Gambaran Histopatologi Lambung dan Duodenum Tikus Pasca Pemberian Daun Lamtoro Merah (Acacia villosa)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI
LAMBUNG DAN DUODENUM TIKUS PASCA PEMBERIAN
DAUN LAMTORO MERAH (Acacia villosa)

WIWIK WULANSARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

ABSTRAK
WIWIK WULANSARI. Gambaran Histopatologi Lambung dan
Duodenum Tikus Pasca Pemberian Daun Lamtoro Merah (Acacia villosa).
Dibimbing oleh EVA HARLINA dan HERNOMOADI HUMINTO.
Acacia villosa merupakan jenis leguminosa potensial sebagai pakan ternak
karena mengandung kadar protein yang cukup tinggi (26-28%). Kendala utama
dalam pemanfaatannya yaitu adanya kandungan senyawa sekunder asam amino
non-protein dan tanin yang bersifat toksik. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perubahan histopatologi organ lambung dan duodenum tikus akibat
pemberian 21% daun A. villosa yang dikukus dan tidak dikukus selama 4 minggu.

Hasil pemberian 21% daun A. villosa menyebabkan perbedaan rasio lapis sel
Chief dan mukosa, peningkatan jumlah sel radang netrofil dan deskuamasi epitel
mukosa lambung. Perubahan pada duodenum berupa proliferasi sel goblet,
hiperplasia enterosit dan deskuamasi enterosit. Pemberian A. villosa tidak dikukus
menunjukkan perubahan yang lebih parah dibandingkan pemberian A. villosa
dikukus. Pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus menyebabkan
demielinasi pleksus Auerbach’s dan pleksus Meissner’s pada duodenum.

ABSTRACT
Acacia villosa is a potential legume as livestock feedstuff because its
highly protein content (26-28%). The main limitating factor of its usage is the
secondary compounds non-protein amino acid and tannin which have toxic
character. The aim of this research is to assay histopatological change of rat
stomach and duodenum after fed with 21% steamed and unsteamed A. villosa for
4 weeks. The result of feeding with 21% A. villosa on rat stomach was difference
of ratio Chief cell layer and mucosa, increase number of inflammatory cell in the
mucosa and mucosal epithelial desquamation. The duodenum showed goblet cell
proliferation, enterocyte hyperplasia and enterocyte desquamation. The result of
feeding with unsteamed A. villosa is more severe than steamed. Both steamed and
unsteamed A. villosa produced demyelination of plexus Auerbach’s and

Meissner’s of duodenum.

GAMBARAN HISTOPATOLOGI
LAMBUNG DAN DUODENUM TIKUS PASCA PEMBERIAN
DAUN LAMTORO MERAH (Acacia villosa)

WIWIK WULANSARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

LEMBAR PENGESAHAN


Judul Penelitian : Gambaran Histopatologi Lambung dan Duodenum Tikus Pasca
Pemberian Daun Lamtoro Merah (Acacia villosa)
Nama

: Wiwik Wulansari

NRP

: B04103136

Disetujui,

Dr. Drh. Eva Harlina, MSi
Pembimbing 1

Drh. Hernomoadi Huminto, MVS
Pembimbing 2

Diketahui
Wakil Dekan FKH IPB


Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
NIP. 131 129 090

Tanggal lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
ini adalah lamtoro merah (Acacia villosa), dengan judul Gambaran Histopatologi
Lambung dan Duodenum Tikus Pasca Pemberian Daun Lamtoro Merah (Acacia
villosa).
Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Drh. Eva
Harlina, MSi dan Bapak Drh. Hernomoadi Huminto, MVS selaku pembimbing
skripsi yang telah banyak memberikan arahan, saran dan motivasi hingga
penyusunan skripsi ini diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada ibu Drh. Ekowati Handharyani, MS, Ph.D selaku dosen penguji yang telah
banyak memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.
Disamping itu, penghargaan juga penulis sampaikan kepada Drh. Adi Winarto,
Ph.D yang telah membantu dalam pengambilan foto sediaan dan Drh. Rochman

Na’im, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan
bimbingan akademik serta dukungan moril. Terima kasih kepada ayah, ibu dan
seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang dan dukungannya. Ungkapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada laboran Bagian Patologi, temanteman Gymnolaemata 40, villosa team angkatan 36-39, rekan sepenelitian (Faiq,
Lia dan Lilis), Tri regina (Arum, Dattu, Dewi, Dyah, Ira, Indri dan INMT’ers) dan
sahabat smunsa (Ayu, Dara dan Indrayana) atas segala bantuan, dukungan dan
motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, September 2007

Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 28 September 1985. Penulis
merupakan anak ketujuh dari tujuh bersaudara pasangan Bapak Saadi Arsan dan
Ibu Suwarni.

Pada tahun 2003, penulis lulus dari SMU Negeri I Bogor dan pada tahun
yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis
memilih Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah
Histologi Veteriner I dan II pada tahun ajaran 2004/2005 dan 2005/2006. Selain
itu, penulis pernah aktif di organisasi mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Hewan pada tahun 2004-2006, Ikatan Mahasiswa
Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) tahun 2004-2006, Himpunan Minat
dan Profesi Ruminansia 2004-2006 dan Forum komunikasi muslim alumni
SMUN I Bogor.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.......................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ix
PENDAHULUAN ........................................................................................1
Latar Belakang .................................................................................1
Tujuan ...............................................................................................2
Hipotesis ...........................................................................................2

TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................3
Lambung ...........................................................................................3
Duodenum ........................................................................................4
Lamtoro merah (Acacia villosa) .......................................................6
Asam Amino Non-protein (AANP) .................................................8
Tanin .................................................................................................9
Detoksifikasi Senyawa Sekunder ...................................................11
BAHAN DAN METODE ...........................................................................12
Waktu dan Tempat..........................................................................12
Bahan dan Alat ...............................................................................12
Metode ............................................................................................12
HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................15
Pengaruh Pemberian Daun A. villosa Dikukus dan Tidak
Dikukus terhadap Perubahan Histopatologi Lambung Tikus.........15
Pengaruh Pemberian Daun A. villosa Dikukus dan Tidak
Dikukus terhadap Perubahan Histopatologi Duodenum Tikus ......19
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................25
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................26
LAMPIRAN................................................................................................31


DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi kimia A. villosa dan beberapa jenis leguminosa .....................7
2 Kandungan senyawa sekunder A. villosa ..................................................7
3 Pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus
terhadap rasio lapis sel Chief dan mukosa, infiltrasi sel radang
netrofil dan derajat deskuamasi epitel mukosa lambung ........................15
4 Pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus
terhadap jumlah sel goblet kripta, hiperplasia enterosit, deskuamasi
enterosit serta demielinasi pleksus Auerbach’s dan Meissner’s .............20

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Gambaran histologi lambung bagian fundus, abomasum kambing.
Sel Chief (a); sel parietal (b) ....................................................................4
2 Gambaran histologi duodenum manusia. Kelenjar Brunner’s (a),
mukosa (b), plika sirkularis (c), submukosa (d),
muskularis eksterna (e) .............................................................................5
3 Bunga dan Daun A. villosa........................................................................6
4 Lapis sel Chief pada lambung tikus kelompok K (a), KS (b) dan

TKS (c) pasca pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus.
Pewarnaan HE, bar 50µm .......................................................................16
5 Infiltrasi sel radang netrofil pada mukosa lambung tikus kelompok
TKS pasca pemberian A. villosa tidak dikukus.
Pewarnaan HE, bar 50 μm (a) dan bar 20 μm (b) ...................................18
6 Deskuamasi epitel mukosa lambung dengan derajat keparahan
ringan (a) pasca pemberian daun A. villosa dikukus dan berat (b)
pasca pemberian daun A. villosa tidak dikukus.
Pewarnaan HE, bar 20 µm ......................................................................19
7 Hiperplasia enterosit usus halus tikus kelompok TKS pasca
pemberian daun A. villosa tidak dikukus.
Pewarnaan HE, bar 50 µm (a) dan bar 20 µm (b)...................................21
8 Deskuamasi enterosit dengan derajat keparahan ringan (a) pasca
pemberian daun A. villosa dikukus dan berat (b) pasca pemberian
daun A. villosa tidak dikukus. Pewarnaan HE, bar 20 µm......................23
9 Demielinasi (panah) pada pleksus Auerbach’s mesenterik (a)
dan demielinasi pleksus Meissner’s (b) pasca pemberian daun
A. villosa tidak dikukus. Pewarnaan HE, bar 20 µm...............................24

GAMBARAN HISTOPATOLOGI

LAMBUNG DAN DUODENUM TIKUS PASCA PEMBERIAN
DAUN LAMTORO MERAH (Acacia villosa)

WIWIK WULANSARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

ABSTRAK
WIWIK WULANSARI. Gambaran Histopatologi Lambung dan
Duodenum Tikus Pasca Pemberian Daun Lamtoro Merah (Acacia villosa).
Dibimbing oleh EVA HARLINA dan HERNOMOADI HUMINTO.
Acacia villosa merupakan jenis leguminosa potensial sebagai pakan ternak
karena mengandung kadar protein yang cukup tinggi (26-28%). Kendala utama
dalam pemanfaatannya yaitu adanya kandungan senyawa sekunder asam amino
non-protein dan tanin yang bersifat toksik. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perubahan histopatologi organ lambung dan duodenum tikus akibat
pemberian 21% daun A. villosa yang dikukus dan tidak dikukus selama 4 minggu.

Hasil pemberian 21% daun A. villosa menyebabkan perbedaan rasio lapis sel
Chief dan mukosa, peningkatan jumlah sel radang netrofil dan deskuamasi epitel
mukosa lambung. Perubahan pada duodenum berupa proliferasi sel goblet,
hiperplasia enterosit dan deskuamasi enterosit. Pemberian A. villosa tidak dikukus
menunjukkan perubahan yang lebih parah dibandingkan pemberian A. villosa
dikukus. Pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus menyebabkan
demielinasi pleksus Auerbach’s dan pleksus Meissner’s pada duodenum.

ABSTRACT
Acacia villosa is a potential legume as livestock feedstuff because its
highly protein content (26-28%). The main limitating factor of its usage is the
secondary compounds non-protein amino acid and tannin which have toxic
character. The aim of this research is to assay histopatological change of rat
stomach and duodenum after fed with 21% steamed and unsteamed A. villosa for
4 weeks. The result of feeding with 21% A. villosa on rat stomach was difference
of ratio Chief cell layer and mucosa, increase number of inflammatory cell in the
mucosa and mucosal epithelial desquamation. The duodenum showed goblet cell
proliferation, enterocyte hyperplasia and enterocyte desquamation. The result of
feeding with unsteamed A. villosa is more severe than steamed. Both steamed and
unsteamed A. villosa produced demyelination of plexus Auerbach’s and
Meissner’s of duodenum.

GAMBARAN HISTOPATOLOGI
LAMBUNG DAN DUODENUM TIKUS PASCA PEMBERIAN
DAUN LAMTORO MERAH (Acacia villosa)

WIWIK WULANSARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Gambaran Histopatologi Lambung dan Duodenum Tikus Pasca
Pemberian Daun Lamtoro Merah (Acacia villosa)
Nama

: Wiwik Wulansari

NRP

: B04103136

Disetujui,

Dr. Drh. Eva Harlina, MSi
Pembimbing 1

Drh. Hernomoadi Huminto, MVS
Pembimbing 2

Diketahui
Wakil Dekan FKH IPB

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
NIP. 131 129 090

Tanggal lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
ini adalah lamtoro merah (Acacia villosa), dengan judul Gambaran Histopatologi
Lambung dan Duodenum Tikus Pasca Pemberian Daun Lamtoro Merah (Acacia
villosa).
Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Drh. Eva
Harlina, MSi dan Bapak Drh. Hernomoadi Huminto, MVS selaku pembimbing
skripsi yang telah banyak memberikan arahan, saran dan motivasi hingga
penyusunan skripsi ini diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada ibu Drh. Ekowati Handharyani, MS, Ph.D selaku dosen penguji yang telah
banyak memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.
Disamping itu, penghargaan juga penulis sampaikan kepada Drh. Adi Winarto,
Ph.D yang telah membantu dalam pengambilan foto sediaan dan Drh. Rochman
Na’im, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan
bimbingan akademik serta dukungan moril. Terima kasih kepada ayah, ibu dan
seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang dan dukungannya. Ungkapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada laboran Bagian Patologi, temanteman Gymnolaemata 40, villosa team angkatan 36-39, rekan sepenelitian (Faiq,
Lia dan Lilis), Tri regina (Arum, Dattu, Dewi, Dyah, Ira, Indri dan INMT’ers) dan
sahabat smunsa (Ayu, Dara dan Indrayana) atas segala bantuan, dukungan dan
motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, September 2007

Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 28 September 1985. Penulis
merupakan anak ketujuh dari tujuh bersaudara pasangan Bapak Saadi Arsan dan
Ibu Suwarni.
Pada tahun 2003, penulis lulus dari SMU Negeri I Bogor dan pada tahun
yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis
memilih Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah
Histologi Veteriner I dan II pada tahun ajaran 2004/2005 dan 2005/2006. Selain
itu, penulis pernah aktif di organisasi mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Hewan pada tahun 2004-2006, Ikatan Mahasiswa
Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) tahun 2004-2006, Himpunan Minat
dan Profesi Ruminansia 2004-2006 dan Forum komunikasi muslim alumni
SMUN I Bogor.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.......................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ix
PENDAHULUAN ........................................................................................1
Latar Belakang .................................................................................1
Tujuan ...............................................................................................2
Hipotesis ...........................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................3
Lambung ...........................................................................................3
Duodenum ........................................................................................4
Lamtoro merah (Acacia villosa) .......................................................6
Asam Amino Non-protein (AANP) .................................................8
Tanin .................................................................................................9
Detoksifikasi Senyawa Sekunder ...................................................11
BAHAN DAN METODE ...........................................................................12
Waktu dan Tempat..........................................................................12
Bahan dan Alat ...............................................................................12
Metode ............................................................................................12
HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................15
Pengaruh Pemberian Daun A. villosa Dikukus dan Tidak
Dikukus terhadap Perubahan Histopatologi Lambung Tikus.........15
Pengaruh Pemberian Daun A. villosa Dikukus dan Tidak
Dikukus terhadap Perubahan Histopatologi Duodenum Tikus ......19
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................25
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................26
LAMPIRAN................................................................................................31

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi kimia A. villosa dan beberapa jenis leguminosa .....................7
2 Kandungan senyawa sekunder A. villosa ..................................................7
3 Pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus
terhadap rasio lapis sel Chief dan mukosa, infiltrasi sel radang
netrofil dan derajat deskuamasi epitel mukosa lambung ........................15
4 Pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus
terhadap jumlah sel goblet kripta, hiperplasia enterosit, deskuamasi
enterosit serta demielinasi pleksus Auerbach’s dan Meissner’s .............20

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Gambaran histologi lambung bagian fundus, abomasum kambing.
Sel Chief (a); sel parietal (b) ....................................................................4
2 Gambaran histologi duodenum manusia. Kelenjar Brunner’s (a),
mukosa (b), plika sirkularis (c), submukosa (d),
muskularis eksterna (e) .............................................................................5
3 Bunga dan Daun A. villosa........................................................................6
4 Lapis sel Chief pada lambung tikus kelompok K (a), KS (b) dan
TKS (c) pasca pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus.
Pewarnaan HE, bar 50µm .......................................................................16
5 Infiltrasi sel radang netrofil pada mukosa lambung tikus kelompok
TKS pasca pemberian A. villosa tidak dikukus.
Pewarnaan HE, bar 50 μm (a) dan bar 20 μm (b) ...................................18
6 Deskuamasi epitel mukosa lambung dengan derajat keparahan
ringan (a) pasca pemberian daun A. villosa dikukus dan berat (b)
pasca pemberian daun A. villosa tidak dikukus.
Pewarnaan HE, bar 20 µm ......................................................................19
7 Hiperplasia enterosit usus halus tikus kelompok TKS pasca
pemberian daun A. villosa tidak dikukus.
Pewarnaan HE, bar 50 µm (a) dan bar 20 µm (b)...................................21
8 Deskuamasi enterosit dengan derajat keparahan ringan (a) pasca
pemberian daun A. villosa dikukus dan berat (b) pasca pemberian
daun A. villosa tidak dikukus. Pewarnaan HE, bar 20 µm......................23
9 Demielinasi (panah) pada pleksus Auerbach’s mesenterik (a)
dan demielinasi pleksus Meissner’s (b) pasca pemberian daun
A. villosa tidak dikukus. Pewarnaan HE, bar 20 µm...............................24

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Bagan pembuatan sediaan histopatologi .................................................32
2 Bagan proses pewarnaan Hematoksilin eosin (HE) ................................33
3 Bagan proses pembuatan tepung daun A. villosa ....................................34
4 Hasil analisis statistik ANOVA dan uji Duncan .....................................35
5 Hasil skoring lanjutan deskuamasi epitel mukosa lambung
dan Deskuamasi epitel lambung..............................................................38

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ternak ruminansia memerlukan hijauan dalam jumlah besar untuk
pertumbuhan dan peningkatan produksinya. Ketersediaan hijauan sepanjang tahun
merupakan faktor pendukung untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Penggunaan
leguminosa pohon sebagai sumber protein ransum mempunyai beberapa
keuntungan, antara lain dapat menyediakan protein yang cukup tinggi, murah,
mudah didapat dan pasokan terjamin sepanjang tahun (Manurung 1995).
Leguminosa yang sudah banyak dimanfaatkan untuk pakan ternak diantaranya
yaitu Leucaena leucocephala, Calliandra tetragona, Acacia angustissima, Acacia
villosa, dll.
Acacia villosa (lamtoro merah) merupakan jenis leguminosa yang
memiliki ketahanan yang baik terhadap tanah yang kurang subur, serangan hama
kutu loncat serta kondisi kekeringan. A. villosa mengandung protein kasar 26-28%
sehingga dapat digunakan sebagai hijauan sumber protein untuk pakan ternak.
Kendala utama dalam pemanfaatannya yaitu adanya kandungan senyawa sekunder
asam amino non-protein dan tanin yang bersifat toksik. Asam amino non-protein
yang terkandung dalam A. villosa yaitu 4-N-acetyl-2,4-diaminobutyric acid
(ADAB) akan dikonversikan menjadi DL-2,4-diamino-n-butyric acid (DABA) di
saluran pencernaan ruminansia yang bersifat toksik. Selain AANP, A. villosa juga
mengandung tanin yang dapat mempresipitasi protein sehingga mengganggu
proses penyerapan nutrien.
Evaluasi toksisitas A. villosa telah dilakukan dalam berbagai penelitian.
Pemberian daun A. villosa segar pada konsentrasi 100% menunjukkan adanya
lesio di hati berupa degenerasi lemak dan nekrosa hepatosit individual pada
domba (Bariata 2001). Pemberian 21% daun A. villosa dikukus tidak
mempengaruhi performa tikus putih dan pengukusan daun tersebut dapat
mengurangi sifat nefrotoksisitas senyawa sekundernya (Kuswarini 2007).
Berdasarkan hasil penelitian Djuharti (2007), pengukusan daun A. villosa

mengurangi sifat hepatotoksisitas senyawa sekundernya dan tidak mengganggu
fungsi hati.
Untuk mengetahui toksisitas A. villosa terhadap lambung dan duodenum
tikus, maka dilakukan studi histopatologi lambung dan duodenum tikus.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi organ
lambung dan duodenum tikus akibat pemberian daun Acacia villosa dikukus dan
tidak dikukus.

Hipotesa
H0

: Pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus tidak menyebabkan
perubahan histologi pada lambung dan duodenum tikus.

H1

: Pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus menyebabkan
perubahan histologi pada lambung dan duodenum tikus.

TINJAUAN PUSTAKA

Lambung
Secara histologi, lambung terdiri dari beberapa bagian, yaitu mukosa,
kelenjar lambung dan tunika muskularis. Membran mukosa lambung membentuk
lipatan longitudinal yang disebut rugae dan terdiri dari tiga komponen yaitu
epitelium, lamina propria dan muskularis mukosa. Kelenjar lambung berbentuk
sederhana dan bertipe tubular, serta mengandung berbagai jenis sel, yaitu sel
parietal, sel utama (Chief cell) dan sel lendir leher (mucous neck cells). Sel
parietal dapat ditemukan di daerah mukosa yang mengelompok di area proksimal
kelenjar dan menghasilkan sekreta asam hidroklorat (HCl). Sel utama (Chief cell)
melapisi bagian bawah kelenjar lambung dan mengeluarkan sekreta pepsinogen
yang merupakan prekursor dari enzim pencernaan pepsin. Sel lendir leher
(mucous neck cells) terletak menyebar diantara sel-sel parietal pada bagian leher
kelenjar dan berfungsi mensekresi mukus yang encer dengan viskositas yang lebih
rendah dari sel-sel pada mukus di permukaan. Tunika muskularis terdiri dari tiga
lapisan otot. Lapisan dalam berupa lapisan otot miring, lapisan tengah berupa
lapisan otot sirkuler dan lapisan luar berupa lapis otot longitudinal (Gartner &
Hiatt 2001). Gambaran histologi lambung serta bagian-bagiannya disajikan pada
Gambar 1.
Pada umumnya hewan domestik hanya mempunyai mukosa berkelenjar,
akan tetapi kuda dan tikus memiliki area pada bagian proksimal dari lambung
yaitu area non-kelenjar yang tersusun atas epitel pipih banyak lapis. Fungsi area
non-kelenjar pada mukosa lambung belum diketahui secara pasti. Ada
kemungkinan area non-kelenjar merupakan tempat terjadinya sebagian kecil
fermentasi (seperti rumen). Diketahui juga bahwa aktivitas pencampuran makanan
pada area ini cukup rendah, sehingga makanan dapat terhindar dari sekresi
kelenjar lambung. Sekresi asam tersebut dapat membunuh bakteri sehingga hal
tersebut dapat mencegah fermentasi (Herdt 1997).

Gambar 1 Gambaran histologi lambung bagian fundus, abomasum kambing.
Sel Chief (a); sel parietal (b). Sumber: (Bacha & Bacha 2000).

Duodenum
Duodenum merupakan salah satu bagian dari usus halus. Fungsi usus halus
yaitu mencerna material makanan dan mengabsorpsi produk akhir dari proses
pencernaan. Permukaannya meluas oleh bentuk plika sirkuler, vili, mikrovili dan
kripta Liberkuhn (Banks 1993). Gambaran histologi duodenum disajikan pada
Gambar 2.
Mukosa duodenum terdiri dari beberapa lapisan, yaitu epitelium, lamina
propria dan muskularis mukosa. Epitel duodenum merupakan epitel silindris
sebaris yang terdiri atas beberapa sel yaitu: sel penyerap, sel goblet dan sel DNES
(Diffuse Neuroendocrine System). Sel penyerap mengandung beberapa enzim
seperti alkalin fosfatase, ATPase, maltase dan amino peptidase. Sel goblet terletak
menyebar diantara sel penyerap dan sel ini membuat musinogen yang merupakan
komponen mukus lapisan pelindung lumen. Sel DNES memproduksi hormon
parakrin dan hormon endokrin (Gartner & Hiatt 2001).

Gambar 2

Gambaran histologi duodenum manusia. Kelenjar Brunner’s (a),
mukosa (b), plika sirkularis (c), submukosa (d), tunika muskularis
(e). Sumber: (Anonim 2001).

Pada bagian lamina propria duodenum terdapat kripta Liberkuhn. Kripta
Liberkuhn terdiri dari sel regeneratif yang merupakan sel stem yang secara
ekstensif berproliferasi untuk repopulasi epitel kripta dan epitel permukaan
mukosa. Selain itu terdapat juga sel paneth yang mensekresikan lisozim sebagai
agen antibakterial (Gartner & Hiatt 2001), akan tetapi menurut Banks (1993) tidak
ada fakta yang mendukung keterlibatannya dalam proses pencernaan.
Submukosa duodenum terdiri dari kelenjar Brunner’s yang mensekresikan
lendir. Selain itu, ditemukan pula serabut-serabut saraf dan sel ganglion yang
biasa disebut pleksus submukosa atau pleksus Meissner’s (Elwell & McConnell
1990). Pleksus Meissner’s berperan dalam pengaturan sekresi dan aliran darah
serta membantu beberapa fungsi sensorik. Fungsi sensorik dari pleksus Meissner’s
diantaranya menerima sinyal-sinyal terutama dari epitel usus dan dari reseptor
regangan di dalam dinding usus (Guyton & Hall 1997).
Tunika muskularis dari duodenum terdiri dari lapis dalam sirkular dan
lapis luar longitudinal otot polos. Diantara kedua lapis tersebut terdapat pleksus
Auerbach’s. Pleksus Auerbach’s memiliki fungsi untuk mengatur aktivitas
pergerakan gastrointestinal dengan cara: (a) meningkatkan kontraksi tonus
dinding usus; (b) meningkatkan intensitas dan kecepatan kontraksi ritmis dan (c)
meningkatkan kecepatan konduksi gelombang eksitoris di sepanjang dinding usus

sehingga menyebabkan pergerakan gelombang peristaltik lebih cepat (Guyton &
Hall 1997).
Serosa merupakan suatu lapisan jaringan penyambung yang tertutup
mesotel. Susunan otot ini menunjang kontraksi usus dalam proses mencerna
makanan (Gartner & Hiatt 2001).

Lamtoro Merah (Acacia villosa)
Acacia villosa diperkenalkan di pulau Jawa pada tahun 1920. Acacia
merupakan semak atau pohon kecil yang tidak berduri dengan tinggi hingga 5
meter. Tanaman ini mempunyai daun majemuk bersirip ganda, dengan sirip terdiri
atas 20-40 helai daun, berkelamin ganda, dengan bunga warna putih kemudian
berubah menjadi kekuningan. Mahkota bunga terbuka dan batang serta dahan
yang berwarna merah gelap. Buahnya berbentuk polong, pipih dan berwarna
cokelat mengkilap. Tiap polong berisi 1-8 buah biji yang berbentuk bulat telur dan
berwarna cokelat (Jukema & Danamihardja 1997). Bentuk bunga dan daun A.
villosa disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Bunga dan daun A. villosa. Sumber: (Perez et al. 1999).
Tanaman ini tersebar dari dataran rendah hingga dataran tinggi dengan
ketinggian 1200 m di atas permukaan laut. A. villosa menyukai iklim yang agak
kering dan tumbuh baik pada curah tahunan serendah 200-500 mm dan
kelembaban udara 55-70%. Tanaman ini tumbuh kurang baik pada temperatur
rendah. Umumnya tanaman ini dapat dijumpai pada vegetasi sekunder, terutama
pada kawasan batu berkapur dan tanah tidak berbatu (Jukema & Danamihardja
1997).

Menurut Perez et al. (1999), taksonomi A. villosa adalah sebagai berikut:
filum: Magnoliophyta, kelas: Magnoliopsida, ordo: Fabales, famili: Leguminosa,
subfamili: Mimosidae, genus: Acacia, spesies: villosa.
Hasil analisis proksimat A. villosa dan beberapa jenis leguminosa lainnya
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia A. villosa dan beberapa jenis leguminosa
Spesies

PK

EA

F

Na

TP

T

A. auriculiformis

15

3.9

45

-

10.8

1.1

A. villosa

27

4.8

24

0.01

12.6

6.0

Calliandra

24

4.1

24

0.00

11.3

6.8

Leucaena diversifolia

22

8.4

26

0.01

-

-

Mimosa pigra

22

4.3

40

9.3

8.1

calothyrsus

Keterangan P: Protein kasar; EA: Ekstrak eter; F: Serat Detergen Netral; TP: Total Fenol;
T: Tanin. Sumber: (Tangendjaja & Lowry 1984).

Berdasarkan kandungan protein yang tinggi, A. villosa merupakan
leguminosa yang dapat dijadikan sumber protein pakan ternak. Namun ada faktor
pembatas dalam penggunaannya yaitu adanya kandungan senyawa sekunder asam
amino non-protein dan tanin (Wina & Tangendjaja 2000). Adanya senyawa
sekunder dalam pakan akan berdampak pada nilai nutrisi pakan dan menyebabkan
kematian pada ternak secara langsung maupun tidak langsung (Odenyo et al.
1997). Kandungan senyawa sekunder pada A. villosa disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan senyawa sekunder A. villosa
%
Total Fenol

15.24

AANP

5.64

Tanin Terkondensasi

12.51

Sumber: (Bansi 2001).

Asam Amino Non-Protein (AANP)
Lebih dari 250 jenis asam amino non-protein telah ditemukan terkandung
dalam tanaman. Pada umumnya ditemukan pada tanaman leguminosa yang
terakumulasi dalam biji dan daun. Beberapa jenis leguminosa yang mengandung
senyawa asam amino non-protein diantaranya adalah Acacia villosa, Indigovera
spicata, Leucaena pulverulenta, Mimosa sp, Pithecellobium jiringa dan Sesbania
grandiflora. Senyawa AANP pada tanaman berfungsi sebagai agen pertahanan
bagi tanaman. Mekanisme kerja AANP di dalam tubuh analog dengan mekanisme
asam amino esensial. AANP sering mengganggu fungsi dari asam amino
penyusun protein karena strukturnya yang analog (Wina & Tangendjaja 2000).
Salah satu contoh mekanisme kerja AANP yang menyerupai asam amino
protein adalah mimosin. Mimosin terdapat pada lamtorogung dan memiliki
struktur yang mirip dengan tirosin dan fenilalanin. Mimosin dapat menggantikan
asam amino tersebut tetapi menyebabkan hilangnya enzim dan aktivitas
fungsional protein (Widiyastuti 2001). Hammond (1995) melaporkan bahwa pada
ruminansia, mimosin difermentasi oleh mikroba rumen menjadi 3,4 DHP yang
bersifat goitrogen. D’Mello (2003) melaporkan bahwa mimosin merupakan asam
amino yang memiliki struktur aromatik dan mempunyai kontribusi sebagai racun
pada hewan. AANP ini memiliki struktur yang analog dengan tirosin dan turunan
neurotransmiternya yaitu dopamin dan noradrenalin. Senyawa ini dapat
menyebabkan gangguan fungsi reproduksi, teratogenik, kebotakan bahkan
kematian.
Tangendjaja dan Lowry (1984) melaporkan bahwa mengkonsumsi
lamtorogung segar dalam waktu yang lama dapat menyebabkan penyakit gondok.
Bray et al. (1984) menyatakan pula bahwa 3,4 DHP merupakan agen potensial
penyebab gondok dan pembesaran kelenjar tiroid pada ternak yang berasosiasi
dengan rendahnya level serum tiroksin. Efek kumulatif dari 3,4 DHP yaitu
penurunan bobot badan dengan gejala klinis seperti kerontokan rambut,
kehilangan nafsu makan, hipotiroidisme dan ulserasi esofagus.
AANP yang terdapat dalam daun A. villosa adalah ADAB (4-N-acetyl2,4-diaminobutyric acid) dan ODAP (oxalyl diaminopropionic). ADAB yang
terkandung dalam daun A. villosa dalam tubuh ruminansia akan dikonversi

menjadi DABA (2,4 diaminobutyric acid) yang merupakan senyawa beracun bagi
ternak. Di dalam tubuh, DABA akan menghambat sintesa protein dalam hati dan
menyebabkan gejala yang serupa dengan keracunan amonia. ODAP diketahui
dapat menyebabkan gejala keracunan saraf (Smith et al. 2001). Selain itu,
penggunaan tanaman yang mengandung senyawa ODAP dapat mengganggu
kecernaan pakan (Peng et al. 2005).
Pemberian DABA secara intraperitonial pada tikus menghambat ornithin
carbamoyltransferase di hati. Reaksi tersebut diduga sebagai awal terjadinya
toksisitas DABA. Hal ini disebabkan sintesis urea di hati dihambat oleh DABA
sehingga terjadi peningkatan konsentrasi amonia (O’Neal et al. 1968).
McSweeney et al. (2005) melaporkan bahwa DABA diduga bersifat neurotoksik
dan hepatotoksik pada ternak ruminansia.
Berdasarkan hasil penelitian Dewa (2005) dan Sulistiyo (2006), pemberian
sediaan DABA murni (Sigma®) dengan konsentrasi 2.5%, 5% dan 7.5% selama 6
minggu tidak menimbulkan gejala keracunan, tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap konsumsi pakan, bobot badan dan nilai konversi pakan tikus
namun bersifat hepatotoksik dan nefrotoksik ringan.

Tanin
Tanin adalah senyawa bahan alam yang terdiri dari sejumlah besar gugus
hidroksifenol. Tanin pada tanaman berperan dalam mekanisme pertahanan
terhadap patogen maupun terhadap kondisi yang tidak menguntungkan lainnya.
Banyaknya tanin yang terkandung dalam tanaman dipengaruhi oleh spesies
tanaman, genetik dan tingkat pertumbuhan serta faktor lingkungan, yaitu
temperatur, curah hujan, pemotongan dan defoliasi (Wiryawan et al. 1998).
Norton (2000) menyatakan bahwa kandungan senyawa sekunder pada
tanaman berfungsi sebagai mekanisme pertahanan pada jaringan dari invasi
mikroorganisme (bakteri dan fungi). Selain itu digunakan juga untuk melindungi
diri dari kerusakan yang disebabkan herbivora (serangga, burung dan hewan
lainnya). Tanin yang terkandung dalam tanaman dipengaruhi oleh spesies
tanaman, genotip dan umur tanaman serta bagian tertentu pada tanaman (daun,
batang, bunga dan benih).

Tanin pada tanaman merupakan golongan polimer polifenol yang memiliki
berat molekul (BM) yang relatif tinggi (BM= 1000-20 000). Hal tersebut
menyebabkan tanin memiliki kapasitas untuk membentuk komplek dengan
karbohidrat dan protein. Berdasarkan struktur dan reaktivitasnya, tanin
dikategorikan menjadi tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin
terhidrolisis atau hydrolyzable tannin (HT) relatif jarang ditemukan di alam dan
memiliki berat molekul yang rendah (500-3000). HT dapat terpecah menjadi
monosakarida dan jenis asam galat (gallotanin) maupun asam egallat (ellagitanin)
dalam kondisi asam maupun karena proses enzimatis. Tanin terkondensasi atau
condensed tannin (CT) tidak memiliki inti karbohidrat dan polimernya tersusun
atas unit flavanoid (polyhydroxyflavan-3-ol) dari komposisi yang bermacammacam dan berat molekul 1900-28 000 (Foo et al. 1982, diacu dalam Norton
2000).
Tanin terhidrolisis dan terkondensasi memiliki bentuk reversibel komplek
dengan protein yang tidak mudah larut. CT lebih tersebar luas dalam tanaman,
stabil dan kurang peka terhadap hidrolisis dibandingkan dengan HT. HT biasanya
lebih toksik pada hewan non-ruminansia dibandingkan dengan hewan ruminansia.
Pada ruminansia, HT didegradasi oleh senyawa asam atau dihidrolisis secara
enzimatis di dalam rumen. Fenol yang diabsorpsi kemudian diekskresikan melalui
urin sebagai asam glukuronida. Toksisitas HT biasanya berkaitan erat dengan
jumlah yang dicerna. Hal tersebut ditentukan berdasarkan kapasitas rumen untuk
mendegradasinya. Apabila jumlahnya berlebih, maka HT akan diabsorpsi oleh
tubuh dan menyebabkan nekrosa hati dan ginjal, kekuningan (jaundice),
fotosensitisasi dan kematian pada beberapa kasus. Efek toksik CT sangat sedikit
diketahui. Secara umum, CT dapat berikatan dengan protein tanaman dan dinding
sel karbohidrat (Van Soest et al. 1986, diacu dalam Norton 2000). CT memiliki
efek positif sebagai anthelmintik sehingga meningkatkan resistensi terhadap
infeksi nematoda (Brooker 2000).
Tanin memiliki kemampuan untuk mengendapkan pati, alkaloid, gelatin
dan protein. Kemampuan tanin untuk mengendapkan protein disebabkan karena
adanya kandungan gugus fungsional. Gugus ini dapat membentuk ikatan
kompleks yang sangat kuat dengan molekul protein saliva dan glikoprotein dalam

mulut yang dapat menimbulkan rasa sepat, sehingga dapat mempengaruhi
konsumsi dan palatabilitas pakan (Susanti 2002). Tanin dapat melindungi protein
dari proses perombakan oleh mikroba rumen dan proses enzimatis dalam usus,
sehingga dapat menurunkan pemanfaatan nutrien oleh ternak (Firdus et al. 2004).

Detoksifikasi Senyawa Sekunder
Berbagai macam teknik telah digunakan untuk memperbaiki efek tanin
pada legume, sorghum dan kacang polong. Teknik yang telah berhasil dilakukan
diantaranya dengan pemanasan; pengeringan; perendaman dalam air, asam, alkali
(sodium hidroksida), urea atau larutan formaldehida dan aplikasi dari agen
pengikat spesifik seperti polivinil pirolidin (PVP), polietilen glikol (PEG) dan
garam besi (Norton 2000). Perendaman A. villosa di dalam larutan kalsium
hidroksida, asam hidroklorat atau air dapat menghilangkan tanin dan total fenol
dari daun sebesar 41-76% (Wina et al. 2005).
Pengeringan secara tradisional dilakukan dengan meletakkan bahan
perlakuan di bawah sinar matahari. Cara ini juga dipakai untuk mengendalikan
pertumbuhan mikroorganisme maupun untuk menghilangkan air. Salah satu
contoh proses pengeringan adalah proses dehidrasi, yaitu proses penghilangan air
menggunakan panas dengan aliran udara terkendali. Hal yang penting adalah
bahwa suhu yang dipergunakan jangan terlalu tinggi karena dapat menyebabkan
perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki pada bagian perlakuan (Gardjito et
al. 1992).
Detoksifikasi secara fisik dan kimia mampu menurunkan kadar mimosin
daun lamtoro. Perlakuan dengan pemanasan kering daun lamtoro pada suhu 70 0C
selama 12 jam merupakan metode terbaik terhadap respon pertumbuhan dan
pigmentasi ayam broiler (Widiyastuti 2001).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-April 2007 bertempat di
Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat
Bahan penelitian yang digunakan adalah sediaan histopatologi organ
lambung bagian fundus dan duodenum tikus dengan pemotongan transversal yang
telah digunakan pada uji pengaruh pengukusan A. villosa terhadap gambaran
histopatologi hati dan ginjal tikus (Kuswarini 2007; Djuharti 2007). Tikus yang
digunakan adalah tikus putih (Rattus rattus) betina dari strain Sprague Dawley
berumur 4 minggu. Alat yang digunakan adalah mikroskop cahaya binokuler dan
mikroskop video mikrometer.

Metode
1. Disain Penelitian
Sebanyak 18 ekor tikus dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok
kontrol (K) yang diberi pakan kontrol (pakan tanpa daun), kelompok yang diberi
daun A. villosa dikukus (KS) dan kelompok yang diberi pakan daun A. villosa
tidak dikukus (TKS). Penambahan daun sebanyak 21% selama 4 minggu, dan
daun dikukus selama 10 menit pada suhu 60-70 0C. Masing-masing kelompok
perlakuan terdiri atas enam ulangan yang dibandingkan dengan kelompok kontrol.
2. Evaluasi Histopatologi
Evaluasi histopatologi organ lambung bagian fundus dan duodenum tikus
dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif.
Evaluasi kuantitatif organ lambung adalah dengan mengukur rasio lapis
sel Chief (x µm) dengan mukosa lambung (y µm) menggunakan mikroskop video
mikrometer, kalibrasi 1000 µm pada 5 lapang pandang dengan perbesaran objektif
5 x dan menghitung jumlah sel radang netrofil yang terdapat pada mukosa
lambung pada 5 lapang pandang dengan perbesaran objektif 40 x.

Evaluasi kualitatif organ lambung yaitu melalui pengamatan deskuamasi
epitel dengan skoring sebagai berikut:


Skor 1: jika terdapat deskuamasi pada sebagian epitel mukosa.



Skor 2: jika deskuamasi terjadi pada hampir seluruh bagian epitel mukosa.

Hasil skoring dari tiap-tiap kelompok selanjutnya dirata-rata dan ditentukan
derajat keparahannya sebagai berikut:


Jika rata-rata nilai skor 1.0 ≤ x ≤ 1.4, maka derajat keparahan ringan.



Jika rata-rata nilai skor 1.5 ≤ x ≤ 2.0, maka derajat keparahan berat.

(a)

(b)

(c)

Keterangan: (a) Sel Chief lambung; (b) Sel radang netrofil; (c) Deskuamasi epitel
lambung.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

Keterangan: (a) Sel goblet kripta; (b) Hiperplasia enterosit; (c) Deskuamasi
enterosit; (d) Demielinasi pleksus Auerbach’s; (e) Demielinasi
pleksus Meissner’s.
Parameter kuantitatif untuk evaluasi histopatologi duodenum yaitu
menghitung jumlah sel goblet kripta pada 10 lapang pandang dengan perbesaran
objektif 40 x. Parameter kualitatif yang digunakan adalah deskuamasi enterosit

dengan metode skoring yang sama dengan yang digunakan di lambung,
ada/tidaknya hiperplasia enterosit, serta demielinasi pleksus Auerbach’s dan
pleksus Meissner’s.

3. Analisis Data
Hasil pengamatan kuantitatif berupa rasio lapis sel Chief dengan mukosa
lambung, infiltrasi sel radang netrofil serta jumlah sel goblet kripta dianalisis
menggunakan sidik ragam rancangan acak lengkap (ANOVA) untuk melihat
pengaruh perlakuan. Jika perlakuan berpengaruh nyata, dilanjutkan dengan uji
Duncan (α= 0.05).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Pemberian Daun A. villosa Dikukus dan Tidak Dikukus terhadap
Perubahan Histopatologi Lambung Tikus
Pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus berpengaruh
terhadap gambaran histopatologi lambung tikus yaitu pada lapis sel Chief dengan
mukosa, adanya infiltrasi sel radang netrofil dan deskuamasi epitel (Tabel 3).
Tabel 3 Pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap
rasio lapis sel Chief dengan mukosa, infiltrasi sel radang netrofil dan
derajat deskuamasi epitel mukosa lambung
Kelompok
K
KS
TKS

Lapis sel Chief
dengan mukosa
0.340±0.033a
0.426±0.042b
0.157±0.048c

Jumlah sel radang
netrofil
94.167±20.683a
77.667±20.633a
121.000±22.830b

Derajat
deskuamasi
Ringan
Ringan
Berat

Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (p