Isolasi Dan Determinasi Patotipe Molekuler Virus Newcastle Disease Kajian Lapang Di Wilayah Jawa Timur

ISOLASI DAN DETERMINASI PATOTIPE MOLEKULER
VIRUS Newcastle disease : KAJIAN LAPANG DI WILAYAH
JAWA TIMUR

ERIN KURNIANINGTYAS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Isolasi dan Determinasi
Patotipe Molekuler Virus Newcastle Disease : Kajian Lapang di Wilayah Jawa
Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2016
Erin Kurnianingtyas
NIM B253140011

RINGKASAN

ERIN KURNIANINGTYAS. Isolasi dan Determinasi Patotipe Molekuler Virus
Newcastle Disease : Kajian Lapang di Wilayah Jawa Timur. Dibimbing oleh
SURACHMI SETIYANINGSIH dan AGUSTIN INDRAWATI.
Newcastle disease adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dan dapat
menyebabkan infeksi sistemik hingga kematian pada unggas. Isolasi virus berhasil
diperoleh di berbagai wilayah di Indonesia dan menjadi endemik di berbagai
negara berkembang. Virus ini dilaporkan menyebabkan 14 000 kasus unggas
terinfeksi di Jawa Timur pada tahun 2011. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji
keberadaan dan determinasi patotipe secara molekuler virus Newcastle disease di
wilayah Jawa Timur. Sampel usapan kloaka sebanyak 289 diambil dari unggas
(ayam dan bebek) pekarangan, peternakan, pengepul, dan pasar unggas di
Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso. Sampel dipool dengan setiap pool
terdiri dari 5-7 individu berdasarkan jenis unggas dan lokasi pengambilan sampel

sehingga didapatkan total pool sebanyak 56 pool. Sampel pool diinokulasi pada
telur ayam berembrio SPF dan dilanjutkan dengan Real Time Reverse
Transcription Polymerase Chain Reaction (rRT-PCR) matrix (M). Sampel positif,
kemudian diuji kembali secara individu dengan diinokulasi kembali pada telur
ayam berembrio SPF. Karakterisasi patotipe isolat dilakukan dengan rRT-PCR
Fusion (F), uji hemagglutination inhibition (HI), uji waktu elusi, dan sekuensing
gen F untuk melihat motif cleavage site.
Hasil menunjukkan 6 dari 56 pool terdeteksi positif VND. Enam pool positif
terdiri dari 5 pool dari ayam kampung dan 1 pool dari bebek. Isolasi VND dari
individu sampel asal pool positif diperoleh 8 isolat. Semua isolat berasal dari
pasar unggas di Probolinggo dan Bondowoso. Delapan isolat individu yang
terdeteksi positif VND dengan primer matrix (M). Hasil titer HI dengan
menggunakan Komarov berkisar antara 3 – 4 log2, berbeda dengan antiserum B1
menunjukkan variasi lebih rendah yaitu berkisar antara 2 – 4 Log2, sehingga
semua isolat memiliki afinitas lebih tinggi terhadap Komarov dan bereaksi positif
pada uji rRT-PCR F. Uji waktu elusi menunjukkan bahwa 7 isolat termasuk ke
dalam velogenik dan 1 isolat termasuk mesogenik. Sebagai peneguhan dari ketiga
uji diatas, analisis sekuen nukleotida menunjukkan motif asam amino multibasic
pada cleavage site protein F; tujuh isolat memiliki motif 112RRQKRF117 dan satu
isolat 112RRRKRF117.

Kedelapan isolat memiliki kesamaan secara karakteristik, akan tetapi isolat
IDNSMP-4A memiliki keragaman karakteristik berbeda dilihat dari motif
cleavage site pada protein F. Semua isolat diperoleh dari pasar unggas dan tidak
menunjukkan gejala secara klinis, sehingga dapat diindikasikan bahwa virus
mampu menyebar dengan cepat di area pasar. Hasil penelitian bisa sebagai
informasi akurat menjelaskan bahwa perlu ada pengawasan lalu lintas sebagai
pencegahan dan pengendalian penyebaran penyakit infeksi VND di pasar unggas.
Kata kunci: Newcastle disease, patotipe molekuler, motif cleavage site, pasar
unggas

SUMMARY

ERIN KURNIANINGTYAS. Isolation and Molecular Pathotyping Determination
of Newcastle disease Virus : Field studies in area of East Java. Supervised by
SURACHMI SETIYANINGSIH and AGUSTIN INDRAWATI.
Newcastle disease is viral disease of birds which cause systemic infection
and death. Virus isolation have been reported in some areas of Indonesia and
endemic in some of developing countries. It have been reported 14 000 cases of
infected chickens in East Java, 2011. The purposes of this study were to assess the
presence and determine the molecular pathotype of Newcastle disease virus

(NDV) in some areas of East Java. Two hundred eighty nine of cloacal swab
samples were taken from birds (chickens and ducks) from backyards, farms,
collecting facilities, and live bird markets in the districts of Probolinggo,
Situbondo, and Bondowoso. Samples were pooled with each pool consisting of 57 individuals based on the type of bird and sampling locations to obtain a total
pool of 56 pools. Samples pool inoculated in SPF embryonated chicken eggs
followed by Real Time Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (rRTPCR) matrix (M). Positive samples of pools were tested again individually with
inoculated in SPF embryonated chicken eggs. Pathogenicity was determined by
rRT-PCR fusion (F), HI test, elution time, and F gene sequencing.
The results showed 6 of 56 pools were detected positive NDV. Six positive
pool consisting of 5 pools of chicken and 1 pool of duck. Isolation NDV had
obtained 8 isolates positive individually from pools. All isolates were taken from
poultry markets in Probolinggo and Bondowoso. Eight isolates were detected
positive individuals VND with matrix (M). The HI titer using Komarov ranging
between 3 – 4 log2, different with the antiserum B1 showed lower variation
ranged between 2 – 4 log2, so all isolates had higher affinity to Komarov than B1
sera and reacted positive by rRT-PCR F. Elution tests showed 7 isolates to
velogenic strain and 1 isolate to mesogenik. As an affirmation, nucleotide
sequence analysis confirmed the presence of multibasic amino acid motif at the
fusion protein cleavage site; seven isolates were found to have 112RRQKRF117
motif, and only one isolate has 112RRRKRF117 motif.

Eight isolates had same characteristics, however isolates IDNSMP-4A had
different characteristics based on the F protein cleavage site motif. All isolates
obtained from live bird markets and showed no clinical symptoms, so it can be
indicated that the virus is able to spread rapidly in the area market. The results of
the research can be as reference data that there needs to be monitoring the traffic
as the prevention and control of the spread NDV in the poultry market

Keywords: Cleavage site motif, molecular pathotyping, Newcastle disease, live
bird market

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


ISOLASI DAN DETERMINASI PATOTIPE MOLEKULER
VIRUS Newcastle disease : KAJIAN LAPANG DI WILAYAH
JAWA TIMUR

ERIN KURNIANINGTYAS

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Mikrobiologi Medik

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Drh. Sri Murtini, M.Si

Judul Tesis : Isolasi dan Determinasi Patotipe Molekuler Virus Newcastle

Disease : Kajian Lapang di Wilayah Jawa Timur
Nama
: Erin Kurnianingtyas
NIM
: B253140011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Drh Surachmi Setiyaningsih, Ph.D
Ketua

Dr Drh Agustin Indrawati, MBiomed
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Mikrobiologi Medik


Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr.Drh. Fachriyan H Pasaribu

Dr Ir Dahrul Syah, MSc. Agr

Tanggal Ujian: 26 Oktober 2016

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2015 – Maret
2016 ini ialah Newcastle disease dengan judul Isolasi dan Determinasi Patotipe
Molekuler Virus Newcastle disease: Kajian Lapang di Wilayah Jawa Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Drh. Surachmi Setiyaningsih
Ph.D dan Ibu Dr. Drh. Agustin Indrawati M.Biomed selaku pembimbing yang
telah banyak memberi saran dan masukan. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Drh. Fachriyan H Pasaribu selaku ketua

program studi Mikrobiologi Medik. Terimakasih saya sampaikan kepada
ayahanda Drs. Supena M.Pd dan ibunda Tusiyani S.Pd yang telah memberikan
do’a dan dukungannya. Terima kasih juga untuk adikku Farhan Lisyahril F yang
telah memberikan semangat yang sangat besar. Terima kasih kepada Drh. Maya
Shofa dan Agustin Eka Pujiono S.Si atas bantuan dan dukungannya. Terimakasih
kepada rekan-rekan MKM 2014 atas semangat dan kerjasamanya semoga
silaturahmi kita tetap terjalin. Ungkapan terima kasih juga saya sampaikan kepada
para staff Lab. Terpadu Mikrobiologi Medik FKH IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2016
Erin Kurnianingtyas

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
2
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Newcastle disease (ND)

Etiologi
Gejala Klinis
Diagnosa Laboratorium
Pengendalian Penyakit

3
3
3
8
10
10

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Analisis Data

11
11
11
12
14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi virus pada telur ayam berembrio
Patotipe secara molekuler
Karakter antigenisistas VND dengan uji Hemaglutination Inhibition (HI)
Karakter Virus dengan uji Elusi
Karakter virus berdasarkan motif cleavage site gen F
Deteksi VND di Wilayah Jawa Timur

14
14
15
16
17
18
21

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

22
22
22

DAFTAR PUSTAKA

23

RIWAYAT HIDUP

29

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Jenis motif cleavage site pada VND
Primer dan probe untuk mendeteksi VND dengan rRT-PCR
Hasil deteksi VND dengan rRT-PCR
Hasil isolasi dan identifikasi VND di wilayah Jawa Timur

6
13
16
19

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Struktur virus dilihat dari mikroskop elektron
Struktur virus ND
Struktur genom Newcastle disease
Diagram skematis glycoprotein F
Model perubahan bentuk HN dan memicu protein F
Siklus hidup VND
Gejala klinis dari penyakit ND pada unggas
Lokasi pengambilan sampel
Penampakan embrio secara makroskopis
Titer HI menggunakan antiserum standar Komarov dan B1
Sekuen asam amino dan nukleotida pada cleavage site protein F

4
4
5
5
7
8
9
11
15
17
18

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor peternakan unggas merupakan bidang yang banyak diminati di
Indonesia, terutama di pulau Jawa. Nilai ekonomis dan teknik dalam beternak
unggas yang relatif mudah, merupakan alasan masyarakat Indonesia secara umum
memilih untuk beternak unggas. Usaha peternakan ayam komersial saat ini telah
mencapai kemajuan yang signifikan, namun terdapat beberapa kendala yang
mengancam produktivitas, diantaranya yang paling fatal adalah serangan wabah
penyakit menular (Tarmudji 2005). Satu diantara penyakit yang paling umum
menyerang unggas adalah virus Newcastle disease.
Wabah Newcastle disease (ND) pertama kali terjadi di Jawa, Indonesia dan
Newcastle Upon Tyne, Inggris yang dilaporkan sekitar pertengahan tahun 1920
(Dortmans et al. 2011). Menurut The Center for Food Security and Public Health
(CFSPH) (2008) hanya dalam beberapa tahun kemudian virus ND ini mulai
menyebar hampir ke seluruh dunia dan menjadi endemik di beberapa negara. Data
yang dilaporkan office International Des Epizooties Zoonisatory Code (OIE)
(2015) dalam kejadian ND di Bali, Indonesia pada tahun 2007, sekitar 1500
hingga 8000 ekor ayam terinfeksi setiap bulannya, sedangkan kasus di Jawa
Timur dilaporkan sekitar 100 sampai 1500 ekor unggas terinfeksi tiap bulan dan
melonjak menjadi 14000 kasus pada Februari 2011. Kasus di Indonesia setiap
tahun selalu muncul namun tidak sebanding dengan laporan tentang isolat asal
Indonesia itu sendiri secara rinci dan akurat. Beberapa laporan mengenai isolat
yang berhasil dikoleksi di Indonesia yaitu, tahun 2009 isolat tersebut bernama
NDV/Bali-1/07 yang merupakan isolat strain velogeni dengan indeks
patogenisitas mean death time (MDT) 54 jam (Adi et al. 2011), tahun 2013 telah
ditemukan virus ND di daerah Tangerang (Emilia et al. 2015) dan Jakarta
(genotipe XIII) (Forrester et al. 2013), tahun 2014 di Aceh (Darniati 2014) dan
tahun 2015 ditemukan di beberapa kecamatan di Kabupaten Subang (Panus et al.
2015).
Virus ND tergolong dalam Avian paramyxovirus serotipe 1 (APMV-1), dan
terbagi menjadi kelas I dan kelas II. Kedua kelas tersebut memiliki jumlah
genotipe yang berbeda yaitu untuk kelas I hanya mempunyai 1 genotipe dan kelas
II dibagi menjadi 18 genotipe (genotipe I-XVIII) (Snoeck et al. 2013). Kelas I
hanya terdiri dari strain virus ND avirulen yang banyak ditemukan pada unggas
air. Sedangkan kelas II terdari dari strain virus ND yang avirulen dan virulen
(Cattoli et al. 2010). Kelompok kelas II banyak ditemukan pada ayam, burung
peliharaan, dan unggas air (Dortmans et al. 2011). RNA genom virus ini
mengandung enam gen utama yang mengkode protein struktural 3ʹ -NP-P-M-FHN-L-5ʹ dan dua protein non struktural W dan V (Gambar 3) (Chambers et al.
1986). Strain virus yang bersifat avirulen dan virulen dapat dibedakan dari sekuen
motif cleavage site pada protein F. Strain virus yang avirulen (lentogenik)
memiliki asam amino monobasic pada protein F yaitu 112 G-R/K-Q-G-R↓L117 dan
strain virus virulen (mesogenik dan velogenik) memiliki asam amino multibasic
pada protein F yaitu 112R/G/K-R-Q/K-K/R-R↓F117 (Dortmans et al. 2011).

2
Jawa timur merupakan wilayah kedua setelah Jawa Barat yang memiliki
populasi ternak unggas terbanyak, dengan total populasi 265 juta ekor (BPS
(2015). Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso, kabupaten di Jawa Timur,
secara umum memiliki sistem pemeliharaan unggas secara backyard atau dikenal
sebagai peternakan sektor 4 dengan penanganan biosecurity yang sangat lemah.
Ketiga kabupaten ini juga didominasi dengan pasar unggas hidup yang dinilai
kurang higienis. Kondisi pasar unggas hidup juga diperhitungkan kontribusinya
dalam penyebaran penyakit, karena hampir semua pasar unggas hidup di
Indonesia tidak memiliki sanitasi yang maksimal sehingga kemungkinan adanya
kontaminan cukup tinggi. Unggas yang diperdagangkan pada pasar unggas hidup
juga tidak didukung dengan informasi yang jelas tentang asal kedatangannya
maupun ada tidaknya infeksi penyakit pada unggas tersebut. Oleh karena itu,
unggas yang terinfeksi dalam pasar unggas maupun dari luar pasar mampu
mentransmisikan penyakit dengan mudah. Penelitian sebelumnya oleh Susta et al.
(2010) ditemukan beberapa isolat positif yang didapatkan dari pasar unggas hidup
dan peternakan dengan tidak menunjukkan gejala secara klinis.
Perumusan Masalah
Data OIE (2015) menyatakan bahwa Indonesia masih belum terbebas dari
serangan VND. Beberapa daerah di Indonesia khususnya Jawa Timur minim
informasi rinci dan akurat mengenai identitas dan karakter virus ND ini. Deteksi
dan isolasi virus perlu dilakukan untuk mengetahui virus yang bersirkulasi di
lapangan menggunakan teknologi yang sensitif dan spesifik, selain itu diperlukan
karakterisasi virus untuk mengetahui keragaman dan sifat patogenisitasnya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji karakter VND yang
bersirkulasi di beberapa wilayah kabupaten Probolinggo, Situbondo, Bondowoso.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi, mengisolasi serta
mengidentifikasi patotipe VND secara molekuler di tiga kabupaten tersebut.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan data referensi tentang
karakter VND yang bersirkulasi di beberapa wilayah kabupaten Probolinggo,
Situbondo, dan Bondowoso sebagai masukan bagi pemerintah setempat dalam
mengatur sistem pemeliharaan dan sistem pemasaran sebagai pengendalian
penyebaran penyakit yang efektif.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan serangkaian kegiatan yaitu koleksi sampel swab
kloaka dari beberapa jenis unggas (ayam kampung, ayam bangkok, bebek, entok,
ayam broiler, dan ayam arab) yang diambil dari beberapa lokasi di kabupaten
Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso, pooling sampel usapan, isolasi VND
pada telur berembrio (TAB) spesific pathogen free (SPF), Uji haemaglutination
(HA) sebagai konfirmasi keberadaan virus, deteksi VND dengan rRT-PCR

3
matrix, dan karakterisasi VND dengan uji haemaglutination inhibition (HI), rRTPCR fusion, serta uji elusi.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Newcastle disease (ND)
Newcastle disease (ND) merupakan penyakit infeksius yang banyak
ditemukan di wilayah peternakan. Penyakit ini menyebar sangat luas hampir
diseluruh dunia dan berdampak pada sektor ekonomi dan berakibat terjadi
penurunan dalam industri peternakan dalam hal ini usaha unggas (Dortmans
2011). Virus Newcastle disease, sebagai agen penyebab, mampu menginfeksi
lebih dari 240 spesies unggas yang penyebarannya dengan berinteraksi langsung
antar unggas yang terinfeksi dengan unggas yang sehat (CFSPH 2008).
Wabah pertama yang disebabkan oleh virus ND terjadi di Jawa, Indonesia
dan Newcastle Upon Tyne, Inggris yang dilaporkan sekitar pertengahan tahun
1920 (Dortmans et al. 2011). Beberapa tahun kemudian virus ND ini mulai
menyebar hampir ke seluruh dunia dan menjadi endemik di beberapa negara
(CFSPH 2008).
Etiologi
Virus Newcastle disease
Newcastle disease (ND) disebabkan oleh virus spesifik dari Avian
paramyxovirus tipe I (APMV-1), satu serotipe dari genus Avulavirus yang
termasuk dalam subfamili Paramyxovirinae, famili Paramyxoviridae.
Paramyxovirus diisolasi dari spesies unggas yang telah diklasifikasikan dengan
uji serologis dan memiliki sembilan serotipe diantaranya APMV-1 hingga
APMV-9. Selain itu, terdapat isolat yang telah diduga dikelompokkan menjadi
golongan APMV-10 hingga APMV-13 (Terregino et al. 2013; Yamamoto et al.
2015; Goraichuk et al. 2016) dan untuk virus ND merupakan golongan APMV-1
(Alexander 2000). Strain virus ND memiliki perbedaan gejala klinis yang
dihasilkan pada ayam yang terinfeksi.
Patotipe VND terbagi berdasarkan gejala klinis pada unggas yaitu
velogenik, mesogenik, lentogenik, dan asymptomatic enteric. Velogenik
menyebabkan kematian cukup tinggi pada unggas. Patotipe velogenik dibagi
menjadi dua yaitu viscerotropic velogenic Newcastle disease (vvND) yang
mengakibatkan lesi hemoragi pada saluran pencernaan serta neurotropic velogenic
Newcastle disease (nvND) yang mengakibatkan gangguan saraf (Miller dan Koch
2013).
Sruktur dan genom virus
Virus ND merupakan virus RNA dengan amplop berupa membran lipid
bilayer yang dibentuk dari membran sel inang. VND berutas tunggal, berpolaritas
negatif dan memiliki genom tidak bersegmen. Hasil penelitian Yusoff dan Tan
(2001) menunjukkan bahwa virus ini berdiameter berkisar antara 100 hingga 500
nm (Gambar 1a). Terdapat 2 glycoprotein yang berada di daerah amplop

4
diantaranya haemaglutinin neuraminidase (HN) dan protein fusion (F). Protein ini
memiliki interaksi dalam infektivitas dan virulensi (Stone-Hulslander dan
Morrison 1997). Lipid membran virion secara keseluruhan terdapat protein matrix
(M). Protein M dipercayai mampu berinteraksi dengan nucleocapsid (NP) yang
merakit morfologi herringbone yang dapat dilihat ketika membran virus rusak
(Gambar 1b) (Yusoff dan Tan 2001).

Gambar 1 Struktur virus dilihat dari mikroskop elektron.
A. Virus ND utuh dari cairan alantois, dilihat melalui mikroskop elektron.
B. Bagian virus ND yang pecah, menunjukkan adanya nukleokapsid (Yusoff dan
Tan 2001).

Gambar 2 Struktur virus ND (Rout 2007)
Permukaan dari partikel VND mengandung dua glikoprotein fungsional
diantaranya protein F (fusion) dan hemagglutinin neuraminidase (HN) protein.
Secara umum, membran glikoprotein mendorong proses assembly dan budding
dari amplop virus RNA (Simons dan Garoff 1980). Glikoprotein F berfungsi
dalam perantara fusi dari virus ke sel dan sel ke sel. Gen F memiliki panjang
nukleotida 1792 yang mengkode 553 asam amino (aa) (Rout 2007).
Hemaglutinin-neuraminidase (HN) adalah glikoprotein multifungsi yang
bermain peran utama dalam infeksi virus. Protein ini berfungsi sebagai attachment
virus pada asam sialik yang dimiliki oleh reseptor inang dan mendorong aktifitas
fusi protein F (de Leeuw et al. 2005). Gen HN memiliki panjang nukleotida
sebesar 1998 yang mengkode 577 aa.

5
Gen Nucleocapsid (NP) dari VND memiliki panjang nukleotida 1747 (Rout
2007) yang mengkode 489 aa dengan berat molekul 54 kDa. Protein NP saling
berhubungan dengan protein P dan L selama proses transkripsi dan replikasi.
Protein NP juga berinteraksi dengan protein M pada saat proses perakitan virus.
Protein L adalah protein struktural terbesar yang mengkode 2204 aa dengan berat
molekul sekitar 249 kDa. Selain itu terdapat protein V dan W yang merupakan
protein nonstruktural. Protein L dalam hal ini memiliki komponen utama dari
RNA-dependent RNA polymerase (RDRP). (Yusoff dan Tan 2001).
Virus ND dikelompokkan menjadi 2 kelas berdasarkan kandungan
nukleotida genomnya yaitu : kelas I terdiri dari 15198 nukleotida dan kelas II
terdiri dari 15186 atau 15192 nukleotida. Kelompok kelas II yang banyak
ditemukan pada ayam, burung peliharaan, dan unggas air (Dortmans et al. 2011).
genom VND mengandung enam gen utama yang mengkode protein struktural 3ʹ NP-P-M-F-HN-L-5ʹ dan dua protein non struktural W dan V (Chambers et al.
1986).

Gambar 3 Struktur genom Newcastle disease (Huang et al. 2003)
Virulensi dan Patogenisitas
Urutan aa pada tempat pembelahan protein F telah terbukti sebagai unsur
utama virulensi dari NDV tersebut (Ogasawara et al. 1992). Pembelahan pada
prekursor protein F0 menjadi F1 dan F2 oleh protease sel inang sangat penting
bagi virus progeny untuk menjadi infektif (Garten et al. 1980). Virus lentogenik
memiliki aa monobasic pada C-terminus dari protein F2 dan leusin di N-terminus
protein F1, dan pembelahannya secara ekstraseluler oleh trypsin-like protease
yang ditemukan pada saluran pernafasan dan usus. Strain mesogenik dan
velogenik memiliki motif asam amino multi-basic di C-terminus protein F2 dan
fenilalanin pada N-terminus dari protein F1, dapat membelah secara intraseluler
oleh ubiquitous furin-like protease (Gambar 4) (Ogasawara et al. 1992).

Gambar 4 Diagram skematis glycoprotein F (Yusoff dan Tan 2001)
Penentu virulensi dari VND bisa dilihat dari aa pada motif cleavage site
pada protein F. Strain virus yang avirulen (lentogenik) memiliki asam amino
monobasic pada protein F yaitu 112 G-R/K-Q-G-R↓L117 dan strain virus virulen
(mesogenik dan velogenik) memiliki asam amino multibasic pada protein F yaitu
112
R/G/K-R-Q/K-K/R-R↓F117 (Dortmans et al. 2011).

6
Tabel 1 Jenis motif cleavage site pada VND
Tipe Patogenisitas
Motif cleavage site
G-K-Q-G-R-L
E-K-Q-G-R-L
Avirulen
G-R-Q-G-R-L
G-R-Q-A-R-L
R-R-Q-K-R-F
R-R-Q-R-R-F
K-R-Q-K-R-F
Virulen
R-R-R-K-R-F
R-R-K-K-R-F
K-R-Q-R-R-F
G-R-Q-K-R-F

Referensi
Farkas et al. (2009),
Yu et al. (2001)

Farkas et al. (2009),
Yu et al. (2001),
Romer-Oberdorfer et al.
(2006),
Heiden S (2014),
Miller et al. (2015)

Protein HN juga diduga sebagai penentu virulensi dari VND, selain
berfungsi untuk attachment pada asam sialik membran sel inang, protein HN
sebagai mediasi terjadinya fusi (Takimoto et al. 2002). Perubahan aa protein HN
atau konstruksi rekombinan HN, beberapa penelitian menunjukkan adanya efek
dari fungsi HN pada patogenisitasnya (de Leeuw et al. 2005). Mutasi dari protein
ini menurut (McGinnes dan Morrison 1994) berefek pada aktifitas penempelan
dan aktifitas pada saat proses fusi. Sebaliknya, terdapat penelitian dengan
menggunakan metode penelitian yang sama tetapi menggunakan strain NDV yang
berbeda, menunjukkan bahwa protein HN tidak memiliki efek pada virulensi
(Aldous et al. 2004).
Replikasi VND
Tahap awal infeksi VND melalui proses protein attachment dalam hal ini
protein HN dengan reseptor permukaan sel yaitu asam sialik. Ikatan reseptor
mempengaruhi perubahan bentuk HN dan F menjadi komplek HN-F. Perubahan
konformasi protein HN kemudian memberikan sinyal pada protein F untuk
memulai proses fusi. Peptida fusi masuk ke dalam membran sel inang (target)
kemudian membentuk triple-helix coiled-coil dengan menggabungkan dua
membran (Gambar 5) (Takimoto et al. 2002). Amplop virus akan melebur (fusi)
dengan membran plasma inang yang diperantarai oleh protein F (Dimitrov 2004).
Protein HN juga memiliki aktivitas enzim neuraminidase. Fungsi neuraminidase
dalam replikasi virus belum diketahui secara pasti, akan tetapi memiliki fungsi
melepaskan reseptor virus dari sel inang untuk mencegah terjadinya reattachment
dan aggregation (Alexander 2016). Matrix-nucleocapsid akan mengalami
disruption pada saat proses fusi berlangsung, kemudian nucleocapsid virus akan
dilepaskan di sitoplasma (Rout 2007).

7

Gambar 5 Model perubahan bentuk HN dan memicu protein F (Takimoto et al.
2002)
Nukleokapsid yang telah berada di sitoplasma, kemudian komplek RDRP
(L) pada partikel virus mulai mentranskripsi (-) sense genom RNA menjadi (+)
sense RNA. mRNA ditranslasi menjadi beberapa protein virus, replikasi terjadi
pada (-) sense genom dan menghasilkan antigenom (+) RNA yang akan dijadikan
template untuk mensintesis genom (-) RNA (Gambar 6) (Miller dan Koch 2013).
Perakitan inti nukleokapsid tersebut terjadi di sitoplasma sel inang. Glikoprotein F
dan HN disintesis pada retikulum endoplasma dan terjadi pembelahan protein HN
serta F terjadi di aparatus golgi. Proses pembelahan protein F merupakan titik
penting dalam siklus hidup virus yang berpengaruh pada patogenesis dan virulensi
virus (Smith et al. 2009). Protein F dan HN yang telah matang kemudian dibawa
ke permukaan sel. Protein M berperan membawa core RNP di membran plasma
untuk membentuk partikel virion budding. Cytoplasmic tails dari glikoprotein F
dan HN saling berhubungan pada protein M untuk membantu proses budding
pada virion yang matang (Rout 2007).

8

Gambar 6 Siklus hidup VND (Rout 2007)
Transmisi
Transmisi virus terjadi melalui kontak langsung antara unggas sehat dan
unggas yang terinfeksi maupun pada benda-benda yang terkontaminasi. Rute
transmisi bisa melalui feses yang terdapat agen infeksi atau inhalasi droplet yang
mengandung virus. Replikasi virus yang terjadi di saluran pernafasan pada unggas
yang terinfeksi diikuti dengan adanya virus selama nasal discharge. Replikasi
yang terjadi pada saluran pernafasan unggas yang baru terinfeksi memiliki
potensial menyebarkan virus dengan mudah dalam satu kandang (Hines dan
Miller 2012).
Pasar unggas hidup tradisional dapat berkontribusi sebagai sumber dan
penyebaran virus. Unggas hidup yang dijual di pasar memiliki resiko menularkan
atau tertular, dilihat dari kondisi pasar tradisional yang cenderung tidak memiliki
sanitasi yang maksimal. Selain itu unggas liar juga mampu mentransmisikan NDV
melalui kontak langsung, dan makanan atau minuman yang terkontaminasi (Hines
dan Miller 2012).
Masa Inkubasi
Masa inkubasi VND pada unggas sangat bervariasi tergantung pada
beberapa faktor. VND memiliki kisaran masa inkubasi sekitar tiga hingga enam
hari berdasarkan imunitas inang, jumlah, dan jenis patotipe virus yang menyerang
(Kapczynski et al. 2013). Kondisi lingkungan, stres pada unggas, dan rute
transmisi virus juga diperhitungkan sebagai penentu panjangnya masa inkubasi
(Hines dan Miller 2012).
Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh VND ini bergantung pada patotipe
virus, umur dan jenis unggas, imun status, kondisi lingkungan, jumlah, dan rute
transmisi virus tersebut. Infeksi lentogenik mampu menyebar pada daerah saluran
pencernaan dan saluran pencernaan unggas dewasa. Ketika virus bereplikasi

9
dalam jumlah yang sedikit di daerah saluran pencernaan maka infeksi virus ini
disebut Asymptomatic enteric yang tidak menunjukkan gejala klinis (Hines dan
Miller 2012). LoVND disebut juga lentogenik VND dengan tidak menunjukkan
gejala klinis pada unggas dewasa, akan tetapi mengakibatkan penyakit pernafasan

Gambar 7 Gejala klinis dari penyakit ND pada unggas
a. warna telur memudar b. Hemoragi pada area mata c. Otot sayap dan leher mulai
kaku dan tremor pada sayap (Capua dan Terregino 2011; Anonim 2012; [CFSPH]
2016).
yang cukup serius pada unggas muda. Virus lentogenik yang diinfeksikan pada
day old chicks (DOC) umur satu hingga tujuh hari akan menunjukkan penurunan
nafsu makan serta gangguan pernafasan (Capua dan Terregino 2011).
Virus mesogenik dapat menyebabkan infeksi secara sistemik dan gangguan
sistem pernafasan. Penurunan produksi telur dan perubahan pigmen telur (Gambar
7) bisa disebabkan oleh virus mesogenik. Gangguan pada sistem saraf sangat
jarang terjadi, akan tetapi virus ini mampu mengakibatkan kematian (Hines dan
Miller 2012).
Velogenik VND dapat menyebabkan infeksi sistemik dan morbiditas hingga
mortalitas dalam jumlah besar. Velogenik VND terbagi menjadi dua yaitu
velogenic viscerotropic ND (vvND) dan velogenic neurotropic (vnND). vvND
dapat menyebabkan infeksi akut pada mukosa gastrointestinal sehingga
menghasilkan lesi hemoragik dan kematian. Gejala klinis yang ditimbulkan adalah
lesu, meningkatnya laju pernafasan, diare dengan feses berwarna hijau, kejang
otot, kelumpuhan dan mortalitas dapat terjadi hingga mencapai 100 % (Hines dan
Miller 2012).
Infeksi primer pada vnND dimulai dari gangguan pernafasan yang
kemudian diikuti dengan gangguan pada sistem saraf pusat. Penurunan produksi
telur bisa terjadi pada infeksi vnND ini. Morbiditas bisa terjadi hingga mencapai

10
100 % dan mortilitas dapat mencapai 50 %, akan tetapi pada unggas muda mampu
mencapai 90 % (Capua dan Terregino 2011; Hines dan Miller 2012).
Diagnosa Laboratorium
Diagnosa laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui konfirmasi dan
patotipe dari VND tersebut. Beberapa teknik yang banyak digunakan adalah
isolasi virus, HI, Elisa, PCR, sekuensing, dan nilai indeks patogenisitas. Isolasi
virus biasanya berasal dari usapan kloaka, trakea, dan feses pada unggas yang
masih hidup atau organ dari unggas yang telah mati (OIE 2012).
Teknik serologi yang paling umum digunakan adalah uji HI dan Enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) untuk menentukan titer antibodi yang
berasal dari respon imunitas tubuh setelah infeksi maupun vaksinasi. ELISA
memiliki beberapa metode dalam mendeteksi antibodi VND yaitu indirect,
sandwich, dan competitive ELISA menggunakan Mouse monoclonal antibodies
(MAbs) (OIE 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Phan et al. (2013)
menggunakan uji HI dan C-ELISA dengan menunjukkan bahwa C-ELISA
memiliki tingkat kesensitifan lebih tinggi daripada uji HI.
Patogenisitas virus dapat dilihat melalui beberapa metode yang dilakukan
yaitu mean death time (MDT), intravenous pathogenicity index (IVPI), dan
intracerebral pathogenicity index (ICPI) (Hines dan Miller 2012). Sekuensing
dapat digunakan yang kemudian untuk menulusuri asam amino dari protein F dan
HN sebagai penentu virulensi dari VND tersebut (Hu et al. 2010; Dortmans
2011).
Teknik real-time reverse transcriptase PCR (rRT-PCR) sudah banyak
digunakan untuk mendeteksi NDV. Pengujiannya berdasarkan flouresen yang
merupakan perangkat rRT-PCR untuk mendeteksi ribonuclease acid (RNA),
deoxyribunucleic acid (DNA), complementary DNA (cDNA). rRT-PCR lebih
menguntungkan karena mengurangi resiko kontaminasi silang, lebih cepat, dan
ramah lingkungan (Hoffmann et al. 2009). Teknik ini menggunakan probe
spesifik yang berguna dalam peningkatan sensitifitas dibandingkan dengan
konvensional PCR.
Pengendalian Penyakit
VND merupakan penyakit infeksius pada unggas yang berpotensi
menurunkan nilai secara ekonomi pada industri peternakan unggas. Wabah VND
mampu menyebar dengan cepat dan mengakibatkan mortalitas hingga mencapai
50 – 100 % (Dortmans 2011). Pengendalian VND dilakukan dengan pemberian
vaksin pada unggas dan kontrol biosekuriti.
Terdapat tiga tipe vaksin untuk VND yaitu live lentogenic, live mesogenic,
dan vaksin inaktif. Virus live lentogenic yang banyak digunakan yaitu HitchnerB1, LaSota, V4, NDW, I2, sedangkan virus live mesogenic yaitu Roakin,
Mukteswar, dan Komarov. Vaksin rekombinan juga banyak dikembangkan
dengan mengandalkan dua protein yang paling berpengaruh dalam sifat
patogenesis yaitu protein F dan protein HN (Alexander et al. 2004; OIE 2012).
Biosekuriti penting dilakukan untuk mencegah penyebaran dari VND
tersebut. Menurut (Alexander et al. 2004) peternakan unggas harus dipisahkan
dari unggas pekarangan, pembesaran unggas juga harus dijauhkan dengan

11
peternakan unggas, pemisahan unggas yang berbeda spesies, meminimalisasi
pergerakan keluar masuk peternakan, dan semua alat yang akan digunakan harus
dilakukan penyemprotan disinfektan sebelum digunakan.
Menurut FAO (2015) pengelolaan pasar unggas hidup juga perlu diterapkan
untuk meminimalisir penyebaran penyakit. Pengelolaan pasar unggas diantaranya
memisahkan lokasi pasar dengan area publik, memisahkan dengan unggas liar,
tidak mencampur semua spesies yang berbeda dalam satu kandang, pembersihan
dan desinfektan pada truk, kandang, dan alat-alat yang digunakan sebelum keluar
maupun masuk pasar, program kontrol untuk serangga dan rodensia, serta semua
pasar unggas harus mendapatkan pelaksanaan standar biosekuriti dari dokter
hewan dan kesehatan masyarakat.

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan sampel penelitian dilakukan di pekarangan, pengepul,
peternak, dan pasar unggas di wilayah Kabupaten Probolinggo, Situbondo, dan
Bondowoso di Provinsi Jawa Timur (Gambar 8). Penelitian ini dilaksanakan di
bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet
Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Gambar 8 Lokasi pengambilan sampel
Kabupaten Probolinggo : 1. Semampir
2. Gending
Kabupaten Situbondo : 1. Bungatan (Paling Barat)
2. Asembagus (Paling timur)
Kabupaten Bondowoso : 1. Prajekan
2. Wonosari
3. Grujugan

12
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan adalah TAB specific pathogen free (SPF)
berumur sembilan hari, penisilin, streptomisin, dan alkohol. Red blood cell (RBC)
ayam, phosphat buffer saline (PBS), cotton swab dan media transport brain heart
infusion broth (BHIB). Peralatan yang digunakan yaitu mikropipet, mikrotip, spuit
1 cc, spuit 5 cc, plat mikrotitrasi, freezer, refrigerator, sentrifus, vortex, inkubator,
dan biosafety cabinet (BSC).
Metode Penelitian
Pengambilan sampel usap kloaka
Sampel diambil dari 289 ekor unggas yang tidak menunjukkan gejala klinis
yang berasal dari pekarangan, pedagang di pasar unggas hidup, peternakan
komersial, dan pengepul. Sampel usapan kloaka diambil dari 129 ayam kampung,
77 ayam pedaging, 40 ayam bangkok, 10 ayam arab, empat ekor ayam petelur,
dua ekor ayam ketawa, 20 itik, dan tujuh ekor entok yang berasal dari pekarangan,
peternakan, pengepul, dan pasar unggas.
Sampel ditransportasikan dalam BHIB dengan menjaga rantai dingin (antara
4–8 °C) dan dibawa ke laboratorium kemudian disimpan di frezeer (-20 °C)
sampai saat akan dilakukan pengujian. Beberapa sampel (5–7 individu) di-pool
berdasarkan tempat pengambilan dan jenis unggas, masing- masing 100 µl tiap
individu.
Isolasi virus pada telur ayam berembrio
Isolasi virus dilakukan dengan menginokulasikan sampel pool yang telah
ditambahkan 10 000 IU/ml penisilin dan 10 mg/ml streptomisin pada TAB SPF
berumur 9 hari melalui ruang alantois. Inkubasi TAB dilakukan selama 4 hingga 7
hari pada suhu 37 °C (OIE 2012). Pengamatan dilakukan setiap 8 jam dan TAB
yang mati disimpan di dalam refrigerator. Cairan alantois dipanen dan diuji ada
tidaknya aktivitas virus dengan uji HA dan rRT-PCR sebagai peneguhan bahwa
virus yang terisolasi adalah VND. Sampel pool yang terdeteksi positif dengan
PCR selanjutnya diinokulasi kembali secara individu.
Uji Haemagglutination (HA) (OIE 2012)
Larutan PBS sebanyak 25 µl dimasukkan ke dalam setiap sumuran.
Sumuran pertama diisi 25 µl sampel cairan alantois yang telah dipanen. Kemudian
dilakukan pengenceran hingga sumuran ke-11 dan ditambahkan kembali PBS 25
µl pada setiap sumuran. Sel darah merah (SDM) 1 % sebanyak 25 µl ditambahkan
pada setiap sumuran. Selanjutnya dihomogenkan secara perlahan yang kemudian
diinkubasi selama 40 menit pada suhu ruang. Hasil positif ditunjukkan dengan
adanya aglutinasi dari sel darah merah pada dasar sumuran plat yang terlihat
seperti pasir.
Uji Haemagglutination Inhibition (HI) (OIE 2012)
Sebanyak 25 µl PBS dimasukkan ke dalam tiap sumuran plat mikrotiter.
Sumuran pertama dimasukkan 25 µl serum standar. Kemudian dilakukan
pengenceran menggunakan pipet multi-channel. Selanjutnya ditambahkan cairan
alantois 4 HAU ke setiap sumuran sebanyak 25 µl dan di inkubasi selama 30

13
menit. Suspensi sel darah merah 1 % sebanyak 25 µl ditambahkan ke dalam
semua sumuran dan digoyang secara perlahan yang selanjutnya ditempatkan pada
suhu ruang. Reaksi dibaca setelah 30 sampai 60 menit, hasil positif ditunjukkan
dengan terbentuknya tear drop pada saat plat dimiringkan.
Isolasi RNA
Isolasi RNA virus dari sampel usap kloaka menggunakan High Pure Viral
Nucleic Acid Kit (Roche ®). Sampel usap kloaka sebanyak 200 µl terlebih dahulu
dipersiapkan pada mikrotube 2 ml yang kemudian ditambahkan working solution
200 µl dan 50 µl Proteinase K. Sampel diinkubasi pada 72 °C selama 10 menit
dan dilanjutkan dengan penambahan 100 µl binding buffer, kemudian
dihomogenkan. Suspensi dipindahkan pada High pure filter tube kemudian
disentrifugasi selama 1 menit 8000 g. Supernatan dibuang, kemudian
ditambahkan 500 µl inhibitor removal buffer, dan disentrifugasi selama 1 menit
8000 g. Supernatan dibuang, kemudian ditambahkan 450 µl wash buffer dan
disentrifugasi selama 1 menit 8000 g (supernatan dibuang dan ulangi tahap
berikut). Supernatan dibuang kemudian disentrifugasi selama 10 detik 13000 g.
Filter tube dipindahkan ke mikrotube baru dan ditambahkan 50 µl elution buffer
selanjutnya di inkubasi selama 10 menit. Tahap terakhir dilakukan sentrifugasi
8000 g selama 1 menit. RNA yang berhasil diisolasi kemudian disimpan dalam
freezer -80 °C sampai saat akan dilakukan pengujian.
Uji Real-Time Reverse-Transcriptation Polymerase Chain Reaction (rRTPCR)
Amplifikasi rRT-PCR menggunakan Ag-Path ID TM One-Step RT-PCR kit
dari Ambion®. Primer dan probe yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 2.
Proses amplifikasi dibaca menggunakan perangkat Applied Biosystems 7500 RealTime PCR System.
Tabel 2 Primer dan probe untuk mendeteksi VND dengan rRT-PCR
Gen Target

Primer/probe
genom target

APMV-1 M
(Matriks)

M+4100 Forward
M+4169 Probe
M-4220 Reverse

5ʹAGTGATGTGCTCGGACCTTC-3ʹ
5ʹ FAM TTCTCTAGCAGTGGGACAGCCTGC [BHQ-3]ʹ
5ʹ CCTGAGGAGAGGCATTTGCTA-3ʹ

VND virulen
F (Fusion)

F+4829 Forward
F+4894 Probe
F+4939 Reverse

5ʹ GGTGAGTCTATCCGGARGATACAAG-3ʹ
5ʹ FAM AAGCGTTTCTGTCTCCTTCCTCCA [BHQ-3]ʹ
5ʹ AGCTGTTGCAACCCAAG-3ʹ

Sekuen

Uji Elusi
Uji elusi dilakukan menurut metode Ezeibe dan Ndip (2005), yaitu dengan
memasukkan 50 µl PBS dari sumuran 1 sampai 12. Sebanyak 50 µl VND
dimasukkan pada sumuran pertama, kemudian dilakukan homogenisasi sampai
sumuran ke-11 dan sumuran ke-12 sebagai kontrol dengan menambahkan PBS.
Sebanyak 50 µl eritrosit ayam 0.6 % dimasukkan ke dalam setiap sumuran,
digoyang perlahan dan inkubasi pada suhu 25 °C. Perhitungan waktu elusi dimulai
setelah terjadi aglutinasi sempurna (berkisar 30 hingga 40 menit). Pengamatan

Referensi
Wise et
al.
(2004)
Pedersen
(2005)

14
waktu elusi dilakukan pada sumuran terakhir dengan aglutinasi sempurna, sampai
virus mulai melepaskan eritrosit ditunjukkan dengan munculnya tears drop.
Sekuensing
Isolat positif berdasarkan rRT-PCR diamplifikasi menggunakan primer
forward 4100 ʹ5-AGTGATGTGCTCGGACCTTC-3ʹ (Wise et al. 2004) dan
reverse 5090 ʹ5-TCATTAACAAAYTGCTGCATCTTCCCWAC-3ʹ (Kim et al.
2007). Produk PCR dielektroforesis pada gel agarosa 1 % pada tegangan 120 V
selama 35 menit. Pita amplikon berada pada 990 base pair (bp) dan dipurifikasi
dengan QIAquick gel extraction kit (Qiagen). Sekuensing dilakukan
menggunakan BigDye® Terminator v3.1 cycle sequencing kit (ThermoFisher
Scientific). Analisis sekuen dilakukan dengan program Bioedit 7.2.5.
Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisa secara deskriptif
berdasarkan uji HI, hasil rRT-PCR dan motif cleavage site.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi virus pada telur ayam berembrio
Sampel usap kloaka sebanyak 289 dijadikan satu pool sesuai dengan tempat
pengambilan dan jenis unggas yang dalam satu pool terdiri dari 5–7 sampel
individu. Terdapat 56 sampel pool yang diinokulasikan ke dalam TAB SPF,
kemudian didapatkan enam sampel pool yang mengakibatkan kematian pada
TAB. Embrio yang mengalami kematian memiliki warna kemerahan diseluruh
tubuhnya, berbeda pada embrio yang normal tanpa adanya infeksi. Menurut
Khorajiya et al. (2015) embrio yang diinfeksikan dengan isolat virus ND, akan
menimbulkan gross lesi dan hemoragi hampir diseluruh permukaan tubuh,
terutama pada bagian kepala. Pertumbuhan VND virulen akan merusak sel – sel
epitel, makrofag, endotel, dan akan menyebar ke seluruh bagian tubuh embrio
sehingga mengakibatkan hemoragi pada tubuh embrio tersebut dan menyebabkan
kematian embrio (Wibowo et al. 2012).
Waktu kematian embrio juga bisa digunakan dalam penentuan virulensi dari
VND tersebut dengan uji Mean Death Time. Menurut Cattoli et al. (2011)
kematian embrio kurang dari 60 jam tergolong ke dalam virus galur velogenik,
sedangkan embrio yang masih hidup lebih dari 90 jam termasuk ke dalam virus
lentogenik dan kematian embrio yang terjadi dalam rentang 60 – 90 jam
dinyatakan ke dalam galur mesogenik.

15

Gambar 9 Penampakan embrio secara makroskopis
Embrio yang mengalami kematian (a) Embrio normal (b)
Rentang waktu kematian embrio pada penelitian ini berkisar antara 40
hingga 94 jam yang mengindikasikan bahwa virus tergolong ke dalam virus galur
ganas (mesogenik atau velogenik). Secara makroskopis, hampir semua embrio
yang mati memiliki kondisi munculnya kemerahan atau hemoragi di seluruh
tubuhnya (Gambar 9), hal ini sesuai dengan penelitian Darniati (2014) bahwa
kisaran waktu kematian antara 45 hingga 70 jam memperlihatkan perubahan
embrio yang lebih parah daripada pada embrio yang mati pada waktu 125 jam.
Etriwati (2015) menemukan bahwa infeksi VND isolat lapang mampu
menyebar secara sistemik pada organ interna ayam. Gejala klinis yang muncul
berupa depresi, diare hijau-keputihan, penurunan nafsu makan, dan kematian.
Hemoragi dan edema ditemukan pada usus dan organ lainnya. Penyebaran VND
yang sangat tinggi pada organ interna ditemukan pada saluran pernafasan,
pencernaan, organ syaraf hingga otak.
Cairan alantois dari keenam sampel pool dikoleksi dan dideteksi
menggunakan metode rRT-PCR gen M dengan hasil enam sampel pool tersebut
positif amplifikasi. Sampel pool yang terdeteksi positif dengan PCR selanjutnya
diinokulasi kembali secara individu dan didapatkan hasil tujuh sampel individu
positif mengakibatkan kematian pada TAB. Akan tetapi pada hasil uji HA, isolat
IDNSMP-3A menunjukkan negatif HA dengan kematian embrio dan IDNSMP4A positif HA namun embrio tidak mati, sehingga dilakukan inokulasi kembali
pada TAB. Total akhir isolat yang didapatkan berdasarkan positif HA dan
kematian embrio adalah delapan isolat.
Patotipe secara molekuler
Penentuan patotipe dilakukan pada delapan isolat individu positif VND M
dengan menggunakan rRT-PCR gen F (Tabel 3). Amplifikasi seluruh isolat
tersebut dengan menggunakan set primer dan probe gen F (Wise et al. 2004)
menunjukkan hasil positif sehingga kedelapan isolat tersebut termasuk dalam
galur ganas VND. Primer dan probe gen F didesain strain virulen dari APMV-1
berdasarkan pada posisi cleavage site gen F (Creelan et al. 2002).

16
Tabel 3 Hasil deteksi VND dengan rRT-PCR
Kota/Kab

Bondowoso

Kec

Nama isolat

Prajekan

IDNPRJ-2A
IDNWON-4A
IDNWON-5A
IDNDDP-1A
IDNDDP-2B

Pasar
Pasar
Pasar
Pasar
Pasar

IDNSMP-5B
IDNSMP-3A
IDNSMP-4A

Pasar
Pasar
Pasar

Wonosari
Grujugan

Probolinggo
*

CT

Semampir

Lokasi

Ayam kampung
Ayam kampung
Ayam kampung
Ayam kampung
Ayam kampung

Positif
M
(CT)*
26.79
19.33
26.02
27.92
19.93

Positif
F
(CT)
33.75
29.61
36.39
33.15
33.99

Ayam kampung
Bebek
Bebek

25.84
20.16
18.69

34.86
33.60
29.32

Unggas

:

Nilai Cycle Threshold yang muncul secara otomatis pada mesin rRT-PCR. Nilai > 35 dianggap
positif dan Nilai 0 dianggap negatif (Farkas et al. 2009).

Metode diagnostik yang banyak digunakan dan berkembang cepat yaitu
metode rRT-PCR. rRT-PCR merupakan metode cepat yang memberikan hasil
dengan sensitifitas tinggi (Wise et al. 2004). Secara umum penentuan patotipe
secara molekuler pada VND dilakukan pada gen F, karena pada gen ini terdapat
prekursor cleavage yang berperan pada sifat patogenisitas dari VND tersebut.
Akan tetapi kegagalan deteksi juga bisa terjadi karena tidak adanya kecocokan
antara primer atau probe dengan template cDNA sampel (Cattoli et al. 2011).
Selain itu, keragaman genetik dan perubahan asam amino (subtitusi atau mutasi)
dapat menyebabkan kegagalan deteksi yang disebabkan oleh primer dan probe
yang telah di desain tidak terdapat kecocokan dengan template sampel.
Hasil positif delapan isolat tersebut selanjutnya dilakukan pengujian HI dan
sekuensing untuk mengetahui konfirmasi secara pasti bahwa virus tersebut
bersifat galur ganas sesuai dengan hasil positif rRT-PCR menggunakan gen F.
Karakter antigenisistas VND dengan uji Hemaglutination Inhibition (HI)
Uji HI biasa dilakukan untuk mengidentifikasi suatu jenis virus dengan
menggunakan antiserum spesifik terhadap virus tersebut, sehingga mampu
menentukan karakter virus tersebut. Uji HI ini menggunakan serum B1 dan
Komarov yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan afinitas antara serum dan
isolat virus. Hasil yang diperoleh dari uji dengan antiserum Komarov berkisar
antara 3 Log 2 hingga 4 Log 2, sedangkan untuk antiserum B1 menunjukkan
variasi afinitas lebih rendah yaitu berkisar antara 2 Log 2 hingga 4 Log 2 (Gambar
10).

17

Titer Antibodi (Log 2)

6
5
4
3
2

HI Serum Komarov

1

HI Serum B1

0

Isolat Virus

Gambar 10 Titer HI menggunakan antiserum standar Komarov dan B1
Uji HI dengan menggunakan antiserum B1 menunjukkan reaksi yang lebih
beragam daripada antiserum Komarov, akan tetapi afinitas semua isolat bereaksi
lebih tinggi pada antiserum Komarov. Afinitas lebih tinggi pada antiserum
Komarov sesuai dengan hasil positif pada perlakuan rRT-PCR dengan
menggunakan primer Fusion yang mengindikasikan semua isolat termasuk dalam
galur ganas. Isolat dinyatakan jika titer HI menunjukkan 4 log 2 pada 4 HAU atau
3 log 2 pada 8 HAU. Uji HI digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya virus ND
dengan menggunakan serum spesifik berdasarkan (OIE 2012).
Menurut Miller et al. (2013) penggunaan vaksin yang homolog tidak hanya
meningkatkan titer antibodi unggas akan tetapi juga akan menurunkan replikasi
dari virus tersebut. Titer antibodi akan terbentuk tinggi ketika virus dan serum
yang terbentuk bersifat homolog. Akan tetapi antibodi tidak akan memiliki
afinitas yang sempurna apabila virus yang menginfeksi memiliki keragaman
epitop pada protein eksternalnya berbeda dengan galur virus yang menggertak
antibodi unggas. Menurut Cornax et al. (2012) vaksin LaSota heterolog tidak
efektif dalam mencegah replikasi virus pada dosis protektif (103 hingga 105).
Variasi genetik epitop protein HN dari VND dapat diketahui dengan uji HI,
seperti halnya yang telah dilakukan oleh Hu et al. (2010) dengan menggunakan
antibodi monoklonal. Ibu et al. (2008) memberikan hasil bahwa 13 isolat yang
digunakan memiliki nilai R-value berdasarkan perlakuan HI lebih tinggi pada
virus heterolog daripada virus homolog. Variabilitas dari antigenik virus bisa
terjadi akibat adanya mutasi pada protein eksternal. Penelitian sebelumnya oleh
Hu et al. (2010) bahwa adanya mutasi pada asam amino 347 protein HN
menghasilkan tingkat kereaktifan yang berbeda terhadap MAbs. Protein HN
merupakan bagian penting dari VND yang merupakan protein permukaan virus
tersebut, sehingga patogenisitas VND tidak hanya dilihat dari protein F.
Karakter Virus dengan uji Elusi
Hasil pengamatan waktu elusi pada sampel positif VND, menunjukkan hasil
yang tidak terlalu bervariasi (Tabel 4). Rata-rata waktu elusi yang telah dilakukan

18
menunjukkan bahwa 1 isolat (IDNPRJ-2A) termasuk galur mesogenik, dan 7
isolat termasuk galur velogenik. Penentuan isolat termasuk mesogenik maupun
velogenik berdasarkan pada penelitian Ezeibe dan Ndip (2005), dengan rentang
waktu untuk patotipe velogenik antara 84 hingga 189 menit, patotipe mesogenik
antara 43 hingga 78 menit, sedangkan lentogenik antara 20 hingga 45 menit.
Uji elusi digunakan untuk melihat waktu elusi yang berhubungan dengan
aktivitas dari enzim neuraminidase, dan juga berhubungan langsung dengan
aktivitas dari hemagglutinin sebagai faktor virulensi virus. Patogenisitas dari
Paramyxovirus tergantung pada protein hemagglutinin neuraminidase yang
terletak pada amplop virus. Aktivitas neuraminidase yang lemah akan
meningkatkan aktivitas hemaglutinin sehingga dibutuhkan waktu elusi yang lebih
lama (Ezeibe dan Ndip 2005). NA memiliki aktivitas mengikat molekul – molekul
kecil, sedangkan pada HA berfungsi mengikat sel darah merah (Crennell et al.
2000).
Suhu ruangan berpengaruh pada lamanya waktu elusi yang terjadi, pada
penelitian Ezeibe dan Ndip (2005) uji elusi dilakukan pada suhu ruang, yang
dianggap suhu tersebut merupakan suhu paling stabil pada proses elusi.
Berdasarkan penelitian Hussain et al. (2008) proses elusi suatu virus akan
membutuhkan waktu yang cukup lama apabila dilakukan pada suhu 4 °C,
sebaliknya akan membutuhkan waktu lebih singkat jika temperatur ruangan yang
digunakan lebih dari 35 °C. Proses elusi yang t