Komcad Bukan Agenda Prioritas Reformasi Bidang Pertahanan

lainnya; 2. Mengandung masalah terkait potensi pelanggaran hukum dan HAM; 3. Adanya ketidakjelasan anggaran pembiayaan Komcad dari total anggaran pertahan dan kemungkinan untuk dapat dibiayai dari anggaran tersebut; dan 4. Tidak adanya assessment atas ancaman dan kekuatan komponen utama, semakin menunjukkan ketidakrelevanan pengajuannya saat ini, baik ditinjau dari kebutuhan legislasi sektor pertahanan maupun kebutuhan pertahanan negara sendiri. Pembentukan yang tergesa-gesa ini mengesankan bahwa tujuan pembentukan Komcad melalui RUU ini adalah melipatgandakan kekuatan TNI, bukan untuk memperkuat sistem pertahanan, mengingat rumusan sistem pertahanan Indonesia masih simpang siur rujukannya. Akibatnya, Komcad dimungkinkan melakukan tugas yang tidak berbeda dengan TNI, termasuk dalam tugas operasi militer selain perang, yang tidak menjadi bagian dari rancangan sistem pertahanan negara yang murni ditujuan untuk menghadapi ancaman eksternal dan memungkinkan pelibatan Komcad jika dibutuhkan komponen utama. Komcad seharusnya tidak ditujukan untuk dikerahkan pada masa darurat sipil dan darurat militer, apalagi untuk operasi militer selain perang. Kerancuan antara Komcad, komponen pendukung dan Wamil serta kemungkinan, pembiayaan dari APBD atau swasta dan indvidu menambah kerumitan pemahaman atas maksud dan tujuan RUU ini. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa RUU KCPN menjadi agenda yang tidak relevan untuk diprioritaskan saat ini oleh Pemerintah, termasuk dijadikan sebagai agenda Prolegnas 2009- 2014. Pemerintah perlu memprioritaskan legislasi lain seperti RUU Keamanan Nasional, RUU Intelijen dan amandemen UU Peradilan Militer. RUU KCPN yang akan diajukan kembali setelah selesainya prioritas-prioritas lain terkait reformasi sektor keamanan harus mendapat kajian yang komprehensif, dengan memperhatikan prinsip- prinsip demokrasi, tata pemerintahan yang baik, HAM dan partisipasi publik. 67 DISKURSUS Komnas HAM dan Tantangannya Dewasa Ini Ifdhal Kasim Pengantar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang lebih dikenal dengan Komnas HAM merupakan salah satu dari pilar terpenting mekanisme nasional perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Dikatakan sebagai salah satu, karena paska kolaps-nya Orde Baru, lahir berbagai institusi-institusi serupa yang disiapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah terkait dengan perlindungan hak 1 asasi manusia. Mulai dari Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI, hingga pada pembentukan Mahkamah Konstitusi. Kehadiran institusi-institusi hak asasi manusia di atas sekaligus menunjukan komitmen yang kuat dari pemerintahan masa Reformasi. Komitmen politik yang kuat tersebut boleh dikatakan lahir sebagai bagian dari kesadaran baru dalam pengelolaan dan pengaturan negara setelah kehancuran tatanan kehidupan berdemokrasi selama pemerintahan otoriter di masa lalu. Tonggak terpenting dari komitmen politik itu adalah pengakuan hak asasi manusia ke dalam konstitusi UUD. Walaupun sebelumnya telah disahkan sebuah TAP MPR tentang Hak Asasi Manusia, diundangkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan disertai dengan ratifikasi terhadap beberapa konvensi internasional hak asasi manusia yang penting, menjadikan hak asasi manusia sebagai hak konstitusional jelas merupakan langkah yang sangat strategis. Komitmen-komitmen yang tertuang dalam politik legislasi ini semakin memperkokoh kehadiran institusi-institusi yang menjadi bagian dari mekanisme nasional perlindungan hak asasi manusia. Fokus bahasan tulisan ini tertuju pada Komisi Nasional Hak 71 1. Lihat Manfred Nowak, Introduction to the International Human Rights Regime, Martinus Nijhoff Publishers: Leiden, 2003. Asasi Manusia—komisi bidang HAM yang telah lahir jauh sebelum Reformasi bergulir. Saya mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini: i apa respon Komnas HAM terhadap tuntutan publik atas penyelesaian kejahatan hak asasi manusia saat ini dan masa lalu; ii apa yang menjadi problem institusional yang menghambat proses penyelidikan hak asasi manusia oleh Komnas HAM saat ini; dan iii bagaimana gambaran relasi institusional antara Komnas HAM dengan institusi lain dalam penegakan HAM? Pengalaman personal saya dalam mengelola Komnas HAM selama kurang lebih empat tahun ini akan saya jadikan basis dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karena itu, apa yang coba saya paparkan dalam tulisan ini tidak menggambarkan pandangan institusional. Ini hanya pandangan-reflektif personal, oleh karena itu di sana-sini pasti ada subyektifitas yang tak terhindar. Komnas HAM dan Mandatnya Berbeda saat berada di bawah pemerintahan Orde Baru, sekarang masa Reformasi Komnas HAM memperoleh basis hukum yang lebih kuat, yaitu di bawah UU. Tidak lagi diatur oleh Keputusan Presiden Keppres, tetapi oleh sebuah undang-undang yang dihasilkan di awal Reformasi. Tepatnya, Komnas HAM diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain berbeda basis hukumnya, lingkungan politik tempat dimana Komnas HAM beroperasi juga sudah jauh berubah dengan masa sebelumnya. Sekarang ini Komnas HAM hidup di lingkungan politik jauh lebih terbuka demokratis, dibanding dengan periode sebelumnya di masa Orde Baru yang otoriter. Berada pada lingkungan politik yang baru itu, mau tidak mau mengharuskan Komnas HAM untuk meninjau ulang peran strategisnya sesuai dengan lingkungan baru tersebut. Tidak bisa dipungkiri lingkungan eksternal ini memberi kontribusi yang signifikan terhadap efektifitas perlindungann oleh Komnas HAM. Meski dibentuk oleh negara, dan karenanya merupakan bagian dari apparatus negara, Komnas HAM bukan dengan sendirinya adalah cabang dari Pemerintah. Komnas HAM merupakan institusi yang independen. Ia tidak berada di bawah kontrol atau 72 authority cabang eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Independen bukan berarti Komnas HAM sama dengan organisasi non-pemerintah NGO, melainkan independen dalam menjalankan perannya. “The differences between NGOs and National Human Rights Institution NHRI are perhaps most pronounced with regard to the investigation of complaints. NHRI are neutral fact finders, not advocates for one 2 side or another”. Komnas HAM dengan demikian adalah institusi negara yang unique—yang dalam UU No. 39 tahun 1999 dirumuskan dalam bahasa “setingkat lembaga negara”, yang dimandatkan untuk mengawasi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia oleh pembentuknya sendiri, yaitu Negara. Independensi adalah kata kuncinya. Walaupun dalam menjalankan perannya, Komnas HAM baik secara langsung atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban oleh Parlemen DPR. Dalam posisinya yang independen itulah Komnas HAM harus meletakkan kembali peran strategisnya di tengah lingkungan eksternal yang berubah tersebut. Untuk itu marilah kita lihat peran yang diberikan UU N0. 39 tahun 1999 kepada Komnas HAM. Berdasarkan UU tersebut, Komnas HAM diperintahkan untuk mencapai tujuan berikut ini: a Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; b Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan Pasal 75. Inilah mandat yang digariskan dalam UU yang harus dijalankan oleh Komnas HAM. Untuk mencapai tujuan yang dimandatkan tersebut, kepada Komnas HAM diberikan tugas untuk melaksanakan fungsi-fungsi: a. pengkajian dan penelitian; b. penyuluhan dan pendidikan; c. pemantauan dan penyelidikan; dan d. mediasi tentang hak asasi manusia. Di samping menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana 73 2. Lihat, National Human Rights Institutions: History, Principles, Roles and Responsibilities, UN: New York-Geneva, 2010. hal 13.