Efektivitas pemberian Vaksin Ichthyophthirius multifiliis terhadap ikan mas (Cyprinus carpio L) pada suhu media pemeliharaan yang berbeda

EFEKTIVITAS PEMBERIAN VAKSIN Ichthyophthirius
multifiliis TERHADAP IKAN MAS (Cyprinus carpio L) PADA
SUHU MEDIA PEMELIHARAAN YANG BERBEDA

HENNI SYAWAL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

 

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Efektivitas Pemberian Vaksin
Ichthyophthirius multifiliis terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio L) pada
Pemeliharaan Suhu Media yang Berbeda” Adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

 

ABSTRACT
HENNI SYAWAL. Provision of Vaccine Effectiveness Against Ichthyophthirius
multifiliis Common Carp (Cyprinus carpio L) at Different Temperatures of
Media. Under direction of NASTITI KUSUMORINI, WASMEN MANALU, and
RIDWAN AFFANDI.
The aims of this study were to assess the physiological and haematological
responses of fish due to different water temperatures, Ichthyophthirius multifiliis
(ich) infection, and vaccination with ich theront stadia. The research was
conducted in three stages. The first stage was designed to determine the
temperature range that could cause stress in fish and had potency to cause ich
infection. In the second stage, fish was infected with ich. The last stage was
carried out to investigate the effect of vaccination. Physiological changes in fish
from each stage were determined. The results of the first stage showed that
cortisol levels at 20, 24, and 28⁰C and glucose levels at 24 and 28oC increased
until 21st day. Fish that was kept at 24oC had the lowest survival rate (87±3.35%)
and fish that was kept at 32oC had the highest survival rate (100%). In the second

stage, infected fish at 20oC was under great stress, which was characterized by the
increase in cortisol levels by 51.38% on 3rd day, increase in glucose levels by
60.93%, decrease in osmolarity by 18.40%, decrease lymphocytes percentage by
16.44%, and the lowest survival rate (58.11±2.16%). The damage that was
affected by I. multifiliis could be seen by the presence of hypercellular, many
goblet cells, and infiltration of lymphocytes cells. Lastly, vaccination caused the
decrease in cortisol levels and increase in glucose levels until 14th day. The
prevalence of I. multifiliis in the vaccinated fish decreased with the increase in
temperature, and I. multifiliis prevalence at 20⁰C was 80.03±10.00% and at 28⁰C
was 0%, and the highest survival rate was obtained at 28⁰C (100%).
Keywords: Cyprinus carpio, Ichthyophthirius multifiliis, temperature, vaccine.

 

RINGKASAN
HENNI SYAWAL. Efektivitas Pemberian Vaksin Ichthyophthirius multifiliis
terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio L) pada Suhu Media Pemeliharaan yang
Berbeda. Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI, WASMEN MANALU, dan
RIDWAN AFFANDI.
Ichthyophthirius multifiliis (ich) adalah salah satu jenis ektoparasit dari

golongan Protozoa, yang biasa menyerang ikan-ikan air tawar. Penyakit yang
ditimbulkannya dinamakan Ichthyophtiriasis atau lebih dikenal dengan “White
spot”, karena gejala yang ditimbulkan berupa bintik putih yang terdapat pada
bagian kulit, sirip, insang, dan mata. Akibat patogenitas ich dapat menyebabkan
kematian hingga 80-100% dalam waktu yang relatif singkat sehingga dapat
menimbulkan kerugian secara ekonomis. Tingkat patogenitas dan siklus hidup ich
dipengaruhi oleh suhu lingkungan media pemeliharaan ikan. Pencegahan terhadap
penyakit ini sudah banyak dilakukan dengan menggunakan bahan kimia, namun
hasilnya tidak memuaskan karena bahan tersebut tidak dapat membunuh semua
stadia dari ich. Salah satu usaha untuk mencegah serangan penyakit ini adalah
dengan pemberian vaksin yang berasal dari salah satu stadia ich, yaitu stadia
theront. Pemberian vaksin pada ikan lebih aman, karena dapat melindungi dari
penyakit tersebut dalam jangka waktu yang relatif lama, dan tidak menimbulkan
resistensi. Keberhasilan pemberian vaksin pada ikan dipengaruhi oleh suhu media
pemeliharaan. Perubahan suhu di lingkungan media pemeliharaan dapat
mempengaruhi kehidupan ikan bahkan dapat menyebabkan stres. Ikan yang
mengalami stres berkepanjangan akan mudah terinfeksi oleh mikroorganisme
patogen. Tujuan penelitian adalah, pertama untuk mengkaji respons fisiologis dan
hematologis ikan yang dipelihara pada suhu media pemeliharaan yang berbeda.
Kedua, mengkaji respons fisiologis dan hematologis ikan yang diinfeksi dengan

ich stadia theront dan kemudian dipelihara pada suhu media pemeliharaan yang
berbeda. Ketiga, mengkaji respons fisiologis dan hematologis ikan yang diberi
vaksin ich stadia theront dan kemudian dipelihara pada suhu media yang berbeda.
Metode penelitian untuk mengkaji respons fisiologis dan hematologis ikan
yang dipelihara pada suhu media pemeliharaan yang berbeda, dilakukan dalam
tiga tahap sebagai berikut: 1). Penentuan kisaran suhu yang dapat menimbulkan
stres pada ikan dan berpotensi untuk terinfeksi ich. Hewan uji yang digunakan
adalah ikan mas berukuran panjang 6.61±0.68 cm dengan bobot 6.29±0.79 g
sebanyak 480 ekor. Ikan dipelihara dalam akuarium berukuran 60x40x35 cm³,
dengan kepadatan satu ekorL-1. Untuk mempertahankan suhu air di dalam
akuarium dipasang alat pemanas listrik (heater) sesuai perlakuan, yaitu 20, 24, 28,
dan 32⁰C. Pemeliharaan ikan uji dilakukan selama 21 hari, selama pemeliharaan
ikan diberi pakan komersil tiga kali sehari (ad libitum). Kisaran suhu yang dapat
menimbulkan stress pada ikan pada tahap pertama dijadikan dasar untuk
penelitian tahap kedua. 2). Penelitian tahap kedua adalah untuk melihat patogenitas ich pada ikan yang dipelihara pada suhu 20, 24, dan 28⁰C. Ikan uji
berukuran 5-7 cm, dengan bobot 6.0±1.65 g, juga dipelihara dalam akuarium
berukuran 60x40x35 cm³, dengan kepadatan satu ekorL-1. Ikan diinfeksi dengan
ich stadia theront selama 30 menit, dengan cara merendam ikan tersebut dalam
wadah yang berisi sel theront sebanyak 5.000 selL-1, selama penginfeksian tetap


diberi aerasi. Selanjutnya dipelihara selama 1 minggu, selama pemeliharaan ikan
tetap diberi pakan komersil tiga kali sehari (ad libitum). 3). Penelitian tahap ketiga adalah berupa pencegahan terhadap serangan penyakit Ichthyophthiriasis,
dengan cara pemberian vaksin ich stadia theront yang telah diinaktifkan pada suhu
47⁰C selama 30 menit. Pemberian vaksin pada ikan uji dengan cara perendaman
selama 15 menit, dosis tiga mLL-1 (kepadatan sel theront 8.000 selMl-1 vaksin),
untuk melihat kemanjuran dari vaksin dilakukan uji tantang pada hari ke-15
pascaimunisasi dengan dosis 5.000 sel/ikan. Perubahan fisiologis ikan uji dari
setiap tahap penelitian, seperti kadar kortisol diukur dengan metode RIA kit
(CORTISOL[125]) IZOTOP, kadar glukosa dengan metode enzimatis colorimetric
kit Glucose liquicolor GOD-PAP, nilai osmolaritas diukur dengan OSMOTAT
030. Untuk melihat perubahan gambaran darah, seperti kadar hemoglobin diukur
dengan metode Cyanmethemoglobin, nilai hematokrit, total eritrosit, dan total
leukosit dengan cara pemeriksaan darah rutin. Parameter tambahan pada tahap
kedua dan ketiga adalah menghitung tingkat prevalensi ich pada ikan, gambaran
jaringan insang dianalisis melalui preparat histologis yang diwarnai dengan
Hematoksilin dan Eosin. Pada tahap ketiga dilakukan uji immobilisasi untuk
mengetahui titer antibodi.
Temuan hasil penelitian pada tahap pertama adalah sebagai berikut:
perubahan nilai fisiologis dan hematologis ikan mas selama pengamatan secara
keseluruhan mengalami penurunan seiring dengan lamanya waktu pemeliharaan

dan meningkatnya suhu media pemeliharaan. Pada penelitian ini, ikan yang
dipelihara pada suhu 20 dan 24⁰C mengalami stres yang ditandai dengan tingginya kadar kortisol dan glukosa. Sintasan yang dihasilkan berkisar antara 87100%, sintasan tertinggi didapatkan pada suhu 32⁰C.
Hasil penelitian pada tahap kedua menunjukkan bahwa ikan mas yang
diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu 20⁰C mengalami stres berat, yang
ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar kortisol, kadar glukosa, penurunan
persentase limfosit, dan terjadinya kerusakan insang pada hari ke-3. Tingginya
patogenitas ich pada suhu rendah terlihat dari tingginya angka prevalensi pada
suhu 20⁰C, yaitu sebesar 62.77±5.17%. Kesemua ini mempengaruhi angka sintasan. Sintasan terendah didapatkan dari ikan yang dipelihara pada suhu 20⁰C,
yakni sebesar 58.11±2.16%.
Hasil penelitian pada tahap ketiga menunjukkan bahwa kadar kartisol
mengalami penurunan hingga mendekati nilai normal sampai hari ke-14 dan
kembali meningkat sebesar 20.35% pada hari ke-21 setelah dilakukan uji tantang.
Pada suhu rendah, titer antibodi lebih lama terbentuk dan titernya juga lebih
rendah dibandingkan dengan ikan yang dipelihara pada suhu hangat atau mendekati suhu optimum. Tingkat prevalensi ich tertinggi didapatkan pada suhu
media pemeliharaan 20⁰C, yakni sebesar 80.03±0.00%. Selanjutnya efektivitas
pemberian vaksin terlihat dari hasil sintasan ikan uji setelah dilakukan uji tantang,
didapatkan hasil bahwa semakin tinggi suhu media pemeliharaan maka sintasan
yang dihasilkan semakin tinggi. Sintasan tertinggi diperoleh pada suhu 28⁰C,
adalah sebesar 100% dan terendah pada suhu 18⁰C, yakni sebesar 69.9±1.48%.
Kata kunci: Cyprinus carpio L, fisiologis, Ichthyophthirius multifiliis, suhu.


© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB

 

EFEKTIVITAS PEMBERIAN VAKSIN Ichthyophthirius
multifiliis TERHADAP IKAN MAS (Cyprinus carpio L) PADA
SUHU MEDIA PEMELIHARAAN YANG BERBEDA

HENNI SYAWAL


Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Drh. Damiana Rita Ekastuti, MS
(Departemen AFF-FKH IPB)

2. Dr. MuntiYuhana, S.Pi. M.Si.
(Departemen Budidaya Perairan FPIK-IPB)

Penguji pada Ujian Terbuka:
1. Dr. Drh. Angela Mariana Lusiastuti, M.Si
(Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar, KKP)
2. Dr. Ir. Sukenda, M.Sc

(Departemen Budidaya Perairan FPIK-IPB)

 

PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas
segala karunia Nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat
diselesaikan dengan judul: Efektivitas Pemberian Vaksin Ichthyophthirius
multifiliis terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio L) pada Suhu Media Pemeliharaan
yang Berbeda.
Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada Dr. Dra. Nastiti Kusomorini, Prof. Ir. Wasmen Manalu, PhD dan
Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA selaku komisi pembimbing yang telah banyak
mem-berikan bimbingan dan arahan, mulai dari penyusunan proposal,
pelaksanaan penelitian dengan segala kemudahan fasilitas laboratorium baik di
lingkungan FKH maupun FPIK IPB, hingga penulisan disertasi. Terima kasih
penulis sampaikan pada Dr. Munti Yuhana, SPi. MSi dan Dr. Drh. Damiana Rita
Ekastuti, MS yang telah ber-sedia sebagai penguji luar komisi pada sidang
tertutup.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada

Ayahanda Syawal Hassan, Ibunda (Almh. Nurliam, M), Etek Yulinar, M dan
keluarga, Ayahanda Yuliar dan ibunda Yunidar (mertua), Kakanda Yunisda dan
keluarga, adik-adik beserta adik ipar semua, yang selama ini telah banyak
memberikan motivasi dan doa buat keberhasilan penulis dalam menyelesaikan
studi program doktor.
Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada suami tercinta Drs.
Yufrizal, MSi, dan anak-anakku tersayang (Mohd. Syahrizal SPt, RH. Fitri
Faradilla, STp, dan M. Putra Wibowo) yang selama ini sudah banyak berkorban
dengan penuh keikhlasan dalam memberikan dukungan demi keberhasilan penulis
meraih gelar akademis tertinggi.
Terima kasih kepada pihak berwenang di Kementrian Pendidikan dan
Nasional yang telah memberikan bantuan beasiswa BPPS Dikti dan dana
penelitian melalui Hibah Bersaing tahun 2010 dan 2011. Terima kasih juga
kepada Pimpinan dan rekan-rekan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Riau, Lembaga Penelitian Universitas Riau, dan semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam masa
studi, penelitian, dan penulisan disertasi hingga selesai.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para teknisi/laboran
di lingkungan Fakultas Kedokteran Hewan (Bu Ida, Bu Sri, Mba Esti, dan Shelin).
Selanjutnya Bpk. Ranta, Ruslan, dan Mba Tina di Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan IPB yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat terlaksana
dengan baik. Selanjutnya ucapan terima kasih juga penulis sampaikan buat temanteman di Mayor IFO (S-2 dan S-3) angkatan 2007-2011, khususnya Bpk. Sunarno,
Mba Hernawati, Mba Syafrida, dan Bpk. Adri Jems terima kasih atas segala
bantuan dan diskusinya selama ini, teman-teman di Mayor AKU 2007 khususnya
(Mba Ilmiah, Mba Yulintine, Mba Hesti, dan Pak Usman), Mayor PSL 2007 (Dr.

Saida, Dr. Elida Novita, dan Pak Fuad) serta teman-teman di Mayor IKL 2007
(Mba Isni, Bpk. Efrieldi, dan Bpk. Supriadi) terima kasih atas kebersamaan,
diskusi dan motivasinya. Terima kasih juga buat Dr. Ernawati Yunizar, Dr. Hera
Maheswari, Dr. Aryani Sismin, Dr. Anita Esfandiari, dan Dr. Susderthi yang
selalu meluangkan waktu buat penulis untuk berdiskusi.
Semoga Allah SWT yang maha luas kasih sayang-Nya membalas semua
kebaikan itu dengan keselamatan, kesehatan, dan keberkahan hidup yang berlipat
ganda. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang perikanan dan berguna bagi yang memerlukan,…… Amin.

Bogor, Juni 2012
Henni Syawal

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lirik (Indragiri Hulu-Riau) pada tanggal 12 Maret 1962, anak
pertama dari tujuh bersaudara pasangan berbahagia Syawal Hasan dan Almh. Nurliam
Mahmud. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau, lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1989
diterima sebagai dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau. Pada
tahun 1994, penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan S-2 di Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor pada Program Studi Sains Veteriner, lulus pada tahun 1998. Pada tahun
2007, kembali melanjutkan pendidikan S-3, dan diterima pada Mayor Ilmu-ilmu Faal dan
Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, dengan mendapatkan
beasiswa dari Badan Penyelenggara Program Pendidikan Pascasarjana (BPPS), Departemen
Pendidikan Nasional. Selain itu penulis juga mendapatkan dana bantuan penelitian melalui
Program Hibah Bersaing dari DP2M DIKTI pada tahun 2010 dan 2011.
Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Universitas Riau, dari tahun 1989 sampai sekarang. Bidang studi yang
diajarkan adalah Parasit dan Penyakit Ikan dan Avertebrata Air.
Selama mengikuti program S-3, penulis telah menulis beberapa karya ilmiah antara
lain, berjudul “Imunisasi Ikan Jambal Siam dengan Vaksin Ichthyophthirius multifiliis”
yang diterbitkan pada Jurnal Veteriner. Jurnal Kedokteran Hewan Indonesia 2010.11(3).
“Respons Fisiologis Ikan Jambal Siam (Pangasius hypopthalamus) pada Suhu Media
Pemeliharaan yang Berbeda” diterbitkan pada Berkala Perikanan Terubuk 39 (1) Feb 2011.
ISSN. Kedua tulisan ini merupakan penelitian pendahuluan untuk disertasi, yang didanai
oleh DP2M DIKTI melalui proyek penelitian Hibah Bersaing tahun 2007 dan 2008. Karya
ilmiah selanjutnya merupakan bagian dari disertasi dengan judul “Respons Fisiologis dan
Hematologis Ikan Mas (Cyprinus carpio L) pada Suhu Media Pemeliharaan yang Berbeda”
yang dipublikasikan pada Jurnal Iktiologi Indonesia, vol 12 no 1 (Juni 2012).

 

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL

xv

DAFTAR GAMBAR

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

xviii

PENDAHULUAN
1
2
3
3
4
4

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaruan
Kerangka Berpikir
TINJAUAN PUSTAKA
Adaptasi Ikan terhadap Lingkungan
Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Ikan
Faktor Fisika
Faktor Kimia
Faktor Biologi
Respons Ikan terhadap Suhu
Sistem Kekebalan pada Ikan
Sistem Kekebalan Nonspesifik
Sistem Kekebalan Spesifik (humoral)
Hematologi
Morfologi dan Siklus Hidup Ichthyophthirius multifiliis
Patogenitas Ichthyophthirius multifiliis
Vaksinasi
Metode Pemberian Vaksin
Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Vaksinasi
Klasifikasi dan Habitat Ikan Mas (Cyprinus carpio L)

5
5
6
7
8
9
13
13
14
16
18
20
21
21
23
24

RESPONS FISIOLOGIS DAN HEMATOLOGIS IKAN
MAS (Cyprinus carpio L) PADA SUHU MEDIA
PEMELIHARAAN YANG BERBEDA
27
27
28
30
36
40
40

Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan
Kesimpulan
Daftar Pustaka

xiii

RESPONS STRES IKAN MAS (Cyprinus carpio L)
AKIBAT DIINFEKSI Ichthyophthirius multifiliis PADA
SUHU MEDIA PEMELIHARAAN YANG BERBEDA
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan
Kesimpulan
Daftar Pustaka

45
45
47
49
60
64
64

RESPONS STRES IKAN MAS (Cyprinus carpio L) AKIBAT
PEMBERIAN VAKSIN Ichthyophthirius multifiliis PADA SUHU
MEDIA PEMELIHARAAN YANG BERBEDA
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan
Kesimpulan
Daftar Pustaka

67
67
68
72
83
87
87

PEMBAHASAN UMUM

91

KESIMPULAN DAN SARAN

95

DAFTAR PUSTAKA

97

LAMPIRAN

109

xiv

DAFTAR TABEL
Halaman
1.

Rataan nilai parameter fisiologis ikan mas yang dipelihara pada
suhu media yang berbeda

31

Rataan nilai hematologis ikan mas yang dipelihara pada suhu
media yang berbeda

33

3.

Rata-rata kualitas air dari setiap perlakuan selama pengamatan

36

4.

Rataan nilai gambaran darah ikan mas yang diinfeksi dengan ich
dan dipelihara pada suhu yang berbeda

50

Persentase nilai diferensiasi sel leukosit ikan mas yang diinfeksi
dengan ich dan dipelihara pada suhu yang berbeda

54

Rataan kadar kortisol dan glukosa ikan mas yang diinfeksi dengan
ich dan dipelihara pada suhu yang berbeda

56

Nilai osmolaritas ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara
pada suhu yang berbeda

57

Rataan persentase prevalensi ich dan sintasan ikan mas yang diinfeksi
dengan ich dan dipelihara pada suhu yang berbeda

60

Nilai parameter hematologis ikan mas yang diberi vaksin ich

68

10. Persentase nilai diferensiasi sel leukosit ikan mas yang diberi
vaksin ich

73

11. Kadar kortisol dan kadar glukosa ikan mas yang diberi vaksin ich

76

12. Rataan nilai osmolaritas plasma ikan mas yang diberi vaksin ich

80

13. Hasil uji imobilisasi pada serum ikan mas yang diberi vaksin ich

81

14. Persentase prevalensi dan sintasan ikan mas yang diberi vaksin

82

2.

5.
6.
7.
8.
9.

xv

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.

Kerangka berpikir penelitian

4

2.

Interaksi ikan dengan faktor fisika, kimia, dan biologi

6

3.

Mekanisme peningkatan kadar kortisol dalam darah

10

4.

Mekanisme peningkatan kadar glukosa plasma

11

5.

Mekanisme kortisol menghambat pembentukan antibody

12

6.

Perlindungan nonspesifik dan spesifik dari serangan agen infeksius

15

7.

Proses pembentukan antibodi

16

8.

Interaksi antara makrofag, antigen, dan limfosit pada ikan

16

9.

Siklus hidup Ichthyophthirius multifiliis

19

10. Kadar kortisol ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu media pemeliharaan yang berbeda

31

11. Kadar glukosa ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu
media pemeliharaan yang berbeda

32

12. Kadar hemoglobin ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu
media pemeliharaan yang berbeda

33

13. Kadar hematokrit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu
media pemeliharaan yang berbeda

33

14. Total eritrosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu
media pemeliharaan yang berbeda

35

15. Rataan total leukosit ikan mas yang dipelihara pada suhu
media yang berbeda

35

16. Persentase sintasan ikan mas pada akhir pengamatan

36

17. Kadar hemoglobin ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich

50

18. Nilai hematokrit ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich

51

19. Total eritrosit ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich

52

20. Total leukosit ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich

53

21. Persenase limfosit ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich

54

22. Persentase monosit ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich

55

xvi

23. Persentase neutrofil ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich

55

24. Kadar kortisol ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich

56

25. Kadar osmolaritas ikan mas hasil interaksi pada level hari
pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich

58

26. Preparat histologis insang ikan mas 72 jam pascainfeksi

59

27. Kadar hemoglobin ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich

73

28. Nilai hematokrit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich

74

29. Total eritrosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich

74

30. Total leukosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich

75

31. Nilai limfosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich

76

32. Nilai monosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich

77

33. Nilai neutrofil ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich

78

34. Kadar kortisol ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich

79

35. Kadar glukosa ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich

80

36. Nilai osmolaritas ikan mas hasil interaksi pada level hari dan
suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich

xvii

81

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.

Gejala ikan terinfeksi Ichthyophthirius multifiliis dan ciri-ciri

2.

Ichthyophthirius multifiliis

109

3.

Menghitung kepadatan sel theront dari Ichthyophthirius multifiliis

109

4.

Histopatologi insang ikan mas akibat diinfeksi dengan Ich

110

5.

Prosedur pembuatan vaksin ich dan uji viabilitas terhadap sel theront

111

6.

Prosedur uji imobilisasi

112

7.

Analisis ragam kadar kortisol ikan mas yang dipelihara pada
suhu media yang berbeda

113

Analisis ragam kadar glukosa ikan mas yang dipelihara pada
suhu media yang berbeda

114

Analisis ragam nilai hematokrit ikan mas yang dipelihara pada
suhu media yang berbeda

115

8.
9.

10. Analisis ragam kadar hemoglobin ikan mas yang dipelihara
pada suhu media yang berbeda

116

11. Analisis ragam total eritrosit ikan mas yang dipelihara pada
suhu media yang berbeda

117

12. Analisis ragam total leukosit ikan mas yang dipelihara pada
suhu media yang berbeda

118

13. Analisis ragam kadar hemoglobin ikan mas yang diinfeksi
dengan ich

119

14. Analisis ragam nilai hematokrit ikan mas yang diinfeksi
dengan ich

120

15. Analisis ragam total eritrosit ikan mas yang diinfeksi
dengan ich

120

16. Analisis ragam total leukosit ikan mas yang diinfeksi
dengan ich

121

17. Analisis ragam nilai limfosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich

121

18. Analisis ragam nilai monosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich

122

19. Analisis ragam nilai neuterofil ikan mas yang diinfeksidengan ich

122

20. Analisis ragam kadar kortisol ikan mas yang diinfeksi dengan ich

123

21. Analisis ragam kadar glukosa ikan mas yang diinfeksi dengan ich

123

22. Analisis ragam untuk nilai osmolaritas ikan mas yang
diinfeksi dengan ich

124

xviii

23. Analisis ragam prevalensi ikan mas yang diinfeksi dengan ich

124

24. Analisis ragam sintasan ikan mas yang diinfeksi dengan ich

124

25. Analisis ragam nilai hematokrit ikan mas yang diberi vaksin dan
diuji tantang dengan ich

125

26. Analisis ragam kadar hemoglobin ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich

126

27. Analisis ragam total eritrosit ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich

126

28. Analisis ragam total leukosit ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich

127

29. Analisis ragam nilai limfosit ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich

128

30. Analisis ragam nilai monosit ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich

129

31. Analisis ragam nilai neuterofil ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich

129

32. Analisis ragam kadar kortisol ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich

130

33. Analisis ragam kadar glukosa ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich

130

34. Analisis ragam nilai osmolaritas ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich

131

35. Analisis ragam prevalensi ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich

131

36. Analisis ragam sintasan ikan mas yang diberi vaksin
dan diuji tantang dengan ich

131

xix

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha budi daya ikan mas telah banyak dilakukan masyarakat secara
intensif, baik yang dipelihara di kolam, keramba, maupun jaring apung. Usaha
intensif ini biasanya dilakukan dengan kepadatan tinggi dan pemberian pakan
yang maksimal agar ikan tumbuh dengan cepat. Namun, usaha ini sering juga
mengalami kegagalan karena adanya serangan penyakit. Kegagalan akibat
penyakit ini bisa mencapai 30-90%, bahkan dapat mencapai 100% apabila kondisi
lingkungan ekstrim dan adanya mikroorganisme patogen di perairan (Supriyadi
dan Komaruddin 2003).
Kendala utama dalam pengembangan usaha budi daya ikan air tawar
adalah penyediaan benih yang masih terbatas, baik kualitas maupun kuantitas.
Salah satu penyebab timbulnya kendala tersebut adalah karena tingginya angka
kematian pada saat masih berukuran benih. Angka kematian atau mortalitas bisa
mencapai 80–100% yang disebabkan oleh serangan parasit, bakteri, virus, dan
jamur (Nigrelli et al. 1976). Salah satu penyakit yang kerap menyerang adalah
Ichthyophthiriasis atau “White Spot”. Penyakit ini

disebabkan oleh parasit

golongan protozoa (Ichthyophthirius multifiliis). Parasit ini menyerang organ ikan
bagian luar, seperti kulit, sirip, insang, dan mata, yang akibatnya

dapat

menimbulkan kematian pada ikan peliharaan, terutama yang masih berukuran
benih, dengan laju kematian mencapai 100% dalam waktu relatif singkat
(Matthews 2005).
Keberadaan parasit ich di perairan akan lebih mudah penyebarannya
apabila diikuti oleh padat penebaran yang tinggi, sedangkan faktor lingkungan
yang sangat berpengaruh pada perkembangan parasit ich adalah suhu. Suhu
merupakan faktor pengontrol di perairan karena dapat mempengaruhi siklus hidup
dan ukuran parasit ich, selain itu juga mempengaruhi kadar oksigen terlarut dan
NH3 di dalam air.
Pengendalian penyakit ichthyophthiriasis ini sudah dilakukan dengan
menggunakan bahan kimia, namun cara ini tidak efektif apabila ich telah
melakukan penetrasi ke kulit dan insang. Selain itu, bahan tersebut tidak dapat
membunuh semua stadia ich, dan dampak lain akibat penggunaan bahan kimia

2

adalah tercemari lingkungan dan produk makanan (Xu et al. 2007). Kesulitan
dalam mengatasi penyakit tersebut dikarenakan siklus hidup ich sangat
dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan pemeliharaan. Selain pengendalian
suhu, usaha lain untuk mengatasi hal tersebut di atas adalah melakukan
pencegahan dengan cara pemberian vaksin ich.
Suhu merupakan salah satu faktor penyebab stres pada ikan. Perubahan
suhu pada media pemeliharaan akan sangat berpengaruh pada semua proses
fisiologis ikan, seperti laju pernapasan, metabolisme, denyut jantung, dan sirkulasi
darah di dalam tubuh (Nofrizal et al. 2009). Ikan yang mengalami stres akan
menunjukkan peningkatkan sekresi katekolamin dan kortisol (Berne dan Levy
1988). Kedua hormon tersebut pada kadar yang tinggi akan berpengaruh negatif
pada sistem imunitas ikan. Hal ini disebabkan karena meningkatnya kortisol
dalam plasma akan menurunkan aktivitas sel-sel leukosit. Akibatnya, kekebalan
ikan akan menurun sehingga rentan terinfeksi oleh bakteri, virus, parasit, dan
jamur. Dengan demikian, infeksi dapat menimbulkan kematian dalam jumlah
yang banyak.
Perumusan Masalah
Kondisi lingkungan pada kegiatan budi daya intensif sering bermasalah
karena luasan wadah yang digunakan terbatas, kepadatan ikan dalam wadah
pemeliharaan tinggi, dan pemberian pakan yang banyak. Dengan demikian,
banyak dihasilkan sisa pakan yang tidak termanfaatkan dan feses ikan yang
kemudian menumpuk di dasar perairan. Kondisi ini akan memicu penurunan
kualitas air, dan sebagai akibatnya dapat meningkatkan populasi mikroorganisme
patogen yang sebetulnya juga sudah ada di perairan tersebut. Akibat kondisi
perairan yang buruk ini, ikan akan mengalami stres dan kondisi fisiologisnya
terganggu sehingga

memicu terjadinya penurunan fungsi kekebalan tubuh.

Dengan demikian, ikan mudah terinfeksi oleh mikroorganisme patogen, seperti
parasit, bakteri, jamur, dan virus. Akibatnya, angka mortalitas ikan menjadi tinggi,
terutama pada saat ikan masih di kolam pendederan atau saat awal pemeliharaan
di kolam pembesaran. Kematian umumnya disebabkan oleh kegagalan ikan
beradaptasi dengan lingkungan.

3

Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu dicari suatu alternatif untuk
pencegahan agar usaha budi daya intensif tetap berhasil. Pemberian vaksin pada
ikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kekebalan ikan terhadap
suatu penyakit. Dengan demikian, angka sintasan dapat ditingkatkan dan pada
akhirnya produksi dapat meningkat.
Penelitian tentang penyakit Ichthyophthiriasis yang disebabkan oleh
parasit Ichthyophthirius multifiliis di Indonesia jarang sekali dilakukan. Sejauh ini
penelitian-penelitian lebih banyak mengkaji tentang patogenitas dan cara pencegahan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus yang biasa menyerang
ikan, sedangkan tentang parasit sangat jarang dilakukan. Penelitian ini tidak hanya
mengkaji patogenitas I. multifiliis, pencegahan dengan pemberian vaksin, tetapi
juga mengkaji kondisi fisiologis ikan akibat patogenitas I. multifiliis dan
pemberian vaksin serta pengaruh suhu media pemeliharaan yang berbeda.
Suhu perairan sangat mempengaruhi kondisi fisiologis ikan dan siklus
hidup

parasit ich. Suhu dapat menimbulkan stres pada ikan dan juga dapat

mempengaruhi sistem kekebalan sehingga ikan rentan terhadap serangan ich.
Pengaturan suhu media pemeliharaan dan pemberian vaksin dapat memperbaiki
kualitas hidup ikan. Salah satu keberhasilan dalam pemberian vaksin ke ikan
juga sangat ditentukan oleh suhu lingkungan.
Tujuan Penelitian
1. Mengkaji respons stres pada ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang
berbeda
2. Mengkaji respons stres pada ikan mas yang diinfeksi dengan Ich
thyophthirius multifiliis dan dipelihara pada suhu media yang berbeda
3. Mengkaji respons stres pada ikan mas akibat diberi vaksin I. multifiliis dan
dipelihara pada suhu media yang berbeda

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai dasar untuk pengembangan pembuatan vaksin yang berasal dari Ichthyophthirius multifiliis.

4

Kebaruan (Novelty)
Penggunaan stadia theront sebagai vaksin dari Ichthyophthirius multifiliis
yang diinaktifkan dapat mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh I.
multifiliis.
Kerangka Berpikir Penelitian
Faktor lingkungan perairan, seperti suhu, tidak hanya berpengaruh pada
kehidupan ikan, tetapi juga berpengaruh pada siklus hidup dan patogenitas I.
multifiliis. Pada suhu tinggi, kandungan oksigen terlarut rendah sehingga dapat
menimbulkan kondisi hipoksia dan akibatnya ikan akan kekurangan energi.
Demikian juga pada suhu rendah, proses metabolisme juga tidak dapat
berlangsung dengan baik sehingga ikan menjadi lemah dan mudah terinfeksi.
Siklus hidup I. multifiliis pada suhu rendah lebih lama dan patogenitasnya juga
tinggi. Untuk lebih jelasnya tentang kerangka berpikir penelitian ini disajikan
dalam bentuk bagan alir (Gambar 1).

KADAR OKSIGEN
TERLARUT

ERITROPOIESIS

HIPOKSIA

Optimum
Laju pencernaan

SUHU MEDIA

Tk.
Kekosongan
lambung

Derajat
lapar

Tingkat
konsumsi
pakan

PARASIT
I.multifiliis

IKAN
STRES

Kortisol
Kortisol

Respons imun

Respons imun

VAKSIN I. multifiliis
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian

-

+

_

 Pertumbuhan

+

 Sintasan

5

TINJAUAN PUSTAKA

Adaptasi Ikan terhadap Lingkungan
Ikan telah berevolusi sehingga cara beradaptasi dengan lingkungan
berbeda dari hewan teresterial. Adanya sisik, sirip, dan lendir (mukus) pada
permukaan tubuh dapat melindungi ikan dari gangguan eksternal. Ikan memiliki
6-8 sirip, dengan adanya sirip-sirip ini akan memudahkan ikan bergerak maju dan
mundur. Karena air memiliki kepadatan molekul yang tinggi, yaitu 800 kali lebih
padat dibandingkan udara, maka ikan memerlukan sejumlah besar kekuatan otot.
Sisik yang ada melekat erat pada kulit dan ditutupi lendir berfungsi untuk
melindungi kulit dari cedera dan infeksi. Ikan-ikan yang tidak bersisik telah
berevolusi dengan tanpa sisik, tetapi memiliki duri tajam di beberapa bagian sirip,
yang berfungsi untuk melindungi diri dari predator. Adanya lendir di atas sisik
sangat efektif untuk menghambat pelekatan dan melumpuhkan serangan
mikroorganisme patogen, mengurangi gesekan, dan memudahkan pergerakan.
Suhu pada lingkungan akuatik relatif stabil sehingga hewan yang hidup di
dalamnya tidak mengalami permasalahan yang serius terhadap perubahan suhu
lingkungan. Pelepasan panas dari tubuh ikan terutama melalui insang. Kelebihan
panas pada hewan akuatik akan diserap oleh air sehingga suhu tubuh ikan akan
stabil dan relatif sama dengan suhu air di sekitarnya. Pada hewan teresterial, suhu
tubuh selalu berubah dengan variasi cukup besar. Cara

hewan teresterial

mengatur suhu tubuhnya yaitu dengan cara konduksi, konveksi, radiasi, dan
evaporasi (Hoar 1984).
Suhu dapat mempengaruhi proses fisiologis dan biokimia pada beberapa
hewan, termasuk ikan. Pengaruh suhu tersebut, antara lain mempengaruhi asupan
makanan, laju metabolisme, proses enzim, fungsi membran, dan sintesis protein
(Wedemeyer 1996). Selanjutnya dilaporkan bahwa perubahan suhu dalam waktu
yang lama, baik terhadap suhu rendah atau tinggi, dapat mempengaruhi kondisi
fisiologis dan biokimia dan secara umum proses ini dinamakan aklimatisasi suhu.
Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Ikan
Perubahan faktor lingkungan harus direspons oleh ikan. Respons ikan
terhadap perubahan lingkungan ini pada dasarnya adalah dalam upaya untuk

6

mempertahankan hidupnya, termasuk di dalamnya agar dapat tumbuh dan
berkembang biak. Faktor lingkungan dapat mempengaruhi kesehatan dan kondisi
fisiologis ikan. Faktor lingkungan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga
faktor, yaitu faktor fisika, kimia, dan biologi. Interaksi antara ketiga faktor
lingkungan tersebut diilustrasikan pada Gambar 2 (Wedemeyer 1996).
Faktor kimia (kualitas air)
- Kandungan oksigen
- Toksin metabolit (NH3, CO2)

Faktor biologi
- Mikroorganisme patogen dan
nonpatogen

Faktor Fisika
- Suhu
- Kepadatan
- Cahaya

Gambar 2. Interaksi ikan dengan faktor fisika, kimia, dan biologi (Wedemeyer 1996)

Faktor Fisika
Suhu perairan mempunyai kaitan yang cukup erat dengan besarnya
intensitas cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan. Besarnya intensitas cahaya
akan menentukan derajat panas, yakni semakin banyak sinar matahari yang masuk
maka semakin tinggi suhu air. Namun, semakin bertambahnya kedalaman air
maka akan menurun suhu perairan. Suhu yang terdeteksi di permukaan air
dipengaruhi oleh keadaan meteorologi, seperti curah hujan, penguapan,
kelembaban udara, kecepatan angin, dan intensitas cahaya matahari (Nontji 1984

7

dalam Purnamawati 2009). Kedalaman perairan merupakan parameter penting
untuk kelayakan luasan wadah usaha budi daya ikan. Hal ini juga terkait dengan
kualitas air, seperti suhu, kecerahan, dan kecepatan arus.
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat menimbulkan
stres pada ikan. Stres adalah ketidak mampuan suatu organisme mempertahankan
kondisi homeostasis akibat terganggunya individu tersebut oleh adanya rangsangan dari luar yang dinamai dengan stresor (Kubilay dan Ulukoy 2002). Suhu
juga dapat mempengaruhi daya tahan berenang ikan dan denyut jantung ikan
Trachurus japonicus, yaitu 25.3 denyut per menit pada suhu 10°C, 38.9 pada suhu
15°C, dan 67.2 denyut per menit pada suhu 22°C. Denyut jantung juga meningkat
dengan meningkatnya kecepatan renang ikan (Nofrizal et al. 2009).
Kepadatan atau padat tebar yang tinggi di suatu wadah pemeliharaan ikan
dapat mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut, terjadinya akumulasi
ammonia yang berasal dari sisa metabolisme, dan banyaknya feses yang
menumpuk. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas air, dan berdampak
buruk pada ikan yang ditandai dengan tingginya kadar kortisol dan kadar glukosa
pada ikan (Ortuno et al. 2002). Kepadatan adalah salah satu penyebab stres pada
ikan tilapia dan terjadi peningkatan kadar glukosa setelah 2 jam pengurungan
yang ditandai dengan terjadinya proses glikogenolisis.
Faktor Kimia
Ikan memerlukan energi untuk melakukan aktivitas, seperti berenang,
pertumbuhan, dan reproduksi. Kebutuhan ikan akan oksigen bergantung pada laju
metabolisme, dan pada dasarnya terkait dengan suhu air dan ukuran ikan. Ikan di
air hangat lebih banyak membutuhkan oksigen dibandingkan ikan di air dingin.
Konsumsi oksigen pada ikan kecil lebih banyak per unit bobot badan
dibandingkan ikan besar (Wedemeyer 2001).
Proses pengambilan oksigen dan pelepasan karbon dioksida dinamakan
respirasi. Masuknya oksigen melalui insang dengan cara memompakan air terus
menerus, menyebabkan terjadinya pergerakan oksigen ke dalam pembuluh kapiler
darah insang yang jumlahnya ribuan. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan oksigen (PO2) di dalam insang lebih besar dari pada PO2 di

8

pembuluh darah kapiler, sehingga oksigen akan berdifusi ke pembuluh darah
kapiler. Apabila oksigen telah berdifusi dalam darah maka akan berikatan dengan
Fe++ yang terkandung dalam hemoglobin. Hemoglobin bertanggung jawab untuk
mengatur PO2 di dalam jaringan. Tekanan oksigen di dalam kapiler jaringan tidak
lebih dari 40 mmHg. Apabila PO2 lebih tinggi dari 40 mmHg, oksigen yang
diperlukan oleh jaringan tidak dapat ke luar dari hemoglobin (Fujaya 2004).
Pengikatan oksigen oleh hemoglobin di dalam darah, kemudian dibawa ke
jaringan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti suhu (Nielsen 1997).
Konsentrasi oksigen dalam air dipengaruhi oleh laju difusi dari udara,
fotosintesis oleh tumbuhan air, dan respirasi organisme perairan. Jika fitoplankton
di perairan melimpah, konsentrasi oksigen akan tinggi hingga sore hari.
Konsentrasi

oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis berlangsung pada

siang hari dengan bantuan cahaya matahari. Pada malam hari, konsumsi oksigen
meningkat, karena semua organisme hidup memanfaatkan oksigen untuk respirasi
akibatnya pada pagi hari konsentrasi oksigen rendah (Tucker 1993). Kelarutan
oksigen dalam air menurun dengan meningkatnya suhu dan salinitas. Ketersediaan
oksigen di perairan sering menjadi faktor pengontrol dalam kehidupan ikan. Ikan
yang mengalami kekurangan oksigen atau dalam kondisi hipoksia akan
mengalami penurunan nafsu makan, energi yang dihasilkan

sedikit sehingga

pergerakan juga lambat (Randall et al. 2004).
Banyak permasalahan pada kegiatan budi daya intensif baik langsung
maupun tidak langsung, pada perubahan patofisiologi darah dan sistem
sirkulasinya. Sebagai contoh, insang yang terinfeksi parasit dapat berakibat
terjadinya penyempitan kapiler dan kerusakan struktur anatomi lamella sekunder
insang, akibatnya terjadi gangguan pernapasan. Apabila ikan dalam kondisi stres
akibat penanganan, maka produksi epinefrin dapat meningkatkan sirkulasi darah
ke insang sehingga terjadi peningkatan pengambilan oksigen dari air (Wedemeyer
1996).
Faktor Biologi
Interaksi antara ikan dan organisme lain di dalam lingkungan wadah
pemeliharaan harus dapat dikendalikan, terutama terhadap agen yang dapat
menimbulkan penyakit. Agen ini biasanya bisa berasal dari sumber air, atau dari

9

pakan alami, seperti cacing tubifex. Faktor lain yang juga dapat mengganggu
kenyamanan ikan adalah pemangsa, seperti adanya burung pemakan ikan.
Pemangsa ini dapat membantu penyebaran penyakit ke dalam perairan (Woo et al.
2002).
Kondisi lingkungan perairan yang subur karena terjadinya ledakan
populasi alga (algae bloom), dapat berdampak buruk pada usaha budi daya. Pada
umumnya algae bloom hanya melibatkan spesies tunggal dan sering dinamai
berdasarkan warna koloni algae penyebabnya.

Alga Microcystis (bluegreen

algae) adalah alga air tawar yang dapat menimbulkan gangguan pada ikan dan
hewan perairan, karena dapat menurunkan kadar oksigen di perairan dan toksin
yang dihasilkan alga tersebut dapat mengganggu pernapasan (Irianto 2005).
Respons Ikan terhadap Suhu
Respons stres pada ikan secara umum dapat dikategorikan ke dalam tiga
kelompok, yaitu respons stres primer, sekunder, dan tersier (Iwama dan Nakanishi
1996). Respons stres primer ditandai dengan pelepasan hormon katekolamin dan
kortisol ke dalam sirkulasi sehingga kadar kortisol di dalam plasma meningkat
dan merupakan indikator utama stres. Hormon katekolamin berasal dari jaringan
chromaffin, sedangkan kortisol berasal dari jaringan interrenal. Respons stres
sekunder sering juga dikatakan sebagai efek metabolik yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa plasma. Respons stres tersier adalah apabila ikan
tidak mampu untuk melakukan aklimasi atau beradaptasi terhadap stressor, maka
ikan akan mengalami gangguan pertumbuhan dan reproduksi. Mekanisme
peningkatan kadar kortisol diilustrasikan pada Gambar 3 dan kadar glukosa
plasma Gambar 4.

10

Gambar 3. Mekanisme peningkatan kadar kortisol dalam darah (Molina 2010)

11

STRESOR

HIPOTHALAMUS

HIPOFISIS
CRF

ACTH

Jaringan cromaffin
Jaringan interrenal
Kortek adrenal
Medula adrenal
Kortikostreoid
Kortisol Plasma

Katekolamin
Adrenalin dan Noradrenalin

Glukoneogenesis

Glikogenolisis

Glukosa Plasma
Keterangan: ACTH = Adrenocorticosteroid
CRF= Corticotrophin releasing factor

Gambar 4. Mekanisme peningkatan kadar glukosa plasma
(Isnaeni 2006: Purbayanto et al. 2010)
Kadar kortisol yang tinggi dapat mempengaruhi respons imun, yang ditandai dengan menurunnya aktivitas fagositik leukosit, meningkatnya pelepasan
neutrofil dari sumsum tulang, namun efektivitasnya menurun (Berne dan Levy
1988). Selanjutnya juga dikatakan bahwa kortisol menghambat produksi interleukin-1 oleh makrofag dan interleukin-2 oleh sel T helper. Mekanisme kortisol
menghambat produksi interleukin disajikan pada Gambar 5.
Ikan yang mengalami stres berkepanjangan dapat berisiko tinggi untuk
terinfeksi bakteri dan parasit (Costas et al. 2008). Jorgensen dan Buchmann
(2007) menjelaskan bahwa meningkatnya kadar kortisol dapat menyebabkan ikan
dalam kondisi kronis atau akut selama diinfeksi dengan Ichthyophthiriusmultifiliis. Stres menyebabkan terjadinya hiperglisemia, kondisi ini diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan energi dalam mempertahankan homeostasis.

12

Gambar 5. Mekanisme kortisol menghambat pembentukan antibodi
(Berne dan Levy 1988)

Keberhasilan transfer glukosa ke dalam sel sangat ditentukan oleh kinerja
insulin. Apabila kinerja insulin meningkat, maka masuknya glukosa ke dalam sel
akan lebih efektif sehingga glukosa segera tersedia sebagai sumber energi.
Naiknya transfer glukosa ke dalam sel yang disebabkan oleh peran kromium
mengakibatkan turunnya glukosa dalam darah dengan cepat (Hastuti 2004). Hal
ini dijelaskan karena kortisol dapat menyebabkan terjadinya immunosupresif.
Pelepasan kortikosteroid dan katekolamin, memicu terjadinya peningkatan
glukosa plasma dan gangguan osmotik (Mazeaud et al. 1977 dalam Shrimton et
al. 2001).
Suhu air dikenal sebagai suatu regulator penting dari respons kekebalan
ikan. Suhu lingkungan yang rendah dapat meningkatkan penekanan respons imun
baik pertahanan nonspesifik maupun spesifik (Koeypudsa dan Jongjareanjai
2010). Selanjutnya Bozorgnia et al. (2011) juga melaporkan bahwa suhu
berpengaruh signifikan pada proses fisiologis ikan, seperti respons imun,
pertumbuhan dan metabolisme. Suhu normal untuk ikan beradaptasi di daerah
tropis berkisar antara 22-35⁰C (Howerton 2001). Suhu optimum untuk

13

pertumbuhan berkisar antara 25-31⁰C (Popma dan Masser 1999 dalam Atli dan
Canli 2008).
Suhu dapat mempengaruhi aktivitas Na+K+-ATPase dan morfologi insang
ikan air tawar maupun air laut. Pola perubahannya, pada ikan air tawar lebih
konsisten apabila dibandingkan dengan ikan air laut (Evans dan Claiborne 2006).
Na+K+-ATPase berperan penting pada saat adaptasi terhadap perubahan faktor
suhu dan salinitas (Inman dan Lockwood 1977 dalam Atli dan Canli 2008).
Sistem Kekebalan pada Ikan
Ikan termasuk hewan vertebrata yang sistem pertahanannya mirip dengan
hewan mamalia dan burung. Sistem pertahanannya dikelompokkan ke dalam dua
kategori, yaitu sistem pertahanan bawaan dari lahir (innate) dan sistem pertahanan
yang didapatkan (adaptive). Perlindungan didasarkan atas kekebalan bawaan
(innate immunity) secara umum tidak bergantung pada struktur organisme yang
menyerang. Namun, komponennya bereaksi cepat dan relatif tidak bergantung
pada suhu. Ikan memiliki kemampuan respons imun nonspesifik dan spesifik
(humoral) yang diperantarai sel (cell-mediated immune response) (Woo 2006).
Sistem Kekebalan Nonspesifik
Sistem kekebalan nonspesifik adalah jika inang memberikan respons yang
sama terhadap berbagai jenis antigen, baik antigen berkontak untuk pertama kali
dengan inang maupun yang sudah berulang, tanpa menimbulkan respons memori
pada tubuh inang. Jika suatu individu terpapar oleh bahan asing maka yang
pertama kali akan merespons adalah sistem pertahanan bawaan atau nonspesifik.
Kulit dan mukus, merupakan sistem pertahanan fisik pertama (kekebalan nonspesifik) pada ikan yang dapat mencegah masuknya mikroorganisme patogen
(Stoskopf 1993). Keuntungan lainnya dari kulit adalah dapat mempertahankan
osmolaritas terhadap lingkungan perairan (Ellis 1988). Selanjutnya dilaporkan
mukus atau lendir yang terdapat pada permukaan tubuh ikan, juga berfungsi untuk
menghambat kolonisasi mikroorganisme pada integumen.
Mukus pada kulit dihasilkan oleh sel-sel goblet, yang berfungsi untuk
mencegah menempelnya bakteri, fungi, parasit, dan virus. Mukus mengandung
lisosim, komplemen, dan immunoglobulin (Ig), kesemua ini tergolong ke dalam

14

sistem kekebalan nonspesifik. Baru-baru ini ditemukan antibodi yang dihasilkan
sebagai akibat infeksi parasit dan bakteri di lendir dan antibodi yang dihasilkan
bukan berasal dari serum, tetapi dihasilkan oleh limfosit yang terdapat pada kulit.
Molekul humoral pada mukus ikan ini termasuk lektin (kharbohidrat), transferin,
dan merupakan komponen dari sistem komplemen. Sel-sel nonspesifik dari sistem
imun ikan termasuk monosit atau makrofag jaringan, granulosit (heterofil), dan
sitotoksit (Craig et et al. 2005). Selanjutnya, Douglas et al. (2001) melaporkan
bahwa mukus yang terdapat di kulit dan usus

juga mengandung bahan

antimikrob, yaitu berupa peptida, seperti pleurosidin. Bahan ini diekpresikan pada
hari pertama hingga hari ketiga setelah menetas, dan diduga memegang peranan
penting dalam kehidupan ikan sebelum berkembangnya sistem

kekebalan.

Lisozim mempunyai aktivitas antibakteri (khususnya pada Gram positif) yang
menyebabkan lisis dan dapat juga berperan sebagai opsonin (Ellis 1988). Lisozim
juga dilaporkan dapat meningkatkan fagositosis (Engstad et al. 1992). Mekanisme
sistem kekebalan ini tidak menunjukkan spesifisitas terhadap bahan asing dan
mampu melindungi tubuh terhadap berbagai jenis patogen.
Ikan yang dipelihara pada suhu 20οC mempunyai aktivitas dan produksi
komplemen yang meningkat bila dibandingkan dengan yang dipelihara pada suhu
5 dan 10οC. Namun, peningkatan aktivitas komplemen ini apakah akibat
peningkatan produksi protein komplemen atau perubahan fungsi protein
komplemen pada ikan yang dipelihara pada suhu tinggi belum diketahui
(Nikoskelainen et al. 2004). Selanjutnya dilaporkan juga bahwa terjadi penurunan
aktivitas hemolitik dari serum ikan channel catfish pada musim semi dan musim
dingin. Demikian juga dengan kemampuan opsonisasi plasma ikan menurun pada
pemeliharaan di suhu rendah. Efisiensi opsonisasi plasma ikan rainbow trout lebih
efisien pada kisaran suhu 10–15οC, dengan rasio OZ (Opsonisasi Zymozan) dan
NOZ (Non Opso-nisasi Zymozan) tidak lebih dari 1.0 (Nikoskelainen et al. 2004).
Sistem Kekebalan Spesifik (humoral)
Kekebalan spesifik atau humoral erat kaitannya dengan pembentukan
antibodi. Perkembangan respons ikan terhadap kekebalan nonspesifik, spesifik,
dan memori kekebalan sepesifik diilustrasikan pada Gambar 6. Apabila agen
infeksius melakukan penetrasi ke ikan, maka mekanisme kekebalan nonspesifik

15

akan terstimulasi dan menghambat serangan agen infeksi. Jika sistem kekebalan
nonspesifik ini dapat bekerja dengan baik, maka penyakit tidak akan berkembang.
Sebaliknya, apabila sistem ini tidak bisa melawan antigen yang masuk maka
penyakit akan berkembang. Untuk mengatasi hal ini maka mekanisme pertahanan
spesifik akan berpera