2. Syarat Sah Perjanjian
Syarat sah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi empat syarat yang bersifat komulatif,
yaitu : a.
Adanya kesepakatan kedua belah pihak;
Ketentuan ini diatur dalam Pasa 1320 ayat 1 KUHPerdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara
pihak yang satu dengan pihak lainnya. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan :
1 Bahasa yang sempurna dan tertulis;
2 Bahasa yang sempurna secara lisan;
3 Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima atau dimengerti oleh
pihak lawan; 4
Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; 5
Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.
20
Adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri artinya bahwa semua pihak menyetujui atau sepakat mengenai suatu hal yang diperjanjikan,
dalam hal ini tidak diperbolehkan adanya unsur paksaan atau penipuan.
21
Kesepakatan tersebut dapat dianggap tidak sah apabila terjadi hal-hal sebagai berikut :
20
Ratna Arta Windari, Op.Cit., hlm. 15.
21
Ibid.
1 KekhilafanDwaling, yaitu dapat terjadi mengenai barang yang menjadi
pokok atau tujuan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Hal ini diatur dalam Pasal 1322 KUHPerdata.
2 PaksaanDwang, yaitu dapat terjadi jika orang yang memberikan
kesepakatannya itu karena takut terhadap suatu ancaman. Hal ini diatur dalam Pasal 1323 KUHPerdata.
3 PenipuanBedrog, yaitu apabila satu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan- kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan
perizinan.
22
Hal ini diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata. b.
Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum;
Kecakapan yang dimaksud adalah mampu melakukan perbuatan hukum, atau para pihak yang telah dinyatakan dewasa oleh hukum.
23
Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Sedangkan KUHPerdata menguraikan mereka yang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum dalam Pasal 1330 sebagai berikut : 1
Orang-orang yang belum dewasa KUHPerdata mengkualifikasikan orang-orang yang belum dewasa
pada Pasal 330, yang menyatakan bahwa belum dewasa adalah mereka
22
Subekti, 2011, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT. Intermasa, hlm.135.
23
Ratna Arta Windari, Op.Cit., hlm. 17.
yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.
2 Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
Dalam Pasal 433 KUHPerdata dijelaskan bahwa, setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap
harus ditaruh dibawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di
bawah pengampuan karena keborosannya. 3
Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud oleh KUHPerdata adalah para istri. Akan
tetapi, saat ini istri dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa : 1
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat. 2
Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka secara tegas ketentuan dalam
KUHPerdata yang menyatakan istri tidak cakap melakukan perbuatan hukum telah dihapus dan tidak berlaku lagi.
c. Adanya objek atau suatu hal tertentu;
Dalam suatu perjanjian, obyek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak. Obyek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun
dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu.
24
Didalam Pasal 1332 KUHPerdata dijelaskan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat
menjadi pokok suatu perjanjian. Berdasarkan pasal 1333 KUHPerdata, suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung. Dijelaskan pula
dalam Pasal 1334 KUHPerdata bahwa barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatau perjanjian.
d. Adanya kausa yang halal.
Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian tidak mempunyai kekuatan mengikat apabila dibuat tanpa sebab atau dibuat dengan sebab yang palsu atau
terlarang. Pengertian sebabkausa yang halal diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang menyebutkan suatu sebab adalah terlarang apabila
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Syarat adanya kesepakatan dan kecakapan melakukan perbuatan hukum
disebut syarat subyektif, kerena menyangkut pihak-pihak yang membuat perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka, perjanjian tersebut dapat
dibatalkan. Sedangkan adanya obyek atau suatu hal tertentu dan kausasebab yang
24
Ibid.
halal adalah syarat obyektif, karena menyangkut obyek perjanjian. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian dianggap batal demi hukum.
3. Asas-Asas Perjanjian