Deteksi Imunoglobulin Y Pada Telur Asin Anti Diare Dan Flu Burung Dengan Metode Agar Gel Precipitation Test (AGPT) Dan Hemagglutination Inhibition Test (Hi Test)

DETEKSI IMUNOGLOBULIN Y PADA TELUR ASIN
ANTI DIARE DAN FLU BURUNG DENGAN METODE
AGAR GEL PRECIPITATION TEST (AGPT) DAN
HEMAGGLUTINATION INHIBITION TEST (HI TEST)

WINDA MAYANG SARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Deteksi Imunoglobulin Y pada
Telur Asin Anti Diare dan Flu Burung dengan Metode Agar Gel Precipitation
Test (AGPT) dan Hemagglutination Inhibition Test (HI Test) adalah karya saya
dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.


Bogor, Maret 2011

Winda Mayang Sari
NIM B04060498

WINDA MAYANG SARI. Deteksi Imunoglobulin Y pada Telur Asin Anti Diare
dan Flu Burung dengan Metode Agar Gel Precipitation Test (AGPT) dan
Hemagglutination Inhibition Test (HI Test). Dibawah bimbingan AGUSTIN
INDRAWATI dan RETNO D. SOEJOEDONO.

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan imunoglobulin Y
(IgY) anti Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC), anti Salmonella Enteritidis,
dan anti virus Avian Influenza H5N1 pada telur anti EPEC, anti Salmonella
Enteritidis, dan anti virus Avian Influenza H5N1 setelah diasinkan. Ayam petelur
divaksinasi dengan antigen EPEC, Salmonella Enteritidis, dan vaksin Avian
Influenza H5N1 (IPB-Shigeta). Sebanyak 9 buah telur direndam dalam larutan
garam NaCl (1:2). Telur dibagi dalam tiga perendaman yaitu selama 10 hari, 15
hari, dan 20 hari. IgY dideteksi dengan menggunakan AGPT dan HI test. Hasil

AGPT menunjukkan bahwa IgY terhadap EPEC dan Salmonella Enteritidis
terdeteksi pada hari perendaman ke-10 dan ke-15. IgY spesifik AI yang dideteksi
dengan HI test menunjukkan rataan titer diatas 24 pada semua waktu perendaman.
Hal menunjukkan bahwa IgY spesifik masih terdeteksi pada telur asin.
Kata kunci: imunoglobulin Y, Enteropathogenic Escherichia coli,
Salmonella Enteritidis, virus Avian Influenza H5N1, telur asin

WINDA MAYANG SARI. Detection of Immunoglobulin Y in Anti Diarrhea and
Avian Influenza Salted Egg by Agar Gel Precipitation Test (AGPT) and
Hemagglutination Inhibition Test (HI Test). Under direction of AGUSTIN
INDRAWATI and RETNO DAMAJANTI SOEJOEDONO.

ABSTRACT
This study was conducted to detect specific IgY (anti Enteropathogenic
Escherichia coli (EPEC), anti Salmonella Enteritidis, and anti Avian Influenza
Virus H5N1) in salted egg. The laying hens were vaccinated with EPEC and
Salmonella Enteritidis inactive-vaccine and AI H5N1 vaccine (IPB-Shigeta). Nine
eggs were salted by NaCl solution (1:2). The eggs were salted by three times of
long-term salting (10 days, 15 days, and 20 days). The IgY was detected using
AGPT and haemagglutination inhibition (HI) test. The AGPT result showed that

specific IgY of EPEC and Salmonella Enteritidis detected at 10 days and 15 days
long-term salting. The mean titer of anti AI-IgY (over 24) was detected using by
HI at all long-term salting. In conclusion, salted egg yolk still have specific IgY
which is potential for production functional salted egg.
Keywords: immunoglobulin Y, Enterophatogenic Escherichia coli,
Salmonella Enteritidis, Avian Influenza virus H5N1, salted egg

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB.

DETEKSI IMUNOGLOBULIN Y PADA TELUR ASIN
ANTI DIARE DAN FLU BURUNG DENGAN METODE
AGAR GEL PRECIPITATION TEST (AGPT) DAN
HEMAGGLUTINATION INHIBITION TEST (HI TEST)


WINDA MAYANG SARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Judul Skripsi : Deteksi Imunoglobulin Y pada Telur Asin Anti Diare dan Flu
Burung dengan Metode Agar Gel Precipitation Test (AGPT) dan
Hemagglutination Inhibition Test (HI Test)
Nama

: Winda Mayang Sari


NIM

: B04060498

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Dr. Drh. Agustin Indrawati, M.Biomed
Pembimbing I

Prof. Dr. Drh. Retno D Soejoedono, MS
Pembimbing II

Diketahui,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB

Dr. Nastiti Kusumorini
NIP : 19621205 198703 2 001

Tanggal Lulus :


KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmannirrohim.
Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT atas segala kenikmatan dan kesempatan yang diberikan-Nya sehingga
penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul Deteksi
Imunoglobulin Y pada Telur Asin Anti Diare dan Flu Burung dengan Metode
Agar Gel Precipitation Test (AGPT) dan Hemagglutination Inhibition Test (HI
Test) merupakan karya ilmiah yang bertujuan untuk mendeteksi keberadaan IgY
spesifik pada telur asin berkhasiat.
Penulisan skripsi diselesaikan dengan bimbingan, saran, dan sumbangan
pemikiran dari berbagai pihak. Dengan rasa hormat penulis mengucapkan terima
kasih kepada Ibu Dr. Drh. Agustin Indrawati, M. Biomed. selaku pembimbing
utama dan Ibu Prof. Dr. Drh. Retno D. Soejoedono, MS. yang telah meluangkan
waktu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan hati penulis menerima
kritikan dan saran yang membangun untuk penulisan karya ilmiah yang lebih baik
lagi di kemudian hari. Akhirnya, penulis berharap agar skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.


Bogor, Maret 2011

Winda Mayang Sari

UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur hanya dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kekuatan, kesabaran, dan pengetahuan kepada penulis dalam
penyelesaian penulisan skripsi ini serta Sholawat salam selalu mengiringi
Rasulullah SAW pembawa cahaya di antara kegelapan jahilliyah.
Dalam kesempatan ini, dengan ketulusan dan kerendahan hati penulis
mengucapkan terima kasih dengan rasa hormat kepada:
1. Mama, ibu terbaik sepanjang masa yang selalu memberikan kasih sayang–
yang meski sederhana namun tak terhingga nilainya dan Papa, seorang ayah
ksatria yang penuh kesabaran, yang selalu bekerja keras demi memberikan
pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya, yang selalu berdzikir di sepertiga
malam untuk keluarganya. Kepada Kakak yang selalu memberikan dukungan
moral maupun material , adik, ayuk, serta keponakan (Ais dan Aya) yang
lucu.
2. Ibu Dr. Drh. Agustin Indrawati, M. Biomed selaku pembimbing utama serta
Ibu Prof. Dr. Drh. Retno D. Soejoedono, MS selaku pembimbing kedua yang

telah mencurahkan ilmu, pikiran, dan waktu selama dalam proses skripsi
berlangsung. Mohon maaf penulis haturkan sebesar-besarnya jika terdapat
kesalahan selama pembimbingan.
3. Drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D dan Drh. Chaerul Basri, M. Epid selaku
penilai dan moderator seminar.
4. Dr. Drh. Koekoeh Santoso dan Dr. Drh. Amrozi selaku penguji UASKH.
5. Mbak Selyn yang telah banyak membantu dan membimbing penulis selama
penelitian dan penulisan skripsi, Mbak Ade, Pak Agus, Mas Ivan, Pak Engkos,
Mas Wahyu, Pak Nur, Bu Wiwik, dan seluruh staff Bagian Mikrobiologi
Medik, Departemen IPHK yang telah membantu kelancaran penulis.
6. Mbak Ratih, Mbak Ita, Mbak Desi, Mbak Tanti, Mbak Dewi yang telah
membantu penulis selama perbaikan penelitian.

10

7. Rizki Sekaringtyas “Karing” yang sudah merelakan kamar dan printernya
dikuasai oleh penulis, Zuhra Taufika “Ngong2”, Dina Amallia “Ndul”, Sisca
Valinata (Sorry, there is no nickname 4 u :P) yang telah memberikan
persahabatan indah selama di kampus FKH serta teman-teman 43sculapius
yang memberikan banyak warna dalam kehidupan penulis.

8. Keluarga besar Vamdi (Jatil, Vida, Mbak Phyto, Mbak Dona, Mbak Mila,
Mbak Ayis, Mbak Pipit, Mbak Intan, Yuk Yofi, Mbak Dian) yang telah
memberi semangat, pengetahuan, keilmuan, pelajaran hidup, dan keceriaan
selama penulisan skripsi.
9. SALIMAH 1431H dan 134D412 crews yang telah memberikan banyak ilmu,
indahnya ukhuwah, dan beramal jama‟I yang akan menjadi pelajaran yang
sangat berharga seumur hidup.
10. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu membantu
dengan sepenuh hati dalam proses pembuatan tugas akhir ini.
Bogor, Maret 2011

Winda Mayang Sari

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Kotabumi, 16 September 1987 sebagai anak kedua dari
pasangan suami istri Kamiludin dan Naida Asnawati. Pendidikan formal dimulai
dari TK PG Bunga Mayang pada 1992, kemudian dilanjutkan di SD PG Bunga
Mayang hingga tahun 2000. Penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 1
Kotabumi dan diselesaikan pada tahun 2003.
Pada tahun 2006, penulis lulus dari SMAN 3 Kotabumi dan mendapatkan

kesempatan untuk melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).
Selama perkuliahan, penulis pernah menjadi staff divisi MoCI LDK DKM Al
Hurriyyah (2006-2008), anggota UKM Uni Konservasi Fauna divisi Karnivora
(2006-2008), Ketua Departemen Kebijakan Publik PB IMAKAHI (2007-2009),
dan anggota DPM FKH IPB (2007-2010).

i

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................................ i
DAFTAR TABEL ................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Tujuan penelitian ................................................................................................. 2
Manfaat Penelitian ............................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 4
Escherichia coli ................................................................................................... 4
Salmonella enterica serovar Enteritidis............................................................... 6

Flu Burung ........................................................................................................... 8
Imunoglobulin Y ............................................................................................... 10
Telur Asin .......................................................................................................... 11
Agar Gel Precipitation Test .............................................................................. 12
Hemagglutination Inhibition Test ..................................................................... 13
METODE PENELITIAN ...................................................................................... 15
Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................... 15
Bahan dan Alat .................................................................................................. 15
Metode Penelitian .............................................................................................. 15
Tahap Kultur Biakan Antigen Murni untuk Dijadikan Vaksin Inaktif .......... 15
Tahap Imunisasi (Vaksinasi) ......................................................................... 16
Tahap Pembuatan Telur Asin ........................................................................ 16
Tahap Uji Keberadaan Antibodi Spesifik dengan Agar Gel Precipitation Test
(AGPT) dan Hemagglutination Inhibition Test (HI Test) ............................. 17
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 20
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26

ii

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Data hasil uji AGPT terhadap EPEC ....................................................... 21
Tabel 2 Data hasil uji AGPT terhadap S. Enteritidis ............................................ 22
Tabel 3 Data hasil uji HI terhadap Virus Avian Influenza H5N1 ......................... 23

iii

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Escherichia coli ..................................................................................... 4
Gambar 2 Perlekatan EPEC (panah) pada membran enterosit dengan kerusakan
pada sitoskeleton apikal. ......................................................................................... 6
Gambar 3 Salmonella sp.. ....................................................................................... 7
Gambar 4 Imunoglobulin Y .................................................................................. 11
Gambar 5 Hasil HI Test ........................................................................................ 14
Gambar 6 Kuning telur asin yang berbentuk gel .................................................. 21
Gambar 7 Hasil uji AGPT antibodi spesifik terhadap antigen EPEC (E.C) dalam
kuning telur asin. ................................................................................................... 21
Gambar 8 Hasil uji AGPT antibodi spesifik terhadap antigen S. Enteritidis (sal)
dalam kuning telur asin. ........................................................................................ 22

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Telur merupakan salah satu sumber protein hewani yang memiliki rasa
yang lezat, mudah dicerna, dan bergizi tinggi. Telur unggas (ayam) memiliki
kandungan asam amino esensial dan non esensial yang cukup lengkap dan tinggi
mutunya (Iman Rahayu 2003). Kandungan gizi telur yang lengkap dan harga yang
relatif murah menjadikan telur sebagai salah satu bahan pangan yang digemari
mulai dari anak-anak hingga orang tua.
Tidak hanya berpotensi sebagai sumber protein hewani, telur juga
berpotensi sebagai makanan suplemen karena jumlah imunoglobulin Y (IgY) yang
banyak dan mudah untuk diproduksi, relatif stabil, serta cocok dijadikan imunisasi
pasif (Mahdavi et al. 2010). Ayam merupakan sumber produksi antibodi (IgY)
yang sangat baik (Suartha et al. 2006). Mahdavi et al. (2010) melaporkan bahwa
bubuk IgY spesifik mampu melawan bakteri E. coli O78:K80 pada ayam petelur.
Penggunaan IgY anti EPEC dalam telur memungkinkan untuk dilakukan karena
IgY yang terdapat dalam darah lebih mudah ditransfer ke dalam telur dengan
konsentrasi yang sangat tinggi, proses pengebalan ayam mudah dilakukan, dan
produksi telur anti EPEC secara massal dapat dilakukan (Mustopa 1999).
Selama ini, produksi antibodi diambil dari hewan mamalia seperti kelinci,
kuda, kambing, dan lain-lain. Produksi antibodi pada hewan-hewan tersebut
diambil dengan cara pengambilan darah. Hal tersebut dapat menimbulkan
kesakitan pada hewan. Menurut Wibawan et al. (2006), prosedur produksi pada
antibodi anti tetanus pada kuda dapat menyebabkan cekaman baik saat melakukan
imunisasi maupun saat pengambilan darah. Oleh sebab itu, penggunaan telur
ayam sebagai alternatif sumber antibodi diharapkan mengurangi risiko tersebut.
Namun demikian, telur merupakan bahan makanan yang mudah rusak,
baik karena kerusakan alami, kimiawi, maupun kerusakan akibat mikroorganisme
melalui pori-pori telur. IgY merupakan protein yang yang mudah terdenaturasi
terhadap suhu, pH, lama penyimpanan, paparan zat kimia, dan lain-lain (Carlander
2002). Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha pengawetan telur agar dapat
disimpan lebih lama dan aman. Pengasinan telur utuh merupakan salah satu usaha

2

pengawetan telur yang dapat memperpanjang masa simpan hingga beberapa
minggu.
Diare merupakan salah satu gejala penyakit yang banyak terjadi di
Indonesia. Diare adalah suatu keadaan meningkatnya berat dari feses (>200
mg/hari) yang dapat dihubungkan dengan meningkatnya cairan, frekuensi BAB,
dan rasa terdesak untuk defekasi dengan atau tanpa inkontinensia fekal (Sutadi
2003). Menurut Haryanto (2004), diare adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan meningkatnya frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali sehari disertai
adanya perubahan bentuk dan konsistensi tinja penderita. Diare dapat ditimbulkan
oleh banyak agen penyakit, seperti bakteri, virus, dan mikroorganisme lainnya
yaitu fungi, cacing, dan protozoa. Bakteri yang sering dijumpai sebagai agen
penyebab diare antara lain Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) (Mustopa
1999) dan Salmonella enterica serovar Enteritidis (Salmonella Enteritidis) (Zein
2004).
Avian Influenza (AI) atau dikenal juga dengan nama flu burung
merupakan penyakit zoonotik yang hingga kini masih belum dapat dituntaskan.
AI adalah infeksi yang disebabkan oleh virus flu burung dan pada umumnya
“virus avian influenza” ditujukan pada virus influenza tipe A yang ditemukan
terutama pada unggas, tetapi juga dapat menginfeksi pada manusia (CDC 2007).
Sama halnya seperti influenza pada manusia, virus avian influenza merupakan
penyakit yang umum pada unggas. Risiko yang diakibatkan oleh virus ini
cenderung rendah pada manusia. Akan tetapi, pada tahun 1996 dilaporkan bahwa
terjadi wabah flu burung pada unggas peliharaan di Hongkong yang menyebabkan
tertularnya 18 orang dan 6 orang diantaranya meninggal (FAO 2008).

Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan
Imunoglobulin Y anti EPEC, anti Salmonella Enteritidis, dan anti virus AI H5N1
pada telur anti EPEC, anti Salmonella Enteritidis, dan anti virus AI H5N1 setelah
diasinkan.

3

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam memproduksi
telur asin berkhasiat three in one (anti diare dan anti flu burung) sebagai nilai
tambah telur asin baik dari sisi manfaat maupun sisi ekonomi.
.

TINJAUAN PUSTAKA

Escherichia coli
Genus Escherichia dinamai demikian sebagai bentuk penghormatan bagi
Theordor Escherich, seorang dokter anak yang pertama kali mengisolasi spesies
Escherichia coli. Terdapat lima spesies pada genus Escherichia namun
Escherichia coli yang paling patogen (ditunjukkan pada Gambar 1). Menurut
Todar (2008), klasifikasi Escherichia coli adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Bacteria

Filum

: Proteobacteria

Kelas

: Gamma Proteobacteria

Ordo

: Enterobacteriales

Famili

: Enterobacteriaceae

Genus

: Escherichia

Species

: Escherichia coli

Gambar 1 Escherichia coli (www.textbookofbacteriology.net)
Eschericia coli (E. coli) adalah bakteri batang gram negatif fermentatif
dengan panjang 0,4–0,7 µm, lebar 1–3 µm, dan dapat berupa satu individu
maupun berpasangan (Gyles et al. 2010; Songer dan Post 2005). Bakteri ini dapat
tumbuh dengan baik pada media bakteri sederhana, seperti agar MacConkey, dan
membentuk koloni besar berwarna merah. Selain itu, dapat pula diidentifikasi
dengan reaksi positif pada uji indol, reaksi negatif pada uji produksi urease, dan
hidrogen sulfida (Gyles et.al. 2010). E. coli dapat dengan mudah ditumbuhkan
dari spesimen klinis ke media umum atau selektif pada suhu 37°C, dalam kondisi
anaerob (Nataro dan Kaper 1998).

5

Menurut Songer dan Post (2005), habitat E. coli pada sebagian besar
vertebrata adalah ileum bawah dan usus besar. Berkolonisasi pada saluran
pencernaan neonatal dalam waktu satu jam pasca lahir. E.coli merupakan flora
fakultatif utama di dalam usus. Pada umumnya, E. coli menetap secara normal di
lumen usus inang tetapi apabila inang dalam keadaan lemah (immunosupresi) atau
saat sistem pelindung gastrointestinal terganggu maka bakteri normal „non
patogenik‟ tersebut dapat menyebabkan infeksi (Nataro dan Kaper 1998).
Berbeda strain (tipe) akan berbeda pula bentuk penyakitnya. Maka dari itu
sangat penting membedakan antara strain yang patogenik dan nonpatogenik.
Secara serologis, penggolongan E. coli dibedakan berdasarkan antigen permukaan
yaitu antigen O pada lipopolisakarida dan antigen H pada flagella. Antigen O
digunakan untuk menentukan serogrup sedangkan antigen H untuk menentukan
serotipe. Terdapat setidaknya 170 macam antigen O yang saat ini diakui (Nataro
dan Kaper 1998). Selain itu antigen kapsular (K) juga dapat digunakan dalam
penggolongan (Songer dan Post 2005). Keberadaan antigen K ditentukan dengan
uji aglutinasi bakteri bahwa suatu strain E. coli tidak dapat teraglutinasi dengan
antiserum O tetapi teraglutinasi apabila kultur tersebut dipanaskan (Nataro dan
Kaper 1998).
Infeksi E. coli patogenik dapat hanya terjadi pada permukaan mukosa usus
atau dapat pula menyebar ke seluruh tubuh. Tiga gejala umum yang terjadi apabila
terinfeksi E. coli patogen yaitu (1) infeksi saluran urinari, (2) sepsis/ meningitis,
dan (3) diare/ enteritis (Nataro dan Kaper 1998). E. coli patogen merupakan
penyebab diare terbanyak di Jawa Barat (Pudjarwoto et al. 1991). Menurut Nataro
dan Kaper (1998), terdapat enam tipe E. coli yang menyebabkan penyakit diare
yaitu enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC),
enterohemorrhagic E. coli (EHEC), enterophatogenic E. coli (EPEC),
enteroaggregative E. coli (EAEC), dan diffusely adherent E. coli (DEAC). Bakteri
EPEC menyebabkan diare berair hingga berdarah (Todar 2008). EPEC merupakan
penyebab diare akut dan kronis pada anak-anak di negara berkembang (Jerse et al.
1990).
Ciri khas infeksi EPEC adalah pada gambaran histopatologi attachingand-effacing (A/E); melekat dan menghilangkan, yang dapat diamati melalui

6

biopsi (Gambar 2). Hal ini ditandai dengan penghilangan mikrovili dan
menunjukkan perlekatan antara bakteri dan membran sel epitel (Nataro dan Kaper
1998). Proses infeksi dimulai dengan EPEC yang tertelan menempel dengan
bebas pada sel epitel usus kemungkinan dengan melalui adhesin spesifik seperti
AF/R1, AF/R2, dan Ral pada kelinci serta Bfp pada anjing. Sinyal kemudian
dikirim dari bakteri menuju sel epitel, kemungkinan melalui TTSS dan protein
yang disekresikan. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah kalsium
intraseluler, fosforilasi dari protein tertentu sel epitel, aktivasi kinase dan aktivitas
pengikatan reseptor Tir (Gyles et al. 2010).

Gambar 2 Perlekatan EPEC (panah) pada membran enterosit dengan kerusakan
pada sitoskeleton apikal (Nataro dan Kaper 1998)
Salmonella enterica serovar Enteritidis
Genus Salmonella dinamai demikian setelah ditemukan oleh Daniel Elmer
Salmon, seorang dokter hewan ahli patologi (Anonim 2010). Genus ini memiliki
hampir 2500 serovar, yang dibedakan berdasarkan skema Kauffman-White yaitu
menentukan dengan berdasarkan pada antigen H (flagella) dan antigen O
(somatik). Antigen O bersifat stabil dalam panas dan tahan terhadap alkohol
sedangkan antigen H merupakan protein yang tidak stabil dalam panas (Todar
2008). Namun demikian, elektroforesis enzim multilokus dan analisis hibridisasi
DNA-DNA mengungkapkan bahwa genus ini dapat dibagi menjadi dua spesies
yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica dibagi
kembali menjadi enam subspesies yaitu salamae, arizonae, diarizonae, houtenae,
indica, dan enterica (Songer dan Post 2005).

7

Menurut Todar (2008), klasifikasi Salmonella Enteritidis adalah sebagai
berikut:
Kingdom

: Bacteria

Filum

: Proteobacteria

Kelas

: Gamma Proteobacteria

Ordo

: Enterobacteriales

Famili

: Enterobacteriaceae

Genus

: Salmonella

Species

: Salmonella enterica

Subspesies

: enterica serovar Enteritidis
(Salmonella Enteritidis)

Gambar 3 Salmonella sp. (www.wikipedia.com)

Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif fakultatif yang hidup
normal pada usus baik hewan berdarah panas ataupun berdarah dingin (Todar
2008). Gambar 3 menunjukkan morfologi dari Salmonella sp. (warna merah).
Genus Salmonella yang sering menyerang saluran cerna pada manusia yaitu
Salmonella enterica. Sedikitnya terdapat 2500 serotipe (serovar) pada Salmonella
enterica (Callaway et al. 2008). Beberapa serovar utama yang sering ditemukan
sebagai sumber penyakit antara lain Typhimurium, Enteritidis, dan Typhi.
Adaptasi terhadap inang merupakan ciri epidemiologik yang penting pada
beberapa infeksi akibat Salmonella namun S. Enteritidis tidak termasuk dalam
kelompok tersebut. Ditemukan bahwa S. Enteritidis tidak „memilih‟ inang karena
sering ditemukan pada banyak vertebrata dengan atau tanpa penyakit klinis
(Songer dan Post 2005). Kerentanan seseorang terhadap S. Enteritidis tergantung

8

pada beberapa faktor seperti jumlah bakteri yang masuk, jenis makanan, dan usia
inang serta status imunitas individu. Dosis S. Enteritidis yang dapat menyebabkan
simptom yaitu 105. Pada makanan tinggi lemak seperti kuning telur, keju, dan
coklat, kemungkinan jumlah yang dibutuhkan untuk menginfeksi lebih kecil
karena dapat menyebabkan S.Enteritidis bertahan terhadap lingkungan asam pada
lambung sebelum melalui usus dan berpenetrasi pada mukosa usus (Saeed 1999).
Salmonella pada umumnya masuk melalui mulut menuju usus halus
kemudian melekat dan menyerang fimbrae enterosit. Protein membran luar bakteri
berperan dalam

invasi tersebut. Masuknya Salmonella pada infeksi sistemik

terjadi tanpa adanya kerusakan mukosa tetapi pada enteritis terjadi kerusakan
lokal tanpa sepsis (Soner dan Post 2005). Salmonellosis merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella dan menunjukkan gejala seperti demam, sakit
kepala, muntah-muntah, dan diare (WHO 2007). Salmonellosis adalah penyakit
asal makanan (foodborne illness) utama di sebagian besar negara. Diestimasikan
1,3 juta manusia terkena foodborne illness dan lebih 500 jiwa meninggal akibat
Salmonella setiap tahunnya di Amerika Serikat (Callaway et al. 2008). Selama 20
tahun terakhir, Salmonella enterica serovar Enteritidis merupakan penyebab
utama keracunan makanan di Amerika Serikat (Anonim 1999). Salmonella
Enteritidis sering ditemukan pada produk asal hewan terutama produk unggas,
yaitu telur dan daging (WHO 2002).
Masa inkubasi S. Enteritidis bervariasi mulai dari beberapa jam hingga 72
jam dan durasi kesakitan bervariasi mulai dari 4-10 hari. Simptom yang biasa
terjadi adalah diare dimulai dari 12 jam hingga seminggu setelah mengkonsumsi
makanan yang terkontaminasi, sakit kepala, sakit pada abdomen, nausea, meriang,
demam dan muntah. Kerusakan pada membran mukus pada usus halus dan kolon
akan menyebabkan malabsorpsi dan kekurangan nutrisi. Selain itu, pada beberapa
penderita, dapat mengalami dehidrasi berat, diare berdarah, dan penyebaran S.
Enteritidis menuju tulang, meningen pada anak-anak (Anonim 2005; Saeed 1999).

Flu Burung
Flu burung atau Avian Influenza (AI) adalah penyakit unggas menular
yang disebabkan oleh virus dari keluarga Orthomyxoviridae. Virus AI dibagi

9

menjadi lima genera yaitu Influenza tipe A, B, C, Isavirus, dan Thogotovirus
(Swayne 2008). Virus AI yang saat ini ramai dibicarakan adalah virus AI tipe A
H5N1. Asam nukleat virus ini beruntai tunggal, terdiri dari 8 segmen gen yang
mengkode sekitar 11 jenis protein. Virus influenza mempunyai selubung/simpai
yang terdiri dari kompleks protein dan karbohidrat. Virus ini mempunyai tonjolan
(spikes) yang digunakan untuk menempel pada reseptor yang spesifik pada sel-sel
hospesnya pada saat menginfeksi sel. Terdapat 2 jenis spikes yaitu mengandung
hemaglutinin (HA) dan mengandung neuraminidase (NA) yang terletak dibagian
terluar dari virion. Virus influenza mempunyai 4 jenis antigen yang terdiri dari
protein nukleokapsid (NP), Hemaglutinin (HA), Neuraminidase (NA), dan protein
matriks (MP) (Horimoto dan Kawaoka 2001). Virus AI memiliki berbagai subtipe
yang dibedakan menurut antigen hemagglutinin (HA) dan neuraminidase (NA)
yang menyelubungi permukaan virus (CDC 2007). Enam belas antigen
hemagglutinin yang berbeda (H1-H16) dan sembilan neuraminidase telah dikenali
dan masing-masing subtipe virus diidentifikasi melalui kombinasi antigen tertentu
yang dimiliki (misalnya H5N1 atau H3N2) (FAO 2008). Menurut Soejoedono
(2005), dengan variasi antigen H dan N tersebut dapat menghasilkan 135
kemungkinan subtipe virus yang muncul, diantaranya H1N1, H1N2, H3N3,
H5N1, H7N7, dan H5N9.
Infeksi virus AI diawali dengan perlekatan antigen HA dari virus pada
asam sialat reseptor sel inang. Asam sialat adalah tempat umum bagi terminal
gula-gula yang memiliki rantai glikoprotein N- dan O- yang dapat dibuat dari
turunan asam neuramin. Setelah virus melekat, virus berendositosis dan ketika
endosom menjadi asam, hal tersebut menggertak penyatuan domain protein HA
aktif serta RNA virus dilepaskan ke dalam sitoplasma (Suarez 2008).
Pada awalnya H5N1 hanya menyerang unggas dan berdasarkan
patogenitasnya dibedakan menjadi dua bentuk yaitu Highly Pathogenic Avian
Influenza (HPAI) dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) (pustakadeptan.go.id; Wibawan et al. 2009). Virus HPAI dapat menyebabkan penyakit
sistemik berat pada ayam dan kalkun dengan kematian 100%, sedangkan virus
LPAI menyebabkan infeksi lokal yang ringan pada saluran pernapasan dan
saluran pencernaan. Semua virus HPAI bersubtipe H5 dan H7 sedangkan LPAI

10

dapat bersubtipe H1 hingga H16. Meskipun demikian, virus LPAI subtipe H5 dan
H7 dapat bermutasi menjadi HPAI sehingga LPAI H5 dan H7 serta HPAI
ditetapkan sebagai kasus penyakit yang harus dilaporkan (notifiable disease) oleh
OIE (Suarez 2008).

Imunoglobulin Y
Antibodi merupakan substansi khusus yang dibentuk oleh tubuh sebagai
respon terhadap stimulasi antigenik (Michael 1988). Antibodi adalah molekul
protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai akibat interaksi antara limfosit B
peka antigen dan antigen khusus (Tizard 1988). Semua molekul antibodi termasuk
ke dalam kelas khusus protein serum yang disebut globulin, meskipun tidak
semua globulin serum merupakan antibodi. Jadi, antibodi juga disebut
imunoglobulin (Michael 1988). Antibodi yang dibentuk akibat reaksi terhadap
suatu antigen akan berbeda susunan asam aminonya dengan antibodi terhadap
antigen yang lain. Hal ini disebut sebagai spesivitas antibodi (Wibawan et al.
2003). Satu unit struktur antibodi adalah glikoprotein yang terdiri dari empat
rantai polipeptida. Semua antibodi memiliki struktur yang sama yaitu dua rantai
pendek (VL) dan dua rantai panjang (VH). kedua bentuk tersebut dihubungkan
dengan bentuk kovalen (disulfida) (Darmono tanpa tahun).
Imunoglobulin utama yang terdapat pada kuning telur ayam adalah
Imunoglobulin Y (IgY) (Gambar 4). IgY memiliki beberapa sifat unik namun
memiliki fungsi yang sama dengan IgG pada mamalia. IgG mamalia
pengendapannya 7S dan berat molekulnya 180.000 dalton sedangkan pada ayam
pengedapannya 8S dan berat molekulnya 200.000 dalton (Tizard 1988). IgY lebih
berperan sebagai sistemik antibodi daripada sekretori antibodi, namun IgY dapat
ditemukan dalam saluran pencernaan duodenum, trachea, dan seminal plasma.
Mekanisme transfer IgY dari serum ke dalam kuning telur berlangsung seperti
proses transfer antibodi lintas plasenta pada mamalia. IgY yang telah diproduksi
oleh limfosit B akan mengalir dalam pembuluh darah ke seluruh bagian tubuh
termasuk ke dalam ovarium. IgY didepositkan melalui jaringan arteri kecil
ovarium-oosit ke dalam kuning telur sebagai bahan perlindungan bagi embrio
yang akan berkembang (Carlander 2002).

11

Seperti protein pada umumnya, IgY juga mudah terdenaturasi. Menurut
Soejoedono (2005), IgY pada kuning telur ayam hanya mampu bertahan pada
suhu pemanasan dibawah 68,9°C. IgY dilaporkan mampu bertahan terhadap
pemanasan 65°C selama 30 menit tetapi tidak tahan terhadap pemanasan 75°C
selama 30 menit (Wibawan et al. 2009). IgY tahan terhadap pH diatas 4 namun
pada pH 2 dengan suhu 37°C, aktivitas IgY akan menurun dengan cepat
(Carlander 2002).
IgY banyak dimanfaatkan sebagai imunisasi pasif untuk melawan penyakit
berasal dari bakteri, virus, maupun antigen lainnya. Amaral et al. (2002)
menyatakan bahwa IgY mampu menjadi imunisasi pasif terhadap EPEC pada
ayam. IgY juga terbukti mampu menghambat perkembangan E. coli patogen dan
Staphylococcus aureus penyebab mastitis pada sapi perah (Zhen et al. 2007; Zhen
et al. 2008), koksidiosis pada ayam (Lee et al. 2009), dan virus White Spot
Syndrome (WSS) pada udang (Lu et al. 2008). Selain itu, IgY dapat digunakan
sebagai sumber antibodi alternatif dalam diagnosa penyakit IBD (Malmarugan et
al. 2005).

Gambar 4 Imunoglobulin Y (www.wikipedia.com)

Telur Asin
Umumnya telur akan mengalami kerusakan setelah disimpan lebih dari
dua minggu (Ginting 2007). Faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan telur
diantaranya adalah suhu, kelembaban dan mikroorganisme. Kerusakan telur
selama penyimpanan biasanya ditandai dengan membesarnya kantong udara,

12

pengenceran putih telur dan lemahnya selaput kuning telur sehingga kuning telur
memipih dan pecah yang mengakibatkan kuning telur menjadi bercampur dengan
putih telur (Winarti dan Triyantini 2005). Oleh sebab itu, perlu dilakukan usaha
pengawetan telur. Selain untuk memperpanjang daya simpan, tujuan pengawetan
telur antara lain memperoleh hasil olahan sesuai keinginan, meningkatkan kualitas
dan nilai jual, serta pemenuhan kebutuhan pasar (Hariadi 2010). Secara prinsip
pengawetan telur adalah mencegah masuknya bakteri pembusuk ke dalam telur
dan mencegah keluarnya air dari dalam telur.
Pengawetan telur dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya
melapisi kulit telur dengan pembungkus kering (dry packing), perendaman
(immersion liquid), penutupan kulit telur dengan bahan pengawet (shell sealing),
dan penyimpanan pada ruangan dingin (cool store). Telur asin adalah salah satu
bentuk pengawetan immersion liquid. Telur asin adalah telur utuh yang diawetkan
dengan adonan yang dibubuhi garam (Depristek 2000). Terdapat tiga cara
pembuatan telur asin yaitu: (1) telur asin dengan adonan garam berbentuk padat
atau kering, (2) telur asin dengan adonan garam ditambah ekstrak daun teh, (3)
telur asin dengan adonan garam dan kemudian direndam dalam ekstrak atau cairan
teh.
Berat pada telur yang diasinkan akan meningkat karena terjadi penetrasi
garam ke dalam telur. Proporsi putih telur semakin meningkat sedangkan proporsi
kuning telur semakin menurun apabila semakin lama waktu pengasinan. Selain
itu, pada albumin, semakin lama waktu pengasinan maka komposisi protein
semakin menurun. Sebaliknya, pada kuning telur, komposisi protein dan lemak
semakin meningkat. Komposisi abu meningkat dan kelembaban menurun pada
albumin dan kuning telur (Kaewmanee et al. 2008).

Agar Gel Precipitation Test
Agar Gel Precipitation Test (AGPT) merupakan salah satu teknik
immunodifusi yang bertujuan untuk menganalisis secara kualitatif dan kuantitatif
keberadaan antibodi. Antigen yang diletakan disumur bagian tengah akan
berdifusi ke sekitarnya, begitu juga dengan antibodi yang diletakkan di sumur
sekelilingnya Antibodi yang digunakan akan berdifusi melalui gel agar menuju

13

antigen. Jika homolog maka akan terbentuk garis presipitasi pada daerah gel agar
antara antigen-antibodi (Wibawan et al. 2009).
Perbandingan konsentrasi antigen dan antibodi adalah faktor terpenting
dalam reaksi presiptasi. Dalam campuran yang rasio antara antigen dan antibodi
seimbang, akan terbentuk ikatan silang yang ekstensif dan terjadi pembentukan
kisi-kisi. Kisi-kisi ini berkembang menjadi besar, tidak larut dan akhirnya
mengendap. Ikatan kompleks antigen-antibodi yang mengendap dan terlihat
sebagai garis berwarna putih ini disebut garis presipitasi (Tizard 1988). Wibawan
et al. (2009) menyatakan bahwa reaksi presipitasi terjadi apabila titer IgY di atas
27.

Hemagglutination Inhibition Test
Secara bahasa hemagglutination inhibition dapat diartikan sebagai
hambatan hemaglutinasi. Uji ini yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi
virus-virus yang dapat mengaglutinasi sel darah merah (Siregar et al. 2006). Virus
yang dapat mengaglutinasi sel darah merah misalnya ortho- dan paramyxovirus;
alfa-, flavi-, dan bunyavirus; serta adeno-, reo-, parvo-, dan coronavirus (Tizard
1982). Penghambatan aglutinasi sel darah merah oleh virus dilakukan dengan cara
virus diikat oleh antibodi yang homolog sehingga tidak dapat melekat pada
reseptor membran sel darah merah dan aglutinasi sel darah merah tidak terjadi
(Siregar et al. 2006).
Prinsip kerja dari HI test ialah mereaksikan antigen dan antibodi dengan
pengenceran tertentu sehingga dapat diketahui tingkat pengenceran antibodi yang
dapat menghambat terjadinya aglutinasi eritrosit. Kemampuan suatu mikroba
mengaglutinasi darah bersifat antigenik sehingga dapat menggertak antibodi
spesifik. Antibodi tersebut memiliki kemampuan menghambat terjadinya
aglutinasi darah yang disebabkan oleh hemaglutinin dari mikroba (Anonim 2008).
Uji HI dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode alpha (α) dan
metode beta (β). Metode alpha digunakan untuk mengidentifikasi jenis antigen,
dalam metode ini antigen diencerkan secara seri sementara antibodi tidak
diencerkan.

Metode

beta

digunakan

untuk

menguji

serta

untuk

mengidentifikasikan antibodi, menghitung titer antibodinya, dan menguji jenis

14

antigen. Pada metode ini yang diencerkan secara seri adalah antibodi. Metode ini
harus melakukan uji Hemaglutinasi (HA) terlebih dahulu untuk membuat virus
standar. Uji HI dapat dilakukan secara makro dan mikro titrasi tergantung volume
reagen-reagen yang digunakan. Pada uji HI mikro titrasi hanya menggunakan
masing-masing reagen sebanyak 25–50 µl (ditunjukkan pada Gambar 5). Virus
standar yang digunakan adalah 4 HAU (Hemagglutination Unit)/ 50 µl (Siregar et
al. 2006).

Gambar 5 Hasil HI Test
(A: tidak terjadi aglutinasi, B: terjadi aglutinasi) (http:/info.medion.co.id)

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, mulai Maret 2010 sampai dengan
Agustus 2010 di laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik dan
laboratorium Bakteriologi Bagian Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 ekor ayam betina
petelur tipe ISA Brown berumur 20 minggu, telur ayam ISA Brown, isolat bakteri
Enteropathogenic Eschericia coli (EPEC) dan Salmonella Enteritidis dari
Laboratorium Bakteriologi FKH IPB, virus Avian Influenza H5N1, vaksin Avian
Influenza H5N1 (IPB-Shigeta), media cair Brain Heart Infusion (BHI) Broth,
NaCl fisiologis, Blood Agar (BA), MilliQ, agarose, Phosphat Buffer Saline
(PBS), Na Acid, Freund’s Adjuvant Complete dan Incomplete, alkohol 96%,
garam NaCl, pakan ayam komersial (Gold Coin® 105 Layer).
Alat yang digunakan adalah centrifuse, vortex, tabung reaksi, wadah
plastik, amplas, tabung Erlemeyer, gelas objek, tisu, gelas ukur, penangas air,
mikropipet, spoit, tip mikropipet, pipet, microplate “V” bottom, kertas saring,
microtube, puncher, inkubator, kompor gas, kandang hewan percobaan.

Metode Penelitian
Tahap Kultur Biakan Antigen Murni untuk Dijadikan Vaksin Inaktif
Antigen yang digunakan untuk vaksinasi adalah bakteri EPEC dan S.
Enteritidis yang telah dibiakkan pada media agar (Blood Agar). Isolat bakteri
kemudian dibiakkan pada BHI Broth sebanyak 50 ml dan diinkubasi selama 24
jam. Bakteri yang telah dibiakkan di BHI Broth disentrifugasi dengan kecepatan
5000 rpm selama 15 menit. Supernatan yang dihasilkan dibuang dan pelet dicuci
dengan 10 ml NaCl fisiologis sebanyak 3 kali. Disentrifugasi kembali selama 15
menit pada kecepatan 5000 rpm. Pelet ditampung dan ditambahkan 10 ml NaCl

16

fisiologis, kemudian pada tabung yang berbeda sebanyak 20 ml NaCl fisiologis
dihomogenkan dengan campuran pelet dan distandarkan dengan standar Mac
Farland II. Homogenan ditangas dalam penangas air pada suhu 60°C selama 2
jam untuk menginaktifkan bakteri. Penambahan adjuvant dilakukan dengan
mencampurkan homogenan antigen dengan Freund’s Adjuvant Complete atau
Incomplete dengan perbandingan 1:1, kemudian dihomogenkan.
Tahap Pemberian Antigen
Ayam dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 22 ekor kelompok diberi antigen
dan 3 ekor tidak diberi antigen sebagai kontrol negatif. Pemberian

bakteri

dilakukan sebanyak 4 kali dengan interval 1 minggu. Pada minggu pertama, untuk
pemberian bakteri (E. coli dan S. Enteritidis) tidak menggunakan adjuvant.
Antigen tersebut disuntikan secara intravena sebanyak 0,5 ml per ekor. Minggu
kedua, antigen tersebut dicampur dengan Freund’s Adjuvant Complete, sedangkan
minggu ketiga dan keempat menggunakan Freund’s Adjuvant Incomplete
diberikan sebanyak 1 ml per ekor secara subkutan. Vaksin AI diberikan pada
minggu pertama dan minggu keempat sebanyak 1 ml per ekor secara subkutan.
Ayam yang digunakan adalah ayam betina jenis petelur (ISA Brown) usia 20
minggu yang siap bertelur. Ayam dipelihara dalam kandang baterai dan diberi
pakan komersial.
Tahap Pembuatan Telur Asin
Telur ayam kelompok yang diberi antigen dipilih pada rentang waktu yang
telah diketahui positif mengandung IgY anti EPEC, Salmonella Enteritidis, dan AI
(Manggung 2010). Telur koleksi direndam dalam larutan garam 1:2 (garam: air).
Sebelum perendaman dilakukan, kerabang telur digosok dengan menggunakan
amplas halus hingga terbuka pori-porinya. Kemudian disiapkan air sebanyak satu
liter. Air tersebut dipanaskan bersama garam sesuai dengan konsentrasi yang
diharapkan, yaitu 500 gram hingga larut. Kemudian larutan garam didinginkan
dan ditaruh dalam wadah plastik. Telur yang telah diamplas dimasukkan ke dalam
larutan garam dan ditutup rapat.
Telur direndam dalam waktu yang bertingkat yaitu 10 hari, 15 hari, dan 20
hari. Pada hari kesepuluh, diambil 4 butir telur. Sebanyak 3 butir diambil kuning

17

telurnya untuk diuji keberadaan IgY dan 1 butir direbus untuk uji organoleptik.
Uji organoleptik dilakukan untuk membuktikan rasa asin telah ada pada telur.
Demikian pula pada hari kelima belas dan hari kedua puluh, diambil 4 butir telur
dan dilakukan uji yang sama pada telur asin dengan perendaman 10 hari.
Tahap Uji Keberadaan Antibodi Spesifik dengan Agar Gel Precipitation Test
(AGPT) dan Hemagglutination Inhibition Test (HI Test)
Tahap Uji Keberadaan Antibodi Spesifik dengan Agar Gel Precipitation
Test (AGPT)
Agar gel dibuat dengan melarutkan 1% agarose, Na Acid 0,001 gr/ ml, ½
bagian volume MilliQ dan ½ bagian volume PBS pH 7,4. Apabila sediaan
agar gel yang dibutuhkan sebanyak 8 ml, maka agarose yang dibutuhkan
adalah sebanyak 0,08 gr, Na Acid 0,008 gr, 4 ml MilliQ, dan 4 ml PBS.
Bahan-bahan tersebut dipanaskan dengan penangas air hingga larut dan warna
larutan menjadi jernih. Sebanyak 4 ml agar gel dituangkan pada gelas objek
dan ditunggu hingga mengeras. Setelah agar gel mengeras, dibuat sumursumur dengan puncher.
Masing-masing agar gel, pada sumur tengah dimasukan 25 µl antigen dan
pada sumur sekelilingnya dimasukkan 25 µl kuning telur asin segar. Gelas
objek dimasukkan

ke dalam kotak tertutup yang telah diberi tisu yang

dibasahi dengan aquabidest agar terjaga kelembabannya. Reaksi dibaca setelah
24 jam, reaksi positif ditunjukkan dengan adanya garis presipitasi (garis
buram putih) pada daerah antara sumur antigen dengan sumur kuning telur
asin segar. Hal ini menandakan bahwa antigen dan antibodi tersebut homolog.
Tahap Uji Keberadaan Antibodi Spesifik dengan Hemagglutination
Inhibition Test (HI Test)
Tahap Preparasi RBC (Red Blood Cells) 1%
Darah ayam yang sebelumnya telah dicampur dengan Na sitrat 3,8%
dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dimasukkan PBS hingga penuh.
Suspensi darah disentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan 2000 rpm.
Supernatan yang dihasilkan diambil kemudian tabung berisi pelet darah
kembali diberi PBS hingga penuh dan dihomogenkan dengan cara

18

membentuk angka 8. Suspensi kembali disentrifugasi pada kecepatan 200
rpm selama 10 menit. Pencucian pelet tersebut dilakukan tiga kali. Setelah
supernatan terakhir dibuang, pelet yang dihasilkan diukur volumenya
dengan menggunakan pipet. Pelet darah diencerkan menjadi konsentrasi
50% atau 40% (v/v) dan dihomogenkan. Digunakan pipa kapiler untuk
mengambil suspensi dan disentrifugasi untuk mengonfirmasi konsentrasi
pengenceran. Suspensi yang telah dikonfirmasi konsentrasinya tersebut
kembali diencerkan menjadi konsentrasi 5% kemudian dikonfirmasi
kembali dengan menggunakan pipa kapiler. Selanjutnya diencerkan
kembali menjadi konsentrasi 1% dan disimpan pada suhu 4°C (CVI 2010).
Tahap Uji Hemaglutinasi (HA)
Uji HA digunakan untuk membuat virus AI standard 4 HAU. Pengujian
HA mengginakan microplate “V” bottom. Sebanyak 25 µl PBS
dimasukkan ke dalam sumur baris A hingga F, kolom 2 hingga 12.
Dimasukkan masing-masing 25 µl sampel virus AI ke dalam sumur A1
hingga E1 serta A2 hingga E2 kemudian dihomogenkan sebanyak 5x
dengan menggunakan mikropipet. Selanjutnya 25 µl PBS dimasukkan
pada sumur B2 dan dihomogenkan sebanyak 10x dengan menggunakan
mikropipet kemudian diambil kembali sebanyak 25 µl sampel pengenceran
(sebanyak volume PBS yang dimasukkan). Sebanyak 75 µl PBS
dimasukkan pada sumur C2, 125 µl PBS ke dalam sumur D2, 175 µl PBS
ke dalam sumur E2 dan dilakukan prosedur yang sama dengan sumur B2.
Selanjutnya dilakukan pengenceran kelipatan dua sebanyak 25 µl dari
sumur A2–E2 hingga sumur A12–E12. Sebanyak 25 µl PBS dimasukkan
ke semua sumur kemudian dimasukkan 25 µl RBC 1% ke dalam setiap
sumur. Microplate dihomogenkan dengan menggunakan plate shaker
selama 10 detik kemudian diinkubasi selama 60 menit pada suhu 4°C.
Hasil titer virus AI yang terbaca kemudian dilakukan pengenceran pada
virus AI tersebut dengan menggunakan rumus:
Titer HAU/4

= X kali faktor pengenceran untuk 4 HAU
= Y µl antigen + Z µl PBS

19

Hasil pengenceran virus AI standard dikonfirmasi dengan mentitrasi
kembali sesuai dengan prosedur uji HA (CVI 2010).
Tahap Hemagglutination Inhibition Test
Uji serologis ini digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
antigen virus H5N1 yang diketahui titernya sekaligus mengetahui nilai
titer IgY spesifik pada kuning telur asin. Sampel kuning telur asin
sebelumnya diencerkan dengan menggunakan PBS dengan perbandingan
1:2 kemudian dihomogenkan dengan menggunakan vortex. Selanjutnya
larutan kuning telur asin tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 5000
rpm selama 10 menit dan diambil supernatannya (Soejoedono 2005).
Pengujian HI menggunakan microplate “V” bottom. Semua sumur diisikan
25 µl PBS dengan menggunakan mikropipet. Selanjutnya pada sumur
1diisi supernatan kuning telur asin sebanyak 25 µl dan dihomogenkan
dengan menggunakan mikropipet. Selanjutnya dilakukan pengenceran
kelipatan dua sebanyak 25 µl hingga sumur 8. Semua sumur diisikan virus
AI standard 4 HAU sebanyak 25 µl kemudian diinkubasi selama 60 menit
pada suhu 4°C. Selanjutnya semua sumur diisikan masing-masing 25 µl
RBC 1%, dihomogenkan dengan cara digoyang-goyangkan dan diinkubasi
pada suhu 4°C selama 60 menit. Reaksi dibaca dengan cara menegakkan
microplate 90° (CVI 2010).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tujuan dari pengawetan telur adalah menghambat perubahan fisik dan
kimiawi pada telur serta mencegah masuknya mikroba pembusuk. Telur asin
telah dikenal oleh bangsa Cina dengan sebutan „Hulidan‟ yang pembuatannya
berupa pemeraman telur dengan tanah liat atau abu yang dicampur dengan garam.
Terdapat beberapa macam metode pembuatan telur asin di Indonesia antara lain
perendaman dengan larutan garam jenuh, pemeraman dengan serbuk batu bata
merah, dan pemeraman dengan abu gosok (Ginting 2007). Garam dapur (NaCl)
diketahui dapat menjadi bahan pengawet telur utuh (Romanoff dan Romanoff
1963). Telur yang digunakan dalam penelitian ini merupakan telur minggu kedua
setelah vaksinasi terakhir yang telah dinyatakan positif dengan uji AGPT pada
telur segar (Manggung 2010) dan metode pembuatan yang dipilih adalah
perendaman dengan larutan garam jenuh. Lama pemeraman/ perendaman telur
asin bervariasi. Menurut Ginting (2007), perendaman dilakukan selama 7 hari.
Muharfiza (2010) menyatakan lamanya pemeraman telur asin adalah 15–20 hari.
Telur yang telah direndam larutan garam jenuh dicuci bersih, kemudian dilap
hingga kering. Kuning telur asin segar diambil untuk deteksi keberadaan antibodi
spesifik E. coli, S. Enteritidis, dan H5N1.
Tekstur kuning telur yang dihasilkan berupa gel dan dapat dilihat pada
Gambar 6. Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), sebagian besar kuning telur
asin akan mengeras dan memberikan rasa asin. Sesuai dengan pernyataan Zayas
(1997), gelasi pada kuning telur dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti
temperatur lemari pendingin, kecepatan pembekuan (freezing) dan pencairan
(thawing), serta penambahan garam atau gula. Garam yang berdifusi ke dalam
kerabang akan terperangkap oleh albumin. Tingginya kadar garam pada albumin
akan menarik air pada kuning telur sehingga menyebabkan kuning telur semakin
mengental (Kaewmanee et al. 2008).

21

Gambar 6 Kuning telur asin yang berbentuk gel
Hasil deteksi keberadaan anti EPEC ditunjukkan pada Tabel 1 dan anti
S. Enteritidis ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 1 Data hasil uji AGPT terhadap EPEC
Hasil AGPT Hari Perendaman ke-

Kode
Telur Asin

10

15

20

1

+

+

-

2

+

+

-

3

+

+

-

Ket:
(+)

: terdapat garis presipitasi pada AGPT

(-)

: tidak terdapat garis presipitasi pada AGPT

Gambar 7 berikut menunjukkan uji AGPT terhadap EPEC adanya garis presipitasi
(garis putih buram) pada sampel perendaman hari ke-10 dan ke-15 sedangkan
pada perendaman hari ke-20 tidak terlihat keberadaan garis presipitasi.

a

b

c

Gambar 7 Hasil uji AGPT antibodi spesifik terhadap antigen EPEC (E.C) dalam
kuning telur asin
(a) hari ke-10 (b) hari ke-15 (c) hari ke-20. Garis presipitasi (tanda
panah)

22

Tabel 2 Data hasil uji AGPT terhadap S. Enteritidis
Hasil AGPT Hari Perendaman ke-

Kode
Telur Asin

10

15

20

1

+

+

-

2

+

+

-

3

+

+

-

Ket:
(+)