Hasil Penyadapan KPK Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amin, S.M, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Fuady, Munir, Teori Hukum Pembuktian (perdata dan pidana), Citra Aditya Bhakti, Jakarta, 2006.

Hamzah, Andi, Mohammad Taufik Makarao, dan Suhasril., Hukum Acara Pidana

dalam Teori dan Praktek, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004.

Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV. Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Jilid II, Pustaka Kartini, Jakarta,

1993.

Hiariej, Eddy O.S, Kinerja Polisi, Surat Kabar Harian KOMPAS, Kamis, 6 November 2008.

Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.

Makarim, Edmon, Pengantar Hukum Telematika, Rajagrafindo Perkasa, Jakarta, 2005.

Makarso, M. Taufik dan Suharsil, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.

Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1974.

Prodjohamidjojo, Martiman, Komentar Atas KUHAP (Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana), Pradnya Paramita, Jakarta, 1990.


(2)

Soemitro, Ronitijo Hanitijo Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986.

Yudowidagdo, Hendrastanto, Anang Suryanata Kesuma, Sution Usman Adji, dan Agus Ismunarto, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Artikel dan Jurnal

Hikmahanto Juwana, “Aspek Penting Pembentukan Hukum Teknologi Informasi di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 16, November 2001.

Ridwan Khairandy, “Pembaharuan Hukum Kontrak Sebagai Antisipasi Transaksi Electronic Commerce”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 16 November 2001. Sitompul, Zulkarnaen, “Pengaruh Perkembangan Telematika Terhadap Tindak

Pidana Pencucian Uang”, Artikel versi PDF, Jakarta: Oktober 2003.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2007 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Internet

Junaedi, Komisi Anti Korupsi di Negeri sarat Korupsi dan Birokrasi yang Serba

“Komisi Penyadapan Secara Sah Menurut Hukum,


(3)

BAB III

ANALISIS HUKUM MENGENAI HASIL PENYADAPAN OLEH

KPK SEBAGAI ALAT BUKTI DIHUBUNGKAN DENGAN

KUHAP DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11

TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN

TRANSAKSI ELEKTRONIK

Catatan : perhatikan judul bab ini sesuai dengan permasalahan

no 2 sdr,

A. Kekuatan Pembuktian Hasil Penyadapan Sebagai Alat Bukti Berdasarkan Undang - undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Salah satu tindakan KPK dalam menyidik kasus korupsi adalah melalui penyadapan. Tindakan penyadapan, mempunyai beberapa dasar hukum dan pertimbangan. antara lain Pasal 12 huruf (a) Undang - undang KPK mengatur tindakan penyadapan sebagai bagian dari tindakan yang boleh dilakukan oleh

Tim KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Secara legalitas formal, KPK sangat berwenang untuk melakukan tindakan ini

guna melakukan pengawasan, menemukan bukti dan membuktikan adanya dugaan korupsi dan menuntutnya ke pengadilan. Pertimbangan lain dilakukannya penyadapan adalah telah adanya dugaan kuat yang diperoleh dari laporan hasil pengawasan (indikasi) dan bukti permulaan yang cukup, walaupun KPK secara legalitas formal mempunyai wewenang untuk melakukan penyadapan, tidak berarti KPK dapat sewenang-wenang dalam penggunaannya, dalam hal ini harus terdapat prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan sebelum melakukan penyadapan.

Hasil penyadapan yang dilakukan oleh KPK telah dijadikan sebagai


(4)

korupsi yang ditangani KPK, seperti kasus penyuapan oleh Artalyta dan jaksa Urip Tri Gunawan, Mulyana Kusumah dan Al Amin Nasution.

Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur tentang alat-alat bukti yang sah menurut hukum, barang-barang bukti, sistem pembuktian yang dianut, syarat dan tata cara pembuktian yang dilakukan, serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. Sumber hukum pembuktian adalah undang-undang, doktrin dan yurisprudensi. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) menjadi salah satu sumber hukum dalam proses pembuktian.

Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang dapat dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, hakim tidak dapat mempergunakan alat bukti yang bertentangan dengan undang-undang. Kebenaran atas suatu putusan harus teruji dengan alat bukti yang sah secara hukum serta memiliki kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan.

Pada saat ini, Indonesia telah berada dalam teknologi elektronik yang berbasis kepada lingkungan serba digital.50

50

Edmon Makarim., Pengantar Hukum Telematika, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2005, hal. 31.

Dengan perkembangan teknologi tersebut, menimbulkan kuantitas kejahatan konvensional yang dilakukan dengan


(5)

modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan.51

Penentuan mengenai cara bagaimana pengenaan pembuktian pidana dapat dilaksanakan terhadap orang yang disangka melakukan perbuatan pidana diatur di dalam hukum pidana formal atau KUHAP. Van Bemmelen menyatakan bahwa, ”Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana”.52

Pembuktian menurut KUHAP, menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yaitu sistem

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Melalui pembuktian tersebut ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), maka terdakwa dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, hakim harus berhati-hati, cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian, serta meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian (bewijs kracht) dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP tersebut.

51

Krisnawati., Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, hal. 3.

52

Andi Hamzah, Mohammad Taufik Makarao, dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 2.


(6)

pembuktian yang merupakan keseimbangan antara sistem keyakinan hakim (conviction in time) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan di dalam undang-undang). Kedua sistem ini saling bertolak belakang secara ekstrim. Dimana kedua sistem ini dikenal dengan sistem pembuktian secara negatif dengan memadukan antara keyakinan hakim dengan undang-undang secara positif.53

Perkembangan jasa-jasa di bidang Teknologi Informasi telah mengubah perilaku dan peradaban manusia ke arah yang lebih modern hingga melewati batas yurisdiksi suatu negara yang tidak terbatas, melalui pemanfaatan teknologi informasi, media dan komunikasi. Sehingga sistem perundang-undangan juga terkena dampak untuk direvisi sesuai dengan keadaan zamannya dan tingkat

kualitas kriminal. Sehingga dengan demikian, KUHAP harus dikecualikan (lex specialist de rogat lex generalist).

Seiring dengan perkembangan jasa-jasa teknologi dan informasi yang canggih, membawa efek terhadap sistem pengaturan hukum dewasa ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik selanjutnya disebut UUITE, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi selanjutnya disebut UUT).

54

Istilah hukum telematika merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media dan hukum informatika. Istilah lain yang juga

53

M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 278.

54

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE), penjelasannya.


(7)

digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (internet) dengan memanfaatkan Teknologi Informasi dengan berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.55

Dunia hukum sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan kebendaan yang tidak berwujud. Dalam kenyataan, kegiatan siber tidak lagi sederhana karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh Sistem elektronik yang dimaksud peneliti, mencakup sistem komputer dalam arti luas, yang tidak hanya mencakup perangkat keras dan perangkat lunak komputer, tetapi juga mencakup jaringan telekomunikasi dan/atau sistem komunikasi elektronik. Perangkat lunak atau program komputer merupakan sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi tersebut.

55


(8)

teritorial suatu negara, yang mudah diakses kapan pun dan dari mana pun. Sehingga kerugian pun dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi, misalnya pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di Internet. Oleh sebab itu, pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat informasi elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia secara komprehensif, melainkan juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Dengan demikian, dampak yang diakibatkannya bisa demikian kompleks dan rumit.56

Permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang keperdataan karena transaksi elektronik untuk kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (electronic commerce) telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional. Kenyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di bidang teknologi informasi, media, dan informatika (telematika) berkembang terus tanpa dapat dibendung, seiring dengan ditemukannya perkembangan baru di bidang teknologi informasi, media, dan komunikasi.57

Sistem media elektronik, yang disebut juga ruang siber (cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hokum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan banyak hal yang lolos dari

56

Zulkarnaen Sitompul., “Pengaruh Perkembangan Telematika Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang”, Artikel versi PDF, Jakarta: Oktober 2003, hal. 4.

57

Hikmahanto Juwana., “Aspek Penting Pembentukan Hukum Teknologi Informasi di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 16, November 2001, hal. 49-53.


(9)

pemberlakuan hukum. Karena kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Sedangkan rekaman elektronik merupakan dokumen yang diperoleh dari penggunaan media elektronik.58

Berdasarkan hal di atas, alat bukti petunjuk hanya dapat diambil dari ketiga alat bukti di atas. Pada umumnya, alat bukti petunjuk baru diperlukan apabila alat bukti lainnya belum mencukupi batas minimum pembuktian yang diatur dalam pasal 183 KUHAP di atas. Dengan demikian, alat bukti petunjuk Hasil penyadapan yang telah dijadikan alat bukti oleh KPK dalam pembuktian pada persidangan kasus-kasus korupsi di atas, didasari ketentuan yang mengatur tentang alat bukti yang sah, yang selanjutnya akan menentukan kekuatan hukum dari alat bukti tersebut. alat bukti yang digunakan hakim untuk menjatuhkan putusan, harus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang secara limitatif telah diatur dalam pasal 184 KUHAP

Hasil penyadapan sebagai alat bukti oleh KPK dilandasi pemikiran adanya penafsiran hukum secara ekstensif dengan cara memperluas definisi alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP. Berbicara mengenai alat bukti petunjuk, tidak terlepas dari ketentuan Pasal 188 (2) KUHAP yang membatasi kewenangan hakim dalam memperoleh alat bukti petunjuk.

58

Ridwan Khairandy., “Pembaharuan Hukum Kontrak Sebagai Antisipasi Transaksi Electronic Commerce”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 16 November 2001, hal. 56. Perkembangan teknologi informasi terakhir, khususnya ledakan informasi dalam dunia maya atau telematika (cyberspace) dan internet membawa perubahan ke segala aspek kehidupan manusia, pendidikan, hiburan, pemerintahan, dan komunikasi. Istilah telematika menunjuk kepada sebuah ruang elektronik (electronic space), yakni sebuah masyarakat virtual yang terbentuk melalui komunikasi yang terjalin dalam sebuah jaringan komputer (interconnected computer networks).


(10)

merupakan alat bukti yang bergantung pada alat bukti lainnya yakni alat bukti saksi, surat dan keterangan terdakwa.

Alat bukti petunjuk memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti lain, namun hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, sehingga hakim bebas untuk menilai dan mempergunakannya dalam upaya pembuktian. Selain itu, petunjuk sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, karena hakim tetap terikat pada batas minimum pembuktian sesuai ketentuan Pasal 183 KUHAP. Hasil penyadapan dapat dianggap sebagai petunjuk, karena dapat dikategorikan sebagai informasi dan/atau dokumen elektronik yang merupakan perluasan dari alat bukti surat sebagai bahan untuk dijadikan petunjuk bagi hakim dalam membuktikan suatu perkara.

Berbicara mengenai hasil penyadapan terhadap proses komunikasi beberapa tersangka kasus korupsi, tidak terlepas dari ketentuan mengenai alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE). Pada Pasal 5 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/ atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU ITE, yang dimaksud dengan informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data

interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy,


(11)

diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Sementara itu, Pasal 1 angka 4 UU ITE menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengan melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Apabila ditelaah, maka hasil penyadapan yang telah dilakukan oleh KPK merupakan bagian dari informasi elektronik, sehingga hasil penyadapan merupakan salah satu alat bukti yang sah secara hukum.

Sementara itu, Pasal 5 ayat (2) UU ITE juga menegaskan bahwa Informasi elektronik dan/atau Dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 di atas merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Terlihat jelas bahwa hasil penyadapan merupakan salah satu bagian dari informasi elektronik yang dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah secara hukum, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan mengenai alat bukti dan pembuktian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana


(12)

(KUHAP). Dengan demikian, hasil penyadapan memiliki kekuatan pembuktian sebagai salah satu alat bukti khususnya dalam kasus korupsi.

Berdasarkan hal di atas, hasil penyadapan sebagai salah satu alat bukti yang memiliki kekuatan hukum dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara khususnya dalam perkara korupsi ini. Sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP yaitu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, yang merupakan perpaduan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau Conviction in time theory, sejalan dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah diperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

B. Tindakan Penyadapan oleh KPK Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Salah satu tindakan KPK dalam menyidik kasus korupsi adalah melalui penyadapan. Tindakan penyadapan, mempunyai beberapa dasar hukum dan pertimbangan. antara lain Pasal 12 huruf (a) Undang-Undang KPK mengatur tindakan penyadapan sebagai bagian dari tindakan yang boleh dilakukan oleh Tim KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Secara legalitas formal, KPK sangat berwenang untuk melakukan tindakan ini guna melakukan pengawasan, menemukan bukti dan membuktikan adanya dugaan korupsi dan menuntutnya ke pengadilan. Pertimbangan lain dilakukannya


(13)

penyadapan adalah telah adanya dugaan kuat yang diperoleh dari laporan hasil pengawasan (indikasi) dan bukti permulaan yang cukup, walaupun KPK secara legalitas formal mempunyai wewenang untuk melakukan penyadapan, tidak berarti KPK dapat sewenang-wenang dalam penggunaannya, dalam hal ini harus terdapat prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan sebelum melakukan penyadapan.

Pro dan kontra atas kewenangan KPK pun telah sering diperdebatkan, walaupun pada akhirnya sampai pada simpulan bahwa terhadap kasus korupsi selain penyidik polisi dan jaksa, diakui pula berdasarkan undang-undang di atas adanya KPK yang bertindak sebagai penyidik, seperti terkandung dalam Pasal 6 huruf c Undang-Undang KPK. Pada proses penyidikan terhadap kasus korupsi oleh KPK ini, juga harus tetap mengacu pada hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP).

Pada Bab VII mengenai perbuatan yang dilarang, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) menegaskan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, dan berdasarkan Pasal 47 UU ITE mengatur tentang sanksi pidana bagi yang memenuhi unsur-unsur pasal 31 ayat (1) di atas. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa penyadapan merupakan tindakan yang sah secara hukum, dengan


(14)

mendasarkan pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 Tentang KPK menyebutkan bahwa dalam rangka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Ketentuan ini

menegaskan bahwa penyadapan dapat dilakukan dalam tiga tahap proses pro justisia pada perkara luar biasa (extra ordinary cases), termasuk tindak pidana

korupsi dan tindak pidana penyuapan.

Berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi ditegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan tindakan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun, termasuk dalam hal ini KPK yang telah melakukan tindakan penyadapan terhadap komunikasi sejumlah tersangka dalam kasus korupsi seperti penyadapan yang dilakukan KPK terhadap Tersangka bernama Artalyta, Mulyana Kusumah dan Al Amin Nasution. Tindakan penyadapan seperti itu dianggap melanggar hak pribadi seseorang, hal ini didasari adanya ketentuan Konvensi Eropa Tahun 1958 Tentang Perlindungan HAM, Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas penghormatan terhadap kehidupan pribadi atau keluarganya, rumah tangganya dan surat-menyuratnya. Selanjutnya pasal 17 Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik Tahun 1966, yang menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat sewenang-wenang atau secara tidak sah mencampuri masalah pribadi, keluarga, rumah atau korespondensinya. Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang, begitu pula dalam Pasal 73


(15)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menegaskan hal yang sama.

Di samping itu tindakan penyadapan yang dilakukan oleh KPK ini dianggap sebagian pihak sebagai upaya yang terkesan dipaksakan karena KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SP3 dalam perkara korupsi, sebagaimana telah diatur dalam pasal 40 Undang-Undang KPK, sehingga KPK harus berusaha agar semua kasus korupsi yang ditanganinya dapat berlanjut sampai ke persidangan, oleh karena itu harus ada alat bukti yang mendukungnya, dalam hal ini hasil penyadapan yang telah dilakukan oleh KPK atas telekomunikasi dari para Tersangka kasus korupsi merupakan bagian dari upaya KPK untuk melengkapi alat bukti tersebut.

Pasal 42 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi menegaskan bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan/atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku, termasuk tindakan penyadapan yang telah dilakukan KPK sebagai salah satu lembaga independen yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan atas kasus korupsi di Indonesia sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 Tentang KPK. Tindakan penyadapan yang telah dilakukan KPK terhadap beberapa tersangka kasus korupsi seperti Artalyta, Mulyana Kusumah dan Al Amin Nasution merupakan tindakan yang dikecualikan oleh Pasal 40


(16)

Undang-Undang Telekomunikasi seperti telah ditegaskan dalam Pasal 42 ayat 2 huruf b Undang-Undang Telekomunikasi termaksud. Tindakan KPK dalam melakukan penyadapan terhadap tersangka kasus korupsi ini, adalah bagian kewenangan KPK dalam penanganan kasus korupsi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang KPK, sebagai bagian dari rangkaian tindakan KPK dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah menerima permohonan uji materil terhadap Pasal 12 ayat 1 huruf a dan Pasal 40 Undang-Undang KPK di atas yang diajukan oleh para mantan anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) pada 2003. Menurut Pasal 60 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi tidak dapat lagi menguji pasal suatu undang-undang yang pernah dimohonkan dan ditolak. Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan No. 006/PUUI/ 2003 tentang pengujian konstitusionalitas Undang-Undang KPK, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hak-hak yang terdapat dalam Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak termasuk hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian hak-hak tersebut dapat dibatasi oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam ketentuan yang tersebut dalam Pasal 28J ayat (2). Pembatasan itu diperlukan sebagai tindakan luar biasa untuk mengatasi korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. Lagipula pembatasan itu tidak berlaku bagi semua orang tapi terbatas kepada mereka yang diduga terlibat korupsi yang menyangkut kerugian negara


(17)

paling sedikit Rp. 1.000.000.000,(satu milyar rupiah) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 huruf C juncto Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang KPK. Namun demikian, untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan dalam penyadapan dan perekaman, Mahkamah Konstitusi berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman dimaksud.

Tindakan penyadapan yang dilakukan oleh KPK walaupun telah dianggap tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya, namun sebagaimana dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi, harus tetap mengikuti tata cara yang ditetapkan lebih lanjut agar tidak merugikan proses telekomunikasi pada umumnya dan pengguna telekomunikasi tersebut. Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor : 11/PERM.KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan tindakan penyadapan termasuk oleh KPK untuk kepentingan penyidikan kasus korupsi, antara lain :

1. KPK harus mengirim identifikasi sasaran kepada penyelenggara telekomunikasi baik secara elektronis maupun non elektronis;

2. Penyadapan terhadap telekomunikasi harus dilakukan oleh KPK sesuai dengan Standar Operasional Prosedur penyadapan yang telah ditentukan dengan tidak mengganggu kelancaran telekomunikasi dan pengguna telekomunikasi serta harus dilaporkan oleh KPK kepada Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi.


(18)

3. Penyelenggara telekomunikasi wajib membantu KPK dalam melakukan penyadapan secara sah menurut hukum dengan mempersiapkan kapasitas paling banyak 2% dari yang terdaftar dalam Home Location Register (HLR) untuk seluler dan paling banyak 2% dari kapasitas terpasang untuk setiap sentral lokal Public

Switch Telepone Network (PSTN).

4. Untuk menjamin transparansi dan independensi dalam penyadapan, maka dibentuk tim pengawas terdiri dari direktorat jenderal pos dan telekomunikasi, KPK dan penyelenggara telekomunikasi yang bersangkutan, dengan tugas dan kewenangan sesuai surat perintah yang dibawa KPK.

5. Informasi yang diperoleh dari penyadapan bersifat rahasia, sehingga tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan atau disebarluaskan dengan cara apapun, kecuali oleh KPK sesuai ketentuan hukum yang berlaku dalam upaya mengungkap suatu tindak pidana, dalam hal ini tindak pidana korupsi.

6. Biaya atas alat dan/atau perangkat penyadapan informasi ditanggung oleh KPK, sedangkan biaya atas kapasistas rekaman berupa HLR dan PSTN ditanggung oleh penyelenggara telekomunikasi.


(19)

Dengan demikian tindakan penyadapan yang dilakukan oleh KPK tersebut diharapkan tidak merugikan pengguna telekomunikasi lainnya.

C. Kasus-Kasus Terkait Tindakan Penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Ada beberapa kasus yang terjadi terkait tindakan penyadapan oleh KPK sebagai salah satu upaya memberantas dan menangani korupsi di Indonesia, antara lain kasus Artalyta Suryani yang menjadi Tersangka pada tindak pidana percobaan penyuapan terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan dalam rangka meloloskan Syamsul Nursalim sebagai Tersangka pada kasus BLBI Bank Dagang Nasional Indonesia, dengan cara meminta dikeluarkannya Surat Penghentian Penyelidikan Perkara (SP3) dan memang Kejaksaan Agung mengeluarkan SP3 tersebut, dalam hal ini KPK dapat mengungkap percobaan penyuapan itu dengan adanya bukti percakapan antara Artalyta Suryani dengan pejabat Kejaksaan Agung melalui telepon yang berhasil disadap oleh KPK, sehingga Artalyta dan Jaksa Urip Tri Gunawan dapat segera ditangkap. Sebelum berbicara mengenai hasil penyadapan sebagai alat bukti, tentu saja harus dilihat sampai sejauh mana kewenangan KPK dapat melakukan penyadapan terhadap percakapan seseorang secara pribadi melalui fasilitas komunikasi ini, karena keabsahan kewenangan KPK ini menentukan pula keabsahan hasil penyadapan tersebut sebagai alat bukti. Berdasarkan proses persidangan dengan terdakwa Artalyta di Pengadilan Tipikor

12 Juni 2008, terungkap sejumlah dialog terpisah antara Artalyta dengan tiga pejabat Kejaksaan Agung. Mereka adalah Jaksa Urip, mantan Jampidsus Kemas Yahya Rahman, dan Jamdatun Untung Udji.

Di samping kasus tersebut terdapat pula kasus lain yang ditangani KPK dengan cara melakukan penyadapan dalam penyelidikan dan penyidikannya,


(20)

antara lain kasus Mulyana W. Kusumah yang saat itu diduga terlibat dalam tindakan penyuapan terhadap petugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang mendapat tugas audit investigasi dari KPK pada tanggal 9 April 2005.

Terpidana kasus penyuapan terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mulyana W Kusumah tersebut, telah meminta agar kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyadapan dibatalkan. Mulyana yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Sirra Prayuna, dalam sidang panel pemeriksaan pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis, meminta agar Pasal 12 ayat 1 huruf a UU No 30 Tahun 2002 tentang Kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28 G UUD 1945. Mulyana juga minta agar Pasal 40 UU KPK yang menyatakan KPK tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) serta Pasal 6 huruf c tentang Kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi dibatalkan. Sirra menyatakan dengan adanya aktivitas penyadapan, perekaman dan pencatatan pembicaraan tanpa setahu dan seijin pelakunya, pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak leluasa untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Selain itu, KPK dalam melakukan penyidikan kasus Mulyana dianggap telah melakukan serangkaian penjebakan dan mengarahkan Mulyana untuk melakukan penyuapan, yang semua itu direkam dan disadap. Mulyana juga menganggap kewenangan KPK untuk tidak mengeluarkan SP3 dan melakukan penyelidikan, penyidikan serta penuntutan perkara tindak pidana korupsi telah menyebabkan ketidakpastian


(21)

hukum. Mulyana menganggap KPK akan cenderung memaksakan penuntutan suatu perkara meski tanpa alat bukti yang cukup dengan tidak adanya kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3. Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah menerima permohonan uji materil terhadap Pasal 12 ayat 1 huruf a dan Pasal 40 Undang-Undang KPK yang diajukan oleh para mantan anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) pada 2003. Menurut Pasal 60 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi tidak dapat lagi menguji pasal suatu Undang-Undang yang pernah dimohonkan dan ditolak.

Akhirnya Mulyana divonis 2 tahun 7 bulan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk kasus penyuapan. Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Mulyana Wira Kusuma menyatakan pengajuan uji materiil Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang KPK kepada Mahkamah Konstitusi (MK) tidak terkait dengan persidangan kasus korupsi yang tengah dijalaninya. Pengajuan uji materiil undang-undang tersebut terhadap UUD 1945 semata-mata untuk meluruskan perjuangan pemberantasan korupsi agar pelaksanaannya sesuai dengan konstitusi. Mulyana juga minta agar Pasal 40 Undang-Undang KPK yang menyatakan KPK tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) serta Pasal 6 huruf c tentang Kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi dibatalkan. Sirra sebagai kuasa hukum Mulyana menyatakan bahwa dengan adanya aktivitas penyadapan, perekaman dan pencatatan pembicaraan tanpa sepengetahuan dan seijin pelakunya, pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak leluasa untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Selain itu, KPK dalam


(22)

melakukan penyidikan kasus Mulyana telah melakukan serangkaian penjebakan dan mengarahkan Mulyana untuk melakukan penyuapan, yang semua itu direkam dan disadap.

Sementara itu, kasus Al Amin Nasution sebagai anggota Komisi IV DPR RI yang terlibat kasus alih fungsi hutang lindung di Pulau Bintan, yang terhadapnya telah dilakukan penyadapan oleh KPK, sehingga akhirnya kasus Al Amin Nasution ini disidangkan di pengadilan.


(23)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. KPK yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan atas kasus korupsi di Indonesia, dalam perkembangannya KPK telah berhasil mengungkap beberapa kasus korupsi di Indonesia. Salah satu tindakan KPK dalam menyidik kasus korupsi adalah melalui penyadapan. Tindakan penyadapan, mempunyai beberapa dasar hukum dan pertimbangan. antara lain Pasal 12 huruf (a) Undang-Undang KPK mengatur tindakan penyadapan sebagai bagian dari tindakan yang boleh dilakukan oleh Tim KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

2. Rekaman pembicaraan hasil penyadapan KPK mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, karena hasil penyadapan tersebut merupakan bagian dari informasi elektronik, sehingga hasil penyadapan merupakan salah satu alat bukti yang sah secara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang ITE, selain itu disebutkan pula dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang ITE bahwa hasil penyadapan sebagai informasi elektronik yang dianggap


(24)

sah secara hukum sebagai alat bukti merupakan perluasan dari ketentuan alat bukti sesuai hukum acara yang berlaku, dalam hal ini Pasal 184 KUHAP, khususnya sebagai alat bukti petunjuk, sehingga hasil penyadapan yang dilakukan oleh KPK memiliki kekuatan pembuktian menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) termaksud.

B. Saran

1. Perlu peninjauan kembali terhadap kewenangan KPK melakukan penyadapan agar penggunaan dan penerapannya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, khususnya dengan peraturan yang berkaitan dengan hak asasi manusia.

2. Perlu segera dikeluarkan peraturan pelaksana Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik khususnya Pasal 5 ayat (1) dan (2) mengenai alat bukti agar bisa berjalan lebih efektif


(25)

BAB II

ASPEK HUKUM TENTANG PENYADAPAN SEBAGAI

ALAT BUKTI DALAM PERADILAN KASUS KORUPSI

A. Aspek Hukum Tindakan Penyadapan

Tindak Pidana korupsi saat ini merupakan salah satu kejahatan yang menjadi sorotan utama di Indonesia. Berbagai peraturan dan tindakan hukum dilakukan untuk mencegah dan mengatasi tindak pidana korupsi tersebut. Munculnya lembaga independen yang berkonsentrasi dalam memberantas tindak pidana korupsi menjadi satu tanda bahwa pemerintah telah melakukan suatu tindakan nyata untuk memberantas korupsi termaksud. Upaya pemberantasan korupsi sebagai salah satu kejahatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara ini tentu saja memerlukan metode penegakan hukum yang luar biasa,. Oleh karena itu, telah dibentuk badan khusus yang kemudian dikenal dengan nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bersifat mandiri, independen dan bebas dari kekuasaan manapun dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi ini, yang pelaksanaannya harus dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.

Pencegahan atau upaya preventif terhadap kejahatan merupakan bagian dari politik kriminal, sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dan reaksi terhadap pelanggaran hukum45

45

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 113.

. Oleh karena itu sangatlah penting membangun moral yang kokoh walaupun tetap dapat membuka jalan terjadinya


(26)

kejahatan46

Setiap tindakan yang dibuat oleh penyidik harus memiliki dasar hukum dan pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan, begitu pula dengan KPK yang memiliki kewenangan tertentu dalam menangani kasus-kasus korupsi di Indonesia. Salah satu tindakan KPK dalam menyidik kasus korupsi adalah melalui penyadapan. Tindakan penyadapan, mempunyai beberapa dasar hukum dan pertimbangan, antara lain Pasal 12 huruf (a) Undang-Undang KPK mengatur

tindakan penyadapan sebagai bagian dari tindakan yang boleh dilakukan oleh Tim KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Secara legalitas formal, KPK sangat berwenang untuk melakukan tindakan ini guna melakukan pengawasan, menemukan bukti dan membuktikan adanya dugaan korupsi dan menuntutnya ke pengadilan. Pertimbangan lain dilakukannya penyadapan adalah telah adanya dugaan kuat yang diperoleh dari laporan hasil pengawasan (indikasi) dan bukti permulaan yang cukup, walaupun KPK secara legalitas formal mempunyai wewenang untuk melakukan penyadapan, tidak berarti KPK dapat sewenang-wenang dalam penggunaannya, dalam hal ini

. Saat ini, telah ada sebuah lembaga independen yang dibuat berdasarkan undang-undang, yakni Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut KPK), yang dilandasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut Undang-Undang KPK). KPK, dalam perkembangannya telah berhasil mengungkap beberapa kasus korupsi di Indonesia.

46

J.E. Sahetapi, Kejahatan Korporasi, Refika Aditama, Bandung, 1993, hal. 12.


(27)

harus terdapat prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan sebelum melakukan penyadapan.

Pro dan kontra atas kewenangan KPK pun telah sering diperdebatkan, walaupun pada akhirnya sampai pada simpulan bahwa terhadap kasus korupsi selain penyidik polisi dan jaksa, diakui pula berdasarkan undang-undang di atas adanya KPK yang bertindak sebagai penyidik. Pada proses penyidikan terhadap kasus korupsi oleh KPK ini, juga harus tetap mengacu pada hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP). Sebelum adanya penyidikan, tentu saja KPK pun harus mengumpulkan bukti-bukti permulaan yang kuat bahwa kasus yang dihadapi benar-benar merupakan kasus korupsi, oleh karenanya KPK tidak diberi kewenangan untuk mengeluarkan Surat Penghentian Penyelidikan Perkara (SP3). Ada berbagai cara yang telah dilakukan KPK untuk mendapatkan bukti atas suatu kasus korupsi ini, antara lain melalui tindakan penyadapan telepon/komunikasi yang mana hasil penyadapan tersebut dijadikan bukti pada peradilan pidana kasus korupsi itu.

Menurut Penjelasan UU ITE, Pasal 31 disebutkan bahwa :

“Intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi”. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU ITE, yang dimaksud dengan informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data


(28)

interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy,

atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sementara itu, Pasal 1 angka 4 UU ITE menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengan melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Selain itu, yang dimaksud dengan sistem elektronik menurut pasal 1 angka 5 adalah serangkaian perangkat atau prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkanda/atau menyebarkan informasi elektronik. Dengan demikian, tindakan penyadapan yang dilakukan telah oleh KPK, seperti pada penyadapan percakapan Artalyta dengan pejabat Kejaksaan Agung merupakan tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 31 UU ITE di atas.

Sementara itu, menurut Pasal 1 angka 7 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 11/PERM.KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi, yang dimaksud dengan penyadapan informasi adalah mendengarkan, mencatat, atau merekam suatu pembicaraan yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum dengan memasang alat atau perangkat tambahan


(29)

pada jaringan telekomunikasi tanpa sepengetahuan orang yang melakukan pembicaraan atau komunikasi tersebut.

KPK dalam kinerjanya telah menggunakan hasil penyadapan tersebut sebagai alat bukti pada peradilan pidana khususnya tindak pidana korupsi yang juga tidak menutup kemungkinan terdapat tindak pidana lainnya seperti tindak pidana penyuapan sebagaimana telah terjadi pada kasus Artalyta. Ada yang berpendapat bahwa interception atau penyadapan yang dilakukan oleh KPK tersebut telah melanggar hak privasi individu sebagai bagian dari hak asasi manusia, karena KPK telah masuk pada wilayah pribadi seseorang. Pendapat tersebut didasari adanya ketentuan Konvensi Eropa Tahun 1958 Tentang Perlindungan HAM, Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas penghormatan terhadap kehidupan pribadi atau keluarganya, rumahtangganya dan surat-menyuratnya. Selanjutnya pasal 17 Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik Tahun 1966, yang menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat sewenang-wenang atau secara tidak sah mencampuri masalah pribadi, keluarga, rumah atau korespondensinya. Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang, begitu pula dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menegaskan hal yang sama. Berkaitan dengan Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang KPK tentang kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan No. 006/PUUI/ 2003 tentang pengujian konstitusionalitas Undang-Undang KPK,


(30)

dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hak-hak yang terdapat dalam Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak termasuk hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian hak-hak tersebut dapat dibatasi oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam ketentuan yang tersebut dalam Pasal 28J ayat (2). Pembatasan itu diperlukan sebagai tindakan luar biasa untuk mengatasi korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. Lagipula pembatasan itu tidak berlaku bagi semua orang tapi terbatas kepada mereka yang diduga terlibat korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.0000,- (satu milyar rupiah) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 huruf C juncto Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang KPK. Namun demikian, untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan dalam penyadapan dan perekaman, Mahkamah Konstitusi berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman dimaksud.

Kewenangan penyadapan yang diberikan kepada KPK sama sekali tidak berhubungan dengan pengurangan hak warga negara untuk mendapatkan rasa aman. Prinsipnya, penyadapan diperbolehkan sebagai bagian dari tindakan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penyidik. terhadap suatu tindak pidana. Belum adanya aturan yang jelas bukan berarti Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK menjadi bertentangan dengan konstitusi, karena persoalan sesungguhnya terletak pada impelementasi prosedur dan tata cara penyadapan dan perekaman.


(31)

Apalagi KPK telah membuat aturan internal yang berkaitan dengan penyadapan dan perekaman.

Penyadapan dan perekaman dilakukan untuk menemukan bukti dalam rangka membuat terang suatu peristiwa pidana atau bewijsvoering dalam hukum pembuktian. Secara harafiah bewijsvoering berarti penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Bagi negara-negara yang cenderung menggunakan due process model dalam sistem peradilan pidana,

bewijsvoering ini cukup mendapatkan perhatian47. Pada due process model, negara begitu menjunjung tinggi hak asasi manusia (hak-hak tersangka), sehingga seringkali seorang tersangka dibebaskan oleh pengadilan karena alat bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah atau yang disebut dengan istilah

unlawful legal evidence48

47

Due Process Model oleh Herbert L. Packer seperti yang telah diutarakan di atas

dapatlah dikatakan mendominasi sistem peradilan pidana di Amerika. Bahkan pada suatu titik yang paling ekstrim, ketika seorang polisi menangkap tersangka dan ia lupa membacakan hak-hak tersangka yang dikenal dengan istilah Miranda Warning, memberi konsekuensi tersangka dapat dilepaskan.

48

Eddy O.S Hiariej, Kinerja Polisi, Surat Kabar Harian KOMPAS, Kamis, 6 November 2008, hal.37

Catatan : dari buku mana sdr kutip

. Bewijsvoering lebih menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formilistis sehingga mengesampingkan kebenaran dan fakta yang ada. Berbeda dengan sistem peradilan pidana di Indonesia, meskipun tidak sepenuhnya, namun paling tidak didominasi oleh crime control model dalam beracara, dalam hal ini teknis penyelidikan dan penyidikan dalam rangka menemukan tersangka dan barang serta alat bukti dapat menyimpang ketentuan umum yang diatur oleh KUHAP selama ada undang-undang khusus yang mengatur tentang itu. Pada proses pengungkapan kasus korupsi, penyelidikan dan


(32)

penyidikan secara khusus seperti penyadapan dan perekaman pembicaraan dapat dibenarkan, sehingga tidaklah dapat dikualifikasikan sebagai unlawful legal

evidence karena sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Selain itu, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan tindakan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun, kecuali untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi yang menyatakan bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan/atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Selanjutnya pada Bab VII mengenai perbuatan yang dilarang, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) menegaskan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, dan berdasarkan Pasal 47 UU ITE mengatur tentang sanksi pidana bagi yang memenuhi unsur-unsur pasal 31 ayat (1) di atas. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa penyad`apan merupakan tindakan yang sah secara hukum, dengan mendasarkan pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 Tentang KPK menyebutkan bahwa dalam rangka penyelidikan, penyidikan dan


(33)

penuntutan, KPK dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Ketentuan ini menegaskan bahwa penyadapan dapat dilakukan dalam tiga tahap proses pro justisia pada perkara luar biasa (extra ordinary cases), termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana penyuapan.

B. Mekanisme Penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Tindakan penyadapan dapat dilakukan dengan mengacu pada dua standar internasional yaitu :49

1. European Telecommunications Standards Institute (ETSI), berasal dari Perancis yang telah diakui dunia internasional.

2. Communications Assistance for Law Enforcement Act (Calea),

berasal dari Amerika.

Interception menurut ETSI merupakan kegiatan penyadapan yang sah

menurut hukum yang dilakukan oleh network operator/akses provider/service

provider (NWP/AP/SvP) agar informasi yang ada selalu siap digunakan untuk

kepentingan fasilitas kontrol pelaksanaan hukum.

Sementara itu, Di Eropa maupun Amerika, persyaratan terperinci dalam pelaksanaan penyadapan berbeda antar satu yuridiksi dengan yuridiksi lainnya, tetapi dalam pelaksanaan penyadapan itu terdapat satu persyaratan umum yang sama, bahwa sistem penyadapan yang disediakan harus melaksanakan pemotongan pada prosesnya dan pokok materi harus tidak sadar atau tidak terpengaruh selama aksi pemotongan ini.

49

Penyadapan Secara Sah Menurut Hukum 23 Februari 2011.


(34)

Teknik yang digunakan dalam implementasi penyadapan ini adalah penyadapan aktif dan penyadapan semi aktif. Penyadapan aktif yaitu penyadapan yang dilakukan secara langsung, sedangkan penyadapan semi aktif serta penyadapan pasif adalah penyadapan yang dilakukan secara tidak langsung. Namun demikian, secara teknis kebanyakan penyadapan yang dilakukan adalah dengan mengimplementasikan penggabungan teknis aktif dan pasif. Di Indonesia, penyadapan ini dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor : 11/PERM.KOMINFO/02/2006. Tanggal 22 Februari 2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Begitu pula dengan KPK, pada prakteknya, melakukan penyadapan berdasarkan pada mekanisme yang telah ditentukan, antara lain dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor 11 Tahun 2006 di atas.

Pada dasarnya, tindakan penyadapan yang dilakukan KPK didasarkan pada asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor: 11/PERM.KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 3 Peraturan menteri Komunikasi dan Informasi Nomor: 11/PERM.KOMINFO/02/ 2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi, dikatakan bahwa penyadapan terhadap informasi dianggap (lawful interception) apabila dilaksanakan untuk keperluan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan terhadap suatu peristiwa tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK sebagaimana telah diatur dalam Pasal 12 huruf (a)


(35)

Undang-Undang KPK, melalui alat dan/atau perangkat penyadapan informasi. Alat dan/atau perangkat tersebut meliputi penyadap antar muka (interface) penyadapan, pusat pemantauan (monitoring centre) dan sarana serta prasarana transmisi penghubung (link transmission).

Konfigurasi teknis alat dan/atau perangkat penyadapan di atas harus sesuai dengan standar internasional, dalam hal ini European Telecommunications

Standards Institute (ETSI) dan Communications Assistance for Law Enforcement Act (Calea). Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor :

11/PERM.KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan tindakan penyadapan termasuk oleh KPK untuk kepentingan penyidikan kasus korupsi, antara lain :

1. KPK harus mengirim identifikasi sasaran kepada penyelenggara telekomunikasi baik secara elektronis maupun non elektronis;

2. Penyadapan terhadap telekomunikasi harus dilakukan oleh KPK sesuai dengan Standar Operasional Prosedur penyadapan yang telah ditentukan dengan tidak mengganggu kelancaran telekomunikasi dan pengguna telekomunikasi serta harus dilaporkan oleh KPK kepada Direktorat Jenderal Pos dan telekomunikasi.

3. Penyelenggara telekomunikasi wajib membantu KPK dalam melakukan penyadapan secara sah menurut hukum dengan mempersiapkan kapasitas paling banyak 2% dari yang terdaftar dalam Home Location Register (HLR) untuk seluler dan paling banyak 2% dari kapasitas terpasang untuk setiap sentral lokal Public


(36)

4. Untuk menjamin transparansi dan independensi dalam penyadapan, maka dibentuk tim pengawas terdiri dari direktorat jenderal pos dan telekomunikasi, KPK dan penyelenggara telekomunikasi yang bersangkutan, dengan tugas dan kewenangan sesuai surat perintah yang dibawa KPK.

5. Informasi yang diperoleh dari penyadapan bersifat rahasia, sehingga tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan atau disebarluaskan dengan cara apapun, kecuali oleh KPK sesuai ketentuan hukum yang berlaku dalam upaya mengungkap suatu tindak pidana, dalam hal ini tindak pidana korupsi.

6. Biaya atas alat dan/atau perangkat penyadapan informasi ditanggung oleh KPK, sedangkan biaya atas kapasistas rekaman berupa HLR dan PSTN ditanggung oleh penyelenggara telekomunikasi.

Demikian mekanisme penyadapan yang dilakukan oleh KPK dalam mengungkap kasus korupsi sebagaimana telah diatur dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang KPK serta Peraturan menteri Komunikasi dan Informasi Nomor: 11/PERM.KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi.

Catan : pada Bab ini sdr menguraikan aspek hukum penyadapan untuk dijadikan bukti dan mekanisme penyadapan, sedangkan permasalahan pertama sdr tentang kewenangan KPK, oleh sesbab itu coba sdr lihat kembali apakah dapat menjawab prmaslahan pertama sdr.


(37)

HASIL PENYADAPAN KPK SEBAGAI ALAT BUKTI

DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM ACARA PIDANA DAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI

DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi telah melahirkan beragam jasa dengan berbagai fasilitasnya di bidang telekomunikasi, seiring dengan kecanggihan produk-produk teknologi informasi sehingga mampu mengintegrasikan semua media informasi. Munculnya internet yang mengiringi globalisasi komunikasi (global communication network) telah membuat dunia menjadi tanpa batas (borderless) serta menyebabkan perubahan sosial, budaya, ekonomi dan pola penegakan hukum yang secara signifikan berlangsung cepat. Namun demikian, kondisi di Indonesia yang sedang tumbuh dan berkembang menuju masyarakat industri yang berbasis teknologi informasi, dalam beberapa hal masih tertinggal. Hal ini disebabkan karena masih relatif rendahnya sumber daya manusia di Indonesia dalam mengikuti perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi tersebut.


(38)

Perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi saat ini telah memberikan manfaat bagi masyarakat di dunia, antara lain memberi kemudahan dalam berinteraksi tanpa harus berhadapan secara langsung satu sama lain. Kenyataan lain saat ini, perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi

sering kali disalahgunakan oleh masyarakat, termasuk di Indonesia untuk atau menimbulkan suatu perbuatan yang melawan hukum. Oleh karena itu,

diperlukan regulasi di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi yang dapat menindaklanjuti semua permasalahan hukum yang timbul akibat penyalahgunaan teknologi informasi dan telekomunikasi di atas. Saat ini telah ada beberapa regulasi dalam hukum positif Indonesia di bidang tersebut, diantaranya Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun demikian, masih saja muncul kendala dalam penerapannya, karena terkadang antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya tidak sejalan atau saling bertentangan, sehingga banyak menimbulkan tafsir hukum yang berbeda-beda dari para penegak hukum di Indonesia.

Penyalahgunaan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi ini telah muncul dalam berbagai bidang kehidupan, baik dalam transaksi secara elektronik (e-commerce) maupun tindak pidana yang dilakukan di dunia maya (cybercrime), tidak terkecuali dalam proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Tindak pidana korupsi yang semakin meluas di berbagai bidang telah menjadikan


(39)

korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes)1. Selain itu, korupsi juga telah merugikan keuangan negara dan berdasarkan hasil penelitian, Bank Dunia menyatakan bahwa kebocoran dana pembangunan mencapai 45%.2

Ada beberapa kasus yang mengindikasikan penyalahgunaan fasilitas komunikasi tersebut yang berhasil disadap oleh KPK, antara lain kasus Artalyta Suryani sebagai Tersangka pada tindak pidana percobaan penyuapan

terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan dalam rangka meloloskan Syamsul Nursalim Pesatnya fasilitas telekomunikasi di Indonesia selain memberi manfaat bagi masyarakat namun juga banyak terjadi penyalahgunaan yang menimbulkan kejahatan baru.

Kemudahan yang diberikan dalam berkomunikasi telah menimbulkan realitas bahwa banyak pihak yang menyalahgunakan kesempatan termaksud untuk melakukan perbuatan melawan hukum melalui fasilitas komunikasi ini. Saat ini, telah ada sebuah lembaga independen yang dibuat berdasarkan undang-undang, yakni Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut KPK), yang dilandasi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada perkembangannya, KPK telah mampu mengungkap beberapa kasus korupsi di Indonesia, dengan berbagai alat bukti termasuk alat bukti berupa hasil penyadapan komunikasi dari para pelakunya yang telah menyalahgunakan fasilitas komunikasi ini untuk melakukan kejahatan.

2

Junaedi, Komisi Anti Korupsi di Negeri Sarat Korupsi dan Birokrasi yang Serba “Komisi”,


(40)

sebagai Tersangka pada kasus BLBI Bank Dagang Nasional Indonesia, dengan cara meminta dikeluarkannya Surat Penghentian Penyelidikan Perkara (SP3) dan memang Kejaksaan Agung mengeluarkan SP3 tersebut, dalam hal ini KPK dapat mengungkap percobaan penyuapan itu dengan adanya bukti percakapan antara Artalyta Suryani dengan pejabat Kejaksaan Agung melalui telepon yang berhasil disadap oleh KPK, sehingga Artalyta dan Jaksa Urip Tri Gunawan dapat segera ditangkap. Sebelum berbicara mengenai hasil penyadapan sebagai alat bukti, tentu saja harus dilihat sampai sejauh mana kewenangan KPK dapat melakukan penyadapan terhadap percakapan seseorang secara pribadi melalui fasilitas komunikasi ini, karena keabsahan kewenangan KPK ini menentukan pula keabsahan hasil penyadapan tersebut sebagai alat bukti. Beberapa pihak berpendapat bahwa interception atau penyadapan yang dilakukan oleh KPK tersebut telah melanggar hak privacy individu sebagai bagian dari hak asasi manusia, karena KPK telah masuk pada wilayah pribadi seseorang.

Pendapat tersebut didasari adanya ketentuan Konvensi Eropa Tahun 1958 tentang Perlindungan HAM, Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas penghormatan terhadap kehidupan pribadi atau keluarganya, rumah tangganya dan surat-menyuratnya. Catatan: Sumbernya cantumkan

Selanjutnya Kovenan Internasional Tentang hak Sipil dan Politik Tahun 1966, yang menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat sewenang-wenang atau secara tidak sah mencampuri masalah pribadi, keluarga, rumah atau korespondensinya.3

3

Pasal 17 Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik Tahun 1966.


(41)

Dasar 1945 ditegaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang, begitu pula dalam Pasal 73 Undang-Undang Hak Asasi Manusia menegaskan hal yang sama. Selain itu, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan tindakan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun, kecuali untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi yang menyatakan bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan/atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Selanjutnya pada Bab VII mengenai perbuatan yang dilarang, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) menegaskan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan atu dokumen elektronik dalam suatu computer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, dan berdasarkan Pasal 47 UU ITE mengatur tentang sanksi pidana bagi yang memenuhi unsur-unsur pasal 31 ayat (1) di atas. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa penyadapan sah dilakukan dengan mendasakan pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 Tentang KPK menyebutkan bahwa dalam rangka


(42)

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Ketentuan ini menegaskan bahwa penyadapan dapat dilakukan dalam tiga tahap proses pro justisia pada perkara luar biasa (extra ordinary cases), termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana penyuapan.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, terlihat bahwa adanya ketidaksesuaian antara beberapa peraturan mengenai tindakan penyadapan, sehingga sampai saat ini kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan pun masih menjadi kontroversi di masyarakat dan hal ini sangat mempengaruhi tahap selanjutnya yaitu menjadikan hasil penyadapan tersebut sebagai alat bukti pada proses peradilan pidana. Pada praktik hukum di Indonesia, terdapat ketentuan hukum mengenai alat bukti, yakni diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP). Pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP ditetapkan mengenai alat bukti yang sah adalah :

1. keterangan saksi; 2. keterangan ahli; 3. surat;

4. petunjuk;

5. keterangan terdakwa.

Ketentuan mengenai alat bukti di atas merupakan ketentuan hukum acara pidana yang bersifat memaksa (dwingen recht), artinya semua jenis alat bukti


(43)

yang telah diatur dalam pasal tersebut tidak dapat ditambah atau dikurangi.4

4

Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Perdata dan Pidana), Citra Aditya Bhakti, Jakarta, 2006, hal. 181. (Halaman ini kalimat panjang)

Apabila dilihat dari ketentuan Pasal 184 ayat (1) di atas, hasil penyadapan bukan merupakan salah satu dari alat bukti yang diakui sah secara hukum. Sementara itu, pada Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ditegaskan bahwa hasil rekaman termasuk alat bukti petunjuk. Di samping itu, Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti yang sah sebagai perluasan dari alat bukti yang sah sesuai menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, terdapat berbagai ketentuan hukum yang menimbulkan tafsir hukum berbeda-beda diantara para penegak hukum di Indonesia mengenai keabsahan hasil penyadapan oleh KPK menjadi suatu alat bukti pada proses peradilan pidana, termasuk dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana penyuapan seperti kasus Artalyta yang telah diuraikan di atas, sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary cases), di satu sisi tindakan penyadapan yang dilakukan KPK terhadap percakapan Artalyta dianggap melanggar hak individu seseorang, namun di sisi lain dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi sangat diperlukan upaya pembuktian yang mendukung diantaranya menjadikan hasil penyadapan itu sebagai alat bukti dalam proses peradilan pidana tersebut, sehingga adanya kesenjangan


(44)

antara ketentuan hukum yang ada (das sollen) dengan kenyataan di masyarakat (das sein)

Sampai saat ini, belum ada tulisan ilmiah (skripsi) yang secara khusus membahas mengenai hasil penyadapan sebagai alat bukti pada proses peradilan, oleh karena itu, Peneliti tertarik untuk mencoba membahas hal tersebut, yang dituangkan dalam bentuk skripsi berjudul “Hasil Penyadapan Komisi

Pemberantasan Korupsi Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif KUHAP Dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dirumuskan identifikasi masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana ketentuan hukum tentang kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan untuk dijadikan sebagai alat bukti?

2. Apakah rekaman pembicaraan hasil penyadapan KPK mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang – undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan untuk dijadikan sebagai alat bukti.


(45)

2. Manfaat

a. Secara Teoritis

Diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan ilmu hukum pidana umumnya.

b. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi dan agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang kekuatan pembuktian hasil penyadapan KPK yang diatur melalui peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang terkait di Indonesia. Penelitian ini juga sedapat mungkin dilakukan agar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan-persyaratan formal sebagai suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan/ditegakkan dalam kenyataannya.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Hasil Penyadapan KPK Sebagai Alat Bukti Dalam

Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik”

belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut “asli” sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur,


(46)

rasional, dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Bila di kemudian hari ternyata telah ada skripsi yang sama, maka penulis bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Sistem atau Teori Pembuktian

Di dalam teori dikenal adanya 4 sistem pembuktian, yakni sebagai berikut :5

1. Sistem Pembuktian Semata-mata Berdasar Keyakinan Hakim (Convictim in Time)

Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan

disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim, dan langsung menarik keyakinan dari

5

M. Taufik Makarso dan Suharsil, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 103-106.


(47)

keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini mengandung kelemahan, karena hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Sistem ini seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.6 Menurut Andi Hamzah, sistem ini dianut oleh peradilan jury di Perancis. Praktek peradilan jury di Perancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan bebas yang aneh.7

Pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun.8

6

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Jilid II, Pustaka Kartini, Jakarta, 1993, hal. 797-798.

7

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV. Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996, hal. 260.

8

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1974, hal. 75.


(48)

2. Sistem Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Logis (La Conviction Raisonnee/ Convictim-Raisonee)

Dalam sistem inipun dapat dikatakan, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian convictim in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem ini, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima oleh akal. Tidak semata-mata dasar keyakinan tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.9

3. Sistem Pembuktian Berdasar Undang-undang Secara Positif

Disebut demikian karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal.

Menurut M. Yahya Harahap, sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut undang-undang positif lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum,

9


(49)

artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.10

4. Sistem Pembuktian Berdasar Undang-undang Secara Negatif

Sistem ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suat tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ini cukup, maka baru dipersoalkan tentang atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.11

D. Simons mengemukakan, dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs

theorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda

10

Ibid., hal. 799.

11


(50)

(dubbel en grondslag), yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-undang.12

Wirjono Prodjodikoro berpendapat, bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan aturan yang mengikat hakim dan menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu harus dituruti oleh hakim dalam melakukan peradilan.13

Hal lain berkaitan dengan keyakinan hakim ini adalah seperti apa yang disebutkan dalam Pasal 158 KUHAP, hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.14

2. Macam-macam Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian

Bagaimanapun diubah-ubah, alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian dalam KUHAP masih tetap sama dengan yang tercantum

dalam HIR yang pada dasarnya sama dengan ketentuan dalam

12

Andi Hamzah., Op.Cit, hal. 234. Perhatikan cara pengutipannya

13

Wirjono Prodjodikoro., Op.Cit, hal. 77.

14


(51)

Ned. Strafvordering yang mirip pula dengan alat bukti di negara-negara

Eropa Kontinental.

Apabila dibandingkan dengan KUHAP, maka di sini tampak tidak semua pembaharuan ini ditiru oleh KUHAP.15

a. Keterangan Saksi

Adapun alat-alat bukti yang dimaksud sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 184 KUHAP ialah :

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.16 Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penututan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.17

Pada dasarnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Dapat dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari alat bukti keterangan saksi. Jika suatu tindak pidana sudah dibuktikan dengan alat bukti yang lain, sekurang-kurangnya masih tetap diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Catatan Peharikan pengetikan awal paragraf

15

Hendrastanto Yudowidagdo, Anang Suryanata Kesuma, Sution Usman Adji, dan Agus Ismunarto, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 241.

16

Pasal 1 butir (27) KUHAP; juga Pasal 1 butir 28 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

17

Pasal 1 butir (26) KUHAP; juga Pasal 1 butir (27) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.


(52)

Agar sahnya keterangan saksi ini sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian, maka :

a. saksi harus mengucapkan sumpah;

b. keterangan saksi mengenai perkara pidana yang dilihat sendiri, didengar sendiri, dialami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya;

c. keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan;

d. keterangan satu saksi harus didukung alat bukti yang sah lainnya;

e. keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan yang digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau kealpaan tertentu. Baik pendapat umum maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

f. Adanya: (a) persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; (b) persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain; (c) alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu; (d) cara hidup dan kesusilaan saksi, serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.


(53)

Dengan demikian, menurut Pasal 185 ayat 7 KUHAP, keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Penjelasan Pasal 185 ayat (5) dikaitkan dengan HIR disebut juga kesaksian persetujuan dan berhubungan, atau dikenal juga dengan istilah kesaksian berantai. Menurut S.M Amin, kesaksian berantai ada dua macam :

1. Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam satu perbuatan; 2. Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam beberapa

perbuatan.18

b. Keterangan Ahli

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.19

Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

20

18

S.M Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal. 112-113.

19

Pasal 1 butir 28 KUHAP; juga Pasal 1 butir 29 Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

20

Pasal 186 KUHAP.

Catatan : Perhatikan pengetikan awal paragraf

Penjelasan Pasal ini mengatakan, keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau


(1)

Transaksi Elektronik, yang akan mendiskripsikan kekuatan pembuktian hasil penyadapan sebagai alat bukti berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan tindakan penyadapan oleh KPK menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

BAB IV : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.


(2)

ABSTRAK

Pada perkembangannya, KPK telah mampu mengungkap beberapa kasus korupsi di Indonesia, dengan berbagai alat bukti termasuk alat bukti berupa hasil penyadapan komunikasi dari para pelakunya yang telah menyalahgunakan fasilitas komunikasi ini untuk melakukan kejahatan. Beberapa pihak berpendapat bahwa

interception atau penyadapan yang dilakukanoleh KPK tersebut telah melanggar

hak privacy individu sebagai bagian dari hak asasi manusia, karena KPK telah masuk pada wilayah pribadi seseorang. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, terlihat bahwa adanya ketidaksesuaian antara beberapa peraturan mengenai tindakan penyadapan, sehingga sampai saat ini kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan pun masih menjadi kontroversi di masyarakat dan hal ini sangat mempengaruhi tahap selanjutnya yaitu menjadikan hasil penyadapan tersebut sebagai alat bukti pada proses peradilan pidana. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai Bagaimana kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan untuk dijadikan alat bukti berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan Apakah rekaman pembicaraan hasil penyadapan KPK mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the

book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan

(law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

KPK yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan atas kasus korupsi di Indonesia, dalam perkembangannya KPK telah berhasil mengungkap beberapa kasus korupsi di Indonesia. Salah satu tindakan KPK dalam menyidik kasus korupsi adalah melalui penyadapan. Tindakan penyadapan mempunyai beberapa dasar hukum dan pertimbangan, antara lain Pasal 12 huruf (a) Undang-undang KPK mengatur tindakan penyadapan sebagai bagian dari tindakan yang boleh dilakukan oleh Tim KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Rekaman pembicaraan hasil penyadapan KPK mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, karena hasil penyadapan tersebut merupakan bagian dari informasi elektronik, sehingga hasil penyadapan merupakan salah satu alat bukti yang sah secara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) undang ITE, selain itu disebutkan pula dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-undang ITE bahwa hasil penyadapan sebagai informasi elektronik yang dianggap sah secara hukum sebagai alat bukti merupakan perluasan dari ketentuan alat bukti sesuai hukum acara yang berlaku, dalam hal ini Pasal 184 KUHAP, khususnya sebagai alat bukti petunjuk, sehingga hasil penyadapan yang dilakukan oleh KPK memiliki kekuatan pembuktian menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) termaksud.


(3)

HASIL PENYADAPAN KPK SEBAGAI ALAT BUKTI

DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM ACARA PIDANA DAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI

DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhui dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

TONDY ELIA SIANTURI

NIM : 060200204

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 1 1


(4)

ABSTRAK

Pada perkembangannya, KPK telah mampu mengungkap beberapa kasus korupsi di Indonesia, dengan berbagai alat bukti termasuk alat bukti berupa hasil penyadapan komunikasi dari para pelakunya yang telah menyalahgunakan fasilitas komunikasi ini untuk melakukan kejahatan. Beberapa pihak berpendapat bahwa

interception atau penyadapan yang dilakukanoleh KPK tersebut telah melanggar

hak privacy individu sebagai bagian dari hak asasi manusia, karena KPK telah masuk pada wilayah pribadi seseorang. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, terlihat bahwa adanya ketidaksesuaian antara beberapa peraturan mengenai tindakan penyadapan, sehingga sampai saat ini kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan pun masih menjadi kontroversi di masyarakat dan hal ini sangat mempengaruhi tahap selanjutnya yaitu menjadikan hasil penyadapan tersebut sebagai alat bukti pada proses peradilan pidana. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai Bagaimana kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan untuk dijadikan alat bukti berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan Apakah rekaman pembicaraan hasil penyadapan KPK mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the

book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan

(law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

KPK yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan atas kasus korupsi di Indonesia, dalam perkembangannya KPK telah berhasil mengungkap beberapa kasus korupsi di Indonesia. Salah satu tindakan KPK dalam menyidik kasus korupsi adalah melalui penyadapan. Tindakan penyadapan mempunyai beberapa dasar hukum dan pertimbangan, antara lain Pasal 12 huruf (a) Undang-undang KPK mengatur tindakan penyadapan sebagai bagian dari tindakan yang boleh dilakukan oleh Tim KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Rekaman pembicaraan hasil penyadapan KPK mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, karena hasil penyadapan tersebut merupakan bagian dari informasi elektronik, sehingga hasil penyadapan merupakan salah satu alat bukti yang sah secara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) undang ITE, selain itu disebutkan pula dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-undang ITE bahwa hasil penyadapan sebagai informasi elektronik yang dianggap sah secara hukum sebagai alat bukti merupakan perluasan dari ketentuan alat bukti sesuai hukum acara yang berlaku, dalam hal ini Pasal 184 KUHAP, khususnya sebagai alat bukti petunjuk, sehingga hasil penyadapan yang dilakukan oleh KPK memiliki kekuatan pembuktian menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) termaksud.


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan dan manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

1. Sistem atau Teori Pembuktian ... 10

2. Macam-macam Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian 14 3. Pengertian Penyadapan (Wiretapping) ... 22

4. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 28

5. Tugas, Wewenang, dan Kewajiban KPK ... 29

F. Metode Penelitian ... 31

1. Jenis Penelitian ... 31

2. Jenis Data dan Sumber Data... 31

3. Metode Pengumpulan Data ... 33

4. Analisa Data ... 34

G. Sistematika Penulisan ... 34


(6)

BAB II : ASPEK HUKUM TENTANG PENYADAPAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERADILAN KASUS

KORUPSI... 35

A. Aspek Hukum Tindakan Penyadapan ... 35

H. Mekanisme Penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ... 44

BAB III : ANALISIS HUKUM MENGENAI HASIL PENYADAPAN OLEH KPK SEBAGAI ALAT BUKTI DIHUBUNGKAN DENGAN KUHAP DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK ... 50

A. Kekuatan Pembuktian Hasil Penyadapan Sebagai Alat Bukti Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana... 50

B. Tindakan Penyadapan oleh KPK Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ... 57

C. Kasus-kasus Terkait Tindakan Penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ... 63

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 69


Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Penyadapan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Alat Bukti Ditinjau Dari Udang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 7 1

Tinjauan Hukum Mengenai Kekuatan Pembuktian Secara elektronik Dalam Perkara Cyber Crime Dihubungkan Dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

1 10 29

IDENTIFIKASI TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008)

0 5 16

IDENTIFIKASI TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008)

1 12 77

DATA ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

2 21 96

Kedudukan Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti Di Pengadilan Setelah Berlakunya Undang Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

1 1 17

TINDAK PIDANA CYBER CRIME DALAM PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

1 1 65

TINDAK PIDANA CYBER CRIME DALAM PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

2 8 65

CYBER CRIME DALAM BENTUK PHISING DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM.

0 1 104

SITUS LAYANAN PEMBUNUH BAYARAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

0 0 16