Hubungan APBD dengan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Kota Medan

(1)

HUBUNGAN APBD DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN

MASYARAKAT DI KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

MUHAMMAD ISKANDAR

037024042/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

HUBUNGAN APBD DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN

MASYARAKAT DI KOTA MEDAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Studi Pembangunan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD ISKANDAR

037024042/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN APBD DENGAN TINGKAT

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KOTA

MEDAN

Nama Mahasiswa : Muhammad Iskandar Nomor Pokok : 037024042

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Lic. rer. reg. Sirojuzilam, SE)

Ketua Anggota

(Drs. Agus Suriadi, M.Si)

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 22 Desember 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Lic. rer. reg. Sirojuzilam, SE Anggota : 1. Drs. Agus Suriadi, M.Si

2. Drs. Kariono, M.Si

3. Drs. M. H. Thamrin Nasution, M.Si 4. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA


(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN APBD DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KOTA MEDAN

T E S I S

Dengan ini saya manyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam Daftar Pustaka.

Medan, Desember 2008


(6)

ABSTRAK

Kemiskinan merupakan suatu kondisi tertentu yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan. Rumah tangga miskin umumnya memiliki jumlah rata-rata anggota rumah tangga yang lebih besar dibandingkan dengan anggota rumah tangga yang tidak tergolong miskin. Keadaan ini diikuti dengan rendahnya rata-rata tingkat pendidikan serta tenaga kerja yang umumnya bekerja disektor informal. Sebagian dari usaha pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya adalah dengan penyediaan sarana dan prasarana untuk kelompok masyarakat miskin. Hal ini dilakukan dengan membangun infrastruktur seperti sarana kesehatan dan sarana pendidikan.

Untuk mendukung usaha pemerintah daerah tersebut, pemerintah daerah menyusun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). APBD adalah merupakan gambaran dari kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola pemenuhan kebutuhan masyarakat dan operasionalisasi struktur yang mendukungnya. Rumusan masalah penelitian ini adalah : 1) Bagaimanakah gambaran kesejahteraan masyarakat di Kota Medan, 2) Apakah ada hubungan antara APBD dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di Kota Medan.

Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Mengidentifikasi gambaran kesejahteraan masyarakat dan APBD Kota Medan, 2) Menganalisis hubungan antara penerimaan APBD dengan kesejahteraan masyarakat di Kota Medan.

Indikator kemiskinan yang diukur dalam penelitian ini adalah persentase penduduk miskin, kemudian variabel-variabel kesejahteraan yang terdiri dari pendidikan, tenaga kerja, kesehatan pengeluaran, perumahan dan lingkungan serta anggaran pendapatan belanja daerah. Tehnik pengelohan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis terhadap data, baik dokumen, wawancara atau keterangan yang didukung oleh data lapangan dan imformasi yang akurat. Informasi dan data yang diperoleh dari lapangan dan informan disusun secara sistematis dan dikategorisasikan selanjutnya dianalisis.

Hasil penelitian ini manunjukan bahwa penerimaan APBD mempunyai hubungan kesejahteran masyarakat. Tingkat kesejahteraan masyarakat di Kota Medan masih belum merata, dengan adanya kesenjangan pembangunan yang cukup mencolok antara kawasan inti kota dan kawasan pinggiran kota dilihat dari pembangunan fisik maupun pembangunan sosial non ekonomis yang terdiri dari tingkat pendidikan, tingkat pelayanan kesehatan, kecukupan kebutuhan akan perumahan. Rekomendasi kebijakan dari penelitian ini adalah diperlukannya upaya-upaya untuk meningkatkan penerimaan anggaran pendapatan belanja daerah, upaya-upaya berupa sosialisasi terhadap pentingnya penduduk memiliki pengetahuan baca tulis, usaha-usaha untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang memperioritaskan pada sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja sektor formal, diperlukan usaha-usaha pemerintah melalui penyuluhan-penyuluhan tentang pentingnya kesadaran


(7)

akan kesehatan. Disamping usaha-usaha persuasif tersebut diperlukan juga peran pemerintah dalam rangka meningkatkan kesehatan penduduk dengan mengoptimalkan sarana dan prasarana kesehatan.


(8)

ABSTRACT

Proverty is a condition under line assess standard requirement of minimum, good to food and non food. Impecunious household generally have the amount of larger ones household member means compared to impecunious exclusive of household member. This situation is followed lowly mean him mount education and also labour which generally work informal sector. Some of governmental efforts to isn’t it the people of is readyly facilities and basic facilities for the group of impecunious society. This matter is build infrastucture like health medium and education medium.

To support the effort local government, government compile Regional Budgetary for Expenditure and Depelopment (APBD). APBD is represent the image of from policy of local government in managing accomplishment of requirement of and society of operasionalisasi structure supporting him. Formula problem of this research is 1) How picture prosperity of society in Medan Town Field, 2) What is there relation between APBD with storey;level prosperity of society in Medan Field Town.

Intention of this research is to 1) Identifyimg the image of properity of and society of APBD Medan Town Field 2) Analysing relation between acceptance of APBD with prosperity of society in Medan Town Field.

Measured Indicator poorness in this research is persentage of impecunious resident, later, then prosperity variable which consist of education, labour, health, expenditure, environment and housing and also area expense revenue plan. Technics of data processing which used in this research is analysis to data, document, description or interview supported by field data and accurate information. Information and obtained data of informan an field compiled systimatically and isn’t it is here in after analysed.

This research result indicate that acceptance of APBD have relation with prosperity of society. Mount prosperity of society in Medan Towm Field still not yet flattened, with existence of enough development difference strike between area of is core of marginal area and town of town seen from contruction and development of social of is non economic is which consist of education storey;level, mount service of health, sufficiency of requirement of housing. Policy recommendation of this research is needed by efforts him to improve acceptance of area expense revenue plan, strive in the from of socialization to important of resident him have knowledge read to write, efforts to be ready of work field which isn’t it at sectors capable to permeate formal sector labour, needed by the efforts government through counsellings concernimg important of awareness him of health. Beside the efforts the persuasif needed also role of government for the agenda of improping health of resident optimally health facilities and basic facilities.


(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini berjudul, Hubungan APBD dengan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Kota Medan. Penulisan ini dimaksudkan sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana Program Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

Dalam tesis ini penulis mencoba melakukan analisis tentang variabel-variabel utama yang mempengaruhi kemiskinan di Kota Medan. Bagi penulis topik ini dipilih didasarkan atas keingintahuan tenatang bagaimana pengaruh anggaran pendapatan belanja daerah dan variabel-variabel kesejahteraan rakyat terhadap kemiskinan. Atas selesainya tesis ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(k), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. M Arif Nasution, MA, selaku Ketua Program Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Pembangunan Universaitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Lic.ler. reg. Sirojuzilam, SE selaku ketua pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan serta saran selama penulisan dalam tesis ini. 6. Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si, selaku anggota pembimbing yang telah


(10)

7. Bapak Drs. Kariono, M.Si dan Drs. M. Husni Thamrin, M.Si, selaku dosen pembanding yang telah banyak memberikan saran bagi penulisan tesis ini. 8. Seluruh keluarga.

9. Bapak / Ibu Dosen, staff administrasi dan rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pascasarjana Studi Pembangunan yang telah banyak membantu selama proses perkuliahan.

10.Seluruh Staff Badan Pusat Statistik Kota Medan serta Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara, Staff Bappeda Kota Medan, dan Staff Kecamatan Kota Medan.

Penulis mengharapkan agar tesis ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dan masyarakat serta sebagai tambahan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Akhir kata penulis mengharapkan semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah membantu di dalam penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat dan dapat memberikan ide dan masukan bagi penulisan lainnya.

Medan, Desember 2008


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Muhammad Iskandar Sakty

Batubara

NIM : 037024042

Temapat/Tanggal Lahir : Medan, 3 April 1979

Alamat : Jl. Jermal IV No. 28 Medan

Status Perkawinan ; Kawin

Nama Istri : Desy Anggerainy SE

Nama Anak : 1. Muhammad Raja Sakty Batubara

2. Tasha Maghfirah Batubara Nama Orang Tua

Bapak : Drs. H. Ibrahim Sakty Batubara, MAP.

Ibu : Hj. Iwimaslina Lubis

Pendidikan : 1. SD Negeri No. 060653 Medan 2. SLTP Negeri 11 Medan 3. SMA Mulia Medan

4. Universitas Medan Area Fak. Ekonomi

5. Mahasiswa Program S-2 MSP

FISIP Universitas Sumatera Utara

Pekerjaan : Wiraswasta


(12)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK……….. i

ABSTRACT………... iii

KATA PENGANTAR ……….. iv

RIWAYAT HIDUP ……….. vi

DAFTAR ISI ………. vii

DAFTAR TABEL ………. ix

DAFTAR GAMBAR………. xi

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Perumusan Masalah………... 8

1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian………. 8

1.4. Kerangka Pemikiran………... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………... 11

2.1. Konsep Keuangan Daerah... 11

2.2. Penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah ... 14

2.3. Kesejahteraan Masyarakat... 25

2.4. Kemiskinan... 30

BAB III METODE PENELITIAN ………... 44

3.1. Jenis Penelitian ……….. 44

3.2. Defenisi Konsep ……… 44

3.3. Operasionalisasi Variabel……….. 48


(13)

3.5. Teknik Pengumpulan Data ……… 49

3.6. Lokasi Penelitian……… 49

3.7. Analisis Data……….. 50

3.8. Jadwal Pelaksanaan……… 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 52

4.1. Gambaran Umum Kota Medan... 52

4.2. Proses Pembuatan APBD... 59

4.3. APBD Kota Medan Tahun Anggaran 2000 – 2005... 61

4.4. Kesejahteraan Masyarakat Kota Medan... 66

4.5. Analisa Hubungan APBD dengan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Kota Medan……… 101 BAB V PENUTUP ... 108

5.1. Kesimpulan………... 108

5.2. Saran ... 109


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 1. Struktur Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Pada Sisi Penerimaan... 19 2. Struktur Anggaran Pendapatan Belanja Daerah pada Sisi Pengeluaran.... 21 3. Sasaran dan Instrumen dalam Pengeluaran Pemerintah………. 24 4. Operasionalisasi Variabel………... 48 5. APBD Kota Medan Tahun 2000 – 2005... 62 6. Alokasi Anggaran Bidang Pendidikan, Kesehatan, dan Bantuan Sosial

APBD Kota Medan Tahun Anggaran 2000-2005... 64 7. Persentase Penduduk Tidak Sekolah Usia 7 – 12 Tahun dirinci Per

Kecamatan di Kota Medan………. 67 8. Jumlah Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan Sekolah

Lanjutan Tingkat Atas Negeri dan Swasta dirinci Menurut Kecamatan di Kota Medan Tahun 2000-2005……….. 68 9. Penambahan dan Rehabilitasi Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama, dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Negeri dirinci Menurut Kecamatan di Kota Medan Tahun 2000-2005………... 70 10. Persentase Banyaknya Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan

Usaha di Kecamatan Medan Timur Tahun 2000-2005……….. 73 11. Persentase Banyaknya Penduduk yang Bekerja Menurut

LapanganUsaha di Kecamatan Medan Polonia Tahun 2000-2005……… 73 12. Persentase Banyaknya Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan

Usaha di Kecamatan Medan Labuhan Tahun 2000-2005……….. 74 13. Persentase Banyaknya Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan

Usaha di Kecamatan Medan Marelan Tahun 2000-2005………... 75 14. Persentase Banyaknya Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan


(15)

15. Banyaknya Rumah Sakit, Puskesmas, BPU, dan BKIA Dirinci per Kecamatan di Kota Medan Tahun 2000-2005... 78 16. Penambahan Beberapa Unit Puskesmas Dirinci per Kecamatan di Kota

Medan Tahun 2000-2005... 80 17. Banyaknya Posyandu, Dokter, dan Bidan yang Melayani KB Dirinci

Menurut Kecamatan di Kota Medan Tahun 2005... 81 18. Persentase Keluarga Miskin yang Mendapat Pelayanan Kesehatan

Menurut Kecamatan Tahun 2000-2005……….. 83 19. Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Air Bersih, Listrik,

Telepon, Gas dirinci Per Kecamatan di Kota Medan... 84 20. Persentase Rata - Rata Pengeluaran Riil per Kapita Menurut

Kabupaten/Kota 2000-2005... 88 21. Komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut

Kabupaten/Kota... 91 22. Indeks Pembangunan Manusia di Kota Medan Tahun 2007……… 92 23. Banyaknya Rumah Tangga Miskin Penerima BLT pada Kecamatan

Medan Timur, Medan Polonia, Medan Labuhan, Medan Marelan dan Medan Tahun 2005... 99


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 1. Hubungan APBD dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di Kota

Medan... 10 2. Lingkaran Kemiskinan Sisi Penerimaan dan Sisi Penawaran Nurkse... 31


(17)

ABSTRAK

Kemiskinan merupakan suatu kondisi tertentu yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan. Rumah tangga miskin umumnya memiliki jumlah rata-rata anggota rumah tangga yang lebih besar dibandingkan dengan anggota rumah tangga yang tidak tergolong miskin. Keadaan ini diikuti dengan rendahnya rata-rata tingkat pendidikan serta tenaga kerja yang umumnya bekerja disektor informal. Sebagian dari usaha pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya adalah dengan penyediaan sarana dan prasarana untuk kelompok masyarakat miskin. Hal ini dilakukan dengan membangun infrastruktur seperti sarana kesehatan dan sarana pendidikan.

Untuk mendukung usaha pemerintah daerah tersebut, pemerintah daerah menyusun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). APBD adalah merupakan gambaran dari kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola pemenuhan kebutuhan masyarakat dan operasionalisasi struktur yang mendukungnya. Rumusan masalah penelitian ini adalah : 1) Bagaimanakah gambaran kesejahteraan masyarakat di Kota Medan, 2) Apakah ada hubungan antara APBD dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di Kota Medan.

Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Mengidentifikasi gambaran kesejahteraan masyarakat dan APBD Kota Medan, 2) Menganalisis hubungan antara penerimaan APBD dengan kesejahteraan masyarakat di Kota Medan.

Indikator kemiskinan yang diukur dalam penelitian ini adalah persentase penduduk miskin, kemudian variabel-variabel kesejahteraan yang terdiri dari pendidikan, tenaga kerja, kesehatan pengeluaran, perumahan dan lingkungan serta anggaran pendapatan belanja daerah. Tehnik pengelohan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis terhadap data, baik dokumen, wawancara atau keterangan yang didukung oleh data lapangan dan imformasi yang akurat. Informasi dan data yang diperoleh dari lapangan dan informan disusun secara sistematis dan dikategorisasikan selanjutnya dianalisis.

Hasil penelitian ini manunjukan bahwa penerimaan APBD mempunyai hubungan kesejahteran masyarakat. Tingkat kesejahteraan masyarakat di Kota Medan masih belum merata, dengan adanya kesenjangan pembangunan yang cukup mencolok antara kawasan inti kota dan kawasan pinggiran kota dilihat dari pembangunan fisik maupun pembangunan sosial non ekonomis yang terdiri dari tingkat pendidikan, tingkat pelayanan kesehatan, kecukupan kebutuhan akan perumahan. Rekomendasi kebijakan dari penelitian ini adalah diperlukannya upaya-upaya untuk meningkatkan penerimaan anggaran pendapatan belanja daerah, upaya-upaya berupa sosialisasi terhadap pentingnya penduduk memiliki pengetahuan baca tulis, usaha-usaha untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang memperioritaskan pada sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja sektor formal, diperlukan usaha-usaha pemerintah melalui penyuluhan-penyuluhan tentang pentingnya kesadaran


(18)

akan kesehatan. Disamping usaha-usaha persuasif tersebut diperlukan juga peran pemerintah dalam rangka meningkatkan kesehatan penduduk dengan mengoptimalkan sarana dan prasarana kesehatan.


(19)

ABSTRACT

Proverty is a condition under line assess standard requirement of minimum, good to food and non food. Impecunious household generally have the amount of larger ones household member means compared to impecunious exclusive of household member. This situation is followed lowly mean him mount education and also labour which generally work informal sector. Some of governmental efforts to isn’t it the people of is readyly facilities and basic facilities for the group of impecunious society. This matter is build infrastucture like health medium and education medium.

To support the effort local government, government compile Regional Budgetary for Expenditure and Depelopment (APBD). APBD is represent the image of from policy of local government in managing accomplishment of requirement of and society of operasionalisasi structure supporting him. Formula problem of this research is 1) How picture prosperity of society in Medan Town Field, 2) What is there relation between APBD with storey;level prosperity of society in Medan Field Town.

Intention of this research is to 1) Identifyimg the image of properity of and society of APBD Medan Town Field 2) Analysing relation between acceptance of APBD with prosperity of society in Medan Town Field.

Measured Indicator poorness in this research is persentage of impecunious resident, later, then prosperity variable which consist of education, labour, health, expenditure, environment and housing and also area expense revenue plan. Technics of data processing which used in this research is analysis to data, document, description or interview supported by field data and accurate information. Information and obtained data of informan an field compiled systimatically and isn’t it is here in after analysed.

This research result indicate that acceptance of APBD have relation with prosperity of society. Mount prosperity of society in Medan Towm Field still not yet flattened, with existence of enough development difference strike between area of is core of marginal area and town of town seen from contruction and development of social of is non economic is which consist of education storey;level, mount service of health, sufficiency of requirement of housing. Policy recommendation of this research is needed by efforts him to improve acceptance of area expense revenue plan, strive in the from of socialization to important of resident him have knowledge read to write, efforts to be ready of work field which isn’t it at sectors capable to permeate formal sector labour, needed by the efforts government through counsellings concernimg important of awareness him of health. Beside the efforts the persuasif needed also role of government for the agenda of improping health of resident optimally health facilities and basic facilities.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia. Negara miskin, di lain pihak, menghadapi masalah klasik pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Isu mendasarnya adalah siapa yang membuat “kue nasional” itu tumbuh, segelintir orang ataukah banyak orang. Bila pertumbuhan terutama disumbangkan oleh golongan kaya, maka merekalah yang paling mendapat manfaat dari pertumbuhan, sementara kemiskinan dan distribusi pendapatan semakin memburuk. Namun, bila pertumbuhan disumbangkan oleh banyak orang, maka buah dari pertumbuhan ekonomi akan dirasakan secara merata. Banyak negara sedang berkembang mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tetapi tidak membawa manfaat yang berarti bagi penduduk miskinnya. Ini dialami oleh ratusan penduduk di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, di mana tingkat kehidupannya relatif berhenti dan bahkan anjlok bila dinilai secara riil.

Di Indonesia, strategi pembangunan yang diprioritaskan pada pemerataan hasil-hasil pembangunan dimulai sejak PELITA III. Ini sejalan dengan amanat GBHN bahwa arah dan tujuan pembangunan nasional harus dapat dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, dan hasil-hasil yang dicapai harus dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat Indonesia. Tujuan pembangunan tersebut erat kaitannya dengan upaya mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.


(21)

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia di tahun 1997 telah mengakibatkan jumlah penduduk miskin cenderung meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Akhir tahun 1998, Badan Pusat Statistik mencatat bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 49,5 juta jiwa, jumlah persentase penduduk miskin ini melebihi kondisi pada tahun 1996, dimana jumlah penduduk miskin berjumlah 22 juta jiwa. Data Badan Pusat Statistik tahun 2002 menunjukkan bahwa mayoritas persentase penduduk miskin berada di Provinsi Papua dengan persentase penduduk miskin sebesar 41.80 %, sedangkan Provinsi DKI Jakarta terendah dengan 3.42 %.

Berdasarkan catatan BPS Provinsi Sumatera Utara, pada tahun 2000, sesuai dengan sensus penduduk (SP 2000), jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara mencapai 1.981.555 jiwa (17,21 %), dan angka ini cenderung menurun dimana pada tahun 2001 sebanyak 1.856.852 jiwa (15,94 %), dan tahun 2002 menjadi 1.883.847 jiwa (15,84%). Pada tahun 2003 terjadi sedikit peningkatan menjadi 1.889.400 jiwa (15,89%). Diperkirakan kemiskinan yang terjadi di Sumatera Utara, diakibatkan oleh belum memadainya kesejahteraan rakyat di provinsi ini.

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 1999 – 2006 kemiskinan di Kota Medan dari tahun ke tahun cenderung menurun, dimana pada tahun 1999 sebanyak 240.000 jiwa (11,81 %), dan angka ini cenderung menurun pada tahun 2003 menjadi 143.500 jiwa (7,25 %), dan pada tahun 2004 menjadi 142.600 jiwa (7,13 %). Pada tahun 2006 terjadi peningkatan menjadi 160.650 jiwa (7,77 %). Untuk


(22)

mengatasi kemiskinan, Kota Medan mempunyai alokasi anggaran untuk kesejahteraan rakyat. Alokasi anggaran tersebut dimasukkan untuk pos bidang pendidikan, kesehatan dan bantuan sosial (sumber: Bappeda Kota Medan).

Anggaran di bidang bantuan sosial di Kota Medan mendapatkan porsi yang sangat kecil yang kurang dari 1 % dari APBD. Jika pada tahun 2000 hanya dialokasikan Rp. 262.800.000,- (0,11 % dari total APBD Kota Medan tahun 2000). Pada tahun 2001 jumlahnya meningkat menjadi Rp. 342.800.000 (0,06 % dari total APBD Kota Medan tahun 2001). Untuk tahun 2002 alokasi bantuan sosial ini mengalami penurunan dan kuantitas yang hampir dua kali lipat menjadi Rp. 180.000.000,- (0,22 % dari total APBD Kota Medan tahun 2002). Pada tahun 2003 jumlahnya meningkat menjadi Rp. 229.100.000,- (0,02 % dari total APBD Kota Medan tahun 2003). Di tahun 2004 terjadi penurunan baik persentase maupun kuantitasnya menjadi Rp 127.098.000 (0,01 % dari total APBD Kota Medan tahun 2004). Dan pada tahun 2005 alokasi di bidang bantuan sosial ini meningkat dua kali lipat menjadi Rp. 302.760.000,- (0,03 %dari total APBD Kota Medan tahun 2005).

Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Ini disebabkan oleh adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. BPS menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedang pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk


(23)

perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Dengan kata lain, BPS menggunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic

needs approach) dan pendekatan head count index. Pendekatan pertama merupakan

pendekatan yang sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan head count index merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah suatu batas yang disebut garis kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan minimum makanan dan nonmakanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari 2 komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non makanan (nonfood line).

Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, mengatakan bahwa kemiskinan tidak hanya terkait dengan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan material dasar, tetapi kemiskinan juga terkait erat dengan berbagai dimensi lain kehidupan manusia seperti kesehatan, pendidikan, jaminan masa depan dan peranan sosial. Todaro (1999), dalam buku pembangunan ekonomi di dunia ketiga, juga memasukkan indikator-indikator sosial dalam tolok ukur pembangunan. Menurutnya tolok ukur pembangunan adalah pengurangan kemiskinan yang didukung oleh indikator-indikator sosial seperti tingkat pendidikan, kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan hingga kecukupan akan kebutuhan perumahan.


(24)

Berkaitan dengan masalah kemiskinan, pada bidang kesehatan menurut Todaro (1999) dalam buku pembangunan ekonomi di dunia ketiga, mengatakan bahwa masih kurangnya penyediaan layanan kesehatan yang memadai di negara-negara miskin di dunia ketiga. Umumnya para dokter dan rumah sakit itu berada di daerah perkotaan dengan tarif yang mahal. Pada sektor pendidikan, Todaro mengatakan bahwa fasilitas-fasilitas pendidikan dan faktor pendukungnya di kebanyakan negara-negara di dunia ketiga masih belum memadai. Hal ini diperparah dengan tingkat kegagalan dalam menyelesaikan sekolah dan tingkat buta huruf yang tinggi. Kemudian di bidang ketenagakerjaan, ia mengatakan bahwa terdapat masalah pada rendahnya produktifitas tenaga kerja. Hal ini sejalan dengan sumber daya manusianya yang juga kurang memadai, serta tingkat pengangguran yang tinggi. Pada bidang fertilitas, mengacu pada pendapat argumentasi garis keras, Todaro, mengatakan bahwa pertambahan jumlah penduduk yang tidak dibatasi dianggap sebagai penyebab pokok terjadinya kemiskinan, standar hidup yang rendah, kekurangan gizi, kesehatan yang buruk dan masalah sosial lainnya.

Ledakan penduduk yang ada saat ini pada kenyataannya sudah sangat sulit dimbangi dengan penyediaan perumahan yang layak dan jasa-jasa sosial lainnya. Ini belum terhitung akan terjadinya peningkatan kriminalitas, pencemaran lingkungan hidup, kemacetan lalu lintas, dan lain-lain. Pendeknya, sebesar apapun manfaat yang akan dibawa oleh ledakan penduduk itu, biaya, kerugian dan kesulitan yang akan ditimbulkannya jauh lebih besar lagi. Mantan presiden Bank Dunia, Robert


(25)

McNamara, secara jelas menyatakan kekhawatiran dan keprihatinannya yang mendalam atas terus melonjaknya jumlah penduduk di daerah-daerah perkotaan di berbagai negara.

Sebesar apa pun manfaat ekonomi yang dibawa oleh para pendatang baru itu akan nampak kerdil apabila dibandingkan dengan seluruh biaya atau masalah-masalah yang akan ditimbulkannya. Pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan yang begitu cepat telah jauh melampaui daya dukung sarana infrastruktur manusia dan fisik yang dibutuhkan untuk menciptakan kehidupan ekonomi yang efisien berlandaskan stabilitas politik dan tata hubungan sosial yang mantap. Jangan harap kenyamanan hidup serta keramahtamahan akan terpelihara di kalangan penduduk kota-kota (Todaro, 1999).

Seiring terus dengan meluasnya urbanisasi, dan bias urban tumbuh subur pula kantung-kantung pemukimam kumuh dan kampung-kampung di tengah kota yang serba menyesakkan dan liar. Akan semakin banyak penduduk perkotaan yang tinggal berhimpit-himpit di berbagai pusat pemukiman yang sebenarnya tidak pantas dihuni oleh manusia. Meskipun pertambahan penduduk dan migrasi desa-kota yang terus meningkat itu memang merupakan penyebab utama terciptanya pemukiman-pemukiman kumuh, namun pihak pemerintah di masing-masing negara berkembang juga memikul tanggung jawab. Sadar atau tidak mereka juga turut menyebabkan kemunculan pemukiman kumuh tersebut. Kekeliruan perumusan dan/atau pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam pengembangan daerah perkotaan memang sering terjadi. Selain itu, perencanaan tata kota juga acapkali ketinggalan jaman, mudah berubah-ubah atau dirancang secara asal jadi.

Atep Adya Barata dan Bambang Trihartanto dalam buku Keuangan Negara/Daerah tahun 2004 mengatakan bahwa pencapaian kemakmuran secara


(26)

umum harus dilakukan secara bersama-sama antara masyarakat dan pemerintah. Mereka juga mengatakan bahwa sesuai dengan konstitusi setiap negara termasuk Indonesia, bahwa melaksanakan pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kemakmuran dalam masyarakat adalah kewajiban negara yang paling utama.

Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tersebut dibutuhkan peran pemerintah. Aspek yang paling mendasar adalah ketersediaan dana pemerintah sebagai modal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dimulainya era reformasi telah memberikan peluang bagi perubahan kesejahteraan rakyat tersebut, baik tingkat nasional maupun daerah. Otonomi daerah telah membawa harapan baru untuk mengatasi masalah kemiskinan. Melalui Otonomi daerah pemerintah pusat akan memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengurus kepentingan dan tanggungjawabnya seperti, urusan umum dan pemerintahan, penyediaan fasilitas pelayanan seperti jalan, penerangan, kesehatan, pendidikan hingga masalah sosial budaya. Harapannya, melalui peningkatan pelayanan dan penyediaan fasilitas tersebut akan dapat mengurangi masalah kemiskinan. Ketika tingkat kesejahteraan meningkat, diharapkan dapat mengurangi masalah kemiskinan dan pada gilirannya akan melancarkan pembangunan di kabupaten/kota tersebut.

Tulisan ini ingin melihat pengaruh variabel anggaran pendapatan dan belanja daerah dengan variabel kesejahteraan rakyat yang diukur melalui indikator kesehatan, pendidikan, angkatan kerja, pengeluaran serta perumahan dan lingkungan. Bagi penulis hal ini menarik untuk diteliti dan ketertarikan penulis dituangkan kedalam


(27)

tesis ini dengan judul : Hubungan APBD dengan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Kota Medan

1.2 Perumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini .

1. Bagaimanakah gambaran kesejahteraan masyarakat di Kota Medan?

2. Apakah ada hubungan antara APBD dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di kota Medan?

1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Berkaitan dengan penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dan kesejahteraan rakyat serta persentase penduduk miskin di Kota Medan, tesis ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi gambaran kesejahteraan masyarakat dan APBD Kota Medan.

2. Menganalisis hubungan antara penerimaan APBD dengan kesejahteraan masyarakat di Kota Medan.

Melalui penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Bagi pemerintah, melalui hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rekomendasi kepada Pemerintah Daerah Kota Medan mengacu pada temuan


(28)

yang didapat pada penelitian ini, dalam hal pengentasan masyarakat miskin atau paling tidak dapat mengurangi persentase penduduk miskin.

2. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang kemiskinan, penerimaan anggaran pendapatan belanja daerah dan indikator kesejahteraan rakyat .


(29)

1.4. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Hubungan APBD dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di Kota Medan

APBD Kota Medan

Fakta

Penerimaan APBD pasca otonomi, cenderung meningkat jumlahnya dari tahun

ke tahun. Hal inii mengindikasikan bahwa tiap tahunnya kota Medan memiliki

tambahan dana untuk meingkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Alokasi Anggaran Kesejahteraan Rakyat terdiri dari anggaran pendidikan, anggaran kesehatan dan anggaran bantuan sosial

Penduduk Miskin Kota

Kesejahteraan Masyarakat dengan indikator kesehatan, pendidikan, angkatan kerja, pengeluaran, perumahan dan lingkungan.

Harapan

Dukungan penerimaan APBD akan meningkatkan kesejahteraan rakyat dan


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Keuangan Daerah

Sejalan dengan berbagai tuntutan dan keperluan untuk mendorong desentralisasi dan otonomi, telah diundangkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-Undang tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan yang cukup kuat dalam mengimplementasikan otonomi yang seluas-luasnya dan bertanggung jawab yang mampu mendukung penyelenggaraan pembangunan daerah oleh pemerintah daerah sehingga sejalan dengan aspirasi dan kebutuhan daerah.

Di sisi lain pembangunan yang berkesinambungan harus dapat memberi tekanan pada mekanisme ekonomi, sosial, politik, dan kelembagaan, baik dari sektor swasta maupun pemerintah, demi terciptanya suatu perbaikan standar hidup masayarakat secara cepat. Untuk itu pemerintah daerah dituntut untuk mampu mengalokasikan sejumlah besar anggaran pembangunan untuk membiayai program-program yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dorongan desentralisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia terutama di negara-negara berkembang, dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya; latar belakang atau pengalaman suatu negara, peranannya dalam globalisasi dunia,


(31)

kemunduran dalam pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tanda-tanda adanya disintegrasi di beberapa negara, dan yang terakhir, banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan sentralistis dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif (Sidik 2002).

Dengan telah diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah terjadi berbagai perubahan mendasar dalam pengaturan pemerintahan daerah di Indonesia. Konsekuensinya adalah perlunya dilakukan penataan terhadap berbagai elemen yang berkaitan dengan Pemerintah Daerah sebagai manifestasi dari otonomi daerah.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, kehadiran UU No. 32 Tahun 2004 memberikan otonomi kepada daerah kabupaten dan kota untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Kondisi ini mendorong upaya partisipasi masyarakat yang akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan lainnya dan akhirnya menyebabkan terjadinya orientasi pemerintah pada tuntutan dan pelayanan publik. Dalam kenyataannya, pemerintah sendiri perlu menstimulir pembangunan ekonomi melalui APBN.

Secara umum diyakini desentralisasi fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapat ini dilandasi oleh pandangan yang menyatakan kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila langsung diatur oleh pemerintah pusat. Namun kecenderungan ke arah tersebut tidak nampak karena hingga saat ini sebagian


(32)

besar Pemerintah Daerah (Pemda dan DPRD) Kota dan Kabupaten di Indonesia merespons desentralisasi fiskal dengan menggenjot kenaikan PAD melalui pajak dan restribusi tanpa diimbangi peningkatan efektivitas pengeluaran APBD serta dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi.

PP 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, merupakan salah satu peraturan operasional dalam implementasi Otonomi Daerah, setelah era reformasi tata kelola keuangan negara/daerah yang ditandai dengan disahkannya paket undang-undang bidang keuangan negara. PP ini telah mendorong Daerah-daerah untuk melakukan perubahan dan perbaikan dalam manajemen dan pengelolaan keuangan Daerah. Dengan manajemen Keuangan Daerah yang sehat diharapkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah di bidang keuangan akan lebih terukur. Upaya ini harus mendapat dukungan dari semua pihak karena merupakan salah satu tuntutan reformasi yang menekankan pada upaya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (clean government) dan tata pemerintahan yang baik (good governance). PP ini juga telah melahirkan regulasi baru sebagai aturan pelaksanaannya karena adanya pasal kunci dalam PP 58/2005 yaitu pasal 154, yang berbunyi:

“Ketentuan lebih lanjut tentang pengelolaan keuangan daerah diatur dengan peraturan Menteri Dalam Negeri.”


(33)

Oleh karena itu, lahirlah Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagai pengganti Kepmendagri No. 29 tahun 2002

tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan

Daerah Serta... Permendagri No. 13 ini merupakan pedoman umum bagi pemerintah

daerah di dalam melaksanakan tata kelola keuangannya. Daerah masih mempunyai banyak pekerjaan rumah yaitu harus menyusun aturan pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik daerah, dalam bentuk Perda Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah dan berbagai Peraturan Kepala Daerah terkait dengan implementasinya.

2.2. Penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

Dalam rangka upaya untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini misi utama otonomi daerah bukan sekedar keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat.

Otonomi daerah telah memberikan harapan dan peluang baru untuk penanggulangan kemiskinan. Otonomi Daerah memungkinkan peningkatan penanggulangan kemiskinan karena menghadapi jarak spasial maupun temporal yang lebih dekat dengan penduduk miskin itu sendiri.


(34)

Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menerangkan bahwa pemerintahan kabupaten/kota memiliki urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri dari perencanaan dan pengendalian pembangunan; perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; peyelengaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; penyediaan sarana dan prasarana umum; penanganan bidang kesehatan; penyelenggaran pendidikan; penanggulangan masalah sosial; pelayanan bidang ketenagakerjaan; fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; pengendalian lingkungan hidup; pelayanan pertanahan; pelayanan kependudukan dan catatan sipil; pelayanan administrasi umum pemerintahan; pelayanan administrasi penanaman modal; penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Urusan lainnya yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Untuk mendukung urusan pemerintah daerah tersebut maka pemerintah daerah membuat perencanaan yang akan menghasilkan anggaran pendapatan belanja daerah. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) adalah merupakan gambaran dari kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola pemenuhan kebutuhan masyarakat dan operasionalisasi struktur yang mendukungnya. Pemerintah daerah yang lebih dekat dengan konstituennya selayaknya mampu mengenali kebutuhan


(35)

akan daerahnya. Anggaran adalah pernyataan tentang perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan terjadi dalam sebuah rentang waktu tertentu dimasa yang akan datang serta realisasinya di masa lalu.

Di dalam anggaran pendapatan belanja tersebut terdapat sisi penerimaan daerah yang merupakan sejumlah dana yang digunakan untuk mendukung urusan pemerintah daerah. Penerimaaan daerah tersebut terdiri dari dana yang didapat oleh daerah yang bersangkutan dan dana yang berasal dari anggaran pendapatan belanja negara. Penerimaan daerah dibagi menurut lima kelompok seperti yang tertera di bawah ini :

2.2.1. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu

Merupakan sisa lebih perhitungan tahun lalu yang digunakan pada anggaran pendapatan belanja pada tahun berikutnya.

2.2.2. Pendapatan Asli Daerah

Penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan-peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undanagn yang berlaku. Pendapatan asli terdiri dari :

a) Pajak Daerah

Iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah


(36)

b) Retribusi Daerah

Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang harus disediakan dan diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan

c) Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Lainnya yang Dipisahkan

Hasil ini berupa penerimaan laba bersih dari Badan Usaha Milik Daerah yang terdiri dari laba bersih bank pembangunan daerah, perusahaan air minum, bagian laba bersih perusahaan daerah lainnya dan penyertaan modal daerah kepada perusahaan.

d) Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

Merupakan pendapatan yang berasal dari sumber-sumber yang tidak masuk dalam komponen PAD lainnya seperti penjualan barang milik daerah, jasa giro, sumbangan pihak ke tiga dan pendapatan lain-lain

2.2.3. Dana Perimbangan

Dana perimbangan adalah dana yang berasal dari penerimaan anggaran pendapatan belanja negara yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi. Dana perimbangan ini terdiri dari :

a) Dana Bagi Hasil

Dana yang bersumber dari hasil pajak dan sumber daya alam. Hasil pajak terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan


(37)

Bangunan dan pajak penghasilan PPh 25, PPh 29 dan PPh 21. Dana berasal sumber daya alam yang terdiri dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, dan pertambangan

b) Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi c) Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi khusus merupakan dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu.

2.2.4. Lain-lain Pendapatan yang Sah

Pendapatan ini terdiri dari pendapatan hibah dari luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah dan pendapatan Dana Darurat yang berasal dari APBN yang digunakan untuk kepentingan darurat seperti bencana atau peristiwa luar biasa.

2.2.5. Pinjaman Daerah

Transaksi yang menyebabkan daerah menerima uang atau manfaat bernilai uang yang menyebabkan daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.

Berikut merupakan struktur dari anggaran pendapatan belanja daerah yang dikelompokkan ke dalam sisi penerimaan.


(38)

Tabel 1. Struktur Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Pada Sisi Penerimaan

A. PENERIMAAN

1. Bagian Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu 2. Pendapatan Asli Daerah

Pajak Daerah Retribusi Daerah

Bagian Laba Usaha Daerah Penerimaan PAD lainnya 3. Dana Perimbangan

Bagi Hasil Pajak

Bagi Hasil Bukan Pajak Dana Alokasi Umum Dana Alikasi Khusus 4. Penerimaan Lainnya

5. Pinjaman Pemerintah Sumber : Statistik Keuangan Daerah, 2002

Penerimaan APBD ini merupakan sumber-sumber keuangan daerah dalam rangka melaksanakan kewajibannya. Sejak berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan No. 25 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, maka pada tanggal 1 Januari 2001, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih luas dalam memdapatkan sumber-sumber pembiayaan, baik yang berasal dari daerah itu sendiri maupun dana yang berasal dari luar daerah. Kebutuhan masyarakat yang meningkat telah mendorong pemerintah daerah untuk mengupayakan peningkatan penerimaan daerah.


(39)

Elemen-elemen pada penerimaan daerah dapat digunakan secara penuh oleh daerah sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah yang bersangkutan.

Otonomi daerah telah memberikan harapan dan peluang baru untuk penanggulangan kemiskinan. Dengan penerimaan APBD yang lebih besar diharapkan pemerintah dapat mengalokasikan penerimaan ini ke dalam pengeluaran pemerintah dengan lebih efektif. Di dalam anggaran pendapatan belanja daerah, selain terdapat sisi penerimaan daerah juga terdapat sisi pengeluaran daerah pada tabel 2.


(40)

Tabel 2. Struktur Anggaran Pendapatan Belanja Daerah pada Sisi Pengeluaran

B. PENGELUARAN 6. Belanja Rutin 6.1. Belanja Pegawai 6.2. Belanja Barang 6.3. Belanja Pemeliharaan 6.4. Belanja Perjalanan Dinas 6.5. Belanja Lain-lain

6.6. Angsuran Pinjaman/Utang dan Bunga 6.7. Belanja Pensiun

6.8. Ganjaran/Subsidi

6.9. Pengeluaran tidak termasuk Bagian Lain 6.10. Pengeluaran Tidak Tersangka

7. Belanja Pembangunan 7.1. Industri

7.2. Pertanian dan Kehutanan

7.3. Sumberdaya Air dan Kehutanan 7.4. Tenaga Kerja

7.5. Perdagangan, Peng.Usaha Daerah, Keuangan dan Koperasi 7.6. Transportasi, Meteorology, dan Geofisika

7.7. Pertambangan dan Energi

7.8. Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi 7.9. Pembangunan Daerah dan Transmigrasi 7.10. Lingkungan Hidup dan Tata Ruang

7.11. Pendidikan, Kebudayaan, Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, Pemuda dan Olahraga

7.12. Kependudukan dan Keluarga Berencana

7.13. Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Peranan Wanita, Anak dan Remaja 7.14. Perumahan dan Pemukiman

7.15. Agama

7.16. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 7.17. Hukum

7.18. Aparatur Pemerintah dan Pengawasan

7.19. Politik, Penerangan, dan Pengawasan, Komunikasi dan Media Massa 7.20. Keamanan dan Ketertiban Umum

7.21. Subsidi Pembangunan Kepada Daerah Bawahan Sumber : Statistik Keuangan Daerah, 2002


(41)

Pemerintah merupakan salah satu pelaku ekonomi yang penting di dalam Pemerintah merupakan salah satu pelaku ekonomi yang penting di dalam perekonomian. Dalam arti luas, kegiatan pemerintah bukan saja berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintah, tetapi juga berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan kegiatan ekonomi baik yang bersifat langsung melalui penyelenggaraan Badan Usaha Milik Daerah maupun yang bersifat tidak langsung berupa kebijakan keuangan. Dari sisi pembelanjaan, pemerintah berperan sebagai produsen juga merangkap sebagai konsumen. Peran itu ditunjukkan bukan saja oleh jumlah pengeluarannya yang besar, tetapi juga oleh strukturnya, baik melalui pengeluaran rutin maupun pembangunan.

Pengeluaran rutin sebagai salah satu unsur penggerak kegiatan ekonomi regional melalui proses multiplier diharapkan mampu memberikan stimulasi terhadap peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, pengembangan dunia usaha, perluasan tenaga kerja, serta pemerataan kegiatan dan hasil-hasil pembangunan. Sedangkan, belanja pembangunan merupakan investasi pemerintah daerah yang ikut serta dalam menggerakkan roda pembangunan, secara langsung juga ikut mempengaruhi laju pertumbuhan domestik regional bruto dalam perekonomian regional (BPS Provinsi Sumatera Utara, 2003).

Suparmoko, 1984 di dalam buku Barata dan Trihartanto, 2004 menjelaskan bahwa pengeluaran dapat ditinjau dari beberapa segi :

1. Pengeluaran merupakan investasi, yakni sebagai penambah kekuatan dan ketahanan ekonomi pada masa yang akan datang.


(42)

2. Pengeluaran yang secara langsung dapat memberikan kegembiraan dan kesejahteraan kepada masyarakat.

3. Pengeluaran yang merupakan penghematan untuk pengeluaran yang akan datang. 4. Pengeluaran untuk menyediakan kesempatan kerja yang lebih banyak dan

penyebaran daya beli yang kebih luas.

Di dalam penyusunan anggaran, diperlukan asumsi-asumsi dan batasan-batasan agar anggaran tersebut dapat dipergunakan sebagai alat untuk meramalkan pencapaian sasaran yang ditentukan lebih awal. Sasaran ini diharapkan dapat dicapai melalui proyeksi serta penyusunan kriteria program yang terpilih. Secara keseluruhan dari pengeluaran pemerintah serta instrument yang dipilih untuk melaksanakan sasaran tersebut, menurut Kunarjo, 2002 dapat dilihat dari klasifikasi di tabel 3.


(43)

Tabel 3. Sasaran dan Instrumen dalam Pengeluaran Pemerintah

Sasaran Pendekatan Instrumen

1. Penyediaan kebutuhan masyarakat

Pendekatan Sosial Politik

Melakukan investasi untuk produksi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. 2. Distribusi

pendapatan a. Antar

Masyarakat

b. Antar Daerah

Pendekatan Sosial Masyarakat

Pendekatan Sosial Politik

Memberikan subsidi secara langsung maupun tidak langsung penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berpendapatan rendah.

Melakukan investasi lebih banyak di daerah/provinsi masih

terbelakang. 3. Stabilitas

Ekonomi

Pendekatan Ekonomi Mengurangi atau menambah

pengeluaran pemerintah; mengubah komposisi pengeluaran.

4. Pertumbuhan Pendekatan Ekonomi Melakukan investasi pada bidang prasarana seperti jalan, kelistrikan, perhubungan dsb.

5. Kesempatan Kerja

Pendekatan Ekonomi Membangun industri yang padat karya; meningkatkan pendidikan formal dan non formal


(44)

2.3. Kesejahteraan Masyarakat

Kesejahteraan masyarakat merupakan gambaran dari taraf hidup masyarakat dalam suatu daerah tertentu. Kesejahteraan masyarakat ini merupakan hasil dari proses pembangunan yang dilakukan di daerah tersebut. Sebagian dari usaha pemerintah untuk menyejahterakan masyarakatnya adalah dengan penyediaan sarana dan prasarana untuk kelompok masyarakat miskin. Hal ini dilakukan pemerintah dengan membangun infrastruktur seperti jalan, peyediaan air bersih, sarana kesehatan dan sarana pendidikan.

Kesejahteraan rakyat umumnya berkaitan dengan masalah kesehatan, pendidikan, angkatan kerja, pengeluaran dan perumahan masyarakat di suatu daerah. Indikator kesejahteraan rakyat merupakan serangkaian informasi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik yang menggambarkan tentang perkembangan kesejahteraan suatu masyarakat yang dipublikasikan setiap tahunnya. Indikator kesejahteraan tersebut umumnya terdiri dari indikator kesehatan, pendidikan, angkatan kerja, pengeluaran dan Perumahan. Berikut masing-masing penjelasan indikator kesejahteraan rakyat tersebut :

2.3.1. Indikator Kesehatan

Kesehatan merupakan faktor yang cukup penting, kaitannya dengan masalah sumber daya manusia, sebagai salah satu modal pembangunan. Tingkat kesehatan yang semakin baik akan menghasilkan kualitas manusia yang lebih baik, yang pada


(45)

gilirannya akan meningkatkan produktifitas. Indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat kesehatan di suatu daerah umumnya seperti di bawah :

a) Tingkat Kelahiran

Tingkat kelahiran yang rendah menunjukkan kesadaran masyarakat akan kesehatan. Hal ini berkaitan dengan semakin banyak jumlah anak maka semakin besar pengeluaran untuk membesarkan anak dengan sehat.

b) Tingkat Kematian Bayi

Dengan semakin baiknya kondisi kesehatan bayi maka akan berpengaruh terhadap rendahnya angka kematian bayi maka peluang bayi untuk hidup lebih lama semakin tinggi.

c) Angka Kematian Ibu

Angka kematian ibu, berkenaan dengan penolong kelahiran dan tingkat pelayanan kesehatan secara umum.

d) Usia Harapan Hidup

Penduduk yang hidup berumur panjang umumnya memiliki tingkat kesehatan yang baik.

e) Tingkat Kesakitan Penduduk

Tingkat Kesakitan Penduduk merupakan tingkat keluhan penduduk terhadap kesehatannya. Semakin banyak jumlah keluhan ini maka semakin buruk kesehatan di daerah tersebut.


(46)

f) Sarana Kesehatan

Sarana kesehatan merupakan gambaran jumlah rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta beserta kapasiatas tempat tidurnya. Jumlah Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Balai Pengobatan dan Posyandu.

g) Tenaga Kesehatan

Tenaga Kesehatan menggambarkan jumlah Dokter Umum, Dokter Gigi, Dokter Spesialis, Bidan dan Perawat.

2.3.2. Indikator Pendidikan

Pendidikan erat kaitannya dengan pengembangan pengetahuan, keahlian dan keterampilan dari penduduk maupun tenaga kerja dalam proses pembangunan. Jika dikaitkan dengan pembangunan maka pendidikan disebut sebagi modal manusia dan pengeluaran terhadap pendidikan tersebut disebut sebagai investasi dalam modal manusia. Beberapa indikator yang menyangkut pendidikan antara lain :

a) Tingkat Partisipasi Pendidikan

Tingkat partisipasi pendidikan merupakan informasi yang menggambarkan seberapa banyak jumlah penduduk yang menyadari akan pentingnya pendidikan. b) Tingkat Buta Huruf

Tingginya tingkat partisipasi penduduk terhadap pendidikan erat kaitannya dengan jumlah penduduk yang buta huruf.


(47)

c) Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan informasi yang menggambarkan tingkat sekolah tertinggi yang ditamatkan oleh masing-masing penduduk. Semakin tinggi jumlah penduduk minimal tamat sekolah menengah umum maka akan menggambarkan tingkat sumber daya manusia yang cukup tinggi juga di daerah tersebut.

d) Ketersedian Sarana Pendidikan

Ketersedian sarana pendidikan merupakan informasi yang menggambarkan seberapa banyak jumlah sarana pendidikan yang ada di daerah tersebut. Sarana pendidikan tersebut berupa jumlah SD dan setingkatnya, SMP dan setingkatnya, SMU dan setingkatnya serta jumlah perguruan tinggi.

2.3.3. Indikator Angkatan Kerja

Angkatan kerja adalah mereka yang berumur sepuluh tahun ke atas dan mempunyai pekerjaan dan paling sedikit bekerja selama 1 jam seminggu atau mereka yang tidak bekerja karena suatu sebab seperti petani yang sedang menunggu panen, pegawai yang sedang sakit, atau pekerja bebas profesional yang sedang menunggu pekerjaan dan seseorang yang sedang mencari pekerjaan (BPS Sumatera Utara, 2003). Indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat angkatan kerja di suatu daerah umumnya seperti di bawah :


(48)

a) Penduduk berdasarkan kegiatan Pekerjaan

Dalam hal ini keterangan yang di informasikan adalah jumlah penduduk berdasarkan kegiatanya. Kegiatanya tersebut terdiri dari penduduk yang bekerja, sedang mencari pekerjaan, sekolah, mengurus rumah tangga.

b) Angkatan Kerja dan Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

Informasi yang diterangkan adalah jumlah penduduk yang merupakan angkatan kerja yang dikategorikan berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan serta informasi yang menerangkan jumlah angkatan kerja yang belum pernah merasakan sekolah.

c) Angkatan Kerja dan Lapangan Usaha Utama

Informasi yang diberikan adalah jumlah penduduk menurut lapangan usaha yang terdiri dari pertanian; pertambangan dan penggalian; industri, listrik, gas, dan air; konstruksi; perdagangan; angkutan dan komunikasi; keuangan; jasa dan lainnya. d) Angkatan Kerja Berdasarkan Status Pekerjaan Utama

Informasi yang diberikan adalah informasi yang menggambarkan angkatan kerja berdasarkan status pekerjaan utama yang terdiri dari berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain, berusaha dengan dibantu anggota rumah tangga/buruh tidak tetap, Berusaha dengan buruh tetap, Buruh/karyawan/pekerja dibayar, Pekerja bebas di pertanian dan pekerja bebas di non pertanian


(49)

e) Pengangguran

Pengangguran merupakan penduduk yang tergolong pada angkatan kerja tetapi belum mendapatkan pekerjaan. Informasi pengangguran ini di rinci menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan.

2.3.4. Indikator Pengeluaran

Indikator Pengeluaran merupakan informasi yang menggambarkan tentang pengeluaran penduduk rata per kapita sebulan. Pengeluaran ini merupakan rata-rata biaya yang dikeluarkan rumahtangga selama sebulan untuk konsumsi makanan maupun bukan makanan dibagi dengan banyaknya anggota rumah tangga. Informasi lain yang adalah persentase pengeluaran menurut dan golongan pengeluaran per kapita sebulan.

2.3.5. Perumahan dan Lingkungan

Informasi yang diberikan adalah informasi yang menggambarkan tentang persentase rumahtangga menurut dan luas lantai, jenis dinding terbanyak, jenis atap terbanyak, jenis lantai terluas, sumber penerangan, fasilitas air minum, sumber air minum, tempat buang air besar.

2.4. Kemiskinan

Orang miskin umumnya terjerat ke dalam apa yang disebut ”lingkaran kemiskinan”. Menurut Nurkse, lingkaran kemiskinan mengandung arti deretan melingkar kekuatan-kekuatan yang satu sama lain beraksi dan sedemikian rupa


(50)

sehingga menempatkan orang miskin tetap berada dalam keadaan melarat. Orang miskin, misalnya, dalam kondisi kurang makan; karena kurang makan, kesehatannya menjadi buruk; karena fisiknya lemah kapasitas kerjanya rendah penghasilannya pun rendah dan itu berarti ia miskin, akhirnya ia tidak akan mempunyai cukup makan; dan seterusnya.

Bila keadaan seperti ini dikaitkan dengan kondisi negara/daerah maka secara keseluruhan dapat dikemas kedalam dalil yang disebut oleh Nurkse yakni ”a poor

country is poor because it is poor” yangartinya negara menjadi miskin karena negara

tersebut miskin. Dalam hal ini Nurkse mengisyaratkan bahwa kemiskinan adalah sebab sekaligus akibat.

Sisi Penerimaan

Gambar 2. Lingkaran Kemiskinan Sisi Penerimaan dan Sisi Penawaran Nurkse Sisi Penawaran Produktifitas Rendah Produktifitas Rendah Kurang Modal Pendapatan Rendah Investasi Rendah Permintaan Rendah Kurang Modal Pendapatan Rendah Investasi Rendah Tabungan Rendah


(51)

Dalam skala daerah, lingkaran kemiskinan berasal dari fakta bahwa produktifitas total di daerah miskin sangat rendah sebagai akibat kekurangan modal, pasar yang tidak sempurna, dan keterbelakangan ekonomi. Lingkaran kemiskinan tersebut kalau dilihat dari sudut permintaan dapat dijelaskan sebagai berikut : rendahnya tingkat pendapatan menyebabkan tingkat permintaan menjadi rendah, sehingga pada gilirannya tingkat investasi pun rendah. Tingkat investasi yang rendah kembali menyebabkan modal kurang dan produktifitas rendah. Produktifitas rendah tercermin di dalam pendapatan yang rendah. Pendapatan rendah berarti tingkat tabungan juga rendah. Tingkat tabungan rendah menyebabkan tingkat investasi rendah dan kekurangan modal. Kekurangan modal pada gilirannya bermuara pada produktivitas yang rendah.

Lingkaran kemiskinan yang lain juga menyangkut keterbelakangan manusia dan sumber daya alam. Pengembangan sumber daya alam di suatu daerah tergantung pada kemampuan produktif manusianya. Jika penduduknya terbelakang dan buta huruf, langka akan kemampuan teknik, pengetahuaan dan aktifitas kewiraswastaan, maka sumber-sumber alam akan tetap terbengkalai, kurang dan bahkan salah guna. Pada pihak lain, keterbelakangan sumber alam ini menyebabkan keterbelakangan manusia. Keterbelakangan sumber alam, karena itu, merupakan sebab dan sekaligus akibat keterbelakangan manusia.

Konsep kemiskinan memiliki keragaman dalam sudut pandangnya. Kemiskinan bisa dilihat dari ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar


(52)

dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan budaya. Tetapi pada umumnya, kemiskinan erat kaitannya dengan materi yang dimiliki oleh penduduk atau masyarakat. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Dengan konsep ini, penduduk yang termasuk pada kategori miskin, yakni apabila penduduk tersebut tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak.

Pengertian kemiskinan menurut Sumodiningrat (1998) dapat diklasifikasikan ke dalam lima kelas yakni :

1. Kemiskinan Absolut

Kemiskinan absolut terjadi jika tingkat pendapatan penduduk tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja. 2. Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif terjadi jika tingkat pendapatan penduduk di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan pendapatan masyarakat sekitarnya.


(53)

3. Kemiskinan Kultural

Kemiskinan kultural mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya untuk tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya.

4. Kemiskinan Kronis

Kemiskinan kronis disebabkan oleh kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif ditambah dengan keterbatasan sumber daya dan keterisolasian daerah dan tidak mendukungnya sumber daya alam serta rendahnya taraf pendidikan, kesehatan, keterbatasan lapangan pekerjaan dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar.

5. Kemiskinan Sementara

Kemiskinan sementara, terjadi akibat perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal ke krisis ekonomi, perubahan kondisi alam yang tekait dengan petani atau nelayan serta terjadinya bencana alam atau dampak dari kebijakan tertentu yang menyebabkan terjadinya penurunan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.

Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan. Garis nilai standar kebutuhan minimum disebut juga garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan tersebut adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan


(54)

setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS, 2002).

Pengertian kemiskinan menurut Friedman didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang. Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan dasar kekuasaan sosial. Dasar kekuasaan sosial meliputi modal produktif atau aset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan); sumber keuangan (pekerjaan, kredit); organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial); jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa; pengetahuan dan keterampilan, dan informasi yang berguna untuk kemajuan hidup

Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar tersebut antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki (BAPPENAS, 2004)


(55)

Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain :

1. Pendekatan kebutuhan dasar (basic needsapproach)

Sudut pandang pendekatan kebutuhan dasar yakni dengan melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, yang terdiri dari pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi.

2. Pendekatan pendapatan (income approach)

Melalui pendekatan pendekatan pendapatan ini, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat.

3. Pendekatan kemampuan dasar (human capability approach)

Pendekatan kemampuan dasar ini, menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat.

4. Pendekatan objective and subjective.

Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan

(the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang


(56)

Dari pendekatan-pendekatan tersebut, kemudian BAPPENAS menguraikan indikator-indikator kemiskinan seperti yang terlihat dibawah ini :

1. Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu.

2. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal.

3. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung.

4. Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga.

5. Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering


(57)

kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak.

6. Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air.

7. Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian

8. Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan;

9. Lemahnya jaminan rasa aman. Hal ini terkait dengan permasalahan yang terjadi di daerah konflik

10. Lemahnya partisipasi. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang


(58)

memungkinkan keterlibatan mereka

11. Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.

Bank dunia juga memiliki indikator-indikator kemiskinan yang terlihat seperti di bawah ini :

1. Kepemilikan tanah dan modal yang terbatas

2. Terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan

3. Pembangunan yang bias di kota

4. Perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat 5. Perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi

6. Rendahnya produktivitas 7. Budaya hidup yang jelek

8. Tata pemerintahan yang buruk

9. Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.

Menurut SMERU (2001) kemiskinan memiliki beberapa dimensi antara lain : 1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan

papan).

2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).


(59)

3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).

4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal. 5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam. 6. Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat.

7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.

9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil) (Suharto, dkk, 2004).

Menurut Sharp (1996) dari sudut pandang ekonomi ada tiga penyebab kemiskinan antara lain:

1. Kemiskinan yang muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memilliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. 2. Kemiskinan yang muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia.

Kualitas sumber daya yang rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada gilirannya mendapatkan upah yang rendah. Rendahnya kualitas sumber daya ini


(60)

karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan.

3. Kemiskinan yang muncul akibat perbedaan akses dalam modal

Kemiskinan menurut ruang dan waktu dapat dibedakan menurut dua bidang yakni bidang ekonomi dan bidang sosial. Di dalam bidang ekonomi terdapat akses terhadap lapangan kerja yakni dengan melihat tingkat kesempatan kerja yang dapat merefleksikan tingkat penyerapan terhadap angkatan kerja. Akses berikutnya adalah akses terhadap faktor produksi yang didalamnya terdapat kemudahan masyarakat dalam mengakses modal usaha yang dapat dilihat dari ketersediaan lembaga keuangan bank ataupun koperasi simpan pinjam, kemudian kemudahan masyarakat dalam mengakses modal pasar dengan melihat ketersediaan pasar di dalam suatu area tertentu dan yang terakhir adalah kepemilikan aset yakni berupa tanah, tempat usaha seperti warung/toko atau bengkel dan lain-lain. Di bidang sosial terdapat akses terhadap fasilitas pendidikan, dengan melihat jumlah sekolah lanjutan tingkat pertama menurut area tertentu dan akses terhadap fasilitas kesehatan dengan melihat sebaran tingkat pelayanan publik di bidang kesehatan berdasarkan area tertentu.


(61)

2.4.1. Ciri dan Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan

Rumah tangga miskin umumya memiliki jumlah rata-rata anggota rumah tangga yang lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga pada rumah tangga yang tidak tergolong miskin. Data tahun Badan Pusat Statistik tahun 1993 menunjukkan bahwa jumlah rata-rata anggota rumah tangga miskin mencapai 5.0 orang untuk daerah perkotaan dan 4.9 orang untuk daerah pedesaan. Sedangkan rata-rata jumlah anggota rumah tangga tidak miskin masing-masing hanya 4.1 dan 3.9 orang.

Ciri lain yang berhubungan dengan rumah tangga miskin adalah rendahnya rata-rata tingkat pendidikan kepala rumah tangga. Data Badan Pusat Statistik tahun 1994 memperlihatkan bahwa lebih dari 70 % kepala rumah tangga miskin di pedesaan tidak tamat sekolah dasar dan kurang dari 25 % lagi hanya berpendidikan sekolah dasar. Sedangkan untuk daerah perkotaan, terdapat 57 % kepala rumah tangga tidak menamatkan sekolah dasar dan hanya 31 % yang menamatkan sekolah dasar.

Dari segi karakteristik lapangan pekerjaan, data makro Badan Pusat Statistik tahun 1999, menunjukkan bahwa lebih dari 62 % angkatan kerja rumah tangga miskin bekerja di sektor pertanian, 10 % pada sektor perdagangan, sebagai pedagang kecil, 7 % pada sektor industri rumah tangga dan 6 % pada jasa. Umumnya, sebagian besar anggota rumah tangga miskin bekerja pada kegiatan-kegiatan yang memiliki produktivitas tenaga kerja rendah. Faktanya, angkatan kerja tersebut cenderung bekerja dengan mengandalkan pekerjaan fisik dengan keterampilan yang minimal.


(62)

Ciri lainnya adalah rendahnya aksesibilitas anggota masyarakat terhadap sumber-sumber permodalan dan peluang-peluang ekonomi (Siamwall, 1993). Pendapat ini sejalan dengan Kasryono dan Suryana (1992) yang mengkarakteristikkan keluarga petani miskin, yaitu pada terbatasnya penguasaan aset produktif seperti lahan dan kapital serta sumber daya manusia yang sebagian besar rendah.

Menurut Todaro (1998), pengentasan kemiskinan merupakan salah satu dari tujuan pembangunan. Salah satu tolok ukur yang digunakan untuk mengentaskan kemiskinan itu ialah tolok ukur yang bersifat ekonomis seperti pendapatan per kapita namun didukung dengan indikator-indikator sosial non ekonomis. Indikator-indikator sosial tersebut terdiri dari tingkat pendidikan, tingkat pelayanan kesehatan, kecukupan kebutuhan akan perumahan dan sebagainya. Sedangkan Jaka Sumanta (2005) dalam Fenomena Lingkaran kemiskinan Indonesia, menyatakan dalam model regresinya bahwa persentase penduduk miskin di pengaruhi oleh pendapatan per kapita, angka melek huruf, Rasio PDRB sektor primer terhadap total PDRB atas harga konstan, persentase rumah tangga pengguna listrik, rasio penerimaan retribusi terhadap pajak dalam APBD. Kemudian untuk model indeks kedalaman kemiskinan, juga dipengaruhi oleh variabel-variabel tersebut di atas.


(63)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yang oleh Nawawi (1990: 63) diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.

Dengan demikian dalam penelitian ini penulis tidak menguji hipotesis, melainkan hanya mendeskripsikan data maupun fakta yang ada dan kemudian diinterprestasikan serta dianalisis.

3.2. Defenisi Konsep

1. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) adalah merupakan gambaran dari kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola pemenuhan kebutuhan masyarakat dan operasionalisasi struktur yang mendukungnya. Pemerintah daerah yang lebih dekat dengan konstituennya selayaknya mampu mengenali kebutuhan akan daerahnya.


(64)

2. Anggaran adalah pernyataan tentang perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan terjadi dalam sebuah rentang waktu tertentu dimasa yang akan datang serta realisasinya di masa lalu.

3. Kesejahteraan masyarakat adalah merupakan gambaran dari taraf hidup masyarakat dalam suatu daerah tertentu. Kesejahteraan masyarakat ini merupakan hasil dari proses pembangunan yang dilakukan di daerah tersebut. Sebagian dari usaha pemerintah untuk menyejahterakan masyarakatnya adalah dengan penyediaan sarana dan prasarana untuk kelompok masyarakat miskin.

4. Kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar tersebut antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki (Bappenas, 2004), dengan indikator kemiskinan sebagai berikut :

a. Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu.

b. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan


(65)

kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal.

c. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung.

d. Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga.

e. Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran rel kereta api, dan daerah aliran sungai kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak.

f. Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air.


(66)

menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian

h. Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah nelayan/kawasan pesisir, daerah pelabuhan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan;

i. Lemahnya partisipasi. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka

j. Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup.


(67)

3.3. Operasionalisasi Variabel

VARIABEL DIMENSI INDIKATOR

1. APBD Anggaran Kesejahteraan Rakyat

a. Pendidikan b. Kesehatan c. Bantuan Sosial

2.Kesejahteraan Masyarakat Masyarakat Miskin

a. Kesehatan b. Pendidikan c. Angkatan Kerja d. Pengeluaran e. Perumahan dan Lingkungan Sumber: Hasil Penelitian, 2007

3.4. Informan Penelitian

Adapun informan penelitian ini terdiri atas informan kunci (key informan) dan informan biasa. Penentuan informan penelitian ini dilakukan secara purpossive atau secara sengaja menurut kebutuhan dalam penelitian ini. Adapun informan tersebut terdiri dari:

1. Bappeda Kota Medan : 2 orang 2. Anggota DPRD Kota Medan

(Panitia Anggaran dan Komisi E Bidang Kesejahteraan Rakyat) : 2 orang 3. Pegawai Kecamatan (5 kecamatan, 2 orang per kecamatan) :


(1)

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kota Medan sebagai salah satu daerah otonom dan ibukota Provinsi Sumatera

Utara juga masih menghadapi masalah kemiskinan. Kesejahteraan masyarakat kota Medan masih belum merata, dengan adanya kesenjangan pembangunan yang cukup mencolok antara kawasan di kecamatan Medan Polonia dan Medan Timur. Umumnya Pembangunan di kecamatan Medan Belawan, Medan Marelan dan Medan Labuhan masih tertinggal. Situasi ini tergambar dari masih banyaknya masyarakat miskin yang tinggal di pinggiran rel kereta api, daerah aliran sungai dan pelabuhan. Selain itu pembangunan fisik kota di kecamatan Medan Belawan, Medan Marelan dan Medan Labuhan masih belum memadai.

2. APBD mempunyai hubungan dengan kesejahteraan masyarakat. Sesuai dengan defenisinya APBD adalah merupakan gambaran dari kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola pemenuhan kebutuhan masyarakat dan operasionalisasi struktur yang mendukungnya. Pemerintah daerah yang lebih dekat dengan konstituennya selayaknya mampu mengenali kebutuhan akan daerahnya. Dalam implementasinya pemko Medan kurang memperhatikan


(2)

maupun pembangunan sosial non ekonomis yang terdiri dari tingkat pendidikan, tingkat pelayanan kesehatan, kecukupan kebutuhan akan perumahan. Sehingga terjadi ketimpangan kesejahteraan antara daerah inti kota dan pinggiran kota.

5.2. Saran

Dengan memperhatikan hasil penelitian ini dapat dilakukan beberapa rekomendasi kebijakan antara lain :

1. Mengingat penerimaan APBD Kota Medan untuk menangani kemiskinan di Kota Medan belum memadai, maka diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan pengelolaan alokasi anggaran pendapatan belanja daerah, khususnya yang berdampak langsung dengan kemiskinan.

2. Masih adanya persentase usia 7 – 12 tahun yang tidak bersekolah terhadap persentase penduduk miskin di Kota Medan, maka diperlukan upaya-upaya berupa sosialisasi terhadap pentingnya penduduk memiliki pengetahuan baca tulis. Selain sosialisasi, diperlukan juga usaha-usaha untuk mempermudah masyarakat dalam mendapatkan pelayanan pendidikan dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas penduduk yang pada akhirnya dapat mengurangi kemiskinan.

3. Banyaknya penduduk yang bekerja pada sektor informal terhadap persentase penduduk miskin di Kota Medan, maka diperlukan usaha-usaha untuk


(3)

penyediaan lapangan pekerjaan yang memprioritaskan pada sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja pada sektor formal.

4. Mengingat signifikansi layanan kesehatan yang masih kurang memadai di kawasan pinggiran kota, maka masih diperlukan usaha-usaha pemerintah melalui penyuluhan-penyuluhan tentang pentingnya kesadaran akan kesehatan. Disamping usaha-usaha persuasif tersebut diperlukan juga peran pemerintah dalam rangka meningkatkan kesehatan penduduk dengan mengoptimalkan sarana dan prasarana kesehatan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Barata, Atep Adya dan Bambang Trihartanto, 2004. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo-kelompok Kompas-Garamedia.

Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara, 2002. Statistik Kesejahteraan Rakyat Sumatera Utara Hasil SUSENAS, Medan: BPS Propinsi Sumatera Utara. Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara, 2003. Statistik kesejahteraan Rakyat

Sumatera Utara Hasil SUSENAS, Medan: BPS Propinsi Sumatera Utara. Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara, 2002. Sumatera Dalam Angka,

Medan: BPS Propinsi Sumatera Utara.

Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara, 2003. Sumatera Dalam Angka. Medan: BPS Propinsi Sumatera Utara, 2003

Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara, 2002. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara 2000 – 2002, Medan: BPS Propinsi Sumatera Utara.

Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara, 2003. Dampak Pengeluaran Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Terhadap Perekonomian Sumatera Utara, Medan: BPS Propinsi Sumatera Utara.

Badan Pusat Statistik, 2002. Data dan Informasi Kemiskinan, 2002, Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik, 2003. Data dan Informasi Kemiskinan 2003, Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik, 2002. Statistik Keuangan Daerah 2002, Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik, 2003. Statistik Keuangan Daerah 2003, Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Elmi, Bachrul, 2002. Keuangan Pemerintah Daerah Otonomi di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia UI Press.


(5)

Fuady, Ahmad Helmy dan Dati Fatimah, Riono Andriono, Wahyu W. Basjir, 2002. Memahami Anggaran Publik, Yogyakarta: IDEA Press.

Hidayat, dkk, 2001. Pembangunan Partisipatif, Jakarta: Penerbit Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia.

Jhinghan, M. L, 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Jakarta: CV Rajawali.

Kuncoro, Mudrajad, 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Jakarta: Erlangga.

Mahi, Raksaka, 2005. Tinjauan Terhadap Pelaksanaan Desntralisasi Fiskal di Indonesia, Januari: Manajemen Usahawan Indonesia No.01/TH.XXXVI. Meadows, Donella H, Dennis L. Meadows, Jorgen Randers and William W. Behrens

III, 1980. Batas-Batas Pertumbuhan, Jakarta: PT. Gramedia.

Osira, Yessilia, 2005. Penanganan Kemiskinan Perkotaan Melalui Pengembangan Kelembagaan Mikro Kredit Berbasis Komunitas : Studi di kelurahan Pasar Minggu, Januari: Manajemen Usahawan Indonesia No.01/TH.XXXVI.

Prasetyo, Eko, 2005. Orang Miskin Tanpa Subsidi, Yogyakarta: Resist Book.

Sutopo, Wahyudi, 2005. Hubungan Antara Lembaga Keuangan Mikro dan Kontribusi Usaha Kecil Dalam Pengentasan Kemiskinan, Januari: Manajemen Usahawan Indonesia No.01/TH.XXXVI .

Todaro, Michael P, 1999. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, edisi keenam, Jakarta: Erlangga.

Undang-undang Republik Indonesia, 2004. Undang-undang Otonomi Daerah No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Berikut Penjelasannya, Bandung: Penerbit Fermana. Yani, Ahmad, 2002. Seri Keuangan Publik: Hubungan Keuangan Antara Pusat dan


(6)

PEDOMAN WAWANCARA

1. Bagaimana besaran APBD untuk kesejahteraan masyarakat?

2. Apakah anggaran kesejahteraan masyarakat telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat kota Medan?

3. Bagaimana realisasi pengeluaran anggaran pendidikan, dan kesehatan bagi masyarakat kota Medan?

4. Apakah kebijakan yang dilakukan Pemko Medan dalam menangani masalah kemiskinan?

5. Bagaimanakah partisipasi masyarakat kota Medan dalam memanfaatkan layanan publik yang disediakan?

6. Bagaimanakah kawasan pemukiman dan pembangunan fisik di kota Medan? 7. Apakah kondisi lingkungan pemukiman sangat ditentukan oleh tingkat

kesejahteraan masyarakatnya?

8. Bagaimanakah tingkat kesejahteraan masyarakat di kota Medan? 9. Bagaimanakah kondisi tenaga kerja di kota Medan?