Aroma & Manuver Politik RUU Pilkada

Aroma & Manuver Politik RUU Pilkada
Iding Rosyidin
(Pikiran Rakyat, Senin 8 September 2014)

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) yang sejak masa reformasi dilakukan
secara langsung kini terancam nasibnya. Hal ini terkait dengan Rancangan UndangUndang (RUU) Pilkada yang sebentar lagi akan disahkan di DPR. Poin paling
kontroversial dari RUU tersebut adalah usulan agar pilkada tidak diselenggarakan secara
langsung, tetapi dikembalikan lagi ke DPRD seperti pada masa-masa sebelumnya.
Sejumlah fraksi di DPR tampaknya memberikan dukungan penuh terhadap
keinginan untuk mengembalikan pilkada pada DPRD, bahkan ada yang bersuara dengan
cukup lantang. Hal ini, misalnya, terlihat dari sikap fraksi Gerindra dan Golkar seperti
yang diungkapkan oleh sejumlah elitenya dalam beberapa kesempatan. Fraksi-fraksi lain
pun, meski tidak sekencang kedua partai di atas, agaknya banyak yang mendukung pula.
Dukungan sejumlah frkasi atas usulan pelaksanaan pilkada oleh DPRD
sebenarnya sangat mengherankan bagi publik. Pasalnya selama ini hampir semua fraksi
di DPR tidak pernah terdengar memberikan dukungan terhadap usulan itu. Meskipun ada

masukan dari beberapa elemen masyarakat bahwa pilkada secara langsung kerap
menimbulkan konflik, kerusuhan dan sebagainya, tetapi mereka tetap berpendapat
pilkada secara langsung jauh lebih baik.
Lalu mengapa sekarang fraksi-fraksi, terutama Gerindra dan Golkar tiba-tiba

berbalik mendukung pengembalian pilkada de DPRD? Hal ini agaknya terkait dengan
perolehan suara kedua partai ini di berbagai daerah yang cukup dominan pada Pemilihan
Legislatif (Pileg) kemarin. Tentu saja dengan kondisi tersebut, kedua partai yang berasal
dari koalisi yang sama itu sama-sama diuntungkan.
Dengan demikian, dukungan fraksi-fraksi di DPR lebih merupakan manuver
politik belaka, terutama yang dimainkan oleh Gerindra dan Golkar. Jika RUU Pilkada ini
kemudian disahkan, maka besar kemungkinan kepala-kepala daerah lebih banyak yang
berasal keduanya, dan pada akhirnya akan menjadi kekuatan politik yang bisa diandalkan
di kemudian hari.
Selain itu, ada hal lain yang menarik dari rencana pengesahan RUU Pilkada di
DPR, yakni keterbelahan fraksi-fraksi. Tampaknya pengaruh Pemilihan Presiden (Pilpres)
yang belum lama selesai masih terlihat cukup jelas. Seperti diketahui, ada dua koalisi
besar pada pilpres kemarin, yakni Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendukung Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa dan Koalisi Gotong Royong (KGR) yang mendukung Joko
Widodo-Jusuf Kalla.
Kini dalam sikapnya terhadap RUU Pilkada keterbelahan fraksi-fraksi di DPR
tampak dengan jelas. Fraksi-fraksi yang berasal dari Koalisi Merah Putih seperti
Gerindra, Golkar, PKS dan PPP memberikan dukungan atas RUU tersebut. Sebaliknya,
fraksi-fraksi yang berasal dari Koalisi Gotong royong seperti PDIP, PKB, Nasdem dan


Hanura menyatakan penolakan atas RUU dan menghendaki agar pilkada dilaksanakan
secara langsung.
Menurut hemat penulis, sangatlah disayangkan jika sikap fraksi-fraksi tersebut
terhadap RUU Pilkada lebih didasarkan pada sentimen koalisi ketimbang pada
pertimbangan substansi. Hanya karena solidaritas antar sesama anggota koalisi lalu
mereka menyuarakan hal yang sama, meski sebenarnya tidak setuju, tentu bukanlah sikap
politik cerdas dalam konteks ini.
Masalahnya adalah RUU Pilkada tersebut tidak mendapatkan dukungan publik
secara luas. Diyakini bahwa publik akan tetap memberikan dukungan jika pilkada
dilaksanakan secara langsung. Bagi publik justeru dalam pilkada langsunglah partisipasi
politik mereka benar-benar dapat diterapkan. Jika pilkada dikembalikan ke DPRD mereka
hanya akan menjadi penonton. Dengan demikian, hak politik mereka seolah-olah
direnggut oleh anggota legislatif.
Oleh karena itu, sikap fraksi-fraksi yang mendukung pilkada dikembalikan ke
DPRD, apalagi hanya karena solidaritas koalisi justeru tidak akan menguntungkan secara
politik di masa yang akan datang. Bukan tidak mungkin publik akan memandang partaipartai tersebut sebagai tidak reformis. Golkar, misalnya, yang memiliki slogan “suara
Golkar suara rakyat” jelas akan dicibir publik karena sikapnya justeru bertentangan
dengan slogannya itu.
Dengan demikian, fraksi-fraksi yang mendukung pengembalian pilkada ke DPRD
hanya berpikir dalam kerangka kepentingan praktis pragmatis saja, yakni memperkuat

barisan kekuasaan di daerah. Sementara mereka mengabaikan satu hal, bahwa sikapnya
itu justeru bisa menjadi semacam investasi politik yang buruk dalam jangka panjang bagi

masa depan partainya. Publik tentu akan mencatat dalam ingatan mereka tentang sikap
politik partai tersebut.

*Penulis, Doktor Komunikasi Unpad, Deputi Direktur Bidang Politik The Political
Literacy Institute