Tinjauan Hukum Mengenai Kekuatan Pembuktian Secara elektronik Dalam Perkara Cyber Crime Dihubungkan Dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
THE JURISDICIAL REVIEW STRENGHT OF EVIDENCE CONCERNING
ELECTRONIC CYBER CRIME IN CASE LINKED WITH BOOK OF THE LAW
JUNCTO CRIMINAL PROCEDURE LAW NUMBER 11 YEAR 2008 ABOUT
INFORMATION AND ELECTRONIC TRANSACTIONS
Tinjauan Hukum Mengenai Kekuatan Pembuktian Secara Elektronik Dalam
Perkara Cyber Crime Dihubungkan Dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik
SKRIPSI
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia
Disusun oleh:
DONNY SIMBOLON
Nim. 31605026
Dibawah Bimbingan :
HETTY HASSANAH, S.H., M.H.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
2010
vii
THE JURISDICIAL REVIEW STRENGHT OF EVIDENCE CONCERNING
ELECTRONIC CYBER CRIME IN CASE LINKED WITH BOOK OF THE LAW
JUNCTO CRIMINAL PROCEDURE LAW NUMBER 11 YEAR 2008 ABOUT
INFORMATION AND ELECTRONIC TRANSACTIONS
By :
Donny Simbolon
Abstract
Advancement in information technology and communications has produced a variety of impacts, both
positive impacts and negative impacts, because on the one hand contribute to improving the welfare, progress and
civilization, but on the other side becomes effective means against the law. in fact, often appeared various criminal
acts committed through information and communication technology intended, are often known by the term
cybercrime. Speaking of handling cybercrime is inseparable from the process of verification. Legal provisions in
criminal procedural law applicable in Indonesia, which currently governs the process of evidence and strength of
evidence that must be done in dealing with cybercrime cases. When this has been born of Law Number 11 Year
2008 About Information And Electronic Transaction (hereinafter referred to as the Law ITE) in which regulate the
various activities undertaken and occurs in the virtual world (cyberspace), including law violations that occurred.
However, can not be adequate in relation to the evidence in cybercrime cases. There are several issues that arise
include how to process the strength of evidence and rules of evidence electronically connected with the Book of
Law on Criminal Procedure as amended by Law Number 11 Year 2008 About the Information and Electronic
Transactions.Research conducted by the author is a descriptive analytical approach of juridical normative and empirical.
Resulting data were analyzed qualitatively so that the hierarchy of juridical legislation can be considered as well as
to guarantee legal certainty.Based on legal analysis, drawn conclusion that the evidentiary process that can be done for cases of
cybercrime with the usual proof in a criminal case, using the tools of electronic evidence in addition to the tools of
other evidence submitted have validity in law, in this case based on the provisions of criminal procedural law
applicable today, namely Article 183 and Article 184 Criminal Procedure Code and Article 5 paragraph (1) and (2)
of Law Number 11 Year 2008 About the Information and Electronic Transactions.Proof electronically using tools
such as electronic evidence and information or electronic documents, conducted on cybercrime matters have the
same legal force to the process of verification in ordinary criminal cases, under the provisions of the criminal
procedural law, especially Article 183 and Article 184 Criminal Procedure Code and Article 5 paragraph (1) and (2) of Law Number 11 Year 2008 About the Information and Electronic Transactions. vii
Tinjauan Hukum Mengenai Kekuatan Pembuktian Secara Elektronik Dalam
Perkara Cyber Crime Dihubungkan Dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik
Oleh :
Donny Simbolon
Abstrak
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah melahirkan berbagai dampak, baik dampakpositif maupun dampak negatif, karena di satu sisi memberikan kontribusi bagi peningkatan
kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, namun di sisi lain menjadi sarana efektif perbuatan
melanggar hukum. pada kenyataannya sering muncul berbagai tindak pidana yang dilakukan melalui
teknologi informasi dan komunikasi termaksud, yang sering dikenal dengan istilah cybercrime. Berbicara
penanganan cybercrime tidak terlepas dari proses pembuktian. Ketentuan hukum dalam hukum acara
pidana di Indonesia yang berlaku saat ini belum mengatur tentang proses pembuktian maupun kekuatan
pembuktian yang harus dilakukan dalam menangani kasus-kasus cybercrime. Saat ini telah lahir
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut
Undang-Undang ITE) yang di dalamnya mengatur berbagai aktivitas yang dilakukan dan terjadi di dunia
maya (cyberspace), termasuk pelanggaran hukum yang terjadi. Namun demikian belum dapat memadai
dalam kaitannya dengan pembuktian pada kasus-kasus cybercrime. Ada beberapa masalah yang muncul
antara lain bagaimana proses pembuktian dan kekuatan hukum pembuktian secara elektronik
dihubungkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juncto Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.Penelitian yang dilakukan penulis bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif
dan empiris. Data yang dihasilkan dianalisis secara yuridis kualitatif sehingga hirarki peraturan
perundang-undangan dapat diperhatikan serta dapat menjamin kepastian hukum.Berdasarkan analisis hukum, ditarik simpulan bahwa Proses pembuktian yang dapat dilakukan
atas perkara cybercrime sama dengan pembuktian pada perkara pidana biasa, menggunakan alat-alat
bukti elektronik di samping alat-alat bukti lainnya yang diajukan memiliki keabsahan secara hukum,
dalam hal ini didasarkan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku saat ini, yakni Pasal 183 dan Pasal
184 KUHAP serta Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik. Pembuktian secara elektronik menggunakan alat-alat bukti elektronik seperti
informasi dan atau dokumen elektronik, yang dilakukan pada perkara-perkara cybercrime memiliki
kekuatan hukum yang sama dengan proses pembuktian pada perkara pidana biasa, berdasarkan
ketentuan hukum acara pidana khususnya Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP serta Pasal 5 ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
DAFTAR ISI
HalamanLEMBAR PENGESAHAN SURAT PERNYATAAN
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI……………………………………….…………………………………….iv
ABSTRAK
………………………………………………………………………….…..vi
ABSTRACT
……………………………………………………………………………..vii
BAB I PENDAHULUAN …………………………...……………1
A. Latar Belakang …………………………………...……1
B. Identifikasi Masalah ………………………………...………4
C. Maksud dan Tujuan ………………………………...………5
D. Kegunaan Penelitian ……………………………..…………5
E. Kerangka Pemikiran ………………………………..………6
F. Metode Penelitian ………………………………..……..16
BAB II ASPEK HUKUM CYBER CRIME DAN PEMBUKTIAN SECARA ELEKTRONIK ……………………………..………..19
A. Kekuatan Hukum Cyber Crime ……………………………..……..19 B.
Aspek Hukum Pembuktian Secara Elektronik…………...………..25
BAB III PROSES PEMBUKTIAN SECARA ELEKTRONIK PADA PERADILAN PERKARA CYBERCRIME DI INDONESIA
……………...……………36
A. Proses Pembuktian Pada Perkara Cyber Crime ……...………….36
B. Perkara-Perkara Cyber Crime di Indonesia ………………...…….40
BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN SECARA ELEKTRONIK DALAM PERKARA CYBER CRIME DIHUBUNGKAN DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR II TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
………………..…….45
A. Proses pembuktian pada kasus cyber crime berdasarkan pada
pasal 184 KUHAP juncto pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) undang- Undang no 11 tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik ………………………………45
B. Kekuatan hukum pembuktian Secara Elektronik atas kasus Cyber
Crime berdasarkan kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana
dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi Dan transaksi Elektronik ……………………… ……..49
BAB V Simpulan dan Saran A. Simpulan ………………………………53
B. Saran ………………………………54
DAFTAR PUSTAKA ………………………………55
LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dunia teknologi informasi dewasa ini telah membawa manusia
kepada era globalisasi yang memberikan kebebasan kepada setiap orang di dunia untuk saling bersosialisasi dengan siapapun dan dimanapun mereka berada.
Internet merupakan media utama yang dapat digunakan, karena melalui media internet seseorang dapat terhubung dengan teman atau bahkan dengan orang asing yang sama sekali tidak dikenal dan berdomisili di luar negeri.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah melahirkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif, karena di satu sisi memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, namun di sisi lain menjadi sarana efektif perbuatan melanggar hukum.
Teknologi informasi dan komunikasi juga telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara global, dan menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless), serta menimbulkan perubahan di berbagai bidang kehidupan. Perkembangan teknologi informasi telah melahirkan beragam jasa di bidang teknologi informasi dan komunikasi dengan berbagai fasilitasnya, dalam hal ini internet merupakan bagian dari kemajuan teknologi informasi tersebut, yang memberi kemudahan dalam berinteraksi tanpa harus berhadapan secara langsung satu sama lain. Namun demikian pada kenyataannya sering muncul berbagai tindak pidana yang dilakukan melalui teknologi informasi dan komunikasi termaksud, yang sering dikenal dengan istilah cybercrime. Berbicara penanganan
cybercrime tidak terlepas dari proses pembuktian. Ketentuan hukum dalam hukum
BAB II ASPEK HUKUM CYBER CRIME DAN PEMBUKTIAN SECARA ELEKTRONIK A. Ketentuan Hukum Cybercrime Pada dasarnya semua hukum bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan dalam
pergaulan hidup bermasyarakat, baik dalam lingkungan yang kecil maupun dalam lingkungan yang lebih besar, agar di dalamnya terdapat suatu keserasian, suatu ketertiban, 1 suatu kepastian hukum dan lain sebagainya . Kemajuan teknologi informasi menjadi awal terjadinya cybercrime, walaupun kemajuan teknologi informasi menjadi salah satu pendukung kehidupan masyarakat, namun teknologi informasi pun dapat menimbulkan hal yang bersifat negatif dan merusak seluruh bidang kehidupan saat ini, seperti munculnya cybercrime tersebut.
Pengertian cybercrime adalah suatu upaya memasuki/ menggunakan fasilitas komputer/ jaringan komputer tanpa ijin dan melawan hukum atau tanpa menyebabkan perubahan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut atau kejahatan yang dengan menggunakan sarana media elektronik internet (merupakan kejahatan dunia alam maya) atau kejahatan dibidang komputer dengan secara ilegal, dan terdapat difinisi yang lain yaitu sebagai kejahatan komputer yang ditujukan kepada sistem atau jaringan komputer, yang mencakup segala bentuk baru kejahatan yang menggunakan bantuan sarana media elektronik internet. Dengan demikian cybercrime merupakan suatu tindak kejahatan di dunia maya, oleh karenanya untuk menegakkan hukum serta menjamin 1 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, , Bandung, 1996,
hlm. 16
BAB III PROSES PEMBUKTIAN SECARA ELEKTRONIK PADA PERADILAN PERKARA CYBERCRIME DI INDONESIA A. Proses Pembuktian Pada Perkara Cybercrime Proses pembuktian adalah suatu hal yang sangat penting dalam suatu peradilan, karena
merupakan pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Hasil pembuktian menjadi salah satu faktor penentu bagi sebuah putusan hakim, begitu pula dalam perkara pidana yang terjadi atau dilakukan melalui dan atau menggunakan media teknologi informasi atau dikenal dengan sebutan cybercrime, proses pembuktian menjadi penentu bagi seorang Terbukti atau tidaknya perbuatan terdakwa sebagai perbuatan pidana dan terbukti atau tidaknya unsur kesalahan terdakwa, sangat ditentukan oleh hasil pembuktian dalam perkara tersebut.
Pada praktiknya proses pembuktian pada perkara cybercrime tetap mengikuti ketentuan hukum mengenai pembuktian secara umum dalam perkara pidana. Sampai saat ini belum ada ketentuan yang secara khusus mengatur tentang proses pembuktian secara elektronik pada perkara cybercrime. Sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, karena merupakan perpaduan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau Conviction in Time Theory. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah diperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Berbicara mengenai proses pembuktian tidak akan terlepas dari pembahasan tentang alat bukti. Ketentuan yang digunakan saat ini dalam pembuktian pada perkara cybercrime mendasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang antara lain menyatakan bahwa informasi dan atau dokumen elektronik dianggap sebagai alat bukti yang sah dan dianggap sebagai perluasan dari ketentuan mengenai alat bukti yang berlaku dalam hukum acara, dalam hal ini hukum acara pidana, yakni Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menentukan alat-alat bukti yang sah dalam peradilan pidana yaitu :
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa.
Melihat bahwa pada praktiknya proses pembuktian pada perkara cybercrime tetap mendasarkan pada ketentuan KUHAP, maka proses pembuktian dalam perkara cybercrime ini secara prinsip tidak berbeda dengan proses pembuktian biasa. Ada beberapa hal yang juga bersifat mendasar dalam proses pembuktian pada perkara cybercrime tersebut yang sangat berbeda dengan proses pembuktian pada perkara biasa. Berdasarkan ketentuan mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, proses pembuktian dapat diawali dari keterangan saksi. Keterangan saksi sebagai alat bukti pertama pada perkara pidana, akan sulit didapatkan pada perkara-perkara pidana yang melibatkan teknologi informasi (cybercrime), karena segala sesuatu atau semua perbuatan pelaku dalam perkara tersebut tentu dilakukan di dunia maya dan perbuatan itu dapat dilakukan kapan pun, di manapun sekalipun hanya sendiri. Kondisi tersebut menimbulkan kesulitan dalam mendapatkan alat bukti berupa keterangan saksi pada perkara-perkara
cybercrime. Ada beberapa perkara cybercrime, yang dimungkinkan adanya keterangan saksi, yakni apabila pada saat melakukan sesuatu di tempat pelaku atau korban ditemani pihak lain yang memang tidak berkepentingan.
Alat bukti kedua adalah keterangan ahli, dalam perkara cybercrime sangat dibutuhkan, karena berdasarkan ilmu dan keahlian yang dimilikinya seseorang yang dianggap ahli di bidang tertentu akan diminta keterangannya untuk memperjelas sesuatu terkait perkara yang sedang diperiksa atau disidangkan. Pada perkara-perkara cybercrime keterangan ahli yang sangat dibutuhkan antara lain adalah keterangan dari ahli teknologi informasi, yang dapat memberi penjelasan tentang sesuatu yang terkait dengan perkara.
Alat bukti surat juga merupakan alat bukti yang sangat penting. Pada perkara
cybercrime alat bukti surat yang dimaksud dapat berupa paperless, artinya surat elektronik
atau informasi dan atau dokumen elektronik, sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik bahwa Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan pula bahwa informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy, atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Pasal 1 angka 4
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengan melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Proses pembuktian pada perkara cybercrime ini tentu saja tetap dapat dilakukan dengan mengajukan bukti surat berupa informasi dan atau dokumen elektronik tersebut yang dapat dilaksanakan langsung di persidangan dengan menyampaikan hasil print out informasi atau dokumen elektronik itu atau hakim dapat langsung mengakses informasi atau dokumen elektronik yang bersangkutan.
Berbicara mengenai alat bukti petunjuk, tidak terlepas dari ketentuan Pasal 188 (2) KUHAP yang membatasi kewenangan hakim dalam memperoleh alat bukti petunjuk, yang
1
secara limitatif hanya dapat diperoleh dari :
1. Keterangan saksi;
2. Surat; 3. Keterangan terdakwa.
Berdasarkan hal di atas, alat bukti petunjuk hanya dapat diambil dari ketiga alat bukti di atas. Pada umumnya, alat bukti petunjuk baru diperlukan apabila alat bukti lainnya belum mencukupi batas minimum pembuktian yang diatur dalam pasal 183 KUHAP di atas. Alat bukti petunjuk merupakan alat bukti yang bergantung pada alat bukti lainnya yakni alat bukti saksi, surat dan keterangan terdakwa. Alat bukti petunjuk memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti lain, namun hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, sehingga hakim bebas untuk menilai dan
2
mempergunakannya dalam upaya pembuktian . Petunjuk sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, karena hakim tetap terikat pada batas minimum pembuktian sesuai ketentuan Pasal 183 KUHAP. informasi dan/atau dokumen 1 2 Munir Fuady, Op.Cit., hlm 294.
M.Yahya Harahap, Op.Cit.,hlm. 296. elektronik merupakan perluasan dari alat bukti surat sebagai bahan untuk dijadikan petunjuk bagi hakim dalam membuktikan suatu perkara.
Alat bukti terakhir dalam hukum acara pidana adalah keterangan terdakwa, dalam hal ini seorang terdakwa akan diminta keterangannya dalam persidangan untuk menemukan bukti- bukti apakah terdakwa memang bersalah telah melakukan perbuatan pidana yang didakwakan atau tidak. Seorang terdakwa walaupun memberikan keterangan yang tidak sebenarnya pun tetap dlindungi, berbeda dengan seorang saksi yang apabila memberikan keterangan yang tidak benar maka dapat dikenakan sanksi pidana telah memberikan keterangan palsu.
Proses pembuktian di persidangan dalam perkara cybercrime harus tetap mendasarkan pada ketentuan pembuktian Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
B. Perkara-Perkara Cyber Crime Di Indonesia
Ada beberapa perkara cybercrime yang terjadi di Indonesia dan pembuktian merupakan salah satu faktor penting yang diperlukan dalam mengadili perkara cybercrime tersebut, antara lain :
1. Kasus Artalyta Suryani sebagai tersangka pada tindak pidana percobaan penyuapan terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan dalam rangka meloloskan Syamsul Nursalim sebagai Tersangka pada kasus BLBI Bank Dagang Nasional Indonesia, dengan cara meminta dikeluarkannya Surat Penghentian Penyelidikan Perkara (SP3) dan memang Kejaksaan Agung mengeluarkan SP3 tersebut, dalam hal ini KPK dapat mengungkap percobaan penyuapan itu dengan adanya bukti percakapan antara Artalyta Suryani dengan pejabat Kejaksaan Agung melalui telepon yang berhasil disadap oleh KPK, sehingga Artalyta dan Jaksa Urip Tri Gunawan dapat segera ditangkap. Pada perkara ini harus dilihat sampai sejauh mana kewenangan KPK dapat melakukan penyadapan terhadap percakapan seseorang secara pribadi melalui fasilitas komunikasi ini, karena keabsahan kewenangan KPK ini menentukan pula keabsahan hasil penyadapan tersebut sebagai alat bukti.
2. Kasus lain yang ditangani KPK dengan cara melakukan penyadapan dalam
penyelidikan dan penyidikannya, antara lain kasus Mulyana W. Kusumah yang saat itu diduga terlibat dalam tindakan penyuapan terhadap petugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang mendapat tugas audit investigasi dari KPK pada tanggal 9 April 2005,
3. Kasus Al Amin Nasution sebagai anggota Komisi IV DPR RI yang terlibat kasus alih
fungsi hutang lindung di Pulau Bintan, yang terhadapnya telah dilakukan penyadapan oleh KPK.
4. Beberapa kasus penyebaran virus komputer lainnya di tahun 2003, yaitu :
a. Randon menyebarkan dirinya melalui IRC chat channels dan komputer yang dibagi dan terhubung di dalam sebuah jaringan. Virus tersebut mempunyai ciri- ciri yang khusus yaitu mempunyai malicious code yang merupakan sebuah dropper jenis worm yang menyusup pada beberapa file di komputer yang terinfeksi, beberapa di antaranya adalah virus yang mempunyai efek yang dapat berubah-rubah. Actions they carry out include opening ports, running melakukan penyerangan, dan lain-lainnya. Randon dapat menghubungi ke web page dan mendownload sebuah backdoor jenis Trojan. Sebuah petunjuk kehadiran dari worm ini di dalam sebuah komputer adalah adanya peningkatan network traffic melalui ports 445 dan 6667.
b. Worm Lentin.P menyebar melalui e-mail dalam sebuah message dengan ciri khas yang berubah-rubah. Virus ini juga memanfaatkan kelemahan pada Internet
Explorer versi 5.01 dan 5.5 yang akan bekerja secara automatis ketika message
yang membawa worm ditampilkan melalui Outlook Preview Pane, yang menyebar melalui network, dan setiap hari Rabu akan mengcopikan dirinya sendiri pada komputer yang disharing di dalam sistem jaringan. Lentin.P mematikan program antivirus dan firewall, melancarkan dapat menyerang dengan menggunakan DoS, dan menutup Windows Task Manager.
4. Kasus phishing pun menimpa nasabah Internet banking Bank Niaga sejak Bulan
3 Januari 2008 lalu. Nasabah menerima e-mail dari Bank Niaga dengan subjek
”Website Niaga Global Access (NG@) Dlam Perbaikan Membutuhkan Verifikasi Anda". Modus serangannya terlihat dari isi surat elektronik tersebut yang mengharuskan penerima e-mail mengklik link alamat tertentu. Berikut isi surat elektronik yang dikirim oleh phisher : “Untuk mengantisipasi adanya kesalahan di dalam database server kami, mohon anda login ke account NiAGA Global@ccsess anda dan mengecek kebenaran Data Info yang ada. Silahkan klik di sini untuk mengakses NIAGA Global@ccsess atau klik LOGIN dibawah ini," Apabila mengklik link tersebut, maka penerima akan dipandu untuk mengunjungi dan melakukan login ke situs NIAGA GLOBAL @CCESS palsu. Sekilas situs dengan NIAGA GLOBAL @CCESS. Padahal, alamat asli NIAGA GLOBAL @CCESS adalah https://secure.bank2home.com/ib-niaga/ Login.html. Melalui pengisian menu login di situs NIAGA GLOBAL @CCESS palsu tersebut, maka pelaku phishing dapat 3 memanfaatkannya data pribadi seperti nomor Personal Identification Number (PIN),
diakses pada Tanggal 13
Password atau rekening penerima e-mail melalui transaksi Internet banking. Alamat
situs palsu berakhiran com.cn tersebut menunjukkan bahwa pelaku kejahatan memiliki web server di China. Akan tetapi, bisa jadi mereka juga melibatkan orang- orang dari Indonesia, karena surat elektronik tersebut ditulis dalam format bahasa Indonesia yang cukup tersusun rapi, setidak-tidaknya pelaku phishing itu melibatkan orang yang dapat berbahasa Indonesia.
Menurut Electronic Delivery Group Head PT Bank Niaga Tbk, pelaku phishing mengambil daftar alamat e-mail nasabah NIAGA GLOBAL @CCESS dari mailing
list. Sasarannya dilakukan secara acak dari nasabah yang bergabung dalam
komunitas mailing list dimulai sejak Januari 2008. Media mailing list tersebut bukan merupakan maillist internal nasabah Bank Niaga, melainkan mailing list eksternal yang dikuti para nasabah.
5. Kasus phishing di Indonesia lainnya dialami oleh pelanggan/pengguna situs internet banking milik Bank BCA yaitu “klikbca.com”. Pada tahun 2001, ada situs internet palsu yang sangat mirip penulisannya dengan situs klikbca.com, yaitu “kilkbca.com. Pada kasus ini terlihat calon korban tidak akan sadar bahwa salah tulis satu huruf saja akibatnya sangat fatal, akibatnya banyak pengguna internet banking Bank BCA memasukkan username, password dan nomor Personal Identification Number (PIN) ke dalam situs yang bukan seharusnya tersebut. Pemilik situs palsu dengan leluasa menggunakan identitas korban untuk masuk ke situs klikbca yang sebenarnya dan mentransfer seluruh uang korban ke rekening miliknya. Hal tersebut terjadi karena tampilan situs asli dan yang palsu persis sama, sehingga korban tidak akan sadar
4 sama sekali.
Melihat berbagai kasus cybercrime di atas, terdapat berbagai alat bukti elektronik yang dapat diungkapkan dalam persidangannya. Alat bukti elektronik termaksud antara lain : 4 informasi elektonik, dokumen elektronik atau hasil penyadapan sebagai bagian dari teknologi informasi yang dapat dianggap sebagai alat bukti petunjuk. Semua alat bukti elektronik di atas diakui keabsahannya secara hukum dengan mendasarkan pada ketentuan
Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
BAB IV
ANALISIS HUKUM TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN SECARAELEKTRONIK DALAM PERKARA CYBER CRIME DIHUBUNGKAN
DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR II TAHUN 2008 TENTANGINFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
A. Proses Pembuktian Pada Kasus Cybercrime Berdasarkan Pasal 184 KUHAP Juncto
Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi ElektronikSemakin banyaknya kejahatan-kejahatan yang dilakukan melalui dan atau menyalahgunakan teknologi informasi, memerlukan perhatian yang tepat dalam proses penegakan hukumnya, karena sampai saat ini di Indonesia belum ada undang-undang yang mengatur khusus mengenai cyber crime dan ketentuan hukum acaranya, sehingga proses penegakan hukumnya masih berpedoman dapa ketentuan hukum acara pidana konvensional.
Hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan sedikit kemajuan dalam menyikapi dan menanggulangi maraknya
cybercrime ini, terutama dalam proses penegakan hukumnya/proses beracaranya. Pasal 5
ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah memberikan sedikit solusi atas kekosongan hukum acara pidana pada perkara-perkara cybercrime.
Pada praktiknya, masih banyak kendala yang dihadapi para penegak hukum dalam melakukan proses pembuktian pada perkara cybercrime ini, karena sulitnya mendapatkan alat bukti yang dianggap sah secara hukum, keterbatasan sumber daya manusia dari penegak hukum itu sendiri dalam menggunakan teknologi informasi untuk mencari suatu hal yang dapat diajukan sebagai alat bukti yang sah pada perkara cybercrime.
Penanganan kasus-kasus cybercrime tidak terlepas dari proses pembuktian yang menjadi salah satu bahan pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan putusan. Ketentuan hukum mengenai pembuktian termasuk tentang alat bukti yang sah secara hukum dalam kejahatan konvensional didasarkan pada ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) seperti Pasal 184 KUHAP yang menegaskan mengenai susunan alat-alat bukti yang sah pada proses pembuktian dalam kasus pidana.
Proses pembuktian pada kasus pidana konvensional dilakukan dengan menerapkan ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP, dalam hal ini dengan cara mencari alat- alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, terdiri dari :
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa.
Alat-alat bukti yang didapatkan dalam kasus pidana tersebut harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam KUHAP, maksudnya tidak mengada-ada ataupun menyimpang dari yang sebenarnya, sehingga alat bukti tersebut dapat dianggap sah secara hukum digunakan pada proses pembuktian sebagai bahan pertimbangan hakim untuk menjatuhkan putusannya.
Para penegak hukum harus senantiasa memiliki dasar hukum atas semua tindakan hukumnya atas perkara cybercrime terutama dalam proses penegakan hukumnya termasuk pembuktian. Penafsiran hukum terhadap beberapa ketentuan yang menyangkut hukum acara pidana perlu dilakukan dalam kaitannya dengan proses pembuktian secara elektronik dalam kasus cybercrime, seperti penafsiran hukum secara sistematis dan ekstensif terhadap Pasal 184 KUHAP terkait dengan alat-alat bukti yang sah secara hukum yang juga dapat diberlakukan dalam perkara cybercrime. Para penegak hukum dalam segala tingkatannya harus selalu meningkatkan kemampuan (sumber daya manusia) dalam berbagai hal menyangkut prosefinya yang berkaitan dengan penegakan hukum, termasuk hukum mengenai teknologi informasi dalam hubungannya dengan pembuktian pada perkara-perkara cyber crime;
Proses pembuktian pada kasus cybercrime pada dasarnya tidak berbeda dengan pembuktian pada kasus pidana konvensional, tetapi dalam kasus cybercrime terdapat ada beberapa hal yang bersifat elektronik yang menjadi hal utama dalam pembuktian, antara lain adanya informasi elektronik atau dokumen elektronik. Ketentuan hukum mengenai pembuktian atas kasus cybercrime telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa informasi dan atau dokumen elektronik dianggap sebagai alat bukti yang sah dalam proses pembuktian kasus cybercrime dan alat bukti elektronik tersebut dianggap pula sebagai perluasan dari alat bukti yang berlaku dalam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini alat-alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP.
Proses pembuktian pada kasus-kasus cybercrime yang pernah terjadi, dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 184 KUHAP juncto Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Nomor 11 tahun 2008, yaitu dengan cara mencari alat-alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP. Informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang ada dalam kasus cybercrime dianggap sebagai alat bukti surat sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP, yang didasarkan penafsiran hukum secara ekstensif (diperluas).
Makna yang diperluas adalah makna dari alat bukti surat itu sendiri, dalam hal ini tidak ahanya meliputi surat dalam arti fisik secara nyata tetapi juga surat dalam arti dunia maya atau sering disebut paperless, sehingga informasi elektronik dan atau dokumen elektronik termaksud dapat diajukan sebagai alat bukti pada proses pembuktian dalam kasus
cybercrime. Informasi elektronik dan atau dokumen elektronik ini dapat pula dianggap
sebagai alat bukti petunjuk, namun demikian harus didukung oleh keterangan ahli bahwa alat bukti elektronik tersebut memang merupakan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang relevan dalam kasus cybercrime yang sedang diperiksa.
Pada kasus Artalyta Suryani yang dijadikan sebagai tersangka pada tindak pidana percobaan penyuapan terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan dalam rangka meloloskan Syamsul Nursalim sebagai Tersangka pada kasus BLBI Bank Dagang Nasional Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan penyadapan terhadap percakapan antara Artalyta Suryani dengan pejabat Kejaksaan Agung melalui telepon. Hasil penyadapan tersebut diajukan KPK sebagai salah satu alat bukti dalam persidangan kasus tersebut. Hasil penyadapan merupakan sebuah informasi elektronik yang berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dianggap sebagai sebuah alat bukti yang sah, dalam hal ini KPK pun telah memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan atas percakapan seseorang secara pribadi melalui fasilitas komunikasi, untuk kepentingan pembuktian pada sebuah kasus tindak pidana korupsi yang juga sebuah cybercrime. Pembuktian pada kasus Al Amin dan Kasus Mulyana P. Kususmah pun dilakukan dengan mengajukan alat bukti antara lain hasil penyadapan dengan dasar hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP juncto Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008.
Proses pembuktian pada kasus penyebaran virus melalui e mail atau disebut cyber
spamming, dilakukan dengan mengajukan alat bukti antara lain informasi dan dokumen
elektronik berupa kode-kode virus dan email yang dijadikan media penyebaran virus tersebut, yang semuanya dianggap sebagai informasi serta dokumen elektronik. Kode-kode virus merupakan alat bukti petunjuk yang dapat diajukan dalam kasus cyber spamming, sedangkan email diajukan sebagai alat bukti surat, dalam hal ini surat elektronik dengan melakukan penafsiran hukum secara ekstensif (diperluas). Keterangan saksi ahli dalam hal ini di bidang teknologi informasi menjadi alat bukti yang dapat memperkuat terjadinya cyber
spamming.
Penanganan pada kasus phishing yang terjadi di beberapa bank dapat dilakukan melalui proses pembuktian dengan mengajukan alat bukti elektronik berupa situs yang dianggap palsu, serta kode-kode sebagai username atau nomor Personal Identification Number (PIN) seseorang yang menjadi korban tindak pidana phishing tersebut sebagai suatu alat bukti elektronik baik alat bukti surat dengan menggunakan penafsiran hukum ekstensif maupun sebagai alat bukti petunjuk yang diperkuat dengan adanya keterangan saksi ahli di bidang teknologi informasi.
B. Kekuatan Hukum Pembuktian Secara Elektronik Atas Kasus Cybercrime Berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi ElektronikBerbicara mengenai pembuktian secara elektronik, tidak terlepas dari alat-alat elekrtonik itu sendiri. Proses pembuktian secara elektronik sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya, merupakan pembuktian yang melibatkan berbagai hal terkait teknologi informasi seperti informasi dan atau dokumen elektronik dalam perkara Cyber Crime namun tetap mendasarkan pada ketentuan pembuktian sebagaimana diatu dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.
Proses pembuktian secara elektronik, tentu harus didukung oleh berbagai alat-alat bukti secara elektronik pula, dalam hal ini tetap melihat pada ketentuan tentang alat bukti yang sah dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan alat- alat bukti yang sah terdiri dari :
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa.
Pada perkara pidana biasa/konvensional, alat-alat bukti di atas merupakan alat bukti yang sah secara hukum, sepanjang diperoleh melalui proses yang tidak melanggar hukum.
Pada perkara cyber crime, alat-alat bukti yang sah dan dapat diungkapkan dalam proses pembuktian ditentukan berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang menegaskan bahwa informasi dan atau dokumen elektronik dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah secara hukum dalam proses pembuktian, khususnya pada perkara cybercrime. Alat-alat bukti tersebut merupakan perluasan dari alat-alat bukti sebagaimana diatur dan berlaku dalam hukum acara, khususnya hukum acara pidana, yakni sesuai ketentuan Pasal 184 KUHAP.
Melihat ketentuan di atas, pada perkara cybercrime ini alat bukti yang digunakan adalah alat bukti yang dihasilkan dan mengandung unsur teknologi informasi. Informasi dan atau dokumen elektronik dapat dianggap sebagai alat bukti elektronik selai memang ditentukan sebagai perluasan alat bukti pada hukum acara yang berlaku berdasarkan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, juga terhadap alat-alat bukti tersebut dapat dilakukan penafsiran secara ekstensif/diperluas, sehingga informasi dan atau dokumen elektronik termaksud kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti pada perkara pidana biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Alat bukti berupa informasi dan atau dokumen elektronik ini dapat pula dianggap sebagai sebuah petunjuk sebagai salah satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, karena alat bukti petunjuk dianggap sah apabila diperoleh dari keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa. Apabila informasi dan atau dokumen elektronik dianggap sebagai alat bukti surat seperti diatur dalam Pasal 184 KUHAP, baik secara langsung maupun melalui penafsiran hukum ekstensif/perluasan, maka informasi dan atau dokumen elektronik ini merupakan alat bukti petunjuk, sehingga terlihat jelas keabsahan dari alat bukti elektronik tersebut dan dapat diajukan sebagai alat bukti pada proses pembuktian sebuah perkara pidana (cybe crime), sehingga proses pembuktian yang dilakukan pada kasus cybercrime ini memiliki kekuatan hukum yang sama dengan pembuktian pada kasus pidana konvensional sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP