Analisis Potensi Lanskap Desa Wiyono Pesawaran Lampung Untuk Tujuan Pengembangan Desa Wisata

ANALISIS POTENSI LANSKAP DESA WIYONO
PESAWARAN LAMPUNG UNTUK TUJUAN
PENGEMBANGAN DESA WISATA

MUHAMMAD GURIANG

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Potensi Lanskap
Desa Wiyono Pesawaran Lampung untuk Tujuan Pengembangan Desa Wisata
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Muhammad Guriang
NIM A451110161

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
MUHAMMAD GURIANG. Analisis Potensi Lanskap Desa Wiyono
Pesawaran Lampung Untuk Tujuan Pengembangan Desa Wisata. Dibimbing oleh
ANDI GUNAWAN dan NURHAYATI HS ARIFIN.
Pembangunan pedesaan menuju desa wisata saat ini berkembang di
Indonesia. Desa Wiyono adalah salah satu dari banyak desa yang akan
mengembangkan diri menjadi desa wisata. Status desa saat ini adalah desa
swasembada yang merupakan modal dasar yang penting untuk mengembangkan
desa wisata. Oleh karena itu, potensi wisata desa perlu untuk dipelajari. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis potensi-potensi
sumber daya alam, sosial ekonomi masyarakat pedesaan dan estetik lanskap desa,
serta strategi pengembangan untuk menjadi desa wisata. Penelitian ini

dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif melalui survey lapang dan
interview. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa desa Wiyono memiliki banyak
potensi sumber daya alam, yaitu hutan, air terjun, areal persawahan, perkebunan,
dan situ. Sumberdaya-sumberdaya tersebut memiliki kualitas estetik. Strategi
pengembangan wisata desa Wiyono terutama diarahkan untuk memperkuat
kelembagaan untuk membangun sistem dan memotivasi/keterampilan masyarakat
dengan melibatkan para pihak yang memiliki perhatian terhadap lingkungan
dalam memantapkan peraturan pemerintah daerah.
Kata kunci: desa wisata, estetika lanskap, strategi pengembangan, sumber daya
alam.

SUMMARY
MUHAMMAD GURIANG Analysis of Landscape Potency of Wiyono Village
Pesawaran Lampung for Village Tourism Development. Supervised by ANDI
GUNAWAN and NURHAYATI HS ARIFIN.
Rural development toward a tourism village is currently developing in
Indonesia. Wiyono village is one of many villages going to develop it self into
tourism village. Current status of the village is self-sufficient village which is an
important basic capital for developing tourism village. Therefore, tourism
potencies of the village are necessary to be studied. This research aims are to

identify and analyze potencies of natural resources, social economic of the villlage
community, rural landscape aesthetics, and development strategy to be a tourism
village. The research conducted by using descriptive method throughout field
survey and interview. The research results show that the Wiyono village has
many natural resource potencies, they are forest, waterfall, area of paddy and
plantation, and „situ‟. Those resources have various aesthetic qualities. Tourism
development strategies of Wiyono village are mainly directed toward strenghten
institution to build system and people skill/motivation, to involve environment
concerned stakeholders, to establish lokal government regulation.
Keywords: development strategy, landscape aesthetics, natural resources, tourism
village.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS POTENSI LANSKAP DESA WIYONO
PESAWARAN LAMPUNG UNTUK TUJUAN
PENGEMBANGAN DESA WISATA

MUHAMMAD GURIANG

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Aris Munandar, MS


Judul Tesis : Analisis Potensi Lanskap Desa Wiyono Pesawaran Lampung Untuk
Tujuan Pengembangan Desa Wisata
Nama
: Muhammad Guriang
NIM
: A451110161

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Andi Gunawan, M.Agr.Sc.
Ketua

Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, M.Sc.
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Arsitektur Lanskap

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian: 10 Juli 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Segala puji dan syukur bagi Allah Swt. atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyusun penelitian dengan judul “Analisis Potensi
Lanskap Desa Wiyono Pesawaran Lampung untuk Tujuan Pengembangan Desa
Wisata”. Salawat serta salam semoga tetap tercurah kepada suri teladan kita, Nabi
Muhammad Saw. beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.
Dalam penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
1. Dr. Ir. Andi Gunawan, M.Agr.Sc. dan Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, M.Sc.

berturut-turut sebagai ketua dan anggota Komisi pembimbing atas nasihat dan
bimbingannya selama penulis menyusun tesis ini;
2. Dr. Ir. Aris Munandar, MS. dan Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr. selaku
penguji atas komentar, saran, dan nasihatnya;
3. Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Sekretaris magister pascasarjana dalam
memberikan dukungan moril dan kemudahan administrasi;
4. Kepala SMK Negeri 1 Gedongtataan dan Kepala desa Wiyono atas izin dan
bantuan yang diberikan saat pelaksanaan survei;
5. Ibunda Rasuna, istriku Sutiyah, anakku Ega, Inas dan Ghozy, adik, dan
keluarga tercinta atas nasihat, doa, dan dukungannya;
6. Temanku Angi, Firdaus terbaik atas doa, dukungan, dan bantuannya.
Mudah-mudahan tesis ini dapat memberikan nilai manfaat dan menjadi amal
saleh yang diterima oleh Allah Swt.

Bogor, Juni 2015
Muhammad Guriang

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Berpikir
Ruang Lingkup Penelitian

1
1

2
2
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Wisata
Desa Wisata
Pengembangan Desa Wisata
Persepsi
Ruang
Estetika
Pendugaan Estetika Pemandangan

4
4
5
7
12

12
14
15

3 METODE
Lokasi dan Waktu
Metode Penelitian
Tahap persiapan
Pengumpulan data
Identifikasi potensi biofisik
Identifikasi potensi sosial dan ekonomi
Identifikasi potensi estetika visual
Penyusunan strategi pengembangan desa wisata
Analisis Data
Analisis potensi biofisik
Analisis potensi estetik
Analisis sosial ekonomi
Analisis strategi pengembangan desa wisata

16

16
16
16
17
18
18
19
20
20
20
20
21
21

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Hutan gunung betung wiyono
Geologi dan tanah
Iklim
Hidrologi
Keanekaragaman flora dan fauna
Keadaan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
Kondisi pendidikan masyarakat
Akses jalan
Potensi Wisata

24
24
24
25
25
25
25
26
26
27
27

Potensi biofisik
Potensi sosial, ekonomi dan budaya
Potensi estetik lanskap desa
Potensi persepsi sikap masyarakat desa wiyono
Strategi pengembangan desa wisata

27
30
36
37
39

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

42
42
42

DAFTAR PUSTAKA

43

LAMPIRAN

45

RIWAYAT HIDUP

58

DAFTAR TABEL
1 Jenis data penelitian
2 Checklist identifikasi potensi sumberdaya alam
3 Checklist identifikasi potensi sosial dan ekonomi
4 Tabel perhitungan analisis SWOT Faktor internal
5 Tabel perhitungan analisis SWOT Faktor eksternal
6 Jumlah dan mata pencaharian penduduk desa Wiyono
7 Pendapatan per kapita desa Wiyono
8 Tingkat pendidikan masyarakat desa Wiyono tahun 2010
9 Checklist identifikasi potensi sumberdaya alam
10 Checklist identifikasi potensi sosial dan ekonomi
11 Rekapitulasi kecendrungan sikap masyarakat desa Wiyono tentang
rencana pengembangan desa wisata
12 Matrik strategi

17
18
19
22
22
26
27
27
28
31
37
40

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pikir penelitian
2 Peta lokasi penelitian.
3 Tahapan penelitian
4 Tataguna lahan dan letak vantage point
5 Matriks kuadran SWOT
6 Batas wilayah desa Wiyono
7 Potensi biofisik desa Wiyono
8 Pola penggunaan lahan di desa Wiyono
9 Pembibitan, pemanenan dan pengolahan kakao
10 Pembibitan, penyadapan, dan hasil penyamakan karet
11 Bibit pala, tanaman pala, dan produksi biji pala
12 Panen salak, hasil panen, dan produk olahan salak
13 Pengepul bermacam buah pisang dan olahan buah pisang/kripik
14 Penjemuran kopi di halaman rumah, dan pembibitan kopi robusta
15 Irigasi Dam C, petani, persawahan, dan kebun sayur di sawah
16 Kolam ikan Gurame dan kolam ikan Nila
17 Nilai SBE komulatif masing-masing peruntukan lahan desa Wiyono
18 Peta estetik lanskap desa Wiyono
19 Sikap masyarakat desa Wiyono
20 Kuadran untuk strategi Desa Wiyono

3
16
17
19
23
24
29
30
31
32
32
33
33
34
35
35
36
36
38
41

DAFTAR LAMPIRAN
1 Penilaian estetik desa Wiyono
2 Kumpulan foto lanskap Penilaian SBE
3 Kuisioner analisis SWOT
4 Perhitungan nilai SWOT dari responden
5 Kuisioner persepsi masyarakat desa Wiyono menjadi desa wisata
6 Analisis Hasil Sikap
7 Pengunjung desa Wiyono dan kegiatan masyarakat desa Wiyono

46
47
51
53
54
56
57

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan pariwisata di Indonesia sudah sangat pesat. Berbagai macam
jenis wisata tersedia, mulai dari wisata alam sampai wisata kuliner. Wisata juga
dijadikan konservasi budaya dan alam sebagai upaya pemerintah dalam
melindungi kekayaan-kekayaan yang terdapat di suatu daerah seperti dituangkan
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 tentang
kepariwisataan, kepariwisataan di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi; meningkatkan kesejahteraan rakyat;
menghapus kemiskinan; mengatasi pengangguran; melestarikan alam, lingkungan
dan sumber daya; memajukan kebudayaan; mengangkat citra bangsa; memupuk
rasa cinta tanah air; memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan mempererat
persahabatan antar bangsa
Pengembangan kawasan atau lanskap wisata sudah lama digalakan oleh
pemerintah, salah satunya adalah desa wisata. Desa wisata merupakan daerah
tujuan wisata yang berbasis potensi desa yang menjadi obyek wisata. Berbagai
potensi unik dari desa dapat diangkat, diperkenalkan dan dijadikan andalan
daerah, khususnya desa tersebut. Perkembangan desa wisata seperti ini menjadi
perhatian dan andalan pemerintah pusat dan daerah.
Berkembangnya desa wisata dapat membantu mengurangi beban kota,
terutama kota-kota besar di Indonesia. Desa wisata yang berkembang diharapkan
dapat menjadi tumpuan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Angkatan
kerja potensial dapat diserap oleh industri wisata di desa tersebut. Berbagai
macam industri wisata yang dapat disediakan di desa, antara lain industri
pertanian dalam arti luas (padi, palawija, perkebunan, peternakan, dan perikanan),
industri kerajinan (handicraft dan sejenisnya), industri penginapan (homestay,
asrama, camping), industri kuliner, industri pagelaran budaya, dan sebagainya.
Namun, beberapa permasalahan dalam pengembangan desa wisata biasanya
berkisar pada terpenuhinya kriteria atau persyaratan penting suatu daerah wisata.
Kriteria utama suatu desa wisata adalah atraksi atau obyek wisata, aksesibilitas
menuju lokasi, fasilitas wisata, dan penerimaan masyarakat. Keempat kriteria
tersebut merupakan produk dan jasa dalam suatu industri wisata (Damanik dan
Weber 2006).
Beberapa desa di Indonesia sudah mempersiapkan dirinya untuk menjadi
desa wisata, termasuk salah satunya adalah desa Wiyono yang berlokasi di
Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung. Pemerintah desa Wiyono memiliki
semangat yang tinggi untuk menjadikan desanya menjadi desa wisata. Berbagai
pontensi sumberdaya alam dan sosial desa Wiyono belum dimanfaatkan untuk
dijadikan obyek wisata. Oleh karena itu perlu kajian yang menganalisis potensi
dan menyusun strategi pengembangan serta pengelolaan desa Wiyono untuk
menjadi desa wisata.

2
Perumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini mencakup hal-hal:
1. Apakah desa Wiyono memiliki potensi sumberdaya alam dan sosial-ekonomi
yang dapat menjadi obyek-obyek wisata desa?
2. Apakah masyarakat desa Wiyono memiliki persepsi dan motivasi yang kuat
dalam rangka menghadapi pengembangan desanya menjadi desa wisata?
3. Apakah perangkat desa dan masyarakat sudah mempersiapkan pengelolaan
desa wisata dengan strategi yang baik?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengidentifikasi dan analisis potensi sumberdaya alam dan sosial yang
dimiliki desa Wiyono
2. Untuk mengetahui persepsi dan motivasi masyarakat terhadap rencana
pengembangan desa wisata.
3. Untuk menyusun strategi pengembangan desa Wiyono menjadi desa wisata.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan dasar untuk pengembangan desa wisata yang berbasis
masyarakat.
2. Bagian informasi perkembangan desa Wiyono pontensi-potensi yang bisa
dijadikan Desa Wisata.
Kerangka Berpikir
Mempertahankan dan mengembangkan potensi wisata yang dimiliki agar
tetap berkelanjutan harus ada upaya-upaya masyarakat dan pemerintah dalam
menjaga kelestarian alam dan budaya, dalam mencari potensi objek daya tarik
wisata suatu lanskap adalah dengan tahapan menentukan potensi biofisik, potensi
ekonomi dan sosial budaya lalu dianalisis untuk dikembangkan menjadi wisata.
Sikap/persepsi masyarakat dapat berpengaruh kuat untuk pengembangan desa
wisata, dari sikap yang positif akan memudahkan untuk menentukan strategi yang
akan diambil untuk pengembangan desa wisata. Kerangka pikir penelitaian ini
terdapat pada Gambar 1.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah untuk mengembangkan desa
Wiyono Pesawaran Lampung menjadi desa wisata berbasiskan pada masyarakat
dengan cara mengali potensi-potensi yang ada melalui analisis Scenic Beauty

3
Estimation (SBE). Analisis potensi wisata, menilai kesiapan masyarakat melalui
respon sikap masyarakat dalam pengembangan desa wisata dengan tetap
mempertahankan pelestarian alam dan lumbung hasil pertanian dan kebun, ada
akhirnya penentuan strategi pengembangan yang paling tepat degan analisis
Strength, Weakness,Opportunities, and Threats (SWOT).

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Wisata
Potensi Obyek dan Daya Tarik Wisata yang dimiliki Indonesia, antara lain
berupa keanekaragaman hayati, keunikan dan keaslian budaya tradisional,
keindahan bentang alam, gejala alam, peninggalan sejarah/budaya yang secara
optimal untuk kesejahteraan masyarakat (Depbudpar 2009). Potensi wisata adalah
hal-hal yang dapat dijadikan daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung yang
terdiri dari atraksi alam dan buatan manusia
a. Atraksi alam:
1. Iklim, misalnya: cuaca cerah, banyak cahaya matahari, kering, panas,
hujan, dan sebagainya.
2. Bentuk lanskap dan pemandangannya, tanah yang datar, lembah
pegunungan, danau, sungai, pantai, air terjun, gunung merapi, dan
pemandangan yang menarik.
3. Fauna Hutan belukar, misalnya : hutan yang luas, banyak pohon–pohonan.
4. Flora dan fauna, seperti: tanaman yang langka, burung – burung, ikan,
binatang buas, cagar alam, daerah perburuan, dan sebagainya.
5. Pusat–pusat kesehatan, misalnya: sumber air mineral, mandi lumpur,
sumber air panas, di mana kesemuanya itu diharapkan dapat
menyembuhkan macam–macam penyakit.
b. Buatan manusia (man made supply). Kelompok ini dapat dibagi menjadi:
1. Monumen bersejarah dan sisa peradaban di masa lampau.
2. Museum, art gallery, perpustakaan, kesenian rakyat, handicraft.
3. Acara tradisional, pameran, festival, upacara/ritual, naik haji, upacara
perkawinan, khitanan, dan lain–lain.
4. Rumah–rumah beribadah, seperti: Masjid, Candi, Gereja maupun Pura dan
rumah adat.
c. Tata cara hidup masyarakat (the way of life).
Tata cara hidup tradisional dari suatu masyarakat merupakan salah satu
sumber yang amat penting untuk ditawarkan kepada wisatawan. Bagaimana
kebiasaan hidupnya, adat–istiadatnya, semuanya merupakan daya tarik bagi
wisatawan di daerah itu. Hal semacam ini sudah terbukti betapa pengaruhnya dan
dapat dijadikan events yang dapat dijual tour operator. Sesuatu dapat dikatakan
sebagai objek wisata, bila untuk melihat objek tersebut tidak ada persiapan,
dilakukan terlebih dahulu. Perkataan lain kita dapat melihatnya tanpa bantuan
orang lain terlebih dahulu. Semuanya dapat kita lihat secara langsung, walaupun
terkadang kita harus membayar sebagai tanda masuk, seperti: pemandangan
sungai, gunung, danau, lembah, candi, bangunan, monumen, tugu peringatan, dan
lain–lain. Atraksi wisata merupakan sinonim dengan pengertian “entertainments”,
yaitu sesuatu yang dipersiapkan terlebih dahulu agar dapat dilihat, dinikmati dan
yang termasuk dalam hal ini adalah tari–tarian, nyanyian, kesenian rakyat

5
tradisional, upacara adat, dan lain–lain. Tanpa ada persiapan yang matang, maka
ia tidak merupakan atraksi yangdapat menjadi daya tarik bagi wisatawan (Yoeti
1982).
Desa Wisata
Desa Wisata adalah suatu wilayah pedesaan yang menawarkan keseluruhan
suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan, baik dari segi sosial budaya,
adat–istiadat, keseharian, arsitektur tradisional, struktur tata ruang desa, serta
mempunyai potensi untuk dikembangkan berbagai komponen kepariwisataan,
misalnya: atraksi, makan, minum, cinderamata, penginapan, dan kebutuhan wisata
lainnya (Putra 2006). Untuk menjadi suatu daerah tujuan wisata, agar dapat
menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan, harus memiliki 3 syarat, yaitu:
a. Daerah ini harus mempunyai “something to see”, artinya di tempat tersebut
harus ada objek wisata dan atraksi wisata yang berbeda dengan yang dimiliki
oleh daerah lain, daerah tersebut harus mempunyai daya tarik khusus.
b. Di daerah tersebut harus tersedia “something to do”, artinya di daerah tersebut
di samping banyak yang dapat dilihat, harus pula disediakan fasilitas rekreasi
yang dapat membuat wisatawan betah tinggal lebih lama di tempat itu.
c. Di daerah tersebut harus ada “something to buy”, artinya di tempat itu harus
ada fasilitas untuk dapat berbelanja, terutama souvenir kerajinan masyarakat
setempat sebagai kenang–kenangan, di samping itu perlu juga disediakan
tempat penukaran uang asing dan telekomunikasi.
Menurut Soemanto (1999), dikatakan bahwa suatu daerah bisa menjadi
objek pariwisata karena daerah tersebut mempunyai atraksi wisata, di mana dalam
atraksi tersebut mempunyai beberapa aspek historis, aspek nilai, aspek keaslian,
dan aspek handicraft. Berdasarkan Pasal 29 Bab IV Undang–Undang No. 9 Tahun
1990 Tentang Kepariwisataan menyebutkan:
a. Kawasan Pariwisata merupakan suatu usaha yang kegiatannya membangun
atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan
pariwisata.
b. Penetapan suatu kawasan sebagai kawasan pariwisata dilakukan sesuai tata
ruang kawasan dan berdasarkan rencana pengembangan kepariwisataan.
Suatu kawasan wisata dapat meliputi lebih dari sebuah desa dengan satu
objek utama. Jadi, desa merupakan unit terkecil pengembangan suatu kawasan.
Dalam hubungannya dengan kepariwisataan dapat dikategorikan 3 jenis desa,
yaitu:
a. Desa Domisili, merupakan desa yang ada akomodasi sebagai tempat menetap
sementara wisatawan selama berada di daerah tujuan wisata.
b. Desa Kunjungan, merupakan desa yang mengadakan pertunjukan kesenian
bagi wisatawan dengan mengambil tempat di desa yang ada artshop atau
objek lainnya.

6
c. Desa Penunjang, merupakan desa yang menghasilkan barang untuk hotel,
restoran (benda – benda souvenir), akan tetapi desa tersebut tidak dikunjungi
wisatawan (Geriya 1983).
Desa Wisata adalah pengembangan suatu wilayah (desa) dengan
memanfaatkan unsur–unsur yang ada dalam masyarakat desa yang berfungsi
sebagai atribut produk wisata, menjadi suatu rangkaian aktivitas pariwisata yang
terpadu dan memiliki tema. Dalam desa tersebut juga mampu menyediakan dan
memenuhi serangkaian kebutuhan suatu perjalanan wisata, baik dari aspek daya
tarik maupun berbagai fasilitas pendukungnya.
Adapun unsur–unsur dari desa wisata adalah:
1. Memiliki potensi pariwisata, seni, dan budaya khas daerah setempat.
2. Lokasi desa masuk dalam lingkup daerah pengembangan pariwisata atau
setidaknya berada dalam koridor dan rute paket perjalanan wisata yang sudah
dijual.
3. Diutamakan telah tersedia tenaga pengelola, pelatih, dan pelaku–pelaku
pariwisata, seni dan budaya.
4. Aksesibilitas dan infrastruktur mendukung program desa wisata.
5. Terjaminnya keamanan, ketertiban, dan kebersihan.
Desa wisata secara konseptual dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah
pedesaan dengan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian, baik dari
struktur tata ruang, arsitektur bangunan maupun pola kehidupan sosial budaya
masyarakat serta menyediakan komponen–komponen kebutuhan wisatawan,
seperti akomodasi, makan, minum, cinderamata, dan atraksi–atraksi wisata (Putra
2006). Batasan desa wisata akan menjadi suatu kawasan mini yang self contained
dan pariwisata diharapkan terintegrasi dengan masyarakat. Desa wisata
menyediakan akomodasi dan fasilitas akomodasi ini tetap mempunyai nuansa
pedesaan yang kental (khususnya yang berciri khas desa setempat), tetapi tetap
memenuhi standar minimal dari segi kesehatan dan kenyamanan. Desa wisata juga
mampu menawarkan berbagai atraksi (Pitana 1994)
Menurut Edward Inskeep dalam desa wisata ada 2 komponen utama, yaitu:
1. Akomodasi, yaitu sebagian dari tempat tinggal para penduduk setempat dan
atau unit-unit yang berkembang atas konsep tempat tinggal penduduk.
2. Atraksi, yaitu sebuah kehidupan keseharian penduduk setempat beserta
setting fisik lokasi desa yang memungkinkan berinteraksinya wisatawan
sebagai partisipasi aktif, seperti kursustari, bahasa dan lain-lain yang spesifik.
Sedangkan Edward Inskeep berpendapat bahwa: village tourism where
small groups of tourist stay in or near traditional, often remote villages and learn
about village life and lokal environtments (wisata pedesaan dimana sekelompok
kecil wisatawan tinggal dalam/dekat dengan suasana tradisional sering di desadesa yang terpencil dan belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan
setempat).

7
Pengembangan Desa Wisata
Komponen–komponen dalam pengembangan desa wisata adalah:
a. Atraksi dan kegiatan wisata
Atraksi wisata dapat berupa seni, budaya, warisan sejarah, tradisi, kekayaan
alam, hiburan, jasa dan lainlain yang merupakan daya tarik wisata. Atraksi ini
memberikan ciri khas daerah tersebut yang mendasari minat wisatawan untuk
berkunjung ke tempat tersebut (Karyono 1997). Kegiatan wisata adalah apa
yang dikerjakan wisatawan atau apa motivasi wisatawan datang ke destinasi
yaitu keberadaan mereka disana dalam waktu setengah hari sampai
berminggu- minggu (Hadinoto 1996).
b. Akomodasi
Akomodasi pada desa wisata yaitu sebagian dari tempat tinggal penduduk
setempat dan atau unit- unit yang berkembang atas konsep tempat tinggal
penduduk (Rikhardi 2015).
c. Unsur institusi atau kelembagaan dan SDM.
Dalam pengembangan desa wisata lembaga yang mengelola harus memiliki
kemampuan yang handal.
d. Fasilitas pendukung wisata lainnya
Pengembangan desa wisata harus memiliki fasilitas-fasilitas pendukung
seperti sarana komunikasi.
e. Infrastruktur lainnya
Insfrastruktur lainnya juga sangat penting disiapkan dalam pengembangan
desa wisata seperti sitem drainase.
f. Transportasi
Transportasi sangat penting untuk memperlancar akses tamu.
g. Sumber daya lingkungan alam dan sosial budaya.
h. Masyarakat
Dukungan masyarakat sangat besar peranannya seperti menjaga kebersihan
lingkungan, keamanan, keramah tamahan.
i. Pasar domestik dan Mancanegara
Pasar desa wisata dapat pasar wisata domestik maupun mancanegara.
Konsep Pariwisata berbasis Masyarakat (Community Based Tourism)
Menurut Garrod (2001), terdapat dua pendekatan berkaitan dengan penerapan
prinsip–prinsip perencanaan dalam konteks pariwisata. Pendekatan pertama yang
cenderung dikaitkan dengan perencanaan formal sangat menekankan pada
keuntungan potensial dari ekowisata. Pendekatan ke dua, cenderung dikaitkan
dengan istilah perencanaan yang partisipatif yang lebih concern dengan ketentuan
dan pengaturan yang lebih seimbang antara pembangunanan dan perencanaan
terkendali. Pendekatan ini lebih menekankan pada kepekaan terhadap lingkungan
alam dalam dampak pembangunan ekowisata. Salah satu bentuk perencanaan
yang partisipatif dalam pembangunan pariwisata adalah dengan menerapkan
Community Based Tourism (CBT) sebagai pendekatan pembangunan.

8
Definisi CBT yaitu:
a. Bentuk pariwisata yang memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal
untuk mengontrol dan terlibat dalam manajemen dan pembangunan
pariwisata
b. Masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam usaha–usaha pariwisata juga
mendapat keuntungan
c. Menuntut pemberdayaan secara politis dan demokratisasi dan distribusi
keuntungan kepada komunitas yang kurang beruntung di pedesaan.
Pandangan Hausler CBT merupakan suatu pendekatan pembangunan
pariwisata yang menekankan pada masyarakat lokal (baik yang terlibat langsung
dalam industry pariwisata maupun tidak) dalam bentuk memberikan kesempatan
(akses) dalam manajemen dan pembangunan pariwista yang berujung pada
pemberdayaan politis melalaui kehidupan yang lebih demikratis, termasuk dalam
pembagian keuntungan dari kegitan pariwisata yang lebih adil bagi masyarakat.
Hausler menyampaikan gagasan tersebut sebagai wujud perhatian yang kritis pada
pembangunan pariwisata yang seringkali mengabaikan hak masyarakat lokal di
daerah tujuan wisata. Suansri (2003) mendefinisikan CBT sebagai pariwisata yang
memperhitungkan aspek keberlanjutan lingkungan, dan budaya. CBT merupakan
alat pembangunan komunitas dan konservasi lingkungan atau dengan kata lain
CBT merupakan alat untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang
berkelanjutan. Definisi yang disampaikan Suansri, gagasan untuk memunculkan
tools berparadigma baru dalam pembangunan pariwisata adalah semata-mata
untuk menjaga keberlangsungan pariwisata itu sendiri. Beberapa prinsip dasar
CBT yang disampaikan Suansri (2003) dalam gagasannya, yaitu:
a. Mengakui, mendukung dan mengembangkan kepemilikan komunitas
dalampariwisata,
b. Mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek,
c. Mengembangkan kebanggaan komunitas,
d. Mengembangkan kualitas hidup komunitas,
e. Menjamin keberlanjutan lingkungan,
f. Mempertahankan keunikan karakter dan budaya di area,
g. Membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukaran budayapada
komunitas,
h. Menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia,
i. Mendistribusikan keuntungan secara adil pada anggota komunitas,
j. Berperan dalam menentukan prosentase pendapatan (pendistribusian
pendapatan) dalam proyek yang ada di komunitas.
Sepuluh prinsip dasar tersebut harus menjadi tumpuan, arah dan prinsip
dasar dari pembangunan pariwisata agar keberlanjutannya terjamin. Prinsip dasar
yang disampaikan secara eksplisit Suansri lebih memfokus kan pada kepentingan
masyarakat lokal tetapi ide utama yang disampaikan Suansri dalam prinsip dasar
tersebut adalah hubungan yang lebih seimbang atara wisatawan dan masyarakat
lokal dalam industri pariwisata.

9
Keseimbangan yang dimaksud antara lain dalam hal status kepemilikan
komunitas, pembagian keuntungan yang adil, hubungan faktor budaya yang
didasari sikap saling menghargai, dan upya bersama untuk menjaga lingkungan.
Sebagai tindak lanjut Suansri (2003) menyampaikan point-point yang
merupakan aspek utama pengembangan CBT berupa 5 dimensi, yaitu:
a. Dimensi ekonomi, dengan indicator berupa adanya dana untuk
pengembangan komunitas, terciptanya lapangan pekerjaan di 5 sektor
pariwisata, timbulnya pendapatan masyarakat lokal dari sektor pariwisata;
b. Dimensi sosial dengan indikator meningkatnya kualitas hidup, peningkatan
kebanggaan komunitas, pembagian peran yang adil antara laki–laki
perempuan, generasi muda dan tua, membangun penguatan organisasi
komunitas;
c. Dimensi budaya dengan indikator berupa mendorong masyarakat untuk meng
hormati budaya yang berbeda, membantu berkembangnya pertukaran budaya,
budaya pembangunan melekat erat dalam budaya lokal.
d. Dimensi lingkungan, dengan indikator mempelajari carryng capacity area,
mengatur pembuangan sampah, meningkatkan kepedulian akan perlunya
konservasi;
e. Dimesi politik, dengan indikator: meningkatkan partisipasi dari penduduk
lokal, peningkatan kekuasaan komunitas yang lebih luas, menjamin hak-hak
dalam pengelolaan sumber daya alam CBT berkaitan erat dengan adanya
partisipasi dari masyarakat lokal. Menurut Timothy (1999) partisipasi
masyarakat dalam pariwisata terdiri dari dua perspektif yaitu dalam
partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan dan
partisipasi masyarakat lokal berkaitan dengan keuntungan yang diterima
masyarakat dari pembangunan pariwisata.
Berkaitan dengan CBT, Timmoty menggagas model normatif partisipasi
dalam pembangunan pariwisata yaitu ada 3 hal pokok dalam perencanaan
pariwisatayang partisipatif, yaitu:
a. Berkaitan dengan upaya mengikutsertakan anggota masyarakat dalam
pengambilan keputusan,
b. Adanya partisipasi masyarakat lokal untuk menerima manfaat dari kegiatan
pariwisata,
c. Pendidikan kepariwisataan bagi masyarakat lokal, yang dikenal dengan nama
Albeit Western Perspektif.
Ciri-ciri khusus dari Community Based Tourism menurut Hudson (Timothy
1999) adalah berkaitan dengan manfaat yang diperoleh dan adanya upaya
perencanaan pendampingan yang membela masyarakat lokal serta lain kelompok
memiliki ketertarikan/minat, yang memiliki kontrol besar dalam proses sosial
untuk mewujudkan kesejahteraan. Sedangkan Murphy (1985) menekankan
strategi yang terfokus pada identifikasi tujuan masyarakat tuan rumah dan
keinginan serta kemampuan mereka menyerap manfaat pariwisata. Menurut
Murphy setiap masyarakat harus didorong untuk mengidentifikasi tujuannya

10
sendiri dan mengarahkan pariwisata untuk meningkatkan kebutuhan masyarakat
lokal. Untuk itu dibutuhkan perencanaan sedemikian rupa sehingga aspek soosial
dan lingkungan masuk dalam perencanaan dan industri pariwisata memperhatikan
wisatawan dan juga masyarakat setempat. Keuntungan dari pendekatan
perencanaan yang partisipatif menurut Drake dan Paula dalam Garrod (2001)
adalah:
a. Mengkonsultasikan proyek dengan masyarakat atau melibatkan masyarakat
dalam manajemen penerapan proyek dan/atau pengoperasian proyek dapat
meningkatkan effisiensi proyek.
b. Efektifitas proyek jauh lebih meningkat dengan mengikutsertakan masyarakat
yang dapat membantu memastikan jika tujuan proyek bisa ditemukan dan
keuntungan akan diterima kelompok/ masyarakat lokal.
c. Sebagai capacity building bagi kelompok masyarakat agar mereka memahami
apa itu ekowisata dan peranannya dalam pembangunan berkelanjutan.
(terjamin bahwa yang terlibat sangat nampak keikut sertaannya secara aktif
dalam proyek dengan pelatihan formal/informal serta kegiatan untuk
meningkatkan keperdulian).
d. Pemberdayaan lokal meningkat dengan memberi masyarakat lokal yang lebih
besar terhadap sumber daya dan memutuskan penggunakan sumber daya yang
berpengaruh/penting sesuai dengan tempat tinggal mereka. (artinya menjamin
jika masyarakat lokal menerima keuntungan yang sesuai dengan penggunaan
sumberdaya).
e. Pembagian keuntungan dengan warisan lokal (lokal beneficiaries), misal
biaya tenaga kerja, biaya keuangan, operasional dan perawatan proyek
dan/atau monitoring dan evaluasi proyek.
Lebih lanjut Garrod (2001) menyampaikan elemen-elemen dari perencanaan
pariwisata partisipatif yang sukses yaitu:
a. Membutuhkan kepemimpinan yang efektif (memiliki kredibilitas sebagai
orang yang memahami, empati dan perduli den gan pendapat stakeholder,
memiliki kredibilitas sebagai seseorang yang memiliki keahlian yang
dibutuhkan di daerah tersebut, mandiri, memiliki kemampuan
mengidentifikasi masalah yang nyata dan tidak nyata, mememiliki
kemampuan mengatur partisipan, bersedia mengembangkan kelompok),
mampu mengarahkan keterlibatan yang sifatnya topdown ke bottom up).
b. Pemberdayaan masyarakat lokal.
c. Mengkaitkan keuntungan ekonomi dengan konservasi.
d. Melibatkan stakeholder lokal dalam setiap tahapan proyek,
e. Adanya partisipasi lokal mengadakan monitoring dan evaluasi proyek.
Sementara itu Yaman dan Mohd (2004) menggaris bawahi beberapa kunci
pengaturan pembangunan pariwisata dengan pendekatan CBT, yaitu:
a. Adanya dukungan pemerintah: CBT membutuhkan dukungan struktur yang
multi institusional agar sukses dan berkelanjutan. Pendekatan CBT
berorientasi pada manusia yang mendukung pembagian keuntungan dan

11

b.

c.

d.

e.

f.

manfaat yang adil serta mendukung pengentasan kemiskinan dengan
mendorong pemerintah dan masyarakat untuk tetap menjaga SDA dan budaya.
Pemerintah akan berfungsi sebagai fasilitator, kordinator atau badan
penasehat SDM dan penguatan kelembagaan.
Partisipasi dari stakeholder, CBT didiskripsikan sebagai variasi aktivitas yang
meningkatkan dukungan yang lebih luas terhadap pembangunan ekonomi dan
sosial masyarakat. Konservasi sumber daya juga dimaksudkan sebagai upaya
melindungi dalam hal memperbaiki mata pencaharian/penghidupan
masyarakat. CBT secara umum bertujuan untuk penganekaragaman industri,
Peningkatan skope partisipasi yang lebih luas ini termasuk partisipasi dalam
sektor informal, hak dan hubungan langsung/ tidak langsung dari lainnya.
Pariwisata berperan dalam pem-bangunan internal dan mendorong
pembangunanan aktivitas ekonomi yang lain seperti industri, jasa dan
sebagainya. Anggota masyarakat dengan kemampuan kewirausahaan dapat
menentukan/ membuat kontak bisnis dengan tour operator, travel agent
untuk memulai bisnis baru.
Pembagian keuntungan yang adil. Tidak hanya berkaitan dengan keuntungan
langsung yang diterima masyarakat yang memiliki usaha di sector pariwisata
tetapi juga keuntungan tidak langsung yang dapat dinikmati masyarakat yang
tidak memilki usaha. Keuntungan tidak langsung yang diterima masyarakat
dari kegiatan ekowisata jauh lebih luas antara lain berupa proyek
pembangunan yang bisa dibiayai dari hasil penerimaan pariwisata.
Penggunaan sumber daya lokal secara berkesinambungan. Salah satu
kekuatan ekowisata adalah ketergantungan yang besar pada sumber daya
alam dan budaya setempat, dimana aset tersebut dimiliki dan dikelola oleh
seluruh anggota masyarakat, baik secara individu maupun kelompok,
termasuk yang tidak memiliki sumber daya keuangan. Hal itu bisa
menumbuhkan kepedulian, penghargaan diri sendiri dan kebanggaan pada
seluruh anggota masyarakat. Demikian sumber daya yang ada menjadi lebih
meningkat nilai, harga dan menjadi alasan mengapa pengunjung ingin datang
ke desa.
Penguatan institusi lokal. Pada awalnya peluang usaha pariwisata di daerah
pedesaan sulit diatur oleh lembaga yang ada. Penting untuk melibatkan
komite dengan anggota berasal dari masyarakat. Tujuan utamanya adalah
mengatur hubungan antara penduduk, sumber daya dan pengunjung. Hal ini
jelas mem-butuhkan perkembangan kelembagaan yang ada di sana. Paling
baik adalah terbentuk lembaga dengan pimpinan yang dapat diterima semua
anggota masyarakat. Penguatan kelembagaan lokal dilakukan melalui
pelatihan dan pengembangan individu dengan ketra mpilan kerja yang
diperlukan (teknik, managerial, komuni kasi, pengalaman kewirausahaan, dan
pengalaman organisasi.
Penguatan kelembagaan dapat berbentuk forum, perwakilan, dan manajemen
komite. Keterkaitan antara level regional dan nasional. Komunitas lokal

12
seringkali kurang mendapat link langsung dengan pasar nasional atau
internasional, hal ini menjadi penyebab utama mengapa menfaat ekowisata
tidak sampai dinikmati di level masyarakat. Perantara yaitu yang
menghubungkan antara aktifitas ekowisata dengan masyarakat dan turis justru
memetik keutungan lebih banyak.
Persepsi
Persepsi merupakan suatu gambaran, pengertian, serta interpretasi
seseorang terhadap suatu obyek, terutama bagaimana orang menghubungkan
informasi yang diperolehnya dengan diri dan lingkungan dimana dia berada.
Bentuk persepsi tersebut berbeda pada setiap orang, karena pengaruh latar
belakang intelektual, pengalaman emosional, pergaulan, dan sikap seseorang.
Sedangkan, kedalaman persepsi akan sebanding dengan kedalaman intelektual dan
semakin banyaknya pengalaman emosional yang dialami seseorang (Eckbo 1964).
Lebih lanjut Porteous (1977) menambahkan bahwa persepsi akan menentukan
tindakan seseorang terhadap lingkungannya. Bentuk obyek yang diamati
seseorang salah satunya adalah lanskap, dimana seseorang akan melakukan
persepsi terhadap lanskap yang sudah diamatinya (Nasar 1988). Lebih lanjut
dinyatakan bahwa persepsi seseorang terhadap kualitas suatu lanskap ditentukan
oleh interaksi yang kuat antara variabel lanskap dan pengetahuan seseorang
terhadap lanskap tersebut. Hasilnya berupa penilaian yang bagus atau tidak
bagus.Tingkat penilaian tersebut tergantung pada kepuasan perasaan seseorang
terhadap lanskap tersebut.
Ruang
Ruang merupakan pengembangan dari sebuah bidang.Ruang mempunyai
tiga-dimensi (panjang, lebar, dan tinggi), bentuk, permukaan orientasi, dan posisi
(Ching 1996). Ching (1996) juga menyatakan bahwa ruang selalu melingkupi
keberadaan manusia. Melalui volume ruang manusia bergerak, melihat bentuk,
merasakan suara, merasakan angin bertiup, dan mencium bau semerbak bunga
ditaman. Bentuk visual ruang, dimensi dan skalanya, dan kualitas cahayanya
bergantung pada persepsi kita akan batas-batas ruang yang ditentukan oleh
unsure-unsur pembentuknya. Setiap ruang dengan karakteristiknya dapat
menyebabkan pengaruh pada pada penghuninya. Simonds (2006) menyatakan
bahwa setiap ruang dengan desainnya dapat menyebabkan berbagai respon, antara
lain sebagai berikut:
1. Ketegangan (Tension)
Ketegangan pada suatu ruang dapat tercipta dengan adanya bentuk yang
tidak stabil pada ruang, warna-warna yang bertabrakan, garis yang membuat
ketidak seimbangan secara visual, tidak ada kesempatan mata untuk beristirahat.

13
Permukaan yang tidak halus terpoles kasar atau bergerigi, elemen-elemen
yang tidak dikenal, cahaya yang menyilaukan atau gelap, temperatur yang tidak
nyaman, dan bunyi yang melengking, berdentang atau mengejutkan membuat
perasaan jiwa yang tidak tenang.
2. Relaksasi (Relaxation)
Relaksasi dapat diciptakan oleh ruang yang memiliki karakteristik
kesederhanaan, garis yang mengalir. Objek dan material yang sudah dikenal
dengan struktur yang jelas dan stabil, horizontal, tekstur yang menyenangkan,
bentuk yang menyenangkan dan nyaman.
Pencahayaan yang lembut dengan bunyi yang menenangkan baik kondisi
siang maupun malam dengan ukuran ruang yang bervariasi dari intim hingga tak
terbatas memberikan suasana jiwa yang lepas tanpa ketegangan.
3. Ketakutan (Fright)
Ruang yang memberikan respon ketakuan memiliki kesan menyekap,
jebakan yang terlihat jelas, tidak ada orientasi, area dan ruang tersembunyi. Ruang
yang mengambarkan bentuk tingkatan curam miring, retak, bentuk yang tidak
stabil, lantai yang licin, memberi kesan berbahaya.
Elemen yang tajam atau menonjol dengan ruangan tidak dikenal,
mengejutkan dan aneh, terdapat symbol mengerikan, menyakitkan dan penyiksaan
semakin menambah perasaan kehawatiran.
4. Kegembiraan (Gaiety)
Ruang yang memberikan respon kegembiraan memiliki karakteristik
ruangan yang bebas, pola dan bentuk yang mengalir, mengakomodasi pergerakan
menikung, akrobatik atau berputar.
Pembentukan ruang dengan sedikit pembatasan, terdapat bentuk, warna dan
simbol yang menarik. Ruang secara temporal mempunyai suasana santai, warna
hangat dan terang dengan pencahayaan kerlap-kerlip atau cemerlang. Sumber
suara bersemangat atau berirama teratur memberikan jiwa bergelora.
5. Perenungan (Contemplation)
Ruang yang memberikan respon perenungan memiliki karakteristik lembut
dan sederhana. Tidak ada elemen yang menyindir, tidak ada gangguan dari
kekontrasan tajam, menggunakan simbol yang berhubungan dengan perenungan.
Menghadirkan kesan ruang yang terisolasi, pribadi, pemisahan, keamanan dan
kedamaian. Ruang mempunyai pencahayaan yang lembut, tersebar dan warna
yang tenang memberikan nilai privasi.
6. Aksi dinamis (Dinamic action)
Ruang yang memberikan respon aksi dinamis memiliki karakteristik
bentuk yang mencolok, struktur yang berirama. Bentuk dari material yang padat
seperti batu, beton, kayu maupun baja, tekstur kasar natural dengan ruangan
diagonal mengarahkan konsentrasi perhatian ruang pada focal point. Warna yang
kuat, dan bunyi yang cepat menyesuaikan dengan ritme berubah secara teratur
memberi kesan tidak monoton.

14
7. Perasaan cinta (Sensuous love)
Ruang yang memberikan respon perasaan cinta memiliki karakteristik
sangat privasi. Orientasi ruang ke dalam mengarah pada subjek sebagai focal
point lebih menuju keskala intim, atap yang rendah, fluid lines, bentuk yang halus
atau melingkar. Penciptaan bahan yang lembut dengan permukaan yang lentur
menghadirkan elemen eksotis dan pencahayaan lembut menghadirkan perasaan
kedekatan untuk memiliki.
8. Kekaguman spiritual (Sublime spiritual awe)
Ruang yang memberikan respon kekaguman spiritual memiliki
karakteristik skala yang besar. Secara fisik mempunyai bentuk yang tinggi,
vertikal, orientasi ke atas, menggunakan material mahal dan permanen, konotasi
dari keabadian.
Warna yang mendominasi adalah warna putih melambangkan kesucian,
pencahayaan menyebar menyinari sehingga memperkuat keberadaan tiap elemen
dalam ruang .
9. Kekesalan (Displeasure)
Ruang yang memberikan respon kekesalan memiliki karakteristik ruangan
tidak sesuai untuk digunakan, tidak nyaman. Kehadiran suatu tekstur yang
mengganggu dengan material yang tidak semestinya dan tidak kuat. Ruangan
terkesan membosankan, muram, tidak rapi dengan warna yang tidak
menyenangkan. Ruangan memiliki temperatur yang tidak nyaman dengan
pencahayaan mengganggu penglihatan dan ruanggan terasa tidak indah.
10. Kesenangan (Pleasure)
Ruang yang memberikan respon kesenangan bagi penghuninya memiliki
karakteristik ruang, bentuk, tekstur, warna, simbol, pencahayaan, suara dan aroma
yang sesuai dalam penggunaannya.
Ruang memiliki kesatuan dengan keberagaman dan terjadi hubungan yang
harmonis dari setiap elemen penyusun dan memiliki keindahan yang sangat
natural dengan keberagaman bentukan vertikal dan horizontal.
Estetika
Estetika adalah sesuatu yang dirasakan oleh manusia sebagai hasil
hubungan yang harmonis dari semua elemen, baik itu elemen pada suatu obyek,
ruang maupun kegiatan. Estetika berkaitan erat dengan penilaian secara visual,
karena penampilan suatu obyek otomatis dinilai dari penampakkan visualnya
(Simonds 1983; Nasar 1988). Selanjutnya. Heath (1988) menambahkan bahwa
manusia pada umumnya menyukai keindahan. Manusia senantiasa menjadikan
lingkungannya tetap indah. Salah satu upaya yang dilakukan manusia adalah
perlindungan terhadap kualitas keindahan lingkungan.
Nilai estetik suatu tempat atau lanskap merupakan dimensi penting
dalampengamatan ekologi dan kekuatan nilai estetik telah menjadi aspek utama
dalam tindakan konservasi. Perumusan kebijakan tentang estetik juga membawa

15
pada pemahaman yang baik atas masalah lingkungan.
Sebagai contoh
pemandangan pegunungan yang masih alami dengan hutan yang gundul dimana
tidak hanya nilai estetiknya berbeda, tetapi kondisi ekologi keduanya juga berbeda.
Nilai estetik dapat menjadi salah satu alat ukur lingkungan, karena indera manusia
mampu menangkap dan membedakan kondisi lingkungan di sekitarnya melalui
indera penglihatan, pendengaran atau penciuman (Foster 1982). Penilaian
terhadap kualitas estetik lingkungan menjadi alat yang relevan dalam lingkup
pengamatan lanskap alami maupun nonalami. Kualitas estetik merupakan sumber
daya alam yang dapat memberikan kepuasan secara mental bagi manusia.
Pemenuhan terhadap kepuasan estetik merupakan puncak dari kebutuhan manusia,
karena pada dasarnya manusia tidak hanya menghendaki kepuasan secara fisik,
tetapi yang lebih utama adalah kepuasan mental atau jiwa. Keindahan lingkungan
sebagai salah satu alat pemenuhan kebutuhan estetik perlu dipelajari dan dibuat
metode penilaiannya, sehingga lingkungan dapat dikelola dengan baik agar
kualitas estetiknya dapat terlindungi dan tetap terjaga (Daniel dan Boster 1976;
Foster 1982).
Pendugaan Estetika Pemandangan
Kualitas lanskap, termasuk kualitas visualnya, dapat diukur
berdasarkanreaksi pengamat. Reaksi tersebut timbul karena persepsi yang
dihubungkan dengan memori dan emosi (Eckbo 1964). Menurut Simonds (1983)
sesuatu yang dinilai indah sebagai reaksi pengamat adalah yang mempunyai
keharmonisan diantara bagian-bagiannya. Keindahan visual lanskap beserta
elemennya merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat penting walaupun
secara obyektif sulit diukur. Simonds (1983) juga menyatakan bahwa keindahan
merupakan hubungan yang harmonis dari semua komponen yang dirasakan.
Ukuran, bentuk, warna dan tekstur tanaman merupakan unsur yang mempengaruh
kualitas.
Metode penilaian kualitas visual lanskap tersebut dapat dilakukan melalui
tiga pendekatan. Ketiga pendekatan evaluasi visual adalah inventarisasi deskriptif,
survei dan kuisioner, serta pendugaan preferensi berdasarkan persepsi. Persepsi
seseorang dalam menilai estetika lanskap dapat dinilai secara kuantitatif
menggunakan metode Scenic Beauty Estimation (SBE) (Daniel dan Boster 1976).
Scenic Beauty diartikan sebagai keindahan alami (natural beauty), estetik lanskap
(landscape esthetics), atau sumber pemandangan (scenic resource) untuk
memecahkan kemonotonan. Scenic Beauty Estimation merupakan metode
pengukuran kuantitatif terhadap suatu objek yang memiliki nilai estetika
walaupun secara obyektif sulit diukur. Pengukuran scenic beauty bertujuan untuk
menggambarkan perkembangan estetika alam melalui pertimbangan persepsi.
Metode ini terdiri dari tiga langkah utama, yaitu pengambilan foto lanskap,
presentasi slide foto, dan analisis data. Penilaian tersebut berdasarkan preferensi
dengan menggunakan kuisioner untuk mengetahui preferensi responden terhadap
suatu lanskap tertentu (Daniel dan Boster 1976).

16

3 METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di desa Wiyono yang berada pada wilayah administrasi
Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Secara geografis desa terletak pada
5o22‟43” sampai 5o24‟10” LS dan 105o7‟27” sampai 105o8‟15” BT. Tapak studi
yang digunakan adalah desa Wiyono di tambah dengan areal Tahura Register 19
sebagai mana dalam Gambar 2. Batas desa Wiyono wilayah utara adalah Desa
Way Berulu, sebelah selatan adalah Register 19, sebelah barat adalah Desa
Kebagusan, dan disebelah timur adalah Desa Taman Sari. Penelitian ini dilakukan
pada bulan Juli 2013 hingga bulan Agustus 2014.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.
(Sumber: Citra Googel Earth Agustus 2007)
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode diskriptif melalui
beberapa tahapan yang mencakup: tahap persiapan, pengumpulan data atau
pelaksanaan penelitian di lapang, analisis data, dan penyusunan strategi
rekomendasi desa wisata. Tahapan penelitian tersebut secara skematik disajikan
pada Gambar 3.
Tahap persiapan
Tahapan ini merupakan tahapan awal penelitian yang meliputi studi literatur,
survey pendahuluan, penyusunan proposal, penyusunan lembar kuesioner yang
diperlukan dan Checklist potensi wisata desa, mobilisasi tenaga survey dan
wawancara, menghubungi stakeholder yang terlibat, termasuk instansi pemerintah
daerah, swasta, dan masyarakat adat.

17
Survey pendahuluan ke lokasi penelitian dilakukan untuk membantu dalam
merencanakan metode yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian. Hal ini
dituangkan dalam proposal penelitian. Lembar kuesioner dan Checklist potensi
wisata disusun mengacu pada hasil survey pendahuluan. Pada saat survey
pendahuluan sudah dilakukan pendekatan ke pemerintah daerah, dan stakeholders
lainnya yang akan terlibat pada pelaksanaan penelitian, khususnya berkaitan
dengan penggalian informasi potensi wisata desa Wiyono.

Gambar 3 Tahapan penelitian
Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
sekunder. Data primer dikumpulkan melalui identifikasi potensi wisata desa. Pada
penelitian ini, yang dimaksud potensi wisata meliputi potensi biofisik, sosialekonomi, dan estetik. Potensi biofisik meliputi data/informasi topografi, iklim,
hidrologi, flora dan fauna. Potensi sosial-ekonomi meliputi kependudukan,
partisipasi, persepsi dan sejenisnya. Potensi estetik merupakan kualitas
sumberdaya estetik. Data sekunder dikumpulkan dengan studi literatur yang
terkait dengan tujuan penelitian. Jenis data yang dikumpulkan tersaji pada Tabel
1.
Tabel 1 Jenis data penelitian
No.
1
2

Jenis data
Biofisik (topografi, iklim, hidrologi,
flora, dan fauna)
Sosial, ekonomi, dan budaya

Sumber data
Observasi lapang,
dan profil desa
Observasi lapang

3

Estetika

Observasi lapang

4

Faktor penunjang (aksesibilitas,
fasilitas, sarana, dan masjid)
Persepsi dan permintaan wisata

Obeservasi lapang

5

Masyarakat

Metode pengambilan data
Pengamatan langsung dan
studi literatur
Pengamatan langsung,
wawancara, dan FGD
Pengamatan langsung dan
penilaian kualitas visual
(SBE)
Pengamatan langsung dan
monografi desa
Kuisioner dan FGD

18
1. Identifikasi potensi biofisik
Pada tahap ini, identifikasi dilakukan pada sumberdaya alam yang dimiliki
desa Wiyono dan berpotensi untuk dijadikan obyek wisata. Identifikasi dilakukan
melalui survey lapang ke desa Wiyono, dan pencatatan dilakukan terhadap potensi
biofisik desa dengan menggunakan lembaran Checklist sebagaimana tercantum
pada Tabel 2 di bawah. Setiap sumberdaya alam yang ada di desa dan berpotensi
sebagai obyek wisata hasil inventarisasi deskstudy dimasukkan kedalam tabel
tersebut. Pada saat di lapangan, seluruh obyek wisata d