Harmonisasi Hukum Pengaturan Cyber Crime Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

(1)

Harmonisasi Hukum Pengaturan Cyber Crime Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Nani Mulyati, Lucky Raspati, Febri Oknali dan Shinta Agustina Fakultas Hukum

Abstrak

Perkembangan teknologi informasi menimbulkan dampak positif dan negatif dalam kehidupan masyarakat. Salah satu dampak negatifnya adalah timbulnya kejahatan baru yang menggunakan komputer dan jaringannya, baik sebagai target kejahatan maupun sebagai alat atau sarana kejahatan (cyber crime). Pemerintah telah mengundangkan UU ITE sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan tersebut, dan mulai berlaku tahun 2008. Agar UU tersebut dapat efektif mencapai tujuan diberlakukannya, maka perlu dilakukan kajian sejauhmana penyusunan UU tersebut telah mengakomodir bentuk-bentuk cyber crime yang dikenal selama ini, baik dalam instrumen hukum internasional maupun yang terjadi dalam praktik kehidupan sehari-hari. Dari hasil kajian terlihat bahwa masih ada bentuk cyber crime yang belum diatur dalam UU ITE, di antaranya adalah spamming, yang tidak menimbulkan kerugian secara ekonomis namun menimbulkan gangguan dan perasaan tidak menyenangkan pada pihak korban. Di sisi lain pengaturan kerjasama antar penegak hukum maupun kerjasama internasional dalam UU masih membutuhkan pengaturan lebih lanjut, agar penerapan UU ini dapat efektif menanggulangi cyber crime yang seringkali bersifat lintas batas teritorial.

C. Latar Belakang.

Kemajuan teknologi informasi telah membawa manusia kepada suatu peradaban baru dengan struktur sosial beserta tata nilainya. Artinya, masyarakat berkembang menuju masyarakat baru dengan struktur global yang sekat-sekat antar negara semakin memudar (borderless). Sistem nilai dalam suatu masyarakat berubah, dari yang bersifat lokal menjadi universal. Hal ini pada akhirnya akan membawa dampak pada pergeseran nilai, norma, moral dan kesusilaan.

Dengan ditemukannya komputer sebagai produk ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadilah konvergensi antara teknologi telekomunikasi, media dan komputer. Konvergensi ketiga hal itu menghasilkan sarana telekomunikasi yang baru, yang dikenal


(2)

dengan internet. Hal terakhir ini kemudian membawa perubahan yang sangat besar dalam kehidupan umat manusia.1

Internet merupakan sekumpulan jaringan komputer yang menghubungkan situs akdemik, pemerintah, komersial, organisasi, maupun perorangan. Internet menyediakan akses untuk layanan telekomunikasi dan sumber daya informasi untuk jutaan pemakainya yang tersebar di seluruh dunia.2

Melalui internet manusia dapat melakukan aktivitas layaknya kehidupan di dunia nyata (real).3 Manusia dapat melakukan aktivitas sosial, pendidikan, dan juga usaha (transaksi bisnis) melalui internet. Dengan media ini kita tidak perlu bertemu langsung dengan rekanan bisnis untuk melakukan suatu kontrak bisnis atau apa pun juga. Media ini sedemikian rupa telah memberi banyak kemanfaatan kepada umat manusia.

Namun demikian, media internet sebagaimana juga komputer sebagai perangkat keras-nya, mempunyai dampak negatif yaitu menimbulkan kejahatan baru. Sifat hedonisme manusia, yang selalu mengejar kesenangan, tapi seringkali tanpa mau berusaha, membawa sebagian orang kepada cara-cara instan untuk mengejar kekayaan. Kemampuan mengoperasikan komputer dan pemahaman yang baik akan cara kerja usaha di media internet, dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk mencari keuntungan pribadi dengan menimbulkan kerugian pada pihak lain.

Kejahatan yang timbul di dunia maya dikenal dengan istilah cyber crime, atau kejahatan mayantara.4 Berbagai perbuatan yang berkaitan dengan internet dan komputer yang terjadi menimbulkan kerugian yang sangat besar, baik secara materil maupun immateril. Kejahatan ini dapat dilakukan oleh seseorang dari suatu tempat yang sangat pribadi (kamar tidur misalnya) tapi menimbulkan kerugian pada seseorang, atau institusi di tempat lain, yang terpisahkan oleh jarak ribuan kilometer, bahkan seringkali bersifat lintas batas teritorial. Dengan demikian kejahatan ini kemudian membawa sifat

1 Agus Rahardjo (2002). Cyber Crime: Pemahaman dan Upaya Penanggulangan Kejahatan

Berteknologi. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, hlm 20.

2 Abdul Wahid dan Muhammad Labib (2005). Kejahatan Mayantara (cyber crime).Bandung: PT

Rafika Aditama, hlm 6.

3 Ninik Suparni (2001). Masalah Cyberspace: Problematika Hukum dan Antisipasi

Permasalahannya. Jakarta: Fortuna Mandiri Karya, hlm 41.

4 Barda Nawawi Arief (2003). Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bhakti, hlm


(3)

transnational crimes, yaitu kejahatan yang bersifat lintas batas territorial (transnational boundaries).

Indonesia sebagai salah satu bagian dari negara bangsa di dunia, termasuk negara dalam daftar hitam (blacklist) dunia perdagangan melalui internet (e-commerce). Hal ini disebabkan banyaknya penyalahgunaan jaringan internet, khususnya dalam pemesanan barang-barang melalui internet.5 Kondisi ini merugikan Indonesia, khususnya dunia perdangangan melalui internet, karena transaksi internet menggunakan kartu yang dikeluarkan oleh pihak perbankan Indonesia langsung ditolak oleh pihak luar negeri.

Sebagai suatu bentuk kejahatan baru, cyber crime belum diatur dalam suatu produk hukum apapun di negara kita, hingga awal tahun 2008 yang lalu. Ketika berbagai negara di belahan dunia telah melakukan pembaruan dalam bidang hukum pidananya, guna mengantisipasi bentuk kejahatan ini, konsep KUHP Baru yang disusun sejak tahun 1972 belum juga selesai.6 Di pihak lain tindak pidana jenis ini sudah sering terjadi, sehingga menimbulkan berbagai persoalan dalam penegakan hukumnya..

Dalam berbagai kasus cyber crime yang ditemui, terlihat upaya penegak hukum untuk melakukan kebijakan aplikatif dalam menanganinya. Kebijakan dimaksud adalah mengenakan pasal-pasal KUHP terhadap kasus-kasus cyber crime dengan melakukan metoda penafsiran hukum yang tersedia, baik penafsiran gramatika, penafsiran teleologis, penafsiran ekstensif sampai kepada analogi. Namun penerapan hukum yang demikian membawa resiko kepada timbulnya ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, sebab tidak semua penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) mempunyai persepsi yang sama terhadap metode penafsiran yang digunakan.

Khusus terhadap cyber crime masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli dan penegak hukum, apakah terhadap peristiwa cyber crime dapat diterapkan ketentuan KUHP atau tidak. Sebagian pakar menyetujui penerapan pasal-pasal KUHP, namun perlu dikaji terlebih dahulu masing-masing bentuk perbuatan cyber crime tersebut, terutama

5 Ilhamd Wahyudi (2006). Kebijakan Pidana Terhadap Kejahatan Mayantara. Tesis. Program

Pascasarjana Unand-Unri. Padang, hlm 5.

6Konsep KUHP Nasional telah mengalami beberapa kali perbaikan seiring dengan pergantian Tim

Penyusun Konsep tersebut. Konsep terakhir direvisi pada tahun 2004, sehingga sering disebut dengan Konsep KUHP tahun 2004. Konsep tersebut sudah disampaikan ke Sekretariat Negara untuk diajukan ke DPR guna dibahas dan disetujui untuk mengganti KUHP peninggalan zaman kolonial yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, termasuk salah satunya dalam menghadapi cyber crime ini.


(4)

dikaitkan dengan unsur-unsur perbuatannya yang kemudian akan ditarik dengan pasal-pasal tertentu yang relevan.7

Sebagai contoh salah satu bentuk cyber crime adalah hacking (yang pelakunya disebut hacker). Hacking adalah bentuk pertama dari kejahatan ini (first crime) sebagaimana ditetapkan oleh Kongres PBB ke X di Wina tahun 2000. Hal ini disebabkan bentuk perbuatan ini merupakan sesuatu yang istimewa, karena mempunyai kelebihan dari bentuk cyber crime lainnya. Diantaranya adalah bahwa pelaku kejahatan ini sudah barang tentu dapat melakukan cyber crime lainnya. Berikutnya secara teknis imbas dari aktivitas hacking menghasilkan kualitas akibat yang lebih serius dibandingkan dengan bentuk cyber crime lainnya. Untuk menyebarkan gambar porno atau cyber pornography, orang tidak perlu kemampuan hacking, cukup kemampuan minimal internet.8

Seorang hacker dalam melakukan aksinya melalui beberapa tahapan, sebagai berikut:9

1. mencari sistem komputer yang hendak dimasuki; 2. menyusup dan menyadap password;

3. menjelajahi sistem komputer;

4. membuat backdoor dan menghilangkan jejak.

Dalam dunia nyata perbuatan ini dapat dianalogikan dengan memasuki suatu wilayah tanpa izin. Dalam KUHP perbuatan ini diatur dalam Pasal 167 KUHP, yang unsur-unsurnya antara lain:

Ayat (1):

1. barang siapa dengan melawan hak orang lain; 2. masuk dengan memaksa;

3. ke dalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan, yang dipakai oleh orang lain;

4. sedang disitu tidak ada haknya; 5. tidak segera pergi dari tempat itu;

6. atas permintaan orang yang berhak atau atas nama orang yang berhak; Ayat 2:

1. barang siapa; 2. masuk;

3. dengan memecah atau memanjat, memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian dinas palsu;

7 Lucky Raspati ( 2007). Cyber Crime Dalam Hukum Pidana Indonesia. Jurnal Delicti Nomor 2

Volume 2, Padang: Fakultas Hukum-UNAND, hlm 57.

8 Agus Raharjo, op.cit, hlm 200.


(5)

4. atau barang siapa;

5. dengan tidak setahu yang berhak dan lain daripada lantaran keliru, masuk ke tempat tersebut tadi.

Dari berbagai unsur perbuatan yang terdapat dalam Pasal 167 ayat (1) dan (2) KUHP tersebut, timbul berbagai pertanyaan jika dikaitkan dengan perbuatan hacking.

Pertanyaan tersebut adalah; apakah sistem komputer seseorang atau sebuah organisasi, atau website dalam jaringan komputer (internet) dapat dikategorikan sebagai objek yang diatur dalam Pasal 167 KUHP? Dengan kata lain apakah dapat disamakan memasuki sistem komputer orang lain dengan memasuki pekarangan atau rumah orang lain? Apakah menyadap password dapat disamakan dengan menggunakan kunci palsu sebagaimana diatur dalam pasal tersebut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka hakim harus melakukan penafsiran ekstensif atau analogi, yang penggunaannya dalam hukum pidana masih menimbulkan perdebatan.

Model penegakan hukum dengan kebijakan aplikatif, yang membutuhkan penafsiran meluas seperti di atas, menimbulkan ketidakpuasan di banyak kalangan. Ketidakpuasan tersebut karena perbedaan persepsi di antara penegak hukum yang menimbulkan diskriminasi dalam penegakan hukum, sampai kepada ancaman pidana dalam pasal-pasal KUHP yang tidak sebanding dengan tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh cyber crime. Desakan kepada pemerintah untuk segera meregulasi bentuk kejahatan ini akhirnya terjawab ketika pemerintah bersama DPR menyetujui untuk memberlakukan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya ditulis UU ITE). Meski tidak secara khusus merupakan undang-undang tentang cyber crime, beberapa pasal dalam undang-undang tersebut mengatur tentang cyber crime.

Pengaturan suatu permasalahan hukum, termasuk kejahatan, apalagi yang bersifat transnasional, tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan yang terjadi di dunia internasional. Dengan kata lain dalam melakukan regulasi tersebut pemerintah dituntut untuk melakukan harmonisasi hukum dengan instrumen hukum internasional. Hal ini perlu dilakukan agar peraturan yang dibuat dapat diberlakukan secara efektif, karena mendapat dukungan dari dunia intenasional. Penanganan cyber crime yang bersifat transnasional membutuhkan kerjasama dan bantuan hukum (mutual legal assistance) dari


(6)

negara lain, baik dalam penyelidikan, penyidikan, maupun transfer pelaku (ektradisi). Hal ini tidak akan terjadi jika peraturan tentang cyber crime di negara kita berbeda dengan peraturan internasional, yang diakui oleh banyak negara.

Oleh karena UU ITE baru diundangkan setahun yang lalu, maka perlu sebuah kajian yang kritis terhadap pasal-pasal yang mengatur cyber crime dalam UU tersebut. Hal ini penting dilakukan karena alasan perlunya harmonisasi hukum di atas, di samping juga karena fakta terbaru bahwa Pasal 27 ayat (3) UU tersebut ternyata dimohonkan uji materil ke Mahkamah Konstitusi.10 Permohonan uji materil ini menunjukkan bahwa ada pengaturan dalam UU tersebut yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, ataupun dapat menimbulkan permasalahan dalam praktik.

D.Permasalahan.

1. Sejauhmana UU ITE mengakomodir bentuk-bentuk cyber crime dalam intrumen hukum internasional?

2. Sejauhmana UU ITE mengatur kebutuhan kerjasama dalam penegakan hukum

cyber crime?

E.Istilah, Pengertian, dan Bentuk-bentuk Cyber Crime.

Ada berbagai istilah yang dikenal dalam tulisan dan praktik penegakan hukum terhadap kejahatan yang terjadi di dunia maya ini. Diantaranya:

1. kejahatan komputer; 2. kejahatan siber;

3. kejahatan yang berhubungan dengan komputer; 4. kejahatan mayantara;

5. cyber crime.

Dalam beberapa literatur, cyber crime sering diidentikan dengan computer crime.

US Departement of Justice merumuskan computer crime secara sempit, yaitu “setiap perbuatan melawan hukum dimana pengetahuan komputer diperlukan untuk pelaksanaan penyidikan atau penuntutan” (any illegal act for which knowledge of computer technology is essential for its perpetration, investigation or prosecution).11 Sementara

10 Harian Kompas, Rabu 21 Januari 2009, hlm 2


(7)

Indra Safitri mengemukakan, kejahatan dunia maya adalah “sejenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas”.12

Dalam laporan Kongres PBB ke X Tahun 2000 tentang The Prevention of crime and The treatment Of Offender, ditemui dua kategori untuk cyber crime yaitu:

1. Cyber crime in a narrow sense (computer crime), any illegal behavior directed by means of electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by them;

2. Cyber crime in a broader sense (computer related crimes), any illegal behavior committed by means of, or in relation to, a computer system or network, including such crimes as illegal possessions, offering or distributing information by means of a computer system or network.

Dari pengertian di atas maka dapat dimasukkan dalam klasifikasi pertama, perbuatan yang baru ada atau dikenal setelah dunia mengenal komputer, karena komputer dan data atau sistem yang ada di dalamnya sebagai target kejahatan (computer crime). Sedangkan dalam kategori kedua termasuk perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya telah dikenal sebelum adanya teknologi komputer, namun sejak ditemukannya komputer lalu dilakukan dengan media komputer (cyber crime).

Dari berbagai definisi cyber crime di atas, kita lihat kemudian berbagai bentuk perbuatan yang termasuk kategori kejahatan ini. Dengan merujuk kepada European Covention on Cyber Crime tahun 2001, maka perbuatan tersebut antara lain:

1. Delik-delik terhadap kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan sistem komputer, yaitu:

a. mengakses sistem komputer tanpa hak (illegal acces);

b. Tanpa hak menangkap/mendengar pengiriman dan pemancaran (illegal interception);

c. tanpa hak merusak data (data interference);

d. tanpa hak mengganggu sistem (system interference); 12 Indra Safitri sebagaimana dikutip dalam Ilhamd Wahyudi. Op.cit., hlm 20.


(8)

e. menyalahgunakan perlengkapan (misuse of device).

2. Delik-delik yang berhubungan dengan komputer, pemalsuan, dan penipuan

(computer related offences; forgery and fraud);

3. Delik-delik yang bermuatan pornografi anak (content-related offences, child pornography);

4. Delik-delik yang berhubungan dengan hak cipta (offences related of infringements of copyrights).

Berbagai bentuk perbuatan cyber crime dalam European Convention di atas menjadi sandaran untuk menilai pengaturan cyber crime dalam UU ITE dan menilai sejauhmana terdapat harmonisasi hukum dalam pengaturan tersebut. Pengaturan cyber crime dalam European Convention tersebut merupakan pengaturan yang paling komprehensif, dan sebagai suatu instrumen hukum internasional diakui oleh banyak negara.

F. Harmonisasi Hukum dalam Kriminalisasi Tindak Pidana.

Salah satu sumber hukum dalam hukum internasional adalah perjanjian atau traktat (treaty), yang menurut sifat mengikatnya terbagi dua yaitu treaty dan law making treaty. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa sebuah treaty membutuhkan langkah-langkah atau tindakan hukum selanjutnya agar perjanjian itu berlaku dan mengikat negara-negara yang bersepakat dalam perjanjian. Sementara law making treaty memiliki sifat mengikat yang langsung bagi negara-negara peserta perjanjian tersebut, meski negara-negara peserta belum melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menjadikan perjanjian tersebut sebagai hukum nasionalnya.13 Pada umumnya perjanjian yang memiliki sifat terakhir ini adalah konvensi-konvensi internasional (international convention) yang mengatur subjek-subjek penting bagi kehidupan umat manusia secara universal. Konvensi seperti ini juga pada umumnya diikuti oleh banyak negara, misalnya konvensi tentang Hukum Laut, konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, konvensi Geneva tentang Perlindungan Terhadap Korban Perang, dan lain-lain, termasuk juga beberapa konvensi tentang genosida.


(9)

Di sisi lain perkembangan dalam masyarakat menimbulkan berbagai kejahatan baru, yang harus diatur dalam hukum positif (ius constitutum) agar dapat ditanggulangi. Dalam hal ini pemerintah harus melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan yang berkembang sebagai kejahatan tersebut. Dalam proses kriminalisasi ada berbagai hal yang harus menjadi pertimbangan, misalnya nilai-nilai moral bangsa, tujuan yang hendak dicapai, tingkat kerugian ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh kejahatan baru tersebut, efektivitas peraturan untuk mencapai tujuan (cost and benefit analyse), dan keterkaitan dengan ketentuan internasional.14 Keharusan memperhatikan perkembangan dalam ketentuan hukum internasional menjadi suatu keniscayaan dalam proses kriminalisasi, karena sebagai bangsa yang beradab dan bagian dari dunia bangsa kita tidak ingin suatu peraturan yang dibuat tidak dapat diterapkan karena tidak mendapat dukungan dunia internasional, terutama terhadap kejahatan yang bersifat transnasional.

Dikaitkan dengan perjanjian yang membutuhkan tindakan hukum agar dapat diberlakukan dalam suatu wilayah nasional, maka proses tersebut umumnya dimulai dengan ratifikasi oleh pemerintah. Proses ratifikasi dapat dilakukan dengan membuat sebuah undang-undang atau hanya dengan Keppres, tergantung kepada sifat perjanjian tersebut.15 Setelah ratifikasi maka ketentuan dalam konvensi ditransformasikan ke dalam hukum nasional dengan cara membuat suatu undang-undang yang baru, khusus mengatur tentang subjek dalam perjanjian internasional yang telah diratifikasi tersebut atau menambahkan pengaturan subjek tersebut dalam peraturan yang sudah ada. Banyak contoh peraturan perundangan baru yang lahir akibat diratifikasinya suatu perjanjian internasional, misalnya UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang lahir setelah diratifikasinya Convention Against Terorist Bombing 1999 dan Convention on the Financing of Terorism 1999, UU Pemberantasan Perdagangan Orang setelah diratifikasinya Convention Against Transnational Organized Crime 2002 dan Protokol Tambahannya tentang Human Trafficking.

14 Barda Nawai Arief, 1994. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan

Pidana Penjara. Semarang: CV Ananta, hlm 175.

15 Boer Mauna, 2002. Peran Hukum Internasional Dalam Era Globalalisasi. Jakarta: Rajawali


(10)

Cara lain adalah dengan melakukan harmonisasi hukum16, yaitu dengan mengadopsi prinsip-prinsip umum dalam sebuah perjanjian atau konvensi internasional atau hasil sebuah kongres internasional mengenai subjek tersebut ke dalam peraturan perundangan nasional yang dibuat. Untuk hal ini dapat diberikan contoh UU Pemberantasan Pencucian Uang yang mengakomdir hasil Kongres PBB tentang the

prevention of crime and the treatment of Offender tahun 2000. Inilah yang kemudian hendak dikaji dalam penelitian ini yaitu harmonisasi hukum dalam penyusunan UU ITE terhadap ketentuan internasional, dalam hal ini European Convention on Cyber Crime. Indonesia bukanlah negara peserta konvensi tersebut, namun isi konvensi tersebut mendapat perhatian dari dunia internasional karena mengatur cyber crime secara komprehensif.

G. Metode Peneltian.

Penelitian ini merupakan penelitian yuriidis normatif17 karena hendak melihat isi suatu peraturan perundangan dan memperbandingkannya dengan suatu ketentuan internasional yang mengatur hal sama, Oleh karena itu pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan perbandingan

(comparative approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan meneliti isi UU ITE , khususnya pasal-pasal yang mengatur tentang cyber crime. Sementara pendekatan perbandingan dilakukan dengan memperbandingkan isi pasal-pasal UU ITE tadi dengan pengaturan cyber crime dalam European Convention on Cyber Crime tahun 2001.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena mencoba mendapatkan gambaran menyeluruh terhadap bentuk-bentuk perbuatan cyber crime yang diatur dalam UU ITE dan perbandingannya dengan European Convention tadi. Hasil perbandingan secara analitis tersebut memperlihatkan sejauhmana telah terjadi harmonisasi hukum dalam UU ITE, sehingga tidak menimbulkan permasalahan dalam penerapan hukumnya. Kajian lain dalam penelitian ini adalah terhadap pasal-pasal yang mengatur hubungan kerjasama di antara aparat penegak hukum, serta kerjasama internasional. Kajian analitis terhadap berbagai pengaturan tersebut dipaparkan secara deskriptif kualitatif.

16 JG Starke,1997. Pengantar Hukum Internasional. Terjemahan Bambang Iriana,D. Cet 10.

Jakarta: Sinar Grafika, hlm 585.

17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Ed.


(11)

H. Harmonisasi Hukum Pengaturan Cyber Crime Dalam UU ITE Dengan European Convention On Cyber Crime Tahun 2001.

European Convention on Cyber Crime merupakan konvensi tentang cyber crime

yang disepakati oleh Negara-negara anggota Uni Eropa, namun konvensi ini terbuka bagi Negara lain di luar Uni Eropa untuk mengikutinya. Oleh karena banyak Negara yang mengikuti konvensi tersebut, maka isi perjanjian ini menjadi model bagi banyak pengaturan cyber crime di berbagai Negara. Oleh karenanya menjadi penting bagi Negara kita untuk merujuk konvensi ini sebagai salah satu pembanding bagi pengaturan cyber crime di Indonesia.

Dalam konvensi ini cyber crime diatur mulai dari pasal (article) 2 sampai dengan Pasal 7. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa cyber crime dalam pembicaraan konvensi ini terbagi dalam 2 kategori dasar, yaitu cyber crime dalam arti sempit dan dalam arti luas, maka pengaturan cyber crime dalam konvensi ini juga mengikuti klasifikasi tersebut. Cyber crime dalam arti sempit adalah perbuatan yang diatur dalam bab 1. Sedangkan cyber crime dalam arti luas, perbuatan yang terkait dengan komputer karena dilakukan dengan komputer, serta kejahatan yang terkait dengan pornografi anak, dan pelanggaran hak atas kekayaan intelektual. diatur dalam bab 2 sampai bab 4. Secara lengkap pengaturan cyber crime dalam konvensi tersebut sebagai berikut:

Title.1. Offences against the confidentiality, integrity and availability of computer data and systems.

Article 2 – Illegal access Article 3 – Illegal interception Article 4 – Data interference Article 5 – System interference Article 6 – Misuse of devices Title 2 – Computer-related offences


(12)

Article 7 – Computer-related forgery Article 8 – Computer-related fraud Title 3 – Content-related offences

Article 9 – Offences related to child pornography

Title 4 – Offences related to infringements of copyright and related rights.

Article 10 – Offences related to infringements of copyright and related rights Disamping mengatur perbuatan yang dikategorikan sebagai cyber crime, konvensi juga mengatur sanksi bagi orang lain yang juga dianggap bertanggungjawab terhadap terjadinya suatu cyber crime, termasuk mereka yang melakukan percobaan, membantu atau memerintahkan. Bahkan konvensi mengatur secara khusus terhadap korporasi yang melakukan kejahatan ini, sebagaimana terdapat dalam Pasal 12. Lengkapnya pengaturan tersebut adalah:

Title 5 – Ancillary liability and sanctions

Article 11 – Attempt and aiding or abetting Article 12 – Corporate liability

Pengaturan cyber crime yang mengelompokan berbagai perbuatan ke dalam 2 klasifikasi besar, kemudian dibagi lagi dalam beberapa kelompok berdasarkan pasal-pasal di atas, dipedomani oleh pembuat UU ITE. Hanya saja pembuat UU ITE tidak mengelompokkan perbuatan tersebut secara eksplisit sebagaimana terdapat dalam Konvensi tersebut. Lebih jelasnya pengaturan cyber crime dalam UU ITE adalah sebagai berikut:

1. Indecent Materials/ Illegal Content (Konten Ilegal)

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik serta pemerasan, pengancaman serta yang menimbulkan


(13)

rasa kebencian berdasarkan atas SARA serta yang berisi ancaman kekerasan (Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE)

2. Illegal Acces (Akses Ilegal)

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/ atau Sistem Elektronik milik orang lain dengan cara apapun untuk memperoleh Informasi elektronik serta melanggar, menerobos, melampaui atau menjebol sistem pengamanan (Pasal 30 UU ITE).

3. Illegal Interception (Penyadapan Ilegal)

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan intersepsi atas Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dalam suatu Sistem Elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apapun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/ atau penghentian Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan (Pasal 31 UU ITE).

4. Data Interference (Gangguan Data)

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan, atau mentransfer suatu Informasi Elektronik milik orang lain atau milik publik kepada Sistem Elektronik orang lain yang tidak berhak, sehingga mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya. (Pasal 32 UU ITE). 5. System Interference (Gangguan Sistem)

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/ atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya (Pasal 33 UU ITE). 6. Misuse of Devices (Penyalahgunaan Perangkat)

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan atau memiliki perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan yang dilarang dan sandi


(14)

lewat komputer, kode akses, atau hal yang sejenis dengan itu, yang ditujukan agar sistem elektronik menjadi dapat akses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan yang dilarang (Pasal 34 UU ITE).

7. Computer Related Fraud and Forgery (Penipuan dan Pemalsuan yang berkaitan dengan Komputer)

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengerusakan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik (Pasal 35 UU ITE). Sebagaimana umumnya UU di luar KUHP yang mengatur perbuatan dengan sanksi pidana, dalam UU ITE perumusan perbuatan dan sanksi pidana juga dicantumkan secara terpisah. Semua perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 sampai Pasal 35 di atas, diancam dengan sanksi pidana dalam Pasal 45-52.

Jika diteliti pengaturan cyber crime dalam UU ITE maka terlihat bahwa semua perbuatan yang direkomendasikan dalam European Convention on Cyber Crime telah diatur dalam UU ITE. Perbedaannya hanya pada tata letak atau urutan pengaturan berbagai perbuatan tersebut. Jika Konvensi memulai dengan perbuatan yang terkategori sebagai cyber crime dalam arti sempit (murni), maka pengaturan dalam UU ITE tidak mengikuti pola tersebut. Hal ini terlihat bahwa pasal pertama yang mengatur tentang

cyber crime tersebut, justru mengatur perbuatan yang sebenarnya merupakan tindak pidana konvensional (ada dalam KUHP), hanya saja sekarang dilakukan dengan media komputer berikut jaringannya. Perhatikan Pasal 27 yang melarang perbuatan orang yang dengan sengaja atau tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memilik muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik, ataupun pemerasan.

Meskipun pengaturan cyber crime dalam UU ITE telah mengupayakan pengaturan semua bentuk cyber crime dalam konvensi tersebut, namn masih ada beberapa bentuk

cyber crime dalam praktik sehari-hari yang belum terakomodasi dalam UU ITE. Di antara perbuatan tersebut adalah:


(15)

a. Spamming, baik untuk email spamming maupun masalah penjualan data pribadi oleh perbankan, asuransi, dsb;

b. Virus dan worm komputer (pengaturan tentang ini hanya bersifat implisit dalam Pasal 33). Hal yang lebih penting dalam pengaturan virus komputer ini terutama untuk pengembangan dan penyebarannya;

Sesungguhnya menjadi pertanyaan juga bagi peneliti, tentang kedua bentuk kejahatan di atas yang tidak diatur dalam UU ITE. Jika dikaitkan dengan tujuan diaturnya suatu perbuatan dalam hukum positif sebagai suatu tindak pidana dan diberi sanksi, maka pertimbangan pertama tentunya adalah bahwa perbuatan tersebut dianggap menimbulkan kerugian terhadap orang lain atau masyarakat. Memang kerugian yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan itu mestilah diprediksi cukup besar sehingga layak diancam dengan sanksi pidana. Pertimbangan berikut adalah cost and benefit analyse, tentunya tidak menghendaki suatu perbuatan yang dikriminalisasi ternyata tidak begitu efektif mencapai tujuannya (dalam bentuk social defence).

Jika dikaitkan dengan tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan spamming, memang secara ekonomis tidak begitu berarti. Namun perbuatan tersebut tetap menimbulkan perasaan terganggu atau perasaan tidak senang, bagi pihak yang menjadi korban. Perbuatan yang demikian, menimbulkan perasaan tidak senang pada orang lain, diatur dalam KUHP, meski hanya terkategori sebagai pelanggaran. Jika KUHP saja yang dibuat seabad yang lalu sudah menghargai terganggunya perasaan atau tidak senangnya seseorang karena tindak pidana, mengapa di zaman yang semakin modern yang menjunjung tinggi HAM, perbuatan yang menimbulkan akibat yang sama melalui media komputer berikut jaringannya tidak dianggap sebagai perbuatan yang perlu dikriminalisasi. Hal ini harus menjadi pertimbangan para pembuat UU di negeri ini, karena tidak seharusnya terganggu/tidak senang oleh perbuatan orang lain, tidak diancam dengan sanksi pidana, meski pelaku mungkin tidak mendapatkan keuntungan apapun dari perbuatannya itu.

I Pengaturan Kerjasama Antar Penegak Hukum Dalam Rangka Penegakan Hukum Cyber Crime Menurut UU ITE.


(16)

Sebagaimana UU lain yang mengatur tentang suatu tindak pidana khusus, hukum pidana khusus, UU ITE juga mengatur tentang penyidikan tindak pidana yang diatur di dalamnya. Pasal pertama yang mengatur tentang hukum pidana formal dalam hal ini adalah Pasal 42, yang menentukan bahwa penyidikan terhadap tindak pidana dalam UU ini dilakukan menurut ketentuan KUHAP dan menurut UU ini. Rumusan demikian sedikit berbeda dari rumusan dalam UU lain, yang biasanya merumuskan sebagai berikut “penyidikan terhadap tindak pidana dalam UU ini dilakukan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku sepanjang tidak ditentukan lain dalam UU ini”.

Perumusan sebagaimana terdapat dalam Pasal 42 menimbulkan konsekuensi berbeda dari rumusan umum tadi. Jika terdapat pengaturan dalam UU ITE yang berbeda, maka ketentuan mana yang harus diterapkan? Dengan rumusan yang umum dalam beberapa ketentuan hukum pidana khusus di atas, jelaslah bagi praktisi hukum bahwa yang harus diberlakukan adalah UU ITE, karena pernyataan „sepanjang tidak ditentukan lain dalam UU ini“ menjadi pembatas berlakunya ketentuan yang umum tadi. Banyak pihak beranggapan bahwa dalam hal demikian, berlakulah asas lex specialis derogaat legi generali. Jika dalam hal ini UU ITE dianggap sebagai ketentuan khusus, maka UU ITE lah yang berlaku jika terjadi pengaturan yang berbeda.

Dalam UU ini diatur beberapa hal penting dalam rangka penegakan hukum cyber crime, termasuk juga pengaturan kerjasama antar instansi penegak hukum. Pengaturan tersebut antara lain:

1. Adanya Penyidik Pegawai Negei Sipil, yang mengakui PNS di bidang informasi dan transaksi elektronik sebagai Penyidik.

2. Adanya alat bukti yang lebih luas daripada ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam UU ITE alat bukti yang digunakan ditambah dengan alat bukti elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4, serta Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3).


(17)

3. Kerjasama PPNS dalam UU ITE dengan Penyidik Polri dalam rangka pemberitahuan dimulainya penyidikan dan penyerahan berkas hasil penyidikan kepada Jaksa Penuntut Umum.

4. Adanya kewajiban untuk mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan dalam rangka penggeledahan dan penyitaan.

5. Adanya kewajiban untuk meminta persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri melalui Penuntut Umum dalam hal hendak melakukan penangkapan dan penahanan.

6. Kerjasama dengan penyidik dari negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti, dalam hal penyidikan tindak pidana di bidang ITE.

Dari berbagai pengaturan di atas, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian khusus, diantaranya:

1. Kewajiban untuk meminta persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri melalui Penuntut Umum dalam melakukan penangkapan dan penahanan. Ketentuan ini sesungguhnya mengadopsi pemikiran yang berkembang dalam penyusunan Revisi KUHAP yang sedang berlangsung sekarang ini. Namun karena Revisi KUHAP itu sendiri belum tentu mendapat persetujuan dari DPR nantinya, maka pemberlakuan Pasal 43 ayat (6) ini akan menimbulkan masalah dalam praktik penegakan hukumnya. Pertama adalah pengaturan dalam pasal tersebut menyebutkan “Penyidik”, yang berarti berlaku baik penyidik Polri maupun penyidik PNS. Padahal selama ini penyidik dapat melakukan sendiri upaya paksa tersebut, tanpa meminta izin PN apalagi harus melalui JPU. Kedua, permintaaan izin dilakukan melalui Penuntut Umum, yang berarti memperpanjang prosedur pelaksanaan upaya paksa, yang sebenarnya harus dilakukan secara cepat, mengingat kemungkinan tersangka telah melakukan tindakan lain yang dapat menghambat proses penyidikan. Misalnya melarikan diri, menghilangkan alat bukti, dan lain sebagainya. Ketiga, prosedur yang panjang itu bersifat kontradiktif


(18)

dengan sifat cyber crime sendiri yang begitu maya dan borderless, sehingga alat bukti yang diperlukan dapat dihilangkan dengan cara cepat.

2. Terkait dengan pengaturan alat bukti elektronik sebagaimana dinyatakan dalam beberapa pasal, di antaranya Pasal 1 angka 1 dan angka 4, serta Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3). Alat bukti elektronik tersebut mempunyai sifat yang berbeda dari alat bukti umum yang diatur dalam KUHAP. Salah satu perbedaannnya adalah bentuknya yang bersifat digital (non paperbased) sehingga membutuhkan keahlian khusus untuk dapat memahami arti dan makna serta keaslian alat bukti digital tersebut. Terkait dengan hal ini tidak terdapat pengaturannya dalam UU ITE, apakah sebuah alat bukti elektronik dapat diterima begitu saja sebagai alat bukti di persidangan, ataukah harus mememnuhi standar tertentu yang menjamin keaslian alat bukti tersebut. Hal ini berbeda dengan praktik di berbagai negara yang mengatur Standard Operational Procedure (SOP) terhadap penggunaan alat bukti elektronik, yang dikembangkan dari SOP yang dibuat oleh International Organization of Computer Evidence (IOCE) yang merupakan standar intenasional.18

3. Terkait dengan pengaturan kerjasama internasional, karena cyber crime seringkali bersifat lintas batas teritroial (transnational bounderies). Dalam UU ITE hanya terdapat satu pasal yang mengatur kerjasama ini, yaitu bahwa penyidik dapat bekerjasama dengan penyidik dari negara lain untuk melakukan berbagi informasi dan alat bukti. Sesungguhnya pengaturan yang demikian tidaklah memadai jika dibandingkan dengan tingkat kesulitan pembuktian cyber crime, dan keniscayaan akan kerjasama internasional dalam penanganan cyber crime ini. Seharusnya UU ini menjadi payung bagi pengaturan kerjasama intenasional dalam penanganan tindak pidana yang bersifat transnational bounderies19, khususnya cyber crime. Dengan pengaturan yang lebih lengkap mengenai kerjasama tersebut, maka

18 Ahmad Zakaria, 2007. Kode Sumber (Source Code) Website Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak

Pidana Terorisme di Indonesia (Studi Kasus Website Anshar.net). Tesis, Program Pascasarjana-UI, Depok.

19 Masih ada banyak bentuk tindak pidana lain yang seringkali juga bersifat transnational

boundaries, misalnya tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, bahkan tindak pidana perbankan, dan tindak pidana narkotika. Lihat United Nation Convention on Transnational Organized Crime, tahun 2000, yang menentukan kejahatan money laundering,

corruption, terrorism, trafficking in person, serta arm smuggling sebagai kejahatan yang bersifat transnational boundaries.


(19)

kerjasama internasional dalam penanganan cyber crime ini dapat diterapkan pula dalam penanganan tindak pidana lain yang juga bersifat lintas batas teritorial. J. Kesimpulan dan Saran.

Dari berbagai uraian dalam bab sebelumnya, dapatlah diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut:

1. Pengaturan cyber crime dalam UU ITE telah mengakomodir perbuatan yang direkomendasikan oleh European Convention on Cyber Crime 2001. Hanya saja susunan pengaturan dalam UU ITE lebih mendahulukan perbuatan yang merupakan kejahatan konvensional, karena sudah ada dalam KUHP, seperti Pasal 27 yang mengancam terhadap tindak pidana pronografi, perjudian, pencemaran nama baik, dan pemerasan.

2. Masih terdapat beberapa perbuatan yang ada dalam masyarakat terkait cyber crime yang belum dikriminalisasi, seperti spamming dan pengaturan perbuatan terkait virus computer yang belum memadai.

3. Dalam hal pengaturan kerjasama antar penegak hukum terdapat hal-hal baru yang mungkin akan menimbulkan masalah dalam praktiknya. Misalnya keharusan untuk mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri dalam hal akan dilakukan upaya paksa penangkapan dan penahanan, yang harus dilakukan oleh penyidik melalui Penuntut Umum. Sementara pengaturan kerjasama internasional kurang memadai karena hanya terdapat satu ayat yang mengatur tentang dapatnya penyidik bekerjsama dengan penyidik dari negara lain untuk bertukar informasi dan alat bukti dalam tindak pidana cyber.

Dari berbagai kesimpulan di atas, maka peneliti mengajukan saran sebagai berikut:

1. Pembuat UU perlu menyikapi pengaturan tentang spamming, yang secara ekonomis tidak menimbulkan kerugian yang besar, tetapi menimbulkan gangguan atau perasaan tidak senang kepada korban.


(20)

2. Pembuat UU perlu mempertimbangkan melakukan revisi terhadap pengaturan tindak pidana terkait virus komputer masih belum memadai, khususnya terhadap kemungkinan perkembangan virus komputer di masa depan.

3. Perlunya pengaturan yang lebih komprehensif terhadap kerjasama internasional. Dalam hal ini UU ITE dapat dijadikan payung pengaturan kerjasama internasional dalam penanganan tindak pidana yang bersifat lintas batas teritorial. Dengan demikian kerjasama internasional dalam penanganan tindak pidana lain yang bersifat transnasional, seperti trafficking in person, terorisme, dan money laundering dapat mengacu kepada ketentuan dalam UU ini.

SA

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid dan Muhammad Labib (2005). Kejahatan Mayantara (cyber crime).

Bandung: PT Rafika Aditama.

Agus Rahardjo (2002). Cyber Crime: Pemahaman dan Upaya Penanggulangan Kejahatan Berteknologi. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti.

Ahmad Zakaria, 2007. Kode Sumber (Source Code) Website Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Terorisme di Indonesia (Studi Kasus Website Anshar.net). Tesis, Program Pascasarjana-UI, Depok.

Barda Nawawi Arief (2003). Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

Boer Mauna (2002). Peran Hukum Internasional Dalam Era Globalisasi. Jakarta: Rajawali Press.

Eddy Junaedi Kartasudirja (1999). Bahaya Kejahatan Komputer. Jakarta: Tanjung Agung Ilhamd Wahyudi (2006). Kebijakan Pidana Terhadap Kejahatan Mayantara. Padang,

Tesis. Program Pascasarjana UNAND-UNRI.

J.G. Starke (1997). Pengantar Hukum Internasional. Ed 10, terjemahan Bambang Iriana D, Jakarta: Sinar Grafika


(21)

Lucky Raspati (2007). Cyber Crime dalam Hukum Pidana Indonesia. Jurnal Delicit Nomor 3 Volume 2, Padang: Fakultas Hukum-UNAND.

Muladi (1998). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Universitas Diponegoro Press.

Ninik Suparni (2001). Masalah Cyberspace: Problematika Hukum dan Antisipasi Permasalahannya. Jakarta: Fortuna Mandiri Karya.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji (2007). Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Ed. 1 Cet.10, Jakarta: Rajawali Press.


(1)

Sebagaimana UU lain yang mengatur tentang suatu tindak pidana khusus, hukum pidana khusus, UU ITE juga mengatur tentang penyidikan tindak pidana yang diatur di dalamnya. Pasal pertama yang mengatur tentang hukum pidana formal dalam hal ini adalah Pasal 42, yang menentukan bahwa penyidikan terhadap tindak pidana dalam UU ini dilakukan menurut ketentuan KUHAP dan menurut UU ini. Rumusan demikian sedikit berbeda dari rumusan dalam UU lain, yang biasanya merumuskan sebagai berikut “penyidikan terhadap tindak pidana dalam UU ini dilakukan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku sepanjang tidak ditentukan lain dalam UU ini”.

Perumusan sebagaimana terdapat dalam Pasal 42 menimbulkan konsekuensi berbeda dari rumusan umum tadi. Jika terdapat pengaturan dalam UU ITE yang berbeda, maka ketentuan mana yang harus diterapkan? Dengan rumusan yang umum dalam beberapa ketentuan hukum pidana khusus di atas, jelaslah bagi praktisi hukum bahwa yang harus diberlakukan adalah UU ITE, karena pernyataan „sepanjang tidak ditentukan lain dalam UU ini“ menjadi pembatas berlakunya ketentuan yang umum tadi. Banyak pihak beranggapan bahwa dalam hal demikian, berlakulah asas lex specialis derogaat legi generali. Jika dalam hal ini UU ITE dianggap sebagai ketentuan khusus, maka UU ITE lah yang berlaku jika terjadi pengaturan yang berbeda.

Dalam UU ini diatur beberapa hal penting dalam rangka penegakan hukum cyber crime, termasuk juga pengaturan kerjasama antar instansi penegak hukum. Pengaturan tersebut antara lain:

1. Adanya Penyidik Pegawai Negei Sipil, yang mengakui PNS di bidang informasi dan transaksi elektronik sebagai Penyidik.

2. Adanya alat bukti yang lebih luas daripada ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam UU ITE alat bukti yang digunakan ditambah dengan alat bukti elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4, serta Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3).


(2)

3. Kerjasama PPNS dalam UU ITE dengan Penyidik Polri dalam rangka pemberitahuan dimulainya penyidikan dan penyerahan berkas hasil penyidikan kepada Jaksa Penuntut Umum.

4. Adanya kewajiban untuk mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan dalam rangka penggeledahan dan penyitaan.

5. Adanya kewajiban untuk meminta persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri melalui Penuntut Umum dalam hal hendak melakukan penangkapan dan penahanan.

6. Kerjasama dengan penyidik dari negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti, dalam hal penyidikan tindak pidana di bidang ITE.

Dari berbagai pengaturan di atas, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian khusus, diantaranya:

1. Kewajiban untuk meminta persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri melalui Penuntut Umum dalam melakukan penangkapan dan penahanan. Ketentuan ini sesungguhnya mengadopsi pemikiran yang berkembang dalam penyusunan Revisi KUHAP yang sedang berlangsung sekarang ini. Namun karena Revisi KUHAP itu sendiri belum tentu mendapat persetujuan dari DPR nantinya, maka pemberlakuan Pasal 43 ayat (6) ini akan menimbulkan masalah dalam praktik penegakan hukumnya. Pertama adalah pengaturan dalam pasal tersebut menyebutkan “Penyidik”, yang berarti berlaku baik penyidik Polri maupun penyidik PNS. Padahal selama ini penyidik dapat melakukan sendiri upaya paksa tersebut, tanpa meminta izin PN apalagi harus melalui JPU. Kedua, permintaaan izin dilakukan melalui Penuntut Umum, yang berarti memperpanjang prosedur pelaksanaan upaya paksa, yang sebenarnya harus dilakukan secara cepat, mengingat kemungkinan tersangka telah melakukan tindakan lain yang dapat menghambat proses penyidikan. Misalnya melarikan diri, menghilangkan alat bukti, dan lain sebagainya. Ketiga, prosedur yang panjang itu bersifat kontradiktif


(3)

dengan sifat cyber crime sendiri yang begitu maya dan borderless, sehingga alat bukti yang diperlukan dapat dihilangkan dengan cara cepat.

2. Terkait dengan pengaturan alat bukti elektronik sebagaimana dinyatakan dalam beberapa pasal, di antaranya Pasal 1 angka 1 dan angka 4, serta Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3). Alat bukti elektronik tersebut mempunyai sifat yang berbeda dari alat bukti umum yang diatur dalam KUHAP. Salah satu perbedaannnya adalah bentuknya yang bersifat digital (non paperbased) sehingga membutuhkan keahlian khusus untuk dapat memahami arti dan makna serta keaslian alat bukti digital tersebut. Terkait dengan hal ini tidak terdapat pengaturannya dalam UU ITE, apakah sebuah alat bukti elektronik dapat diterima begitu saja sebagai alat bukti di persidangan, ataukah harus mememnuhi standar tertentu yang menjamin keaslian alat bukti tersebut. Hal ini berbeda dengan praktik di berbagai negara yang mengatur Standard Operational Procedure (SOP) terhadap penggunaan alat bukti elektronik, yang dikembangkan dari SOP yang dibuat oleh International Organization of Computer Evidence (IOCE) yang merupakan standar intenasional.18

3. Terkait dengan pengaturan kerjasama internasional, karena cyber crime seringkali bersifat lintas batas teritroial (transnational bounderies). Dalam UU ITE hanya terdapat satu pasal yang mengatur kerjasama ini, yaitu bahwa penyidik dapat bekerjasama dengan penyidik dari negara lain untuk melakukan berbagi informasi dan alat bukti. Sesungguhnya pengaturan yang demikian tidaklah memadai jika dibandingkan dengan tingkat kesulitan pembuktian cyber crime, dan keniscayaan akan kerjasama internasional dalam penanganan cyber crime ini. Seharusnya UU ini menjadi payung bagi pengaturan kerjasama intenasional dalam penanganan tindak pidana yang bersifat transnational bounderies19, khususnya cyber crime.

Dengan pengaturan yang lebih lengkap mengenai kerjasama tersebut, maka

18 Ahmad Zakaria, 2007. Kode Sumber (Source Code) Website Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak

Pidana Terorisme di Indonesia (Studi Kasus Website Anshar.net). Tesis, Program Pascasarjana-UI, Depok.

19 Masih ada banyak bentuk tindak pidana lain yang seringkali juga bersifat transnational

boundaries, misalnya tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, bahkan tindak pidana perbankan, dan tindak pidana narkotika. Lihat United Nation Convention on Transnational Organized Crime, tahun 2000, yang menentukan kejahatan money laundering,


(4)

kerjasama internasional dalam penanganan cyber crime ini dapat diterapkan pula dalam penanganan tindak pidana lain yang juga bersifat lintas batas teritorial.

J. Kesimpulan dan Saran.

Dari berbagai uraian dalam bab sebelumnya, dapatlah diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut:

1. Pengaturan cyber crime dalam UU ITE telah mengakomodir perbuatan yang direkomendasikan oleh European Convention on Cyber Crime 2001. Hanya saja susunan pengaturan dalam UU ITE lebih mendahulukan perbuatan yang merupakan kejahatan konvensional, karena sudah ada dalam KUHP, seperti Pasal 27 yang mengancam terhadap tindak pidana pronografi, perjudian, pencemaran nama baik, dan pemerasan.

2. Masih terdapat beberapa perbuatan yang ada dalam masyarakat terkait cyber crime yang belum dikriminalisasi, seperti spamming dan pengaturan perbuatan terkait virus computer yang belum memadai.

3. Dalam hal pengaturan kerjasama antar penegak hukum terdapat hal-hal baru yang mungkin akan menimbulkan masalah dalam praktiknya. Misalnya keharusan untuk mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri dalam hal akan dilakukan upaya paksa penangkapan dan penahanan, yang harus dilakukan oleh penyidik melalui Penuntut Umum. Sementara pengaturan kerjasama internasional kurang memadai karena hanya terdapat satu ayat yang mengatur tentang dapatnya penyidik bekerjsama dengan penyidik dari negara lain untuk bertukar informasi dan alat bukti dalam tindak pidana cyber.

Dari berbagai kesimpulan di atas, maka peneliti mengajukan saran sebagai berikut:

1. Pembuat UU perlu menyikapi pengaturan tentang spamming, yang secara ekonomis tidak menimbulkan kerugian yang besar, tetapi menimbulkan gangguan atau perasaan tidak senang kepada korban.


(5)

2. Pembuat UU perlu mempertimbangkan melakukan revisi terhadap pengaturan tindak pidana terkait virus komputer masih belum memadai, khususnya terhadap kemungkinan perkembangan virus komputer di masa depan.

3. Perlunya pengaturan yang lebih komprehensif terhadap kerjasama internasional. Dalam hal ini UU ITE dapat dijadikan payung pengaturan kerjasama internasional dalam penanganan tindak pidana yang bersifat lintas batas teritorial. Dengan demikian kerjasama internasional dalam penanganan tindak pidana lain yang bersifat transnasional, seperti trafficking in person, terorisme, dan money laundering dapat mengacu kepada ketentuan dalam UU ini.

SA

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid dan Muhammad Labib (2005). Kejahatan Mayantara (cyber crime). Bandung: PT Rafika Aditama.

Agus Rahardjo (2002). Cyber Crime: Pemahaman dan Upaya Penanggulangan Kejahatan Berteknologi. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti.

Ahmad Zakaria, 2007. Kode Sumber (Source Code) Website Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Terorisme di Indonesia (Studi Kasus Website Anshar.net). Tesis, Program Pascasarjana-UI, Depok.

Barda Nawawi Arief (2003). Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

Boer Mauna (2002). Peran Hukum Internasional Dalam Era Globalisasi. Jakarta: Rajawali Press.

Eddy Junaedi Kartasudirja (1999). Bahaya Kejahatan Komputer. Jakarta: Tanjung Agung Ilhamd Wahyudi (2006). Kebijakan Pidana Terhadap Kejahatan Mayantara. Padang,

Tesis. Program Pascasarjana UNAND-UNRI.


(6)

Lucky Raspati (2007). Cyber Crime dalam Hukum Pidana Indonesia. Jurnal Delicit Nomor 3 Volume 2, Padang: Fakultas Hukum-UNAND.

Muladi (1998). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Universitas Diponegoro Press.

Ninik Suparni (2001). Masalah Cyberspace: Problematika Hukum dan Antisipasi Permasalahannya. Jakarta: Fortuna Mandiri Karya.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji (2007). Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Ed. 1 Cet.10, Jakarta: Rajawali Press.


Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Nasabah Bank Dalam Cyber Crime Terhadap Internet Banking Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

4 66 152

Tinjauan Hukum Mengenai Kekuatan Pembuktian Secara elektronik Dalam Perkara Cyber Crime Dihubungkan Dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

1 10 29

IDENTIFIKASI TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008)

0 5 16

Prostitusi Online Dilihat Dari Instrumen Hukum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik

1 77 107

STUDI KOMPARASI PENGATURAN ALAT BUKTI DAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU CYBER CRIME ANTARA UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN THE AUSTRALIAN CYBER CRIME ACT OF 2001

0 2 72

SINKRONISASI PENGATURAN TINDAK KEJAHATAN DUNIA MAYA (CYBER CRIME) ANTARA COUNCIL OF EUROPE CYBER CONVENTION DENGAN UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

0 1 13

TINDAK PIDANA CYBER CRIME DALAM PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

1 1 65

TINDAK PIDANA CYBER CRIME DALAM PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

2 8 65

CYBER CRIME DALAM BENTUK PHISING DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM.

0 1 104

BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI ELEKTRONIK SEBAGAI BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KEJAHATAN MAYANTARA (CYBER CRIME) DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Tinjauan Umum Tentang Penggunaan

0 1 45