CYBER CRIME DALAM BENTUK PHISING DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM.

CYBER CRIME DALAM BENTUK PHISING DALAM UNDANGUNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI
DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK PERSPEKTIF HUKUM
PIDANA ISLAM

SKRIPSI

Oleh :
Zainal Arifin Al Hakim
NIM. C73212081

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Siyasah Jinayah
Surabaya
2016

CYBER CRIME DALAM BENTUK PHISING DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK PERSPEKTIF
HUKUM PIDANA ISLAM


SKRIPSI
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Syariah dan Hukum

Oleh
Zainal Arifin Al Hakim
NIM. C73212081

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Siyasah Jinayah
Surabaya
2016

ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan, bertujuan untuk menjawab
pertanyaan bagaimana cara melakukan kejahatan cyber crime dalam bentuk

phising, bagaimana ketentuan hukum terhadap kejahatan cyber crime dalam
bentuk phising menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, dan bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap
kejahatan cyber crime dalam bentuk phising menurut Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Data penelitian dihimpun melalui telaah kepustakaan (Selected
Bibliografie Technique), selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analisis,
dengan pola pikir deduktif.
Penelitian ini menghasilkan tiga hal. Pertama, cara yang digunakan dalam
melakukan kejahatan cyber crime dalam bentuk phising yaitu: a) Man in the
middle; b) URL Obfuscation; c) Gambar yang menyesatkan; d) Malware Based
Phising; dan e) Search Engine Phising. Kedua, bahwasanya pelaku cyber crime
dalam bentuk phising menurut Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dapat dikenakan Pasal 28 ayat (1) jo Pasal 45
ayat (2) dan Pasal 35 jo Pasal 51 ayat (1). Ketiga, tinjauan hukum pidana Islam
terhadap cyber crime dalam bentuk phising menurut Undang-Undang nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu sanksi hukum
terhadap kejahatan phising dalam Pasal 28 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (2) dan Pasal
35 jo Pasal 51 ayat (1) telah sesuai dengan hukum pidana Islam, karena dalam
hukum pidana Islam pihak yang berwenang melaksanakan hukuman ta’zi>r adalah

ulil amri, dan telah memenuhi unsur-unsur yang ada dalam jari>mah ta’zi>r.
Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka kepada para aparat hukum
hendaknya lebih memperdalam pengetahuan dalam perkembangan teknologi, dan
juga diperlukan pengetahuan bagi para penegak hukum mengenai digital forensics
sebagai cara untuk menemukan alat bukti dalam kejahatan cyber crime agar dapat
dibawa di dalam persidangan.

iv

DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM........................................................................................

i

PERSETUJUAN PEMBIMBING..................................................................

ii

PENGESAHAN..............................................................................................


iii

ABSTRAK......................................................................................................

iv

KATA PENGANTAR....................................................................................

v

DAFTAR ISI...................................................................................................

vii

DAFTAR TRANSLITERASI.........................................................................

ix

MOTTO...........................................................................................................


xii

BAB I

PENDAHULUAN...................................................................

1

A. Latar Belakang..................................................................

1

B. Identifikasi Masalah.........................................................

14

C. Batasan Masalah...............................................................

15


D. Rumusan Masalah.............................................................

15

E. Kajian Pustaka..................................................................

16

F. Tujuan Penelitian.............................................................

19

G. Kegunaan Hasil Penelitian...............................................

19

H. Definisi Operasional.........................................................

20


I. Metode Penelitian............................................................

21

J. Sistematika Pembahasan.................................................

23

TINJAUAN UMUM TERHADAP JARIMAH TA’ZIR.......

25

A. Pengertian Jarimah Ta’zir...............................................

25

B. Unsur-Unsur Jarimah Ta’zir............................................

27


C. Macam-Macam JarimahTa’zir........................................

32

D. Hukuman Jarimah Ta’zir.................................................

38

CYBER CRIME DALAM BENTUK PHISING DAN
SANKSI HUKUMNYA..........................................................

58

A. Pengertian Cyber Crime...................................................

58

B. Cyber Crime dalam Bentuk Phising….............................

59


C. Metode dan Teknik Serangan Phising..............................

62

BAB II

BAB III

vii

D. Contoh Kasus Cyber Crime dalam Bentuk Phising
di Indonesia...................................................................
E. Cyber Crime dalam Bentuk Phising Menurut
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik...............................
BAB

IV


73

ANALISIS TERHADAP CYBER CRIME DALAM BENTUK
PHISING DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN
2008
TENTANG
INFORMASI
DAN
TRANSAKSI
ELEKTRONIK
PERSPEKTIF
HUKUM
PIDANA
ISLAM...................................................................................
82
A. Analisis Cara Melakukan Kejahatan Cyber Crime
dalam Bentuk Phising....................................................
B. Analisis Ketentuan Hukum Terhadap Cyber Crime
dalam Bentuk Phising Menurut Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik......................................................
C. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Cyber Crime
dalam Bentuk Phising dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik .......................................................................

BAB V

71

82

83

85

PENUTUP.............................................................................

93

A. Kesimpulan.....................................................................

93

B. Saran...............................................................................

94

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

viii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini teknologi informasi dan komunikasi telah mengalami
perkembangan yang begitu pesat di dunia, terutama di Indonesia yang tidak
mau ketinggalan dalam hal pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi, ini dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang menggunakan
alat komunikasi dan teknologi seperti handphone, personal computer,

smartphone, internet dan banyak sekali macam-macamnya. Di mana kemajuan
teknologi ini telah membantu masyarakat dalam berkomunikasi dan
memudahkan pekerjaan menjadi lebih sederhana, sehingga hampir seluruh
bidang kehidupan manusia menggunakan teknologi.
Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku
masyarakat dan peradaban manusia secara global. Di samping itu,
perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa
batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan
berlangsung demikian cepat.1
Satu hal yang menarik adalah bahwa proses globalisasi dimulai oleh
kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Memang awal kehidupan ini
sebenarnya adalah komunikasi. Makhluk hidup, khususnya manusia tidak
sanggup bertahan hidup tanpa komunikasi. Bahkan para ahli komunikasi

Ahmad M. Ramli, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2006), 1.
1

1

2
menekankan, bahwa dalam peradaban kontemporer berkomunikasi merupakan
kebutuhan yang paling mendasar bagi makhluk manusia yang melebihi
kebutuhan fisik untuk makan dan untuk berlindung dari panas matahari dan
hawa dingin.2
Dalam hal ini, internet sebagai media komunikasi yang paling
berkembang saat ini, di mana internet saling menghubungkan jutaan manusia
di seluruh dunia, tanpa mereka mengetahui keberadaan lawan komunikasinya.
Informasi dapat dikirim dalam berbagai bentuk seperti suara, gambar, teks,
data, maupun kombinasinya.3
Menurut Sutarman, internet merupakan hubungan antar berbagai
jenis komputer dan jaringan di dunia yang berbeda sistem operasi maupun
aplikasinya, di mana hubungan tersebut memanfaatkan kemajuan media
komunikasi (telepon dan satelit) yang menggunakan protokol standar dalam
berkomunikasi, yaitu protokol TCP/IP.4
Saat ini para pengguna internet hampir seluruh lapisan masyarakat
menggunakannya, terutama negara-negara yang telah maju sebagai media
komunikasi yang begitu luas. Dunia internet ini biasa disebut dengan dunia
maya, atau dunia siber (cyber space).

2
Andi Abdul Muis, Indonesia di Era Dunia Maya Teknologi Informasi dalam Dunia Tanpa Batas,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2001), 3.
3
Sutarman, Pengantar Teknologi Informasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 64.
4
Ibid., 32.

3

Cyber space dipandang sebagai sebuah dunia komunikasi yang
berbasis komputer. Dalam hal ini, cyber space dianggap sebagai realitas baru
dalam kehidupan manusia yang dalam bahasa sehari-hari dikenal internet.5
Adanya cyber space ini mengakibatkan dunia nyata menjadi tanpa
batas (borderless), karena kemajuan dari teknologi informasi dan komunikasi
ini menyebabkan mudahnya pengguna internet dalam mendapatkan segala
informasi dari manapun yang ada di dalam internet (cyber space). Sehingga

cyber space ini seperti mata pisau ganda, di samping memberikan kemudahan
dalam mendapatkan informasi, dapat juga sebagai aksi dalam perbuatan
melawan hukum.
Sebagaimana lazimnya internet yang menjadi alat dalam media
komunikasi yang bersifat netral, jika internet digunakan dalam hal kebaikan
maka internet dapat menjadi manfaat yang baik bagi manusia, namun ketika

internet digunakan dalam hal kejahatan dengan maksud untuk merugikan
orang lain, maka internet bisa menjadi alat dalam perbuatan kejahatan
tersebut, sehingga internet memiliki sisi positif maupun sisi negatif
tergantung pengguna internetnya.
Kemajuan teknologi informasi (internet) dan segala bentuk manfaat
di dalamnya membawa konsekuensi negatif tersendiri di mana semakin
mudahnya para penjahat untuk melakukan aksinya yang semakin merisaukan
masyarakat. Penyalahgunaan yang terjadi dalam cyber space inilah yang

Maskun, Kejahatan Siber (Cyber crime) Suatu Pengantar, (Jakarta: Prenada Media Group, 2013),
46.
5

4
kemudian dikenal dengan cyber crime atau dalam literatur lain digunakan
istilah computer crime.6
Namun perbedaan antara cyber crime dengan computer crime adalah
dari objeknya computer crime hanyalah perbuatan melawan hukum dengan
alat yang berupa komputer sebagai sarana dan juga objek dalam melakukan
perbuatannya itu, di mana perbuatannya merugikan orang lain. Sedangkan

cyber crime adalah sama seperti computer crime, hanya saja dalam cyber
crime dibutuhkan perangkat telekomunikasi berupa internet.
Pengertian antara kejahatan komputer (computer crime) atau
kejahatan dunia maya (cyber crime) secara universal adalah upaya memasuki
dan atau menggunakan fasilitas komputer atau jaringan komputer tanpa izin
dan dengan melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan perubahan dan
atau tanpa kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan
tersebut.7
Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang
berbasis komputer dan jaringan telekomunikasi (internet) dalam beberapa
literatur dan prakteknya dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain:8
1. Unauthorized access to computer system and service, yaitu kejahatan
yang dilakukan ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak

6

Ibid., 47.
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi,
(Bandung: PT Refika Aditama, 2009), 8.
8
Maskun, Kejahatan Siber (Cyber crime)..., 51.
7

5
sah, tanpa izin, atau tanpa pengetahuan dari pemilik sistem jaringan
komputer yang dimasukinya.
2. Illegal contents, yaitu kejahatan dengan memasukkan data atau
informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis,
dan dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.
3. Data forgery, yaitu kejahatan dengan memalsukan data pada
dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless

document melalui internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada
dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi
“salah ketik” yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku.
4. Cyber espionage, yaitu kejahatan yang memanfaatkan jaringan

internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain,
dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network

system) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap
saingan bisnis yang dokumen ataupun data-data pentingnya
tersimpan dalam suatu sistem komputerisasi.
5. Cyber sabotage and extortion, yaitu kejahatan yang dilakukan
dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap
suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang
tersambung dengan internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan
dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer atau suatu
program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem
jaringan

komputer

tidak

dapat

digunakan,

tidak

berjalan

6
sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki
oleh pelaku.
6. Offence against intellectual property, yaitu kejahatan yang ditujukan
terhadap hak kekayaan intelektual yang dimiliki seseorang di internet.
Sebagai contoh adalah peniruan tampilan web page suatu situs milik
orang lain secara ilegal, penyiaran suatu informasi di internet yang
ternyata merupakan rahasia dagang orang lain, dan sebagainya.
7. Infringements of privacy, yaitu kejahatan yang ditujukan terhadap
informasi yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia.
Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi
seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan
secara komputerisasi, yang apabila diketahui oleh orang lain, maka
dapat merugikan orang secara materiil maupun imateriil, seperti
nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, keterangan tentang cacat atau
penyakit tersembunyi, dan sebagainya.
Di berbagai literatur, cyber crime dideteksi dari dua sudut pandang,
yaitu:9
1. Kejahatan yang menggunakan teknologi informasi sebagai fasilitas:
pembajakan, pornografi, pemalsuan/pencurian kartu kredit, penipuan
lewat email (fraud), email spam, perjudian online, pencurian account

internet, terorisme, isu sara, situs yang menyesatkan, dan sebagainya.

9

Sutaman, Pengantar Teknologi..., 74.

7
2. Kejahatan yang menjadikan sistem teknologi informasi sebagai
sasaran: pencurian data pribadi, pembuatan/penyebaran virus
komputer, pembobolan/pembajakan situs, cyberwar, denial of

Service (DOS), kejahatan berhubungan dengan nama domain, dan
sebagainya.

Cyber crime adalah jenis tindak pidana yang sulit dideteksi. Tidak
seperti kejahatan konvensional biasa, korban kejahatan pada umumnya tidak
menyadari bahwa ia telah menjadi korban, umumnya mereka tidak
melaporkan karena beranggapan bahwa hukum yang ada belum menjerat
pelaku, kurangnya pengetahuan aparat hukum mengenai perkembangan
teknologi sehingga kurang dapat mengantisipasi perkembangan kejahatan ini,
juga karena menganggap pembuktian telah terjadi kejahatan di depan
pengadilan sangatlah sulit.10

Cyber crime dalam kategori infringements of privacy pernah terjadi
di Indonesia, yaitu tindak kejahatan penipuan dengan menggunakan email
palsu atau situs website palsu yang bertujuan untuk mengelabui user sehingga
pelaku bisa mendapatkan data pribadi user seperti username, PIN, nomor
rekening bank, atau nomor kartu kredit secara tidak sah. Kejahatan seperti ini
dikenal dengan istilah phising.

Phising adalah tindakan memperoleh informasi pribadi seperti user
ID, PIN, nomor rekening bank, atau nomor kartu kredit anda secara tidak sah.

Niniek Suparni, Cyberspace Problematika dan Antisipasi Pengaturannya, (Jakarta:Sinar Grafika,
2009), 122.
10

8
Informasi ini kemudian akan dimanfaatkan oleh pihak penipu untuk
mengakses rekening, melakukan penipuan kartu kredit, atau memandu
nasabah untuk melakukan transfer ke rekening tertentu dengan iming-iming
hadiah.11
Dalam hal cyber crime dalam bentuk phising ini pernah terjadi di
Indonesia, yaitu kasus perusakan fasilitas Internet Banking Bank Central Asia
(BCA) pada situs www.klikbca.com dengan cara melahirkan lima nama situs
pelesetan yang mirip situs aslinya, adapun nama situs pelesetan yang dibuat

hacker yaitu kilkbca.com, wwwklikbca.com, clikbca.com, klickbca.com dan
klikbac.com. sehingga apabila nasabah yang menggunakan fasilitas Internet
Banking BCA salah mengetik nama situsnya (klikbca.com) seperti lima nama
situs pelesetan tersebut, yang terjadi adalah nasabah akan dibawa pada situs
palsu buatan hacker tadi, selanjutnya si nasabah pun tak bisa bertransaksi,
sementara Personal Identification Number (PIN) milik nasabah terekam di
situs palsu tersebut.12
Kasus cyber crime dalam bentuk phising yang terbaru adalah
pencurian yang dilakukan oleh seorang hacker yang berasal dari Ukraina,

hacker tersebut berhasil mengambil uang senilai 130 miliar rupiah dari 300
rekening nasabah bank di Indonesia. 13 Di mana hacker tersebut melakukan

Vyctoria, Bongkar Rahasia E-Banking Security dengan Teknik Hacking dan Carding,
(Yogyakarta:CV Andi Offset, 2013), 122.
12
Majalah Tempo, “Rubrik Teknologi Informasi”, (24 Juni 2001) dikutip dari Dikdik M. Arief
Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law..., 88.
13
Idr, “Hacker Sedot Rp 130 Miliar dari Rekening 300 Nasabah”, Jawa Pos, (14 April 2015), hlm
1.
11

9
kejahatannya dengan cara memanipulasi website internet banking, sehingga
pengguna aplikasi yang login pada website internet banking palsu ini,
transaksi yang dilakukan oleh nasabah tidak sesuai dengan yang diinginkan
oleh nasabah, melainkan diarahkan kepada rekening orang lain yang telah
bekerja sama dengan hacker, karena hacker berasal dari luar negeri sehingga
tidak dapat membuka rekening Indonesia.
Untuk mendapatkan korbannya, banyak cara digunakan dan hal ini
biasanya terus berkembang sesuai dengan perkembangan yang ada di dalam
dunia internet. Beberapa metode yang populer digunakan adalah:14
1. Email / SPAM
Media yang paling favorit digunakan untuk mencari korban adalah
email. Email dipilih karena murah dan mudah untuk digunakan.
Pelaku bisa mengirimkan jutaan email setiap harinya tanpa perlu
mengeluarkan biaya yang cukup besar. Bahkan pelaku phising juga
suka menggunakan server-server bajakan untuk melakukan aksinya.
2. Web-based Delivery
Pelaku phising juga memanfaatkan website dalam melakukan
aksinya. Pelaku biasanya membuat website yang mirip dengan

website-website terkenal untuk mengelabui korbannya. Membuat
website yang mirip dengan website perusahaan besar sangatlah
mudah untuk dilakukan karena pelaku hanya perlu membuat tampilan
yang sama, tanpa perlu membuat fungsi atau fasilitas yang sama
14

S’to, Certified Ethical Hacker 400% Illegal, (t.tp.: Jasakom, 2011), 147.

10
karena tujuannya adalah agar korban memasukkan username dan

password di dalamnya kemudian korban akan dibawa ke situs asli
agar tidak curiga.
3. IRC / Instant Messaging
Media chatting yang banyak digunakan juga menjadi sasaran pelaku

phising untuk mengirimkan alamat-alamat yang menjebak kepada
korbannya. Biasanya pelaku mengirimkan link ini secara acak namun
ada juga yang melakukan pendekatan terlebih dahulu sebelum
mengirimkan informasi situs palsu ini.
4. Trojan
Pelaku phising, terkadang juga menipu korbannya agar menginstall

trojan dan memanfaatkan trojan tersebut untuk mengelabui
korbannya. Trojan memungkinkan pengontrolan secara penuh
komputer korban sehingga korban bisa dialihkan ke situs yang telah
disediakan jebakan.
Dalam hal cyber crime dalam bentuk phising seperti kasus-kasus di
atas tadi, bentuk kejahatan tersebut adalah penipuan dengan menggunakan
komputer sebagai alat dalam melakukan aksi kejahatannya.
Membahas masalah aturan hukum cyber crime yang ada di Indonesia,
saat ini telah ada aturan perundang-undangan yang mengatur khusus tentang

cyber crime yaitu Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik. Adapun perbuatan phising ini secara implisit diatur
dalam Pasal 28 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 35 jo Pasal 51 ayat (1).

11
Salah satu Pasal undang-undang tersebut di Bab XI tentang
ketentuan pidana, Pasal 45 ayat (2) menyebutkan “setiap orang yang
memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2)
dipidana dengan penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1
miliar rupiah”.
Dalam hukum pidana Islam, pelaku tindak pidana (jari>mah) dihukum
sesuai dengan adanya aturan, karena ada kaidah bahwa “tidak ada jari>mah
(tindak kejahatan) dan tidak ada hukuman tanpa adanya nas} (aturan)” kaidah
ini seperti asas legalitas yang ada dalam KUHP Pasal 1 ayat (1). 15
Dalam Alquran juga dijelaskan mengenai asas legalitas ini, dalam
surat al-Qashash ayat 59:

ۡ ‫ِ ث ُ ك قم َ ا َر ُس مٗ َي ۡ ُ ا ْ َع َ ۡي‬
ٓ ‫َو َما ََ َن َر ُب َ ُم ۡ ق َ ۡٱل ُ َرى َح ىَ َي ۡب َع َ ق‬
‫ق‬
ُ
ُۡ
َ
َ
َ َُۡ ‫ى‬
٩ ‫َءاي ق َنا ۚ َو َما ك ىنا ُم ۡ ققِ ٱل َرى إقٗ َوثه َ ا ظ ُقم ن‬

Artinya: Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota,
sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan
ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami
membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan
melakukan kezaliman.
Hukuman dalam hukum pidana Islam bila ditinjau dari segi terdapat
atau tidak terdapat nas}nya dalam Alquran dan Hadis, dapat dibagi menjadi
dua:16

A. Djazuli, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jina>ya>h), (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 52.
A. Djazuli, Fiqh Jina>ya>h (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT
RajaGrafindo, 1997), 28.
15

16

12
1. Hukuman yang ada nas}nya, yaitu h}udu>d, qis}as> }, dan kafa>rat. Misalnya,
hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pembunuh, dan orang yang

mendhihar istrinya.
2. Hukuman yang tidak ada nas}nya, hukuman ini disebut dengan
hukuman ta’zi>r, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak
melaksanakan amanah, saksi palsu dan melanggar aturan lalu lintas.

Cyber crime dalam bentuk phising ini adalah identik dengan
perbuatan penipuan tradisional, hanya yang membedakan adalah phising
menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi dalam melakukan
kejahatannya. Sedangkan dalam hukum pidana Islam tidak ada nas} yang
menjelaskan hukuman bagi kejahatan phising tersebut.
Perbuatan phising yang identik dengan penipuan tersebut jika
dikaitkan dengan pencurian adalah serupa tetapi tidak sama dengan
pencurian.17 Adapun persamaan kedua perbuatan tersebut yaitu pengambilan
harta milik orang lain serta memiliki itikad jahat untuk memiliki barang
tersebut. Sedangkan perbedaannya yaitu penipuan dalam pengambilan harta
tersebut tidak diambil secara diam-diam, sedangkan dalam unsur pencurian
harus dengan cara diam-diam. Karena penipuan tersebut mengambil hak orang
lain secara licik dengan cara menipu korbannya agar memberikan hartanya
kepada pelaku secara tidak disadarinya, sehingga orang lain tersebut
menderita kerugian.

17

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 62.

13
Abdul Qadir Audah menjelaskan bahwa sesungguhnya unsur penting
dalam jari>mah pencurian adalah mengambil (sesuatu) dengan cara sembunyisembunyi,

sedangkan

mengambil

(sesuatu)

bukan

dari

tempat

penyimpanannya tidak perlu sembunyi-sembunyi sehingga unsur terpenting
dalam pencurian tidak terealisasi apabila tidak dapat diambil dari tempat
penyimpanannya. 18 Sehingga apabila salah satu syarat atau rukun tidak
terpenuhi maka hukuman potong tangan harus dibatalkan dan dialihkan
kepada hukum ta’zi>r.
Dalam tindakan phising, cara mengambil hak orang lain dengan
mengelabui user, sehingga pelaku phising bisa mendapatkan data pribadi user
tersebut seperti PIN, nomor rekening, nomor kartu kredit dan sebagainya
karena user menjadi korban penipuan. Sehingga tindakan phising berbeda
dengan pencurian, yang mana dalam pencurian harus mengambil secara diamdiam harta seseorang di dalam tempat penyimpanannya.
Dari berbagai pemaparan di atas, penulis ingin mengkaji terhadap
perspektif hukum pidana Islam mengenai sanksi hukum dalam UndangUndang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
terhadap pelaku cyber crime dalam bentuk phising. Karena perbuatan phising
ini tidak hanya merugikan individu saja, melainkan juga merugikan
masyarakat umum dikarenakan banyak yang tidak mengetahui pola kejahatan
seperti ini.

18

Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jina>ya>h, (Jakarta: Amzah, 2013), 116.

14
B. Identifikasi Masalah
Dalam hal mengenai perspektif hukum pidana Islam, masalah tindak
pidana cyber crime masih bersifat umum, oleh karena itu yang menjadi
perhatian dalam penulisan skripsi ini adalah yang berkaitan dengan cyber

crime dalam bentuk phising.
Adapun identifikasi masalah yang ada dalam latar belakang masalah
adalah sebagai berikut:
1. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi mengakibatkan dunia
menjadi tanpa batas (borderless).
2. Penyalahgunaan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi
(internet) mengakibatkan munculnya kejahatan baru, yaitu cyber

crime.
3. Bermacam-macam bentuk cyber crime yang erat dengan penggunaan
teknologi.
4. Cyber crime adalah jenis tindak pidana yang sulit untuk dideteksi.
5. Masyarakat beranggapan bahwa hukum yang ada belum mampu
menjerat pelaku cyber crime dan juga umumnya masyarakat tidak
melaporkan kejahatan cyber crime.
6. Kurangnya pengetahuan aparat hukum mengenai perkembangan
teknologi, sehingga penegak hukum kesulitan dalam hal pembuktian.
7. Kasus cyber crime dalam bentuk phising terjadi di Indonesia.
8. Berbagai teknik melakukan kejahatan cyber crime dalam bentuk

phising.

15
9. Aturan hukum untuk cyber crime yaitu Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
10. Dalam hukum pidana Islam, tidak ada nas} Alquran dan Hadis yang
menjelaskan sanksi kejahatan cyber crime dalam bentuk phising.

C. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Cara melakukan kejahatan cyber crime dalam bentuk phising.
2. Ketentuan hukum terhadap kejahatan cyber crime dalam bentuk

phising Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
3. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap kejahatan cyber crime dalam
bentuk phising menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dalam penulisan skripsi ini
penulis memberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana cara melakukan kejahatan cyber crime dalam bentuk

phising ?
2. Bagaimana ketentuan hukum terhadap kejahatan cyber crime dalam
bentuk phising menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

16
3. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap kejahatan cyber

crime dalam bentuk phising menurut Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka ini pada intinya untuk mendapatkan gambaran dari
hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya, sehingga tidak terjadi duplikasi dari penelitian yang ada.
Sudah ada beberapa buku yang menjelaskan permasalahan cyber

crime, di antaranya:
1. “Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar”, karangan Maskun.
2. “Cyberlaw Aspek Hukum Teknologi Informasi”, karangan Dikdik M.
Arief Mansur dan Elisatris Gulton.
3. “Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia”, karangan
Ahmad M. Ramli.
4. “Indonesia di Era Dunia Maya Teknologi Informasi dalam Dunia
Tanpa Batas”, karangan Andi Abdul Muis.
5. “Cyberlaw, Tidak Perlu Takut”, karangan Merry Magdalena dan
Maswigrantoro Roes Setiyadi.
6. “Tindak

Pidana

Teknologi

Informasi

(Cybercrime)

Urgensi

Pengaturan dan Celah Hukumnya”, karangan Budi Suhariyanto.
7. “Kejahatan Mayantara (Cyber Crime)”, karangan Abdul Wahid dan
Mohammad Labib.

17
8. “Cyberspace Problematika dan Antisipasi Pengaturannya”, karangan
Niniek Suparni.
Adapun penelitian dari beberapa mahasiswa UIN Sunan Ampel
Surabaya yang berkaitan dengan cyber crime adalah sebagai berikut:
Skripsi yang disusun oleh Khuzaimatus Sholikha yang berjudul
“Hacking Komputer dalam Perspektif Hukum Pidana dan Hukum Islam”
membahas bagaimana perspektif hukum pidana dan hukum Islam terhadap

hacking komputer, kesimpulannya adalah hacking komputer yang merupakan
akses atau memasuki suatu sistem komputer tanpa izin dari pemiliknya dapat
mengakibatkan kerugian kepada pengguna internet maupun pemilik situs
komputer. dalam penelitian tersebut hacking komputer dijerat dengan Pasal
22 jo. 40 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 dengan ketentuan pidana yang
diatur dalam Pasal 50 jo. Pasal 56 UU No. 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi. Sedangkan dalam hukum pidana Islam dikenai hukuman

ta’zi>r karena sanksinya bukan ditentukan oleh Alquran dan Hadis melainkan
ditentukan oleh Ulil Amri.
Skripsi selanjutnya berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam

Terh}adap Cyber Crime dalam Bentuk Spam” yang disusun oleh Muchammad
Nashir, dalam penelitiannya membahas bagaimana tinjauan hukum Islam dan
sanksi hukum terhadap cyber crime dalam bentuk spam, kesimpulan dari
penelitian tersebut bahwa yang dimaksud spam adalah pengiriman berita
elektronik untuk menampilkan berita iklan dan keperluan lainnya yang
mengakibatkan ketidaknyamanan bagi para pengguna website. Perbuatan

18

cyber crime dalam bentuk spam ini dijerat dengan Pasal 35 jo. Pasal 51 ayat
(1) UU ITE No. 11 Tahun 2008. Sedangkan sanksi pidana ditinjau dari hukum
Islam maka dapat dikategorikan kepada ta’zi>r atas pelanggaran-pelanggaran.
Skripsi yang ketiga adalah milik Sylviani yang berjudul “Studi

Komparasi Hukum Pidana Islam dan KUHP Pasal 362 tentang Tindak Pidana
Carding”. Dalam penelitian tersebut menjelaskan mengenai carding dan
sanksi hukumnya menurut hukum pidana Islam dan KUHP. Bahwa yang
dimaksud carding adalah aktivitas jual beli melalui internet yang sistem
pembayarannya dengan menggunakan kartu kredit orang lain. Sedangkan
sanksi hukumnya menurut hukum pidana Islam, tindakan carding disamakan
dengan sariqah karena unsur-unsur yang ada pada sariqah terdapat pula pada

carding. Lalu dalam KUHP, tindak pidana carding disamakan dengan
pencurian pokok atau pencurian biasa karena unsur-unsur yang terdapat pada
pencurian juga terdapat pada carding dan dikenakan Pasal 362 KUHP.
Dari kajian pustaka di atas, yang membedakan dengan penulisan
skripsi ini adalah membahas bagaimana pandangan hukum pidana Islam
terhadap sanksi hukum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap tindakan cyber crime dalam
bentuk phising. Di mana phising ini adalah penipuan dengan menggunakan

website palsu yang menyerupai aslinya dengan tujuan mendapatkan data
pribadi dari korbannya seperti username, PIN, nomor kartu kredit, password
dan sebagainya.

19
F. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi, meliputi hal-hal
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui cara melakukan kejahatan cyber crime dalam
bentuk phising.
2. Untuk mengetahui ketentuan hukum terhadap kejahatan cyber crime
dalam bentuk phising menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
3. Untuk mengetahui perspektif hukum pidana Islam terhadap
kejahatan cyber crime dalam bentuk phising menurut UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.

G. Kegunaan Hasil Penelitian
Dalam

penulisan skripsi

ini

dapat

diharapkan mempunyai

nilai kegunaan baik dari segi teoretis maupun praktis sebagai berikut:
1. Dari segi teoretis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu

pengetahuan,

teknologi

dan

informasi

hukum

khususnya
yang

dalam

berkaitan

bidang
dengan

kejahatan dunia maya (cyber crime) dalam bentuk phising.
2. Dari

segi

pemahaman

praktis,

hasil

masyarakat

penelitian
terhadap

ini

dapat

kejahatan

menambah

dunia

maya

(cyber crime) terutama dalam bentuk phising. Di samping

20
itu, diharapkan dapat menjadi pertimbangan hukum bagi para
penegak hukum ketika ada perkara cyber crime dalam bentuk

phising,

sehingga

dapat

menjamin

pelaku

cyber

crime

mendapat hukuman yang semestinya.

H. Definisi Operasional
Untuk
kesalahpahaman

memperjelas
dalam

dan

menafsirkan

menghindari
kata-kata

terjadinya

yang

ada

dalam

pembahasan penulisan skripsi, maka penulis memandang perlu untuk
memberikan penjelasan dalam memahami judul “Cyber Crime dalam
Bentuk

Phising

tentang

Informasi

dalam
dan

Undang-Undang
Transaksi

Nomor

Elektronik

11

Tahun

Menurut

2008

Perspektif

Hukum Pidana Islam”. Adapun yang dimaksud dengan:
1. Hukum Pidana Islam adalah terjemahan dari kata fikih jina>ya>h, dalam
skripsi ini menjelaskan khusus kepada jari>mah ta’zi>r, yaitu jari>mah
yang diancam dengan hukuman ta’zi>r (istilah untuk hukuman atas

jari>mah - jari>mah yang hukumannya belum ditentukan oleh shara’).
2. Cyber crime adalah tindak kriminal yang dilakukan dengan
menggunakan teknologi komputer sebagai alat kejahatan utama, di
mana kejahatan ini memanfaatkan perkembangan teknologi
komputer khususnya internet.19

Roniamardi, “definisi cybercrime++”, dalam https://roniamardi.wordpress.com/definisicybercrime, diakses pada 05 Oktober 2015.
19

21
3. Phising (Password Harvesting Fishing) adalah tindakan penipuan
yang menggunakan email palsu atau situs website palsu yang
bertujuan untuk mengelabui user sehingga pelaku bisa mendapatkan
data pribadi user tersebut seperti PIN, nomor rekening, nomor kartu
kredit dan sebagainya.20

I. Metode Penelitian
1. Data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan adalah data yang terkait dengan
tindak

pidana

cyber

crime

dalam

bentuk

phising,

Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dan hukum pidana Islam beserta ketentuan-ketentuan
pidananya.
2. Sumber Data
Penulisan skripsi ini merupakan hasil dari kajian pustaka.
Oleh sebab itu data yang digunakan adalah:
a. Sumber

data

primer,

yaitu

Undang-Undang

Nomor

11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
b. Sumber data sekunder, yaitu bahan hukum yang diperoleh
dari kitab-kitab atau bahan bacaan lain yang memiliki
keterkaitan dengan bahan skripsi, yaitu fikih jina>ya>h dari
Ahmad
20

Djazuli,

Vyctoria, Bongkar Rahasia..., 214.

CEH

(Certified

Ethical

Hacker)

400%

22

Illegal, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime)
Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya. Dan buku-buku
lain

yang

membantu

penulis

dalam

menyelesaikan

penulisan skripsi ini.
c. Sumber data tersier (penunjang), yaitu bahan hukum yang
menunjang dengan pembahasan skripsi, yaitu koran Jawa
Pos dan sumber dari internet.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data

yang akan digunakan

dalam

penelitian ini adalah telaah kepustakaan (Selected Bibliografie

Technique)

yaitu

mempelajari,

metode

memahami

pengumpulan
buku-buku,

data

dengan

peraturan

cara

perundang-

undangan serta karya tulis ilmiah lainnya yang berhubungan
dengan tindak pidana cyber crime dalam bentuk phising.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik deskriptif analisis, yaitu teknik analisis dengan
cara menjabarkan data sesuai apa adanya, dalam penelitian ini
adalah tindak pidana cyber crime dalam bentuk phising dan
menurut
Informasi

Undang-Undang
dan

Transaksi

Nomor

11

Elektronik,

Tahun

2008

selanjutnya

di

tentang
analisis

dengan hukum pidana Islam, menggunakan pola pikir deduktif,
yaitu pola pikir yang berangkat dari variabel yang bersifat umum

23
yaitu

hukum

pidana

Islam,

lalu

ditarik

kepada

fakta-fakta

tentang cyber crime dalam bentuk phising menurut UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, selanjutnya ditarik kepada kesimpulan yang bersifat
khusus menurut hukum pidana Islam.

J. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi 5 (lima) bab secara
sistematis, yaitu:
Bab I tentang Pendahuluan yang terdiri dari, Latar Belakang,
Identifikasi dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan
Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional, Metode
Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
Bab II tentang landasan teori yang berisi tentang tinjauan umum
terhadap jari>mah ta’zi>r yang memuat pengertian jari>mah ta’zi>r, unsur-unsur

jari>mah ta’zi>r, macam-macam jari>mah ta’zi>r dan hukuman jari>mah ta’zi>r.
Bab III tentang cyber crime dalam bentuk phising dan sanksi
hukumnya. Dalam bab ini akan menerangkan tentang pengertian cyber crime,

cyber crime dalam bentuk phising, metode dan teknik serangan phising,
contoh kasus cyber crime dalam bentuk phising di Indonesia, dan cyber crime
dalam bentuk phising dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.

24
Bab IV tentang analisis terhadap cyber crime dalam bentuk phising
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik perspektif hukum pidana Islam, memuat tentang analisis
cara melakukan kejahatan cyber crime dalam bentuk phising, analisis
ketentuan hukum terhadap cyber crime dalam bentuk phising dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
dan analisis hukum pidana Islam terhadap cyber crime dalam bentuk phising
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Bab V tentang penutup, yang memuat kesimpulan dan saran.

BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP JARImah Ta’zi>r

Ta’zi>r menurut bahasa berasal dari kata ‘azzara yang mempunyai
persamaan kata dengan mana’a wa radda yang artinya mencegah dan menolak;

addaba yang artinya mendidik; az}z}ama wa waqqara yang artinya
mengagunkan dan menghormati; dan a’a>na wa qawwa> wa nas}ara yang artinya
membantunya, menguatkan dan menolong.1
Dari keempat pengertian di atas, yang lebih relevan adalah pengertian

addaba (mendidik) dan mana’a wa radda (mencegah dan menolak) 2 karena
ta’zi>r juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan
ta’zi>r karena hukuman tersebut sebenarnya untuk mencegah dan menghalangi
orang yang berbuat jari>mah3 tersebut untuk tidak mengulangi kejahatannya
lagi dan memberikan efek jera.4
Kata ta’zi>r lebih populer digunakan untuk menunjukkan arti memberi
pelajaran dan sanksi hukuman selain hukuman h}ad. Sedangkan menurut shara’,

ta’zi>r adalah hukuman yang diberlakukan terhadap suatu bentuk kemaksiatan
atau kejahatan yang tidak diancam dengan hukuman h}ad dan tidak pula

kafa>rat, baik itu kejahatan terhadap hak Allah seperti makan pada siang hari

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 248.
Ibid.
3
Jarimah (tindak pidana) adalah segala larangan shara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau
meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukum h}ad atau ta’zi>r. (Ahmad
Djazuli, Fiqh Jinayah. 11.)
4
Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: PT
RajaGrafindo, 1997), 165.
1

2

25

26

pada bulan Ramadan tanpa ada uzur, meninggalkan salat menurut jumhur
ulama, riba. Maupun kejahatan adami>, seperti mencuri dengan jumlah curian
yang belum mencapai nisab pencurian, pencurian tanpa mengandung unsur al-

hirzu (harta yang dicuri tidak pada tempat penyimpanan yang semestinya),
korupsi, pencemaran dan tuduhan selain zina dan sebagainya.5
Dalam hal ini Imam al-Mawardi menjelaskan bahwa ta’zi>r (sanksi
disiplin) adalah menjatuhkan ta’zi>r terhadap dosa-dosa yang di dalamnya
tidak terdapat h}udu>d6 (hukuman shar’i).7
adapun perbedaan antara jari>mah h}udu>d dan jari>mah ta’zi>r adalah
sebagai berikut:8
1. Dalam jari>mah h}udu>d, tidak ada pemaafan, baik oleh perorangan
maupun ulil amri (pemerintah). Bila seseorang telah melakukan

jari>mah h}udu>d dan terbukti di depan pengadilan, maka hakim hanya
bisa menjatuhkan sanksi yang telah ditetapkan. Sedangkan dalam

jari>mah ta’zi>r, kemungkinan pemaafan itu ada, baik oleh perorangan
maupun oleh ulil amri, bila hal itu lebih maslahat.
2. Dalam jari>mah ta’zi>r hakim dapat memilih hukuman yang lebih tepat
bagi si pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi dan tempat

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, (Abdul Hayyie al-Kattani, dkk), jilid 7, (Jakarta: Gema Insani,
2007), 523.
6
Hudud (hukuman shar’i) adalah zawajir (pencegahan-pencegahan) yang disiapkan Allah untuk
menghalangi terjadinya kasus pelanggaran terhadap sesuatu yang dilarang Allah dan meninggalkan
(tidak mengerjakan) apa yang diperintahkan-Nya untuk dikerjakan. (Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam
As-Sulthaniyyah. 362.)
7
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, (Fadli Bahri), (Jakarta: Darul Falah, 2006), 390.
8
Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 170.
5

27

kejahatan. Sedangkan dalam jari>mah h}udu>d yang diperhatikan oleh
hakim hanyalah kejahatan material.
3. Pembuktian jari>mah h}udu>d dan qis}a>s} harus dengan sanksi atau
pengakuan, sedangkan pembuktian jari>mah ta’zi>r sangat luas
kemungkinannya.
4. Hukuman h}ad maupun qis}a>s} tidak dapat dikenakan kepada anak kecil,
karena syarat menjatuhkan h}ad si pelaku harus sudah balig,
sedangkan ta’zi>r itu bersifat pendidikan dan mendidik anak kecil itu
boleh.

B. Unsur-Unsur Jari>mah Ta’zi>r
Suatu perbuatan dianggap jari>mah apabila unsur-unsurnya telah
terpenuhi. Unsur-unsur ini dibagi menjadi dua, yaitu unsur umum dan unsur
khusus. Unsur umum adalah unsur yang dianggap sebagai tindak pidana
berlaku pada semua jari>mah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk
masing-masing jari>mah dan berbeda antara jari>mah yang satu dengan yang
lain.9
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum untuk

jari>mah itu ada tiga macam, yaitu:10

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam:Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), 27.
10
Ibid., 28.
9

28

1.

Unsur formal, yaitu adanya nas} (ketentuan) yang melarang perbuatan
dan mengancamnya dengan hukuman. Contohnya dalam surah alMaidah: 38

َ َ َ َ ‫َ َ َ َ ۡ َ ٓ َ ۡ َ َ َ َ ٓ َۢ َ َ َ َ َ َ ٰ ا‬
َ ‫َو‬
ِ ٗ‫ارِق ُُفُٱقطع اُُأيدِي اُجزاءُب ِ اُكس اُنك‬
ُُ‫ُم ُٱلُِهُوُٱل‬
ُ ‫ٱلسارِقُُوُٱلس‬
َ ‫يز‬
ٞ ‫ُحك‬
ٌ ‫َعز‬
ُ ُ٨ُ‫ِيم‬
ِ
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
2.

Unsur material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jari>mah,
baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat
(negatif). Contohnya dalam jari>mah zina unsur materiilnya adalah
perbuatan yang merusak keturunan, dalam jari>mah qadhaf unsur
materiilnya adalah perkataan yang berisi tuduhan zina.

3.

Unsur moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang yang mukallaf, yakni
orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana
yang dilakukannya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tindak pidana yang

tidak ditentukan sanksinya oleh Alquran maupun Hadis disebut sebagai

jari>mah ta’zi>r. Contohnya tidak melaksanakan amanah, menggelapkan harta,
menghina orang, menghina agama, menjadi saksi palsu, dan suap.11

11

Ibid., 163

29

Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam hukuman ta’zi>r diberlakukan
terhadap setiap bentuk kejahatan yang tidak ada ancaman hukuman h}ad dan
kewajiban membayar kafa>rat di dalamnya, baik itu berupa tindakan
pelanggaran terhadap hak Allah SWT maupun pelanggaran terhadap hak
individu (adami>).12
Adapun menurut Ahmad Wardi Muslich bahwa jari>mah ta’zi>r terdiri
atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman h}ad maupun

kafa>rat. Pada intinya, jari>mah ta’zi>r ialah perbuatan maksiat.13
Menurut Ibnul Qayyim perbuatan maksiat ini dibagi menjadi tiga,
yaitu:14
1. Perbuatan maksiat yang pelakunya diancam dengan hukuman h}ad
tanpa ada kewajiban membayar kafa>rat, seperti pencurian,
menenggak minuman keras, zina dan qadhaf. Sehingga dengan
adanya hukuman h}ad tersebut, maka hukuman ta’zi>r sudah tidak
diperlukan lagi.
2. Perbuatan maksiat yang pelakunya hanya terkena kewajiban
membayar kafa>rat saja, tidak sampai terkena hukuman h}ad, seperti
melakukan koitus (persetubuhan) di siang hari bulan Ramadan
menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, kebalikan dari pendapat
ulama Hanafiyyah dan Malikiyah, juga seperti melakukan koitus
pada saat berihram.

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam..., 259.
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 249.
14
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam..., 259.
12

13

30

3. Perbuatan maksiat yang pelakunya tidak dikenakan ancaman
hukuman h}ad dan tidak pula terkena kewajiban membayar kafa>rat,
seperti mencium perempuan asing, mengonsumsi darah dan babi, dan
sebagainya. Bentuk kemaksiatan ketiga inilah pelaku dapat
dikenakan hukuman ta’zi>r.
Para ulama juga memberi contoh perbuatan maksiat yang pelakunya
tidak bisa dikenai ta’zi>r, seperti seseorang yang memotong jari sendiri.
Pemotongan jari sekalipun milik sendiri itu jelas suatu maksiat, namun tidak
dapat dikenakan ta’zi>r kepada pelakunya sebab tidak mungkin dilaksanakan

qis}a>s.} Sesungguhnya dalam kasus tersebut tidak ada halangan untuk
dilaksanakan ta’zi>r, karena pelaku telah menyia-nyiakan diri sendiri, padahal
menjaga diri sendiri adalah wajib hukumnya.15
Adapun syarat supaya hukuman ta’zi>r bisa dijatuhkan adalah hanya
syarat berakal saja. Oleh karena itu, hukuman ta’zi>r bisa dijatuhkan kepada
setiap orang yang berakal yang melakukan suatu kejahatan yang tidak
memiliki ancaman hukuman h}ad, baik laki-laki maupun perempuan, muslim
maupun kafir, balig atau anak kecil yang sudah berakal (mumayyiz). Karena
mereka semua selain anak kecil adalah termasuk orang yang sudah memiliki
kelayakan dan kepatutan untuk dikenai hukuman. Adapun anak kecil yang
sudah mumayyiz, maka ia di ta’zi>r, namun bukan sebagai bentuk hukuman,
akan tetapi sebagai bentuk mendidik dan memberi pelajaran.16

15
16

Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 174.
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam..., 531.

31

Wahbah az-Zuhaili yang mengutip dari Raddul Muhtaar memberikan
ketentuan dan kriteria dalam hukuman ta’zi>r yaitu setiap orang yang
melakukan suatu kemungkaran atau menyakiti orang lain tanpa hak (tanpa
alasan yang dibenarkan) baik dengan ucapan, perbuatan atau isyarat, baik
korbannya adalah seorang muslim maupun orang kafir.17
Sedangkan ruang lingkup dalam ta’zi>r yaitu sebagai berikut:18
1. Jari>mah h}udu>d atau qis}a>s} diyat yang terdapat syubhat dialihkan ke
sanksi ta’zi>r. Adapun mengenai syubhat, didasarkan atas hadis
berikut:

‫ادْرءوا ْالحدود بااشبحات‬
Artinya: Hindarkanlah h}ad, jika ada syubhat. (HR. AL-Baihaqi)
2. Jari>mah h}udu>d atau qis}a>s} diyat yang tidak memenuhi syarat akan
dijatuhi sanksi ta’zi>r. Contohnya percobaan pencurian, percobaan
pembunuhan dan percobaan zina.
3. Jari>mah yang ditentukan Alquran dan Hadis, namun tidak ditentukan
sanksinya. Misalnya penghinaan, tidak melaksanakan amanah, saksi
palsu, riba, suap, dan pembalakan liar.
4. Jari>mah yang ditentukan ulil amri untuk kemaslahatan umat, seperti
penipuan, pencopetan, pornografi dan pornoaksi, penyelundupan,
pembajakan, human trafficking, dan sebagainya.

17
18

Ibid., 532.
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), 143.

32

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang
ada dalam jari>mah ta’zi>r adalah setiap bentuk kejahatan (maksiat) yang tidak
ada ancaman hukuman h}ad dan kewajiban membayar kafa>rat di dalamnya,
perbuatan jari>mah h}udu>d atau qis}a>s} yang unsurnya tidak terpenuhi, dan
melakukan suatu kemungkaran atau menyakiti orang lain tanpa hak
(meresahkan masyarakat umum).

C. Macam-Macam Jari>mah Ta’zi>r
Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa dilihat dari hak
yang dilanggar dalam jari>mah ta’zi>r ada dua bagian, yaitu jari>mah ta’zi>r yang
menyinggung hak Allah dan jari>mah ta’zi>r yang menyinggung hak individu
(adami>).
Yang dimaksud dengan kejahatan yang berkaitan dengan hak Allah
adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Seperti
membuat kerusakan di muka bumi, perampokan, pencurian, perzinaan,
pemberontakan dan tidak taat kepada ulil amri. Sedangkan yang dimaksud
dengan kejahatan yang berkaitan dengan hak individu adalah segala sesuatu
yang mengancam kemaslahatan bagi seorang manusia, seperti tidak
membayar utang dan penghinaan.19
Akan tetapi, ada ulama yang membagi kedua jari>mah ini menjadi dua
bagian lagi, yakni jari>mah yang berkaitan dengan campur antara hak Allah dan
hak individu di mana yang dominan adalah hak Allah, seperti menuduh zina.
19

Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 166.

33

Dan campur antara hak Allah dan hak individu di mana yang dominan adalah
hak individu, seperti jari>mah pelukaan.20
Dari segi sifatnya, jari>mah ta’zi>r dapat dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu:21
1. Ta’zi>r karena melakukan perbuatan maksiat.
2. Ta’zi>r

karena

melakukan

perbuatan

yang

membahayaka

Dokumen yang terkait

Hasil Penyadapan KPK Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

1 64 77

Perlindungan Hukum Nasabah Bank Dalam Cyber Crime Terhadap Internet Banking Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

4 66 152

Tinjauan Hukum Mengenai Kekuatan Pembuktian Secara elektronik Dalam Perkara Cyber Crime Dihubungkan Dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

1 10 29

IDENTIFIKASI TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008)

0 5 16

IDENTIFIKASI TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008)

1 12 77

Harmonisasi Hukum Pengaturan Cyber Crime Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

0 0 21

TINDAK PIDANA CYBER CRIME DALAM PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

1 1 65

TINDAK PIDANA CYBER CRIME DALAM PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

2 8 65

Cyber Crime Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE (Perspektif Hukum Pidana Islam) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 269

Peretasan Sistem Elektronik dalam Perspektif Hukum Pidana (Kajian Terhadap Pasal 30 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik) - UWKS - Library

0 0 14