106
Sosiologi Kelas X
4. Ketidaksepadanan Pesan Lembaga Sosialisasi
Jika ada teman yang membolos sekolah, apakah yang terlintas di benakmu? Sebagian besar kalian
menganggap tindakan membolos sekolah merupakan perbuatan yang tidak baik. Ini tidak sesuai dengan pesan
yang diberikan orang tua tatkala kita berpamitan mau berangkat sekolah. Coba kalian ingat pesan beliau. Tentu
tidak ada ayah dan ibu yang menyarankan anaknya untuk membolos. Meninggalkan pelajaran tanpa izin juga tidak
sesuai dengan peraturan sekolah. Perhatikan tata tertib sekolah lebih rinci. Kalian pasti tidak akan menemukan
aturan yang membenarkan tindakan bolos sekolah.
Artinya, bagi orang tua dan sekolah, membolos bukanlah perbuatan yang dianggap baik dan benar.
Sehingga siswa tidak dididik untuk melakukannya. Lantas, dari mana siswa mendapat ide untuk membolos sekolah?
Sering siswa mendapatkan ide untuk meninggalkan pelajaran tanpa izin dari pergaulannya dengan teman.
Berkumpul dengan teman sepermainan memang meng- asyikkan. Banyak hal yang dapat diungkapkan dan dilakukan bersama
teman sepermainan. Ini disebabkan karena adanya hubungan yang akrab di antara anggotanya. Dalam hubungan yang akrab itulah sering muncul
ide untuk melakukan tindakan yang tidak lazim, bahkan melanggar nilai dan norma sosial. Membolos sekolah contohnya. Bersama teman
sepermainan, mereka meninggalkan pelajaran tanpa izin.
Keluarga, sekolah, dan teman sepermainan merupakan lembaga- lembaga sosialisasi. Namun, berpijak pada fenomena bolos sekolah,
kalian mengetahui adanya ketidaksamaan pesan yang disampaikan suatu lembaga sosialisasi dengan lembaga sosialisasi yang berbeda.
Sesuatu yang diajarkan keluarga dan sekolah ternyata berbeda dengan yang diajarkan teman sepermainan. Hal semacam itu dapat pula
ditemukan ketika membanding-bandingkan pesan dari lembaga-lembaga sosialisasi yang lain. Kelakuan yang dilarang keluarga maupun sekolah,
seperti merokok, mabuk-mabukan, pelanggaran susila, atau penyalah- gunaan narkoba bisa saja dipelajari individu dari lembaga sosialisasi
lain seperti media massa.
Individu yang mendapat pesan berbeda atau bahkan bertentangan cenderung mengalami konflik pribadi. Lahirnya konflik pribadi itu disebab-
kan karena dia merasa diombang-ambingkan oleh lembaga sosialisasi yang berlainan sehingga tidak mempunyai pedoman sikap yang mantap.
Misalnya, sekolah berusaha mendorong siswa untuk menaati aturan sekolah, mengukir prestasi, dan berlaku jujur. Akan tetapi, ada teman
sepermainan yang mendorong siswa untuk berbuat curang saat ujian atau memalsukan tanda tangan teman pada daftar hadir. Siswa tersebut
akan sulit bersikap secara tepat. Ketika dia bertindak seperti yang dipelajari dari keluarga dan sekolah, dia mungkin akan dikucilkan teman
sepermainan. Namun, ketika dia bertindak seperti yang dipahamkan oleh teman-teman sepermainan, dia akan dikecam oleh keluarga dan sekolah.
Gambar 4.5
Orang tua menasihati anaknya agar tidak membolos. Namun,
teman sepergaulan meng- ajaknya membolos.
Di unduh dari : Bukupaket.com
107
Sosialisasi dan Pembentukan Kepribadian
Konflik pribadi pun akan terjadi manakala seseorang tengah menjalani sosialisasi untuk menjalankan peran baru, namun aturan-
aturan baru yang disosialisasikan berbeda dengan aturan yang sudah pernah dipahami. Misalnya, seseorang bertugas sebagai petugas
pemeriksa pajak. Selama belajar di kampus, orang tersebut aktif di organisasi keagamaan sehingga dia berhasil menumbuhkan sikap
antikorupsi. Dia berjanji kepada diri sendiri untuk tidak melakukan korupsi selama bekerja nanti. Akan tetapi setelah memasuki dunia kerja,
dia menemui lingkungan kerja yang lekat dengan budaya korupsi. Kadang kala justru tawaran korupsi dibuka oleh perusahaan-perusahaan yang
memanipulasi datanya agar dapat membayar pajak lebih murah. Sebagian rekan yang lain merasa bahwa tindakan korupsi adalah hal
lumrah. Bahkan itu dianggap sebagai bagian dari pekerjaan yang dilakoni. Tawaran itu pun akhirnya datang kepada orang yang antikorupsi.
Dia mengalami konflik pribadi yang menghadapkannya pada dua pilihan. Apabila mempertahankan sikapnya yang antikorupsi, dia akan
disingkirkan dari lingkungan kantor. Kondisi ini akan mendatangkan kesulitan baginya dalam menyelesaikan tugas. Kariernya pun terhambat.
Sedangkan jika dia berkompromi dengan teman-teman yang lain, dia harus mengubah nilai dan norma antikorupsi yang sudah tertanam di
jiwanya.
Mengamati Resosialisasi di LP
Para narapidana ditahan di lembaga pemasyarakatan karena mereka telah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Di lembaga pemasyarakatan, mereka menjalani
resosialisasi agar dapat kembali ke masyarakat sebagai orang yang tidak akan melanggar nilai dan aturan sosial lagi. Bagaimana sebenarnya proses resosialisasi di lembaga
pemasyarakatan itu?
Untuk dapat mengetahui lebih dalam, cobalah kalian mengamati resosialisasi yang berlangsung di lembaga pemasyarakatan kotamu. Mintalah keterangan dari petugas
lembaga pemasyarakatan tentang tujuan, cara, dan proses yang dialami para narapidana. Jika memungkinkan, wawancarailah sebagian narapidana yang ada tentang pengalaman
dan kesannya selama resosialisasi. Melalui pengamatan ini, kalian mengetahui apa dan bagaimana resosialisasi yang berlangsung di salah satu institusi total. Lakukan kegiatan
ini secara kelompok. Tulislah hasilnya dalam bentuk laporan. Kemudian, presentasikan di depan kelas.
Di unduh dari : Bukupaket.com
108
Sosiologi Kelas X
Sejumlah ahli menggolongkan sosialisasi ke dalam dua kelompok, yaitu sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatif. Sosialisasi represif
menekankan pada kepatuhan individu terhadap nilai dan norma sosial yang berlaku. Untuk mendapatkan kepatuhan setiap orang, maka hukum-
an yang membuat jera dianggap sebagai jalan keluarnya. Agar tidak dijatuhi hukuman, warga kemudian bersikap sesuai aturan.
Berbeda halnya dengan sosialisasi partisipatif. Di sini warga diharapkan mematuhi nilai dan norma sosial karena dia memahami arti
penting kedua hal tersebut. Dengan demikian, kepatuhan warga dibangun bukan di atas rasa takut terhadap hukuman, melainkan dibangun di
atas kesadaran akan keutamaan nilai dan norma sosial tersebut. Sosialisasi partisipatif berusaha membangun kesadaran setiap individu.
Ketika kita membandingkan kedua sosialisasi itu, kita dapat menemukan bahwa sosialisasi partisipatif lebih unggul daripada
sosialisasi represif. Sosialisasi represif hanya melahirkan kepatuhan semu warga masyarakat terhadap aturan yang berlaku. Bahkan tidak
jarang sosialisasi represif juga membawa penyesalan panjang.
B. Pembentukan Kepribadian