Gambaran Histopatologi Pencernaan Tikus pada Pemberian Fraksi Asam Amino Non-Protein dan Fraksi Polifenol Lamtoro Merah (Acacia villosa)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI PENCERNAAN TIKUS
PADA PEMBERIAN FRAKSI ASAM AMINO NON-PROTEIN
DAN FRAKSI POLIFENOL
LAMTORO MERAH (Acacia villosa)

LIA RAHMI WURAGIL
B04103179

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

ABSTRAK
LIA RAHMI WURAGIL.

B04103179. Gambaran Histopatologi

Pencernaan Tikus pada Pemberian Fraksi Asam Amino non-Protein dan Fraksi
Polifenol Lamtoro Merah (Acacia villosa). Dibimbing oleh EVA HARLINA dan
WIWIN WINARSIH.
Acacia villosa merupakan tanaman leguminosa pohon yang berbentuk

semak dari keluarga Mimosoideae. Acacia villosa memiliki kandungan protein
yang cukup tinggi yaitu 22-28% sehingga berpotensi sebagai sumber protein
pakan ternak. Selain mengandung protein tinggi, A. villosa mengandung bahan
antinutrisi diantaranya tanin dan asam amino non-protein. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui gambaran histopatologi organ pencernaan tikus yang diberi
fraksi asam amino non-protein dan fraksi polifenol Acacia villosa secara
intragastrik. Sebanyak 18 ekor tikus putih jenis Sprague-Dawley dibagi dalam tiga
kelompok yang terdiri dari kelompok kontrol (diberi aquadest), kelompok diberi
fraksi AANP dan kelompok yang diberi fraksi polifenol (Rahmawati 2006; Pujian
2006). Studi histopatologi yang dilakukan dengan cara mengamati sediaan alat
pencernaan (lambung, usus halus, sekum) di bawah mikroskop. Lesio atau
kelainan histopatologi yang ditemukan dibandingkan derajat keparahannya antar
kelompok perlakuan dan disajikan secara deskriptif. Perubahan histopatologi yang
ditemukan pada setiap organ pencernaan dikelompokkan menjadi tiga derajat
keparahan yaitu ringan (+), sedang (++) dan berat (+++) yang disajikan secara
deskriptif. Secara umum hasil pengamatan histopatologi menunjukkan bahwa
lambung mengalami kongesti, hemorrhagi, deskuamasi epitel dan edema
submukosa; usus halus mengalami kongesti, hemorrhagi, deskuamasi epitel,
proliferasi sel goblet, akumulasi sel radang dan hiperplasia sel epitel; serta sekum
mengalami kongesti, hemorrhagi, proliferasi sel goblet, akumulasi sel radang dan

edema submukosa. Berdasarkan hasil evaluasi histopatologi disimpulkan bahwa
fraksi AANP lebih toksik dibandingkan polifenol terhadap lambung, sedangkan
terhadap usus halus dan sekum kedua fraksi memiliki efek yang hampir sama.
Kata kunci : Acacia villosa, organ pencernaan, asam amino non-protein dan
polifenol

GAMBARAN HISTOPATOLOGI PENCERNAAN TIKUS
PADA PEMBERIAN FRAKSI ASAM AMINO NON-PROTEIN
DAN FRAKSI POLIFENOL
LAMTORO MERAH (Acacia villosa)

LIA RAHMI WURAGIL
B04103179

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan di
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

Judul Penelitian

:

Gambaran

Histopatologi

Pencernaan

Tikus

pada

Pemberian Fraksi Asam Amino Non-Protein dan Fraksi
Polifenol Lamtoro Merah (Acacia villosa)

Nama

:

Lia Rahmi Wuragil

NIM

:

B04103179

Disetujui oleh,

Dr. drh. Eva Harlina, MSi

Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi

Pembimbing I


Pembimbing II

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor.
Sebuah penghargaan yang tak terlupakan penulis ingin mengucapkan rasa
terima kasih kepada :



Kedua orangtua tercinta Drs. Sumar dan Siti Aisyah yang selalu memberikan
do’a, dukungan, semangat dan kasih sayangnya kepada penulis, serta kakakkakakku tersayang Nurul Hidayat, Fajar Adhima, Buyung Bahari, Irfan Afandi
dan Jenawati.



Dr. Drh. Eva Harlina, MSi sebagai dosen pembimbing pertama atas segala
bimbingan, didikan, perhatian, waktu serta kesabaran yang telah diberikan
kepada penulis.



Dr. Drh. Wiwin Winarsih, Msi sebagai dosen pembimbing kedua atas segala
waktu, bimbingan, perhatian serta kesabaran yang telah diberikan kepada
penulis.



Drh. Ekowati Handharyani, MS Ph. D sebagai dosen penguji atas segala
masukan yang diberikan kepada penulis.




Drh. Adi Winarto Ph. D atas bantuannya dalam pengambilan gambar preparat.



Drh. R. Kurnia Achjadi MS atas segala bimbingan, masukan dan nasihat yang
diberikan kepada penulis.



Staf Patologi (Pak Ndang, Pak Kasnadi dan Pak Soleh) yang telah membantu.



Teman seperjuangan penelitian (Lilis, Wiwik, Faiq) dan Patology’s crew




Pondok Sakha’s crew (Pritta, Widia, Ramlah, Elia, Dhiosi dan Siti).



DKM An-Nahl atas dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis.



Teman-teman angkatan 40 “Gymnolaemata”, angkatan 41, 42 dan 43.



Ikhwahfillah.

Terima kasih atas segala dukungan, semangat dan ukhuwah yang
diberikan. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan. Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan banyak kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik
sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, November 2007


Lia Rahmi Wuragil

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jayapura, Irian Jaya pada tanggal 5 Juli 1984, anak
kelima dari lima bersaudara dari Bapak Drs. Sumar dan Ibunda Siti Aisyah. Pada
tahun 1997 penulis lulus dari Sekolah Dasar Al-Hilaal I Ambon, Maluku dan
tahun 2000 lulus dari SLTP Negeri 1 Curug, Tangerang. Pada tahun 2003 lulus
dari SMU Negeri 7 Tangerang dan kemudian tahun 2003 penulis diterima menjadi
mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis aktif di kelembagaan DKM
An-Nahl dan Himpro Ruminansia. Penulis juga pernah menjadi asisten mata
kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) pada semester 6 dan asisten praktikum
mata kuliah Patologi Sistemik II pada tahun ajaran 2007-2008.

DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL ..................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................. ix

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................... x
PENDAHULUAN
Latar Belakang ....................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................... 2
Manfaat Penelitian ................................................................................. 2

TINJAUAN PUSTAKA
Acacia villosa ......................................................................................... 3
Asam Amino Non-Protein (AANP) ....................................................... 5
Polifenol ................................................................................................. 7
Sistem Pencernaan ................................................................................. 8
Lambung ................................................................................................ 9
Usus Halus ............................................................................................ 11
Usus Besar............................................................................................. 13

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat ................................................................................ 15
Bahan dan Alat ...................................................................................... 15
Metode Penelitian.................................................................................. 15


HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Evaluasi Histopatologi Lambung................................................. 21
Hasil Evaluasi Histopatologi Usus Halus ............................................. 23
Hasil Evaluasi Histopatogi Sekum ........................................................ 26

KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................33
DAFTAR PUSTAKA..................................................................34
LAMPIRAN ................................................................................38

DAFTAR TABEL
Halaman

1. Komposisi Kimia Acacia villosa ................................................................ 4
2. Hasil evaluasi histopatologi lambung pasca pemberian fraksi
asam amino non-protein (AANP) dan fraksi polifenol A. villosa .............. 21
3. Hasil evaluasi histopatologi usus halus pasca pemberian fraksi
asam amino non-protein (AANP) dan fraksi polifenol A. villosa .............. 23
4. Hasil evaluasi histopatologi sekum pasca pemberian fraksi
asam amino non-protein (AANP) dan fraksi polifenol A. villosa .............. 26

viii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Acacia villosa ............................................................................................. 4
2. Struktur kimia asam amino non-protein ...................................................... 6
3. Histologi lambung ...................................................................................... 10
4. Histologi usus halus ................................................................................... 12
5. Histologi sekum ......................................................................................... 13
6. Kongesti lambung tikus.............................................................................. 16
7. Hemorraghi usus halus tikus ...................................................................... 17
8. Deskuamasi sel epitel usus halus tikus....................................................... 17
9. Proliferasi sel Goblet pada usus halus tikus ............................................... 18
10. Akumulasi sel radang pada usus halus tikus ............................................ 19
11. Edema submukosa lambung tikus ............................................................ 19
12. Hiperplasia sel epitel usus halus tikus ...................................................... 20
13. Kongesti lambung tikus ringan (+) pasca pemberian fraksi AANP A.
villosa ....................................................................................................... 21
14. Proliferasi sel Goblet pada usus halus tikus sedang (++) pasca
pemberian fraksi polifenol A. villosa ....................................................... 24
15. Akumulasi sel radang pada usus halus tikus sedang (++) pasca
pemberian fraksi polifenol A. villosa ...................................................... 24
16. Hiperplasia sel epitel usus halus tikus sedang (++) (panah) pasca
pemberian fraksi AANP A. villosa........................................................... 25
17. Deskuamasi sel epitel usus halus tikus ringan (+) pasca pemberian
fraksi polifenol A. villosa ........................................................................ 29
18. Edema pada submukosa sekum tikus sedang (++) (panah) pasca
pemberian fraksi AANP A. villosa.......................................................... 30

ix

GAMBARAN HISTOPATOLOGI PENCERNAAN TIKUS
PADA PEMBERIAN FRAKSI ASAM AMINO NON-PROTEIN
DAN FRAKSI POLIFENOL
LAMTORO MERAH (Acacia villosa)

LIA RAHMI WURAGIL
B04103179

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

ABSTRAK
LIA RAHMI WURAGIL.

B04103179. Gambaran Histopatologi

Pencernaan Tikus pada Pemberian Fraksi Asam Amino non-Protein dan Fraksi
Polifenol Lamtoro Merah (Acacia villosa). Dibimbing oleh EVA HARLINA dan
WIWIN WINARSIH.
Acacia villosa merupakan tanaman leguminosa pohon yang berbentuk
semak dari keluarga Mimosoideae. Acacia villosa memiliki kandungan protein
yang cukup tinggi yaitu 22-28% sehingga berpotensi sebagai sumber protein
pakan ternak. Selain mengandung protein tinggi, A. villosa mengandung bahan
antinutrisi diantaranya tanin dan asam amino non-protein. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui gambaran histopatologi organ pencernaan tikus yang diberi
fraksi asam amino non-protein dan fraksi polifenol Acacia villosa secara
intragastrik. Sebanyak 18 ekor tikus putih jenis Sprague-Dawley dibagi dalam tiga
kelompok yang terdiri dari kelompok kontrol (diberi aquadest), kelompok diberi
fraksi AANP dan kelompok yang diberi fraksi polifenol (Rahmawati 2006; Pujian
2006). Studi histopatologi yang dilakukan dengan cara mengamati sediaan alat
pencernaan (lambung, usus halus, sekum) di bawah mikroskop. Lesio atau
kelainan histopatologi yang ditemukan dibandingkan derajat keparahannya antar
kelompok perlakuan dan disajikan secara deskriptif. Perubahan histopatologi yang
ditemukan pada setiap organ pencernaan dikelompokkan menjadi tiga derajat
keparahan yaitu ringan (+), sedang (++) dan berat (+++) yang disajikan secara
deskriptif. Secara umum hasil pengamatan histopatologi menunjukkan bahwa
lambung mengalami kongesti, hemorrhagi, deskuamasi epitel dan edema
submukosa; usus halus mengalami kongesti, hemorrhagi, deskuamasi epitel,
proliferasi sel goblet, akumulasi sel radang dan hiperplasia sel epitel; serta sekum
mengalami kongesti, hemorrhagi, proliferasi sel goblet, akumulasi sel radang dan
edema submukosa. Berdasarkan hasil evaluasi histopatologi disimpulkan bahwa
fraksi AANP lebih toksik dibandingkan polifenol terhadap lambung, sedangkan
terhadap usus halus dan sekum kedua fraksi memiliki efek yang hampir sama.
Kata kunci : Acacia villosa, organ pencernaan, asam amino non-protein dan
polifenol

GAMBARAN HISTOPATOLOGI PENCERNAAN TIKUS
PADA PEMBERIAN FRAKSI ASAM AMINO NON-PROTEIN
DAN FRAKSI POLIFENOL
LAMTORO MERAH (Acacia villosa)

LIA RAHMI WURAGIL
B04103179

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan di
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

Judul Penelitian

:

Gambaran

Histopatologi

Pencernaan

Tikus

pada

Pemberian Fraksi Asam Amino Non-Protein dan Fraksi
Polifenol Lamtoro Merah (Acacia villosa)
Nama

:

Lia Rahmi Wuragil

NIM

:

B04103179

Disetujui oleh,

Dr. drh. Eva Harlina, MSi

Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi

Pembimbing I

Pembimbing II

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor.
Sebuah penghargaan yang tak terlupakan penulis ingin mengucapkan rasa
terima kasih kepada :


Kedua orangtua tercinta Drs. Sumar dan Siti Aisyah yang selalu memberikan
do’a, dukungan, semangat dan kasih sayangnya kepada penulis, serta kakakkakakku tersayang Nurul Hidayat, Fajar Adhima, Buyung Bahari, Irfan Afandi
dan Jenawati.



Dr. Drh. Eva Harlina, MSi sebagai dosen pembimbing pertama atas segala
bimbingan, didikan, perhatian, waktu serta kesabaran yang telah diberikan
kepada penulis.



Dr. Drh. Wiwin Winarsih, Msi sebagai dosen pembimbing kedua atas segala
waktu, bimbingan, perhatian serta kesabaran yang telah diberikan kepada
penulis.



Drh. Ekowati Handharyani, MS Ph. D sebagai dosen penguji atas segala
masukan yang diberikan kepada penulis.



Drh. Adi Winarto Ph. D atas bantuannya dalam pengambilan gambar preparat.



Drh. R. Kurnia Achjadi MS atas segala bimbingan, masukan dan nasihat yang
diberikan kepada penulis.



Staf Patologi (Pak Ndang, Pak Kasnadi dan Pak Soleh) yang telah membantu.



Teman seperjuangan penelitian (Lilis, Wiwik, Faiq) dan Patology’s crew



Pondok Sakha’s crew (Pritta, Widia, Ramlah, Elia, Dhiosi dan Siti).



DKM An-Nahl atas dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis.



Teman-teman angkatan 40 “Gymnolaemata”, angkatan 41, 42 dan 43.



Ikhwahfillah.

Terima kasih atas segala dukungan, semangat dan ukhuwah yang
diberikan. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan. Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan banyak kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik
sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, November 2007

Lia Rahmi Wuragil

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jayapura, Irian Jaya pada tanggal 5 Juli 1984, anak
kelima dari lima bersaudara dari Bapak Drs. Sumar dan Ibunda Siti Aisyah. Pada
tahun 1997 penulis lulus dari Sekolah Dasar Al-Hilaal I Ambon, Maluku dan
tahun 2000 lulus dari SLTP Negeri 1 Curug, Tangerang. Pada tahun 2003 lulus
dari SMU Negeri 7 Tangerang dan kemudian tahun 2003 penulis diterima menjadi
mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis aktif di kelembagaan DKM
An-Nahl dan Himpro Ruminansia. Penulis juga pernah menjadi asisten mata
kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) pada semester 6 dan asisten praktikum
mata kuliah Patologi Sistemik II pada tahun ajaran 2007-2008.

DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL ..................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................... x
PENDAHULUAN
Latar Belakang ....................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................... 2
Manfaat Penelitian ................................................................................. 2

TINJAUAN PUSTAKA
Acacia villosa ......................................................................................... 3
Asam Amino Non-Protein (AANP) ....................................................... 5
Polifenol ................................................................................................. 7
Sistem Pencernaan ................................................................................. 8
Lambung ................................................................................................ 9
Usus Halus ............................................................................................ 11
Usus Besar............................................................................................. 13

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat ................................................................................ 15
Bahan dan Alat ...................................................................................... 15
Metode Penelitian.................................................................................. 15

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Evaluasi Histopatologi Lambung................................................. 21
Hasil Evaluasi Histopatologi Usus Halus ............................................. 23
Hasil Evaluasi Histopatogi Sekum ........................................................ 26

KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................33
DAFTAR PUSTAKA..................................................................34
LAMPIRAN ................................................................................38

DAFTAR TABEL
Halaman

1. Komposisi Kimia Acacia villosa ................................................................ 4
2. Hasil evaluasi histopatologi lambung pasca pemberian fraksi
asam amino non-protein (AANP) dan fraksi polifenol A. villosa .............. 21
3. Hasil evaluasi histopatologi usus halus pasca pemberian fraksi
asam amino non-protein (AANP) dan fraksi polifenol A. villosa .............. 23
4. Hasil evaluasi histopatologi sekum pasca pemberian fraksi
asam amino non-protein (AANP) dan fraksi polifenol A. villosa .............. 26

viii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Acacia villosa ............................................................................................. 4
2. Struktur kimia asam amino non-protein ...................................................... 6
3. Histologi lambung ...................................................................................... 10
4. Histologi usus halus ................................................................................... 12
5. Histologi sekum ......................................................................................... 13
6. Kongesti lambung tikus.............................................................................. 16
7. Hemorraghi usus halus tikus ...................................................................... 17
8. Deskuamasi sel epitel usus halus tikus....................................................... 17
9. Proliferasi sel Goblet pada usus halus tikus ............................................... 18
10. Akumulasi sel radang pada usus halus tikus ............................................ 19
11. Edema submukosa lambung tikus ............................................................ 19
12. Hiperplasia sel epitel usus halus tikus ...................................................... 20
13. Kongesti lambung tikus ringan (+) pasca pemberian fraksi AANP A.
villosa ....................................................................................................... 21
14. Proliferasi sel Goblet pada usus halus tikus sedang (++) pasca
pemberian fraksi polifenol A. villosa ....................................................... 24
15. Akumulasi sel radang pada usus halus tikus sedang (++) pasca
pemberian fraksi polifenol A. villosa ...................................................... 24
16. Hiperplasia sel epitel usus halus tikus sedang (++) (panah) pasca
pemberian fraksi AANP A. villosa........................................................... 25
17. Deskuamasi sel epitel usus halus tikus ringan (+) pasca pemberian
fraksi polifenol A. villosa ........................................................................ 29
18. Edema pada submukosa sekum tikus sedang (++) (panah) pasca
pemberian fraksi AANP A. villosa.......................................................... 30

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil evaluasi histopatologi lambung, usus halus dan sekum
tikus kelompok kontrol ............................................................................. 39
2. Hasil evaluasi histopatologi lambung, usus halus dan sekum
tikus kelompok AANP .............................................................................. 40
3. Hasil evaluasi histopatologi lambung, usus halus dan sekum
tikus kelompok polifenol ........................................................................... 41

x

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hijauan merupakan pakan terpenting bagi ternak dan dibutuhkan dalam
jumlah besar, karena itu penyediaan hijauan baik kualitas dan kuantitasnya sangat
diperlukan untuk menentukan produktivitas ternak. Hijauan pakan ternak dapat
berupa rumput-rumputan dan leguminosa.
Hijauan berupa rumput-rumputan memiliki kadar protein yang rendah
sekitar 3-4%, sehingga perlu diadakan penambahan bahan pakan lain. Hijauan
leguminosa pohon dapat digunakan sebagai pakan ternak karena mengandung
protein yang tinggi untuk menunjang kualitas protein yang rendah.
Hijauan leguminosa pohon yang telah banyak digunakan sebagai pakan
ternak diantaranya adalah jenis Acacia, Calliandra tetragona (kaliandra putih)
dan Calliandra calothyrus (kaliandra merah). Tanaman Acacia merupakan
tanaman leguminosa yang telah lama dikembangkan karena kemampuannya yang
tumbuh cepat dan mampu menyesuaikan diri dengan berbagai daerah di
Indonesia. Genus Acacia dibagi menjadi dua subgenera yaitu Acacia dan
Aculeiferum dengan 230 spesies.
Acacia berdasarkan karakteristik dan morfologinya terbagi menjadi
beberapa spesies diantaranya Acacia villosa, Acacia boliviana dan Acacia
angustissima. A. villosa lebih banyak tumbuh di daerah penyangga hutan.
Tanaman ini masuk ke Indonesia pertama kali pada tahun 1920 yang berasal dari
Curacao (West Indies). Tanaman ini termasuk leguminosa pohon yang berbentuk
semak dari keluarga Mimosoideae. A. villosa memiliki kandungan protein yang
cukup tinggi, sehingga sangat berpotensi sebagai sumber protein untuk hijauan
yang berkualitas rendah. Kadar protein A. villosa adalah 22-28% sehingga sangat
berpotensi sebagai sumber protein pakan ternak (Wina & Tangendjaja 2000).
Selain mengandung protein tinggi, A. villosa mengandung bahan
antinutrisi diantaranya tanin dan asam amino non-protein (AANP). AANP yang
terkandung dalam A.villosa dan A. anguistissima adalah ADAB (2-Amino-4acetylaminobutyric acid).

Pemberian daun Acacia villosa pada domba dengan konsentrasi 100%
menyebabkan efek toksik (Bariata 2001). Pada hewan laboratorium yaitu tikus, A.
villosa menyebabkan kerusakan pada hati dan ginjal (Herdiana 2004). Pemberian
Acacia villosa dan kaliandra dengan kadar 10-60% walaupun tidak menunjukkan
adanya gejala keracunan tetapi menyebabkan perubahan histopatologi pada
seluruh organ (Ardyanti 2006).

Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui gambaran histopatologi organ pencernaan tikus yang
diberi fraksi asam amino non-protein dan fraksi polifenol Acacia villosa secara
intragastrik.

Manfaat Penelitian
1. Diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran gambaran
histopatologi organ pencernaan tikus akibat pemberian fraksi asam amino nonprotein dan fraksi polifenol A. villosa.
2. Berdasarkan gambaran histopatologi diharapkan dapat dijadikan acuan dalam
penggunaan A. villosa sebagai pakan ternak.

TINJAUAN PUSTAKA

Acacia villosa
Acacia villosa merupakan tanaman kelompok leguminosa pohon atau
semak. A. vilosa masuk ke Indonesia pada tahun 1920, berasal dari Curacao, Indes
Barat, bagian Amerika Tengah. Di daerah Nusa Tenggara Timur, tanaman ini
dikenal dengan nama lamtoro merah dan di daerah Jawa disebut mlanding
sebrang. Tanaman leguminosa ini biasanya tumbuh secara liar dan tidak
memerlukan perawatan yang intensif (Wina & Tangendjaja 2000). Tanama n ini
memiliki

taksonomi

sebagai

berikut:

Kingdom:

Plantae;

Subkingdom:

Tracheobionta; Subkelas: Rosidae; Ordo: Febales; Famili: Leguminosae;
Subfamili: Mimosidae; Genus: Acacia; Spesies: Acacia villosa (Perez et al. 1999).

(a)

(b)

(c)

Gambar 1 A. villosa: daun (a), bunga (b) dan batang (c).
Sumber: Perez et al. (1999)

A. villosa adalah tanaman semak yang tidak berduri dengan cabang dan
batang berwarna merah. Tanaman ini memiliki daun majemuk, setiap sirip terdiri
dari 2-10 pasang dengan panjang 4-9 cm. Bunga A. villosa pendek, kadang
mengelompok yang terdiri dari 20-40 bulir bunga, berkelamin dua, serta berwarna
putih yang kemudian berubah menjadi kekuningan. Buah berbentuk pipih dan
lonjong, berwarna coklat mengkilap dan berbiji 1-8 dengan bentuk biji bulat telur
berwarna coklat (Jukema & Danimihardja 1997).
A. villosa yang terdapat di Indonesia terdiri atas dua varietas, yaitu Acacia
villosa yang berdaun besar dan berdaun kecil. Kedua A. villosa memiliki
perbedaan dilihat dari jumlah sirip daun. A. villosa berdaun kecil memiliki jumlah
sirip daun sebanyak 6-12 pasang sedangkan yang berdaun besar memiliki jumlah
sirip daun sebanyak 16 pasang (Jukema & Danimihardja 1997).
A. villosa tersebar dari dataran rendah sampai dataran tinggi. A. villosa
menyukai iklim yang agak kering, tetap tumbuh dengan baik pada pertengahan
curah hujan tahunan serendah 200-500 mm dan kelembaban nisbi 55-70 %.
Namun tanaman ini kurang tumbuh dengan baik pada temperatur rendah (Jukema
& Danamihardja 1997).
Tabel 1 Komposisi Kimia Acacia villosa
Komposisi

% Bahan Kering (BK)

Bahan Kering

40.22

Protein Kasar

29.61

Neutral Detergent Fiber (NDF)

27.32

Acid Detergent Fiber (ADF)

21.50

Lignin

7.77

Abu

5.04

Ca

1.49

P

0.23

Sumber: Bansi (2001)

A. villosa memiliki kandungan senyawa antinutrisi yang meliputi senyawa
fenol 6.6%, tannin 3.71%, saponin 0.52% dan asam amino non-protein (AANP)
2.88% (Jukema & Danimihardja 1997).
Di wilayah perkebunan A. villosa digunakan sebagai pohon pelindung dan
sebagai pupuk hijau dari tanaman budidaya. A. villosa juga sebagai salah satu
tanaman alternatif yang digunakan untuk merehabilitasi tanah yang terdegradasi,
hutan gundul serta sebagai tanaman hias (Jukema & Danamihardja 1997).

Asam Amino Non-Protein (AANP)
Asam amino non-protein adalah senyawa yang memiliki formasi atau
bentuk komponen yang sederhana, yang analog dengan asam amino pembentuk
protein. Asam amino non-protein pada tumbuhan telah ditemukan lebih dari 250
macam dan terbanyak ditemukan pada tanaman leguminosa. Karena struktur asam
amino non-protein analog dengan struktur kimia dari asam amino pembentuk
protein, maka AANP sering mengganggu fungsi asam amino penyusun protein.
Pada beberapa spesies leguminosa, seperti A. villosa, Leucaena pulverulenta dan
Mimosa sp. diketahui memiliki kandungan asam amino bebas bukan protein
(Tangendjaja 1992).
Asam amino non-protein yang terkandung di dalam leguminosa misalnya
mimosine dan 3, 4- dihidroxypyridine (3, 4- DHP). Mimosine merupakan asam
amino aromatik yang secara signifikan bersifat toksik. AANP terdapat pada
Leucaena leucocephalla (lamtoro) dan Mimosa pudica (putri malu) (D’Mello
1991). Mimosine memiliki struktur yang analog dengan tyrosine dan fenilalanine,
dan diketahui dapat menggantikan asam amino tersebut. Mimosine menyebabkan
hilangnya

enzim

dan

aktifitas

fungsional

protein

(Widyastuti

2001).

Senyawa mimosine dapat menyebabkan gangguan pada organ reproduksi,
teratogenik serta efek kehilangan rambut dan wool bahkan kematian pada domba.
Isomer asam amino non-protein yaitu 3, 4 dihidroxypyridine (3, 4 DHP) dapat
menyebabkan kehilangan nafsu makan, goiter dan reduksi konsentrasi tyrodine
dalam darah (D’ Mello 1991). Akibat keracunan mimosine juga menyebabkan
kebengkakan pada kaki, kepincangan, lesio pada mulut dan esofagus serta katarak
mata. Mimosine banyak terkandung pada Leucaena muda (Cheeke 2000).

Mimosine diabsorbsi di dalam usus kecil seperti halnya asam amino yang
lain. Namun mimosine menimbulkan efek terhadap jaringan yaitu antimitotik,
termasuk menyebabkan terjadinya depilator (hilangnya rambut) dan dermatitis.
Mimosine diekskresikan dalam urin sebagai mimosine bebas atau dalam bentuk
dekarboksilasi, mimosinamine (Chekee 2000). Walaupun mimosine bersifat
toksik, namun mimosine juga memiliki peranan dalam mengatur pemenuhan serat
pada kambing angora (Reis et al. 1999).
Asam amino non-protein yang terdapat dalam tanaman A. villosa yaitu
ADAB (2-amino-4 acetylaminobutyric acid) dan DABA (2, 4-diaminobutyric
acid). Komponen asam amino non-protein tertinggi dalam A. villosa adalah
ADAB. Senyawa ADAB pada level 15- 20 mg/g dapat menimbulkan efek toksik
pada domba (Rasmussen et al. 1993). Pemberian DABA secara intragastrik pada
tikus Sherman jantan menyebabkan kelemahan kaki, tremor, konvulsi dan
kematian (Foster 1990). Struktur kimia AANP yaitu DABA dan ADAB disajikan
pada Gambar 2.

NH2

NH2

CH 2

CH2

CH

COOH

2,4 diaminobutyric acid (DABA)
(a)

NH2

CH3

CO

NH

CH2

CH2

CH

COOH

2-amino-4-acetylaminobutyric acid (ADAB)
(b)
Gambar 2

Struktur kimia asam amino non-protein: (a) DABA (2,4
diaminobutyric
acid) dan (b) ADAB (2-amino-4-acetylbutyric
acid). Sumber: ILCA (1991).

Pada hewan ruminansia, ADAB akan dirubah menjadi DABA oleh
mikroba rumen dan bersifat beracun bagi ternak. Dalam tubuh, DABA akan
menghambat sintesis protein dalam hati (Odenyo et al. 2003).
Gejala keracunan ADAB yang diamati pada domba yang diberi pakan A.
angustissima mirip seperti keracunan pada pemberian Lathyrus, diantaranya yaitu
terjadi perubahan yang besar dalam konsumsi pakan; kerusakan sistem syaraf
pusat akut dan diikuti dengan kematian lebih dari 50%; kolaps, mulut berbusa,
terjadi kerusakan hati, paru-paru tersumbat dengan adanya busa putih dan bronkhi
terlihat membesar, paru-paru mengalami edema serta perdarahan submukosa pada
duodenum, ileum dan sekum (Odenyo et al. 1997).

Polifenol
Polifenol merupakan kelompok bahan kimia yang ditemukan pada
tanaman, yang memiliki karakteristik mengandung lebih dari satu kelompok fenol
per molekul. Secara umum subdivisi polifenol terdiri atas tanin dan
phenylpropanoid seperti lignin dan flavonoid (Hollman 2005).

Salah satu

subdivisi polifenol yang memiliki pengaruh besar dalam penentuan nilai nutrisi
hijauan leguminosa adalah tanin (Haslam 1989 dalam Reed 1994).
Tanin merupakan senyawa polifenol yang memiliki bobot molekul besar
tetapi larut dalam air dan dapat mempresipitasi protein (Bryant et al. 1992).
Presipitasi protein terjadi karena polifenol mengandung gugus hidroksil serta
dapat membentuk kompleks dengan protein (Lemmens et al. 1992). Polifenol
merupakan kelompok bahan kimia yang ditemukan pada tanaman.
Tanin dibagi menjadi dua grup, yaitu tanin terhidrolisis dan tanin
terkondensasi. Tanin terkondensasi jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan
tanin terhidrolisis (Wina, Susana dan Tangendjaja 1998). Tanin yang terhidrolisis
mudah dihidrolisa secara kimia dan terdapat pada beberapa legume seperti Acacia
spp. Tanin terhidrolisis merupakan senyawa toksik karena dapat diserap tubuh,
namun kadarnya sangat sedikit dalam A. villosa. Kelompok tanin ini adalah asam
galat dan asam tanin yang dilaporkan dapat menyebabkan edema esofagus dan
lambung, ulserasi hemorraghi, nekrosis, erosi, hipersekresi mucin dari mukosa
dan penebalan mukosa lambung dan duodenum (Sell et al. 1985).

Tanin memiliki kemampuan untuk bereaksi dengan protein dan
mengendapkannya sehingga menimbulkan gangguan pada metabolisme enzim
atau protein (Robinson 1991). Tanin bersifat astringensia yaitu sensasi rasa sepat
karena pembentukan kompleks antara tanin dengan glikoprotein saliva. Tanin
dapat mempengaruhi asupan, kecernaan pakan serta efisiensi produksi. Efek ini
tergantung kepada kandungan dan jenis tanin yang tercerna, serta tingkat toleransi
hewan terhadap tanin, yang dipengaruhi oleh anatomi trakstus digestivus,
kebiasaan makan, ukuran tubuh dan mekanisme detoksifikasi. Nilai nutrisi A.
villosa menjadi berkurang karena kandungan tanin di dalamnya (Wina et al.
1993).

Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan terdiri atas organ-organ berbentuk tabung yang
didalamnya terdapat lumen. Organ-organ utama pembentuk sistem pencernaan
secara garis besar adalah rongga mulut, faring, esophagus, lambung dan usus.
Fungsi utama sistem pencernaan adalah untuk menerima, menampung dan
mencerna makanan serta mengabsorbsi zat-zat makanan. Jenis makanan maupun
zat-zat tertentu yang masuk ke dalam saluran pencernaan dapat mempengaruhi
fungsi dari organ pencernaan (Grove 1996, diacu dalam Xu & Cranwell 2003).
Banyak zat toksik atau racun masuk ke saluran cerna bersama makanan,
baik sebagai obat atau sebagai zat kimia lain. Sebagian toksikan tidak
menimbulkan efek toksik kecuali jika zat toksik tersebut diserap oleh saluran
cerna. Secara umum untuk mengetahui suatu zat bersifat toksik atau tidak
dilakukan dengan memberikan zat tersebut secara peroral pada hewan coba. Zat
tersebut diberikan dengan sonde secara intragatrik (Lu 1995).
Pemberian zat kimia secara oral merupakan sarana yang lazim dilakukan
agar zat tersebut masuk ke dalam tubuh. Walaupun saluran cerna berada dalam
tubuh, namun pada dasarnya berada di luar tubuh, sehingga zat kimia yang ada di
dalam saluran cerna dapat menimbulkan efek hanya pada permukaan sel mukosa
yang melapisi saluran tersebut, kecuali jika terjadi absorbsi oleh saluran cerna.
Bahan yang dapat membakar (kaustik) atau zat iritan primer, seperti basa atau
asam kuat maupun fenol, pada kadar yang memadai dapat menyebabkan

terjadinya efek nekrosis secara langsung pada mukosa saluran cerna (Loomis
1978).

Lambung
Lambung merupakan organ pencernaan yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan, pencampuran dan tempat awal proses pencernaan protein dan
lemak. Fungsi lambung sebagai organ cerna bersifat mekanik yaitu melalui
gerakan lapisan otot lambung, sedangkan secara kimia yaitu dengan sekresi dari
kelenjar-kelenjar lambung. Selain itu lambung juga berperan sebagai organ
endokrin yang mensekresikan hormon-hormon peptida (Xu & Cranwell 2003).
Lambung berperan sebagai tempat penyerapan yang penting, terutama
untuk asam-asam lemah yang berada dalam bentuk ion-ion yang larut lipid dan
mudah berdifusi. Sebaliknya basa-basa lemah akan sangat mengion dalam getah
lambung yang bersifat asam sehingga tidak mudah diserap. Perbedaan daya
absorbsi ini juga dipengaruhi oleh adanya plasma yang beredar (Lu 1995).
Lambung tikus disusun oleh dua kompartemen yaitu lambung kelenjar
yang tersusun oleh epitel silindris sebaris dan lambung tidak berkelenjar yang
tersusun oleh epitel kubus berlapis. Lambung terbagi menjadi tiga daerah yaitu
cardia, fundus dan pylorus (Frandson 1992).
Dinding lambung tersusun oleh beberapa lapisan yaitu lapisan mukosa,
submukosa, muskularis eksterna dan lapisan serosa (Xu & Cranwell 2003).
Mukosa lambung tersusun dari lipatan-lipatan longitudinal (rugae) yang terdiri
atas lapis muskularis, lamina propria yang mengandung kelenjar serta gastric pit
(Wilson 1994). Pada permukaan luminal lambung dilapisi oleh sel-sel epitel
silindris sebaris. Sel-sel epitel silindris melakukan invaginasi ke dalam lamina
propria membentuk gastric pit. Pada bagian dasar dari gastric pit terdapat isthmus,
yang berlanjut ke dalam pintu masuk satu atau lebih kelenjar lambung
(Cunningham 1992). Sel epitel silindris dan gastric pit mensekresikan cairan
mukus untuk menjaga lambung dari asam dan enzim-enzim proteolitik, sedangkan
pada bagian dasar gastric pit terdapat kelenjar yang hampir memenuhi lapisan
mukosa lambung (Xu & Cranwell 2003). Daerah submukosa lambung terdiri atas

serat kolagen, jaringan lemak putih, pembuluh darah, dan plexus nervus
submukosa (Dellmann & Eurell 1998).
Terdapat perbedaan struktur kelenjar dari setiap daerah lambung. Pada
daerah cardia, kelenjar berbentuk tubular pendek, sedangkan pada daerah fundus
terdapat susunan kelenjar berbentuk tubular panjang meluas sampai gastric pit
(Simpson 2000, diacu dalam Xu & Cranwell 2003).
Permukaan epitel lambung secara kontinu mengalami deskuamasi dan
regenerasi pada bagian dasar gastric pit dan leher kelenjar lambung oleh adanya
proses mitosis. Sel yang baru secara perlahan akan terdorong ke atas untuk
menggantikan sel-sel yang mati (Xu & Cranwell 2003).

(a)
a

b

(b)
c

Gambar 3 Histologi Lambung: (a) lapisan epitel, (b) kelenjar dan (c) lapis
submukosa. Sumber: histology-world.com (2006).
Pada bagian fundus terdapat kelenjar yang terdiri atas beberapa tipe sel
yaitu sel leher mukus, sel parietal, sel chief, sel endokrin dan stem sel. Stem sel
ditemukan pada bagian leher dari kelenjar dan bagian dasar gastric pit. Stem sel
berbentuk silindris dengan memiliki nukleus berbentuk oval serta berkemampuan
untuk melakukan mitosis. Sel kelenjar berbentuk iregular dengan nukleus di dasar
dan terdapat granul-granul sekretori dekat permukaan apikal. Granul-granul
sekretori ini mengandung mucinogen (Xu & Cranwell 2003). Sitoplasma sel leher
mukus bersifat lebih basofilik. Sel leher mukus jika diwarnai dengan pewarnaan
(PAS) akan memberikan reaksi secara ekstensif (Dellmann & Eurell 1998).

Sel parietal memiliki bentuk triangular (segitiga) dengan nukleus
berbentuk bola dan beberapa diantaranya mengandung dua nuklei. Sitoplasma sel
parietal mengambil warna eosin secara intensif. Sel parietal berfungsi
menghasilkan HCl (Xu & Cranwell 2003). Jumlah sel parietal

lebih sedikit

daripada sel chief (Dellmann & Eurell 1998).
Sel chief memproduksi enzim sehingga disebut sebagai sel zimogenik. Sel
chief berbentuk kuboidal atau piramid (Dellman & Eurell 1998). Sitoplasma sel
chief bersifat basofilik dengan granul-granul sekretori yang berlokasi pada apikal
sitoplasma yang mengandung enzim proteolitik inaktif (Xu & Cranwell 2003).
Peradangan dapat terjadi pada lambung yang pada dasarnya meliputi
selaput lendirnya (gastritis). Gastritis yang bersifat kataralis terdiri atas gabungan
hiperemi dan pelepasan sel-sel epitel penutup permukaan (deskuamasi). Selain itu
terlihat sejumlah sel limfosit atau kadang-kadang infiltrasi neutrofil dalam mukosa
atau submukosa. Hiperplasia dapat terjadi apabila peradangan berjalan lama atau
kronis (Nabib 1987).

Usus Halus
Usus halus memiliki fungsi sebagai tempat penyaluran makanan dan
penyerapan nutrisi ke dalam pembuluh darah dan pembuluh limfe. Dalam usus,
asam lemah terutama akan berada dalam bentuk ion sehingga tidak mudah
diserap, sedangkan basa lemah akan berada dalam bentuk non-ion sehingga
mudah diserap. Absorbsi usus akan lebih tinggi lagi dengan lamanya waktu
kontak dan luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus (Lu 1995).
Usus halus terbagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum, jejunum dan
ileum. Secara umum, struktur utama dari usus halus adalah membran mukosa,
lamina propria, submukosa, jaringan limfatik, serosa dan lapisan muskuler. Sel
epitel menutupi seluruh permukaan bebas dari membran mukosa dan berbentuk
epitel silindris sebaris (Xu & Cranwell 2003).
Pada lapis mukosa usus halus terdapat suatu bentuk khusus berupa vilivili. Vili memperluas permukaan area lumen serta mengefisienkan proses
absorbsi. Selain itu pada mukosa usus juga ditemukan kripta-kripta usus.
Kelenjar-kelenjar yang terdapat pada mukosa memiliki bentuk tubular sederhana.

Pada daerah di bawah epithelium merupakan lamina propria. Lamina propria
mengandung leukosit dan jaringan limfatik berupa nodul-nodul. Ditemukan
nodul-nodul limfatik yang beragregasi membentuk Payer’s Patches. Lapis
submukosa usus halus terdiri dari jaringan ikat, pembuluh darah dan pembuluh
limfatik (Xu & Cranwell 2003).
Pada daerah submukosa duodenum terdapat sekelompok kelenjar
berbentuk tubular seperti gulungan yang disebut dengan kelenjar Brunner.
Kelenjar Brunner mensekresikan cairan mukus ke dalam kripta usus. Cairan
mukus ini melubrikasi permukaan epithelium dan melindungi dari asam lambung
(Dellmann & Eurell 1998). Pada daerah mukosa bagian dasar vili usus halus
terdapat kripta Lieberkuhn. Kripta Lieberkuhn berbentuk lurus maupun tubular
seperti struktur kelenjar yang dilapisi oleh sel epitel silindris sebaris.

a

b

Gambar 4 Histologi Usus Halus. Sel epitel (a), sel goblet (b).
Sumber: histology-world.com (2006).
Sel epitel yang terdapat dalam kelenjar kripta termasuk stem sel
undifferentiated, sel goblet, sel Paneth dan sel endokrin. Sel goblet mensekresikan
mukus dan memiliki fungsi yang sama dengan sel goblet pada vili usus. Sel
endokrin memproduksi berbagai macam hormon maupun peptida (Xu & Cranwell
2003).
Sel Paneth merupakan sel eksokrin dengan granul-granul sekretori pada
apikal sitoplasma. Granul-granul sekretori ini menghasilkan lisosim yang

memiliki aktivitas antibakterial dan mengontrol mikrobiota. Stem sel yang belum
terdiferensiasi memiliki kemampuan mitotik yang tinggi. Sel epitel baru yang
tumbuh oleh proses mitosis dari stem sel berpindah ke atas sepanjang vili dan
sering menembus ujung vili (Xu & Cranwell 2003). Peradangan pada usus halus
(enteritis) yang subakut disertai dengan infiltrasi sel limfosit dan yang kronis
bersifat proliferatif bisa terjadi (Nabib 1987).

Usus Besar
Usus besar terdiri dari sekum, kolon dan rektum. Sekum berbentuk
kantung silinder yang berlokasi pada bagian proksimal akhir kolon. Fungsi utama
dari usus besar adalah absorbsi air, cairan elektrolit dan nutrien yang diproduksi
oleh bakteri fermentasi. Dinding usus besar terdiri dari empat lapis yang
merupakan karakteristik dari saluran pencernaan (Xu & Cranwell 2003).
Mukosa usus besar tidak memiliki vili namun mengandung kelenjar
tubular yang banyak. Permukaan lumen dan kelenjar tubular dilapisi oleh sel
epitel silindris yang secara umum menghasilkan enterosit dari usus halus. Brush
border pada permukaan apikal enterosit usus besar lebih kecil daripada enterosit
usus halus.

Gambar 5

Histologi Sekum. Kripta (panah)
Sumber: histology-world.com (2006).

Pada usus besar terdapat sel goblet yang mensekresikan mukus dan sel
endokrin juga ditemukan pada kelenjar tubular. Walaupun sebagian besar
penyerapan nutrien dilakukan oleh usus halus, namun untuk penyerapan beberapa
nutrien juga dilakukan oleh usus besar. Daerah lumen usus besar merupakan
tempat bagi milyaran mikroorganisme (Xu & Cranwell 2003).
Lamina propria dari kolon mengandung populasi sel yang serupa dengan
sel di usus halus. Secara normal terdapat sedikit sel radang pada bagian superfisial
mukosa. Sel radang tersebut adalah sel plasma dan limfosit (Xu & Cranwell
2003).

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen

Klinik,

Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
selama 3 bulan, yaitu dari bulan Maret hingga Juli 2007.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mikroskop cahaya,
sedangkan bahan penelitian adalah sediaan histopatologi alat pencernaan
(lambung, duodenum dan sekum) tikus putih (Rattus rattus) jenis Sprague Dawley
yang telah digunakan pada uji toksisitas subkronis fraksi AANP dan fraksi
polifenol dengan konsentrasi 21%, dosis 1 ml/hari selama 30 hari yang diberikan
secara intragastrik. Sediaan histopatologi terdiri dari 6 buah sediaan kelompok
kontrol, 6 buah sediaan kelompok perlakuan AANP dan 6 buah sediaan kelompok
perlakuan polifenol.

Metode Penelitian
Hewan percobaan yang digunakan adalah sebanyak 18 ekor tikus putih
jenis Sprague-Dawley dibagi dalam tiga kelompok yang terdiri dari kelompok
kontrol (diberi aquadest), kelompok diberi fraksi AANP dan kelompok yang
diberi fraksi polifenol A. villosa (Rahmawati 2006; Pujian 2006). Penelitian ini
merupakan evaluasi histopatologi sediaan saluran cerna tikus, yaitu lambung,
duodenum dan sekum pada pemberian fraksi asam amino non-protein dan fraksi
polifenol Acacia villosa. Studi hispatologi dilakukan dengan cara mengamati
berbagai sediaan histopatologi organ pencernaan tikus di bawah mikroskop
dengan

menggunakan perbesaran 10x10 hingga

histopatologi disajikan secara deskriptif .

40x10.

Hasil

evaluasi

Pengamatan Histopatologi
Kategori pengamatan lambung, usus halus dan sekum adalah sebagai berikut:
- Kongesti


Ringan (+)

: Pembendungan dengan persentase 20%.



Sedang (++)

: Pembendungan dengan persentase 20-50%.



Berat (+++)

: Pembendungan dengan persentase lebih dari 50%.

Gambar 6 Kongesti lambung tikus. Pewarnaan HE, bar 30 µm.
- Hemorrhagi
• Ringan (+)

: Perdarahan satu sampai dua fokus.

• Sedang (++)

: Perdarahan multifokus pada lapis tunika mukosa.

• Berat (+++)

: Perdarahan multifokus pada lapis tunika mukosa dan
submukosa.

Gambar 7 Hemorraghi usus halus tikus. Pewarnaan HE, bar 30 µm.
- Deskuamasi epitel


Ringan (+)

: Deskuamsi epitel pada satu sampai dua vili.



Sedang (++)

: Deskuamasi epitel lebih dari dua vili.



Berat (+++)

: Deskuamsi epitel hampir di seluruh vili.

Gambar 8

Deskuamasi sel epitel usus halus tikus. Pewarnaan HE, bar 30 µm.

- Proliferasi Sel Goblet
• Ringan (+)

: Proliferasi sel goblet pada satu atau dua vili dan
beberapa kripta.

• Sedang (++)

: Proliferasi sel goblet pada lebih dari tiga vili dan
beberapa kripta.

• Berat (+++)

: Proliferasi sel goblet hampir di seluruh vili dan
kripta.

Gambar 9 Proliferasi sel Goblet pada usus halus tikus. Pewarnaan HE,
bar 30 µm.
- Akumulasi Sel Radang
• Ringan (+)

: Terdapat satu fokus sel radang.

• Sedang (++)

: Terdapat dua fokus sel radang.

• Berat (+++)

: Terdapat multifokus sel radang.

Gambar 10 Akumulasi sel radang usus halus tikus (panah). Pewarnaan HE,
bar 30 µm.

- Edema
• Ringan

: Edema submukosa ringan.

• Sedang

: Edema submukosa sedang.

• Berat

: Edema submukosa berat.

Gambar 11 Edema pada submukosa lambung tikus (panah). Pewarnaan HE,
bar 30 µm.

- Hiperplasia sel epitel
• Ringan (+)

: Terjadi satu fokus hiperplasia.

• Sedang (++)

: Terjadi dua atau tiga fokus hiperplasia.

• Berat (+++)

: Terjadi multifokus hiperplasia.

Gambar 12 Hiperplasia sel epitel usus halus tikus (panah). Pewarnaan HE,
bar 30µm.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Evaluasi Histopatologi Lambung
Secara umum pemberian fraksi asam amino non-protein dan fraksi
polifenol Acacia villosa menimbulkan efek patologis pada lambung tikus berupa
kongesti,

hemorrhagi, deskuamasi epitel dan edema submukosa.

Hasil

pemeriksaan histopatologi lambung disajikan secara deskriptif pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil evaluasi histopatologi lambung tikus pasca pemberian fraksi asam
amino non-protein (AANP) dan fraksi polifenol A. villosa
Perubahan
Histopatologi

Kongesti
Hemorrhagi

Kontrol
Jumlah
Derajat
Kejadian
Keparahan
(%)
66.67
+

Kelompok
AANP
Jumlah
Derajat
Kejadian Keparahan
(%)
100
++

Polifenol
Jumlah
Derajat
Kejadian Keparahan
(%)
100
+

66.67

+

100

+

66.67

+

Deskuamasi Epitel

0

-

0

-

16.67

++

Edema Submukosa

0

-

16.67

+

0

-

Kongesti terjadi pada lapis tunika mukosa dan submukosa. Kejadian
kongesti lambung pada kelompok kontrol sebesar 66.67%. Seluruh kelompok
AANP dan polifenol mengalami kongesti dengan jumlah kejadian sebesar 100%.

Gambar 13 Kongesti lambung tikus ringan (+) pasca pemberian fraksi AANP A.
villosa. Pewarnaan HE, bar 30 µm.

Pada kelompok AANP mengalami kongesti lambung dengan derajat sedang (++),
sedangkan kelompok polifenol derajat ringan (+).
Hemorrhagi terjadi pada lapis tunika mukosa dan submukosa lambung.
Pada kelompok kontrol terjadi hemorrhagi dengan jumlah kejadian sebesar
66.67% dan derajat ringan (+). Persentase kejadian hemorrhagi pada kelompok
AANP lebih tinggi (100%) dibandingkan dengan kelompok polifenol (66.67%),
walaupun dengan derajat yang sama yaitu ringan (+).
Pada lambung kelompok kontrol dan kelompok AANP tidak ditemukan
deskuamasi epitel, namun ditemukan pada kelompok polifenol sebesar 16.67%
dengan derajat sedang (++).
Edema pada lambung terlihat sebagai perluasan lapis submukosa. Pada
kelompok AANP ditemukan edema dengan jumlah kejadian sebesar 16.67%
dengan derajat ringan (+), sedangkan pada kelompok polifenol tidak ditemukan
edema submukosa. Berdasarkan data pada Tabel 2 maka kelompok AANP
memiliki kerusakan lamb ung yang lebih berat dibandingkan dengan kelompok
polifenol. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi AANP lebih bersifat toksik daripada
fraksi polifenol terhadap lambung tikus.

Hasil Evaluasi