Hubungan Antara Tingkat Aksesibilitas Dengan Kesejahteraan Masyarakat Dan Kinerja Wilayah Kabupaten Atau Kota Di Provinsi Jawa Barat

(1)

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT AKSESIBILITAS DENGAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAN KINERJA WILAYAH

KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA BARAT Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Dalam Menempuh Program Studi Strata-1

Oleh:

Erwin Dwi Putra Simatupang 1.06.11.017

JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA 2015


(2)

KATA PENGANTAR

Tidak ada kata yang paling tepat untuk mengungkapkan rasa syukur terhadap seluruh hasil yang telah diraih ini, melainkan ucapan puji serta syukur (Alhamdulillah) kepada Allah yang telah mencurahkan rahmat serta kasih saying-Nya kepada kita semua. Hamba yang lemah ini sekali-kali tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini kalau seandainya tanpa ada pertolongan dari-Nya. Tak lupa juga, shalawat serta salam semoga Allah Swt. limpahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw. berserta keluarganya yang suci dan juga para sahabatnya yang mulia. Merupakan salah satu karunia-Nya yang besar dimana penulis diberi kekuatan sehingga dapat menyelesaikan laporan skirpsi ini, yang disusun sebagai salah satu syarat dalam menempuh Strata-1 di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM). Banyak pihak yang secara langsung maupun tidak langsung turut membantu dalam proses penyusunan laporan skripsi ini. Tanpa dukungan dan doa mereka semua, sangat sulit dibayangkan bahwa laporan skripsi ini akan dapat diselesaikan. Oleh karena itu di dalam bagian kata pengantar ini penulis secara khusus ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang tulus dan tak terhingga kepada:

1. Kedua orang tua tercinta, terima kasih atas segala do’a, dukungan dan usahanya. Tanpa lelah dan keluh tetap berusaha untuk menjadikan anak-anaknya (termasuk penulis) agar dapat menjadi orang yang bemanfaat bagi semua orang. Semoga Allah tetap menjaga keduanya selalu dalam rahmat dan kasih saying-Nya.

2. Romeiza Syafriharti, Ir, M.T. selaku dosen pembimbing Tugas Akhir yang dengan penuh perhatian, kesabaran dan toleransinya dari awal-awal penyusunan hingga saat-saat dimana penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi ini. Semoga Allah membalas jasa beliau dengan berbagai anugerah agung-Nya.

3. Tatang Suheri, S.T., M.T. yang banyak memberikan masukan berharga kepada penulis. Semoga Allah membalas jasa beliau dengan berbagai anugerah luhur-Nya.


(3)

4. Dr. Ir. Lia Warlina, M.Si. selaku dosen penguji ketika sidang dan sekaligus sebagai dosen wali bagi angkatan kami di Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota UNIKOM 2011, terimakasih atas bahan-bahan masukan berharganya. Semoga Allah mengabulkan seluruh cita-cita beliau.

5. Rifiati Safariah, S.T., M.T. selaku Ketua Program Studi Wilayah dan Kota yang selalu mengarahkan dan membimbing anak-anak didiknya. Semoga Allah mengabulkan seluruh cita-cita beliau.

6. Seluruh staf pengajar maupun pegawai di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota UNIKOM yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu per satu. Semoga Allah mengabulkan seluruh cita-cita mereka semua. 7. Segenap rekan-rekan Mahasiswa Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota,

khususnya angkatan 2011 yang selalu mendukung satu sama lain. Semoga Allah memudahkan setiap langkah kalian semua dalam meraih cita-cita yang luhur.

8. Seluruh teman kost Pipih Subardi, yang di tempat itulah penulis banyak menghabiskan waktu bersama, berdiskusi, serta bertukar pengalaman hidup. Terimakasih banyak atas do’a serta dukungannya kepada penulis. Semoga Allah selalu mencurahkan karunia-Nya kepada kalian semua.

9. Seluruh saudara dan teman di lingkungan tempat tinggal serta siapapun dari mereka yang mengenal penulis secara langsung, terimakasih atas do’a dan mungkin hal berharga apapun yang dapat penulis ambil ketika mengenal kalian semua. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada kalian semua sebanyak rintikan air hujan yang turun.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan skripsi ini masih banyak kekurangan yang mungkin ditemukan di dalamnya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan berbagai masukan, kritik dan saran yang tentunya dapat bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai bahan pelajaran yang lebih baik bagi penulis. Tiadalah kesempurnaan itu, melainkan hanya milik Allah Swt. Semoga apa yang disajikan dalam laporan ini dapat memberikan manfaat bagi mereka yang membacanya.


(4)

Bandung, 22 Agustus 2015

Erwin Dwi Putra Simatupang NIM: 1.06.11.017


(5)

DAFTAR ISI

ABSTAK ... Error! Bookmark not defined. KATA PENGANTAR ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR ISI ... v DAFTAR TABEL ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR GAMBAR ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR LAMPIRAN ... Error! Bookmark not defined. BAB 1 PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined. Latar Belakang ... Error! Bookmark not defined. Perumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined. Tujuan dan Sasaran ... Error! Bookmark not defined. Ruang Lingkup Studi ... Error! Bookmark not defined. 1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah ... Error! Bookmark not defined. 1.4.2 Ruang Lingkup Materi ... Error! Bookmark not defined. Metodologi Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 1.5.1 Teknik Pengumpulan Data ... Error! Bookmark not defined. 1.5.2 Metode Analisis Data ... Error! Bookmark not defined. Kerangka Pemikiran ... Error! Bookmark not defined. Sistematika Pembahasan ... Error! Bookmark not defined. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. Aksesibilitas ... Error! Bookmark not defined. Transportasi dan Komponen Sistem RegionalError! Bookmark not defined.

Prasarana Wilayah dan Kota ... Error! Bookmark not defined. 2.3.1 Prasarana Jalan ... Error! Bookmark not defined.


(6)

2.3.2 Prasarana Terminal... Error! Bookmark not defined. 2.3.3 Prasarana Pelabuhan... Error! Bookmark not defined. Kesejahteraan Masyarakat ... Error! Bookmark not defined. Kinerja Ekonomi Wilayah ... Error! Bookmark not defined. 2.5.1 Pendapatan Regional/Nilai Tambah . Error! Bookmark not defined. Penelitian Terdahulu ... Error! Bookmark not defined.

BAB 3 GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARATError! Bookmark

not defined.

Luas Wilayah ... Error! Bookmark not defined. Adminsitratif Provinsi Jawa Barat ... Error! Bookmark not defined. Kependudukan Provinsi Jawa Barat ... Error! Bookmark not defined. Tingkat Aksesibilitas di Jawa Barat ... Error! Bookmark not defined. 3.4.1 Prasarana Transportasi di Jawa BaratError! Bookmark not defined.

3.4.2 Indeks Aksesibilitas ... Error! Bookmark not defined. Kesejahteraan Masyarakat di Jawa Barat Error! Bookmark not defined. Kinerja Wilayah di Jawa Barat ... Error! Bookmark not defined.

BAB 4 PEMBAHASAN HUBUNGAN ANTARA TINGKAT

AKSESIBILITAS DENGAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAN

KINERJA WILAYAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT ... Error! Bookmark not defined.

Analisis Tingkat Aksesibilitas Berdasarkan Ketersediaan Prasarana Transportasi ... Error! Bookmark not defined.

4.1.1 Kualitas Jalan ... Error! Bookmark not defined. 4.1.2 Jumlah dan Tipe Terminal ... Error! Bookmark not defined. 4.1.3 Ketersediaan Pelabuhan ... Error! Bookmark not defined. Analisis Tingkat Aksesibilitas Berdasarkan Indeks Aksesibilitas .. Error! Bookmark not defined.


(7)

4.2.1 Indeks Aksesibilitas Terhadap Ibukota ProvinsiError! Bookmark not defined.

4.2.2 Indeks Aksesibilitas Terhadap Ibukota NasionalError! Bookmark not defined.

Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi Jawa BaratError! Bookmark not defined.

Kinerja Wilayah Provinsi Jawa Barat... Error! Bookmark not defined. Analisis Hubungan Tingkat Aksesibilitas dengan Kesejahteraan Masyarakat ... Error! Bookmark not defined.

Hubungan Tingkat Aksesibilitas dengan Kinerja Wilayah di Jawa Barat Error! Bookmark not defined.

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... Error! Bookmark not defined.

Kesimpulan ... Error! Bookmark not defined. Rekomendasi ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. LAMPIRAN ... Error! Bookmark not defined.


(8)

BAB 1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Jawa Barat adalah sebuah Provinsi di Indonesia, yang mana ibukotanya berada di Kota Bandung. Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor: 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU No.11 Tahun 1950, tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat merupakan Provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia dan pada tahun 2000, Provinsi Jawa Barat dimekarkan dengan berdirinya Provinsi Banten, yang berada di bagian barat (Database SIAK Provinsi Jawa Barat Tahun 2011).

Jawa Barat terdiri dari 27 kabupaten/kota, meliputi 18 kabupaten dan 9 kota. Jumlah kecamatan yang ada di Provinsi Jawa Barat adalah sebanyak 626, daerah perkotaan sebanyak 2.671 dan 3.291 daerah perdesaan. Secara geografis, Provinsi Jawa Barat terletak di antara 5ﹾ50'-7ﹾ50' Lintang Selatan dan 104ﹾ48'-108ﹾ48' Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya (BPS Provinsi Jawa Barat, 2014):

 sebelah Utara, berbatasan dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta;

 sebelah Timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah;

 sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudra Indonesia;


(9)

Gambar 1.1

Peta Administratif Provinsi Jawa Barat Sumber: Provinsi Jawa Barat

Dalam kajian ilmu regional terdapat istilah yang disebut dengan keunggulan komparatif (comparative advantage). Keunggulan komparatif dapat berupa kondisi alam, yaitu sesuatu yang sudah given tetapi dapat juga karena usaha-usaha manusia. Ada beberapa faktor yang dapat membuat suatu wilayah bisa mempunyai keunggulan komparatif. Salah satunya yaitu wilayah dengan aksesibilitas tinggi (Tarigan, 2012).

Menurut Black dalam Tamim, (1997) aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan ‘mudah’ atau ‘susah’nya lokasi tersebut dicapai melalui sistem jaringan transportasi. Dengan demikian, prasarana transportasi dapat menjadi unsur yang penting ketika berbicara mengenai aksesibilitas suatu wilayah. Ketersediaan prasarana jalan yang baik, ketersediaan sarana angkutan umum yang baik, ketersediaan pelabuhan, bandara, dll merupakan faktor penting yang akan mempengaruhi aksesibilitas di wilayah tersebut.


(10)

Sering kali suatu wilayah yang memiliki tingkat aksesibilitas tinggi identik dengan kesejahteraan yang tinggi pula. Singapura pada tahun 2012 merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang memiliki nilai IPM tertinggi (0.895) dan berada di urutan 18 dari 187 negara. Oleh karena itu menjadi menarik untuk dikaji apakah terdapat hubungan antara tingkat aksesibilitas dengan kesejahteraan masyarakat dan juga kinerja perekonomian di suatu wilayah.

Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan di atas maka pertanyaan-pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah:

 Bagaimanakah tingkat aksesibilitas di Provinsi Jawa Barat berdasarkan prasarana transportasi dan indeks aksesibilitas?

 Bagaimanakah kesejahteraan masyarakat di Provinsi Jawa Barat berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)?

 Bagaimanakah kinerja ekonomi wilayah kabupaten/kota yang digambarkan melalui PDRB di Provinsi Jawa Barat?

 Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara variabel tingkat aksesibilitas dengan kesejahteraan masyarakat dan juga kinerja wilayah di Provinsi Jawa Barat?

 Tingkat aksesibilitas yang diwakili oleh variabel manakah yang memiliki hubungan dengan kesejahteraan masyarakat dan variabel tingkat aksesibilitas manakah yang memiliki hubungan dengan kinerja perekonomian wilayah?

Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara tingkat aksesibilitas dengan kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dengan sasaran sebagai berikut:

 Teridentifikasinya tingkat aksesibilitas di Provinsi Jawa Barat (dengan dua pendekatan: ketersediaan prasarana transportasi dan indeks aksesibilitas)


(11)

 Teridentifikasinya kesejahteraan masyarakat di Provinsi Jawa Barat yang diwakili oleh PDRB per kapita sebagai indikator makro dan Indeks Pembangunan Manusia

 Teridentifikasinya kinerja perkonomian kabupaten/kota yang digambarkan oleh PDRB di Provinsi Jawa Barat

 Teridentifikasinya hubungan antara tingkat aksesibilitas dengan kesejahteraan masyarakat dan kinerja ekonomi wilayah di Provinsi Jawa Barat

 Teridentifikasinya variabel aksesibilitas (prasarana transportasi/ indeks aksesibilitas) yang memiliki hubungan dengan kesejahteraan masyarakat dan kinerja perekonomian wilayah di Provinsi Jawa Barat

Ruang Lingkup Studi 1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah

Ruang lingkup wilayah di dalam penelitian ini adalah Provinsi Jawa Barat yang meliputi 17 Kabupaten dan 9 kota. Atau dengan kata lain tanpa Kabupaten Pangandaran, karena data yang dipakai di dalam penelitian ini meruapakan data tahun 2011-2012. Sedangkan Kabupaten Pangandaran merupakan pemekaran dari Kabupaten Ciamis, yang diresmikan pada 25 Oktober 2012 melalui UU 21 Tahun 2012.

1.4.2 Ruang Lingkup Materi

Agar penelitian ini dapat terarah dengan jelas, maka menjadi begitu penting penelitian ini dibatasi terhadap materi-materi yang akan dibahas. Dalam hal ini tingkat aksesibilitas diukur dengan menggunakan ketersediaan prasarana transportasi yang meliputi: kualitas jalan; tipe dan jumlah terminal angkutan penumpang; serta jumlah ketersediaan dan tipe pelabuhan. Sedangkan variabel kesejahteraan masyarakat diwakili dengan PDRB per kapita dan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index).

Metodologi Penelitian

Di dalam penelitian ini, terdapat beberapa metode yang dipakai untuk melihat hubungan antara tingkat aksesibilitas dengan kesejahteraan masyarakat dan kinerja


(12)

perekonomian wilayah di Provinsi Jawa Barat. Metode-metode yang dimaksud dijelaskan di dalam sub-subbab berikut ini:

1.5.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data diperlukan untuk mengumpulkan data-data apa saja yang diperlukan di dalam penelitian ini. Secara keseluruhan data yang diperlukan di dalam penelitian ini adalah data sekunder. Kebutuhan data tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1


(13)

Tabel 1.1

Matriks Kebutuhan Data

TUJUAN PENELITIAN SASARAN Metode/variabel Jenis

Data

Cara Memperoleh Data

HUBUNGAN TINGKAT

AKSESIBILITAS DENGAN

KESEJAHTERAAN

MASYARAKAT DAN KINERJA WILAYAH KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA BARAT

 Teridentifikasinya tingkat aksesibilitas wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat

- Indeks Aksesibilitas

(Hansen): employment (jumlah tenaga kerja); jarak/biaya/waktu perjalanan dari i ke j

- Metode lain dengan indikator tingkat aksesibilitas dari sisi prasarana transportasi: panjang dan kondisi jalan; jumlah dan kelas terminal; jumlah dan kelas pelabuhan;

Sekunder

Pengumpulan data dari berbagai sumber: badan, instansi, terbitan atau lembaga terkait

 Teridentifikasinya

kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat

- Human Development Index

(Indeks Pembangunan

Masyarakat)


(14)

TUJUAN PENELITIAN SASARAN Metode/variabel Jenis Data

Cara Memperoleh Data

 Teridentifikasinya kinerja perkonomian kabupaten/kota yang digambarkan oleh PDRB di Provinsi Jawa Barat

- PDRB Per Kapita Sekunder

 Teridentifikasinya hubungan tingkat aksesibilitas dengan kesejahteraan masyarakat dan kinerja perekonomian wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat

- Metode analisis korelasi - -

 Teridentifikasinya variabel aksesibilitas (prasarana transportasi/ indeks aksesibilitas) yang memiliki

hubungan dengan

kesejahteraan masyarakat dan kinerja perekonomian wilayah di Provinsi Jawa Barat


(15)

1.5.2 Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini teknik penelitian yang digunakan adalah teknik statistik inferensial. Teknik penelitian yang biasa digunakan pada penelitian eksplanasi dengan tujuan tidak hanya mendeskripsikan keadaan gejala sosial yang nampak, tetapi lebih jauh ingin melihat hubungan-hubungan kausalitas antara gejala-gejala tersebut (Bungin, 2011).

1. Menghitung Tingkat Aksesibilitas Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

Untuk menghitung tingkat aksesibilitas di setiap kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat, salah satunya peneliti menggunakan indikator ketersediaan prasarana transportasi. Prasarana transportasi yang dipakai untuk mengukur tingkat aksesibilitas kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut:

a. Panjang (persentase) kondisi jalan di masing-masing kabupaten/kota di Jawa Barat

b. Jumlah terminal angkutan penumpang dan tipe terminal di masing-masing kabupaten/kota di Jawa Barat

c. Jumlah pelabuhan dan tipe pelabuhan di masing-masing kabupaten/kota di Jawa Barat

Selain menggunakan prasarana transportasi, penelitian ini juga menggunakan indeks aksesibilitas (Hansen, 1959) untuk melihat tingkat aksesibilitas di kabupaten/kota dengan rumus sebagai berikut:

� = �

�� Keterangan:

Aij = Accessibility index daerah i terhadap daerah j Ej = Total lapangan kerja (employment) di daerah j (unit) dij = jarak antara i dengan j (km)/ waktu tempuh

= pangkat dari dij

2. Ukuran Kesejahteraan Masyarakat

Terdapat dua indikator dalam melihat kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota di Jawa Barat. PDRB per kapita atas dasar harga konstan dipilih sebagai indikator makro kesejahteraan. Kemudian, Indeks Pembangunan Manusia


(16)

(Human Development Index) digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota secara menyeluruh dan luas di Jawa Barat. Selain itu Human Development Index juga digunakan sebagai dasar untuk menentukan suatu negara dikatakan maju atau berkembang.

Didalam perhitungan IPM, Badan Pusat Statistik menggunakan rumus sebagai berikut:

IPM = (Index X1 + Index X2 + Index X3)/3 Keterangan:

X1 = Lama hidup, X2 = tingkat pendidikan, X3 = tingkat kehidupan yang layak Sedangkan untuk analisis menggunakan teknik analisis korelasi dengan bantuan software IBM SPSS.

3. Kinerja Perekonomian Wilayah

Di dalam menilai kinerja perekonomian wilayah, peneliti menggunakan PDRB atas dasar harga berlaku. Karena PDRB ADHB dapat digunakan untuk menunjukkan kinerja perekonomian baik secara sektoral maupun kinerja perekonomian secara keseluruhan di suatu wilayah dalam satu kurun waktu tertentu.

Kerangka Pemikiran

Penting untuk diketahui bagaimana penelitian ini bermula dan apa saja teori yang mendasari perlunya penelitian ini dilakukan. Oleh karena itu, kerangka pemikiran diperlukan sebagai dasar fundamental dan menjadi bagian dalam substansi penelitian ini sebagaimana dapat dilihat pada gambar 1.2


(17)

Keunggulan Komparatif (Comparative Advantage)

Analisis Korelasi Aksesibilitas yang baik

Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi Jawa Barat

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kondisi Alam (given) Usaha Manusia Gabungan Keduanya

Identifikasi Tingkat Aksesibilitas di Jawa Barat

Identifikasi Kesejahteraan Masyarakat di Jawa Barat Kinerja Ekonomi Wilayah di

Jawa Barat

Identifikasi Kinerja Ekonomi Wilayah di Jawa Barat

Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran


(18)

Sistematika Pembahasan

Pembahasan mengenai “Hubungan antara Tingkat Aksesibilitas dengan Kesejahteraan Masyarakat dan Kinerja Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat” dilakukan dengan sistematika sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN: dijelaskan di dalamnya mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan sasaran penelitian, ruang lingkup studi, metodologi penelitian serta penjelasan mengenai kerangka pemikiran.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA: berisikan tentang landasaan teori yang dipakai di dalam penelitian serta teori-teori yang berkaitan dengan lingkup materi di dalam penelitian dan juga penelitian-penelitian terdahulu yang pernah dilakukan.

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH JAWA BARAT: berisikan mengenai sejarah pembentukan Provinsi Jawa Barat, Luas Provinsi Jawa Barat, Administratif serta data-data yang berkaitan dengan variabel tingkat aksesibilitas, kesejahteraan masyarakat, dan kinerja perekonomian wilayah di Provinsi Jawa Barat.

BAB 4 PEMBAHASAN HUBUNGAN ANTARA TINGKAT

AKSESIBILITAS DENGAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAN KINERJA WILAYAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT: berisikan materi yang dibahas di dalam penelitian, data-data yang telah diolah serta hasil analisis yang dilakukan untuk mengetahui “Hubungan antara Tingkat Aksesibilitas dengan Kesejahteraan Masyarakat dan Kinerja Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat”.

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI: berisikan hasil penelitian yang telah disimpulkan serta rekomendasi dari hasil penelitian.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA Aksesibilitas

Dalam kajian ilmu regional, ada istilah yang disebut dengan keunggulan komparatif (comparative advantage). Keunggulan komparatif dapat berupa kondisi alam, yaitu sesuatu yang sudah given tetapi dapat juga karena usaha-usaha manusia. Ada beberapa faktor yang dapat membuat suatu wilayah bisa mempunyai keunggulan komparatif, salah satunya yaitu wilayah dengan aksesibilitas tinggi (Tarigan, 2012). Sering kali suatu wilayah yang memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi identik dengan perekonomian/kesejahteraan yang baik pula. Contohnya Negara Singapura dengan aksesibilitas yang baik mempunyai pertumbuhan perekonomian yang baik pula. Dengan begitu menjadi sangat penting untuk memahami terlebih dahulu seperti apa konsep aksesibilitas tersebut.

Accessibility, a concept used in a number of scientific fields such as transport planning, urban planning and geography, plays an important role in policy making. However, accessibility is often a misunderstood, poorly defined and poorly measured construct. Indeed, finding an operational and theoretically sound concept of accessibility is quite difficult and complex. As a result, land-use and infrastructure policy plans are often evaluated with accessibility measures which are easy to interpret for researchers and policy makers, such as congestion levels or travel speed on the road network, but which have strong methodological disadvantages.” (Geurs dan Wee, 2004).

Menurut Black dalam Tamin (1997), aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan tata guna lahan secara geografis dengan sistem jaringan transportasi yang menghubungkannya. Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan ‘mudah’ atau ‘susah’nya lokasi tersebut dicapai melalui sistem jaringan transportasi. Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh Warpani (1990) bahwa daya hubung atau akses adalah tingkat kemudahan berhubungan dari satu tempat ke tempat lain. Apabila dari suatu tempat A orang dapat dengan mudah berhubungan dan mendatangi tempat B atau sebaliknya, apalagi bila hubungan


(20)

dapat dilakukan dengan berbagai cara atau alat penghubung, maka dikatakan akses A-B adalah tinggi. Namun selalu saja terdapat perbedaan mengenai pengertian aksesibilitas ini. Seperti yang dikatakan oleh Geurs dan Wee (2004), aksesibilitas didefinisikan dan diterapkan dalam beberapa bidang ilmu serta cara yang berbeda sehingga menghasilkan pengertian yang berbeda untuk setiap bidang ilmu.

Ada yang menyatakan bahwa aksesibilitas dapat dinyatakan dengan jarak. Jika suatu tempat berdekatan dengan tempat lainnya, dikatakan aksesibilitas antara kedua tempat tersebut tinggi. Sebaliknya, jika kedua tempat itu sangat berjauhan, aksesibilitas antara keduanya rendah. Jadi, tata guna lahan yang berbeda pasti mempunyai aksesibilitas yang berbeda pula karena aktivitas tata guna lahan tersebut tersebar dalam ruang secara tidak merata (heterogen) (Tamin, 1997).

Akan tetapi lebih lanjut lagi dijelaskan dalam bukunya (Tamin, 1997) bahwa peruntukan lahan tertentu seperti bandara, lokasinya tidak bisa sembarangan dan biasanya terletak jauh di luar kota (karena ada batasan dari segi keamanan, pengembangan wilayah, dan lain-lain). Dikatakan aksesibilitas ke bandara tersebut pasti akan selalu rendah karena letaknya yang jauh di luar kota. Namun, meskipun letaknya jauh, aksesibilitas ke bandara dapat ditingkatkan dengan menyediakan sistem jaringan transportasi yang dapat dilalui dengan kecepatan tinggi sehingga waktu tempuhnya menjadi pendek.

Transportasi dan Komponen Sistem Regional

Transportasi adalah proses pergerakan orang dan/atau barang dari satu lokasi lain. Transportasi bukan tujuan akhir, tetapi merupakan turunan dari permintaan yakni pemenuhan kebutuhan pergerakan penduduk untuk tujuan tertentu, misal transportasi untuk bekerja, berbelanja, distribusi barang dan lain sebagainya termasuk untuk berwisata (Kusbiantoro, 2007)

Adisasmita (2005) di dalam bukunya menjelaskan bahwa dalam sistem wilayah terdapat tiga komponen utama yaitu (1) sumberdaya penduduk, (2) kegiatan ekonomi, dan (3) sistem transportasi. Saling ketergantungan antara kegiatan ekonomi dan penduduk ditinjau dari segi produksi dan konsumsi (lapangan kerja, buruh, dan pendapatan) memainkan peranan yang fundamental dalam usaha menata struktur regional. Aspek spasial (mengenai tata ruang) dan


(21)

temporal (mengenai waktu) dari keadaan saling ketergantungan di atas dapat dinyatakan dalam biaya transportasi dan komunikasi, besar kecilnya skala ekonomi, penghematan aglomerasi, dan sebagainya. Dalam konteks pembangunan wilayah, sektor transportasi merupakan sektor yang memiliki fungsi dan peranan strategis sebagai fasilitas penunjang dan pengembang. Oleh karena itu pemerintah harus mengatur dan membinanya yang dituangkan dalam bentuk kebijaksaan transportasi nasional terpadu sebagai sarana untuk mewujudkan sistem transportasi yang terintegrasi dan terkoordinasi secara menyeluruh.

Prasarana Wilayah dan Kota 2.3.1 Prasarana Jalan

Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004, jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Berdasarkan peruntukkannya jalan terbagi menjadi 2:

1. Jalan umum: sengaja dibuat dan diperuntukkan bagi lalu lintas umum. 2. Jalan khusus: jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan,

atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri. Sehingga jalan khusus tidak diperuntukkan bagi lalu lintas umum dalam rangka distribusi barang dan jasa.

Penyelenggaraan jalan umum dilakukan dengan mengutamakan pembangunan jaringan jalan di pusat-pusat produksi serta jalan-jalan yang menghubungkan pusat-pusat produksi dengan daerah pemasaran. Penyelenggaraan jalan tersebut diarahkan agar memperkokoh kesatuan wilayah nasional sehingga dapat menjangkau daerah terpencil (PP No. 34 Tahun 2006).

Kemudian jalan juga dapat dikelompokkan menurut sistem jaringan. Pertama, sistem jaringan jalan primer. Kedua, sistem jaringan jalan sekunder. Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud


(22)

pusat-pusat kegiatan. Adapun sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan.

A. Berdasarkan Fungsi

Berdasarkan fungsinya, jalan dapat dikelompokkan menjadi jalan arteri, kolektor, lokal dan jalan lingkungan:

1. Jalan arteri: merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. Di dalam fungsinya jalan arteri pun terbagi lagi menjadi dua:

a. Arteri primer

Menghubungkan secara berdaya guna antarpusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah. Dirancang untuk kecepatan rencana paling rendah 60 km per jam dengan lebar jalan paling sedikit 11 meter.

b. Arteri sekunder

Menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu, kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu, atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. Dirancang untuk kecepatan rencana paling rendah 30 km per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 11 meter.

2. Jalan kolektor: merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi. Di dalam fungsinya, jalan kolektor pun terbagi lagi menjadi dua:

a. Kolektor primer

Menghubungkan secara berdaya guna antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan wilayah, atau antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal. Dirancang untuk kecepatan rencana paling rendah 40 km per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 9 meter.


(23)

Menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. Dirancang untuk kecepatan rencana paling rendah 20 km per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 9 meter.

3. Jalan lokal: merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. Di dalam fungsinya jalan lokal pun terbagi menjadi dua:

a. Lokal primer

Menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan. Dirancang untuk kecepatan rencana paling rendah 20 km per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 7, 5 meter.

b. Lokal sekunder

Menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. Dirancang untuk kecepatan rencana paling rendah 10 km per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 7, 5 meter.

4. Jalan lingkungan: merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah. Di dalam fungsinya jalan lingkungan pun terbagi lagi menjadi dua:

a. Lingkungan primer

Menghubungkan antarpusat kegiatan di dalam kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan perdesaan. Dirancang untuk kecepatan rencana paling rendah 15 km per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 6, 5 meter.


(24)

Menghubungkan antarpersil dalam kawasan perkotaan. Dirancang untuk kecepatan rencana paling rendah 10 km per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 6, 5 meter.

B. Berdasarkan Status

Lebih lanjut lagi, jalan berdasarkan statusnya dapat dikelompokkan ke dalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota serta jalan desa:

1. Jalan nasional: merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antaribukota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol.

2. Jalan provinsi: merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antaribukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.

3. Jalan kabupaten: merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer, yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.

4. Jalan kota: adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta menghubungkan antarpusat permukiman yang berada di dalam kota. 5. Jalan desa: merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau

antarpermukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan. C. Berdasarkan Kelas

Kelas jalan dapat dikelompokkan ke dalam 2 pembagian. Pertama, kelas jalan yang dikelompokkan berdasarkan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan. Kedua, pengelompokkan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan. Adapun pengelompokkan jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan dikelompokkan atas jalan bebas hambatan, jalan raya, jalan sedang dan jalan kecil.


(25)

Terminal merupakan bagian dari simpul transportasi, yaitu tempat yang diperuntukkan bagi pergantian antarmoda dan intramoda. Simpul terminal yang lainnya diantaranya adalah: stasiun kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau dan atau bandara. Menurut UU Nomor 22 Tahun 2009 yang dimaksud dengan terminal adalah pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan.

Berdasarkan tipe dan fungsinya, terminal penumpang dibagi menjadi 3 tipe: terminal penumpang tipe A, tipe B, dan tipe C. Terminal penumpang tipe A berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota antar propinsi dan/atau angkutan lintas batas negara, angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota dan angkutan pedesaan. Kemudian terminal penumpang tipe B berfungsi untuk melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota dan/atau angkutan pedesaan. Sedangkan terminal penumpang tipe C berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan pedesaan.

2.3.3 Prasarana Pelabuhan

Menurut PP Nomor 61 Tahun 2009 yang dimaksud pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi. Berdasarkan hierarki, pelabuhan dibagi menjadi:

1. Pelabuhan utama 2. Pelabuhan pengumpul 3. Pelabuhan pengumpan

Pelabuhan utama merupakan pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri dan internasional, alih muat angkutan laut dalam negeri dan internasional dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan


(26)

pelayanan antarprovinsi. Sedangkan pelabuhan pengumpul adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah menengah, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi. Kemudian pelabuhan pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan dalam provinsi.

Kesejahteraan Masyarakat

Menurut Tasrin dan Wulandari (2012) “Kesejahteraan sosial memiliki 2 (dua) dimensi yaitu dimensi fisik dan dimensi psikologis. Mengingat dimensi psikologis, sifatnya sangat subjektif dan proses pengukurannya tidak mudah, maka kebanyakan studi lebih sering menggunakan dimensi fisik sebagai ukuran kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya, saat ini banyak berkembang pengukuran kesejahteraan dari sudut pandang dimensi fisik, misalnya Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia), Physical Quality Life Index (Indeks Mutu Hidup); Basic Needs(Kebutuhan Dasar), dan lain sebagainya.”

Dalam ukuran sempit tingkat kesejahteraan masyarakat dapat diukur hanya dengan menggunakan pendapatan per kapita. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Setiawan dan Hakim (2013) yaitu “Pendapatan per kapita sebagai indikator pembangunan telah digugat oleh kalangan ekonomi maupun non-ekonomi yang melihat ketidakakuratan indikator tersebut, yang kemudian memunculkan beberapa indikator baru. Indikator baru secara umum berfokus pada pembangunan manusia.”

Mahbub Ul Haq pendiri dari Human Development mengatakan seperti yang dikutip dalam situs United Nations Development Programme (Human Development Reports) “The basic purpose of development is to enlarge people's choices. In principle, these choices can be infinite and can change over time. People often value achievements that do not show up at all, or not immediately, in income or growth figures: greater access to knowledge, better nutrition and health services,


(27)

more secure livelihoods, security against crime and physical violence, satisfying leisure hours, political and cultural freedoms and sense of participation in community activities. The objective of development is to create an enabling environment for people to enjoy long, healthy and creative lives.”

Menurut UNDP (1995) seperti yang telah disebutkan di atas, paradigma pembangunan manusia terdiri dari 4 (empat) komponen utama, yaitu: (1) produktivitas, masyarakat harus dapat meningkatkan produktivitas mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan dan pekerjaan berupah. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu bagian dari jenis pembangunan manusia, (2) Ekuitas, masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat dapat berpartisipasi di dalam dan memperoleh manfaat dari kesempatan-kesempatan ini, (3) Kesinambungan, akses untuk memperoleh kesempatan harus dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi juga generasi yang akan datang. Segala bentuk permodalan fisik, manusia, lingkungan hidup, harus dilengkapi, (4) Pemberdayaan, pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat dan bukan hanya untuk mereka. Masyarakat harus berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat; pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor. Untuk mengukur dimensi kesehatan, digunakan angka harapan hidup waktu lahir. Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan gabungan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Adapun untuk mengukur dimensi hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak (Badan Pusat Statistik).


(28)

Kinerja Ekonomi Wilayah

2.5.1 Pendapatan Regional/Nilai Tambah

A. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas Dasar Harga Pasar

Produk domestik regional bruto atas dasar harga pasar adalah jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di wilayah itu. Yang dimaksud dengan nilai tambah bruto adalah nilai produksi (output) dikurangi dengan biaya antara (intermediate cost). Nilai tambah bruto mencangkup komponen-komponen faktor pendapatan (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan, dan pajak tidak langsung neto. Jadi dengan menghitung nilai tambah bruto dari masing-masing sektor dan menjumlahkannya, akan menghasilkan produk domestik regional atas dasar harga pasar (Tarigan, 2005).

Menurut Badan Pusat Statistik bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan nilai tambah bruto seluruh barang dan jasa yang tercipta atau dihasilkan di wilayah domestik suatu negara yang timbul akibat berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu periode tertentu tanpa memperhatikan apakah faktor produksi yang dimiliki residen atau non-residen. Penyusunan PDRB dapat dilakukan melalui 3 (tiga) pendekatan yaitu pendekatan produksi, pengeluaran, dan pendapatan yang disajikan atas dasar harga berlaku dan harga konstan (riil).

PDRB atas dasar harga berlaku atau dikenal dengan PDRB nominal disusun berdasarkan harga yang berlaku pada periode penghitungan, dan bertujuan untuk melihat struktur perekonomian. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan (riil) disusun berdasarkan harga pada tahun dasar dan bertujuan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi.

B. Produk Domestik Regional Neto (PDRN) atas Dasar Harga Pasar

Produk domestik regional neto atas dasar harga pasar adalah produk domestik regional bruto atas dasar harga pasar dikurangi penyusutan. Penyusutan yang dimaksud adalah nilai susut (aus) atau pengurangan nilai barang-barang modal (mesin-mesin, peralatan, kendaraan dan lainnya) karena barang modal tersebut terpakai dalam proses produksi atau faktor waktu. Jika nilai susut barang-barang


(29)

modal dari seluruh sektor ekonomi dijumlahkan, hasilnya merupakan penyusutan keseluruhan.

C. Produk Domestik Regional Neto (PDRN) atas Dasar Biaya Faktor

PDRN atas dasar biaya faktor adalah PDRN atas dasar harga pasar dikurangi pajak tak langsung neto. Pajak tidak langsung meliputi pajak penjualan, bea ekspor, bea cukai, dan pajak lain-lain, kecuali pajak pendapatan dan pajak perseroan. Pajak tidak langsung dari unit-unit produksi dibebankan pada pembeli hingga langsung berakibat menaikan harga barang di pasar. Berlawanan dengan pajak tidak langsung yang berakibat menaikkan harga barang, subsidi yang diberikan pemerintah kepada unit-unit produksi terutama unit-unit produksi yang dianggap penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas, akan menurunkan harga di pasar. Dengan demikian, pajak tidak langsung dan subsidi memiliki pengaruh yang berlawanan terhadap harga barang dan jasa (output produksi). Besarnya pajak tidak langsung dikurangi subsidi dalam perhitungan pendapatan regional disebut pajak tidak langsung neto. Kalau produk domestik neto atas dasar harga pasar dikurangi dengan pajak tidak langsung neto, hasilnya adalah produk domestik regional neto atas dasar biaya faktor.

D. Pendapatan Regional

Pendapatan regional neto adalah produk domestik regional neto atas dasar biaya faktor dikurangi aliran dana yang mengalir keluar ditambah aliran dana yang mengalir masuk. Produk domestik regional neto atas dasar biaya faktor, merupakan jumlah dari pendapatan berupa upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan yang timbul, atau merupakan pendapatan yang berasal dari kegiatan di wilayah tersebut. Akan tetapi, pendapatan yang dihasilkan tersebut, tidak seluruhnya menjadi pendapatan penduduk daerah setempat. Hal itu disebabkan ada sebagian pendapatan yang diterima oleh penduduk daerah lain, misalnya suatu perusahaan yang modalnya dimiliki orang luar, tetapi perusahaan tadi beroperasi di daerah tersebut. Dengan sendirinya keuntungan perusahaan itu sebagian akan menjadi milik orang luar, yaitu milik orang yang mempunyai modal. Sebaliknya, kalau ada penduduk daerah menanamkan modal di luar daerah maka sebagian keuntungan perusahaan akan mengalir ke daerah tersebut, dan menjadi pendapatan dari pemilik modal. Produk domestik regional neto atas dasar biaya faktor dikurangi pendapatan


(30)

yang mengalir keluar dan ditambah pendapatan yang mengalir masuk hasilnya merupakan produk regional neto, yaitu merupakan jumlah pendapatan yang benar-benar diterima (income receipt) oleh seluruh penduduk yang tinggal di daerah tersebut.

Akan tetapi, untuk mendapatkan angka-angka tentang pendapatan yang mengalir keluar/masuk suatu daerah (yang secara nasional dapat diperoleh dari neraca pembayaran luar negeri) masih sangat sukar diperoleh pada saat ini. Produk regional neto terpaksa belum dapat dihitung dan untuk sementara produk domestik regional neto atas dasar biaya faktor dianggap sama dengan pendapatan regional (tanpa kata neto). Pendapatan regional dibagi jumlah penduduk yang tinggal di daerah itu, hasilnya adalah pendapatan per kapita.

E. Pendapatan Perorangan (Personal Income) dan Pendapatan Siap Dibelanjakan (Disposable Income)

Apabila pendapatan regional (regional income) dikurangi; pajak pendapatan perusahaan (corporate income taxes), keuntungan yang tidak dibagikan (undistributed profit), iuran kesejahteraan sosial (social security contribution), ditambah transfer yang diterima oleh rumah tangga dari pemerintah, bunga neto atas utang pemerintah, sama dengan pendapatan perorangan (personal income). Apabila pendapatan perorangan dikurangi pajak pendapatan perorangan, pajak rumah tangga/PBB, dan transfer yang dibayarkan oleh rumah tangga akan sama dengan pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income).

Dengan susunan ini terlihat bahwa pendapatan perorangan merupakan pendapatan yang diterima oleh rumah tangga. Ternyata tidak seluruh pendapatan regional diterima oleh rumah tangga. Pajak pendapatan perusahaan diterima oleh pemerintah, keuntungan yang tidak dibagikan ditahan di perusahaan-perusahaan, dan dana jaminan sosial dibayar kepada instansi yang berwenang. Akan tetapi, sebaliknya rumah tangga masih menerima tambahan berupa transfer payments baik dari pemerintah maupun perusahaan dan bunga neto atas utang pemerintah. Apabila pendapatan perorangan dikurangi dengan pajak yang langsung dibebankan kepada rumah tangga dan hibah yang diberikan oleh rumah tangga, hasilnya merupakan pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income).


(31)

F. Pendapatan Regional atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan

Angka pendapatan regional dalam beberapa tahun menggambarkan kenaikan dan penurunan tingkat pendapatan masyarakat di daerah tersebut. Kenaikan/penurunan dapat dibedakan menjadi dua faktor berikut:

a. Kenaikan/penurunan riil, yaitu kenaikan/penurunan tingkat pendapatan yang tidak dipengaruhi oleh faktor perubahan harga. Apabila terjadi kenaikan riil pendapatan penduduk berarti daya beli penduduk di daerah tersebut meningkat, misalnya mampu membeli barang yang sama kualitasnya dalam jumlah yang lebih banyak.

b. Kenaikan/penurunan pendapatan yang disebabkan adanya faktor perubahan harga. Apabila terjadi kenaikan pendapatan yang hanya disebabkan inflasi (menurunnya nilai beli uang) maka walaupun pendapatan meningkat tetapi jumlah barang yang mampu dibeli belum tentu meningkat.

Oleh karena itu, untuk mengetahui kenaikan pendapatan yang sebenarnya (riil), faktor inflasi harus dikeluarkan terlebih dahulu. Pendapatan regional yang di dalamnya masih ada unsur inflasi dinamakan pendapatan regional atas dasar harga berlaku. Sedangkan pendapatan regional dengan faktor inflasi yang sudah ditiadakan merupakan pendapatan regional atas dasar harga konstan. Untuk mengetahui apakah daya beli masyarakat meningkat atau tidak, pendapatannya harus dibandingkan dengan dalam nilai konstan. Dengan dasar inilah maka pendapatan regional perlu disajikan dalam dua bentuk, yaitu atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan.

Harga konstan artinya harga produk didasarkan atas harga pada tahun tertentu. Tahun yang dijadikan patokan harga disebut tahun dasar untuk penentuan harga konstan. Jadi, kenaikan pendapatan hanya disebabkan oleh meningkatnya jumlah fisik produksi, karena harga dianggap tetap (konstan). Akan tetapi, pada sektor jasa yang tidak memiliki unit produksi, nilai produksi dinyatakan dalam harga jual. Oleh sebab itu, harga jual harus dideflasi dengan menggunakan indeks inflasi atau deflator lain yang dianggap sesuai.

G. Pendapatan Per Kapita

Pendapatan per kapita adalah total pendapatan suatu daerah dibagi jumlah penduduk di daerah tersebut untuk tahun yang sama. Angka yang digunakan


(32)

semestinya adalah total pendapatan regional dibagi jumlah penduduk. Akan tetapi, angka ini sering kali tidak diperoleh sehingga diganti dengan total PDRB atas dasar harga pasar dibagi dengan jumlah penduduk. Angka pendapatan per kapita dapat dinyatakan dalam harga berlaku maupun dalam harga konstan tergantung pada kebutuhan (Tarigan, 2005).

Penelitian Terdahulu

Widodo, (2008) dalam tesisnya dengan judul “Kajian Pengaruh Jalan Terhadap Kinerja Perekonomian Wilayah” menyimpulkan bahwa adanya hubungan positif antara ketersediaan jalan dengan minat investasi PMA dan PMDN di wilayah pantura. Hubungan positif ketersediaan jalan tersebut secara empiris dibuktikan dengan besaran minat penanaman modal/ investasi PMA dan PMDN yang meningkat tajam sejak beroperasinya jalan tol Jakarta-Cikampek, khususnya di daerah yang dilintasinya. Selain itu upaya meningkatkan aksesibilitas hanya dengan mengandalkan faktor jalan (memperkecil fungsi impedansi), tanpa upaya memperbanyak faktor pusat pertumbuhan (memperbesar fungsi aktivitas), akan berakibat semakin lebarnya ketimpangan antara pusat terhadap pinggirannya.

Parlindungan, (2010) dalam tesisnya dengan judul “Analisis Pengaruh Tingkat Aksesibilitas Wilayah terhadap Perkembangan Kecamatan di Kota Medan” yang menggunakan metode analisis mutivariat dengan structur equation modeling (SEM) menyimpulkan bahwa terjadi perbedaan tingkat aksesibilitas antar kecamatan di Kota Medan. Selain itu Kota Medan mengarahkan pembangunannya ke daerah-daerah pinggirannya. Hal ini diharapkan dapat mendorong pengembangan wilayah kecamatan. Sedangkan kesimpulan akhirnya menjelaskan bahwa perkembangan kecamatan di Kota Medan sebesar 75% dapat dijelaskan oleh variabel aksesibilitas. Dengan kata lain tingkat aksesibilitas berpengaruh nyata terhadap perkembangan sebuah kecamatan.

Tasrin dan Wulandari, (2012) melakukan penelitian dengan judul “Kajian Pengaruh Kebijakan Desentralisasi pada Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus: Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)” menyimpulkan bahwa apabila dilihat dalam bidang ekonominya saja, yaitu variabel desentralisasi belum menunjukkan pengaruhnya secara langsung, baik dilihat dari variabel desentralisasi


(33)

fiskal, desentralisasi fungsional maupun desentralisasi personnel. Hal ini terlihat dari tidak adanya koefisien dari variabel desentralisasi yang signifikan mempengaruhi variabel ekonomi wilayah yang diwakili oleh variabel PDRB per kapita. Adapun determinan yang secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah dijelaskan oleh keberadaan variabel kontrol, yaitu variabel investasi maupun variabel tenaga kerja dimana masing-masing variabel memiliki signifikansi secara statistik dengan uji t pada á = 1% dan memiliki tanda/sign positif. Ini berarti bahwa 250 pada kondisi ceteris paribus , peningkatan rasio investasi terhadap PDRB dan peningkatan rasio tenaga kerja terhadap angkatan kerja sebesar 1 unit, masing-masing akan mengakibatkan peningkatan PDRB per kapita sebesar nilai koefisiennya sebagaimana terlihat pada model 1. Signifikansi dan besarnya pengaruh variabel investasi dan variabel tenaga kerja ini dapat dijelaskan oleh teori Fungsi Produksi Neo Klasik dimana baik modal (investasi) dan tenaga kerja merupakan faktor input yang menentukan produktifitas. Terkait dengan hal ini, meskipun tidak ada keterkaitan langsung antara ketiga variabel desentralisasi dengan pertumbuhan ekonomi, namun disinyalir terdapat keterkaitan tidak langsung variabel ini melalui saluran (channel) investasi, dimana tingginya investasi di daerah dijustifikasi sebagai bentuk peningkatan kinerja pemerintah daerah dalam menarik investasi. Selanjutnya, bila dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2), sebesar 0.98258, menunjukkan bahwa model 1 mampu menjelaskan variasi kemajuan pertumbuhan bidang ekonomi daerah sebesar 98,26%, namun demikian, pengaruh ini tidak berasal dari variabel desentralisasi, tetapi berasal dari variabel investasi dan variabel tenaga kerja.

Tabel 2.1

Penelitian Terdahulu (Thesis)

Penelitian terdahulu Metode Analisis Kesimpulan

Widodo (2008) “Kajian

Pengaruh Jalan Terhadap Kinerja Perekonomian Wilayah”

Analisis regresi - Adanya hubungan positif antara ketersediaan jalan dengan minat investasi PMA dan PMDN di wilayah pantura Parlindungan, (2010) “Analisis

Pengaruh Tingkat Aksesibilitas

Wilayah terhadap

Perkembangan Kecamatan di Kota Medan”

Analisis

multivariat dengan

structural equation modeling (SEM)

- Terjadi perbedaan tingkat aksesibilitas antarkecamatan di Kota Medan

- Perkembangan kecamatan di Kota Medan sebesar 75% dapat


(34)

Penelitian terdahulu Metode Analisis Kesimpulan

dijelaskan oleh variabel aksesibilitas

- Tingkat aksesibilitas berpengaruh nyata terhadap perkembangan sebuah kecamatan


(35)

Tabel 2.2

Penelitian Terdahulu (Jurnal) No Judul Artikel, Penulis,

Judul Jurnal Permasalahan, Tujuan

Data dan Metode

Analisis Variabel Keluaran

1. Pengaruh Infrastruktur Jalan Terhadap Sebaran Investasi di Provinsi Jawa Barat, Rahimah, N.S. dan Putro, H.P.H., Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK V3N3 663

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh infrastruktur terhadap sebaran investasi di Provinsi Jawa Barat

- Data sekunder - metode analisis deskriptif

kuantitatif

- metode regresi linier berganda

- infrastruktur jalan

- ivestasi

- 61% nilai penanaman modal asing dapat dijelaskan oleh data infrastruktur

- investasi tidak memiliki hubungan linier dengan infrastruktur dilihat dari nilai signifikansinya sebesar 0.014 lebih kecil dari α (0.05)

- Kabupaten Bogor, Kota Bandung, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sukabumi dan Kota Bekasi adalah daerah-daerah dengan infrastruktur tinggi dan nilai investasi tinggi.

2. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia, Setiawan, M.B. & Hakim, A. Jurnal Economia, Volume 9, Nomer 1, April 2013

- Menganalisis prilaku Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia

- Model Koreksi Kesalahan (Error Correction Model ECM)

- Produk

Domestik Bruto (PDB)

- Pajak

Pendapatan (PPN)

- Dummy

Desentralisasi (DD)

Penelitian menemukan bahwa PDB dan PPN secara signifikan mempengaruhi IPM. Hasil estimasi model ECM menunjukkan bahwa PDB, PPN, dan krisis ekonomi tahun

2008 mempengaruhi IPM, meskipun PPN hanya mempengaruhi dengan tingkat signifikansi 10%. Seperti diharapkan, PDB berpengaruh positif terhadap IPM, karena


(36)

No Judul Artikel, Penulis,

Judul Jurnal Permasalahan, Tujuan

Data dan Metode

Analisis Variabel Keluaran

- Dummy Krisis Ekonomi (DK)

peningkatan PDB akan memperbaiki kesejahteraan penduduk.

- PPN berpengaruh negatif terhadap IPM karena peningkatan pajak pemerintah mengurangi disposable income, sehingga menurunkan kesejahteraan masyarakat - DD tidak berpengaruh secara positif terhadap IPM

3. Kajian Pengaruh Kebijakan Desentralisasi Pada

Peningkatan

Kesejahteraan Masyarakat

(Studi Kasus:

Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat), Tasrin, K. & Wulandari, P.

Jurnal Borneo

Administrator Volume 8 No. 2 Tahun 2012

- Apakah kebijakan desentralisasi

mempengaruhi

peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah - Melalui saluran (channel) apa

kebijakan desentralisasi tersebut

memberikan pengaruh - Apa implikasi kebijakan yang dapat dirumuskan dalam kerangka untuk Mengefektifkan

implementasi kebijakan desentralisasi yang

- Metode deskriptif kuantitatif

- Desentralisasi Fiskal

- Desentralisasi Fungsional

- Desentralisasi Personil

- Investasi dan tenaga kerja - Kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan PDRB per kapita - Pertambahan jalan per kapita

- Di bidang ekonomi, variable desentralisasi belum menunjukkan pengaruhnya secara langsung, baik dilihat dari variabel desentralisasi fiskal, desentralisasi fungsional maupun desentralisasi personnel

- Di bidang infrastruktur, hanya variabel desentralisasi personil yang memiliki pengaruh terhadap perubahan variabel infrastruktur jalan. Namun demikian, pengaruh yang ditunjukkan oleh variabel desentralisasi personil adalah negative - Di bidang Pendidikan, terdapat dua variabel desentralisasi yang memiliki pengaruh secara signifikan terhadap aksesibilitas masyarakat pada bidang


(37)

No Judul Artikel, Penulis,

Judul Jurnal Permasalahan, Tujuan

Data dan Metode

Analisis Variabel Keluaran

selanjutnya mampu meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

pendidikan tingkat menengah ke atas. Kedua variabel desentralisasi dimaksud adalah variabel desentralisasi fungsional dan variabel desentralisasi personil. Namun demikian, kedua variabel ini memiliki pengaruh yang berbeda yang ditunjukkan oleh koefisien variabel desentralisasi fungsional yang bertanda negatif dan koefisien variabel desentralisasi personil yang bertanda positif.

- Di bidang kesehatan, ditemukan bahwa variable desentralisasi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perubahan rasio jumlah dokter per 1000 penduduk. - Variable desentralisasi yang mampu memberikan pengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat disimpulkan bahwa variabel desentralisasi fungsional dan variabel desentralisasi personil merupakan saluran (channel) yang berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat.


(38)

DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Referensi

Adisasmita, R. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta. Graha Ilmu. Bungin, H.M.B. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta. Kencana Prenada

Media Group.

Kusbiantoro, B.S. (2007). Memanusiakan Perencanaan Sistim Transportasi. Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota. Bandung: ITB Tamin, O.Z. 1997. Perencanaan & Pemodelan Transportasi. Bandung. ITB.

Tarigan, R. 2012. Ekonomi Regional (Teori dan Aplikasi). Jakarta. PT Bumi Aksara.

Warpani, S. 1990. Merencanakan Sistem Perangkutan. Bandung. ITB.

2. Tugas Akhir/Thesis

Parlindungan, B. 2010. Analisis Pengaruh Tingkat Aksesibilitas terhadap Perkembangan Kecamatan di Kota Medan. Medan. Universitas Sumatera Utara.

Widodo, Eko. 2008. Kajian Pengaruh Jalan Terhadap Kinerja Perekonomian Wilayah. Bandung. ITB.

3. Jurnal

Geurs, KT. dan Wee, BV. 2004. Accessibility Evaluation of Land-Use and Transport Strategies: Review and Research Directions, Journal of Transport Geography 12 (127-140).

Kuncoro, M. 2004. Adakah Perubahan Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur di Indonesia, 1976-2001? Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 19 No.4. Rahimah, N.S. dan Putro, H.P.H. 2014. Pengaruh Infrastruktur Jalan Terhadap

Sebaran Investasi di Provinsi Jawa Barat. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK Volume 3 No. 3 (Hal. 663-670).

Setiawan dan Hakim. 2013. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Jurnal Economia Volume 9.

Tasrin dan Wulandari. 2012. Kajian Pengaruh Kebijakan Desentralisasi pada Peningkatan Kesejahtraan Masyarakat (Studi Kasus: Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat). Jurnal Borneo Administrator. Volume 8.


(39)

76

4. Terbitan Terbatas

Badan Pusat Statistik. 2012. Data Basis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat Tahun 2010 – 2011.

Badan Pusat Statistik. 2014. Jawa Barat Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik. 2012. Jawa Barat Dalam Angkat 2012.

Ditjen Perhubungan Darat. 2013. Profil dan Kinerja Perhubungan Darat Provinsi Jawa Barat.

Pusdalisbang. 2013. Kompilasi dan Analisis PDRB Kabupaten/Kota di Jawa Barat 2011 – 2012.

BPS Jawa Barat. 2004-2012. Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Jawa Barat 2004-2012. http://jabar.bps.go.id/subyek/jumlah-penduduk-kabupatenkota-di-jawa-barat-2004-2012 (7 Juni 2014).

5. Website

United Nations Development Programme (Human Development Reports). 2013. About Human Development._ http://hdr.undp.org/en/humandev (28 Juni 2014).


(40)

DATA PRIBADI

Nama : Erwin Dwi Putra Simatupang

NIM : 10611017

TTL : Sukabumi, 23 Agustus 1992

Jenis Kelamin : Laki-laki Suku Bangsa : Sunda

Kabupaten/Kota : Kabupaten Sukabumi Warga Negara : Indonesia

Agama : Islam

Alamat : Kp. Cisero RT 02 RW 06 Desa Pasairhalang Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi

Telepon : 085798777244

Email Putraa.dwi@gmail.com

PENDIDIKAN

SD : SDN Cibeureum Wetan 1 1998 – 2000

: SDN Pasirhalang 3 2000 – 2004

SMP : SMPN 1 Sukaraja 2004 – 2007

SMA : SMA Muhammadiyah 1 Kota Sukabumi 2007 – 2010

Perguruan Tinggi : Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) 2011 – 2015 PENGALAMAN ORGANISASI

o Pengurus Himpunan Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota UNIKOM 2012 – 2013

o Anggota di Svijest Allianz (non-profit organization)

PENELITIAN YANG PERNAH DILAKUKAN

Studio Proses : Penelitian di Kabupaten/Kota Bandung Mengenai Urban Shrinkage

Studio Perencanaan Kota

: Kajian Kabupaten Pangandaran Sebagai Kabupaten yang Baru Dimekarkan

Studio Perencanaan Wilayah

: Kajian Jawa Barat Bagian Timur Sebagai Pusat Pertumbuhan Baru

Skripsi (Tugas Akhir) Hubungan Tingkat Aksesibilitas dengan Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten/Kota dan Kinerja Wilayah di Provinsi Jawa Barat


(41)

PENGALAMAN SEMINAR DAN KULIAH UMUM

Peserta pada Kuliah Umum Perencanaan Transportasi 2015 Peserta pada Kuliah Umum Perencanaan Pemukiman 2014

DATA ORANG TUA

Nama Bapak : Bistok Parlindungan Simatupang Nama Ibu : Ai Haryati

Alamat : Kp. Cisero RT 02 RW 06 Desa Pasirhalang Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi


(42)

1

Erwin Dwi Putra Simatupang, Romeiza Syafriharti, Hubungan Antara Tingkat Aksesibilitas dengan Kesejahteraan Masyarakat dan Kinerja Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, September 2015

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT AKSESIBILITAS DENGAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAN KINERJA WILAYAH KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI

JAWA BARAT

Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Komputer Indonesia, Jln. Dipatiukur No.114 Bandung 40132

Putraa.dwi@gmail.com Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara tingkat aksesibilitas dengan kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota dan kinerja wilayah di Provinsi Jawa Barat. Tingkat aksesibilitas diukur dengan menggunakan ketersediaan prasarana transportasi: jalan, terminal angkutan penumpang, dan pelabuhan. Selain itu aksesibilitas diukur juga menggunakan metode gravity model/indeks aksesibilitas (Hansen, 1959). Sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat diukur menggunakan PDRB per kapita ADHK dan Human Development Index (Indeks Pembangunan Masyarakat). Analisis data yang digunakan adalah metode analisis korelasi untuk melihat seberapa kuat hubungan tersebut dengan bantuan software IBM SPSS. Adapun untuk kinerja wilayah digambarkan oleh PDRB atas dasar harga berlaku.

Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat aksesibilitas yang diukur menggunakan kualitas jalan dengan kesejahteraan masyarakat (secara kasar) yang diukur menggunakan indikator makro yaitu PDRB per kapita. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.519. Sedangkan untuk variabel ketersediaan terminal, pelabuhan, dan indeks aksesibilitas tidak menunjukkan adanya hubungan yang kuat dengan kesejahteraan masyarakat.

Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat aksesibilitas dengan kinerja ekonomi wilayah yang diukur menggunakan PDRB ADHB. Akan tetapi, untuk struktuk ekonomi wilayah di sektor pertanian menunjukkan adanya dengan tingkat aksesibilitas (kualitas jalan). Hanya saja hubungan ini bersifat negatif, dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0.432. Kata Kunci: Tingkat aksesibilitas, kualitas jalan, kesejahteraan masyarakat, kinerja wilayah

1 Pendahuluan

Dalam kajian ilmu regional terdapat istilah yang disebut dengan keunggulan komparatif (comparative advantage). Keunggulan komparatif dapat berupa kondisi alam, yaitu sesuatu yang sudah given tetapi dapat juga karena usaha-usaha manusia. Ada beberapa faktor yang dapat membuat suatu wilayah bisa mempunyai keunggulan komparatif. Salah satunya yaitu wilayah dengan aksesibilitas tinggi (Tarigan, 2012).

Menurut Black dalam Tamim, (1997) aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan ‘mudah’ atau ‘susah’nya lokasi tersebut dicapai melalui sistem jaringan transportasi. Misalnya ketersediaan prasarana jalan yang baik, ketersediaan sarana angkutan umum yang baik, ketersediaan pelabuhan untuk akses


(43)

JURNAL PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

2 transportasi laut, ataupun bandara untuk alat transportasi udara.

Sering kali suatu wilayah yang memiliki tingkat aksesibilitas tinggi identik dengan kesejahteraan yang tinggi pula. Singapura pada tahun 2012 merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang mampu menembus ranking 20 teratas, tepatnya berada di urutan 18 dari 187 negara dengan nilai IPM 0.895 (Human Development Report, 2013). Oleh karena itu menjadi menarik untuk dikaji apakah terdapat hubungan antara tingkat aksesibilitas dengan kesejahteraan masyarakat dan juga kinerja perekonomian di suatu wilayah.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara tingkat aksesibilitas dengan kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Diawali dengan mengidentifikasi terlebih dahulu tingkat aksesibilitas di setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat berdasarkan dua pendekatan (ketersediaan prasarana transportasi dan indeks aksesibilitas) sebagai ukuran aksesibilitas. Kemudian dilihat hubungannya dengan kesejahteraan masyarakat (PDRB per kapita; IPM) dan kinerja wilayah (PDRB ADHB). 2 Tinjauan Pustaka

a. Aksesibilitas

Dalam kajian ilmu regional, ada istilah yang disebut dengan keunggulan komparatif (comparative advantage). Keunggulan komparatif dapat berupa kondisi alam, yaitu sesuatu yang sudah given tetapi dapat juga karena usaha-usaha manusia. Ada beberapa faktor yang dapat membuat suatu wilayah bisa mempunyai keunggulan komparatif, salah satunya yaitu wilayah dengan aksesibilitas tinggi (Tarigan, 2012). Sering kali suatu wilayah yang memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi identik dengan perekonomian/kesejahteraan yang baik pula. Contohnya Negara Singapura dengan

aksesibilitas yang baik mempunyai pertumbuhan perekonomian yang baik pula. Dengan begitu menjadi sangat penting untuk memahami terlebih dahulu seperti apa konsep aksesibilitas tersebut.

Accessibility, a concept used in a number of scientific fields such as transport planning, urban planning and geography, plays an important role in policy making. However, accessibility is often a misunderstood, poorly defined and poorly measured construct. Indeed, finding an operational and theoretically sound concept of accessibility is quite difficult and complex. As a result, land-use and infrastructure policy plans are often evaluated with accessibility measures which are easy to interpret for researchers and policy makers, such as congestion levels or travel speed on the road network, but which have strong methodological disadvantages.” (Geurs dan

Wee, 2004).

Menurut Black dalam Tamin (1997), aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan tata guna lahan secara geografis dengan sistem jaringan transportasi yang menghubungkannya. Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan ‘mudah’ atau ‘susah’nya lokasi tersebut dicapai melalui sistem jaringan transportasi. Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh Warpani (1990) bahwa daya hubung atau akses adalah tingkat kemudahan berhubungan dari satu tempat ke tempat lain. Apabila dari suatu tempat A orang dapat dengan mudah berhubungan dan mendatangi tempat B atau sebaliknya, apalagi bila hubungan dapat dilakukan dengan berbagai cara atau alat penghubung, maka dikatakan akses A-B adalah tinggi. Namun selalu saja terdapat perbedaan mengenai pengertian aksesibilitas ini. Seperti yang dikatakan oleh Geurs dan


(1)

13 diantara seluruh kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat dengan angka 3.49. Data secara lengkap dan menyeluruh mengenai PDRB per kapita atas dasar harga konstan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat disajikan dalam gambar 3.7.

Gambar 3.7

Grafik PDRB Per Kapita ADHK Kabupaten/Kota di Jawa Barat 2012

Sumber: Pusdalisbang Jawa Barat (hasil olahan)

f. Kinerja Wilayah di Provinsi

Jawa Barat

Kinerja wilayah merupakan konsep pendapatan suatu wilayah yang pada Terdapat sembilan sektor di dalam PDRB suatu wilayah. Total PDRB atas dasar harga berlaku di Provinsi Jawa Barat pada Tahun 2012 mencapai 946,86 trilliun rupiah yang didalamnya termasuk migas. Data mengenai kinerja wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat disajikan dalam gambar 3.8.

Gambar 3.8

Grafik Nilai PDRB ADHB Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat

2012 (Trilliun Rupiah)

Sumber: Pusdalisbang Jawa Barat, 2013

Kabupaten Bekasi memiliki angka PDRB ADHB terbesar dengan nilai 116,47 (trilliun rupiah), apabila sektor migas dikeluarkan maka angkanya akan menjadi 114,31. Selanjutnya Kota Bandung diurutan kedua (tertinggi) dengan angka 111,12. Perlu diketahui bahwa Kota Bandung tidak memiliki sektor migas sehingga hasilnya akan tetap sama antara angka tanpa migas dan termasuk migas.

g. Analisis Hubungan Tingkat

Aksesibilitas dengan Kesejahteraan Masyarakat

Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan dari setiap pembangunan, baik di tingkat daerah maupun pusat/nasional. Banyak hal yang dapat menjadi pendukung tercapainya kesejahteraan di suatu wilayah, dan salah satu faktor pendukung tersebut adalah tingkat aksesibilitas yang baik, yang dapat menjadikan suatu wilayah memiliki keunggulan komparif.


(2)

14 Terdapat dua indikator yang digunakan dalam mengukur kesejahteraan di Provinsi Jawa Barat. Pertama, yaitu indikator makro kesejahteraan dari sisi perekonomian suatu wilayah. Kedua, adalah indeks pembangunan manusia yang mengukur kesejahteraan dari segi dimensi fisik dan sosial.

PDRB per kapita atas dasar harga konstan dipilih sebagai salah satu indikator makro kesejahteraan masyarakat karena PDRB per kapita ADHK dapat memperlihatkan rata-rata pendapatan per satu orang penududuk secara rill. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa PDRB perkapita adalah ukuran rata-rata pendapatan per kapita di suatu wilayah. Secara menyeluruh, dari beberapa variabel aksesibilitas yang diuji hubungannya dengan kesejahteraan masyarkat, ternyata hanya ada satu variabel saja yang memiliki hubungan signifikan dengan kesejahteraan masyarakat, yang diukur dalam skala makro yaitu PDRB per kapita. Koefisien korelasi variabel-variabel aksesibilitas dengan kesejahteraan masyarakat dapat dilihat pada tabel 3.8.

Tabel 3.6

Hubungan Tingkat Akesibilitas dengan Kesejahteraan Masyarakat

di Provinsi Jawa Barat 2012 Kesejahteraan

Masyarakat PDRB Per

Kapita IPM

T in gk a t Aks e sib il it as

Kualitas Jalan Baik 0.519 0.308 Kualitas Jalan Sedang -0.298 - Kualitas Jalan Rusak -0.16 - Kualitas Jalan Rusak

Berat -0.279 -

Ketersediaan Terminal

AP 0.231 -0.135

Ketersediaan Pelabuhan 0.104 -0.392 Indeks Aksesibilitas

terhadap ibukota provinsi

- -0.012 Indeks Aksesibilitas

terhadap ibukota nasional

- 0.139

h. Hubungan Tingkat

Aksesibilitas dengan Kinerja Wilayah di Jawa Barat

PDRB atas dasar harga berlaku (ADHB) atau pun atas dasar harga konstan (ADHK) keduanya dapat digunakan sebagai indikator kinerja perekonomian suatu wilayah, dan di dalam penelitian ini PDRB ADHB dipilih sebagai cerminan dari kinerja wilayah di Provinsi Jawa Barat. Secara khusus di dalam menganalisis hubungan tingkat aksesibilitas dengan kinerja wilayah, penelitian ini hanya menggunakan indikator kualitas jalan (baik) sebagai tingkat aksesibilitas kabupaten/kota. Hasil analisis hubungan tersebut dapat dilihat pada tabel 3.9.

Tabel 3.7

Hubungan Tingkat Aksesibilitas (Jalan) dengan Kinerja Wilayah (PDRB ADHB) di Jawa Barat 2012

Kinerja Wilayah

Sektor Utama PDRB ADHB T in gk a t Aks e sib il it as PDRB ADHB Perta nian Indust ri Pengol ahan Perdag angan Hotel dan Restora n Kualitas Jalan (Baik)

-0.079

-0.432 0.184 0.055

Pada tabel di atas terlihat bahwa nilai koefisien korelasi hubungan antara kualitas jalan (baik) dengan PDRB atas dasar harga berlaku adalah -0.079. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat aksesibilitas (kualitas jalan baik) dengan kinerja wilayah (PDRB ADHB). Hal yang sama juga ditunjukkan oleh hasil korelasi yang dibagi menurut tiga sektor utama PDRB. Sektor pertanian menunjukkan nilai hubungan yang cukup signifikan, namun arah hubungan antara tingkat aksesibilitas (kualitas jalan baik) dengan sektor pertanian di dalam PDRB ADHB ini bersifat negatif atau berlawanan


(3)

15 dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0.432. Sedangkan masing-masing hubungan antara tingkat aksesibilitas (kualitas jalan baik) dengan industri pengolahan serta perdagangan hotel dan restoran secara berurutan adalah 0,184 dan 0,055.

4 Kesimpulan dan Rekomendasi

a. Kesimpulan

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Kota Cirebon dengan nilai bobot 599.33 menempati urutan pertama dalam tingkat aksesibilitas berdasarkan kualitas jalan, kemudian diikuti oleh Kota Bekasi 595.00, lalu Kota Banjar diurutan ketiga dengan bobot 578.84 dan Kabupaten Bogor diurutan keempat dengan bobot nilai 551.31. Sedangkan diurutan paling rendah ditempati oleh Kabupaten Sukabumi dengan bobot nilai 54.97. Lebih lanjut lagi, di urutan pertama tingkat aksesibilitas berdasarkan ketersediaan dan tipe terminal angkutan penumpang di Provinsi Jawa Barat adalah Kota Bandung dengan bobot 14. Sedangkan diurutan kedua ditempati oleh Kabupaten Indramayu dengan bobot 13. Kemudian diurutan terendah terdapat enam kabupaten/kota yaitu: Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi dan Kota Banjar. Pada urutan pertama tingkat aksesibilitas berdasarkan indeks aksesibilitas terhadap ibukota provinsi adalah Kabupaten Bandung dengan nilai 4,319.26 kemudian disusul oleh Kota Cimahi dengan nilai 1,568.06 dan Kabupaten Bandung Barat menempati posisi ketiga. Sedangkan diurutan terendah terdapat Kota Banjar dengan nilai 3.30. Selanjutnya, pada urutan pertama tingkat aksesibilitas berdasarkan indeks aksesibilitas terhadap ibukota nasional adalah Kota Depok dengan nilai 1.652,33 disusul oleh Kabupaten Bekasi 1,278.12 dan Kota Bekasi 1,177.92. Menariknya

Kota Banjar dalam hal ini juga menempati urutan terbawah dengan nilai 0.84.

Di tahun 2011 Kota Depok menjadi kabupaten/kota di Jawa Barat yang memiliki nilai IPM tertinggi dengan angka 79.36 disusul oleh Kota Bekasi 76.68 dan Kota Bandung 76.39. Sedangkan Kabupaten Indramayu menempati urutan paling bawah dengan nilai IPM 68.40. Namun, jika dilihat dari indikator makro PDRB per kapita atas dasar harga rill pada tahun 2012, Kabupaten Bekasi menjadi kabupaten/kota dengan pendapatan PDRB per kapita ADHB tertinggi dengan angka 22.27 (juta rupiah), kemudian Kota Cirebon dengan angka 19.38 lalu Kota Bandung 15.26. Sedangkan Kabupaten Tasikmalaya menempati posisi terendah dengan angka 3.49. Dalam kinerja wilayah, Kabupaten Bekasi memiliki angka PDRB ADHB terbesar dengan nilai 116.47 (trilliun rupiah), apabila sektor migas dikeluarkan maka angkanya akan menjadi 114.31. Selanjutnya Kota Bandung diurutan kedua (tertinggi) dengan angka 111.12. Perlu diketahui bahwa Kota Bandung tidak memiliki sektor migas sehingga hasilnya akan tetap sama baik itu tanpa migas dan termasuk migas. Sedangkan Kota Banjar memiliki angka terkecil dengan angka 2.14.

Selain itu, penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat aksesibilitas yang diukur menggunakan kualitas jalan baik dengan kesejahteraan masyarakat yang diukur menggunakan PDRB per kapita. Hubungan yang dikatakan signifikan ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.519 yang berarti ketika suatu wilayah memiliki kualitas jalan yang baik hal ini memiliki kecenderungan akan diikuti dengan


(4)

16 kesejahteraan masyarakat (PDRB per kapita) yang baik pula.

Untuk hubungan ketersediaan terminal dengan kesejahteraan masyarakat, hasil penelitian tidak menemukan hubungan yang kuat. Hal ini terlihat dari nilai koefisien korelasi sebesar 0.231 yang berarti lebih kecil dari 0.5. Disinyalir bahwa ketersediaan terminal di suatu wilayah hanya merupakan faktor pendukung, bukan merupakan faktor penentu dari ketersediaan sistem transportasi yang baik. Namun, diduga apabila simpul transportasi ini fungsinya dapat dimaksimalkan serta dioptimalkan secara tepat maka bisa jadi akan memperbaiki keadaan perekonomian suatu wilayah. Karena kebanyakan keberadaan terminal di suatu daerah seringkali tidak terpelihara sehingga menimbulkan kodisi ketidaknyamanan bagi para penumpang yang singgah/datang ke terminal tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan pelabuhan memiliki hubungan yang lemah dengan kesejahteraan masyarakat yang diukur menggunakan PDRB per kapita. Selain itu hubungan antara ketersediaan pelabuhan dengan IPM juga memperlihatkan hal yang sama. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi sebesar -0.392. Secara umum, keberadaan pelabuhan yang memang hanya ada di kabupaten/kota antara pantai utara dan selatan memang sering tergambarkan dengan kurangnya mendapat perhatian pembangunan dari pemerintah. Karena disparitas pembangunan yang sering terjadi di Pulau Jawa ini adalah menyangkut daerah-daerah pantai, khususnya daerah selatan. Bahkan studi penelitian yang dilakukan oleh Kuncoro (2013) menemukan bahwa pola spasial pembangunan di Indonesia menunjukan ketimpangan distribusi industri secara geografis. Daerah industri yang utama di

Indonesia hanya berlokasi di Jawa. Menariknya aglomerasi di Jawa hanya terjadi di bagian Barat dan Timur pulau yang paling padat penduduknya.

Selanjutnya hubungan antara tingkat aksesibilitas berdasarkan indeks aksesibilitas terhadap ibukota provinsi dan juga nasional dengan kesejahteraan masyarakat yang diukur menggunakan IPM tidak ditemukan suatu hubungan yang kuat. Nilai koefisen korelasi antara variabel indeks aksesibilitas terhadap ibukota provinsi dengan IPM kabupaten/kota di Jawa Barat adalah -0.012. Kemudian koefisien korelasi hubungan antara variabel indeks aksesibilitas terhadap ibukota nasional dengan IPM kabupaten/kota di Jawa Barat adalah 0.139.

Ditemukan pula hal serupa terkait dengan hubungan antara tingkat aksesibilitas yang diukur menggunakan kualitas jalan dengan kinerja wilayah yang diukur menggunakan PDRB ADHB. Nilai koefisien korelasi antara varibel tersebut adalah -0,079, yang berarti tidak terdapat hubungan (sangat lemah) dan bernilai negatif. Adapun hubungan antara kualitas jalan dengan tiga sektor utama PDRB yang diuji, dari salah satunya terdapat hubungan. Varibel kualitas jalan dengan sektor pertanian PDRB kabupaten/kota di Jawa Barat memperlihatkan nilai koefisen -0.432. Namun sedikit disayangkan karena hubungan tersebut bernilai negatif. Sedangkan sisanya hubungan kualitas jalan dengan sektor pengolahan serta perdagangan hotel dan restoran masing-masing adalah 0.184 dan 0.055. Apabila dianalisis lebih lanjut lagi, kemungkinan akan ditemukan bahwa terdapat faktor lain yang berhubungan dengan besaran pendapatan suatu wilayah. Faktor kependudukan dapat menjadi salah satu hal yang sangat berpengaruh terhadap besaran pendapatan suatu wilayah. Selain kuantitas jumlah penduduk sebagai aktor


(5)

17 dari kegiatan perekonomian suatu wilayah yang kemudian menciptakan added value bagi daerah, namun juga kualitas sumber daya masyarakat di dalam suatu wilayah akan turut menentukan besaran pendapatan suatu daerah.

b. Rekomendasi

Dalam mendorong kesejahteraan serta perekonomian suatu daerah, menjadi sangat penting untuk diperhatikan segala hal yang menyangkut ketersediaan sistem transportasi. Karena transportasi merupakan salah satu penggerak perekonomian suatu wilayah yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap kesejahteraan masyarakatnya, di samping itu transportasi memiliki fungsi dan peran strategis yang menjadi penunjang perkembangan di wilayah.

Aktifitas perekonomian di wilayah mana pun pasti terkait dengan sistem transportasi. Suatu perusahaan pasti memerlukan ketersediaan sarana dan prasarana transportasi yang baik agar barang atau jasanya dapat didistribusikan/disalurkan ke setiap tempat. Sehingga segala macam jenis aktifitas selalu terkait dengan pergerakan baik itu orang maupun barang. Akan

menjadi sangat penting dan bernilai ketika suatu daerah memiliki tingkat aksesibilitas yang baik. Karena hal ini dapat mendorong orang untuk datang ke wilayah tersebut, baik untuk keperluan wisata, berinvestasi, ataupun melalukan kegiatan bisnis di wilayah itu. Pada akhirnya seluruh aktifitas itu akan mendatangkan nilai ekonomi untuk daerah yang memiliki aksesibilitas yang baik.

Pemerintah selaku pengelola sistem transportasi di setiap daerah, sudah selayaknya memelihara dan memperhatikan kualitas ketersediaan infrastruktur transportasi di daerahnya masing-masing. Jika dilihat di negara-negara maju, yang mana memiliki ketersediaan sistem transportasi yang advanced, sehingga faktor kendala jarak sudah bukan menjadi penghalang lagi bagi orang/barang untuk bergerak. Pada akhirnya tugas untuk menciptakan aksesibilitas yang baik adalah tanggung jawab setiap pemangku kepentingan (stakeholder) di setiap daerah maupun pusat agar kesejahteraan masyarakat dan juga kinerja wilayah dapat terdorong dengan menyediakan sistem transportasi yang baik pula.

Daftar Pustaka 1. Buku Referensi

Adisasmita, R. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta. Graha Ilmu.

Bungin, H.M.B. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

Kusbiantoro, B.S. (2007). Memanusiakan Perencanaan Sistim Transportasi.

Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota. Bandung: ITB.

Tamin, O.Z. 1997. Perencanaan & Pemodelan Transportasi. Bandung. ITB Tarigan, R. 2012. Ekonomi Regional

(Teori dan Aplikasi). Jakarta. PT Bumi Aksara.

Warpani, S. 1990. Merencanakan Sistem Perangkutan. Bandung. ITB.

2. Tugas Akhir/Thesis

Parlindungan, B. 2010. Analisis Pengaruh Tingkat Aksesibilitas terhadap Perkembangan Kecamatan di Kota Medan. Medan. Universitas Sumatera Utara.


(6)

18 Widodo, Eko. 2008. Kajian Pengaruh

Jalan Terhadap Kinerja Perekonomian Wilayah. Bandung. ITB.

3. Jurnal

Geurs, KT. dan Wee, BV. 2004. Accessibility Evaluation of Land-Use and Transport Strategies: Review and Research Directions, Journal of Transport Geography 12 (127-140).

Kuncoro, M. 2004. Adakah Perubahan Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur di Indonesia, 1976-2001? Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 19 No.4.

Rahimah, N.S. dan Putro, H.P.H. 2014. Pengaruh Infrastruktur Jalan Terhadap Sebaran Investasi di Provinsi Jawa Barat. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK Volume 3 No. 3 (Hal. 663-670).

Setiawan dan Hakim. 2013. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Jurnal Economia Volume 9.

4. Terbitan Terbatas

Badan Pusat Statistik. 2012. Data Basis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat Tahun 2010 – 2011.

Badan Pusat Statistik. 2014. Jawa Barat Dalam Angka 2014.

Badan Pusat Statistik. 2012. Jawa Barat Dalam Angkat 2012.

Ditjen Perhubungan Darat. 2013. Profil dan Kinerja Perhubungan Darat Provinsi Jawa Barat.

Pusdalisbang. 2013. Kompilasi dan Analisis PDRB Kabupaten/Kota di Jawa Barat 2011 – 2012.

BPS Jawa Barat. 2004-2012. Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Jawa Barat 2004-2012. http://jabar.bps.go.id/subyek/juml ah-penduduk-kabupatenkota-di-jawa-barat-2004-2012 (7 Juni 2014).

5. Website

United Nations Development Programme (Human Development Reports). 2013. About Human Development._

http://hdr.undp.org/en/humandev (28 Juni 2014).