Latar Belakang t pk 0907528 chapter1

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan di sekolah dasar adalah pendidikan anak yang berusia antara 6 sampai 12 tahun yang merupakan pondasi dalam membangun kecerdasan dan keterampilan hidup seorang anak. Pada tahap ini penting sekali untuk memulai membangun potensi diri yang dimiliki siswa melalui pendekatan belajar aktif. Dalam UU No. 20 Pasal 1 ayat 1 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa “ Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses belajar agar peserta didik secara aktif membangun potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”. Sedangkan salah satu penjabaran Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yaitu : 1 Proses belajar- mengajar pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan minat, bakat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Pasal 19, Ayat 1. 2 Dari kedua penjabaran tentang Undang-undang Pendidikan Nasional di atas, tampak bahwa pemerintah berkeinginan betul siswa Indonesia menjadi siswa aktif baik dalam tujuan yang lebih besar tentang potensi diri, maupun yang lebih kecil seperti pembelajaran sehari-hari siswa. Pada kenyataannya, proses pembelajaran yang terjadi masih banyak siswa yang bersikap pasif belum aktif dalam proses pembelajarannya. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran di Sekolah Dasar pada umumnya masih menekankan aspek pengetahuan kognitif dan kurang melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Sebagai salah satu contohnya, penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu, misalnya pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial : guru merasa sudah melaksanakan pembelajaran ketika menyampaikan materi pembelajaran, tetapi karena model pembelajarannya kurang melibatkan aktifitas siswa secara optimal maka sikap belajar yang ditunjukkan siswa adalah sikap pasif. Guru berasumsi bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial adalah pengetahuan yang bisa ditransformasikan secara utuh dari pikiran guru ke benak siswa, sehingga model pembelajaran yang menekankan transformasi aspek pengetahuan mendominasi dalam kegiatan pembelajarannya. Hal ini akan menyebabkan bekal pengetahuan dan keterampilan untuk hidup bermasyarakat sebagai hasil pembelajaran IPS kurang memadai Somantri, 2001. Dari observasi yang dilakukan oleh peneliti berkaitan dengan keaktifan siswa Sekolah Dasar, dalam pengerjaan tugas oleh siswa : ketika guru memberi tugas di 3 rumah kebanyakan siswa yang hanya mengerjakan tugas sesuai permintaan guru dengan kualitas yang minimal. Ada siswa yang senantiasa menyelesaikan pekerjaan, namun jarang mengerjakan lebih dari batas minimal. Ia tahu bahwa ia dapat mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya, namun tidak memiliki kecenderungan untuk menunjukkannya. Siswa lainnya tidak nyaman ketika menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya di muka umum, namun tugas-tugas yang diselesaikan di rumah dikerjakannya secara lengkap dan sebagian besar benar. Sedangkan siswa lain sengaja menunjukkan bahwa dirinya tidak berusaha mengerjakan tugas, karena dengan tidak berusaha, ia menciptakan sebuah eksplanasi alternatif untuk kegagalan, membiarkannya menjadi pertanyaan terbuka bahwa ia akan mendapat menyelesaikan tugas dengan lebih baik kalau ia berusaha. Dalam proses penyusunan pemahaman, sebagian dari siswa menunjukkan kualitas yang belum memuaskan, seperti ternyata siswa menyelesaikan tugas dengan eksplorasi dan konsistensi yang masih belum memadai dibanding dengan kapasitas dan latar belakang yang dimiliki. Kebanyakan siswa mengerjakan tugas hanya karena ingin memenuhi standar yang ditetapkan oleh guru. Hal ini dapat diukur dari kualitas eksplorasi topik atau materi yang ditugaskan, dan sumber- sumber rujukan yang digunakan kebanyakan masih bersumber dari sumber yang praktis, misalnya dari internet. Selain itu, siswa juga belum mampu mengkomunikasikan lebih dalam dari materi pelajaran. Dalam kemampuan 4 memecahkan masalah, siswa dapat melakukannya tetapi dengan prinsip yang sangat praktis dan belum menggambarkan wawasan yang cukup tinggi. Siswa Sekolah Dasar adalah siswa yang tahapan perkembangannya disebut dalam teori Piaget sebagai The Stage of Concrete Operations Barry J. Wadsworth, 1989 : 95. Selama masa ini yaitu usia 7 – 11 tahun proses penyusunan nalar menjadi logis dan konkrit. Pada saat ini anak mengembangkan apa yang disebut Piaget sebagai tahap operasi logika yang merupakan fondasi yang sangat penting dalam membangun operasi logika. Secara definitif operasi logika adalah sebuah kegiatan kognitif yang terinternalisasi pada diri siswa sehingga ia bisa sampai pada kesimpulan bahwa sesuatu itu “logis” logical operation . Dari pembangunan operasi logika ini, siswa diharapkan mengerti dan memiliki keterampilan untuk mengakses dan memproses informasi yang mereka perlukan untuk memenuhi pencapaian afeksi, kognisi, dan psikomotorik sesuai perkembangan usianya. Dengan kata lain, proses pembangunan logika diusia ini ditujukan agar anak dapat menjadi siswa aktif active learner yang keinginan dan antusiasme belajarnya lebih dari sekedar kebutuhan pencapaian kompetensi yang ditetapkan oleh sekolah, tetapi juga belajar lebih jauh dan lebih dalam lagi dari yang diajarkan dan dilakukan secara lebih mandiri. Seorang siswa disebut sebagai siswa aktif jika dalam proses belajarnya, siswa menggunakan betul kapasitas otaknya, belajar mencari ide-ide, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan apa yang telah mereka ketahui Silberman, M. 5 1996 -Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject. Sedangkan menurut Menurut Glasgow Doing Science, 1996 : “Siswa aktif secara energetik berusaha untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam proses pembelajarannya. Mereka mengambil peran yang lebih dinamis dalam memutuskan bagaimana dan apa yang mereka perlu ketahui, apa yang seharusnya bisa mereka lakukan, dan bagaimana melakukannya. Peran mereka berlanjut ke dalam pendidikan manajemen diri, dan motivasi dirinya menjadi kekuatan yang lebih besar dibalik proses belajarnya”. Dalam membentuk siswa menjadi siswa aktif dibutuhkan sebuah situasi atau kegiatan belajar yang dapat mengakomodasi kebutuhan belajar mereka. Kegiatan yang diperlukan merupakan sebuah bentuk kegiatan belajar yang prosesnya bersifat aktif yang mendorong siswa untuk melakukan pembelajarannya dengan ‘mencari sendiri pengayaan informasinya’, mampu menyajikan contoh, menguji coba keterampilannya dan menyelesaikan tugas sesuai kapasitas dirinya. Kegiatan belajar seperti ini membuat siswa mau mendengar, melihat dan menanyakan sesuatu pada saat belajar. Jika situasi ini dilakukan, mudah bagi kita untuk membayangkan bahwa pastilah kegiatan belajar yang terjadi adalah situasi belajar yang menyenangkan, suportif mendukung siswa, dan secara antar personal merasa lebih dekat. Kegiatan belajar seperti ini yang disebut sebagai kegiatan Belajar Aktif Active Learning. 6 Dari penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa kebutuhan untuk membuat situasi belajar menjadi active learning dan siswanya menjadi siswa aktif active learner merupakan sebuah tuntutan yang bersifat alamiah. Sehingga adalah sebuah kebutuhan yang cukup mendasar pula dari sebuah sekolah untuk membuat situasi yang lebih aktif dalam proses pembelajaran siswanya. Dalam lingkungan belajar aktif siswa akan membangun mental mereka sendiri dari informasi yang mereka peroleh dan harus terus menguji validitas model yang sedang dibangun. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik dan bertahan lama dalam ingatannya untuk bekal kehidupannya di masa akan dating Modell and Michael 1993 -Promoting Active Learning in Life Science Classrooms . Belajar aktif active learning ini adalah realisasi bentuk pembelajaran yang berakar pada paham konstruktivisme yang konsep belajarnya disebut belajar konstruktif. Konstruktivis merupakan sebuah epistemologi, atau penjelasan filosofis tentang kealamiahan belajar. Pengetahuan tidak untuk dipaksakan dari luar diri seseorang tetapi terbentuk dari dalam dirinya. Siswa menyusun mengkonstruksi pemahamannya tentang pengetahuan, tidak terbentuk secara otomatis. Pendekatan konstruktivis meminta perhatian kita atas fakta bahwa kita harus menyusun pengalaman belajar mengajar untuk menantang pemikiran siswa sehingga mereka sanggup untuk menyusun pengetahuan barunya. 7 Pendekatan Pembelajaran Konstruktif yang dimaksud adalah pendekatan konstruktif dengan karakteristik umum, sebagai berikut : a Menciptakan lingkungan belajar yang .memiliki konteks yang relevan dengan yang dipelajari. b Fokus pada pendekatan realistik untuk memecahkan masalah di dunia nyata. c Instruktur atau guru adalah pendamping yang membantu menganalisis problem agar mudah dipecahkan. d Konsep pembelajaran yang saling terhubung dan menyediakan berbagai macam bentuk penyampaian tentang konten. e Tujuan pembelajaran haruslah bisa dinegosiasikan dan tidak akan dipaksakan untuk dilakukan jika memang tidak memungkinkan. f Melakukan evaluasi mandiri atas pemahaman yang dimiliki atau dicapai. g Menyediakan peralatan dan lingkungan yang dapat membantu siswa untuk untuk menafsirkan berbagai hal. Ketika terjadi situasi dimana siswa tidak menjadi siswa aktif akibat guru memberikan pembelajaran dengan pembelajaran tradisional yaitu pembelajaran yang kebanyakan diberikan dalam bentuk ceramah atau teacher-centered, maka peluang siswa menjadi tidak aktif memang dapat dipahami. Karena itulah, peneliti ingin meneliti, bagaimana situasi siswa aktif dalam pelaksanaan pembelajaran konstruktif di sekolah dasar. Dalam hal ini yang dipilih untuk menjadi lokasi penelitian adalah SD Cendekia Muda Bandung. 8

B. Perumusan Masalah