PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA DI PD BPR BANK PURWOREJO

(1)

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 di Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh :

NAMA : Avizhena Akbar Hersanto

NIM : 20130610099

JURUSAN : Ilmu Hukum BAGIAN : Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2017


(2)

i SKRIPSI

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 di Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diasusun Oleh :

NAMA : AVIZHENA AKBAR HERSANTO

NIM : 20130610099 JURUSAN : ILMU HUKUM BAGIAN : PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2017


(3)

(4)

v sendiri (QS. Al-Isra:7)

Barang siapa yang memudahkan jalannya orang menuntut ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan ke surga

( H.R. Turmudzi)

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia (HR. Ahmad)

Keberhasilan kita bisa jadi hanya 30% karena perjuangan dan doa kita, sedangkan 70% lainnya adalah karena keringat dan doa orangtua kita.

(Penulis)

Perjuangan ini bukanlah semata perjuangan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan dunia, tatapi juga untuk mencari ridho Allah agar disetiap langkah perjuangan kita adalah pahala yang dapat mengantarkan kita ke

surgaNya.


(5)

vi

Ibunda tercinta yang senantiasa mendoakan saya pagi, siang, sore, malam tiada henti. Yang selalu mensupport saya.

Bapak tercinta yang selalu bekerja keras untuk memenuhi segala kebutuhan hidup dan studi saya, serta doa-doa yang selalu dipanjatkan.

Kakak tersayang yang selalu menyemangati dan mendorong saya untuk menjadi laki-laki yang baik dan kuat.


(6)

xi

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN SKRIPSI ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xi

ABSTRAK ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum ... 8

B. Tinjauan Tentang Perjanjian ... 8

1. Istilah dan Pengertian Perjanjian ... 8

2. Syarat Sah Perjanjian ... 11

3. Asas-Asas Perjanjian ... 15


(7)

xii

C. Tinjauan Tentang Perjanjian Kredit ... 24

1. Pengertian Perjanjian Kredit ... 24

2. Unsur-Unsur Kredit ... 26

3. Jenis-Jenis Kredit ... 27

4. Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit ... 30

5. Penggolongan Kredit ... 32

6. Ciri-Ciri Perjanjian Kredit ... 34

7. Fungsi-Fungsi Kredit dan Perjanjian Kredit ... 34

8. Bentuk Perjanjian Kredit ... 36

9. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kredit ... 37

10.Berakhirnya Perjanjian Kredit ... 38

D. Tinjauan Tentang Jaminan ... 38

1. Pengertian Jaminan ... 38

2. Jenis-Jenis Jaminan ... 39

3. Prinsip-Prinsip Hukum Jaminan ... 42

E. Tinjauan Tentang Jaminan Fidusia ... 43

1. Pengertian Jaminan Fidusia ... 43

2. Unsur-Unsur Jaminan Fidusia ... 45

3. Asas-Asas Hukum Jaminan Fidusia ... 46


(8)

xiii

8. Hapusnya Jaminan Fidusia ... 55

BAB III METODE PENELITIAN ... 57

A. Jenis/Tipe Penelitian ... 57

B. Sumber Data ... 57

C. Teknik Pengumpulan Data ... 60

D. Teknik Analisis Data ... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 62

A. Gambaran Umum PD BPR Bank Purworejo ... 62

1. Profil PD BPR Bank Purworejo ... 62

2. Jenis-Jenis Produk Kredit di PD BPR Bank Purworejo ... 64

B. Perlindungan Hukum Bagi PD BPR Bank Purworejo dalam hal Debitur Melakukan Keterlambatan Pembayaran Kredit, Kredit Macet, dan/atau Menggadaikan Benda Jaminan pada Perjanjian Kredit dengan Jaminan Fidusia yang Belum Didaftarkan ... 66

BAB V PENUTUP ... 81

A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 83 LAMPIRAN


(9)

(10)

(11)

xiv

dengan Jaminan Fidusia di PD BPR Bank Purworejo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji perlindungan hukum bagi PD BPR Bank Purworejo dalam hal debitur melakukan keterlambatan pembayaran kredit, kredit macet, dan/atau menggadaikan benda jaminan pada perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang belum didaftarkan.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian hukum normative (penelitian kepustakaan) dimana data-data didapat dari data sekunder dengan menghimpun, dan mengkaji berbagai kepustakaan berupa peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi serta literature-literatur yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini dan dalam penelitian ini juga menggunakan penelitian hukum empiris (penelitian lapangan) yang mana data-data didapat dari data-data primer dengan cara wawancara terhadap responden yang terkait yang kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan metode berfikir deduktif.

Hasil penelitian yang diperoleh dari penelitian ini adalah PD BPR Bank Purworejo tidak mendapatkan perlindungan hukum dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia apabila debitur melakukan keterlambatan pembayaran kredit, kredit macet, dan/atau menggadaikan benda jaminan pada perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Tidak didaftarkannya jaminan fidusia di kantor pendaftaran fidusia, juga berarti tidak diterbitkan pula sertifikat jaminan fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Sehingga PD BPR Bank Purworejo pada dasarnya tidak dapat melakukan eksekusi seperti diatur dalam Pasal 29 Undang-undang Jaminan Fidusia. PD BPR Bank Purworejo hanya dapat melindungi dirinya dengan perjanjian jaminan fidusia yang dibuat dengan debitur dan memaksimalkan ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata khususnya Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata tanpa memperoleh perlindungan hukum dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Perjanjian Kredit, Jaminan Fidusia, PD BPR Bank Purworejo


(12)

1

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia menyebutkan bahwa, “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda

bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.”

Salah satu kegiatan usaha perbankan adalah berupa pemberian kredit. Pemberian kredit merupakan pemberian pinjaman uang oleh bank kepada anggota masyarakat yang umumnya disertai dengan penyerahan jaminan kredit oleh debitur (peminjam). Terhadap penerimaan jaminan kredit tersebut terkait dengan berbagai ketentuan hukum jaminan.1

Jaminan pada perjanjian kredit yang sering di gunakan dalam perbankan adalah Jaminan Fidusia. Jaminan fidusia lebih sering dipilih karena dinilai cukup memberikan perlindungan bagi kreditur tanpa membebani debitur. Hal ini karena dalam jaminan fidusia, benda yang menjadi obyek jaminan fidusia masih dalam

1

M Bahsan, 2012, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, hlm. 70.


(13)

kekuasaan debitur dan dapat dipergunakan oleh debitur untuk melaksanakan aktivitas dan pekerjaan sehari-sehari.

Istilah kredit berarti kepercayaan. Seorang nasabah yang mendapatkan kredit dari bank memang adalah seorang yang mendapatkan kepercayaan dari bank.2 Kredit menurut Pasal 1 angka 11 UU No.10 tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Kredit salah satunya diberikan oleh perbankan untuk menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana kepada masyarakat. Dalam pemberian kredit, bank membutuhkan jaminan sebagai sarana perlindungan bagi kreditur atas pelunasan utang oleh debitur atau pemenuhan prestasi oleh debitur. Pemberian jaminan dalam perjanjian kredit diharuskan dalam dunia perbankan konvensional karena pada dasarnya, sumber dana yang disalurkan berasal dari masyarakat atau tabungan masyarakat. 3

Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara pemberi utang (kreditur) di satu pihak dan penerima pinjaman (debitor) dilain pihak.4 Perjanjian utang piutang atau kredit tersebut menjadi sangat penting dalam pemberian kredit, karena didalamnya melahirkan hak dan kewajiban bagi kreditur

2

Subekti, R, 1986, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum

Indonesia, Bandung, Alumni, hlm. 11. 3

Purnamasari Irma Devita, 2011, Hukum Jaminan Perbankan, Bandung, hlm.18.

4

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Seri Hukum Bisnis : Jaminan Fidusia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 1.


(14)

maupun debitur. Perjanjian kredit itu juga sangat penting, karena dalam melaksanakannya terdapat banyak risiko. Dalam pemberian kredit, bank membutuhkan jaminan sebagai sarana perlindungan bagi kreditur atas pelunasan utang oleh debitur atau pemenuhan prestasi oleh debitur.

Risiko kredit didefinisikan sebagai risiko kerugian sehubungan dengan pihak peminjam yang tidak dapat dan atau tidak mau memenuhi kewajiban untuk membayar kembali dana yang dipinjamkannya secara penuh pada saat jatuh tempo atau sesudahnya.5 Oleh sebab itu, bank perlu melakukan penilaian kredit sebelum memberikan kredit. Penilaian kredit merupakan kegiatan untuk menilai keadaan calon debitur.6 Penilaian kelayakan kredit dalam manajemen yang sudah umum dikenal adalah character (good citizen), capacity (cash flow), capital, collateral (security), condition (economic). Analisis kredit akan menentukan apakah pinjaman akan diberikan atau tidak dan juga menentukan dalam penentuan “harga kredit”, sehingga para banker harus mencoba untuk memisahkan harga kredit atas dasar risiko kredit.7 Oleh karena terdapat risiko dalam pelaksanaan perjanjian kredit, maka sangat diperlukan adanya jaminan. Jaminan sebagai perlindungan keamanan kreditur sekaligus untuk memperkecil risiko bank atas penyaluran kredit kepada masyarakat.

Pemberian jaminan dalam perjanjian kredit diharuskan dalam dunia perbankan konvensional karena pada dasarnya, sumber dana yang disalurkan

5

Frianto Pandia, 2012, Manajemen Dana dan Kesehatan Bank, Jakarta, Rineke Cipta, hlm. 204.

6

Martono, 2002, Bank & Lembaga Keuangan Lain, Sleman, Ekonisia, hlm. 57. 7


(15)

berasal dari masyarakat atau tabungan masyarakat.8 Selan itu, Undang-undang perbankan juga mensyaratkan adanya jaminan dalam perjanjian kredit, seperti diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan yang menyatakan bahwa “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan yang dimaksud sesuai dengan perjanjian”. Meskipun di dalam Pasal 1131 KUHPerdata dikatakan bahwa segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Yang berarti bahwa semua kekayaan seorang dijadikan jaminan untuk semua kewajibannya, yaitu semua utangnya.9 Namun hal ini belum cukup bagi kreditur untuk menjaga keamanan atas pelunasan pemberian kreditnya, karena kedudukan kreditur hanyalah kreditur konkuren. Oleh sebab itu, perlunya dibuat perjanjian jaminan secara khusus agar kedudukan kreditur sebagai kreditur preferen atau yang didahulukan.

Benda milik debitur yang dijadikan jaminan kredit, bisa benda bergerak maupun benda tidak bergerak atau benda tetap. Apabila yang dijadikan jaminan kredit adalah benda tetap, maka pembebanan atau pengikatannya menggunakan hipotik atau hak tanggungan. Sebaliknya, jika yang dijadikan jaminan kredit

8

Irma Devita Purnamasari, 2011, Hukum Jaminan Perbankan, Bandung, Kaifa, hlm. 18. 9

Subekti, R, 1986, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum


(16)

adalah benda bergerak, maka pembebanan atau pengikatannya adalah gadai atau fidusia.

Pada perjanjian jaminan kredit bank, lebih sering menggunakan jaminan benda bergerak. Terkait dengan jaminan menggunakan benda bergerak, debitur atau pemberi jaminan tetap ingin menggunakan benda jaminan tersebut untuk aktivitas atau pekerjannya. Sehingga menurut ketentuan undang-undang, bentuk perjanjian jaminannya adalah jaminan fidusia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

Jaminan fidusia adalah salah satu sarana perlindungan hukum bagi keamanan bank yakni sebagai suatu kepastian bahwa nasabah debitur akan melunasi pinjaman kredit. Perjanjian jaminan fidusia bukan suatu hak jaminan yang lahir karena undang-undang melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu antara bank dan nasabah debitur. Oleh karena itu, fungsi yuridis pengikatan jaminan fidusia lebih bersifat khusus jika dibandingkan jaminan yang lahir berdasarkan pasal 1131 KUHPerdata. Fungsi yuridis pengikatan benda jaminan fidusia dalam akta jaminan fidusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit.10

Dalam jaminan fidusia, untuk memberikan kepastian hukum, Pasal 11 Undang-Undang Jaminan Fidusia mewajibkan Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang terletak di Indonesia. Kewajiban ini bahkan tetap berlaku meskipun kebendaan yang

10

Tan Kamello, 2014, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Bandung, PT Alumni, hlm. 187-188.


(17)

dibebani dengan jaminan fidusia berada di luar wilayah negara Republik Indonesia.11

Namun demikian, masih banyak bank yang tidak melakukan pendaftaran pada Perjanjian Jaminan Fidusia yang dilakukan dengan debitur (si berutang). Walaupun saat ini telah diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia yang mana pendaftaran fidusia menurut Peraturan Pemerintah tersebut dilakukan melalui elektronik, akan tetapi beberapa lembaga keuangan bank masih tetap saja tidak melakukan pendaftaran jaminan fidusia ke kantor pendaftaran fidusia atau melalui elektronik sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

Seperti halnya pada PD BPR Bank Purworejo yang tidak melakukan pendaftaran jaminan fidusia seperti yang diwajibkan oleh Pasal 11 Undang-Undang Jaminan Fidusia.12 Dengan tidak didaftarkannya Jaminan Fidusia oleh PD BPR Bank Purworejo tersebut, jika debitur wanprestasi, maka akan merugikan pihak bank. Persoalan tidak didaftarkannya jaminan fidusia, pada lembaga-lembaga keuangan bank seperti pada PD BPR Bank Purworejo tersebut, menarik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut dalam bentuk skripsi dengan judul : “PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA DI PD BPR BANK PURWOREJO”.

11

Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit., hlm. 9. 12

Dwi Yuli Astuti, Kepala Bagian Kredit, dalam jawaban wawancara yang dilakukan pada saat pra penelitian di PD BPR Bank Purworejo, 3 November 2016.


(18)

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan, Bagaimana perlindungan hukum bagi PD BPR Bank Purworejo dalam hal debitur melakukan keterlambatan pembayaran kredit, kredit macet, dan/atau menggadaikan benda jaminan pada perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang belum didaftarkan?

Penelitian yang dilakukan oleh penulis bertujuan untuk :

1. Tujuan Obyektif

Adapun tujuan yang harus dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah Untuk mengetahui dan mengkaji perlindungan hukum bagi PD BPR Bank Purworejo dalam hal debitur melakukan keterlambatan pembayaran kredit, kredit macet, dan/atau menggadaikan benda jaminan pada perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang belum didaftarkan.

2. Tujuan Subyektif

Tujuan penulisan hukum ini adalah Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(19)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum

Menurut Satjipto Raharjo mendefinisikan Perlindungan Hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.10

Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa Perlindungan Hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.11

Menurut CST Kansil Perlindungan Hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun. 12

B. Tinjauan Tentang Perjanjian

1. Istilah dan Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah overeenkomst dalam bahasa Belanda, atau agreement dalam Bahasa

10

Anonim, Perlindungan Hukum, 26 Oktober 2016, http://www.suduthukum.com /2015/09/perlindungan-hukum.html, (13.25)

11Ibid. 12Ibid.


(20)

Inggris. Menurut pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Maksudnya bahwa suatu perjanjian adalah suatu recht handeling yang artinya suatu perbuatan dimana orang-orang bersangkutan ditujukan agar timbul akibat hukum. Dengan demikian, suatu perjanjian adalah hubungan timbal balik atau bilateral antar para pihak yang mengikatkan diri didalamnya, disamping memperoleh hak-hak dari perjanjian tersebut juga menerima kewajiban-kewajiban sebagai bentuk konsekuensi atas hak-hak yang diperolehnya. 13

Istilah perjanjian dengan kontrak pada dasarnya adalah sesuatu hal yang berbeda. Kontrak lebih dipahami sebagai suatu perjanjian yang berbentuk tertulis, sedangkan perjanjian itu sendiri bisa berbentuk lisan maupun tertulis.

Memberikan pengertian perjanjian secara lengkap dan sempurna merupakan suatu hal yang sulit. Untuk itu maka berikut adalah pengertian perjanjian menurut beberapa ahli :

a. Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H. memberikan batasan perjanjian adalah sebagai suatu perbuatan hukum dimana seorang atau lebih mengikatkan diri seorang lain atau lebih lainnya.14

b. KRMT Tirtidiningrat, S.H. perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk

13

Ratna ArthaWindari, 2014, Hukum Perjanjian, Yogyakarta, Graha Ilmu, hlm. 2. 14


(21)

menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh Undang-undang.15

c. M. Yahya Harahap, mengemukakan bahwa perjanjian mengandung suatu pengertian yang memberikan suatu hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.16

d. Subekti, mengatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan sesuatu.17

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini ditimbulkan suatu perhubungan antara dua orang itu yang dinamakan perikatan. Dengan demikian maka kedudukan antara perikatan dan perjanjian adalah, bahwa perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber lainnya.18 Perjanjian adalah merupakan sumber perikatan yang terpenting, sebab memang yang paling banyak perikatan itu terbit/timbul dari adanya perjanjian-perjanjian.19

15

Ibid., hlm. 2. 16

Ratna ArthaWindari, Loc.Cit.

17Ibid. 18

Ratna Arta Windari, Op.Cit., hlm. 5. 19

Hartono Hadisoeprapto, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Yogyakarta, Liberty, hlm. 32.


(22)

2. Syarat Sah Perjanjian

Syarat sah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi empat syarat yang bersifat komulatif, yaitu :

a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak;

Ketentuan ini diatur dalam Pasa 1320 ayat (1) KUHPerdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan :

1) Bahasa yang sempurna dan tertulis; 2) Bahasa yang sempurna secara lisan;

3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima atau dimengerti oleh pihak lawan;

4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

5) Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.20

Adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri artinya bahwa semua pihak menyetujui atau sepakat mengenai suatu hal yang diperjanjikan, dalam hal ini tidak diperbolehkan adanya unsur paksaan atau penipuan.21

Kesepakatan tersebut dapat dianggap tidak sah apabila terjadi hal-hal sebagai berikut :

20

Ratna Arta Windari, Op.Cit., hlm. 15. 21


(23)

1) Kekhilafan/Dwaling, yaitu dapat terjadi mengenai barang yang menjadi pokok atau tujuan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Hal ini diatur dalam Pasal 1322 KUHPerdata.

2) Paksaan/Dwang, yaitu dapat terjadi jika orang yang memberikan kesepakatannya itu karena takut terhadap suatu ancaman. Hal ini diatur dalam Pasal 1323 KUHPerdata.

3) Penipuan/Bedrog, yaitu apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan.22 Hal ini diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata.

b. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum;

Kecakapan yang dimaksud adalah mampu melakukan perbuatan hukum, atau para pihak yang telah dinyatakan dewasa oleh hukum.23 Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Sedangkan KUHPerdata menguraikan mereka yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum dalam Pasal 1330 sebagai berikut :

1) Orang-orang yang belum dewasa

KUHPerdata mengkualifikasikan orang-orang yang belum dewasa pada Pasal 330, yang menyatakan bahwa belum dewasa adalah mereka

22

Subekti, 2011, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT. Intermasa, hlm.135. 23


(24)

yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.

2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

Dalam Pasal 433 KUHPerdata dijelaskan bahwa, setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh dibawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.

3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Dalam hal ini yang dimaksud oleh KUHPerdata adalah para istri. Akan tetapi, saat ini istri dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa :

(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka secara tegas ketentuan dalam KUHPerdata yang menyatakan istri tidak cakap melakukan perbuatan hukum telah dihapus dan tidak berlaku lagi.


(25)

c. Adanya objek atau suatu hal tertentu;

Dalam suatu perjanjian, obyek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak. Obyek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. 24 Didalam Pasal 1332 KUHPerdata dijelaskan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Berdasarkan pasal 1333 KUHPerdata, suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung. Dijelaskan pula dalam Pasal 1334 KUHPerdata bahwa barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatau perjanjian.

d. Adanya kausa yang halal.

Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian tidak mempunyai kekuatan mengikat apabila dibuat tanpa sebab atau dibuat dengan sebab yang palsu atau terlarang. Pengertian sebab/kausa yang halal diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang menyebutkan suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Syarat adanya kesepakatan dan kecakapan melakukan perbuatan hukum disebut syarat subyektif, kerena menyangkut pihak-pihak yang membuat perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka, perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan adanya obyek atau suatu hal tertentu dan kausa/sebab yang

24


(26)

halal adalah syarat obyektif, karena menyangkut obyek perjanjian. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian dianggap batal demi hukum.

3. Asas-Asas Perjanjian

Asas-asas perjanjian secara umum dibagi menjadi 4 (empat) sebagai berikut :

a. Asas Konsensuil

Suatu perjanjian harus dianggap lahir pada waktu tercapainya suatu kesepakatan antara kedua belah pihak. Orang yang hendak membuat perjanjian harus menyatakan kehendaknya dan kesediannya untuk mengikatkan dirinya. Pernyataan kedua belah pihak bertemu dan sepakat.25

Asas konsensuil dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang menentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Maksud dari asas konsensuil ini adalah bahwa suatu perjanjian sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, tentunya selama syarat-syarat sahnya perjanjian lainnya sudah terpenuhi. Dengan adanya kata sepakat, maka perjanjian tersebut secara prinsip sudah mengikat dan sudah memiliki akibat hukum, sehingga mulai saat itu juga sudah timbul hak dan kewajiban diantara para pihak.26

b. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dijelaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

25

Subekti, Op.Cit., hlm.138. 26


(27)

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Dalam kata “semua” dapat diartikan bebas membuat perjanjian dalam artian :

1) Bebas membuat atau tidak membuat perjanjian; 2) Bebas membuat perjanjian dengan siapapun;

3) Bebas menentukan isi perjanjian, pelaksanannya, dan persyaratannya;

4) Bebas menentukan bentuk perjanjian.

c. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas kekuatan mengikat ataun asas pacta sunt servanda yang berarti bahwa janji itu mengikat. Suatu kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pihak tersebut secara penuh sesuai isi perjanjian tersebut. Mengikat secara penuh suatu perjanjiian yang dibuat oleh para pihak terebut oleh hukum kekuatannya sama dengan kekuatan mengikat undang-undang. Jika salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakan isi perjanjian yang mereka sepakati maka oleh hukum disediakan ganti rugi atau bahkan pelaksanaan perjanjian secara paksa.27 Asas ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

d. Asas Iktikad Baik

Dalam Pasal 1338 ayat (3) disebutkan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikat baik. Maksud kalimat tersebut adalah bahwa

27


(28)

perjanjian itu harus berdasarkan dan tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan.

Dalam melaksanakan haknya, seorang kreditur harus memperhatikan kepentingan debitur dalam situasi tertentu, jika kreditur menuntut haknya pada saat yang paling sulit bagi debitur mungkin kreditur dapat dianggap melaksanakan perjanjian tidak dengan iktikad baik.28

4. Unsur-Unsur Perjanjian

Dikenal tiga unsur-unsur dalam suatu perjanjian, yaitu sebagai berikut :29

a. Unsur Essentialia

Unsur essentialia ialah unsur mutlak yang harus ada bagi terjadinya perjanjian. Unsur ini mutlak harus ada agar perjanjian itu sah, merupakan syarat sahnya perjanjian.

b. Unsur Naturalia

Unsur naturalia ialah unsur yang lazimnya melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian.

28

Suharnoko, 2015, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus Edisi Kedua, Jakarta, Prenadamedia Group, hlm. 4.

29

Sudikno Mertokusumo, 2001, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta,


(29)

c. Unsur Accidentalia

Unsur accidentalia ialah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian. Unsur ini merupakan persyaratan khusus yang ditentukan oleh para pihak sehingga dapat disimpangi oleh para pihak sesuai kehendak. Unsur ini disusun oleh para pihak namun tetap sesuai dengan ketentuan KUHPerdata.

5. Jenis-Jenis Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, diantaranya sebagai berikut :30

a. Berdasarkan Hak dan Kewajiban 1) Perjanjian Sepihak

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang hanya melahirkan kewajiban-kewajiban bagi satu pihak saja.

2) Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian dimana hak dan kewajiban ada pada kedua belah pihak.

b. Berdasarkan Keuntungan yang Diperoleh 1) Perjanjian Cuma-Cuma

Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja.

30


(30)

2) Perjanjian Atas Beban

Perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian dimana terhadap prestasi pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak yang lain dan antara prestasi dan kontra prestasi tersebut senantiasa ada hubungannya.

c. Berdasarkan Nama dan Pengaturannya 1) Perjanjian Bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang didalam masyarakat sudah mempunyai nama-nama tertentu dan lazimnya perjanjian ini sudah khusus. Oleh sebab itu perjanjian bernama disebut dengan perjanjian khusus. Perjanjian bernama diartikan juga sebagai perjanjian-perjanjian yang sudah disebut dan diatur dalam Buku III KUHPerdata atau dalam KUHD.

2) Perjanjian Tidak Bernama

Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat. Perjanjian tidak bernama ini tidak disebut dan diatur di dalam KUHPerdata maupun KUHD.

3) Perjanjian Campuran

Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur dari berbagai perjanjian. Perjanjian ini juga tidak diatur dalam KUHPerdata maupun KUHD.


(31)

d. Berdasarkan Tujuan Perjanjian 1) Perjanjian Kebendaan

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda dialihkan atau diserahkan kepada pihak lain.

2) Perjanjian Obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban dari para pihak.

3) Perjanjian Liberatoir

Perjanjian liberatoir adalah perjanjian para pihak yang membebaskan dari kewajiban yang ada. Misalnya pembebasan hutang dalam pasal 1438 KUHPerdata.

e. Berdasarkan Terbentuknya atau Lahirnya Perjanjian 1) Perjanjian Konsensuil

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat sejak adanya kesepakatan (concensus) dari kedua belah pihak. Jadi perjanjian lahir sejak detik tercapainya kata sepakat dari kedua belah pihak.

2) Perjanjian Riil

Perjanjian riil adalah perjanjian yang mengikat jika disertai dengan perbuatan/tindakan nyata, yaitu lahir sejak adanya penyerahan benda yang menjadi obyek perjanjian.


(32)

Perjanjian formal adalah perjanjian yang terikat pada bentuk tertentu, jadi bentuknya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Jika bentuk perjanjian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan, maka perjanjian tersebut tidak sah. Jadi, perjanjian lahir setelah memenuhi syarat-syarat formal tertentu.

6. Wanprestasi dan Akibat Hukumnya

Wanprestasi adalah kondisi tidak dipenuhinya kewajiban dalam suatu perjanjian. Wanprestasi dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja melakukan wanprestasi dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut.31

Keadaan wanprestasi tidak selalu bahwa seorang debitur tidak dapat memenuhi sama sekali seluruh prestasi, melainkan dapat juga dalam hal seorang debitur tidak tepat waktunya untuk memenuhi prestasi atau dalam memenuhi prestasi tidak baik. 32

Bentuk-bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh debitur adalah sebagai berikut :

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;

31Ibid

,.hlm.36-37 32


(33)

c. Melakukan apa yang dijanjikannya tapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwam, S.H., bahwa seorang debitur dinyatakan wanprestasi harus memenuhi tiga unsur, yaitu :33

a. Perbuatan yang dilakukan debitur tidak dapat disesalkan.

b. Akibatnya dapat diduga lebih dahulu baik dalam arti yang obyektif, yaitu orang yang normal dapat menduga bahwa keadaan itu akan muncul, maupun dalam arti subyektif, yaitu sebagai orang yang ahli dapat menduga keadaan demikian akan timbul.

c. Dapat diminta untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Pasal 1236 KUHPerdata menyatakan bahwa si berutang adalah wajib memberikan ganti biaya, rugi, dan bunga kepada si berpiutang, apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya.

Akibat Hukum yang harus ditanggung oleh pihak yang melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut :34

a. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur. Bentuk ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata adalah sebagai berikut :

33

Evi Ariyani, Op.Cit, hlm.22-23. 34


(34)

1) Biaya, adalah setiap pengeluaran yang timbuk dalam mengurus obyek perjanjian.

2) Rugi, adalah berkurangnya nilai kekayaan kreditur sebagai akibat adanya wanprestasi dari pihak debitur.

3) Bunga, adalah keuntungan yang seharusnya diperoleh apabila dalam perjanjian tidak terjadi wanprestasi.

b. Dalam perjanjian timbal balik, wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUHPerdata). Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata).

c. Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu akan dikalahkan dalam perkara.

d. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau membatalkan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata).

7. Berakhirnya Perjanjian

Hapusnya perjanjian harus dibedakan dengan hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan perjanjiannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada. Persetujuan dapat hapus karena :35

35


(35)

a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya, perjanjian akan berlaku untuk waktu tertentu;

b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian;

c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka peranjian akan hapus;

d. Pernyataan mengehentikan perjanjian (opzeegging) e. Perjanjian hapus karena putusan hakim;

f. Tujuan perjanjian telah tercapai;

g. Dengan persetujuan para pihak. (herroeping)

Dalam praktik juga dikenal beberapa cara berakhirnya perjanjian, yaitu sebagai berikut :36

a. Jangka waktunya berakhir; b. Dilaksanakan obyek perjanjian; c. Kesepakatan kedua belah pihak;

d. Pemutusan perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak; dan e. Adanya putusan pengadilan.

C. Tinjauan Tentang Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian Kredit

Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa Latin, credere, yang berarti kepercayaan. Misalkan, seorang nasabah debitor yang memperoleh kredit

36

Salim H.S, 2014, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 165.


(36)

dari bank adalah tentu seseorang yang mendapat kepercayaan dari bank. Hal ini menunjukan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitor adalah kepercayaan.37

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.38

Perjanjian kredit adalah perjanjian yang dibuat bersama antara kreditur dan debitur atas sejumlah kredit, dimana kreditur berkewajiban untuk memberikan uang atau kredit kepada debitur, dan debitur berkewajiban untuk membayar pokok dan bunga, serta biaya-biaya yang lainnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati antara keduanya.39

Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil. Sebagai perjanjian prinsipiil, maka perjanjian jaminan adalah asessornya. Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah bahwa terjanjinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah debitor.40

37

Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta, Kencana, hlm. 57. 38

. R. I., Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang “Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan”, Bab I, Pasal 1, angka 11. 39

Evi Ariyani, Op.Cit., hlm. 59. 40


(37)

2. Unsur-Unsur Kredit

Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit adalah sebagai berikut :41

a. Kreditor

Kreditor merupakan pihak yang memberikan kredit (pinjaman) kepada pihak lain yang mendapat pinjaman. Pihak tersebut bisa perorangan atau badan usaha. Bank yang memberikan kredit kepada pihak peminjam merupakan kreditor.

b. Debitor

Debitur merupakan pihak yang membutuhkan dana, atau pihak yang mendapatkan pinjaman dari pihak lain.

c. Kepercayaan (Trust)

Kreditur memberikan kepercayaan kepada pihak yang menerima pinjaman (debitur) bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya untuk membayar pinjamannya sesuai dengan jangka waktu tertentu yang diperjanjikan.

d. Perjanjian

Perjanjian merupakan suatu kontrak perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan antara bank (kreditur) dengan pihak peminjam (debitur).

41

Ismail, 2013, Manajemen Perbankan: Dari Teori Menuju Aplikasi, Jakarta, Kencana Prenadamedia Group, hlm. 94-95.


(38)

e. Risiko

Setiap dana yang disalurkan oleh bank selalu mengandung adanya risiko tidak kembalinya dana. Risiko adalah kemungkinan kerugian yang akan timbul atas penyaluran kredit bank.

f. Jangka Waktu

Jangka waktu merupakan lamanya waktu yang diperlukan oleh debitur untuk membayar pinjamannya kepada kreditur.

g. Balas Jasa

Sebagai imbalan atas dana yang disalurkan oleh kreditor, maka debitur akan membayar sejumlah uang tertentu sesuai dengan perjanjian. Dalam perbankan konvensional, imbalan tersebut berupa bunga, sementara dalam perbankan syariah terdapat beberapa macam imbalan, tergantung akadnya.

3. Jenis-Jenis Kredit

Jenis-jenis kredit adalah sebagai berikut :42 a. Menurut Sifat Penggunaannya

1) Kredit Konsumtif

kredit ini digunakan oleh untuk keperluan konsumsi, artinya uang kredit akan habis dipergunakan atau semua akan terpakai untuk memenuhi kebutuhannya.

42


(39)

2) Kredit Produktif

Kredit ini ditujukan untuk keperluan produksi dalam arti luas. Peranan kredit produktif digunakan untuk peningkatan usaha baik usaha-usaha produktif maupun investasi.

b. Menurut Keperluannya

1) Kredit Produksi/Eksploitasi

Kredit ini diperlukan perudahaan untuk meningkatkan produksi baik peningkatan kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi maupun peningkatan kualitatif yaitu peningkatan kualitas/mutu hasil produksi. Disebut juga kredit eksploitasi karena bantuan modal kerja tersebut digunakan untuk menutup biaya-biaya eksploitasi perusahaan secara luas berupa pembelian bahan-bahan baku, bahan penolong dan biaya produksi lainnya.

2) Kredit Perdagangan

Kredit ini digunakan untuk keperluan-keperluan perdagangan pada umumnya, yang berarti peningkatan utility of place dari suatu barang.

3) Kredit Investasi

Kredit yang diberikan oleh bank kepada para pengusaha untuk keperluan investasi. Pemanfaatannya bukanlah untuk keperluan modal kerja, akan tetapi untuk keperluan perbaikan


(40)

maupun pertambahan barang modal (capital goods) beserta fasilitas-fasilitas yang erat hubungannya dengan itu.

c. Menurut Jangka Waktu 1) Kredit Jangka Pendek

Yaitu kredit dengan jangka waktu selama-lamanya 1 (satu) tahun.

2) Kredit Jangka Menengah

Yaitu kredit yang berjangka waktu antara 1 (satu) samapai dengan 10 (sepuluh) tahun.

3) Kredit Jangka Panjang

Yaitu kredit yang jangka waktunya lebih dari 10 (sepuluh) tahun.

d. Menurut Jaminannya

1) Kredit Tanpa Jaminan (Unsecured Loans)

Jaminan disini yang dimaksudkan adalah jaminan fisik. Di Indonesia jenis kredit ini belum lazim dan dilarang oleh Bank Indonesia.

2) Kredit dengan Jaminan

Jenis kredit ini adalah kredit yang penilaiannya lengkap dalam arti segala aspek penilaian turut dipertimbangkan termasuk jaminan. Jaminan kredit dapat berupa tanah, rumah, pabrik, dan atau mesin-mesin pabrik, perhiasan dan barang-barang fisik lainnya.


(41)

4. Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit

Prinsip-prinsip dalam perkreditan disebut juga dengan konsep 5C dan 7P. Prinsip perkreditan 5C adalah sebagai berikut :43

a. Character

Pada prinsip ini diperhatikan dan diteliti tentang kebiasaan-kebiasaan, sifat pribadi, cara hidup (style of living), keadaan keluarganya (anak istri), hobby dan social standing calon debitur. Prinsip ini merupakan ukuran tentang kemauan untuk membayar (wiliingness to pay).

b. Capacity

Penilaian terhadap capacity debitur dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan debitur mengembalikan pokok pinjaman serta bunga pinjamannya. Penilaian kemampuan membayar tersebut dilihat dari kegiatan usaha dan kemampuannya melakukan pengelolaan atas usaha yang akan dibiayai dengan kredit.

c. Capital

Penyelidikan terhadap capital atau permodalan debitur tidak hanya melihat besar kecilnya modal tersebut, tetapi juga bagaimana distribusi modal itu ditempatkan oleh debitur.

d. Colleteral

Penilaian terhadap barang jaminan (colleteral) yang diserahkan debitur sebagai jaminan atas kredit bank yang diperolehnya adalah untuk mengetahui sejauh mana nilai barang jaminan atau agunan dapat

43


(42)

menutupi risiko kegagalan pengembalian kewajiban-kewajiban debitur.

e. Condition

Pada prinsip kondisi (condition), dinilai kondisi ekonomi secara umum serta kondisi pada sektor usaha calon debitur.

Selain itu, prinsip pemberian kredit juga disebut sebagai 7P, sebagai berikut :

a. Personality

Bank mencari data tentang kepribadian calon debitur sperti riwayat hidupnya, keadaan keluarga, pergaulan dalam masyarakat dan hal-hal yang berhubungan dengan kepribadian calon debitur.

b. Purpose

Bank mencari data tentang tujuan atau keperluan penggunaan kredit. c. Prospect

Prospect merupakan harapan masa depan dari bidang usaha atau kegiatan usaha calon debitur selama beberapa bulan atau tahun, perkembangan keadaan ekonomi/perdagangan, keadaan sektor usaha calon debitur, kekuatan keuangan perusahaan masa lalu dan perkiraan masa mendatang.

d. Payment

Payment merupakan prinsip untuk mengetahui bagaimana pembayaran kembali pinjaman akan diberikan.


(43)

e. Party

Party merupakan pengklarifikasian nasabah ke dalam klarifikasi tertentu atau golongan-golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas, serta karakternya.

f. Profitability

Profitability adalah kemampuan nasabah dalam mencari laba. g. Protection

Protection bertujuan bagaimana menjaga kredit yang dikucurkan oleh bank melalui suatu perlindungan. Perlindungan dapat berupa jaminan barang atau orang atau jaminan asuransi.

5. Penggolongan Kredit

Bank melakukan penggolongan kreit menjadi dua golongan, yaitu kredit performing dan non-performing. Kredit performing disebut juga dengan kredit yang tidak bermasalah dibedakan menjadi dua kategori yaitu :44

a. Kredit dengan Kualitas Lancar

Kredit lancar merupakan kredit yang diberikan kepada nasbah dan tidak terjadi tunggakan, baik tunggakan pokok dan bunga. Debitur melakukan pembayaran angsuran tepat waktu sesuai dengan perjanjian kredit.

b. Kredit dengan Kualitas dalam Perhatian Khusus

44


(44)

Kredit dengan kualitas dalam perhatian khusus merupakan kredit yang masih digolongkan lancar, akan tetapi mulai terdapat tunggakan. Hal ini apabila terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga sampai dengan 90 hari.

Kredit non-performing merupakan kredit yang sudah dikategorikan kredit bermasalah, karena sudah terdapat tunggakan. Kredit non-performing disebut juga dengan kredit bermasalah, dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

a. Kredit Kurang Lancar

Kredit kurang lancar merupakan kredit yang telah mengalami tunggakan. Pengembalian pokok pinjaman dan bunganya telah mengalami penundaan pembayaran melampaui 90 hari sampai dengan kurang dari 180 hari.

b. Kredit Diragukan

Kredit diragukan merupakan kredit yang mengalami penundaan pembayaran pokok dan/atau bunga. Penundaan pembayaran pokok dan/atau bunga antara 180 hingga 270 hari.

c. Kredit Macet

Kredit macet merupakan kredit yang menunggak melampauai 270 hari atau lebih. Bank akan mengalami kerugian atas kredit macet tersebut.


(45)

6. Ciri-Ciri Perjanjian Kredit

Sutan Remy Sahdeini menyebutkan ciri-ciri perjanjian kredit bank sebagai berikut :45

a. Bersifat Konsensual. Sifat ini membedakan perjanjian kredit dengan perjanjian pinjam meminjam uang. Perjanjian kredit dapat bersifat riil dan konsensual, sedangkan perjanjian pinjam meminjam uang adalah bersifat riil.

b. Penggunaan kredit tidak dapat digunakan secara bebas. Dalam perjanjian pinjam meminjam uang penggunaannya dapat secara bebas sedangkan dalam perjanjian kredit penggunaan kredit harus sesuai dengan yang tujuan telah diperjanjikan.

c. Syarat penggunaan. Kredit bank hanya dapat digunakan dengan cara cara tertentu yaitu dengan menggunakan cek atau pemindah bukuan, hal ini berbeda dengan perjanjian pinjam meminjam dimana uang yang dipinjam langsung diserahkan kreditur kepada debitur tanpa harus memenuhi syarat tertentu.

7. Fungsi-Fungsi Kredit dan Perjanjian Kredit

Fungsi kredit secara terperinci adalah sebagai berikut :46

a. Kredit dapat meningkatkan arus tukar menukar barang dan jasa.

45

Evi Ariyani, Op.Cit., hlm. 60. 46


(46)

Kredit dapat meningkatkan arus tukar barang, hal ini seandainya belum tersedia uang sebagai alat pembayaran, maka kredit akan membantu melancarkan lalu lintas pertukaran barang dan jasa.

b. Kredit merupakan alat yang dipakai untuk memanfaatkan idle fund. Dalam kehidupan ekonomi, ada satu pihak kelebihan dana dan tidak memanfaatkan dana tersebut sehingga dananya menjadi idle. Sementara ada pihak lain yang mempunyai usaha akan tetapi tidak memiliki dana yang cukup untuk mengembangkan usahanya, sehingga memerlukan dana. Dana yang berasal dari pihak yang kelebihan dana jika dipinjamkan kedapa pihak yang kekurangan dana, maka akan efektif.

c. Kredit dapat menciptakan alat pembayaran yang baru.

Sebagai contoh adalah kredit rekening koran yang diberi oleh bank kepada usahawan.

d. Kredit sebagai alat pengendalian harga.

Pemberian kredit yang ekspansif akan mendorng meningkatnya jumlah uang yang beredar, dan peningkatan peredaran uang tersebut akan mendorong kenaikan harga. Sebaliknya, pembatasan kredit, akan berpengaruh pada jumlah uang yang beredar, dan keterbatasan uang yang beredar di masyarakat memiliki dampak pada penurunan harga. e. Kredit dapat mengaktifkan dan meningkatkan manfaat ekonomi yang


(47)

Apabila bank memberikan kredit produktif, yaitu kredit modal kerja atau investasi, maka pemberian kredit tersebut akan memiliki dampak pada kenaikan makro ekonomi.

Menurut Ch. Gatot Wardoyo perjanjian kredit mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut :47

a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok.

b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur.

c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.

8. Bentuk Perjanjian Kredit

Bentuk dari perjanjian kredit biasanya adalah dibuat secara tertulis dalam bentuk standart oleh pihak kreditur (bank). Perjanjian kredit harus dibuat dalam bahasa Indonesia jika salah satu pihak bukan warga negara Indonesia maka harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.48

Di dalam praktik, setiap bank telah menyediakan blanko (formulir, odel) perjanjian kredit, yang isinya telah disiapkan terlebih dahulu (standaarform). Formulir ini diserahkan kepada setiap debitur. Isinya tidak diperbincangkan dengan debitur. Debitur hanya dimintakan pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat tersebut di dalam formulir itu atau tidak. Hal-hal yang kosong

47

Hermansyah, Op. Cit,. hlm. 72. 48


(48)

(belum diisi) di dalam blanko itu adalah hal-hal yang tidak mungkin diisi sebelumnya yaitu antara lain jumlah pinjaman, bunga, tujuan dan jangka waktu kredit.49

9. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kredit a. Hak dan Kewajiban Kreditur

1) Hak Kreditur

Hak kreditur dalam perjanjian kredit adalah sebagai berikut : a) Menerima pokok angsuran kredit;

b) Menerima bunga angsuran kredit;

c) Menerima jaminan atas pengajuan kredit. 2) Kewajiban Kreditur

Kewajiban kreditur dalam perjanjian kredit adalah menyerahkan kredit atau uang kepada debitur.

b. Hak dan Kewajiban Debitur 1) Hak Debitur

Hak debitur dalam perjanjian kredit adalah menerima sejumlah uang yang dipinjamkan oleh kreditur kepada debitur.

2) Kewajiban Debitur

Kewajiban debitur dalam perjanjian kredit adalah sebagai berikut :

49

Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Perjanjian Kredit Bank, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 35.


(49)

a) Memberikan jaminan atas kredit yang diajukan kepada kreditur;

b) Membayar pokok angsuran dan bunga sesuai dengan yang ditentukan oleh pihak kreditur dalam jangka waktu tertentu.

10.Berakhirnya Perjanjian Kredit

Suatu perjanjian dapat hapus selain atas persetujuan dari kedua belah pihak, juga dapat hapus karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.50

Dalam praktiknya, perjanjian kredit bank hapus karena :51 a. Ditentukan oleh para pihak di dalam perjanjian.

b. Adanya pembatalan oleh salah satu pihak terhadap perjanjiannya. c. Adanya pernyataan penghentian perjanjian secara sepihak oleh

bank.

D. Tinjauan Tentang Jaminan 1. Pengertian Jaminan

Jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.52

50Edy Putra Tje’Aman, 1986,

Kredit Perbankan (Suatu Tinjauan Yuridis), Yogyakarta, Liberty, hlm. 36.

51Ibid .


(50)

Menurut ketentuan pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.

2. Jenis-Jenis Jaminan

Pada umumnya jenis-jenis lembaga jaminan sebagaimana dikenal dalam Tata Hukum Indonesia dapat digolong-golongkan menurut cara terjadinya, menurut sifatnya, menurut obyeknya, menurut kesewenangan menguasainya dan lain-lain sebagai berikut :53

a. Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh Undang-Undang dan jaminan yang lahir karena perjanjian.

1) Jaminan yang ditentukan oleh undang-undang ialah jaminan yang adanya ditunjuk oleh Undang-undang tanpa adanya perjanjian dari para pihak yaitu misalnya adanya ketentuan Undang-undang yang menentukan bahwa semua harta benda debitur baik benda bergerak maupun benda tetap, baik benda-benda yang sudah ada maupun yang masih akan ada menjadi jaminan bagi seluruh perutangannya. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 1131 KUHPerdata.

52

Hartono Hadisoeprapto, Op.Cit., hlm. 50. 53

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional, hlm. 43-57.


(51)

2) Jaminan yang lahir karena perjanjian yaitu jaminan yang adanya harus diperjanjikan terlebih dahulu antara para pihak. Tergolong jenis ini ialah: Hipotik, Gadai, Credietverband, Fidusia, Penanggungan (borgtocht), perjanjian garansi, perutangan tanggung-menanggung, dll.

b. Jaminan yang tergolong jaminan umum dan jaminan khusus.

1) Jaminan umum timbulnya dari Undang-undang. Tanpa adanya perjanjian yang diadakan oleh para pihak terlebih dahulu, para kreditur konkuren semuanya bersama-sama memperoleh jaminan umum yang diberikan oleh Undang-undang (Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata). Demi kepentingan kreditur yang mengadakan perutangan, Undang-undang memberikan jaminan yang tertuju terhadap semua kreditur dan mengenai semua harta benda debitur. 2) Jaminan khusus, timbulnya karena adanya perjanjian yang khusus

diadakan antara kreditur dan debitur yang dapat berupa jaminan yang bersifat kebendaan, maupun jaminan yang bersifat perorangan.

c. Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan yang bersifat perorangan.

1) Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat


(52)

dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya (droit de suit) dan dapat diperalihkan.

2) Jaminan yang bersifat perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur seumumnya.

d. Jaminan yang mempunyai obyek benda bergerak dan jaminan atas benda tak bergerak.

1) Jaminan atas benda bergerak dapat dipasang lembaga jaminan yang berbentuk gadai atau fidusia.

2) Jaminan atas benda tidak bergerak (benda tetap), maka sebagai lembaga jaminan dapat dipasang hipotik atau credietverband.

e. Jaminan yang menguasai bendanya dan jaminan tanpa menguasai bendanya.

1) Jaminan yang diberikan dengan menguasai bendanya misalnya pada gadai (pand, pledge), hak retensi.

2) Jaminan yang diberikan tanpa menguasai bendanya misalnya pada hipotik (mortgage), credietverband (ikatan kredit), fidusia, privilegi.


(53)

3. Prinsip-Prinsip Hukum Jaminan

Beberapa prinsip hukum jaminan sebagaimana yang diatur oleh ketentuan-ketentuan KUHPerdata adalah sebagai berikut :54

a. Kedudukan Harta Pihak Peminjam

Pasal 1131 KUHPerdata mengatur tentang kedudukan harta pihak peminjam, yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya merupakan jaminan (tanggungan) atas utangnya.

Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata bila dikaitkan dengan suatu perjanjian pinjaman uang, akan lebih baik ketentuan tersebut dimasukan sebagai klausul dalam perjanjian peminjaman uang, termasuk dalam perjanjian kredit.

b. Kedudukan Pihak Pemberi Pinjaman

Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu :

1) Yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang masing-masing; dan

2) Yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan.

c. Larangan Memperjanjikan Pemilikan Obyek Jaminan Utang oleh Pihak Pemberi Pinjaman

54


(54)

Pihak pemberi pinjaman dilarang memperjanjikan akan memiliki obyek jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji (wanprestasi). Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1154 KUHPerdata tentang Gadai, Pasal 1178 KUHPerdata tentang Hipotik.

E. Tinjauan Tentang Jaminan Fidusia 1. Pengertian Jaminan Fidusia

Jaminan Fidusia dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan pengertian sebagai berikut:

Pasal 1 angka 1:

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Pasal 1 angka 2 :

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.


(55)

Dari definisi yang diberikan tersebut dapat disimpulkan bahwa Fidusia dibedakan dari Jaminan Fidusia, dimana fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. 55

Pada fidusia peralihan hak terjadi dengan cara penyerahan Constitutum Possesorium, yang berarti penyerahan dimana debitur tetap melanjukan menguasai benda yang diserahkan (dijaminkan) itu berdasarkan alas hak yang lain. 56

Bentuk rincian dari Constitutum Possesorium dalam konteks fidusia, pada prinsipnya dilakukan melalui tiga fase sebagai berikut :57

a. Fase Pertama yaitu Fase Perjanjian Obligatoir (Obligatoir Overeenskoms).

Dari segi hukum dan dokumentasi hukum, proses jaminan fidusia diawali oleh adanya perjanjian obligatoir. Perjanjian tersebut berupa perjanjian pinjam meminjam uang dengan jaminan fidusia diantara pihak pemberi fidusia (debitur) dengan pihak penerima fidusia (kreditur).

b. Fase Kedua yaitu Fase Perjanjian Kebendaan (Zakelijke Overeemskomst).

55

Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit., hlm. 123. 56

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1977, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga

Jaminan Khususnya Fiducia di Dalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 41.

57


(56)

Perjanjian kebendaan ini berupa penyerahan hak milik dari debitur kepada kreditur, dalam hal ini dilakukan secara constitutum possessorium.

c. Fase Ketiga yaitu Fase Perjanjian Pinjam Pakai.

Benda obyek jaminan fidusia yang hak miliknya sudah berpindah kepada pihak kreditur tersebut dipinjamkan kepada pihak debitur. Benda tersebut, setelah diikat dengan jaminan fidusia, tetap dikuasai secara fisik oleh pihak debitur.

2. Unsur-Unsur Jaminan Fidusia

Dari perumusan Pasal 1 angka 1 Undang-undang jaminan fidusia, dapat diketahui unsur-unsur fidusia sebagai berikut :58

a. Pengalihan hak kepemilikan suatu benda; b. Dilakukan atas dasar kepercayaan;

c. Kebendaannya tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Dari perumusan Pasal 1 angka 2 Undang-undang jaminan fidusia, dapat diketahui unsur-unsur jaminan fidusia sebagai berikut :59

a. Sebagai lembaga hak jaminan kebendaan dan hak yang diutamakan; b. Kebendaan bergerak sebagai obyeknya;

58

Rachmadi Usman, 2013, Hukum Kebendaan, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 283-284. 59


(57)

c. Kebendaan tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dibebani dengan Hak Tanggungan juga menjadi obyek jaminan fidusia;

d. Dimaksudkan untuk pelunasan suatu utang tertentu;

e. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor-kreditor lainnya.

3. Asas-Asas Hukum Jaminan Fidusia

Asas-asas hukum jaminan fidusia yang terdapat dalam Undang-undang Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut :60

a. Asas bahwa kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya. Hal ini bisa dilihat dari pengertian jaminan fidusia dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang jaminan fidusia. Pasal 27 Undang-undang Jaminan Fidusia menjelaskan hak yang didahulukan adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas eksekusi benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.

b. Asas bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada. c. Asas bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikatan yang lazim

disebut asa asesoritas. Asas ini mengandung arti bahwa keberadaan jaminan fidusia ditentukan oleh perjanjian lain yakni perjanjian utama atau perjanjian principal. Perjanjian utama bagi jaminan fidusia adalah

60


(58)

perjanjian hutang piutang yang melahirkan hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia.

d. Asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas hutang yang baru akan ada (kontinjen). Dalam Undang-undang jaminan fidusia ditentukan bahwa obyek jaminan fidusia dapat dibebankan kepada hutang yang telah ada dan yang akan ada. Hal ini diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Jaminan Fidusia.

e. Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada. Asas ini diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Jaminan Fidusia yang berbunyi :

(1) Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis Benda,termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian.

(2) Pembebanan jaminan atas Benda atau piutang yang diperoleh kemudian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak perlu dilakukan dengan perjanjian jaminan tersendiri.

f. Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan/rumah yang terdapat diatas tanah milik orang lain. Dalam ilmu hukum asas ini disebut dengan asas pemisahan horisontal. Hal ini dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 3 huruf a Undang-undang jaminan fidusia yang menjelaskan bahwa berdasarkan ketentuan ini, bangunan di atas tanah milik orang lain yang tidak dapat dibebani hak tanggungan berdasarkan Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak tanggungan,dapat dijadikan obyek Jaminan Fidusia.


(59)

g. Asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subyek dan obyek jaminan fidusia. Hal ini diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Jaminan Fidusia sebagai berikut :

Akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sekurang-kurangnya memuat:

a. identitas pihak Pemberi dan Penerima fidusia; b. data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

c. uraian mengenai Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia; d. nilai penjaminan; dan

e. nilai Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.

h. Asas bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang memiliki kewenangan hukum atas obyek jaminan fidusia. Kewenangan hukum tersebut harus sudah ada pada saat jaminan fidusia didaftarkan ke kantor fidusia.

i. Asas bahwa jaminan fidusia harus didaftar ke kantor pendaftaran fidusia. Dalam ilmu hukum disebut asas publiciteit. Dengan didaftarkannya akta jaminan fidusia, berarti perjanjian fidusia lahir dan mementum tersebut menunjukan perjanjian jaminan fidusia adalah jaminan kebendaan. Asas publikasi juga melahirkan adanya kepastian hukum dari jaminan fidusia.

j. Asas bahwa benda yang dijadikan obyek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditur penerima jaminan fidusia sekalipun hal itu diperjanjikan. Dalam ilmu hukum disebut asas pendakuan. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 Undang-undang Jaminan Fidusia.


(60)

k. Asas bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepeada kreditur penerima fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor fidusia daripada kreditur yang mendaftarkan kemudian. Hal ini diatur dalam Pasal 28 Undang-undang jaminan fidusia.

l. Asas bahwa pemberi jaminan fidusia yang tetap menguasai benda jaminan harus mempunyai iktikat baik. Dengan asas ini diharapkan bahwa pemberi jaminan fidusia wajib memelihara benda jaminan, tidak mengalihkan, menyewakan dan menggadaikan kepada pihak lain. m. Asas bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi. Kemudahan pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sertifikat jaminan fidusia. Dengan titel eksekutorial ini menimbulkan konsekuensi yuridis bahwa jaminan fidusia mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal ini diatur dalam Pasal 15 Undang-undang Jaminan Fidusia.

4. Subyek dan Obyek dalam Jaminan Fidusia

Subyek dalam jaminan fidusia adalah pemberi fidusia yang dalam hal ini sebagai debitur dalam perjanjian kredit, dan penerima fidusia yang dalam hal ini sebagai kreditur dalam perjanjian kredit. Sedangkan yang menjadi obyek fidusia, kalau pada waktu lampau yurisprudensi berkali-kali disebutkan, bahwa yang menjadi obyek jaminan fidusia adalah benda bergerak saja, maka sekarang obyek fidusia meliputi benda bergerak dan benda tetap tertentu, yang tidak bisa


(61)

dijaminkan melalui lembaga hak tanggungan atau hipotik, tetapi kesemuanya dengan syarat, bahwa benda itu dapat dimiliki dan dialihkan.61

Pasal 1 angka 4 Undang-undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek.

Dari perumusan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang jaminan fidusia tersebut, maka dapat diperinci obyek jaminan fidusia itu meliputi :62

a. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum; b. Dapat atas benda berwujud;

c. Dapat atas benda tidak berwujud, termasuk piutang; d. Dapat atas benda yang terdaftar;

e. Dapat atas benda yang tidak terdaftar; f. Benda bergerak;

g. Benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan;

h. Benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hipotik.

5. Sifat-Sifat Jaminan Fidusia

Jaminan fidusia mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

61

Satrio, J, 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 179.

62


(62)

a. Jaminan Fidusia Merupakan Perjanjian Accesoir

Pasal 4 Undang-undang jaminan fidusia secara tegas menyatakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian accesoir dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang.

b. Jaminan Fidusia Mempunyai Sifat Mendahului (Droit de Preference)

Sifat mendahului (droit de preference) dalam jaminan fidusia atau hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud diatas adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak untuk mengambil pelunasan ini mendahului kreditor-kreditor lainnya. Bahkan sekalipun pemberi fidusia dinyatakan pailit atau dilikuidasi, hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak termasuk dalam harta pailit pemberi fidusia. Dengan kata demikian penerima fidusia tergolong dalam kelompok kreditor separatis.63

c. Jaminan Fidusia Mempunyai Sifat Droit de Suit

Droit de suit, jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia.64

63

Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit., hlm. 125. 64Ibid


(63)

6. Pendaftaran Jaminan Fidusia

Dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, diatur mengenai pendaftaran Jaminan fidusia pada Bab III, Bagian Kedua Pasal 11 sampai dengan Pasal 18. Dalam Pasal 11 Undang-undang jaminan fidusia disebutkan bahwa :

(1) Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan. (2) Dalam hal benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia berada diluar

wilayah negara Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap berlaku.

Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi fidusia, dan pendaftarannya mencakup benda, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengena benda yang telah dibebani jaminan fidusia.65

Tempat pendaftaran fidusia adalah di Kantor Pendaftaran Fidusia yang berada dibawah naungan Departemen Kehakiman RI. Kantor ini yang akan mengurus administrasi pendaftaran jaminan fidusia.66 Saat ini, kantor pendaftaran fidusia berkedudukan di Ibu Kota Provinsi di wilayah Indonesia.

65

Ibid., hlm.139. 66


(64)

Tata cara pendaftaran jaminan fidusia diatur sebagai berikut :67

a. Penerima fidusia, kuasa atau wakilnya mengajukan permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dengan melampir pernyataan pendaftaran jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia;

b. Kantor Pendafataran Fidusia mencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran;

c. Membayar biaya pendaftaran jaminan fidusia sesuai tarif yang ditentukan;

d. Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada penerima fidusia, yang merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan perndaftaran;

e. Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia.

Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Jaminan Fidusia, telah memberlakukan pendaftaran jaminan fidusia secara elektronik. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 2 PP No. 21 Tahun 2015 sebagai berikut :

(1) Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia, permohonan perbaikan sertifikat Jaminan Fidusia, permohonan perubahan sertifikat Jaminan Fidusia, dan pemberitahuan penghapusan sertifikat Jaminan Fidusia diajukan oleh Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya kepada Menteri.

67


(65)

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan melalui sistem pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik.

7. Eksekusi Jaminan Fidusia

Jika debitur wanprestasi/cedera janji, maka menurut Pasal 29 Undang-undang Jaminan Fidusia terdapat 3 (tiga) cara untuk melakukan eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia, yaitu :

a. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh Penerima Fidusia;

b. Penjualan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;

c. Penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan Penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Pelaksanaan penjualan dibawah tangan ini dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.

Dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, pemberi fidusia diwajibkan untuk menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Dan apabila pemberi fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, maka penerima fidusia berhak mengambil


(66)

benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.68

Terdapat larangan janji berkaitan dengan eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, yaitu :69

a. Janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31 Undang-undang jaminan fidusia;dan

b. Janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang menjadi obyek jaminan fidusia apabila debitur wanprestasi/cedera janji.

8. Hapusnya Jaminan Fidusia

Hapusnya jaminan fidusia diatur dalam Pasal 25 Undang-undang Jaminan Fidusia sebagai berikut :

(1) Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut: a. hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;

b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atau c. musnahnya Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.

(2) Musnahnya Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klai asuransi sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 huruf b.

68Ibid

,. hlm. 296. 69Ibid


(67)

(3) Penerima Fidusia memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai hapusnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan melampirkan pernyataan mengenai hapusnya utang, pelepasan hak, atau musnahnya Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia tersebut.

Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi, tidak diperjanjikan lain. Jadi jika benda yang menjadi obyek jaminan fidusia musnah dan benda tersebut diasuransikan maka klaim asuransi akan menjadi pengganti obyek jaminan fidusia.70

70


(68)

57

A. Jenis/Tipe Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan empiris. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).71 Penelitian hukum empiris (sosiologis) yaitu penelitian yang menggunakan fakta-fakta empiris yang diambil dari perilaku manusia, baik perilaku verbal yang didapat melalui wawancara maupun perilaku nyata yang dilakukan melalui pengamatan langsung.72

B. Sumber Data

1. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian.73

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, atau putusan pengadilan. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat otoritatif yang artinya

71

Mukti Fajar, Yulianto Achmad, 2015, Dualisme Penelitian Hukum-Normatif dan Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 34.

72

Soerjono Sukanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, hlm. 7. 73


(69)

mempunyai otoritas. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

4) Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder tersebut adalah :

1) Buku-buku ilmiah yang terkait 2) Hasil penelitian

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier tersebut adalah media internet.


(70)

2. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian empiris, yaitu penelitian yang dilakukan langsung didalam masyarakat.74

a. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dengan mengambil lokasi di PD. BPR Bank Purworejo yang beralamat di Jalan Brigjend Katamso Nomor 51-A Purworejo. b. Teknik Pengambilan Sampel

Tenik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Non Random Sampling dengan metode purposive sampling, yaitu metode yang mengambil sampel secara sengaja melalui penunjukkan sesuai dengan persyaratan atau tujuan dalam penelitian ini. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Debitur yang melakukan keterlambatan pembayaran kredit pada perjanjian kredit dengan jaminan fidusia di PD BPR Bank Purworejo;

2) Debitur yang melakukan kredit macet pada perjanjian kredit dengan jaminan fidusia di PD BPR Bank Purworejo; 3) Debitur yang menggadaikan benda jaminan pada perjanjian

kredit dengan jaminan fidusia di PD BPR Bank Purworejo.

74


(71)

Penentuan sampel tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi PD BPR Bank Purworejo dalam hal debitur melakukan keterlambatan pembayaran kredit, kredit macet, dan/atau menggadaikan benda jaminan pada perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang belum didaftarkan.

c. Responden

Responden merupakan orang atau individu yang terkait secara langsung dengan data yang dibutuhkan. Responden dalam penelitian ini adalah Kepala Bagian Kredit PD. BPR Bank Purworejo.

C. Teknik Pengumpulan Data

1. Penelitian Hukum Normatif : Studi Pustaka, yaitu mempelajari bahan yang merupakan data sekunder, dengan menggali asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).

2. Penelitian Hukum Empiris : Pedoman wawancara yang dilakukan secara tidak terstruktur atau wawancara langsung kepada responden, dalam hal ini Kepala Bagian Kredit PD BPR Bank Purworejo.


(72)

D.Teknik Analisis Data

Dari semua bahan hukum yang sudah terkumpul, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier akan dianalisis secara deskriptif, dengan logika deduktif. Bahan hukum tersebut akan diuraikan untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis. Pendeskripsian dilakukan untuk menentukan isi atau makna bahan hukum disesuaikan dengan topik permasalahan yang ada. Dari data yang sudah terkumpul, baik yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan kemudian dilakukan analisis deskriptif kualitatif yaitu analisis yang menggambarkan keadaan sebenarnya mengenai fakta-fakta tertentu.


(73)

62

A. Gambaran Umum PD BPR Bank Purworejo

1. Profil PD BPR Bank Purworejo

PD BPR Bank Purworejo adalah Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat yang seluruh modalnya (100%) dimiliki oleh daerah melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Serta merupakan salah satu alat kelengkapan otonomi daerah dibidang keuangan/perbankan dan menjalankan tugasnya sebagai Bank Perkreditan Rakyat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Bank Purworejo didirikan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 15 Tahun 1981 tentang Perusahaan Daerah Bank Pasar Kabupaten Tingkat II Purworejo. Sesuai dengan Perda Kabupaten Purworejo Nomor 11 Tahun 2008 tentang Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bank Purworejo dan ijin usaha dari Bank Indonesia Nomor 10/8/KEP.PBI/Sm/2008, diberikan ijin usaha dengan nama baru yaitu PD BPR Bank Purworejo.

Sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang berbentuk Perusahaan Daerah (PD), Bank Purworejo diharapkan mampu menjadi generator bagi pertumbuhan dan perkembangan sektor riil di daerah sehingga mampu


(74)

memberikan konstribusi yang signifikan bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Kegiatan usaha PD BPR Bank Purworejo sebagaimana perbankan pada umumnya, Bank Purworejo juga menjalankan fungsi intermediasi yakni menerima dana dari pihak ketiga lainnya selanjutnya disalurkan dalam bentuk kredit sesuai kebutuhan masyarakat maupun penempatan pada bank lain.

Aktifitas utama Bank Purworejo mengacu pada Pasal 7 Perda Nomor 1 Tahun 2014, antara lain :

a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;

b. Memberikan kredit dan sekaligus melaksanakan pembinaan kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM);

c. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito dan tabungan di bank lainnya; d. Melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan atau lembaga

lainnya;

e. Menjalankan usaha-usaha perbankan lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. Membantu pemerintah daerah melaksanakan sebagian fungsi

pemegang kas daerah sesuai perturan perundang-undanganan yang berlaku.


(1)

84

Brebes)”, (Tesis Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro).

D.Internet

Anonim, Perlindungan Hukum, 20 September 2015 , http://www.suduthukum.com /2015/09/perlindungan-hukum.html, Rabu, 26 Oktober 2016 jam 13.25 WIB.


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Implementasi undang undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia pada perusahaan daerah bank perkreditan rakyat badan kredit kecamatan(PD. BPR

1 3 82

PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN PADA PD. BPR BANK SLEMAN

0 3 116

PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA Penyelesaian Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia.

0 4 13

TINJAUAN TENTANG PENYELESAIAN WANPRESTASI ATAS PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA Tinjauan Tentang Penyelesaian Wanprestasi Atas Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia Di Pd Bpr Bank Boyolali.

0 2 13

TINJAUAN TENTANG PENYELESAIAN WANPRESTASI ATAS PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA Tinjauan Tentang Penyelesaian Wanprestasi Atas Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia Di Pd Bpr Bank Boyolali.

0 1 13

TINJAUAN TENTANG PENYELESAIAN WANPRESTASI ATAS PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA Tinjauan Tentang Penyelesaian Wanprestasi Atas Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia Di Pd Bpr Bank Boyolali.

0 1 21

TINJAUAN PELAKSANAAN HAK PENGAWASAN ATAS BENDA JAMINAN FIDUSIA OLEH BPR (Studi pada perjanjian kredit dengan jaminan fidusia di PD. BPR BKK BOYOLALI KOTA CAB. NOGOSARI).

0 0 14

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI BANK SELAKU KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG OBJEK JAMINANNYA MUSNAH.

0 4 93

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI BANK SELAKU KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG OBJEK JAMINANNYA MUSNAH

1 2 65

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERBANKAN DALAM JAMINAN FIDUSIA PADA PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN STOK BARANG DAGANGAN (INVENTORY)

0 0 13