atau tingkat kesalahan α 5%. Uji hipotesis
korelasi adalah H0 (tidak ada hubungan antara retensio sekundinae dan
endometritis) dan H1 (ada hubungan antara retensio sekundinae dan endometritis).
Jika menggunakan hasil SPSS 22.0 maka signifikansi yang < 0.05
menunjukkan bahwa terdapat cukup bukti untuk menolak H0. Hal ini berarti
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara retensio sekundinae dan
endometritis. Jika signifikansi > 0.05 maka tidak cukup bukti untuk menolak H0
(H0 tidak ditolak). Hal ini berarti bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara retensio sekundinae dan endometritis.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS)
Wilayah kerja Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) merupakan
daerah pegunungan dengan ketinggian 1420 meter diatas permukaan laut, suhu
udara 12 sampai 28°C, dan kelembaban 60 sampai 70%. Kondisi alam tersebut
sangat cocok untuk perkembangan sapi perah.
Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) didirikan secara resmi pada
tanggal 1 April 1969 atas prakarsa beberapa tokoh masyarakat yang disepakati
oleh peternak sapi perah. Wilayah kerja dari koperasi ini meliputi tiga kecamatan
yaitu kecamatan Pangalengan, Pacet, dan Kertasari. Populasi sapi perah yang ada
di Koperasi Peternakan Bandung Selatan dari tahun 2011 sampai dengan 2014
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Populasi sapi perah di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS)
Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
Tahun

Populasi Sapi Perah (ekor)

Populasi Sapi Betina Dewasa (ekor)

2011
2012
2013
2014

21 991
16 952
13 366
12 439

12 874
10 675
8 444
7 526

Sumber: Data Koperasi Peternakan Bandung Selatan

Jumlah kelompok ternak di wilayah koperasi ini sebanyak 614 kelompok
dengan jumlah peternak 6 993 orang dan tempat pelayanan koperasi sebanyak 36
tempat.

6
Gambaran Umum Potensi Peternakan di KPBS Pangalengan
Hasil kuesioner dari 30 peternak mengenai potensi peternakan di KPBS
Pangalengan dilihat dari tingkat pendidikan formal peternak yaitu 57%
memperoleh pendidikan pada tingkat Sekolah Dasar (SD), 33% pada tingkat
Sekolah Menengah Pertama (SMP), 7% pada tingkat Sekolah Menengah Atas
(SMA), dan 3% pada tingkat Perguruan Tinggi (PT). Menurut Hartini et al.
(2013), pengelolaan manajemen ternak yang baik membutuhkan tingkat
pengetahuan yang memadai. Tingkat pengetahuan tersebut dapat diperoleh
melalui pendidikan yang harus dijalani oleh peternak. Tingkat pendidikan yang
lebih tinggi akan mempengaruhi kemampuan seorang peternak dalam menerima
segala perkembangan di bidang peternakan. Tingkat pendidikan yang masih
rendah cenderung mengalami kesulitan dalam menerima suatu perkembangan di
bidang peternakan dan masih mempertahankan kebiasaan lama dalam beternak.
Pendidikan non formal peternak yaitu 47% pernah mengikuti penyuluhan
di bidang peternakan dan 53% tidak pernah mengikuti penyuluhan. Pendidikan
formal jika sudah tidak bisa ditempuh karena faktor usia, maka pendidikan
nonformal bisa menjadi salah satu alternatif dalam meningkatkan pengetahuan
peternak (Hartini et al. 2013).
Pengalaman peternak dalam memelihara sapi perah yaitu 10%
berpengalaman kurang dari 5 tahun, 13% berpengalaman 5 sampai 10 tahun, dan
77% berpengalaman lebih dari 10 tahun. Pengalaman yang lebih lama akan cukup
membantu dalam pemeliharaan sapi perah dan lebih cepat tanggap dalam
mengambil keputusan karena pengalaman tersebut dijadikan pedoman dalam
beternak sapi perah (Sulistyati et al. 2013).

Kejadian Retensio Sekundinae di KPBS Pangalengan
Hasil kuesioner dari 30 peternak mengenai pengetahuan terhadap kejadian
retensio sekundinae yaitu sebanyak 70% mengatakan plasenta tidak keluar lebih
dari 8 sampai 12 jam setelah melahirkan, sedangkan 30% tidak mengetahui
penyakit ini. Sapi perah dikatakan mengalami retensio sekundinae jika plasenta
tidak keluar 8 sampai 12 jam (Manan 2002), 12 jam (Sammin et al. 2009), dan
lebih dari 12 sampai 24 jam (Shenavai et al. 2010) setelah melahirkan.
Penyebab retensio sekundinae menurut peternak yaitu 20% karena kurang
nutrisi pakan, 33% distokia, dan 47% tidak mengetahui penyebab penyakit ini.
Menurut Beagley et al. (2010) dan Islam (2013), faktor yang dapat menyebabkan
retensio sekundinae yaitu lahir kembar, distokia, aborsi, fetotomi, induksi
kelahiran, operasi cesar, infeksi agen, imunosupresi, serta kekurangan nutrisi
vitamin E, selenium dan karoten.
Pengaruh retensio sekundinae menurut peternak yaitu 60% produksi turun,
60% nafsu makan kurang, dan 47% kesuburan menurun. Menurut Relic dan
Vukovic (2013), sapi yang mengalami gangguan reproduksi secara langsung akan
berpengaruh pada penurunan kinerja reproduksi dan secara signifikan mengalami
penurunan produksi susu.
Pengetahuan peternak terhadap pengobatan retensio sekundinae yaitu 30%
pengeluaran plasenta secara manual, 23.5% pemberian antibiotik, 33.5%

7
pengeluaran plasenta secara manual dan pemberian antibiotik, dan 13%
pemberian hormon. Metode pengobatan yang digunakan untuk kasus retensio
sekundinae pada sapi perah yaitu pengeluaran plasenta secara manual dan
pemberian antibiotik intrauterin sistemik dengan atau tanpa oksitosin atau PGF 2α
(Drillich et al. 2006).
Kejadian retensio sekundinae di KPBS Pangalengan bervariasi setiap
tahunnya. Menurut Noakes et al. (2009), kejadian retensio sekundinae terjadi
sekitar 2 sampai 15% dari melahirkan. Hasil persentase kejadian retensio
sekundinae dengan jumlah kelahiran yang bervariasi tahun 2011 sampai 2013
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Persentase jumlah kelahiran dengan kejadian retensio sekundinae di
Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat
Tahun
2011
2012
2013

Jumlah kelahiran
7 170
5 845
4 836

Retensio sekundinae
ekor
800
393
431

%
11.2
6.7
8.9

Sumber: Data Koperasi Peternakan Bandung Selatan

Kejadian Endometritis di KPBS Pangalengan
Hasil kuesioner dari 30 peternak sebanyak 63% mengatakan ciri-ciri sapi
yang mengalami endometritis yaitu keluar lendir keruh dan kental disekitar
vagina, 33% siklus berahi diperpanjang dan sulit bunting, dan 43% lendir berahi
transfaran, nafsu makan turun, sulit bunting namun berahi normal. Menurut
Sheldon et al. (2006), endometritis klinis ditandai dengan adanya keluaran yang
bersifat purulen atau mukopurulen eksudat rahim dalam vagina lebih dari 21 hari
setelah melahirkan dan tidak disertai dengan tanda-tanda sistemik. Sapi yang
mengalami endometritis klinis 27% lebih lama untuk bisa mengalami kebuntingan
lagi (Hammon et al. 2006).
Penyebab endometritis menurut peternak yaitu 33.5% kesulitan melahirkan,
10% retensio sekundinae, 3% kematian fetus, dan 53.5% penanganan petugas
yang tidak baik. Menurut Ratnawati et al. (2007), faktor pendukung terjadinya
endometritis adalah sulit melahirkan, retensio sekundinae, faktor musim, kelahiran
kembar, infeksi bakteri serta penyakit metabolit.
Pengaruh endometritis menurut peternak yaitu 57% produksi susu turun,
40% nafsu makan kurang, dan 30% kesuburan menurun. Pengaruh endometritis
pada fertilitas yaitu dapat menurunkan kesuburan, jarak antar kelahiran dan
service per conception naik, serta sterilitas karena perubahan saluran reproduksi
(Ratnawati et al. 2007).
Pengetahuan peternak terhadap pengobatan endometritis yaitu 20%
pemberian antibiotik, 3% pemberian antibiotik dan hormon, dan 77% tidak
mengetahui pengobatan dari kejadian tersebut. Menurut LeBlanc et al. (2002),
pemberian intrauterin dari cephapirin benzathine atau pemberian intramuskular

8
PGF2α efektif dalam pengobatan endometritis klinis atau subklinis.
Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis
Kejadian retensio sekundinae dan endometritis di KPBS Pangalengan
selama tahun 2011 sampai 2013 berjalan fluktuatif. Jumlah kejadian retensio
sekundinae dan endometritis tahun 2011 sampai 2013 dapat dilihat pada Gambar 1
dan Gambar 2. Kejadian retensio sekundinae selama tahun 2011 mengalami
peningkatan jumlah sebanyak 39 kasus pada bulan Mei sampai dengan Juli,
sedangkan kejadian endometritis sebanyak 21 kasus pada bulan Agustus sampai
dengan November. Kejadian retensio sekundinae mengalami penurunan jumlah
pada bulan April sampai dengan Mei sebanyak 22 kasus, sedangkan kejadian
endometritis sebanyak 15 kasus pada bulan Juli sampai Agustus.
Kejadian retensio sekundinae pada tahun 2012 mengalami peningkatan
jumlah sebanyak 32 kasus pada bulan Juni sampai dengan Agustus, sedangkan
kejadian endometritis sebanyak 23 kasus pada bulan Agustus sampai dengan
September. Kejadian retensio sekundinae mengalami penurunan jumlah pada
bulan Mei sampai dengan Juni sebanyak 15 kasus, sedangkan kejadian
endometritis sebanyak 9 kasus pada bulan September sampai dengan November.
Kejadian retensio sekundinae pada tahun 2013 mengalami peningkatan
jumlah sebanyak 14 kasus pada bulan Juni sampai dengan Agustus, sedangkan
kejadian endometritis sebanyak 21 kasus pada bulan Agustus sampai dengan
September. Kejadian retensio sekundinae mengalami penurunan jumlah pada
bulan Februari sampai dengan Maret sebanyak 13 kasus, sedangkan kejadian
endometritis sebanyak 4 kasus pada bulan April sampai dengan Juni.

Gambar 1 Frekuensi jumlah kejadian retensio sekundinae di KPBS Pangalengan
tahun 2011 sampai 2013

Gambar 2 Frekuensi jumlah kejadian endometritis di KPBS Pangalengan tahun
2011 sampai 2013

9
Analisis statistika dari jumlah kejadian retensio sekundinae dan
endometritis menunjukan bahwa nilai signifikan korelasinya < 0.05 yaitu 0.036.
Hal ini berarti ada hubungan antara kejadian retensio sekundinae dengan
endometritis. Nilai koefisien korelasinya positif yaitu 0.351 menunjukkan bahwa
hubungan antara keduanya positif. Jika jumlah kasus retensio sekundinae naik
maka endometritis juga akan naik begitu juga sebaliknya. Hasil analisis statistika
menggunakan aplikasi SPSS 22.0 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3

Hasil analisis korelasi pearson antara retensio sekundinae dan
endometritis menggunakan aplikasi SPSS 22.0

Retensio sekundinae

Endometritis

Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N

Retensio
sekundinae
1
36
.351*
.036
36

Endometritis

.351*
.036
36
1
36

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Hasil analisis statistika didukung dengan hasil kuesioner peternak
mengenai hubungan antara retensio sekundinae dan endometritis. Hasil kuesioner
dari 30 peternak, sebanyak 50% mengatakan setelah kejadian retensio sekundinae
akan mengalami endometritis, 10% tidak akan mengalami endometritis, dan 40%
tidak mengetahui hubungan kedua penyakit tersebut. Kejadian retensio
sekundinae dan endometritis akan berdampak pada kebuntingan. Peternak
mengatakan sebanyak 60% setelah kejadian retensio sekundinae dan endometritis
masih bisa mengalami kebuntingan namun dalam jangka waktu lama, sedangkan
40% mengatakan tidak terjadi kebuntingan lagi.
Menurut Ilham (2004), retensio sekundinae merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya endometritis. Penanganan retensio sekundinae jika
dilakukan tidak aseptis dan membuat karunkula induk ikut terputus bersama
kotiledon fetus, maka akan menyebabkan terjadinya perlukaan. Perlukaan yang
dipicu dengan adanya infeksi mikroorganisme dapat mengakibatkan peradangan.
Peradangan tersebut akan menekan kemampuan fagositosis leukosit di uterus dan
mendorong terjadinya invasi bakteri (Beagley et al. 2010) sehingga dapat
berkembang menjadi endometritis dan berefek negatif pada kesuburan.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian disimpulkan bahwa di KPBS Pangalengan kejadian
retensio sekundinae berkorelasi secara signifikan dengan endometritis dan nilai
korelasinya yaitu 0.036 < 0.05.

10
Saran
Penelitian disarankan untuk melihat beberapa data pembanding dari tempat
penelitian dan parameter gangguan reproduksi lain dengan periode yang lebih
lama. Diperlukan upaya untuk mencari penyebab dan memperoleh solusi agar
kejadian retensio sekundinae tidak menjadi endometritis.

DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Populasi Ternak Tahun 2000 sampai 2014
[internet].
[diunduh
2015
April
30].
Tersedia
dari:
http://www.bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1511.
Barlund CS, Carruthers TD, Waldner CL, Palmer CW. 2008. A comparison of
diagnostic techniques for postpartum endometritis in dairy cattle.
Theriogenology. 69:714–723.doi:10.1016/j.theriogenology.2007.12.005.
Beagley JC, Whitman KJ, Baptiste KE, Scherxer J. 2010. Physiology and
treatment of retained fetal membrane in cattle. J Vet Internal Med.
24(2):261-268.doi: 10.1111/j.1939-1676.2010.0473.x
Chapwanya A, Meade KG, Narciandi F, Stanley P, Mee JF, Doherty ML,
Callanan JJ, O’Farrelly C. 2010. Endometrial biopsy: A valuable clinical
and research tool in bovine reproduction. Theriogenology. 73(7):988–994.
doi:10.1016/j.theriogenology.2009.11.015.
[DITJEN PKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2009.
Kebijakan strategi dan program pengembangan agribisnis sapi perah di
luar Jawa. Disampaikan pada acara Workshop Peluang Pengembangan
Sapi Perah di Luar Pulau Jawa. Bogor, 10 Agustus 2009. Bogor [ID]:
Puslitbang Peternakan.
Drillich M, U Reichert, M. Mahistedt and W Heuwieser. 2006. Comparision of
two strategies for systemic antibiotic treatment of dairy cows with retained
fetal membranes: Preventive versus selective treatment. J Dairy Sci. 89:
1502-1508.
Foldi J, Kulcsar M, Pecsi A, Huyghe B, de Sa C, Lohuis JACM, Cox P,
Huszenicza G. 2006. Bacterial complications of postpartum uterine
involution in cattle. Animal Reprod Science. 96: 265–281.
Galvao KN, Greco LF, Vilela JM, Sa Filho MF, Santos JEP. 2009. Effect of
intrauterine infusion of ceftiofur on uterine health and fertility in dairy
cows. J Dairy Sci. 92:1532- 1542. doi:10.3168/jds.2008-1615.
Hammon DS, IM Evjen, TR Dhiman, JP Goff, JL Walters. 2006. Neutrophil
function and energy status in holstein cows with uterine health disorders.
Vet Immunol Immunopathol. 113:21-9. doi: 10.1016/j.vetimm.2006.03.022
Han YK, Kim IH. 2005. Risk factors for retained placenta and the effect of
retained placenta on the occurrence of postpartum diseases and subsequent
reproductive performance in dairy cows. J Vet Sci. 6(1):53-59.
Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Surabaya (ID): Airlangga
University Press.

11
Hartini, Putro S, Sutardji. 2013. Pengaruh tingkat pendidikan terhadap tingkat
pendapatan masyarakat peternak sapi perah di desa Sukoreme kecamatan
Musuk kabupaten Boyolali. J Edu Geography. 1(2):33-38.
Ilham SW. 2004. Hubungan antara Retensio Sekundinae dan Endometritis pada
Sapi Perah (Studi kasus di Wilayah Koperasi Peternakan Sapi Perah (KPS)
Gunung Gede, Sukabumi, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Islam H, Sarder JU, Jahan SS, Rahman M, Zahan M, Kader A, Hossain M. 2013.
Retained placenta of dairy cows associated with managemental factors in
Rajshahi,
Bangladesh.
Vet
World.
6(4):180-184.
doi:10.5455/vetworld.2013.180-184
Kasimanickam R, Duffield TF, Foster RA, Gartley CJ, Leslie KE, Walton JS,
Johnson WH. 2005. A comparison of the cytobrush and uterine lavage
techniques to evaluate endometrial cytology in clinically normal
postpartum dairy cows. Can Vet J. 46(3):255–259.
Kimura K, JP Goff, ME Kehrli, TA Reinhardt. 2002. Decreased neutrophil
function as a cause of retained placenta in dairy cattle. J Dairy Sci. 85:544550.
Krizanec F, M Kosec. 2003. The effective use of synthetic prostaglandin to give
support for the manual extraction of retained placenta in cattle. Slov Vet
Res. 40: 107-117.
Krunoslav A, Matija D, Z Pavicic, Z Bukvic, Mirjana Baban, Boris Antunovic.
2008. The relationship between diet and retained placenta in cows. Acta
agriculturae Slov. Suplement 2: 155–162.
LeBlanc SJ, Duffield TF, Leslie KE, Bateman KG, Keefe GP, Walton JS, Johnson
WH. 2002. Defining and diagnosis postpartum clinical endometritis and its
impact on reproductive performance in dairy cows. J Dairy Sci. 85:2223–
2236.
LeBlanc SJ, Herdt T, Seymour W, Duffield D, Leslie K. 2004. Factors associated
with peripartum serum concentrations of vitamin E, retinol, and β-carotene
in holstein dairy cattle and their associations with periparturient disease. J
Dairy Sci. 87:609–619.
Lindsay DR, KW Entwistle, A Winantea. 1982. Reproduction in Domestic
Livestock in Indonesia. Melbourne (AUS): University of Queensland Press.
Manan D. 2002. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Banda Aceh (ID): Universitas
Syiah Kuala Press.
McDougall S, Macaulay R, Compton C. 2007. Association between endometritis
diagnosis using a novel intravaginal device and reproductive performance
in
dairy
cattle.
Anim
Reprod
Sci.
99(1-2):9–23.
doi:10.1016/j.anireprosci.2006.03.017.
Noakes DE, Parkinson TJ, England GCW. 2009. Veterinary Reproduction and
Obstetrics 9th edition. London (GB): Saunders Elsevier.
Relic R, Vukovic D. 2013. Reproductive problem and welfare of dairy cows.
BUASVM. 70(2):301-309.doi:10.15835/buavmcn-vm:70:2:9187
Ratnawati D, Wulan C, Lukman A. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan
Reproduksi pada Sapi Potong. Pasuruan (ID): Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.

12
Sammin D, Markey B, Bassett H, Buxton D. 2009. The ovine placenta and
placentitis:
a
review.
Vet
Microbiol.
135:
90-97.
doi:10.1016/j.vetmic.2008.09.054.
Sheldon IM, Lewis GS, LeBlanc S, Gilbert RO. 2006. Defining postpartum
uterine
disease
in
cattle.
Theriogenology.
65:1516-1530.
doi:10.1016/j.theriogenology.2005.08.021.
Shenavai S, Hoffmann B, Dilly M, Pfarrer C, Ozalp GR, Caliskan C, Intas KS,
Schuler G. 2010. Use of the progesterone (P4) receptor antagonist
aglepristone to characterize the role of P4 withdrawal for parturition and
placental release in cows. Reproduction. 140: 623-632. doi: 10.1530/REP10-0182.
Sulistyati M, Hermawan, Fitriani A. 2013. Potensi usaha peternakan sapi perah
rakyat dalam menghadapi pasar global. Jurnal Ilmu Ternak. 13: 17-23.
Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung (ID): Angkasa.
Usman H, Akbar PS. 2000. Pengantar Statistika. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Wilde D. 2006. Influence of macro and micro minerals in the peri-parturient
period on fertility in dairy cattle. Animal Reproduction Science. 963(4):
240–249.

13
Lampiran 1 Hasil kuesioner peternak di KPBS Pangalengan, Jawa Barat
Latar belakang Responden
Pendidikan terakhir
 SD
 SMP
 SMA
 D3,S1,S2
Pendidikan non formal
 Penyuluhan peternak
 Tidak ada
Mata pencaharian pokok
 Beternak
 Bertani
 Berdagang
 Pegawai swasta
Pengalaman beternak
 Kurang dari 5 tahun
 5-10 tahun
 Lebih dari 10 tahun
Tujuan memelihara ternak
 Menjual susu
 Menjual susu dan ternak sapi
perah
 Sambilan
Jawaban lebih dari satu
Jenis hijaun yang diberikan
 Rumput gajah
 Daun wortel
 King rest
 Rumput alam
Konsentrat didapat dari koperasi
Kualitas konsentrat
 Baik
 Sedang
 Kurang baik
Penggunaan konsentrat berapa kg
sehari
 Kurang dari 10 kg
 Lebih dari 10 kg
Konsentrat koperasi dicampur dengan
konsentrat lain
 Tidak
 Onggok
 Ampas tahu

Jumlah responden yang
menjawab (%)
57
33
7
3
47
53
97
0
0
3
10
13
77
80
17

3

80
7
7
20
100
27
30
43

53
47

20
67
13

14
Pengetahuan Responden terhadap
kejadian retensio sekundinae
Normal plasenta keluar
 Kurang dari 8-12 jam
setelah melahirkan
 Lebih dari 8-12 jam setelah
melahirkan
 Tidak tahu
Sapi
mengalami
retensio
secundinae
 Plasenta keluar kurang dari
8-12 jam setelah
melahirkan
 Plasenta keluar lebih dari
8-12 jam setelah
melahirkan
 Tidak tahu
Penyebab retensio secundinae
 Kurang nutrisi pakan
 Kandang kotor
 Distokia (sulit melahirkan)
 Tidak tahu
Jawaban yang lebih dari satu
Pengaruh retensio secundinae
 Produksi turun
 Nafsu makan kurang
 Kesuburan menurun
Pengobatan
yang
dilakukan
petugas
 Pengeluaran plasenta
secara manual
 Pemberian antibiotik
 Pengeluaran plasenta dan
antibiotik
 Pemberian hormone

Jumlah Responden (%)

73
0
27

0

70

30
20
0
33
47

60
60
47

30
23.5
33.5
13

15
Pengetahuan Responden terhadap
kejadian endometritis
Jawaban lebih dari satu
Ciri-ciri sapi yang mengalami
endometritis
 Keluar lendir keruh dan kental
disekitar vagina
 Siklus berahi diperpanjang
dan sulit bunting
 Lendir berahi transfaran,nafsu
makan turun, sulit bunting
namun birahi normal
Penyebab endometritis
 Kesulitan melahirkan
 Retensio secundinae
 Kematian fetus
 Penanganan petugas yang
tidak baik
Pengaruh
kejadian
endometritis
(Jawaban lebih dari satu)
 Produksi susu turun
 Nafsu makan kurang
 Kesuburan menurun
Petugas melakukan apa pada sapi
yang mengalami penyakit tersebut
 Pemberian antibiotik
 Pemberian hormon
 Pemberian antibiotik dan
hormon
 Tidak tahu
Setelah kejadian retensio secundinae
sapi mengalami endometritis
 Ya
 Tidak
 Tidak tahu
Setelah mengalami kejadian retensio
secundinae atau endometritis sapi
mengalami bunting lagi
 Ya
 Tidak

Jumlah responden (%)

63
33
43

33.5
10
3
53.5

57
40
30

20
0
3
77

50
10
40

60
40

16
Lampiran 2 Kuesioner Peternak KPBS Pangalengan

KUESIONER INI HANYA UNTUK KEPENTINGAN
PENELITIAN SEMATA SEBAGAI
PENDUKUNG SKRIPSI
Sebagai syarat menyelesaikan program sarjana Kedokteran Hewan di
Institut Pertanian Bogor, saya melakukan penelitian tentang “Kejadian Retensio
Sekundinae dan Hubungannya dengan Endometritis pada Sapi Perah (Studi kasus
di KPBS Pangalengan). Saya mohon bantuan dan ketersediaannya untuk
memberikan jawaban yang sesungguhnya. Terimakasih
PTK

Identitas Responden
Nama
Alamat / Komda
Jenis Kelamin
Umur

:
:
: Laki-laki / Perempuan
:

Petunjuk pengisian :
Pilihlah jawaban yang anda anggap paling benar dan jawaban bisa lebih dari
satu jawaban dengan menyilang (X) pilihan yang tersedia.
Latar Belakang Peternak
NO
PERTANYAAN
1.
Pendidikan terakhir Bapak/ ibu?

2.

Pendidikan non formal:

3.

Apa mata
Bapak/ ibu?

pencaharian

JAWABAN
a.
b.
c.
d.

SD
SMP
SMA/ SMK
D3,S1,S2

a. Tidak ada
b. Penyuluhan dan pelatihan
peternakan
c. Lain-lain...................(Tuliskan)
pokok

a. Berternak
b. Bertani
c. Berdagang
d. Pegawai negeri

17
0 – 5 tahun
5 – 10 tahun
Lebih dari 10 tahun
Lain-lain……………………..
(Tuliskan)

4.

Berapa lama pengalaman Bapak/
ibu berternak sapi?

a.
b.
c.
d.

5.

Apa tujuan Bapak/ ibu memelihara
ternak?

a. Menjual susunya
b. Menjual susu, pedet, dara atau
induk
c. Sambilan
d. Lain-lain..................................
(Tuliskan)

6.

Berapa banyak sapi yang dimiliki Pedet
oleh bapa/ibu?
 Jantan ………. Ekor
 Betina……….. Ekor
Dara ………………… Ekor
Dewasa
 Laktasi …………….. ekor
 Kering kandang……..ekor
 Kering kosong ……...ekor
Berapa rata-rata produksi susu sapi
bapa dan ibu per hari per ekor nya? ………. Liter per hari per ekor

7.

Pengelolaan secara umum
8. Berapa jumlah sapi yang Bapak/ ibu
pelihara?

9.

Pakan apa yang biasa diberikan
pada sapi yang dimiliki

10. Hijauan jenis apa
diberikan pada sapi ?

yang

biasa

11. Apakah ada kesulitan untuk
mendapatkan hijauan?
12. Konsentrat yang didapat berasal
dari mana?
13. Menurut Bapa/Ibu, bagaimana
kualitas konsentrat yang diberikan
pada sapi ?

a.
b.
c.
d.

Kurang dari 10 ekor
10 – 20 ekor
Lebih dari 20 ekor
Lain-lain……………..
(Tuliskan)
a. Hijauan
b. Konsentrat
c. Hijauan dan konsentrat
………………………………….
(Tuliskan)
a. Ya
b. Tidak
a. Koperasi
b. Lain-lain
……………….
(Tuliskan)
a. Baik
b. Sedang
c. Kurang baik

18
14. Bagaimana harga konsentrat yang
diberikan?

a. Murah
b. Standar
c. Mahal

15. Bagaimana penggunaan konsentrat
yang diberikan?
………………………………….
(Tuliskan)
16. Berapa kali bapa/ibu memberi
a. 1 kali
makan sapi dalam sehari?
b. 2 kali
c. 3 kali
d. Lebih dari 3 kali
17. Apakah
bapa/ibu
menjaga
a. Ya
kebersihan kandang setiap hari?
b. Tidak
18. Berapa kali bapa/ibu membersihkan
a. 1 kali
kandang setiap harinya?
b. 2 kali
c. Lebih dari 2 kali
Kejadian Retensio Sekundinae
19. Apakah
bapa/ibu
mengetahui
penyakit retensio sekundinae?

a. Ya
b. Tidak

20. Apakah sapi Bapak/Ibu pernah
mengalami retensio sekundinae?

a. Ya
b. Tidak

21. Apa nama lain dari retensio
sekundinae di daerah bapa/ibu?
………………………………….
22. Kapan normalnya plasenta keluar dari
a. Kurang dari 8-12 jam setelah
dalam sapi setelah melahirkan?
melahirkan
b. Lebih dari 8-12 jam setelah
melahirkan
c. Tidak tahu
23. Kapan sapi dikatakan mengalami
a. Plasenta keluar kurang dari
retensio sekundinae ?
8-12 jam setelah melahirkan
b. Plasenta keluar lebih dari 812 jam setelah melahirkan
c. Tidak tahu
24. Apakah penyebab dari retensio
a. Kurang nutrisi pakan
sekundinae ?
b. Kandang yang kotor
c. distokia (sulit melahirkan)
d. Lain-lain ……………….
(Tuliskan)
25. Apa pengaruh kejadian retensio
a. Produksi susu turun
sekundinae pada sapi yang dimiliki
b. Nafsu makan kurang
bapa/ibu?
c. Kesuburan menurun
d. Lain-lain ……………….
(Tuliskan)
26. Apa yang dilakukan jika sapi
a. Melapor pada petugas
bapa/ibu
mengalami
retensio
b. Menangani sendiri

19
sekundinae?
27. Apakah
bapa/ibu
mengetahui
pengobatan yang biasa dilakukan oleh
petugas untuk kejadian retensio
sekundinae?
28. Jika ya, apa pengobatan yang
dilakukan oleh petugas untuk
kejadian retensio sekundinae?

2.9 Mengapa
bapa/ibu
pengobatan tersebut?

memilih

Kejadian Endometritis
30. Apakah
bapa/ibu
mengetahui
penyakit endometritis?
31. Apakah sapi Bapak/Ibu pernah
mengalami endometritis?
32. Bagaimana ciri-ciri sapi yang terkena
endometritis?

c. Lain-lain ……………….
(Tuliskan)
a. Ya
b. Tidak

a. Pengeluaran plasenta secara
manual
b. Pemberian antibiotik
c. Pengeluaran plasenta secara
manual dan antibiotic
d. Pemberian hormon
e. Tidak tahu
a. Saran dokter hewan
b. Saran mantri hewan
c. Kebiasaan/tradisi
d. Lainlain…………...(tuliskan)

a.
b.
a.
b.
a.
b.
c.

d.

33.

Apakah penyebab dari endometritis ?

a.
b.
c.
d.

34.

Apakah ada pengaruhnya pada sapi
bapa/ibu setelah sapi mengalami
endometritis?

35.

Jika ya, apa pengaruhnya pada sapi

e.
a.
b.

Ya
Tidak
Ya
Tidak
Keluar lendir keruh dan
kental di sekitar vagina
Siklus berahi diperpanjang
dan sulit terjadi kebuntingan
Lendir berahi transfaran,
nafsu makan turun, sulit
terjadi kebuntingan
sedangkan siklus berahi
normal
Lainlain…...............................
(Tuliskan)
Kesulitan melahirkan
(distokia)
Retensio sekundinae
Kematian fetus (abortus)
Penangana petugas yang
tidak baik
Tidak tahu
Ya
Tidak

a. Produksi susu turun

20
setelah sapi mengalami endometritis?

36. Apa yang dilakukan bapa/ibu ketika
sapi mengalami endometritis?

37. Apa yang dilakukan oleh petugas
pada
sapi
yang
mengalami
endometritis?

38. Apakah setelah kejadian retensio
sekundinae
sapi
mengalami
endometritis?
39. Apakah setelah mengalami kejadian
retesio
sekundinae
maupun
endometritis
sapi
bapa/ibu
mengalami kebuntingan lagi?

b. Nafsu makan kurang
c. Kesuburan menurun
d. Lainlain……………………..
(Tuliskan)
a. Melapor pada petugas
b. Menangani sendiri
c. Lain-lain ……………….
(Tuliskan)
a. Pemberian antibioitik
b. Pemberian hormone
c. Pemberian antibiotic dan
hormone
d. Tidak diberikan antibiotic
maupun hormone
e. Tidak tahu
a. Ya
b. Tidak
a. Ya
b. Tidak

21

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 29 Juni 1994 dari pasangan
Bapak Jajang Kusmala dan Ibu Tanti Heryanti. Penulis adalah anak pertama dari
dua bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pangalengan pada tahun 2011
dan lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN
Undangan dengan jurusan Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
IPB.
Selama masa perkuliahan penulis mengikuti beberapa unit kegiatan
mahasiswa diantaranya Anggota Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA)
Paguyuban Mahasiswa Bandung, PC IMAKAHI IPB, dan Himpunan Minat
Profesi Ruminansia.