Deteksi Keberadaan Antibodi Anti Diare (Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis) Dan Anti Flu Burung (H5N1) Pada Kuning Telur Ayam Isa Brown Yang Diberi Perlakuan Pemanasan Bertingkat

(1)

DAN ANTI FLU BURUNG (H5N1) PADA KUNING TELUR

AYAM ISA BROWN YANG DIBERI PERLAKUAN

PEMANASAN BERTINGKAT

TRI YULIANTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi deteksi keberadaan antibodi anti diare (Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis) dan anti flu burung (H5N1) pada kuning telur ayam Isa Brown yang diberi perlakuan pemanasan bertingkat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

Tri Yulianti


(3)

Salmonella Enteritidis) dan Anti Flu Burung (H5N1) pada Kuning Telur Ayam Isa Brown yang Diberi Perlakuan Pemanasan Bertingkat. Dibimbing oleh

AGUSTIN INDRAWATI dan RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan antibodi (imunoglobulin Y) spesifik Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, dan flu burung (H5N1) pada telur setelah proses pemanasan/perebusan. Pemanasan dilakukan dengan merebus telur selama 5 menit pada suhu 60°C, 70°C, 80°C, 90°C, dan 100°C. Telur yang diujikan merupakan telur koleksi positif mengandung antibodi anti diare dan anti flu burung. Digunakan metode Agar Gel Precipitation Test (AGPT) untuk mendeteksi antibodi anti diare dan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) untuk mendeteksi antibodi terhadap flu burung. Berdasarkan penelitian ini didapatkan hasil bahwa pada telur yang dipanaskan suhu 60°C, 70°C, dan 80°C selama 5 menit keberadaan antibodi (IgY) masih dapat terdeteksi dengan menggunakan metode AGPT dan HI. Antibodi spesifik untuk Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, dan flu burung (H5N1) bertahanan pada pemanasan telur dikisaran suhu 60–80°C. Sedangkan pemanasan telur selama 5 menit pada suhu 90°C dan 100°C sudah tidak terdeteksi adanya antibodi spesifik karena antibodi (IgY) yang terdiri dari protein sudah terdenaturasi. Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan telur aktivitas biologi IgY semakin menurun.


(4)

Salmonella Enteritidis) and Anti-Avian Influenza (H5N1) Antibody at Isa Brown Egg Yolk Chicken with warming various level treatment. Supervised by

AGUSTIN INDRAWATI and RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO.

This study was aimed to detect the existence of antibodies (immunoglobulin Y) specific to Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, and Avian influenza (H5N1) in eggs after heating/boiling process. The treatment is by heating or boiling the whole eggs complete with shells at a temperature of 60°C, 70°C, 80°C, 90°C and 100°C for 5 minutes. The Eggs were tested that containing antibodies of anti-diarrhea and anti-avian influenza. This research used Agar Gel Precipitation Test (AGPT) method to detect antibodies of anti-diarrhea and hemagglutination inhibition (HI) test to detect antibodies of avian influenza. The results showed that the presence of antibodies (IgY) can still be detected by using AGPT and HI method in the eggs which be heated at 60°C, 70°C and 80°C for 5 minutes. Antibodies specific for Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, and avian influenza (H5N1) could survive in the eggs complete with eggshells which be heated in the range of temperature 60–80°C. While on heating 90°C and 100°C has not detected the presence of antibodies specific because antibodies which is consist of protein was denatured. It could be concluded that the higher of egg heating temperature, IgY biological activity were decrease.


(5)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(6)

DAN ANTI FLU BURUNG (H5N1) PADA KUNING TELUR

AYAM ISA BROWN YANG DIBERI PERLAKUAN

PEMANASAN BERTINGKAT

TRI YULIANTI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(7)

Pemanasan Bertingkat

Nama : Tri Yulianti NIM : B04061452

Disetujui :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. drh. Hj. Agustin Indrawati, M.Biomed Prof. Dr. drh. Retno D Soejoedono, MS 19650815 199103 2 001 19520507 197412 2 001

Diketahui,

a.n Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Wakil Dekan

Dr. Nastiti Kusumorini 19621205 198703 2 001


(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, nikmat, dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai langkah kecil menuju harapan dan mimpi yang besar. Penelitian ini dimulai bulan Maret hingga Agustus 2010 dengan judul Deteksi Keberadaan Antibodi Anti Diare (Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis) dan Anti Flu Burung (H5N1) pada Kuning Telur Ayam Isa Brown yang Diberi Perlakuan Pemanasan Bertingkat.

Proses penyusunan skripsi ini merupakan sebuah perjalanan panjang yang tidak lepas dari dukungan banyak pihak, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Keluarga tercinta (Mama, Bapak, dan kedua kakak) atas segala dukungan, semangat, perhatian, pengertian, kasih sayang, dan doa yang tidak pernah terputus.

2. Ibu Dr. drh. Hj. Agustin Indrawati, M.Biomed dan Ibu Prof. Dr. drh. Retno Damayanti Soejoedono, MS selaku pembimbing skripsi atas ilmu, keterampilan, nasihat, saran, kritik, dan kesabarannya dalam membimbing penulis menyelesaikan tugas akhir.

3. Ibu Drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D selaku dosen penilai dalam seminar skripsi atas saran dan kritik kepada penulis terutama pada proses penulisan skripsi.

4. Bapak Drh. Chaerul Basri, M.Epid selaku dosen moderator dalam seminar skripsi atas segala masukan kepada penulis.

5. Bapak Drh. Nurhidayat, MS, Ph.D dan Ibu Dr. Drh. Anita Esfandiari, MSi selaku dosen penguji dalam Ujian Akhir Sarjana Kedokteran Hewan atas saran dan kritik kepada penulis terutama pada proses penulisan skripsi. 6. Ibu Prof. Dr. drh. M. Agatha Winny K. Sanjaya, MS selaku pembimbing

akademik.

7. Pegawai bagian Mikrobiologi Medik IPHK FKH IPB (Mba Selyn dan Mba Adeh) atas segala bimbingan, kesabaran, bantuan, dan kerjasama selama penelitian.


(9)

Kandang Unggas.

9. Seluruh pegawai Laboratorium Bakteriologi Departemen IPHK FKH IPB (Pak Agus Sumantri, S.Pd dan Mas Ivan).

10.Seluruh pegawai Laboratorium Imunologi bagian Mikrobiologi Medik Departemen IPHK FKH IPB (Pak Lukman dan Mas Wahyu).

11.Rekan-rekan sepenelitian (R. Enen Rosna Manggung dan Winda Mayang Sari) atas kerjasama, semangat, saling mengingatkan, dan keceriaan yang terjalin selama ini.

12.Sahabat-sahabat terbaik (Ivone Noor Arifin, Gendis Aurum Paradisa, dan Melati Anggraini) atas semangat, kebersamaan, pengertian, kasih sayang, dan rasa kekeluargaan.

13.Muhammad Hafidh Adityo atas segala kasih sayang, bantuan, kebersamaan, pengalaman, dan motivasi yang diberikan.

14.Teman-teman ‘seperjuangan’ di Al Quts, Puri Madani, Cempaka 20, Irafan, rekan-rekan Ornith atas semua pengalaman dan petualangan.

15.Teman-teman “43sculapius” yang tetap terkompak dan terbaik atas keceriaan, semangat dan kebersamaan.

16.Sahabat-sahabat angkatan 44 di FKH-IPB.

17.Seluruh civitas akademika FKH IPB yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, namun penulis berharap skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi penulis dan pembaca.

Bogor, Maret 2011


(10)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Juli 1988 dari ayah H. Kawit Santoso dan Ibu Bidan Hj. Sugiyati SKM, M.Si. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara.

Pada tahun 2000 penulis lulus dari SDN Sungai Bambu 01 Pagi Jakarta Utara dan melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 30 Jakarta. Selanjutnya pada tahun 2003–2006 penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 13 Jakarta. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2006 dan tercatat sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjabat staf Departemen Kewirausahaan BEM TPB 2006–2007, aktif menjadi anggota Himpunan Minat dan Profesi Ornithologi dan Unggas (2006–2009), Kepala departemen komunikasi dan publikasi HIMPRO Ornitologi dan Unggas (2007–2008), dan penulis pernah mengikuti Program Pengabdian Masyarakat Abdi Nusantara di Wonosobo pada tahun 2009.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Diare dan Penyebabnya ... 4

Escherichia coli ... 5

Salmonella Enteritidis ... 6

Flu Burung (H5N1) ... 8

Telur Ayam dan Pemanasan/ Perebusan Telur ... 10

Sistem Imun dan Imunoglobulin Y pada Ayam ... 12

Imunodifusi ... 16

Hemaglutinasi Inhibisi ... 18

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

Alat dan Bahan ... 21

Metode ... 22

Tahap kultur biakan antigen murni untuk dijadikan vaksin Inaktif ... 22

Tahap penyuntikan antigen ... 22

Tahap pengenceran sederhana/segar kuning telur ... 23

Tahap perlakuan dengan pemanasan bertingkat ... 23

Tahap uji keberadaan antibodi spesifik ... 24

Teknik Imnunodifusi Agar Gel Precipitation Test ... 24

Pengujian terhadap antibodi H5N1 ... 25

Pembuatan SDM 1% ... 25

Penyiapan virus standar 4 HAU ... 26

Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) ... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN Deteksi antibodi (IgY) spesifik Escherichia Coli, Salmonella Enteritidis, dan H5N1 pada telur yang diberi perlakuan pemanasan bertingkat ... 28


(12)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ... 38 Saran ... 38 DAFTAR PUSTAKA ... 39


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Data hasil uji AGPT terhadap E. coli dan S. Enteritidis ... 29 2 Data hasil uji HI terhadap virus H5N1 ... 34


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Escherichia coli ... 6

2 Salmonella Enteritidis ... 7

3 Virus Influenza ... 9

4 Struktur Imunoglobulin ... 14

5 Struktur IgY dan IgG ... 16

6 Reaksi presipitasi positif antibodi spesifik terhadap antigen ... 17

7 Interpretasi hasil HI test ... 19

8 Hasil AGPT telur pemanasan terhadap antigen E. coli ... 30


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara beriklim tropis dan memiliki kelembaban udara yang tinggi. Faktor pendukung ini menjadikan makhluk hidup termasuk mikroorganisme yang bersifat patogen dapat tumbuh dan berkembang biak dengan optimal. Buruknya sanitasi lingkungan dan pola hidup masyarakat Indonesia yang kurang sehat turut menjadi faktor pemicu tingginya kasus penyakit akibat bakteri maupun virus berbahaya. Diare merupakan salah satu gejala klinis yang umum terjadi ketika manusia atau hewan terserang suatu agen penyakit. Diare banyak menimbulkan masalah dan terjadi secara terus menerus di semua daerah di Indonesia.

Diare adalah meningkatnya frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi feses menjadi cair (Djojoningrat 2006). Diare dapat disebabkan oleh infeksi mikroorganisme antara lain bakteri, virus, dan parasit lainnya seperti jamur, cacing, dan protozoa. Beberapa bakteri penyebab diare adalah Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) dan Salmonella Enteritidis (Mustopa 1999). Gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi kedua bakteri ini memiliki kesamaan yaitu mual, muntah, dan nyeri abdominal. Kemudian timbul diare cair dengan volume yang cukup besar, ada kalanya tinja mengandung darah, sakit kepala, demam, dan adanya perasaan lemah (Lesmana 2006). Diare merupakan penyakit yang mematikan apabila tidak cepat ditangani dengan baik.

Tingginya angka kejadian diare di dunia khususnya Indonesia menyebabkan keresahan di masyarakat dan pemerintah. Tidak hanya kasus diare, peyebaran penyakit influenza yang berasal dari burung (flu burung) juga sempat menyita perhatian publik. Menurut VSF-CICDA (2005) flu burung (avian influenza) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus influenza tipe A yang bisa mengenai unggas. Sifat virus ini sangat berbahaya karena dapat membunuh seluruh unggas di area usaha peternakan, cepat menyebar ke area peternakan lain, dan dapat menyebabkan kematian pada manusia. Virus influenza sendiri termasuk dalam famili Orthomyxoviridae yang terdiri dari 3 tipe yaitu A, B, dan C. Virus influenza tipe B dan C dapat menyebabkan penyakit pada


(16)

manusia dengan gejala yang ringan dan tidak fatal sehingga tidak terlalu menjadi masalah. Semua subtipe dari virus influenza A ini dapat menginfeksi unggas yang merupakan inang alaminya (Nainggolan 2006). Berdasarkan patogenitasnya virus AI dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dan Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Kasus flu burung yang saat ini dikhawatirkan di Indonesia adalah virus influenza A subtipe H5N1 yang digolongkan dalam Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) (Wibawan et al. 2009).

Tindakan preventif berupa vaksinasi atau pengebalan pasif dianggap sebagai langkah yang paling optimal dalam upaya pencegahan terhadap infeksi oleh suatu agen penyakit. Salah satu caranya diberikan suatu substansi pengebal tubuh yang mengandung zat antibodi. Antibodi ini dapat digunakan untuk menangkal berbagai penyakit infeksi termasuk diare dan flu burung. Antibodi terdiri dari beberapa imunoglobulin (Ig) yang merupakan substansi pertama yang diidentifikasi sebagai molekul dalam serum yang mampu menetralkan sejumlah mikroorganisme penyebab infeksi (Mustopa 1999).

Telur merupakan produk perunggasan yang sangat akrab, banyak digemari, dan telah menjadi bahan makanan masyarakat. Telur mempunyai nilai gizi yang tinggi, komposisi nutrisi lengkap, dan mudah dicerna. Selain sebagai bahan pangan yang bermanfaat, telur dapat pula dijadikan sebagai media untuk memproduksi antibodi (Mustopa 1999). Antibodi spesifik sebagai respon vaksinasi yang ada dalam darah ditransfer secara efektif ke dalam kuning telur yang disiapkan untuk melindungi anak ayam pada hari-hari pertama setelah menetas (maternal antibody). Penggunaan telur ayam sebagai pabrik biologis penghasil immunoglobulin yolk (IgY) sangat menjanjikan karena telur dapat dengan mudah diproduksi secara massal, relatif murah, dan mudah didapat. Selain itu, ayam memiliki sistem kekebalan tubuh atau imunitas yang cukup berkembang sehingga sangat responsif terhadap antigen yang memaparnya. Keunggulan lainnya adalah IgY dapat diperoleh dari telur dengan konsisten menjaga animal welfare, tanpa harus menyakiti hewan, serta jumlah antibodi yang dihasilkan oleh ayam petelur lebih banyak dibandingkan dengan antibodi hewan model lainnya (Wibawan et al. 2009).


(17)

Tindakan pencegahan maupun pengobatan terhadap suatu penyakit melalui pemberian antibodi (IgY) dalam telur ayam sampai saat ini masih terbatas dalam skala laboratorium. Sebagai bentuk aplikasi pemberi antibodi dapat dilakukan secara oral dengan mengkonsumsi telur positif mengandung IgY spesifik. Antibodi dalam telur agar dapat diberikan secara oral harus melewati beberapa tahapan yang dapat menurunkan aktivitas antibodi seperti denaturasi akibat pemanasan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut untuk mengetahui sejauh mana penurunan aktivitas IgY anti diare dan anti flu burung akibat proses pemanasan atau perebusan telur.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya tahan antibodi (IgY) spesifik terhadap Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, dan H5N1 pada telur ayam setelah diberi perlakuan pemanasan bertingkat. Telur ayam yang diujikan merupakan telur koleksi positif mengandung antibodi anti diare dan anti flu burung. Deteksi keberadaan IgY pada kuning telur setelah proses pemanasan dilakukan dengan metode imunodifusi dan uji hambat hemaglutinasi.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi keberadaan dan daya tahan antibodi spesifik Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, dan H5N1 pada telur ayam yang diberi perlakuan pemanasan bertingkat. Serta untuk merancang dan memproduksi telur khasiat three in one (anti diare dan anti flu burung) sebagai kemungkinan aplikasi makanan fungsional dan nilai tambah telur konsumsi baik dari sisi manfaat maupun sisi ekonomi.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Diare dan Penyebabnya

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan, negara-negara berkembang khususnya di Asia Tenggara perlu lebih memperhatikan kasus diare dan pneumonia dalam program kesehatan nasional. Diare hingga kini masih menjadi penyebab utama kematian anak berusia di bawah lima tahun (balita) di Asia Tenggara. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) (ESP 2009; Persi 2009). Kematian yang terjadi berhubungan dengan kejadian diare pada anak-anak atau usia lanjut dikarenakan kesehatan pada usia pasien tersebut rentan terhadap dehidrasi sedang sampai berat. Frekuensi kejadian diare pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia lebih banyak 2–3 kali dibandingkan dengan negara maju (Tadda 2010).

Diare sesuai dengan definisi Hippocrates adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair (Suharyono 2008). Simadibrata (2006) mendefinisikan diare yaitu buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. Definisi ini tidak menunjukkan pada berapa frekuensi diarenya, tetapi definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar lebih dari tiga kali dengan konsistensi yang berubah. Diare umumnya disebabkan oleh infeksi virus, protozoa; (Giardia lambdia, Entamoeba hystolitica), bakteri; yang memproduksi enterotoksin (S. aureus, C. perfringen), E. coli, V. cholera, C. difficile dan yang menimbulkan inflamasi mukosa usus (Shigella sp., Salmonela sp., Yersinia), iskemia intestinal Inflammatory Bowel Disease (acute on chronic), dan kolitis radiasi (Djojoningrat 2006) .

Infeksi yang disebabkan oleh virus maupun bakteri pada traktus intestinalis disebut sebagai enteritis. Infeksi paling luas pada kasus diare terjadi pada seluruh usus besar dan ujung distal ileum. Dimanapun infeksi terjadi, mukosa teriritasi secara luas, dan kecepatan sekresinya sangat tinggi. Sebagai tambahan, motilitas dinding usus biasanya meningkat berlipat ganda. Akibatnya, sejumlah besar cairan cukup untuk membuat agen infeksius tersapu ke arah anus,


(19)

dan pada saat yang sama gerakan mendorong yang kuat akan mendorong cairan ini ke depan. Ini merupakan mekanisme yang penting untuk membersihkan kotoran traktus intestinalis dari infeksi yang mengganggu (Guyton & Hall 1997).

Diare yang terjadi tanpa adanya kerusakan mukosa usus (non-inflamatorik) umumnya disebabkan oleh toksin bakteri (terutama Enteropathogenic Escherichia coli / EPEC dan Salmonella Enteritidis). Gejala klinis diare yang disebabkan oleh kedua bakteri ini adalah konsistensi feses sangat cair, tidak ada darah, nyeri perut terutama daerah umbilikus (karena kelainan terutama di daerah usus halus), kembung, mual, muntah dan demam ringan (Djojoningrat 2006).

Agen infeksius yang menyebabkan penyakit dengan gejala diare biasanya ditularkan melalui jalur fecal-oral terutama karena menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi dan atau kontak dengan tangan yang terkontaminasi. Penularan secara fecal-oral, yaitu kontak dari manusia/hewan ke manusia dan atau hewan atau kontak orang/hewan dengan alat rumah tangga (Manggung 2010). Bahaya utama diare adalah kematian yang disebabkan karena tubuh banyak kehilangan air dan garam yang terlarut (dehidrasi) (Harianto 2004). Akan tetapi menurut Djojoningrat (2006) pada umumnya diare akut dapat bersifat sembuh sendiri dalam 5 hari dengan pengobatan sederhana yang disertai rehidrasi.

Escherichia coli

Escherichia coli merupakan salah satu anggota famili Enterobacteriaceae yang sering menimbulkan penyakit diare. Bakteri ini ditemukan oleh Theodor Escherich pada tahun 1885. Secara garis besar klasifikasi bakteri Escherichia coli berasal dari Filum Proteobacteria, Kelas Gamma Proteobacteria, Ordo Enterobacteriales, Familia Enterobacteriaceae, Genus Escherichia, Spesies Escherichia coli. Morfologi Escherichia coli yaitu berbentuk batang pendek, gemuk, berukuran 2,4 µ x 0,4 sampai 0,7 µ , bersifat gram-negatif, motil dengan flagella peritrikus dan tidak berspora. Bentuk morfologi Escherichia coli dapat dilihat pada gambar 1. Bakteri Escherichia coli merupakan organisme penghuni utama usus besar, hidupnya komensal dalam kolon manusia dan diduga berperan


(20)

dalam pembentukan vitamin K yang berperan dalam proses pembekuan darah (Munif 2009).

Gambar 1 Escherichia coli (Todar 2008)

Escherichia coli memiliki sejumlah antigen yaitu O, K, dan H. Antigen (serotipe) ini penting untuk membedakan strain Escherichia coli yang menyebabkan penyakit. Lebih dari 700 jenis antigen Escherichia coli yang teridentifikasi, hanya sebagian kecil bersifat patogen, misalnya strain O157:H7 (EPEC). Antigen O mengacu pada antigen somatik, H mengacu pada antigen flagellar (Todar 2008).

Sebagian besar Escherichia coli merupakan flora normal usus kecil dan usus besar yang umumnya tidak menyebabkan penyakit (non-patogenik). Namun demikian, non-patogenik Escherichia coli dapat menyebabkan penyakit jika berada di luar usus misalnya, ke dalam saluran kemih (infeksi kandung kemih atau ginjal), maupun ke dalam aliran darah (sepsis). Strain Escherichia coli yang lain (enterovirulent Escherichia coli strain atau EEC termasuk EPEC) menyebabkan keracunan atau diare meskipun berada di dalam usus dengan memproduksi racun mengakibatkan peradangan pada usus (Davis 2009).

Masa inkubasi Escherichia coli sekitar 3–5 hari dengan gejala awal mual, muntah, kram perut, diare dapat disertai darah, seringkali di ikuti demam (37,7– 38,3ºC) (Davis 2009). Umumnya Escherichia coli masuk ke dalam tubuh melalui rute oral dari makanan atau benda yang tercemar bakteri ini.

Salmonella Enteritidis

Salmonella termasuk dalam famili Enterobacteriaceae, bakteri ini merupakan kausa utama dari penyakit enterik bakterial. Infeksi


(21)

Salmonella enterica subspesies enterika (Salmonella Enteritidis) merupakan satu dari enam subspesies Salmonella yang memiliki tingkat insidensi tinggi sebagai pencemar makanan (foodborne salmonellosis) (Lesmana 2006).

Gambar 2 Salmonella Enteritidis(Anonim(3) 2010)

Salmonella Enteritidis merupakan bakteri yang bersifat gram negatif, berbentuk batang, tidak berspora, tidak berkapsul, motil dengan flagella peritrikus, dan dapat hidup secara aerob atau fakultatif anaerob (Lesmana 2006). Bentuk bakteri ini terlihat pada gambar 2. Salmonella Enteritidis dapat tumbuh optimum pada suhu 35–37oC dan pH 6,5–7,5. Bakteri ini dalam kondisi lingkungan yang memungkinkan dapat hidup selama berbulan-bulan. Namun Salmonella rentan terhadap panas, sinar matahari, dan kebanyakan jenis desinfektan (Schnurrenberger & Hubbert 1991).

Menurut WHO (2010) bakteri ini umumnya ditularkan ke manusia melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi yang berasal dari hewan, terutama daging, unggas, telur, dan susu. Gejala infeksi Salmonella biasanya muncul 12–72 jam setelah infeksi dengan gejala klinis termasuk demam, sakit perut, diare, mual, dan kadang-kadang muntah. Penyakit ini biasanya berlangsung 4–7 hari dan kebanyakan orang sembuh tanpa pengobatan. Namun, pada anak-anak dan orang tua, ketika bakteri memasuki aliran darah, diperlukan pula pengobatan menggunakan antibiotik.

Reservoir utama untuk Salmonella Enteritidis adalah hewan termasuk didalamnya hewan ternak dan ternak unggas, burung, dan hewan peliharaan, serta produk-produk asal hewan. Transmisi organisme ini pada manusia dapat terjadi melalui makanan atau minuman yang tercemar melalui rute fecal-oral maupun melalui kontak antara manusia dan hewan yang terinfeksi Salmonella. Telur


(22)

merupakan sumber infeksi yang paling umum. Ayam yang terinfeksi oleh Salmonella dapat menyebabkan inkorporasi bakteri ini ke dalam telur pada saat proses pembentukannya, ketika kulit telur belum mengalami proses kalsifikasi secara lengkap. Atau mungkin terjadi kontaminasi permukaan telur oleh feses (Lesmana 2006).

Perkiraan jumlah inokulum yang diperlukan untuk terjadinya infeksi pada seorang individu dewasa adalah sekitar 105–106 organisme, tetapi pada bayi dan anak-anak diperkirakan jumlah inokulum ini lebih kecil (Lesmana 2006). Vought dan Tatini (1998) mengemukakan bahwa wabah salmonellosis di Inggris telah terjadi pada orang dewasa akibat mengkonsumsi es krim yang terkontaminasi Salmonella Enteritidis sebanyak ≥ 107 CFU. Pada orang dewasa yang mengkonsumsi makanan terkontaminasi bakteri tersebut sebanyak 105–106 CFU dilaporkan tidak menunjukkan gejala klinis penyakit. Namun beberapa penelitian menyatakan bahwa sejumlah kecil Salmonella Enteritidis dalam makanan (≤105 CFU) telah dapat menyebabkan infeksi. Hal ini dapat terjadi karena produk makanan tersebut mengandung banyak lipid dan atau gula yang dapat melindungi Salmonella dari barrier lambung yang bersifat asam sehingga bakteri tersebut dapat mencapai usus halus dan menimbulkan gejala penyakit.

Flu Burung (H5N1)

Avian Influenza (AI) adalah penyakit pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza subtipe A dari famili Orthomixoviridae. Virus influenza memiliki tiga tipe antigenik yaitu tipe A, tipe B, dan tipe C. Virus influenza mempunyai selubung/simpai yang terdiri dari kompleks protein dan karbohidrat. Virus ini mempunyai tonjolan (spikes) yang digunakan untuk menempel pada reseptor yang spesifik pada sel-sel hospesnya pada saat menginfeksi sel (gambar 3). Terdapat 2

jenis spikes yaitu mengandung hemaglutinin (HA) dan mengandung

neuraminidase (NA) yang terletak dibagian terluar dari virion (Horimoto & Kawaoka 2001). Virus influenza tipe A dapat dibagi menjadi subtipe dan varian berdasarkan hemaglutinin (HA), terdiri dari H1–H15, dan neuraminidase (NA), terdiri dari N1–N9. Variasi antigen H dan N ini dapat menghasilkan 135 kemungkinan subtipe virus muncul diantaranya adalah : H1N1, H1N2, H3N3,


(23)

H5N1, H7N7, H9N1 (Soejoedono & Ekowati 2005) Akibat dari kombinasi ini penyakit yang disebabkan oleh virus AI dapat muncul dalam beberapa bentuk yang berbeda, yaitu tanda-tanda klinis yang umum dan parah atau Highly Pathogenic (HPAI), tanda-tanda klinis pada pernafasan dan ringan atau Low Pathogenic (LPAI), dan tanpa tanda-tanda klinis (VSF-CICDA 2005).

Virus influenza pada unggas mempunyai sifat dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22oC dan lebih dari 30 hari pada suhu 0oC. Di dalam tinja unggas dan di dalam tubuh unggas sakit dapat hidup lebih lama, tetapi mati pada pemanasan 60oC selama 30 menit atau 56oC selama 3 jam dan pemanasan 80oC selama 1 menit. Virus akan mati dengan detergen, desinfektan misalnya formalin, cairan yang mengandung iodine dan alkohol 70% (Nainggolan 2006).

Gambar 3 Virus Influenza (Todar 2008)

Salah satu ciri penting dari virus influenza adalah kemampuannya untuk mengubah antigen permukaan (H dan N) baik secara cepat/mendadak maupun lambat (bertahun-tahun). Peristiwa terjadinya perubahan besar dari struktur antigen permukaan yang terjadi secara singkat disebut antigenic shift. Bila perubahan antigen permukaan yang terjadi hanya sedikit disebut antigenic drift. Antigenic shift hanya terjadi pada virus influenza A sedangkan antigenic drift terjadi pada virus influenza B dan virus influenza C relatif stabil. Teori yang mendasari terjadinya antigenic shift adalah adanya penyusunan kembali dari gen-gen pada H dan N diantara manusia dan virus influenza melalui perantara host ketiga. Proses antigenic shift akan memungkinkan terbentuknya virus baru yang lebih ganas sehingga keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya infeksi sistemik yang berat kerena sistem imun inang baik seluler maupun humoral belum sempat terbentuk (Nainggolan 2006).


(24)

Penularan penyakit yang disebabkan oleh virus flu burung dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Penularan secara langsung adalah penularan dengan cara kontak langsung antara hewan penderita flu burung dengan hewan lain yang peka maupun manusia. Hewan yang terinfeksi mengeluarkan virus melalui saluran pernafasan, mata, dan feses. Penularan secara tidak langsung dapat terjadi melalui udara yang tercemar meterial atau debu yang mengandung virus avian influenza dengan semua barang yang pernah mengalami kontak dengan penderita (Yuliarti 2006).

Telur Ayam dan Pemanasan/ Perebusan Telur

Telur merupakan sumber protein hewani yang baik, bergizi tinggi, lezat, dan mudah didapatkan. Telur ayam banyak mengandung berbagai jenis protein berkualitas tinggi termasuk mengandung semua jenis asam amino esensial bagi kebutuhan manusia. Telur terdiri dari protein 13%, lemak 12%, serta vitamin, dan mineral. Vitamin dan mineral yang terkandung dalam telur diantaranya vitamin A, riboflavin, asam folat, vitamin B6, vitamin B12, choline, besi, kalsium, fosfor, dan potasium. Kandungan vitamin A, D, dan E terdapat dalam kuning telur. Kadar proteinnya sekitar 14%, sehingga dari tiap butir telur akan diperoleh sekitar 8 gram protein (PoultryIndonesia 2002; Muchtadi 2005).

Adanya mitos di masyarakat bahwa telur mentah ataupun setengah matang memiliki khasiat lebih tinggi dibandingkan dengan telur matang masih perlu diteliti lebih lanjut. Mencampur telur mentah dalam minuman seperti jamu, minuman energi, atau makanan dipercaya cukup higienis dan aman dikonsumsi sudah menjadi kebiasaan sejumlah orang. Berdasarkan penelitian tentang kandungan nilai gizi dari perlakuan konsumsi telur baik mentah, setengah matang, dan matang, menunjukkan hasil yang tidak jauh beda. Mengkonsumsi telur mentah akan memberikan rasa kenyang yang lebih lama daripada mengkonsumsi telur matang. Telur mentah memiliki daya cerna yang lebih rendah sehingga lebih lama berada dalam saluran pencernaan manusia dalam keadaan utuh. Keawetan membuat kenyang inilah yang menyebabkan telur mentah dianggap lebih bergizi (Pramita 2009).


(25)

Menurut Poultry Indonesia (2002) telur mentah hanya mengandung 51% zat gizi biologis sementara telur yang sudah dimasak mengandung hampir 91% zat gizi biologis. Kandungan protein dalam telur matang hampir dua kali lipat dapat diserap tubuh dibandingkan dengan telur mentah. Mengkonsumsi telur mentah dapat menimbulkan berbagai dampak negatif diantaranya adanya bakteri (Salmonella) dan zat-zat yang mengganggu proses penyerapan nutrisi dalam tubuh seperti avidin dan ovomucoid yang hanya dapat inaktif dengan proses pemanasan (Pramita 2009). Faktor yang penting dalam proses pemanasan/perebusan adalah waktu dan suhu perebusan telur. Menurut berbagai sumber untuk membuat telur rebus setengah matang diperlukan waktu 5–8 menit dengan suhu 70–80oC (Wikipedia 2010; Anonim(1) 2009).

Selain sebagai bahan pangan bermanfaat telur dapat pula dijadikan media untuk memproduksi antibodi. Penggunaan telur sebagai sumber antibodi untuk kepentingan preventif dan imunoterapi dilakukan untuk mendongkrak konsumsi telur masyarakat Indonesia (Mustopa 1999). Penggunaan telur ayam sebagai pabrik biologis sangat menjanjikan karena telur dapat dengan mudah diproduksi secara massal, relatif murah, dan mudah didapat. Antibodi spesifik dalam kuning telur dapat diberikan dan disajikan dalam bentuk nutriceutical food atau antibodi (IgY) dimurnikan dari kuning telur menggunakan metode yang sederhana dengan jumlah yang cukup banyak. Ayam biasanya bertelur 5 sampai 6 butir per minggu dan sebutir kuning telur yang mempunyai volume 15 ml, rata-rata mengandung 50–100 mg IgY, dengan kandungan antibodi spesifik 2% sampai 10% (Wibawan et al. 1999).

Menurut Mustopa (2004) keuntungan penggunaan telur sebagai sumber antibodi dibandingkan dengan mamalia adalah (1) satu butir telur menghasilkan IgY setara dengan IgG yang diambil dari 40 ml darah kelinci, (2) cara panenya sederhana, (3) pengambilan tidak invasif dan tidak menyakiti hewan, (4) merupakan alternatif yang paling menjanjikan sebagai pengganti cara memproduksi IgG konvensional, (5) dapat dipanen setiap hari terus menerus, (6) tidak menunjukkan reaksi silang dengan komponen jaringan mamalia, karena jarak filogenik antara unggas dan mamalia sangat jauh, (7) telur dapat disimpan dengan mudah dalam jangka waktu yang relatif lama, (8) menghasilkan respon


(26)

imun yang lebih spesifik, dan (9) tidak memiliki efek samping, karena tidak bereaksi dengan IgG mamalia dan reseptor.

Sebagai bentuk aplikasi baik untuk pencegahan maupun pengobatan terhadap penyakit diare dan flu burung pada individu terinfeksi, antibodi dalam telur ayam dapat diberikan secara oral, yaitu dengan mengkonsumsi telur yang mengandung antibodi. Untuk dapat diberikan secara oral antibodi dalam telur harus melewati beberapa tahapan yang dapat menurunkan aktivitas antibodi anti diare dan anti flu burung seperti denaturasi akibat pemanasan saat telur direbus, pH asam lambung yang rendah (asam), dan pH usus yang basa. Antibodi juga melewati aktivitas enzim pencernaan seperti pepsin (asam lambung) dan tripsin (enzim dalam usus) (Carlender 2002).

Proses pemanasan atau perebusan telur akan mengakibatkan terjadinya denaturasi protein. IgY sebagaimana protein lainnya akan mengalami kerusakan akibat suhu yang tinggi. Hatta et al. (1992) menyatakan bahwa IgY mulai terdenaturasi pada suhu 73,9ºC. Pemanasan protein dapat memutus ikatan nonkovalen sehingga molekulnya akan terdenaturasi (Whitaker 1994). Kerusakan dari struktur IgY akibat panas dapat menyebabkan menurunnya kemampuan antibodi. Oleh karena itu informasi tentang stabilitas IgY sangat diperlukan saat digunakan sebagai reagen imunodiagnostik maupun imunoterapi (Shimizu et al. 1992).

Sistem Imun dan Imunoglobulin Y pada Ayam

Ayam mempunyai kandungan antibodi yang mampu melawan berbagai serangan infeksi. Sistem pertahanan tubuh dalam kuning telur adalah antibodi humoral utama pada anak ayam. Antibodi dalam telur pertama kali dipublikasikan oleh Klemperer pada tahun 1893, yang menggambarkan adanya kekebalan pasif terhadap toksin tetanus yang diturunkan dari induk ke anak ayam. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya induk ayam adalah produsen antibodi yang sangat potensial (Carlender 2002). Secara umum untuk memproduksi antibodi di dalam telur dapat dilakukan dengan menyuntik ayam menggunakan antigen tertentu yang dikehendaki (vaksin, bakterin, toksoid, atau bahan biologis lain).


(27)

Cara penyuntikan dapat dilakukan secara intravena, intramuskular, atau subkutan tergantung dari preparasi antigen yang dikehendaki (Wibawan 2008).

Sistem kekebalan pada unggas merupakan suatu mekanisme yang digunakan dalam tubuh unggas sebagai perlindungan terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh pengaruh lingkungan dan sekitarnya (Poultry Indonesia 2009). Sistem kekebalan tubuh yang terpapar oleh suatu zat yang dianggap asing, maka tubuh akan mengalami dua jenis respon, yaitu respon kebal non-spesifik dan respon kebal spesifik. Kekebalan non-spesifik merupakan sistem kebal bawaan dan respon kebal spesifik merupakan respon kebal dapatan (Roitt 1994). Respon kebal non-spesifik biasanya berupa kekebalan tubuh yang bersifat fisik dan terdiri dari berbagai macam fungsi yang berperan sebagai garis pertahanan pertama terhadap infeksi. Respon kebal spesifik dimulai dengan pengenalan zat yang dianggap asing sampai dengan menyingkiran zat tersebut.

Menurut Roitt dan Delves (2001) komponen-komponen yang mendasar di dalam mekanisme respon kekebalan antigen spesifik (adaptive defense) adalah limfosit B dan limfosit T sedangkan kekebalan non-spesifik (innate defense) diperankan oleh sel-sel neutrofil, monosit (di dalam jaringan disebut makrofag), eosinofil, dan basofil. Semua komponen dasar yang berperan pada mekanisme kekebalan tersebut berasal dari stem sel. Limfosit (sel B) bertanggung jawab terhadap produksi antibodi. Limfosit (sel T) bertanggung jawab terhadap respons sitotoksik, dan sel T helper (Th) bertanggung jawab terhadap sel B dan sel T sitotoksik. Pemeliharaan (maintenance) sistem kekebalan membutuhkan komunikasi interseluler yang memperantarai hubungan sel ke sel (misalnya melalui produksi sitokin) dan sel-sel pelengkap (misalnya sel fibroblast dan sel endotel).

Pemaparan antigen ke dalam tubuh induk ayam akan menghasilkan reaksi kebal yang terdiri dari respon kekebalan humoral dan respon kekebalan seluler. Sel-sel sistem kekebalan humoral yaitu limfosit B memberikan respon terhadap rangsangan antigenik dengan jalan menghasilkan dan mengeluarkan imunoglobulin khusus yang disebut antibodi (Fenner et al. 1995). Antibodi di dalam telur memiliki spesifisitas antibodi yang tinggi terhadap antigen yang telah disuntikkan (Rollier et al. 2000). Antibodi induk yang ditransfer secara pasif oleh


(28)

induk kepada anaknya sebagai immunoglobulin yolk (IgY) berfungsi sebagai pertahanan terhadap benda asing ketika sistem imun anak belum sempurna.

Menurut Stowell (2002) Imunoglobulin tersusun atas 2 rantai berat dan 2 rantai ringan (heavy and light chain) yang dihubungkan oleh ikatan disulfida sehingga membentuk struktur Y (gambar 4). Secara morfologi IgY pada ayam berbeda dengan IgG mamalia, hal ini terlihat dari H (heavy chain) yang lebih besar dan secara antigenik berbeda dengan H chain pada IgG mamalia. Konsentrasi IgY pada kuning telur cenderung konstan sesuai dengan tingkat kematangan oocyte, dan pada kuning telur yang telah siap (mature) ditemukan 10–20 mg/ml IgY. Ayam dapat digunakan untuk memproduksi antibodi selama masa produksi telurnya. Ayam yang telah digunakan untuk memproduksi antibodi selama 3 bulan harus diberikan imunisasi booster setiap bulan berikutnya untuk memastikan titer antibodi yang tetap tinggi. Bila diasumsikan satu ekor induk ayam mampu untuk menghasilkan 20 butir telur per bulan, maka lebih dari 2 gram IgY kuning telur dapat diisolasi per bulan. Konsentrasi IgY pada serum ayam berkisar antara 5–7 mg/ml. Oleh karena itu 2 gram IgY kuning telur sama dengan kandungan IgY pada 300 ml serum atau 600 ml darah (Carlender 2002 ; Falkhi 2008).

Gambar 4 Struktur imunoglobulin (Stowell 2002)

Fraksi imunoglobulin pada ayam yang terbanyak dikenal dengan immunoglubulin Yolk (IgY) dan banyak ditemukan pada serum serta telur (Szabo et al. 1998). Menurut Warr et al. (1995) IgY memiliki fungsi yang sama dengan IgG mamalia. Imunoglobulin Y yang terdapat dalam telur merupakan maternal antibody pada kuning telur ayam akibat adanya transpor antibodi dari serum induk ayam kepada anaknya. Transfer antibodi terjadi dalam dua tahap, yaitu tahap


(29)

pertama IgY ditransfer dari serum ke kuning telur sebagaimana transfer plasenta mamalia. Keberadaan reseptor IgY pada oosit akan mendorong kejadian pengikatan dan pemindahan seluruh populasi IgY pada`serum ayam ke telur. Kemudian tahap kedua adalah tranfer Ig Y dari kantung kuning telur ke telur yang berembrio (Gassman et al. 1990).

Transfer IgY secara transovarial berlangsung kurang lebih 3–6 hari, tergantung dari jumlah sel telur yang ada di dalam tubuh ayam (Patterson et al. 1962; Wooley et al. 1995). IgY ditansfer dari serum melewati oolemma ke dalam oosit yang telah matang dalam folikel ovari (Rose dan Orland 1981). Transfer ini terjadi melalui reseptor spesifik di permukaan membran kantung kuning telur (Tressler dan Roth 1987). Tingginya kadar IgY di dalam darah tidak selalu sama dengan dengan kadar IgY di dalam kuning telur karena transfer IgY ke dalam kuning telur diketahui terjadi dalam 2 tahap. Setiap tahap memerlukan waktu tertentu (Wibawan 2008).

Dilihat dari sifat transfer antibodi tersebut maka ayam petelur memiliki potensi efektif sebagai produsen antibodi. Antibodi spesifik yang dihasilkan oleh ayam menawarkan beberapa keuntungan dibandingkan dengan antibodi yang dihasilkan mamalia. Antibodi dalam sebutir telur sama dengan antibodi yang dihasilkan sekali pemanenan darah kelinci (Poetri 2006). Selain itu ayam memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap pemaparan antigen asing sehingga sistem imun ayam sangat responsif dan persisten untuk produksi IgY (Hau & Hendriksen 2005).

Hal penting yang membedakan IgG dengan IgY yaitu Imunoglobulin Y (IgY) memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan IgG (gambar 5), lebih resisten terhadap suhu dan pH dibandingkan dengan IgG (Szabo et al. 1998). IgY dapat mengenali lebih banyak epitop antigenik dibandingkan dengan antibodi yang diproduksi mamalia. IgY bersifat lebih asam dan memiliki kerapatan molekul lebih rendah (Higgins 1995) dibandingkan dengan IgG mamalia. IgY tidak berikatan dengan faktor komplemen, protein A, protein G, dan reseptor Fc bakteri (Jensenius et al. 1981). Tidak berikatan dengan faktor rheumatoid dalam darah, tidak mengaktifkan faktor komplemen mamalia sehingga tidak merangsang timbulnya efek samping, tidak berikatan dengan reseptor Fc pada permukaan sel,


(30)

dan kemampuan mengikat antibodi sekunder 3 hingga 5 kali lebih kuat (Poetri 2006).

Gambar 5 Struktur IgG dan IgY (Szabo et al. 1998)

Secara keseluruhan struktur IgY menyerupai IgG mamalia, dengan dua rantai ringan dan rantai berat. Molekul ini memiliki masa 167.259 Da, sedikit lebih besar dari IgG ( 160 kDa) (Carlender 2002). Cara penyimpanan IgY dapat dilakukan seperti cara penyimpanan IgG, yaitu disimpan dalam refrigerator yang dilengkapi dengan kelengkapan penghambat pertumbuhan bakteri. (Carlender 2002).

Imunoglobulin Y relatif stabil untuk dipertahankan aktivitasnya jika disimpan dalam kondisi ruang (normal). Aktivitas IgY dapat dipertahankan dengan baik jika disimpan pada suhu 37°C untuk jangka waktu satu bulan atau pada suhu kamar untuk jangka waktu 6 bulan dan aktivitas IgY dapat dipertahankan selama 10 tahun jika disimpan pada suhu 4°C (Larsson et al. 1993). Shin et al. (2002) menyatakan bahwa IgY stabil pada suhu 40°C, dan hanya kehilangan 20% aktivitasnya pada pemanasan dengan suhu 60°C selama 10 menit serta stabil pada pH 4–8.

Imunodifusi (Agar Gel Presipitation Test / AGPT)

Teknik imunodifusi merupakan salah satu cara untuk menganalisa keberadaan antibodi. Salah satu tekniknya adalah Agar Gel Presipitation Test (AGPT). Uji ini menggunakan teknik presipitasi (pengendapan) antigen oleh antibodi yang sesuai. Uji ini bersifat kualitatif yaitu dapat mengetahui keberadaan antibodi spesifik antigen atau tidak. Interaksi antigen-antibodi invitro yang


(31)

merupakan dasar imunokimia terdiri dari kategori primer dan katekori sekunder. Interaksi antibodi-antigen sekunder dapat mengakibatkan presipitasi, sehingga Agar Gel Presipitation Test (AGPT) termasuk dalam kategori ini. AGPT merupakan teknik imunopresipitasi yang banyak dipakai untuk mengukur titer antigen atau antibodi. Walaupun uji ini kurang peka dibandingkan dengan uji pengikatan primer, namun relatif mudah dilakukan (Anonim(4) 2010).

Uji ini menggunakan selapis media agar yang dilubangi. Kemudian kedalam sumur-sumur tersebut masing-masing diisi dengan antigen dan serum atau kuning telur yang mengandung antibodi pereaksi. Antigen dan antibodi akan merembes, berdifusi disekitar sumur secara radial. Apabila antigen bereaksi dengan antibodi spesifik, akan terbentuk kompleks antigen antibodi yang besar sehingga kompleks mengendap dan terjadi presipitasi yang membentuk garis putih (homolog). Garis presipitasi yang terbentuk dapat terlihat seperti pada gambar 6. Tetapi bila tidak ada kesesuaian antara antigen dan antibodi, maka garis presipitasi tidak akan terbentuk (heterolog). Jika positif akan terlihat garis putih yang terletak di antara antigen dan antibodi begitu pun sebaliknya (Medion 2009). Antibodi umumnya adalah bivalen dan karenanya hanya mampu berikatan silang dengan dua determinan antigen dalam satu waktu, tetapi antigen umumnya bersifat multivalen yang mempunyai determinan antigen yang relatif sangat besar (Tizard 1988).

Gambar 6 Terbentuknya garis putih (garis presipitat) mengelilingi lubang menunjukkan hasil positif (Medion 2009)

Perbandingan antigen dengan antibodi merupakan faktor penting dalam reaksi presipitasi. Pembentukan presipitat terjadi apabila antara konsentrasi antigen dan antibodi tercapai keseimbangan. Kondisi antigen berlebihan akan mengakibatkan melarutnya kembali komplek yang terbentuk, sedangkan antibodi berlebihan mengakibatkan komplek antigen-antibodi tetap ada dalam larutan. Hal


(32)

pertama disebut postzone effect dan yang kedua disebut prozone effect (Anonim(4) 2010).

Metode uji serologis ini termasuk metode yang sederhana untuk mendeteksi antibodi terhadap berbagai virus berdasarkan reaksi positif (+) atau negatif (-) (Medion 2008). Reaksi positif ditandai dengan adanya garis presipitasi antara serum dan antigen homolog. Keberadaan antibodi spesifik E.coli dan S.Enteritidis dalam kuning telur dikonfirmasi dengan uji imunodifusi/Agar Gel Precipitation Test (AGPT). Teknik ini dipilih karena nilai positif pada AGPT mencerminkan kandungan antibodi yang cukup besar pada material (kuning telur).

Uji Serologis Hemaglutinasi Inhibisi

Beberapa virus memiliki virus-coded protein pada permukaannya yang mampu berikatan dengan sel darah merah. Hal tersebut memungkinkan beberapa virus dapat menghubungkan beberapa sel darah merah menjadi satu gumpalan (lattice). Fenomena ini dinamakan hemaglutinasi, pertamakali dijelaskan oleh Hirst tahun 1941 (Fenner et al. 1974) yang selanjutnya melakukan analisa terhadap mekanisme hemaglutinasi virus influenza. Pada virus influenza protein hemaglutinin tersebut adalah glikoprotein. Virus ini menempel pada sel darah merah yang memiliki reseptor komplemen berupa glikoprotein dengan bentuk yang berbeda (Fenner et al. 1974).

Virus yang dapat mengaglutinasi sel darah merah itu antara lain ortho- dan paramyxovirus; alfa-, flavi-, dan bunyavirus; serta adeno-, reo-, parvo-, dan coronavirus (Tizard 1988). Hemaglutinasi yang diakibatkan oleh virus influenza dan paramoxovirus berbeda dengan virus lain kerana disertai dengan enzim (neuraminidase). Neuraminidase ini yang menghancurkan reseptor glikoprotein dengan bentuk yang berbeda (Fenner et al. 1974).

Antibodi yang berfungsi melawan virus tersebut menghambat terjadinya hemaglutinasi. Deteksi virus berdasarkan kemampuannya mengaglutinasi darah digunakan sebagai uji praeliminasi ketika akan mengidentifikasi virus. Sedangkan reaksi inhibisi oleh antibodi yang biasa disebut hemaglutinasi inhibisi test (HI), digunakan untuk mengidentifikasi virus spesifik dan untuk menghitung level antibodi dalam serum (Tizard 1988). Uji HI menghambat aglutinasi sel darah


(33)

merah oleh virus dengan cara virus diikat oleh antibodi yang homolog sehingga tidak dapat melekat pada reseptor membran sel darah merah. Dengan demikian aglutinasi sel darah merah tidak terjadi.

Uji ini dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode α dan metode β. Metode α digunakan untuk menguji jenis antigen. Pada metode ini jumlah serum yang dimasukkan ke dalam setiap tabung uji tetap, sedangkan jumlah antigen yang diujikan diencerkan secara berseri. Sedangkan metode β digunakan untuk menguji atau mengidentifikasi antibodi dan menghitung titer antibodinya serta menguji jenis antigen. Pada metode ini yang diencerkan secara seri adalah serum. Apabila ingin melakukan pengujian anigen dengan metode ini maka harus melakukan uji Heaglutinasi (HA) terlebih dahulu untuk membuat virus standarnya (Tizard 1988).

Zat haemaglutinin yang terdapat dalam tubuh virus atau bakteri tersebut bersifat antigenik yang dapat merangsang terbentuknya antibodi spesifik. Antibodi yang terbentuk tersebut memiliki kemampuan menghambat terjadinya aglutinasi darah yang disebabkan oleh haemaglutinin dari virus. Uji HI menggunakan reaksi hambatan haemaglutinasi tersebut untuk membantu menentukan diagnosa penyakit secara laboratorium dan mengetahui status kekebalan tubuh (titer antibodi). Prinsip kerja dari uji HI adalah mereaksikan antigen dan serum dengan pengenceran tertentu sehingga dapat diketahui sampai pengenceran berapa antibodi yang terkandung dalam serum dapat menghambat terjadinya aglutinasi eritrosit. Uji HI merupakan metode uji serologis yang mudah dilakukan dan hasilnya dapat diketahui dengan cepat (Kusumawardhani 2008).

Gambar 7 Interpretasi hasil HI test ditunjukkan dari ada tidaknya proses aglutinasi.

(A = tidak terjadi aglutinasi dan B = terjadi aglutinasi) (Medion 2008) Interpretasi hasil titer HI ditunjukkan pada pengenceran serum tertinggi yang masih memberikan hambatan (inhibisi) pada antigen 4 HAU. Inhibisi


(34)

ditetapkan dengan mengamati sel darah merah pada lubang-lubang cawan mikro dengan dasar berbentuk “V”, bila cawan dimiringkan akan terlihat tetesan air mata (Indriani et al. 2004). Gambar 7 memperlihatkan terjadinya reaksi antara antibodi, antigen, dan sel darah merah. Hambatan aglutinasi terlihat dengan tidak adanya massa menggumpal pada sumur (sel darah merah tidak teraglutinasi). Uji HI mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai sarana untuk mengidentifikasi jenis antigen tertentu dengan mereaksikannya terhadap antibodi homolog yang telah diketahui. Kedua adalah untuk mengetahui jenis antibodi dan titernya, dengan cara mereaksikan serum yang ingin diketahui jenis antibodinya dengan antigen standar yang telah diketahui (Kusumawardhani 2008).


(35)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, mulai Maret sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Mikrobiologi Medis, laboratorium Terpadu unit pelayanan mikrobiologi terpadu Bagian Mikrobiologi Medik, dan Laboratorium Imunologi bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, serta kandang ayam Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Penelitian dilakukan dalam lima tahap, yaitu tahap kultur bakteri murni untuk dibuat antigen, tahap penyuntikan antigen, tahap ekstraksi IgY dari kuning telur dengan teknik pemisahan sederhana, tahap uji keberadaan antibodi spesifik pada kuning telur segar, dan tahap uji keberadaan antibodi spesifik pada telur yang diberi perlakuan pemanasan bertingkat. Pengujian keberadaan antibodi dilakukan dengan teknik imunodifusi (AGPT) dan Haemaglutinasi Inhibisi (HI).

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 ekor ayam betina petelur tipe Isa Brown umur 20 minggu yang siap bertelur, isolat bakteri Escherichia coli strain EPEC dan Salmonella Enteritidis dari Laboratorium Bakteriologi FKH IPB, koleksi telur positif mengandung antibodi anti diare dan anti flu burung, vaksin AI (killed vaccine), media cair Brain Heart Infusion (BHI Broth), NaCl fisiologis, Blood Agar, aquadestilata, miliQ, NaOH 1 N, HCl 0,2 N, agarose, PBS, Freund Adjuvant Complete dan Incomplete, RBC 1%, virus (AI) standar 4 HAU, alkohol teknis 70%, dan pakan ayam komersial produksi PT. Gold Coin 105 untuk layer.

Alat yang digunakan adalah sentrifuse Sorvall T21, vortex, cawan petri, tabung reaksi, gelas objek, tisu, tusuk gigi, kapas, ose, api bunsen, korek/ pemantik api, gelas ukur, water bath, microwave, termometer, timer, spoit, disposable syringe, tip mikropipet 1 ml dan 100 mikroliter, pipet, mikropipet, kertas saring, plastik, microtube 1,5 ml, puncher, inkubator, kompor gas/penangas


(36)

air, refrigerator, freezer, kandang baterai, tempat pakan dan tempat minum hewan percobaan.

Metode Penelitian

1. Tahap Kultur Biakan Antigen Murni Untuk Dijadikan Vaksin Inaktif

Antigen yang digunakan untuk disuntikan ke tubuh ayam adalah bakteri Escherichia coli dan Salmonella Enteritidisyang telah dibiakkan/ditumbuhkan di media agar (Blood Agar), kemudian diinkubasi selama 24 jam. Isolat bakteri ini selanjutnya dibiakan di BHI Broth sebanyak 50 ml dan diinkubasi selama 24 jam. Bakteri yang telah dibiakan di BHI Broth tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm pada suhu 19°C selama 15 menit, kemudian supernatan dibuang dan pelet dicuci sebanyak 3 kali dengan larutan NaCl fisiologis sebanyak volume supernatan yang dibuang. Larutan pelet disentrifugasi kembali selama 15 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Pelet ditampung dan ditambahkan NaCl fisiologis, kemudian pada tabung yang berbeda sebanyak 20 ml NaCl fisiologis dihomogenkan dengan campuran pelet tadi dan distandarkan dengan standar McFarland II. Standar Mcfarland II merupakan penyetaraan kandungan bakteri dalam media cair pertumbuhan yang mengandung saline menggunakan pendekatan densitas spektrofotometri yaitu 6x108 CFU/ml (Anonim(2) 2009). Tahapan selanjutnya homogenat tersebut ditangas dalam penangas air (water bath) pada suhu 60°C selama 2 jam untuk menginaktifkan antigen. Penambahan adjuvant dilakukan dengan mencampurkan homogenat antigen dengan Freund Adjuvant Complete atau Incomplete dengan perbandingan 1:1, kemudian dihomogenkan.

2. Tahap Penyuntikan Antigen

Ayam yang disuntik dengan antigen sebanyak 22 ekor, sedangkan 3 ekor tidak diberi perlakuan/kontrol negatif. Penyuntikan antigen bakteri dilakukan sebanyak 4 kali dengan interval 1 minggu. Pada minggu pertama, untuk antigen bakteri (Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis) tidak menggunakan adjuvant. Antigen tersebut disuntikkan secara intravena sebanyak 0,5 ml per ekor. Minggu kedua, penyuntikan antigen tersebut


(37)

dicampur dengan Freund Adjuvant Complete, sedangkan minggu ketiga dan keempat menggunakan Freund Adjuvant Incomplete diberikan sebanyak 1 ml per ekor secara subkutan. Vaksin AI inaktif diberikan pada minggu pertama dan minggu keempat sebanyak 1 ml per ekor secara subkutan.

3. Tahap Pengenceran Sederhana/Segar Kuning Telur

Pasca penyuntikan antigen telur yang dihasilkan selanjutnya dikoleksi. Dilakukan pengujian setiap minggu pada kuning telur dengan pengenceran sederhana/segar untuk mengetahui keberadaan antibodi spesifik (Manggung 2010). Kuning telur dipisahkan dari putih telur, kemudian diletakkan diatas kertas saring agar putih telur tidak ikut terbawa bersama kuning telur. Sebanyak 0,5 ml kuning telur ditampung dalam microtube yang berisi 1 bagian PBS atau sekitar 0,5 ml. Campuran dalam microtube tersebut dihomogenkan dengan alat vortex. Suspensi yang telah homogen dapat digunakan untuk uji (Poetri 2006).

4. Tahap Perlakuan dengan Pemanasan Bertingkat pada Telur yang

Sebelumnya telah diketahui Positif Mengandung Antibodi Spesifik

Penelitian ini menggunakan telur yang telah dikoleksi dan mengandung antibodi anti diare (Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis) dan anti flu burung (H5N1) (Manggung 2010). Digunakan 10 butir sampel telur hasil koleksi dari induk ayam yang berbeda pada tanggal produksi yang sama. Selanjutnya ke-10 telur dibagi dalam 5 kelompok (lima suhu pemanasan yang berbeda), masing-masing kelompok terdiri dari 2 butir telur. Dilakukan pemanasan atau perebusan telur menggunakan water bath selama 5 menit. Pemanasan/perebusan telur menggunakan lima suhu berbeda dengan rentang 10oC dimulai dari suhu 60oC, 70oC, 80oC, 90oC, dan 100oC. Derajat pemanasan dan waktu yang digunakan merupakan suhu dan waktu eksploratif yang mendekati metode pemanasan/perebusan telur setengah matang hingga matang yang umum dilakukan di masyarakat. Selanjutnya telur yang sudah direbus masing-masing diberi label sesuai dengan derajat pemanasannya. Tahap selanjutnya telur dipisahkan antara putih telur dengan kuning telurnya.


(38)

Dilakukan pengenceran kuning telur menggunakan PBS dengan perbandingan 1 bagian kuning telur dengan 2 bagian pengencer, selanjutnya kuning telur yang telah diencerkan disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit, supernatan digunakan untuk menguji keberadaan antibodi spesifik dengan metode AGPT dan HI (Soejoedono et al. 2005).

5. Tahap Uji Keberadaan Antibodi Spesifik dengan AGPT dan Uji HI 5.1. Teknik Imunodifusi Agar Gel Precipitation Test (AGPT)

Agar gel dibuat dengan melarutkan 0,5 gram agarose dalam 25 ml miliQ dan 25 ml PBS pH 7,2. Ditambahkan Na Acid sebagai bahan anti jamur sebanyak 0,001 gram/ml. Larutan ini dipanaskan dengan penangas air sampai larut dan warna larutan menjadi bening. Sebanyak 4 ml agar gel tersebut dituangkan pada gelas objek menggunakan pipet dan ditunggu hingga mengeras. Setelah agar gel mengeras, dibuat sumur-sumur dengan puncher.

Sebanyak 25 µl antigen (Escherichia coli atau Salmonella Enteritidis) dimasukkan ke dalam sumur tengah dan pada sumur sekelilingnya dimasukan 25 µl kuning telur yang telah diberi perlakuan pemanasan. Gelas obyek diletakan di atas tisu basah agar terjaga kelembabannya, dan disimpan dalam wadah tertutup untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Reaksi dibaca setelah 18–48 jam dan reaksi positif ditunjukan dengan adanya garis presipitasi (garis buram putih) pada daerah antara sumur antigen dengan sumur kuning telur segar. Ini menandakan bahwa antigen dan antibodi tersebut homolog. Uji AGPT ini digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen bakteri Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis.

Antigen yang digunakan adalah isolat bakteri (Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis) yang ditumbuhkan dalam 50 ml media BHI Broth yang diinkubasi pada suhu 37°C selama 18–24 jam. Kemudian masing-masing isolat disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan 5 ml NaCl fisiologis, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama


(39)

15 menit. Pencucian dengan NaCl fisiologis dilakukan sebanyak 3 kali. Setelah proses pencucian selanjutnya pelet ditambah dengan 0,5 ml HCl 0,2 N dan satu tetes phenol red ditambahkan sebagai indikator kemudian ditangas pada suhu 52°C selama 2 jam. Selanjutnya ditambahkan NaOH 1N sampai warna berubah menjadi merah, lalu disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan yang dihasilkan digunakan sebagai antigen terlarut dan disimpan pada suhu 4°C (Pasaribu & Wibawan 1993).

5.2. Pengujian terhadap antibodi H5N1

5.2.1. Pembuatan larutan sel darah merah 1%

Darah yang digunakan adalah darah ayam bebas avian influenza, yaitu ayam yang tidak pernah terpapar virus avian influenza dan divaksinasi dengan vaksin H5N1. Darah diambil dengan menggunakan syringe kemudian dicampur dengan antikoagulan Na sitrat 3,8% dengan perbandingan 4:1.

Darah yang telah siap disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit setelah itu supernatan dibuang. Kemudian ditambahkan NaCl fisiologis dengan volume yang sama seperti supernatan yang dibuang. Proses ini diulang sebanyak 3 kali pencucian. Hasil yang didapat dari 3 kali pencucian adalah sel darah merah 100%.

Untuk pengenceran sel darah merah 100% menjadi 1% dilakukan dengan 3 kali pengenceran. Pengenceran pertama untuk membuat stok sel darah merah 50% dengan mencampur 1 bagian sel darah merah 100% dengan 1 bagian NaCl fisiologis. Pengenceran kedua untuk membuat stok sel darah merah 5% dengan mencampur 1 bagian sel darah merah 50% dengan 9 bagian NaCl fisiologis. Pengenceran ketiga untuk mendapatkan sel darah merah 1% dengan mencampur 1 bagian sel darah merah 5% dengan 4 bagian NaCl fisiologis. Larutan ini disimpan pada suhu 4°C apabila belum digunakan (CVI 2010).


(40)

5.2.2.Penyiapan virus standar 4 HAU

Dilakukan uji hemaglutinasi (HA) untuk mengetahui titer stok virus H5N1 yang tersedia. Untuk mengetahui ketepatan dari antigen 4 HAU yang akan dipergunakan dilakukan uji back titrasi. Pengujian dilakukan menggunkan V bottom microplate yang diisi dengan 25 µl PBS 1x pada kolom 2–12 dimulai dari baris A–F. Selanjutnya dimasukkan sampel virus H5N1 pada sumur A1–E1 dan sumur A2– E2. Kemudian pada sumur B2 dimasukkan PBS sebanyak 25 µl, sumur C2 ditambahkan PBS 75 µl, sumur D2 ditambahkan PBS 125 µl, sumur E2 ditambahkan PBS sebanyak 175 µl, kemudian pada masing-masing sumur dihomogenkan dengan cara disedot dan dibuang menggunakan mikropipet sebanyak 10 kali. Selanjutnya dilakukan pengenceran bertingkat dengan cara mengambil 25µl cairan dari kolom A2–E2 ke kolom A3–E3 dan dihomogenkan dengan cara menyedot cairan naik dan turun menggunakan pipet sebanyak 5 kali. Langkah ini di ulangi sampai ke kolom A12–E12 dan cairan terakhir dibuang sebanyak 25 µl. Ditambahkan kembali 25 µl PBS pada setiap sumur, dilanjutkan dengan memasukkan RBC 1% sebanyak 25 µl. kemudian plate dihomogenkan selama 10 menit, lalu plate di inkubasi selama 60 menit pada suhu 4°C (CVI 2010).

5.2.3.Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI)

Pengujian HI ini menggunakan V bottom microplate. Sumur nomor 1–10 diisikan 25 µl larutan PBS 1x menggunakan mikropipet. Sumur kolom A diisi sampel kuning telur sebanyak 25 µl kemudian dihomogenkan dengan mikropipet. Selanjutnya 25 µl dari sumur kolom A diambil dan dipindahkan ke dalam sumur kolom B, ini merupakan proses pengenceran bertingkat. Pengenceran tersebut dilanjutkan ke sumur C hingga sumur kolom H dan dari sumur kolom H ini suspensi dibuang sebanyak 25 µl. Sumur nomor 1–10 diisikan suspensi antigen/virus AI standar 4 HAU sebanyak 25 µl, kemudian diinkubasikan selama 60 menit pada suhu 4°C dengan


(41)

tujuan memberi kesempatan antigen dapat bereaksi dengan antibodi yang terdapat dalam kuning telur. Tahap selanjutnya semua sumur nomor 1–10 di mulai dari kolom A–H ditambahkan 25 µl suspensi RBC 1%, lalu dihomogenkan dengan cara digoyang-goyangkan atau dapat menggunakan plate shaker. Plate diinkubasikan kembali pada suhu 4°C selama 60 menit (CVI 2010). Uji HI digunakan untuk deteksi antibodi H5N1.

Interpretasi hasil titer HI ditunjukkan pada pengenceran tertinggi yang masih memberikan hambatan (inhibisi) pada antigen 4 HAU. Inhibisi ditetapkan dengan melakukan pengamatan pengamatan sel darah merah pada sumur-sumur cawan mikro, hasil positif jika sel darah merah mengendap serupa dengan sel darah merah kontrol. Inhibisi dapat pula ditetapkan dengan melakukan pengamatan sel darah merah pada lubang-lubang cawan mikro, bila cawan mikro dimiringkan terlihat sel darah merah membentuk tetesan air mata serupa dengan sel darah merah kontrol (Indriani et al. 2004).


(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ayam yang diimunisasi dengan antigen spesifik akan memproduksi antibodi spesifik terhadap antigen tersebut dalam jumlah banyak dan akan ditransfer ke kuning telur (Putranto 2006). Antibodi atau imunoglobulin yang terbentuk dalam darah ayam dan dialirkan ke dalam kuning telur dikenal dengan nama IgY (Immunoglobulin Yolk). Antibodi induk yang ditransfer secara pasif oleh induk kepada anaknya berfungsi sebagai pertahanan terhadap benda asing ketika sistem imun anak belum sempurna. Antibodi ini berguna untuk pertahanan tubuh embrio dan janin hingga 7–10 hari setelah menetas. Zat ini dikenal sebagai maternal antibody (Wibawan 2008).

Keberadaan antibodi dalam kuning telur ayam petelur (Isa Brown) diketahui dengan melakukan teknik imunodifusi menggunakan metode Agar Gel Precipitation Test (AGPT) dan Hemaglutinasi Inhibisi (HI) test. Metode ini merupakan suatu uji kualitatif dan uji kuantitatif sederhana serta cepat untuk mengetahui keberadaan antibodi spesifik, dalam hal ini antibodi anti diare (Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis) dan anti flu burung (H5N1). Antibodi yang dideteksi menggunakan uji AGPT adalah antibodi terhadap antigen penyebab diare. Uji HI digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen penyebab flu burung.

Didapatkan data dari hasil penelitian sebelumnya bahwa, antibodi mulai terdeteksi dalam serum dua minggu setelah vaksinasi pertama. Sedangkan, di dalam telur antibodi mulai terdeteksi pada minggu ke-lima setelah vaksinasi pertama. Ayam yang digunakan untuk memproduksi antibodi diberikan imunisasi booster untuk memastikan titer antibodi yang tetap tinggi. Antibodi didalam kuning telur terdeteksi selama 13 minggu (bertahan hingga minggu ke-18 setelah vaksinasi pertama) (Manggung 2010). Antibodi (IgY) pada penelitian ini terdeteksi tiga minggu setelah antibodi ditemukan dalam serum, hal ini terjadi karena diperlukan waktu dari sirkulasi darah sampai terakumuluasi dalam telur. Carlender (2002) melaporkan antibodi terdeteksi tiga sampai empat hari pada telur setelah pemunculan atibodi dalam serum, sedangkan Davis dan Reeves (2002) melaporkan setelah lima sampai tujuh hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan


(43)

Wibawan (2008), dibutuhkan waktu 7 hari untuk mentransfer antibodi dari dalam darah ke kuning telur.

Penelitian ini menggunakan telur koleksi positif yang mengandung antibodi spesifik anti diare (Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis) dan anti flu burung (H5N1). Pengujian daya tahan IgY terhadap suhu dilakukan dengan merebus telur pada berbagai tingkatan temperatur (60oC, 70oC, 80oC, 90oC, dan 100oC) selama 5 menit. Digunakan dua sampel telur untuk melihat aktivitas ketahanan IgY terhadap proses pemanasan pada masing-masing suhu dengan metode AGPT dan HI.

Pengujian antibodi terhadap Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis pada telur yang diberi perlakuan pemanasan bertingkat menggunakan metode AGPT menunjukkan hasil sebagai berikut (ditampilkan pada tabel 1).

Tabel 1 Data hasil uji AGPT kuning telur yang diberi perlakuan pemanasan bertingkat

Antigen

Sebelum diberi perlakuan pemanasan

Temperatur (suhu pemanasan)

60oC 70oC 80oC 90oC 100oC

E. coli + + + + - -

S. Enteritidis + + + + - -

Ket :

(+) : Antibodi terdeteksi/terjadi presipitasi (-) : Antibodi tidak terdeteksi/terjadi presipitasi

Hasil positif ditandai dengan adanya ikatan kompleks antigen-antibodi yang mengendap membentuk garis presipitasi antara sumur antigen dan sumur antibodi pada media agar. Garis presipitasi yang terbentuk antara antigen Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis dengan antibodi spesifik terhadap kedua bakteri tersebut setelah telur diberi perlakuan pemanasan bertingkat ditunjukkan pada gambar 8 dan 9.


(44)

Gambar 8 Reaksi presipitasi kuning telur spesifik terhadap antigen Escherichia coli pada uji agar gel presipitasi

Ag = Antigen Escherichia coli; 1,2 = kuning telur pemanasan 60°C; 3,4 = kuning telur pemanasan 70°C; 5,6 = kuning telur pemanasan 80°C; 7,8 = kuning telur pemanasan 90°C; 9,10 = kuning telur pemanasan 100°C; ( ) garis presipitasi

Gambar 9 Reaksi presipitasi kuning telur spesifik terhadap antigen Salmonella Enteritidispada uji agar gel presipitasi

Ag = Antigen Salmonella Enteritidis; 1,2 = kuning telur pemanasan 60°C; 3,4 = kuning telur pemanasan 70°C; 5,6 = kuning telur pemanasan 80°C; 7,8 = kuning telur pemanasan 90°C; 9,10 = kuning telur pemanasan 100°C; ( ) garis presipitasi

Garis presipitasi yang terbentuk pada media agar terjadi karena adanya keseimbangan antara jumlah antigen dan antibodi dalam kuning telur. Perbandingan konsentrasi antigen dan antibodi adalah faktor penting dalam reaksi presipitasi. Dalam campuran yang rasio antara antigen dan antibodinya seimbang, akan terbentuk ikatan silang yang ekstensif dan terjadi bentukan kisi-kisi. Kisi-kisi ini berkembang menjadi lebih besar, tidak larut dan akhirnya mengendap. Ikatan kompleks antigen-antibodi yang mengendap dan terlihat seperti garis berwarna putih ini disebut garis presipitasi (presipitat). Pada campuran yang berisi antibodi dalam jumlah berlebih, setiap molekul antigen ditutupi dengan antibodi sehingga garis presipitasi tidak terbentuk. Sebaliknya pada campuran yang

Ag Ag 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Ag 2 Ag

3 4

5

6 1 7

8 9 10


(45)

berlebihan antigen, setiap antibodi diikat sepasang molekul antigen dan ikatan silang tidak terjadi, menyebabkan kompleks ini kecil dan larut sehingga tidak terbentuk garis presipitasi (Tizard 1988).

Pemanfaatan IgY sebagai bahan imunisasi pasif dalam aplikasi makanan bermanfaat dipengaruhi oleh faktor pH, temperatur, enzim saluran pencernaan, dan dosis. Untuk dapat diberikan secara oral antibodi dalam telur harus melewati beberapa tahapan yang dapat menurunkan aktifitas antibodi seperti denaturasi akibat pemanasan saat telur direbus (Suartini 2007).

Uji aktivitas biologi antibodi terhadap Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis dilakukan dengan menguji ketahanan IgY terhadap suhu (pemanasan). Pengujian dilakukan dengan merebus telur utuh yang masih lengkap dengan kerabang telur, hal ini dilakukan sebagai bentuk penelitian berdasar aplikasi dari proses pemasakan telur. Umumnya masyarakat Indonesia mengkonsumsi telur dengan cara direbus. Proses pemanasan pada telur dapat mengakibatakan berubahnya bentuk fisik dari putih dan kuning telur. Hasil pengamatan organoleptik menggambarkan bahwa konsistensi kuning telur dan putih telur pada pemanasan 60°C masih cair serupa dengan telur segar yang belum diberi perlakuan apa-apa. Pada pemanasan 70°C dan 80°C konsisten putih telur mulai berubah menjadi kental dan berwarna putih keruh, sedangkan kuning telur mulai mengental. Pada suhu inilah dikatakan pemasakan telur setengah matang. Pemanasan telur pada suhu 90°C dan 100°C konsitensi kuning dan putih telur sudah kental dan mengeras (telur rebus matang).

Perubahan fisik dari putih dan kuning telur merupakan proses denaturasi protein. Denaturasi protein menyebabkan terjadinya koagulasi pada telur yang sifatnya tidak dapat kembali. Koagulasi pada telur ditandai dengan kelarutan atau berubahnya bentuk cairan (sol) menjadi padat (gel). Perubahan struktur molekul ini dapat disebabkan oleh pengaruh panas, mekanik, asam, basa, garam, dan perekasi garam lain seperti urea. Koagulasi karena pengaruh panas disebabkan pemanasan pada suhu 60–70°C. Sifat koagulasi ini dimiliki oleh putih dan kuning telur (Wardana 2010).

Waktu yang digunakan untuk merebus telur pada penelitian ini adalah 5 menit. Periode waktu yang cukup singkat menyebabkan belum sempurnanya


(46)

perambatan energi panas (konduksi kalor) dari bagian terluar hingga kebagian tengah telur. Dilakukan pengukuran suhu dibagian tengah kuning telur segera setelah proses perebusan selesai. Didapatkan hasil bahwa suhu rata-rata bagian tengah kuning telur setelah proses pemanasan 60°C selama 5 menit adalah 44°C. Telur yang dipanaskan pada suhu 70°C, terukur bahwa suhu di bagian tengah berkisar pada 54°C. Suhu bagian tengah kuning telur yang dipanaskan pada 80°C adalah 64°C. Sedangkan pada pemanasan telur 90°C dan 100°C didapatkan suhu bagian tengah secara bertutut-turut masing-masing 70°C dan 74°C.

Berdasarkan hasil AGPT didapatkan hasil bahwa IgY tahan terhadap proses pemanasan telur secara utuh (lengkap dengan kerabang telur) pada suhu 60°C, 70°C, dan 80°C selama 5 menit, ditandai dengan terjadinya presipitasi. Sedangkan pada pemanasan telur utuh dengan suhu 90°C dan 100°C, aktivitas IgY mulai menurun bahkan hilang yang ditandai dengan tidak terjadinya presipitasi. Roitt dan Delves (2001) menyatakan bahwa presipitasi merupakan reaksi sekunder sebagai akibat dari reaksi primer antara antibodi dan antigen spesifik. Interaksi yang terjadi antara antibodi dan antigen spesifik melibatkan berbagai interaksi nonkovalen antara determinan antigen, epitope antigen, dan regio hipervariabel pada molekul antibodi.

Aktivitas IgY pada telur yang dipanaskan suhu 60°C dengan suhu bagian tengah kuning telur berkisar 44°C masih dapat terdeteksi, hal ini terbukti dengan adanya garis reaksi presipitasi antibodi spesifik terhadap antigen E. coli dan S. Enteritidis. Hasil ini serupa dengan pernyataan Horie et al. (2004) bahwa 95% dari aktivitas IgY bertahan pada pemanasan 60–65°C, bahkan dengan proses pemanasan pada kisaran suhu ini selama 60 menit. Pada suhu inilah (63°C) umumnya dilakukan proses pasteurisasi telur. Konsumsi telur mentah memiliki potensi yang tinggi terhadap keracunan akibat bakteri Salmonella (Salmonella Food poisoning). Salmonella dapat diinaktifkan dengan pemanasan. Untuk menghindari terjadinya keracunan oleh Salmonella, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mengharuskan melakukan pemanasan (pasteurisasi) selama 3,5 menit pada suhu 56,7°C atau 6,2 menit pada suhu 55,50°C untuk putih telur, atau 6,2 menit pada suhu 60°C untuk telur utuh (campuran putih telur dan kuning telur) (Muchtadi 2005).


(47)

Hasil positif AGPT juga ditunjukkan oleh telur yang dipanaskan pada suhu 70°C dan 80°C. Suhu pada bagian tengah telur (kuning telur) lebih rendah dibandingkan dengan suhu bagian telur yang lebih luar. Hasil ini dapat menggambarkan bahwa IgY masih dapat bertahan pada proses pemasakan telur setengah matang ketika konsistensi kuning telur masih cair. Hatta (1993) menyatakan bahwa IgY tahan terhadap pemanasan 60–70°C dalam waktu 10 menit. Horie et al. (2004) memaparkan aktivitas IgY secara signifikan akan menurun secara drastis pada pemanasan 80°C. Jika waktu pemanasan 10 menit, hanya tersisa 10% dari aktivitas IgY yang masih bertahan, sedangkan pada pemanasan selama 20 menit aktivitas IgY menghilang. Penurunan aktivitas IgY mulai terjadi jika waktu pemanasan melebihi 15 menit pada suhu 70°C (Shimizu et al. 1988; 1992) dan IgY terdenaturasi bila dipanaskan lebih dari 75°C (Chang et al. 1999).

Pemanasan telur utuh pada suhu 90°C dan 100°C menunjukkan hasil negatif dari uji AGPT kuning telur, karena tidak terlihat adanya garis presipitasi antara sumur antigen dan sumur antibodi. Soejoedono (2005) menyatakan bahwa IgY masih dapat bertahan pada pemanasan di bawah suhu 68,9°C. Jika dikonversikan dengan penelitian ini dapat setarakan bahwa aktivitas IgY tidak dapat bertahan pada pemanasan telur utuh pada suhu 90°C dan 100°C selama 5 menit. Atau dapat dikatakan bahwa pada pemanasan telur utuh diatas suhu 90°C dengan suhu bagian kuning telur berkisar diatas 70°C IgY telah rusak akibat proses pemanasan. IgY sebagaimana protein lainnya akan mengalami kerusakan akibat proses pemanasan. Whitaker (1994) menyatakan bahwa jika protein dipanaskan akan terdenaturasi, yaitu terjadi pemutusan ikatan non kovalen yang melibatkan interaksi elektrostatik, interaksi hidrofobik, ikatan hidrogen, dan ikatan van der Walls.

Penelitian ini selain menggunakan teknik AGPT untuk melihat keberadaan antibodi digunakan pula uji Hemaglutinasi inhibisi (HI) terhadap virus H5N1. Data titer hasil uji HI terhadap virus H5N1 dengan antibodi dari kuning telur yang diberi perlakuan pemanasan secara bertingkat tersaji dalam tabel 2. Tabel 2 menunjukkan hasil titer rataan dari dua butir telur pada setiap derajat pemanasan yang berbeda.


(1)

[ESP] Environmental Services Program. 2009. Diare [terhubung berkala] http://www.esp.or.id/handwashing/media/diare.pdf [2 Maret 2011]

Falkhi. 2008. Telur ayam sebagai imunoterapi [terhubung berkala] http://falkhi.multiply.com/journal/item/6/TELUR_ AYAM_ SEBAGAI_ SUMBER_IMUNOTERAPI [30 Desember 2010]

Fenner F et al. 1974. The Biology of Animal Viruses. Ed ke-2. NewYork : Academic Press.

Fenner J et al. 1995. Veterinary Virology. London : Academic PressLimited. Gassman M, Thomes P, Weiser T, Hubscher U. 1990. Efficient Production Of

Chicken Egg Yolk Antibodies Againts a Conserved Mammalian Protein. FASEB.

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta : EGC.

Harianto. 2004. Penyuluhan Penggunaan Oralit untuk Menanggulangi Diare di Masyarakat. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. I, No.1, April 2004, 27 – 33. [terhubung berkala] http://jurnal.farmasi.ui.ac.id/pdf/2004/v01n01/ Harianto010104.pdf [ 19 Oktober 2010]

Hatta H, Tsuda K, Akachi S, Kim M, Yamamoto T. 1992. Productivity And some properties of egg yolk Antibody (IgY) Against human rotavirus compared with rabbit IgG. Biosci Biotechnol Biochem 57: 450–454.

Hatta. 1993. Molecular stability of chicken and rabbit immunoglobulin G. Biosci Biotech Biochem 56: 270-274

Hau J, Hendriksen CFM. 2005. Refinement of Polyclonal Antibody Production by Combining Oral Immunization of Chickens with Harvest of Antibodies from the Egg Yolk. J ILAR 46(3) (online issues).

Higgins DA, Cromie RL, Liu SS, Magor KE, Warr GW. 1995. Purification of duck immunoglobulins : An evaluation of protein A and Protein G affinity chormatografy. Vet immunel Immunopathol 44:169-180.

Horie A, Horie N, Abdou AM, Yang JO, Yun SS, Chun HN, Park CK, Kim M, and Hatta H. 2004. Suppressive Effect of Functional Drinking Yogurt Containing Specific Egg Yolk Immunoglobulin on Helicobacter pylori in Humans. J Dairy Sci 87:4073–4079.

Horimoto T, Kawaoka Y. 2001. Pandemic threat posed by avian influenza A viruses. Clin Microbiol Rev. 14 (1):129-149.


(2)

Indriani R, Dharmayanti, Wiyono, Darminto dan L. Parede. 2004. Deteksi Respon Antibodi dengan Uji Hemaglutinasi Inhibisi dan Titer Proteksi terhadap Virus avian influenza Subtipe H5N1. JITV 9(3): 204-209.

Jensenius JC, Andersen I, Hau J, Crone M, Koch C. 1981. Eggs : Conveniently metods. 46(1):63-68.

Kusumawardhani SW. 2008. Deteksi Antibodi Anti H5N1 Menggunakan Metode Hemaglutinasi Inhibisi (HI) pada Kolostrum Sapi yang Divaksinasi H5N1 [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Larsson A, Wejaker PE, Forsberg PO, Lindahl T. 1993. Chicken antibodies :

Talking advantage of evolution : A riview. Poultry Science 72:1807-1812 Lesmana M. 2006. Enterobacteriaceae : Salmonella & Shigella. Penerbit Jakarta :

Penerbit Universitas Trisakti.

Manggung RER. 2010. Deteksi Antibodi Antidiare (Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis) dan Anti Flu Burung (H5N1) dari Kuning Telur Ayam ISA Brown dengan Teknik Imunodifusi dan Uji Hambat Hemaglutinasi [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Medion. 2008. Metode Uji Serologis. [terhubung berkala] http://info.medion.co.id/index.php/artikel/layer /pengobatan- vaksinasi/ metode-uji-serologis/2-pengobatan-a-vaksinasi/74- artikel- uji- serologis. [ 25 November 2010]

Medion. 2009. Uji Serologis sebagai pendukung diagnosa penyakit. [terhubung berkala] http://info.medion.co.id/index.php/artikel/layer/pengobatan-a-vaksinasi/serologis-pendukung-diagnosa [ 11 Januari 2011]

Muchtadi D. 2005. Mana yang Baik Telur Mentah, Setengah Matang atau Rebus? [terhubung berkala] http://web.ipb.ac.id/~tpg/de /pubde_ntrtnhlth_telur.php [1 Desember 2010]

Munif A. 2009. Escherichia Coli Disekitar Air Minum Kita (?) [terhubung berkala] http://environmentalsanitation.wordpress.com/2009/05/06/ eschericia-coli/ [30 Oktober 2010]

Mustopa Z. 1999. Telur anti Diare. [terhubung berkala] http://www.biotek.lipi.go.id/index.php?option=com_content&view=article &id=333:Telur%20Anti-%20Diare&catid=8&Itemid=53 [ 19 Oktober 2010]

Mustopa ZA. 2004. Peran imunoglobulin y (Ig Y) sebagai anti adhesi dan opsonin untuk pencegah serangan Escherichia coli Enteropatogenik (EPEC) k 1.1 [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.


(3)

Nainggolan L, Cleopas MR, Herdiman TP. 2006. Influenza burung (Avian Influenza). Di dalam : Sudoyo Aru w et al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Depertemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. hlm 1741-1743.

Natih KKN, Soejodono RD, Wibawan IWT, Pasaribu FH. 2010. Preparasi immunoglobulin G kelinci sebagai antigen penginduksi antibody spesifik terhadap virus avian influenza H5N1 strai legok. Jurnal Veteriner Vol. 11 No. 2 : 99-106.

[OIE] Office International des Epizooties. 2009. Avian Infuenza. Chapter 2.3.4. OIE Terrestrial Manual. Paris.

Ophart CE. 2003. Virtual Chembook. Elmhurst College.

Pasaribu FH, Wibawan IWT. 1993. Pembuatan antigen dan serum kebal terhadap Streptococcus Agalactiaae. [Laporan Penelitian]. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut pertanian Bogor.

Patterson R, Youngner JS, Weigle WO, Dixon FJ. 1962. Antibody production and transfer to egg yolk in chickens. J Immunol 89:272-278.

[PERSI] Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia. 2009. WHO: Diare dan Pneumonia Harus Jadi Prioritas Program Kesehatan [terhubung berkala] http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=5198&tbl=cakrawala [2 Maret 2011]

Poetri ON. 2006. Produksi Antibodi Kuning Telur (Ig Y) Anti Streptococcus mutans sebagai Anti Karies Gigi [Laporan akhir penelitian]. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut pertanian Bogor.

PoultryIndonesia. 2002. Telur sumber nutrisi penting. [terhubung berkala] http://www.poultryindonesia.com/modules.php?name=News&file=article &sid=1273 [ 25 November 2010]

PoultryIndonesia. 2009. Bagaimana Sistem Kekebalan Ayam Bekerja. [terhubung berkala] http://www.poultryindonesia.com/modules.php?name=News& file=article&sid=788 [22 Oktober 2010]

Pramita Y. 2009. Telur Mentah atau Matang? [terhubung berkala] http://riansuprianto.wordpress.com/2009/10/31/telur-mentah-atau-matang/ [1 Desember 2010]

Putranto WS. 2006. Produksi Telur Ayam Ras Mengandung Antibodi (Imunoglobulin Y ) Anti Protease Eschericia coli. Universitas Pajajaran Bandung. [terhubung berkala] http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/03/produksi_telur_ayam_ras_mengandung_antiodi1. pdf [8 Desember 2010]


(4)

Roitt I. 1994. Essential immunology. Edisi delapan. Jakarta : Penerbit Widya Medika.

Roitt IM, Delves PJ. 2001. Roitt’s Esential Immunology. Tenth Edition, Blackwell Science Ltd. Osney Mead Oxford OX2 OEL [3 Maret 2010]. Rollier C, Charollois C, Jamrd C, Trepo C, and Cova L. 2000. Maternally

Transferred Antibodies from DNA-Immunized Avians Protect Offspring Against Hepadnavirus Infection. J of Virol 74(10): 4908 – 4911.

Rose ME, Orlans E. 1981. Immunoglobulins in the egg, embryo, and young chick. Dev Comp Immunol 5:15-20.

Schnurrenberger PR, Hubbert WT. 1991. Ikhtisar Zoonosis. Mulyono E, penerjemah. Bandung : Penerbit ITB.

Simadibrata MK. 2006. Pendekatan Diagnostik Diare Kronik. Di dalam : Sudoyo Aru w et al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Depertemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. hlm 357-365.

Szabo CS, Bardos L Losonczy S, Karchesz K. 1998. Isolation of Antibody From Chicken and Quail Eggs. http://www.mcmaster.ca/inabis98/immunology /szabo0509/index html. [25 November 2010]

Shimizu M, Nakai S, Fitzsimmons RC. 1988. An-E. coli immunoglobulin Y isolated from egg yolk of immunized chickens as a potential food ingredient. J Food Sci 5:1360–1366.

Shimizu M et al. 1992. Molecular stability of chicken and rabbit immunoglobulins G. Biosci Biotechnol Biochem 56, 270-274.

Shin WR, Choi IS, Kim JM, Hur W, Yoo HS. 2002. Effective methods for the products of IgY using immunogens of Bordetella bronchoseptica, Pasteurella multocida and Actinobacillus pleuropneumonia. J Vet Sci 3(1):47-57.

Soejoedono RD. 2005. Pemanfaatan telur ayam sebagai pabrik biologis: Produksi “ Yolk immunoglobulin” IgY anti plaque dan diare dengan titik berat pada anti S. mutan, E. coli dan Salmonella Enteritidis. Riset Unggulan Terpadu. Laporan kemajuan tahap I.

Soejoedono RD, Wibawan IWT, Hayati Z. 2005. Pemanfaatan telur ayam sebagai pabrik biologis: “Produksi Immunoglobulin Yolk” (IgY) anti Steptococcus mutan, Escherichia coli, dan Salmonella Enteritidis. Laporan Riset Unggulan Terpadu XII (RUT) 2005.


(5)

Soejoedono RD, Ekowati Handharyani. 2005. Flu Burung. Jakarta : Penebar Swadaya.

Stowell D. 2006. Immunoglobulin. [terhubung berkala] http://www.mcld.co.uk/hiv/?q=immunoglobulins [30 November 2010]

Suartini IGA, I Wayan Teguh Wibawan, Maggy TS, Supar, dan I Nyoman Suarta. 2007. Aktivitas IgY dan IgG antigenus setelah perlakuan pada berbagai pH, suhu dan enzim proteolitik. Jurnal Veteriner Vol. 8 No. 4 : 160-166. Suharyono. 2008. Diare Akut : Klinik dan Laboratorik. Jakarta : Rineka Cipta. Tadda A. 2010. Patofisiologi Gejala Klinik dan Penatalaksanaan Diare.

[terhubung berkala] http://astaqauliyah.com/2010/06/artikel-kedokteran-patofisiologi-gejala-klinik-dan-penatalaksanaan-diare [5 September 2010] Tizard. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Hardjosworo Soehardjo,

Partodiredjo M, penerjemah; Surabaya : Airlangga University Press. Terjemahan dari: An Introduction to Veterinary Immunology.

Todar K. 2008. Pathogenic E. coli. [terhubung berkala] http://www.textbookofbacteriology.net/e.coli.html [15 Novemver 2010]

Todar K. 2008. Influenza. Microbial Wold. [terhubung berkala] http://textbookofbacteriology.net/themicrobialworld/Influenza.html [20 Novemver 2010]

Tressler RL, Roth TF. 1987. IgG receptors on the embryonic chick yolk sac. J Biol Chem 262:15406-15412.

Vought KJ, Tatini SR. 1998. Salmonella Enteritidis contamination of ice cream associated with a 1994 multistate outbreak. J.of Food Protection 61(1): 5-10.

[VSF-CICDA]. 2005. Pencegahan dan Pengendalian Flu Burung ( Avian Influenza) pada Peternakan Unggas Skala Kecil-Buku Petunjuk bagi Paramedik Veteriner.

Wardana AS. 2010. Telur (materi Kuliah Pangan). [terhubung berkala] http://kuliahpangan77.wordpress.com/2010/04/14/telur/ [ 15 Desember 2010]

Warr GW, Magor KE, DA Higgins. 1995. Ig Y : Clues To The Origins Of Moderns Antibodies. Immunology Today.

[WHO] World Health Organization. 2010. Salmonella. [terhubung berkala] http://www.who.int/topics/salmonella/en/ [ 20 November 2010]


(6)

Whitaker JR. 1994. Principles of enzymology for the food sciences. 2nd ed. p.499-503. Food science and technology. New York. Marcel Dekker. Wibawan IWT. 2008. Pemanfaatan Telur Ayam Sebagai Pabrik Biologis (kajian

pustaka). Majalah Ilmiah Peternakan Vol. 11 No. 1 : 36-41.

Wibawan IWT , Sri Murtini, Retno Damajanti Soejoedono, I Gusti Ngurah Kade Mahardika. 2009. Produksi IgY Antivirus Avian Influenza H5N1dan Prospek Pemanfaatannya dalam Pengebalan Pasif. Jurnal Veteriner Vol. 10 No. 3 : 118-124.

Wikipedia. 2010. Boiled egg. [terhubung berkala] http://en.wikipedia.org/wiki/Boiled_egg#Variations [30Desember 2010]

Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Penerbit Gramedia.

Woolley JA, Landon J. 1995. Comparison of antibody production to human interleukin-6 (IL-6) by sheep and chickens. J Immunol Methods 178:253-265.