Pengujian Virus Newcastle Disease Gen VII Isolat Lapang Sebagai Virus Standar Pada Uji Tantang Vaksin

PENGUJIAN VIRUS NEWCASTLE DISEASE GEN VII ISOLAT
LAPANG SEBAGAI VIRUS STANDAR PADA UJI TANTANG
VAKSIN

DK FARAH ANA BINTI ZAIDUN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengujian Virus
Newcastle Disease Gen VII Isolat Lapang Sebagai Virus Standar Pada Uji
Tantang Vaksin adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013
DK Farah Ana Binti Zaidun
NIM B04088003

ABSTRAK
DK FARAH ANA BINTI ZAIDUN. Pengujian Virus Newcastle Disease Gen VII
Isolat Lapang Sebagai Virus Standar Pada Uji Tantang Vaksin. Dibimbing oleh
SRI MURTINI dan RETNO D. SOEJOEDONO.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui standar virus Newcastle Disease
Gen VII isolat lapang sebagai virus tantang pada pengujian vaksin. Suspensi virus
yang telah diuji HA sebelumnya dititrasi dengan uji Embryo Infectious Dose50
(EID50) menggunakan telur embrio tertunas (TET) SPF umur 10 hari sebanyak 30
butir. Uji Chicken Lethal Dose50 (CLD50) dilakukan untuk mengetahui titer virus
yang mampu menyebabkan kematian sebesar 50% populasi ayam. Uji CLD50
menggunakan 25 ekor day-old-chicken (DOC) yang dibagi menjadi 5 kelompok.
Virus di encerkan dari 10-1 sampai 10-8. Pada pengenceran 10-4 sampai 10-8, virus
ND diinfeksikan kepada setiap kelompok ayam melalui tetes mata dan intranasal
sebanyak 0.1 ml/ekor. Uji hemaglutinasi menunjukkan bahwa cairan alantois yang
dipanen memiliki titer virus yang tinggi yaitu 512 HAU. Virus infektif ND yang

dititrasi dengan uji EID50 menunjukkan titer virus sebesar 109 EID50/0.1 ml atau
1010 EID50/ml dan titer virus pada uji CLD50 menunjukkan titer virus sebesar 106.48
CLD50/0.1 ml atau 107.48 CLD50/ml. Hasil ini dapat disimpulkan bahwa isolat ND
Gen VII sangat sesuai digunakan sebagai virus standar pada uji tantang vaksin.
Kata kunci: uji CLD50, uji EID50, uji HA, virus Newcastle Disease Gen VII

ABSTRACT
DK FARAH ANA BINTI ZAIDUN. A Test On Newcastle Disease Virus Field
Isolate Gene VII AS A Standard Virus To Vaccine Test. Supervised by SRI
MURTINI dan RETNO D. SOEJOEDONO.
This study was conducted to determine the standard of Newcastle disease
virus Gene VII field isolate as a virus challenge to vaccine test. A virus
suspension that has previously been tested by HA test then titrated with EID50
using 30 Specific Pathogen Free (SPF) of 10 day old chicken embryonated eggs.
In addition, chicken lethal dose50 (CLD50) test were used to determine the virus
titer that could cause 50% death of the chicken population. The CLD50 test was
used 25 day-old-chickens (DOC) divided into 5 groups. The virus was diluted
from 10-1 to 10-8. The 104 to 10-8 dilution of NDV was infected to every group of
chicken via eyedrop and intranasal with 0.1 ml/chicken dosage.
Haemagglutination test showed that the allantoic fluid were contain high titers of

NDV is 512 HAU. The infective NDV that had been titrated by EID50 test showed
the virus titers is 109 EID50/0.1 ml or 1010 EID50/ml and the virus titers of CLD50
test e.i 106.48 CLD50/0.1 ml or 107.48 CLD50/ml. These results can be concluded that
the NDV Gene VII field isolates were most appropriate to be used as a standard
virus to vaccine test.
Keywords: CLD50 test, EID50 test, HA test, Newcastle Disease Virus Gene VII

PENGUJIAN VIRUS NEWCASTLE DISEASE GEN VII ISOLAT
LAPANG SEBAGAI VIRUS STANDAR PADA UJI TANTANG
VAKSIN

DK FARAH ANA BINTI ZAIDUN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi: Pengujian Virus Newcastle Disease Gen VII Isolat Lapang Sebagai
Virus Standar Pada Uji Tantang Vaksin
: DK Farah Ana Binti Zaidun
Nama
: B04088003
NIM

Disetujui oleh

Dr drh Sri Murtini, MSi
Pembimbing I

Tanggal Lulus:

Prof Dr drh Retno D Soeioedono, MS
Pembimbing II


Judul Skripsi : Pengujian Virus Newcastle Disease Gen VII Isolat Lapang Sebagai
Virus Standar Pada Uji Tantang Vaksin
Nama
: DK Farah Ana Binti Zaidun
NIM
: B04088003

Disetujui oleh

Dr drh Sri Murtini, MSi
Pembimbing I

Prof Dr drh Retno D Soejoedono, MS
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Pengujian Virus Newcastle Disease Gen VII Isolat Lapang Sebagai Virus Standar
Pada Uji Tantang Vaksin. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Rasa terima kasih penulis berikan kepada Dr drh Sri Murtini, MSi selaku
dosen pembimbing skripsi pertama dan pembimbing akademik atas segala
bimbingan, nasihat, ilmu, waktu dan kesabaran yang diberikan selama penelitian
dan penyusunan skripsi serta selama proses akademik berlangsung. Disamping itu,
penulis juga berterima kasih kepada Prof Dr drh Retno Soejoedono, MS sebagai
dosen pembimbing skripsi kedua atas segala bimbingan, ilmu, waktu, dan
kesabaran yang diberikan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada
keluarga tercinta (Ummie, Abah, Vivi, Dhilah, Adzlin dan Izhan) atas segala
dukungan, kasih sayang, doa dan semangat yang diberikan setiap saat. Terima
kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat Pondok Artis tersayang, ahli PKPMI

Bogor, teman-teman Avenzoar 45 dan Geochelone 46 atas segala kebersamaan.
Skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu,
penulis terbuka menerima kritik dan saran yang membangun guna penulisan
selanjutnya.
Semoga skripsi ini bermanfaat untuk kita semua.

Bogor, Oktober 2013
DK Farah Ana Binti Zaidun

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN




Tujuan Penelitian



Manfaat Penelitian



METODE



Waktu dan Tempat



Prosedur Penelitian




Uji HA Mikrotitrasi

4

Uji Embryo Infectious Dose50 (EID50)

5

Uji Chicken Lethal Dose50 (CLD50)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN



SIMPULAN


11 

DAFTAR PUSTAKA

11 

RIWAYAT HIDUP

13

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Contoh tabel hasil evaluasi pada uji EID50
Contoh tabel hasil evaluasi pada uji CLD50
Hasil evaluasi uji HA

Hasil evaluasi pada uji EID50
Hasil evaluasi pada uji CLD50

6
7
8
8
10

DAFTAR GAMBAR
1 Skematis virus Newcastle Disease (ND)
2 Ayam yang diinfeksi dengan virus ND Gen VII melalui intranasal

1
10

PENDAHULUAN
Penyakit Newcastle Disease (ND) merupakan penyakit unggas yang
penyebarannya meliputi seluruh wilayah di dunia terutama di Asia Tenggara.
Newcastle Disease pertama kali ditemukan oleh Doyle di daerah Newcastle
Inggris pada tahun 1926. Di Indonesia, penyakit ini merupakan penyakit infeksius
penting dalam industri perunggasan karena dapat menimbulkan kerugian berupa
kematian ayam, penurunan produksi telur pada ayam petelur, gangguan
pertumbuhan, dan penurunan berat badan pada ayam pedaging (DEPTAN 2006).
Newcastle Disease dikenal dengan berbagai nama di antaranya pseudofowl pest, avian pest, avian distemper, Tetelo disease, pseudovogel-pest, pseudopoultry plaque, Korean fowl plaque, Ranikhet disease, Atypische Geflugelpest,
dan avian pneumoencephalitis (Alexander 2003). Penyakit ini menyerang semua
jenis unggas, baik yang liar ataupun yang telah dibudidayakan (Fadillah dan
Polana 2004). Newcastle disease merupakan suatu penyakit pernafasan yang
bersifat sistemik, akut, dan epidemik disebabkan oleh virus golongan
paramyxovirus. Famili ini tergolong ke dalam virus RNA yang memiliki selubung
luar (envelope) dan sel target berupa sel epitel mukosa saluran pernafasan dan
pencernaan (Dortmans et al. 2011).

Gambar 1 Skematis virus Newcastle Disease (ND)
(sumber : FAO 2004)

Virus Newcastle Disease atau Avian paramyxovirus-1 (Gambar 1)
diklasifikasikan dalam golongan Avulavirus dan famili Paramyxoviridae (Lamb
et al. 2005). Virus ini berbentuk pleomorfik, beramplop, dan mempunyai ukuran
yang besar dengan diameter 100-500 nm tetapi ditemukan juga dalam bentuk
filamen dengan diameter 100 nm. Menurut Yusoff dan Tan (2001) panjang virus
paramyxovirus bervariasi. Genom virus ND bersifat single-stranded (ss),
berpolaritas RNA negatif dengan panjang genom 15 186 nukleotida dan tidak
bersegmen. Virion dari virus ini juga dikelilingi oleh membran tipis yang terdiri

2
atas lipid bilayer, lapisan protein, dan glikoprotein yang berbentuk paku menonjol
pada permukaan partikel (Fenner et al. 1995, Alexander 2003). Virus ini memiliki
aktivitas neuraminidase dan hemaglutinasi yang dapat mengabsorbsi sel darah
merah unggas dan menyebabkan agregasi.
Perkembangan teknologi terkini memunculkan klasifikasi virus secara
genotipe. Identifikasinya dengan melihat asam inti virus. Klasifikasi virus ND
secara genotipe berawal dari analisis secara filogenetik (kekerabatan) yaitu virus
ND dikelompokkan menjadi 2 divisi yaitu kelas I yang menyerang unggas air dan
kelas II yang menyerang unggas darat. Divisi virus ND kelas I memiliki 9
genotipe dan terdiri dari golongan virus bervirulensi rendah sedangkan virus ND
kelas II memiliki 10 genotipe dan terdiri dari virus bervirulensi ganas (Dormans et
al. 2011).
Virus ND kelas II selanjutkan dikategorikan ke dalam 10 genotipe (I X).
Virus ND kelas II genotipe 2 yang digunakan sebagai galur vaksin, yaitu virus La
Sota, B1, dan VG/GA. Vaksin yang banyak beredar di Indonesia umumnya dibuat
dengan isolat virus La Sota dan Hitchner B1 asal Amerika yang tergolong ke
dalam genotipe 2. Kasus ND yang dominan terjadi di Indonesia sepanjang
2009 2011 saat ini disebabkan oleh virus ND genotipe VII. Hal ini berdasarkan
pada hasil isolasi virus dari kejadian ND terkini di lapangan sehingga virus ND
genotipe VII menjadi perhatian utama masyarakat peternakan di Indonesia.
Newcastle Disease dapat dibagi atas 5 fenotipe berdasarkan gejala klinik
yang timbul, yakni viscerotropic velogenic newcastle disease (VVND), velogenic
newcastle disease (NVND), mesogenic, lentogenic respiratory, dan asymptomatic
enteric (Herendra dan Franco 1996). Bentuk Doyle ditandai oleh adanya infeksi
yang bersifat akut dan fatal pada semua umur ayam. Bentuk ini dicirikan dengan
adanya gangguan pencernaan akibat perdarahan dan nekrosis pada saluran
pencernaan sehingga dikenal dengan nama viscerotropic velogenic newcastle
disease (VVND). Bentuk Beach ditandai oleh adanya infeksi yang bersifat akut
dan kerap kali dapat menimbulkan kematian sampai 50% pada unggas dewasa dan
sebesar 90% pada unggas muda. Bentuk ini dicirikan oleh adanya gejala klinis
pada saluran pernafasan dan saraf sehingga disebut neurotropic velogenic
newcastle disease (NVND).
Bentuk Beaudette merupakan suatu bentuk virus ND galur mesogenic yang
kurang patogen dan hanya dapat menyebabkan kematian pada unggas muda.
Bentuk dari virus ini dapat digunakan sebagai vaksin aktif untuk vaksinasi ulang
terhadap ND. Virus ND galur lentogenik ditandai oleh adanya infeksi pernapasan
ringan dan tidak menimbulkan kematian pada unggas dewasa yang juga dikenal
dengan bentuk Hitchner. Bentuk asymptomatic enteric tidak menimbulkan gejala
suatu penyakit tertentu namun dapat ditandai dengan infeksi pada usus yang
ditimbulkan oleh virus ND tipe lentogenik (Alexander 2003).
Menurut Tizard (1988) vaksin adalah agen penyakit yang sifat
patogenitasnya telah dihilangkan dan digunakan untuk merangsang pembentukan
sistem kekebalan tanpa menyebabkan penyakit. Bahan yang berisi
mikroorganisme penyebab penyakit tersebut jika dimasukkan kedalam tubuh
hewan tidak menimbulkan bahaya akan timbulnya penyakit tetapi masih dapat
dikenali oleh sistem imun serta dapat merangsang pembentukan kekebalan
terhadap agen penyakit tersebut dan tindakan ini dikenal dengan istilah vaksinasi
(Kayne dan Jepson 2004).

3
Vaksin terbagi menjadi vaksin lived dan vaksin killed (Tizzard 1988).
Vaksin aktif (lived) merupakan vaksin yang mengandung organisme yang masih
hidup namun telah dilemahkan (attenuated) sehingga tidak menimbulkan penyakit.
Vaksin aktif (lived) umumnya lebih baik daripada vaksin inaktif (killed) karena
dapat memberikan respon kekebalan yang cepat dan merangsang produksi
interferon (Tizard 1988). Vaksin inaktif (killed) adalah vaksin yang mengandung
agen penyakit yang telah dimatikan dan biasanya ditambah adjuvan (Akoso 1998).
Adjuvan merupakan zat umum yang dicampurkan bersama vaksin untuk
meningkatkan respon kekebalan baik humoral maupun seluler.
Vaksin ND dapat berasal dari tipe lentogenik, mesogenik maupun velogenik.
Menurut Fadillah dan Polana (2004) biasanya vaksin ND dibuat dari virus ringan
(lentogenik) dan sedang (mesogenik). Virus lentogenik merupakan strain virus
ND yang mempunyai tingkat virulensi dan mortalitas yang rendah yaitu strain B1
(Hitchner), strain La Sota dan strain F (FAO 2004). Strain F mempunyai tingkat
virulensi yang paling rendah dibandingkan strain lentogenik lainnya. Vaksin strain
F paling efektif digunakan secara individu namun memiliki tingkat virulensi yang
lebih rendah di bandingkan strain B1.
Tipe mesogenik memberikan kekebalan lebih lama dibandingkan kekebalan
yang dihasilkan oleh tipe lentogenik, namun pemberian vaksin tipe mesogenik
pada ayam yang belum mempunyai kekebalan dasar dapat menimbulkan reaksi
post-vaksinasi dan penurunan produksi telur (Nugroho 1981). Tipe mesogenik
yang digunakan sebagai vaksin antaranya strain Rokain, strain Mukteswar, strain
Hartfordshire, dan strain Komarov (Allan et al. 1987, Fadillah dan Polana 2005).
Tipe velogenik jarang digunakan sebagai bahan vaksin namun dapat dibuat dalam
bentuk vaksin inaktif dan memiliki tingkat virulensi yang paling tinggi (FAO
2004).
Vaksinasi terhadap Newcastle Disease (ND) dapat diberikan melalui
berbagai cara, yaitu melalui air minum, tetes mata, spray, injeksi intramuskular,
dan subkutan. Vaksin yang baik harus harus memberikan proteksi lebih daripada
95% terhadap hewan coba atau tidak lebih dari 5% terhadap hewan yang
terinfeksi atau sakit. Keberhasilan vaksinasi sangat dipengaruhi oleh status
kesehatan unggas, nutrisi, sanitasi lingkungan dan sistem perkandangan, serta
program vaksinasi yang baik (Akoso 1998). Vaksinasi dapat mengalami
kegagalan karena berbagai sebab salah satunya unggas yang mengalami
imunosupresi akibat terinfeksi penyakit Gumboro, Marek, atau pakan yang
mengandung mikotoksin (Gillingham 2006).
Penanggulangan penyakit ND hanya dapat dilakukan dengan dengan
tindakan pencegahan melalui program vaksinasi yang baik. Vaksin yang baik
harus memenuhi beberapa persyaratan antaranya kemurnian, keamanan, dan
kemampuan untuk merangsang kekebalan terhadap suatu penyakit pada hewan.
Suatu vaksin dikatakan memenuhi ketiga persyaratan tersebut jika dua minggu
setelah dilakukan vaksinasi dapat terbentuk antibodi dengan titer protektif.
Proteksi vaksin dapat dilakukan dengan uji tantang menggunakan virus dengan
yang memiliki tingkat virulensi yang tinggi (Kayne dan Jepson 2004). Pengujian
efikasi vaksin menggunakan virus tantang yang diperoleh dari isolat lapang
sehingga diperlukan suatu virus isolat lapang yang terstandardisasi.

4
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menentukan standar virus Newcastle Disease Gen
VII isolat lapang sebagai virus tantang pengujian vaksin.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapatkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi
mengenai standar titer virus ND Gen VII isolat lapang sehingga dapat digunakan
sebagai virus standar pada uji tantang vaksin.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2012 di Laboratorium
Terpadu, Bagian Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner, dan Kandang Unit Pengelola Hewan
Laboratorium (UPHL) Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Prosedur Penelitian
Uji Hemaglutinasi Mikrotitrasi (OIE 2012)
Larutan Phosphat Buffer Saline (PBS) sebanyak 25µl dimasukkan ke dalam
12 sumur mikroplate berbentuk V (V bottom microplate) dari baris A sampai F,
kolom dua sampai 12. Antigen ND sebanyak 50µl dimasukkan dari sumur A1
sampai E1. Kemudian sebanyak 25µl dipindahkan dari sumur A1 sampai E1 ke
dalam sumur A2 sampai E2 menggunakan pipet multichannel lalu dihomogenkan
lima kali dengan cara memipet naik dan turun. Setiap memasukkan antigen
dilakukan penggantian tips.
Larutan PBS 25µl dimasukkan ke dalam sumur B2 dan dihomogenkan 10
kali dengan cara memipet naik dan turun. Selanjutnya dari sumur B2 dikeluarkan
sebanyak 25µl campuran tersebut sehingga pengencerannya menjadi 1/3. Setelah
itu, sebanyak 75µl larutan PBS dimasukkan ke dalam sumur C2 dan
dihomogenkan 10 kali dengan cara memipet naik dan turun, dan dari sumur C2
diambil 75µl campuran pada sumur tersebut sehingga pengencerannya menjadi
1/5. Kemudian sebanyak 125µl larutan PBS dipipet ke dalam sumur D2 dan
dihomogenkan 10 kali dengan cara memipet naik dan turun. Dari sumur D2
diambil 125µl suspensi sehingga pengenceran pada sumur tersebut menjadi 1/7.
Larutan PBS sebanyak 175µl dipipet ke dalam sumur E2 dan dihomogenkan
sebanyak 10 kali dengan cara memipet naik dan turun. Dari sumur E2 diambil
175µl suspensi sehingga pengenceran pada sumur tersebut menjadi 1/9.
Selanjutnya digunakan pipet multichannel dengan tips baru dan sebanyak
25µl suspensi dipipet dari kolom A2 sampai E2 ke dalam A3 sampai E3 lalu

5
dihomogenkan lima kali dengan cara memipet naik dan turun. Sebanyak 25µl
suspensi dipipet dengan tips dari kolom A3 sampai E3 ke dalam kolom A4 sampai
E4 dan dihomogenkan lima kali dengan cara memipet naik dan turun. Langkah ini
diulangi hingga kolom A12 sampai E12. Setelah dihomogenkan lima kali dari
A12 sampai E12, sebanyak 25µl suspensi dari kolom terakhir dibuang.
Selanjutnya sebanyak 25µl PBS dimasukkan ke dalam setiap sumur dan
ditambahkan 25µl RBC (1% v/v) ke dalam setiap sumur. Kemudian microplate
dikocok selama 10 detik dan diinkubasi selama 60 menit pada suhu 4 ˚C. Hasil
diamati setelah sumur kontrol positif menunjukkan adanya reaksi penghambatan
aglutinasi dengan memiringkan microplate.

Uji Embryo Infectious Dose50 (EID50)
Peneropongan (candling) dilakukan pada telur embrio tertunas (TET) untuk
melihat kondisi embrionya dan menentukan batas kantong udara terlebih dahulu.
Telur diberi dua tanda menggunakan pensil yaitu satu bagian pada atas kepala
embrio dan satu bagian lagi diatas kantung udara. Daerah yang ditandai dihapus
hamakan dengan mengoleskan alkohol 70%. Lubang dibuat pada bagian kerabang
telur yang sudah ditandai menggunakan bor telur tetapi tidak sampai merusak
“shell membrane”.
Uji Embryo Infectious Dose50 (EID50) dilakukan dengan menggunakan 30
butir telur embrio tertunas (TET) umur 10 hari. Pengenceran virus dilakukan
secara bertingkat dimulai dari pengenceran 10-1 sampai 10-10 dengan teknik yang
steril. Suspensi virus dengan pengenceran 10-5 sampai 10-9 diinokulasi sebanyak
0.1 ml ke dalam ruang alantois dan tiap pengenceran diinokulasi ke lima butir
telur dan lima butir sisanya sebagai kontrol.
Lubang tempat penyuntikan ditutup kembali menggunakan kolodion. Telur
diinkubasi di dalam inkubator dengan suhu 37-38 ˚C dengan posisi kantong udara
berada diatas. Telur diamati dengan di candling setiap dua kali sehari selama 4
hari. Telur yang mati setelah inokulasi disimpan dalam refrigerator. Telur
tertunas yang telah diinokulasi virus Newcastle Disease dipanen dari cairan
alantoisnya dan disentrifus untuk memisahkan debris dari cairan yang dipanen dan
dihitung titernya.
Penghitungan titer virus dilakukan dengan menghitung endpoint dari
pengenceran virus yang menyebabkan kematian 50% populasi (jumlah telur/n)
yang digunakan. Endpoint tidak dapat diukur berdasarkan data secara langsung,
sehingga digunakan perhitungan menggunakan metode Reed and Muench dengan
rumus dan tabel berikut :

6
Tabel 1 Contoh tabel hasil evaluasi pada uji EID50
Pengenceran
virus

Jumlah
telur

Respon embrio
Jumlah
infeksi

Jumlah
tidak
infeksi

Jumlah akumulasi
Infeksi
(A)

Tidak
infeksi
(B)

Total
(A+B)

Persentasi
infektif
(%)
A/(A+B) x 100

10-5
10-6
10-7
10-8
10-9

Dari tabel diatas dapat diperkirakan pengenceran virus menyebabkan kematian
50% populasi dengan rumus :
Proportionate Distance (PD) =

% infeksi > 50% - (50%)
% infeksi > 50% - (% infeksi < 50%)

Sehingga 50% endpoint dapat dihitung dengan rumus :
Log dari 50% endpoint = log pengenceran > 50% - (PD X log faktor pengenceran)
Titer virus
= antilog dari log 50% endpoint

Uji Chicken Lethal Dose50 (CLD50)
Uji Chicken Lethal Dose50 (CLD50) dilakukan dengan menggunakan 25
ekor day-old-chicken (DOC). Pengenceran virus dilakukan terlebih dahulu
sebelum diinfeksikan secara buatan pada ayam dengan melakukan pengenceran
virus secara desimal mulai dari pengenceran 10-4 sampai 10-8 dengan teknik yang
steril. Uji CLD50 dilakukan dengan cara ayam diinfeksi virus ND Gen VII isolat
lapang melalui tetes mata dan intranasal sebanyak 0.1 ml/ekor dan tiap
pengenceran diinfeksikan ke 5 ekor ayam. Semua ayam yang diuji CLD50
dicampur dalam satu kandang isolator sehingga terjadi penularan virus ND yang
ganas. Selama uji dijalankan, pakan, dan air diberikan secara ad libitum.
Pengamatan dilakukan dua kali yaitu pada pagi dan sore hari dan semua
ayam mati dan sakit dicatat dan dihitung titer virusnya. Penghitungan titer virus
CLD50 dilakukan hampir sama seperti penghitungan titer virus EID50 yaitu dengan
menghitung endpoint dari pengenceran virus yang menyebabkan kematian 50%
populasi (jumlah ayam/n) menggunakan metode Reed and Muench dengan tabel
dan rumus berikut :

7
Tabel 2 Contoh tabel hasil evaluasi pada uji CLD50
Pengenceran
virus

Jumlah
ayam

Respon ayam
Jumlah
mati

Jumlah
tidak
mati

Jumlah akumulasi
Mati
(A)

Tidak mati
(B)

Total
(A+B)

Persentasi
kematian
(%)
A/(A+B) x 100

10-5
10-6
10-7
10-8
10-9

Dari tabel diatas dapat diperkirakan pengenceran virus menyebabkan
kematian 50% populasi dengan rumus :
Proportionate Distance (PD) =

% infeksi > 50% - (50%)
% infeksi > 50% - (% infeksi < 50%)

Sehingga 50% endpoint dapat dihitung dengan rumus :
Log dari 50% endpoint = log pengenceran > 50% - (PD X log faktor pengenceran)
Titer virus
= antilog dari log 50% endpoint

HASIL DAN PEMBAHASAN
.
Uji HA Mikrotitrasi
Uji Hemaglutinasi merupakan dasar dalam menentukan titer virus ND
(Darminto 1996). Hasil penelitian pada uji HA dengan metode OIE dari seluruh
cairan alantois yang dipanen dan diinokulasi virus ND Gen VII pada delapan butir
SPF menunjukkan bahwa titer virus tertinggi adalah sebesar 29 atau 512 HAU
(Tabel 3). Uji HA didasarkan pada prinsip kemampuan hemaglutinasi dari virus
ND terhadap sel darah merah unggas (Grimes 2002). Titer HA adalah
pengenceran tertinggi yang masih dapat mengaglutinasi sel darah merah unggas.
Hemaglutinasi (HA) sempurna ditandai dengan adanya aglutinasi sel darah merah
secara merata pada dasar sumur microplate dan penjernihan dari cairan di bagian
atas tanpa terjadinya pengendapan (Ernawati et al. 1996).

8
Tabel 3 Hasil evaluasi uji HA
Baris
1
1/2
1/3
1/5
1/7
1/9
RBC

A
B
C
D
E
F
Keterangan :

2
4
6
10
14
18
RBC

3
8
12
20
28
36
RBC

Titer Virus
4
5
6
16
32
64
24
48
96
40
80
160
56
112
224
72
144
277
RBC RBC RBC

7
128
192
320
448
576
RBC

8
256
384
640
896
1152
RBC

9
512
768
1280
1792
2304
RBC

= aglutinasi terakhir

Reaksi aglutinasi pada uji HA dapat dihambat dengan antibodi spesifik
terhadap antigen sehingga reaksi ini digunakan sebagai dasar pada identifikasi
virus serta diferensiasi pada strain varian yang sering muncul. Virus dapat
mengaglutinasi eritrosit karena virus memiliki protein hemaglutinin pada
permukaan virusnya. Hemaglutinin secara spontan akan melekat pada permukaan
sel darah merah unggas yang merupakan reseptor dari membran eritrosit unggas
sehingga membentuk sebuah jembatan antara dua sel darah merah. Aglutinasi
sempurna pada pengenceran tertinggi dinyatakan sebagai endpoint dan memiliki
titer 1 HAU (Haemaglutinasi Unit), 1 HAU setara dengan 107 partikel virus.

Uji Embryo Infectious Dose50 (EID50)
Titrasi virus dengan uji HA dapat menghitung jumlah virus yang telah mati
(tidak infektif) maupun masih hidup (infektif) sedangkan titrasi virus yang infektif
dapat diukur menggunakan uji Embryo Infectious Dose50 (EID50) yang artinya
dosis yang digunakan mampu menginfeksi 50% populasi embrio.
Pada uji EID50, telur embrio tertunas (TET) paling sering digunakan sebagai
media isolasi dan propagasi atau pembiakan virus. Telur berembrio atau sering
disebut telur embrio tertunas (TET) merupakan tempat pembenihan virus yang
ideal karena TET merupakan sumber sel hidup yang relatif murah dan mudah
untuk isolasi virus. Keunggulan yang dimiliki TET adalah kondisinya yang steril
dan tidak mudah terkontaminasi, ukurannya yang kecil dan mudah ditangani.
Berdasarkan penelitan yang dilakukan, uji EID50 evaluasi titer virus ND dari
isolat lapang dengan uji EID50 disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil evaluasi pada uji EID50
Pengenceran
virus

Jumlah
telur

Respon embrio
Jumlah
infeksi

10-5
10-6
10-7
10-8
10-9

5
5
5
5
5

5
5
5
4
3

Jumlah
tidak
infeksi
0
0
0
1
2

Jumlah akumulasi
Infeksi

Tidak
infeksi

Total

22
17
12
7
3

0
0
0
1
3

22/22
17/17
12/12
7/8
3/6

Persentasi
infektif
(%)

100%
100%
100%
87.5%
50%

9
Berdasarkan data diatas bila dihitung dengan metode Reed and Muench
diperoleh :
Proportionate Distance (PD) =

.
.

= 1.00
Sehingga 50% endpoint dapat dihitung dengan rumus :
Log dari 50% endpoint = log pengenceran diatas 50%-(PD x log faktor
pengenceran)
= (-8) – (1.00 x 1.0)
= 109 EID50/0.1 ml
= 1010 EID50/ml
Hasil penelitian pada pengujian titrasi virus dengan uji EID50 menunjukkan
bahwa titer virus pada uji ini sebesar 109 EID50/0.1 ml atau 1010 EID50/ml
sehingga suspensi virus ini menunjukkan titer virus infektif yang tinggi. Titer
virus yang tinggi sangat diperlukan pada uji tantang karena pada suatu uji tantang
diperlukan jumlah tertentu yang mampu menginfeksi inang (ayam).
Virus yang dipanen dari cairan alantois memiliki kemampuan hidup yang
tinggi. Hal ini terkait erat dengan penggunaan media isolasi yang digunakan
selama pembiakan virus. Pembiakan virus menggunakan telur sebaikkan
digunakan telur yang berasal dari breeding flock yang bebas patogen tertentu
(Specific Pathogen Free) karena telur SPF tidak memiliki antibodi spesifik pada
kuning telur sehingga aman untuk digunakan.
Pembiakan virus Newcastle Disease (ND) dilakukan pada ruang alantois
karena sel target virus ND terletak pada epitel mukosa saluran pernafasan dan
pencernaan serta terdapat banyak epitel khorion sehingga ruang alantois dapat
menjadi sel targetnya. Cairan alantois berada di dalam kantong alantois yang
letaknya dibawah kerabang kapur berpori berperan utama dalam penyerapan
kalsium, pernapasan, dan tempat penyimpanan sisa-sisa metabolisme embrio
(Syahrurrachman 1994).

Uji Chicken Lethal Dose50 (CLD50)
Pada uji Chicken Lethal Dose50 (CLD50) dilakukan pengenceran virus mulai
dari pengenceran 10-4, 10-5, 10-6, 10-7 sampai 10-8. Berdasarkan Tabel 5,
pengenceran virus yang dapat menyebabkan kematian 50% populasi adalah antara
10-6 (71%) dan 10-7 (28%). Berdasarkan pengujian Chicken Lethal Dose50 (CLD50)
diketahui bahwa 50% endpoint adalah pada pengenceran 106.48 sehingga titer
virusnya adalah 106.48 CLD50/0.1 ml atau 107.48 CLD50/ml. Data ini menunjukkan
bahwa titer virus yang dimiliki oleh isolat ini cukup tinggi dan layak digunakan
sebagai virus standar pada uji tantang vaksin.

10
Tabel 5 Hasil evaluasi pada uji CLD50
Pengenceran
virus

Jumlah
ayam

Respon Ayam
Jumlah
mati

10-4
10-5
10-6
10-7
10-8

5
5
5
5
5

5
5
3
2
0

Jumlah
tidak
mati
0
0
2
3
5

Jumlah akumulasi
Mati

Tidak mati

Total

15
10
5
2
0

0
0
2
5
10

15/15
10/10
5/7
2/7
0/10

Persentasi
kematian
(%)

100%
100%
71%
28%
0%

Berdasarkan data diatas bila dihitung dengan metode Reed and Muench
diperoleh :
Proportionate Distance (PD) =
=
= 0.48
Sehingga 50% endpoint dapat dihitung dengan rumus :
Log dari 50% endpoint = log pengenceran diatas 50% - (PD x log faktor
pengenceran)
=(-6) – (0.48 x 1.0)
= 106.48 CLD50/0.1 ml
= 107.48 CLD50/ml

Gambar 2 Ayam yang diinfeksi dengan virus ND Gen VII melalui intranasal

Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap day-old-chicken (DOC) pada uji
CLD50 menunjukkan bahwa ayam yang sebelumnya diinfeksi dengan virus ND
Gen VII melalui tetes mata dan intranasal mengalami beberapa gelaja klinis

11
diantaranya penurunan nafsu makan, bulu kusam, bersin, batuk, ngorok, diare,
terdapat eksudat dan lemah serta berakhir dengan kematian. Masa inkubasi
penyakit ini beragam antara 2-15 hari, tergantung dari jenis virus yang
menginfeksi, umur dan status kekebalan unggas, infeksi dengan organisme lain,
kondisi lingkungan dan jalur penularan (Alexander 2003).

SIMPULAN
Titrasi virus Newcastle Disease (ND) Gen VII isolat lapang yang telah diuji
dengan uji HA memiliki titer virus tertinggi sebesar 512 HAU (29) dengan titer
virus infektif sebesar 1010 EID50/ml dan 107.48 CLD50/ml menunjukkan bahwa
isolat lapang ND Gen VII memiliki titer virus yang cukup tinggi dan dapat
digunakan sebagai virus standar pada uji tantang vaksin.

DAFTAR PUSTAKA
Agung MA, Mantik MA, Santhia AP, Matsumoto Y. 2008. Deteksi virus penyakit
tetelo isolat lapangan dengan metode nested reserve transcriptasepolymerase chain reaction. J.Vet. Bali. 2(1): 74-76
Akoso BT. 1998. Kesehatan Unggas Panduan bagi Petugas Teknis, Penyuluh dan
Peternak. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Alexander DJ. 2003. Newcastle Disease, Other Avian Paramyxoviruses, and
Pneumovirus Infections. Di dalam : Frank Jordan et al, editor. Disease of
Poultry. Edisi ke-11. Blackwell Publishing. Hlm 63-81.
Allan WH, Lancaster JE, Thoth B. 1978. Newcastle Disease Vaccines : Their
Production and Use. Rome (IT): FAO Animal Product and Health Series
No.10.
Cahyono MI. 2010. Pengaruh Waktu dan Suhu Penyimpanan Terhadap Daya
Tahan Antigen Virus Newcastle Disease. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian
Veteriner.
Darminto. 1996. Vaksinasi secara lateral pada ayam pedaging: pengaruh rasio dan
densitas. Bogor (ID): Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 1(3): 178-184.
Darminto dan P. Ronohardjo. 1996. Vaksin Newcastle Disease Inaktif Berasal
dari Virus Isolat Lokal Galur Velogenik. Bogor (ID): Balai Penelitian
Veteriner.
[DEPTAN] Departemen Pertanian RI. 2006. Restrukturisasi Sistem Perunggasan
di Indonesia [internet]. [diunduh pada 2013 Juni 20]. Tersedia pada:
http://www.ditjennak.go.id.
Dortmans JC, Koch G, Rottier PJ, Peeters BP. 2011. Virulence of Newcastle
Disease Virus : What is Known So Far?. Netherlands (NL): Veterinary
Research. 42:122.
Ernawati, Rahayu, Sadono, Jarwanto, Cokroamijoyo, Sumaryati, Sawitri, Hunik
SR. 1996. Pengaruh Pemberian Vaksin Kombinasi Newcastle Disease dan
Infectious Bronchitis dengan Vaksin Tunggal Newcastle Disease terhadap

12
Titer Antibodi pada Ayam serta Pertumbuhan dan Perubahan
Histopatologis pada Telur Ayam Bertunas. Surabaya (ID): Lembaga
Penilitian Universitas Airlangga.
Fadillah R dan Polana A. 2004. Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara
Mengatasinya. Jakarta (ID): PT.Agromedia Pustaka.
[FAO]. 2004. Newcastle Disease Vaccines: an Overview [internet]. [diunduh
2013 Juni 20]. Tersedia pada: http://www.fao.org/DOCREP005/
AC802E/ac802e04.htm.
Fenner J dan Fransk. 1995. Virologi Veteriner Edisi kedua. Harya P, Penerjemah.
Semarang. IKIP Semarang Press. Terjemahan dari: Veterinary Virology.
Gillingham S. 2006. General principles of vaccination [internet]. [diunduh 2013
Juni
20].
Tersedia
pada:
http://www.canadianpoultry.ca/
principles_of_vaccination.htm.
Grimes SE. 2002. A basic laboratory manual for the small scale production and
testing of 1 – 2 Newcastle Disease Vaccine. FAO Regional Office for Asia
and the Pacific.Bangkok (TH): RAP Publication.
Herenda DC, Franco DA. 1996. Poultry Disease and Meat Hygiene: a Color Atlas.
Iowa (US): Iowa State State University Pr.
Kayne SB dan Jepson MH. 2004. Veterinary Pharmacy. London (UK):
Pharmaceutical Pr.
Lamb RA, Collins PL, Kolakofsky D, Melero JA, Nagai Y, et al. (2005) Family
paramyxoviridae. In: Fauquet CM, Mayo J, Maniloff J, Desselberger U, Ball
LA, editors. Virus taxonomy: 8th report of the International Committee on
Taxonomy of Viruses. San Diego (US): Elsevier. pp. 655–668.
Nahamya FH, Mukiibi-Muka G, Nasinyama GW, Kabasa JD. 2006. Assessment
of the cost efectiveness of vaccinating pee range poultry against Newcastle
disease in Busedde sub-county, Jiitja district, Uganda In Livestock Research
for Rural Development 18 (11) 2006. [internet]. [diunduh 2013 Juli 30].
Tersedia pada: http://www.ci~av.org.collrrd/lrrdlS/l lIcontlSl 1 .htm.
Nugroho. 1981. Penyakit Ayam di Indonesia. Semarang (ID): Eka Offset.
[OIE]. Office International des Epizootics World Organization. 2012. OIE
Terestrial Manual Paris (FR): 1-19
Syahrurrachman. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta (ID): Bina Rupa Aksara
Tizzard IR. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner Edisi II. Partodiredjo M,
Penerjemah. Surabaya (ID): Airlangga University Press. Terjemahan dari :
Introduction to Veterinary Immunology.
Yusoff K dan Tan WS. 2001. Newcastle disease virus: macromolecules and
opportunities. Selangor (MY): University Putra Malaysia. Terjemahan dari:
Avian Pathol. 30: 439 – 455.

13

RIWAYAT HIDUP
DK Farah Ana Binti Zaidun dilahirkan di Sabah, Malaysia pada tanggal
17 Juli 1990 dari pasangan Zaidun Bin Pg. Hj. Mohd Noor dan Norah Binti Abu
Bakar. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan awal di Tabika (Taman Bimbingan
Kanak-Kanak) Khoi Ming, Kota Marudu dan melanjutkan pendidikan dasar di
Sekolah Rendah Jenis Cina (SRJK) Khoi Ming, Kota Marudu. Kemudian pada
tahun 1998, penulis berpindah ke Sekolah Kebangsaan (SK) Tanjung Aru, Kota
Kinabalu. Pada tahun 1999-2001, penulis melanjutkan pendidikan dasar di SD
Babakan I, Malabar, Bogor dan pada tahun 2002 penulis menyelesaikan
pendidikan dasar di SK Kolombong, Kota Kinabalu. Pada tahun 2003 Penulis
melanjutkan pendidikan menengah di Sekolah Menengah Kebangsaan (SMK)
Arshad, Kota Belud. Kemudian penulis berpindah dan melanjutkan pendidikan
menengah selama empat tahun sehingga selesai di Sekolah Menengah
Kebangsaan (SMK) Kota Marudu, Sabah pada tahun 2007. Tahun 2008 penulis
diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
melalui jalur mahasiswa asing.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di beberapa organisasi seperti
Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Aquatik Eksotik
(HKSA) dan ahli Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia di Indonesia (PKPMI)
Cabang Bogor.