UPAYA HUKUM TERHADAP TERDAKWA YANG LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM (Studi Putusan Nomor 913Pid.B2014PN.Tjk)

(1)

UPAYA HUKUM TERHADAP TERDAKWA YANG LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM

(Studi Putusan Nomor 913/Pid.B/2014/PN.Tjk)

(Skripsi)

Oleh

DELLA VISKA NPM.1212011087

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2016


(2)

i ABSTRAK

UPAYA HUKUM TERHADAP TERDAKWA YANG LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM

(Studi Putusan Nomor 913/Pid.B/2014/PN.Tjk) Oleh

DELLA VISKA

Setiap pelaku tindak pidana penggelapan diancam pidana paling lama empat tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi pada kenyataannya Majelis Hakim memutus lepas Faisol Bin Suhaimi yang didakwa melakukan tindak pidana penggelapan pembelian rumput laut dalam Perkara Nomor 913/Pid.B/2014/PN.Tjk. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah upaya hukum terhadap terdakwa yang lepas dari segala tuntutan hukum pada Putusan Nomor 913/Pid.B/2014/ PN.Tjk? (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum pada Putusan Nomor 913/Pid.B/2014/ PN.Tjk?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Jenis data terdiri dari data primer dan sekunder. Narasumber terdiri dari Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Akademisi pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Upaya hukum terhadap terdakwa yang lepas dari segala tuntutan hukum pada Studi Putusan Nomor 913/Pid.B/2014/ PN.Tjk. yang dapat dilaksanakan adalah kasasi yang dalam pengajuannya disertai dengan alasan-alasan, tujuan dan tenggat waktu oleh Jaksa kepada Mahkamah Agung. Tujuan kasasi adalah agar penegak hukum lebih berhati-hati dalam menyelesaikan suatu perkara dan untuk memperbaiki putusan hakim yang dirasakan kurang memenuhi kepentingan korban. (2) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum perkara tindak pidana penggelapan uang dalam Putusan Nomor: 913/Pid.B/2014/PN.Tjk adalah pertimbangan bahwa tidak terbukti Terdakwa melakukan tindak pidana penggelapan uang sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, baik primair maupun sekunder. Perbuatan terdakwa terbukti sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana melainkan sebagai hubungan keperdataan maka oleh karenanya terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum.


(3)

ii

Della Viska

Saran penelitian ini adalah: (1) Majelis hakim yang menangani tindak pidana penggelapan uang di masa yang akan datang diharapkan untuk mempertimbangkan kepentingan korban dalam menjatuhkan putusan (2) Masyarakat hendaknya meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian terhadap kemungkinan adanya tindak pidana penggelapan.


(4)

iii

UPAYA HUKUM TERHADAP TERDAKWA YANG LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM

(Studi Putusan Nomor 913/Pid.B/2014/PN.Tjk)

Oleh DELLA VISKA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2016


(5)

(6)

(7)

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 24 Desember 1994, merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Penulis merupakan putri dari pasangan Bapak M. Zainal Abidin,S.H dan Ibu Lisma warni.

Jenjang pendidikan formal yang penulis tempuh adalah TK Kartini 2 Bandar Lampung pada Tahun 1999, Sekolah Dasar Negeri 2 Palapa Bandar Lampung diselesaikan pada Tahun 2006, SMP Kartika II-2 Bandar Lampung (Persit) diselesaikan pada Tahun 2009, SMA Perintis 1 Bandar Lampung diselesaikan pada Tahun 2012.

Pada Tahun 2012 penulis terdaftar sebagai mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN Undangan. Pada Tahun 2015 penulis melaksanakan mata Kuliah Kerja Nyata (KKN) Periode I di Kecamatan Cukuh Balak Desa Way Rilau, Kabupaten Tanggamus. Kemudian pada Tahun 2016 penulis menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(8)

vii MOTO

Rasulullah SAW bersabda:

“Mudahkanlah terhadap orang lain dan janganlah kamu mempersulit mereka

dan berilah mereka kegembiraan dan janganlah mereka

diusahakan untuk lari (terkejut)”

(H.R.Bukhari)

“Bersikaplah kukuh seperti batu karang yang tidak putus-putusnya dipukul ombak. Ia tidak saja tetap berdiri kukuh,

bahkan ia menenteramkan amarah ombak dan gelombang itu”


(9)

viii

PERSEMBAHAN

Atas Ridho Allah SWT dan dengan segala kerendahan hati kupersembahkan skripsiku ini kepada:

Papaku tercinta M.Zainal Abidin, S.H dan Mamaku tersayang Lismawarni yang selama ini telah banyak berkorban, selalu mengajarkanku kesabaran dan ketegaran, selalu memberikan kasih sayang, selalu menlindungiku dan merawatku

dengan setulus hati, dan selalu memberikan motivasi untuk maju agar dapat meraih cita-cita dan impianku, selalu berdoa dan menantikan keberhasilanku. Aku sangat berterima kasih dan aku sangat menyayangi dan mencintai kalian,

akan kubuktikan suatu saat nanti aku akan membuat kalian tersenyum bangga karena keberhasilanku.

Kepada adik-adikku Desy Aulia Putri dan M. David Chaidir yang selalu memberikan warna warni keceriaan dan membuatku selalu

bersemangat untuk memberikan contoh sebagai kakak yang baik buat kalian tercinta.

Almamater tercinta Universitas Lampung Tempatku memperoleh ilmu dan merancang mimpi

yang menjadi sebagian jejak langkahku menuju kesuksesan


(10)

ix

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Upaya Hukum Terhadap Terdakwa yang Terlepas dari segala Tuntutan Hukum (Studi Putusan Nomor: 913/Pid.B/2014/ PN.Tjk). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung di bawah bimbingan dari dosen pembimbing serta atas bantuan dari berbagai pihak lain. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.

Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

4. Bapak Dr. Eddy Rifa’i, S.H., M.H., selaku Pembimbing I, atas kesabaran dan kesediaan meluangkan waktu disela-sela kesibukannya, mencurahkan segenap


(11)

x

pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini

5. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H selaku Pembimbing II, yang telah bersedia untuk meluangkan waktu, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini

6. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembahas I, yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini

7. Bapak Damanhuri WN, S.H., M.H., selaku Pembahas II, yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini 8. Bapak Dr. M. Fakih, S.H., M.S., selaku Pembimbing Akademik penulis atas

kontribusinya membantu selama di bangku perkuliahan

9. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi 10.Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang

tua Bapak M. Zainal Abidin, S.H yang penulis banggakan dan Ibu Lismawarni tercinta, yang telah banyak memberikan dukungan, motivasi dan pengorbanan baik secara moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. Terima kasih atas segalanya semoga kelak dapat membahagiakan, membanggakan, dan selalu bisa membuat kalian tersenyum dalam kebahagiaan

11.Adik-adikku tercinta Desy Aulia Putri (Ginda Gendut) dan M.David Chaidir terima kasih atas semua dukungan, motivasi, kegembiraan, dan semangatnya yang diberikan untuk kakak


(12)

xi

12.Kakekku dan Nenekku Badri dan Sahmin, serta Saijah dan Rohilia, terima kasih telah memberikan dukungan dan motivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas kasih sayang selama ini yang telah kau berikan,

semangat serta do’a yang selama ini telah mengiringi kesuksesanku sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini

13.Sahabat-sahabatku tercinta yang dari awal perkuliahan sudah memberikan keceriaan dan dukungan dalam perkuliahan dan kerjasama dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sahabat yang selalu memberikan warna-warni keceriaan di kehidupan perkuliahan: Atika Fitri Nazili (Beler) , Debi Silvia Ridzal, Eka Rizky Pertiwi, Destha Dian Mithayani, Dwika Utari, Azzahra Rizki Ananda, Cyntia Wulandari, Dwiveni Afghina Zalita, dan Cristina Sidauruk

14.Sahabat-sahabatku SMP tercinta yang selalu menemaniku dan memberikan keceriaan Asmarantika Putri Utami, S.AB., Qoyyumi Shurny,S.H, dan Bella Vanessa. Terima kasih banyak atas segala pengalaman, motivasi, keceriaan dan waktu yang telah kita habiskan bersama-sama semoga kita semua dapat menggapai kesuksesan bersama dimasa yang akan datang nanti

15.Teman dekatku M. Arliansya Pratama yang telah membantuku dalam proses menjalani skripsi

16.Teman-teman seperjuangan menyelesaikan skripsi Atika Fitri Nazili (Cantik), Azzahra Rizki Ananda, dan Fiona Salfadila Hasan, Devi Aulia Sari terima kasih atas motivasi dan dukungan yang kalian berikan sehingga kita bersama-sama menggapai kesuksesan dan mendapat gelar Sarjana.


(13)

xii

17.Teman-teman pria Albar Diaz, Calvin Ramadhan, Dimas Satria Sanjaya, Rizal Akbar, Ganang Dwinanda, A. Yudha Prawira, Albar Diaz, terima kasih telah memberikan keceriaan dan dukungan sehingga kita bersama-sama menggapai kesuksesan

18.Teman-teman KKN Desa Way Rilau: Azzahra, Stephani, Firda, Ivan, Thoriq dan Suhardi, terima kasih telah memberikan pengalaman yang baru, kebersamaan, dan kenangan selama 40 harinya

19.Almamater tercinta, Universitas Lampung yang telah menghantarkanku menuju keberhasilan

20.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terima kasih atas semua doa, motivasi, bantuan dan dukungannya

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata, penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini dan masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, Februari 2016 Penulis


(14)

xiii DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

MOTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

SANWACANA ... ix

DAFTAR ISI ... xiii

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 14

II TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Fungsi Hukum dalam Kehidupan Masyarakat ... 16

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana... 23

C. Tinjauan Umum tentang Putusan Lepas (Onslag) ... 26

III METODE PENELITIAN ... 30

A. Pendekatan Masalah ... 30

B. Sumber dan Jenis Data ... 30

C. Penentuan Narasumber... 32

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 32


(15)

xiv

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 34

A. Upaya Hukum terhadap terdakwa yang lepas dari Segala Tuntutan Hukum pada Putusan Nomor: 913/Pid.B/2014/PN.Tjk ... 34

B. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum pada Putusan Nomor: 913/Pid.B/2014/PN.Tjk ... 41

V PENUTUP ... 56

A. Simpulan ... 56

B. Saran ... 57 DAFTAR PUSTAKA


(16)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hakikat manusia selain sebagai makhluk pribadi (individu) adalah makhluk sosial, tidak ada satu manusia pun yang dapat melepaskan diri dari kehidupan bermasyarakat dan berinteraksi dengan sesamanya dalam rangka mempertahankan kehidupannya. Manusia merupakan zoon politicon, artinya manusia selalu hidup bersama, sejak lahir hingga saat meninggal dunia, berada dalam pergaulan dengan manusia lainnya, seorang manusia tidak dapat menyendiri, mereka saling membutuhkan, saling memerlukan bagi pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan hidupnya dan semuanya ini dapat berlangsung secara bermasyarakat.1

Manusia dituntut untuk dapat mengendalikan perilakunya sebagai konsekuensi hidup bermasyarakat, tanpa pengendalian dan kesadaran untuk membatasi perilaku yang berpotensi merugikan kepentingan orang lain dan kepentingan umum. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka peran hukum menjadi sangat penting untuk mengatur hubungan masyarakat sebagai warga negara, baik hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan kebendaan, manusia dengan alam sekitar dan manusia dengan negara.

1

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 14.


(17)

2

Eksistensi hukum dalam hal ini memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena hukum bukan hanya menjadi parameter untuk keadilan, keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya kepastian hukum. Pada tataran selanjutnya, hukum semakin diarahkan sebagai sarana kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.2

Tindak pidana sebagai fenomena sosial bukan merupakan hal yang terjadi secara tidak sengaja atau hanya kebetulan belaka, karena pada dasarnya pelaku tindak pidana melakukan tindakan melawan hukum tersebut dipicu oleh berbagai faktor penyebab yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan secara erat. Tindak pidana merupakan perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

Hukum dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam masyarakat, dengan maksud agar hukum dapat berjalan sebagaimana dicita-citakan oleh masyarakat itu sendiri, yakni menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Orang yang melakukan tindak pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukannya. 3

2

Ibid. hlm. 15. 3

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 11


(18)

3

Tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dan patut dipidana sesuai dengan kesalahannya sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan4

Penggelapan merupakan salah satu jenis tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan sosial. Pengaturan mengenai tindak pidana penggelapan menurut Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah:

Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah

Pelaku tindak pidana penggelapan seharusnya mendapatkan hukuman paling lama empat tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi pada kenyataannya Majelis Hakim memutus lepas Faisol Bin Suhaimi yang didakwa melakukan tindak pidana penggelapan pembelian rumput laut dalam Perkara Nomor 913/Pid.B/2014/PN.Tjk.

Putusan hakim ini berbeda dengan dakwaan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), dalam dakwaan pertama Faisol Bin Suhaimi didakwa melakukan tindak pidana penggelapan uang titipan yang seharusnya dibelikan rumput laut dari korban bernama Hi. Hamim Bin Hasbullah. Akibat dari perbuatan tersebut adalah korban mengalami kerugian sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Dakwaan pertama adalah terdakwa dinilai JPU melakukan

4

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 17.


(19)

4

tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP.

Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan kedua menilai bahwa terdakwa Faisol Bin Suhaimi telah melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP sebagai berikut:

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu-muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Hakim dalam membuat suatu putusan memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya. Hakim yang menjatuhkan putusan lepas memiliki pertimbangan bahwa pertimbangan bahwa tidak terbukti Terdakwa melakukan tindak pidana penggelapan uang sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, baik primair maupun sekunder. Perbuatan terdakwa terbukti sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana melainkan sebagai hubungan keperdataan maka oleh karenanya terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

Hal ini sesuai dengan Pasal 191 Ayat (2) KUHAP, yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Penilaian bebas sebuah putusan tersebut tergantung pada dua hal, yaitu:


(20)

5

a. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif Pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh hakim.

b. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian

Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

Salah satu putusan lepas yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa pelaku tindak pidana penggelapan adalah Putusan Nomor: 913/Pid.B/2014/PN.Tjk, Majelis Hakim memutus terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum (onslag), karena terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi bukan merupakan tindak pidana.

Majelis hakim menimbang bahwa dalam perkara ini antara terdakwa dengan saksi korban telah mengadakan hubungan hukum dalam bentuk perjanjian kerja sama meskipun perjanjian yang dibuat antara terdakwa dan saksi korban hanya dilakukan secara lisan dan atas apa yang diperjanjikan tersebut terdakwa tidak mampu memenuhi kewajiban hukumnya untuk mengirim barang berupa rumput laut sargasum sebagaimana yang mereka perjanjikan kepada saksi korban, sehingga korban mengalami kerugian secara finansial. Oleh karena terdakwa telah menyebabkan kerugian terhadap saksi korban atas segala perbuatan yang bertentangan dengan perikatan yang dibuatnya maka harus dipandang bahwa


(21)

6

perbuatan terdakwa telah bertentangan dengan hukum meskipun hukum dalam hal ini adalah hukum yang timbul dari hubungan keperdataan sehingga dengan demikian unsur melawan hukum telah terkandung dalam perbuatan terdakwa.

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan bahwa barang tersebut adalah milik saksi korban atau setidaknya bukanlah milik dari terdakwa sendiri dan hasil pembelian rumput laut belum di serahkan oleh terdakwa kepada saksi korban atas dasar hubungan perjanjian yang telah disepakati oleh keduanya sehingga unsur memiliki sesuatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain secara melawan hukum yang berada padanya bukan karena kejahatan telah terpenuhi secara sah menurut hukum, namun perbuatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup hubungan hukum perdata. Majelis hakim dalam amarnya memerintahkan Terdakwa oleh karena itu lepas dari segala tuntutan hukum, memerintahkan Terdakwa dibebaskan dari tahanan dan memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan kedudukan, harkat serta martabatnya

Sesuai dengan penjelasan tersebut maka terdakwa yang diputus lepas harus mendapatkan pemulihan hak-hak dan kedudukannya sesuai dengan Pasal 95 – Pasal 97 KUHAP. Selain itu penjelasan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa pengertian rehabilitasi dalam undang-undang ini adalah pemulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang diberikan oleh pengadilan. Padahal selama ditahan, tersangka mengalami kerugian baik moril maupun materil, yang tidak sesuai dengan ganti kerugian yang ada. Sesuai dengan Pasal 97 KUHAP, maka yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan


(22)

7

haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Jaksa Penuntut Umum menindak lanjuti Terdakwa yang diputus lepas dari segala tuntutan hukum, pada dasarnya dapat melakukan upaya hukum karena dakwaaan dan tuntutannya tidak dipenuhi oleh hakim. Hakim dalam perkara ini justru menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukannya bukan termasuk dalam hukum pidana, tetapi melakukan perbuatan dalam ranah hukum perdata. Oleh karena itu penulis akan melaksanakan penelitian untuk membahas secara lebih lanjut dalam Skripsi yang berjudul: Upaya Hukum Terhadap Terdakwa yang Lepas dari segala Tuntutan Hukum (Studi Putusan Nomor 913/Pid.B/2014/PN.Tjk).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimanakah upaya hukum terhadap terdakwa yang lepas dari segala

tuntutan hukum pada Putusan Nomor 913/Pid.B/2014/ PN.Tjk?

b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum pada Putusan Nomor 913/Pid.B/2014/ PN.Tjk?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup ilmu penelitian adalah hukum pidana, dengan kajian mengenai perlindungan hukum terhadap terdakwa yang lepas dari segala tuntutan hukum pada Putusan Nomor 913/Pid.B/2014/ PN.Tjk.. Ruang lingkup lokasi penelitian


(23)

8

adalah pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan waktu penelitian dilaksanakan Tahun 2015.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya hukum terhadap terdakwa yang lepas dari segala tuntutan hukum pada Studi Putusan Nomor 913/Pid.B/2014/ PN.Tjk.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum pada Putusan Nomor 913/Pid.B/2014/ PN.Tjk.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan secara teoritis dan kegunaan secara praktis sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan putusan lepas oleh majelis hakim terhadap pelaku tindak pidana

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana penipuan yang relevan dengan keadilan


(24)

9

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka pemikiran merupakan adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum. Berdasarkan pernyataan di atas maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Upaya Hukum

Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim. Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa pada azasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi (kecuali bila terhadap suatu putusan dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi. 5

1) Upaya Hukum Biasa

Upaya hukum biasa terdiri dari banding, kasasi dan verzet. a) Banding

Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan. Sesuai azasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi. Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya

5

M.Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta. 2010. hlm. 77.


(25)

10

keputusan pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan, karena terhadap penetapan upaya hukum biasa yang dapat diajukan hanya kasasi. b) Kasasi

Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi. Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung. Kasasi berasal dari perkataan casser yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dibawahnya diterima oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya. Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya sehingga pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat dianggap sebagai pemeriksaan ketiga. Alasan-alasan mengajukan kasasi adalah tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku dan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pertauran perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

c) Verzet

Verzet merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Verzet dapat diajukan oleh seorang Tergugat yang dijatuhi putusan verstek, akan tetapi upaya verzet hanya bisa diajukan satu kali bila terhadap upaya verzet ini tergugat tetap dijatuhi putusan verstek

maka tergugat harus menempuh upaya hukum banding. 2) Upaya Hukum Luar Biasa

Upaya hukum peninjauan kembali (request civil) merupakan suatu upaya agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), mentah kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi). Peninjauan kembali sebagai upaya hukum terhadap putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan.6

2. Teori Dasar Pertimbangan hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

6


(26)

11

bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184 KUHAP)7

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. Fungsi hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi integritas moral yang baik.8

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

7

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 11

8

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika,.2010, hlm.103.


(27)

12

1) Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

2) Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

3) Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya. 9

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.

Menurut Mackenzie sebagaimana dikutip Ahmad Rifai10 ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

1) Teori Keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa. 2) Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana.

3) Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink sesemata-mata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

9

Ibid, hlm.105. 10


(28)

13

4) Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

5) Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

6) Teori Kebijaksanaan

Teori ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak. Aspek ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggungjawab untuk membimbing, membina, mendidik dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bagi bangsanya.

3. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian.11 Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada

seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim12

b. Perlindungan hukum adalah fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif (pencegahan)

11

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.103 12


(29)

14

maupun dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum. 13 c. Putusan lepas adalah tindak pidana yang didakwakan jaksa/penuntut umum

dalam surat dakwaannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Dengan kata lain, tidak dipenuhinya ketentuan asas minimum pembuktian (yaitu dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah) dan disertai keyakinan hakim14

d. Terdakwa adalah seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana dan ada cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan di muka persidangan.15

a. Tindak pidana penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHP adalah perbuatan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: I PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

13

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit. hlm. 41 14

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 152-153Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 25

15

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 25


(30)

15

II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi mengenai putusan lepas, tindak pidana penggelapan dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana.

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Narasumber, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian, terdiri dari analisis perlindungan hukum terhadap terdakwa yang lepas dari segala tuntutan hukum pada Putusan Nomor 913/Pid.B/2014/ PN.Tjk. dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum pada Putusan Nomor 913/Pid.B/2014/ PN.Tjk.

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


(31)

16

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Fungsi Hukum dalam Kehidupan Masyarakat

Hukum memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan bermasyarakat sebagai alat untuk menciptakan keadilan, keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya kepastian hukum. Pada tataran selanjutnya, hukum diarahkan sebagai sarana kemajuan dan kesejahteraan masyarakat yang dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam masyarakat, dengan maksud agar hukum dapat berjalan sebagaimana dicita-citakan oleh masyarakat itu sendiri, yakni menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Orang yang melakukan tindak pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai tindak pidana. 16

Hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial dalam suatu masyarakat, yaitu bahwa hukum akan melayani anggota-anggota masyarakat, baik berupa pengalokasian kekuasaan, pendistribusian sumber-sumber daya, serta melindungi kepentingan anggota masyarakat itu sendiri oleh

16

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra. Aditya Bakti. Bandung. 2003. hlm. 41.


(32)

17

karenanya hukum menjadi semakin penting peranannya sebagai sarana untuk mewujudkan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah.

Penegakan hukum memiliki peranan yang besar dalam penyelengaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjamin kepentingan mayoritas masyarakat atau warga negara, terjaminnya kepastian hukum sehingga berbagai perilaku kriminal dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan anggota masyarakat atas anggota masyarakat lainnya akan dapat dihindarkan. Penegakan hukum secara ideal akan mengantisipasi berbagai penyelewengan pada anggota masyarakat dan adanya pegangan yang pasti bagi masyarakat dalam menaati dan melaksanakan hukum. Pentingnya masalah penegakan hukum berkaitan dengan semakin meningkatnya kecenderungan berbagai fenomena kejahatan baik pelaku, modus, bentuk, sifat, maupun keadaannya. Kejahatan seakan telah menjadi bagian dalam kehidupan manusia yang sulit diprediksi kapan dan di mana potensi kejahatan akan terjadi. 17

Pemberlakuan hukum adalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan, secara teknis hukum dapat memberikan atau melakukan hal-hal sebagai berikut:

1) Hukum merupakan suatu sarana untuk menjamin kepastian dan memberikan predikbilitas di dalam kehidupan masyarakat

2) Hukum merupakan sarana pemerintah untuk menetapkan sanksi

3) Hukum sering dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk melindungi melawan kritik

4) Hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan sumber-sumber daya18

17

Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi) Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta 1994. hlm. 22.

18


(33)

18

Hukum sebagai sarana pembangunan dapat mengabdi dalam tiga sektor, yaitu: 1) Hukum sebagai alat penertib (ordering) yang berarti hukum menciptakan

suatu kerangka bagi pengambilan keputusan politik dan pemecahan perselisihan yang mungkin timbul melalui suatu hukum acara yang baik 2) Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan (balancing) yang berarti hukum

berfungsi untuk menjaga keseimbangan dan harmonisasi antara kepentingan umum dan kepentingan individu

3) Hukum sebagai katalisator yang berarti hukum berfungsi untuk memudahkan terjadinya proses perubahan melalui pembaharuan hukum dengan bantuan tenaga kreatif di bidang profesi hukum. 19

Kesadaran yang menyebabkan hukum merupakan instrumen (alat) untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu, menjadikan hukum sebagai sarana yang secara sadar dan aktif digunakan untuk mengatur masyarakat, dengan menggunakan (melalui) peraturan-peraturan hukum yang dibuat dengan sengaja. Dalam konteks yang demikian ini, sudah tentu harus diikuti dan diperhatikan perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sebagai basis sosial. Hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial itu sendiri, yaitu hukum akan melayani kebutuhan anggota-anggota masyarakat, baik berupa pengalokasian kekuasaan, pendistribusian sumber daya-sumber daya serta melindungi kepentingan anggota masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu hukum semakin dirasakan penting peranannya sebagai sarana untuk mewujudkan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah.

Hukum mempunyai arti penting bagi kekuasaan formal lembaga-lembaga negara, unit-unit pemerintah, dan pejabat negara dan pemerintah. Legalisasi kekuasaan itu dilakukan melalui penetapan landasan hukum bagi kekuasaan melalui aturan

19


(34)

19

hukum, di samping itu hukum dapat dapat pula berperan mengontrol kekuasaan sehingga pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan secara legal dan etis.

Masalah pembangunan hukum nasional tidak selayaknya dilihat dan dipahami hanya sebagai subyek pembangunan, tetapi juga sekaligus sebagai obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan, hukum dituntut agar dapat tidak hanya berfungsi sebagai sarana pembangunan social (law is a tool of social engineering), tetapi sebagai upaya menciptakan sistem hukum nasional, maka dalam pembangunannya dibutuhkan pola pikir, yang melihat hukum dan memahami hukum sebagai suatu sistem, yaitu sistem hukum nasional, yang dibangun dengan cara antara lain menerapkan prinsip good governance dan dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan sistem politik dan ketatanegaraan sesuai dengan amandemen UUD 1945.

Friedrich Karl von Savigny dalam Sudarto mengemukakan: “Law is and expression of the common consciousness or spirit of people”. Hukum tidak dibuat,

tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke).Berdasarkan inti teori Von Savigny maka dapat dinyatakan bahwa semua hukum pada mulanya dibentuk dengan cara seperti yang dikatakan orang, hukum adat, dengan bahasa yang biasa tetapi tidak terlalu tepat, dibentuk yakni bahwa hukum itu mula-mula dikembangkan oleh adat kebiasaan dan kepercayaan yang umum. Setiap masyararakat mengembangkan hukum kebiasaanya sendiri, karena mempunyai bahasa, adat istiadat (termasuk kepercayaan) dan konstitusi yang khas.20

20


(35)

20

Sesuai dengan dasar teori di atas maka produk hukum dapat diketahui melalui pembuatan hukum dan fungsi utama hukum, yaitu:

a) Pembuatan Hukum

Hukum bukan merupakan konsep dalam masyarakat karena hukum tumbuh secara alamiah dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu berubah seiring perubahan sosial. Dengan pernyataan ini maka hukum di satu negara tidak dapat diterapkan/ dipakai oleh negara lain karena masyarakatnya berbeda-beda begitu juga dengan kebudayaan yang ada di suatu daerah sudah pasti berbeda pula, dalam hal tempat dan waktu juga berbeda.

Pokok-pokok ajaran mazhab historis yang diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Hukum yang ditemukan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis; oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan 2) Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah

dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah. Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang;

3) Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain.Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian sepanjang sejarah.

b) Fungsi Utama Hukum

Konsep jiwa masyarakat dalam teori Savigny tentang hukum ini tidak dapat menunjukkan secara jelas bagaimana isi dan ruang lingkupnya. Sehingga amat sulit melihat fungsi dan perkembangannya sebagai sumber utama hukum menurut teori ini. Sesuai dengan teori ini maka hukum yang berlaku pada suatu masyarakat adalah hukum yang berkembang seiring dengan perkembangan yang terjadi dalam konteks kehidupan masyarakat itu sendiri.21

Pembangunan hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di Indonesia haruslah dilakukan secara terus menerus agar hukum dapat memainkan

21


(36)

21

peran dan fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam hidup bersama yang imperatif dan efektif sebagai penjamin keadilan di dalam masyarakat. Upaya pembangunan tatanan hukum yang terus menerus ini diperlukan. Sebagai pelayan bagi masyarakat. Karena hukum itu tidak berada pada kevakuman, maka hukum harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang dilayaninya juga senantiasa berkembang. Sebagai alat pendorong kemajuan masyarakat. Secara realistis di Indonesia saat ini fungsi hukum tidak bekerja secara efektif, sering dimanipulasi, bahkan jadi alat (instrumen efektif) bagi penimbunan kekuasaan. 22

Hukum itu ekpresi dan semangat dari jiwa rakyat (volksgeis). Selanjutnya dikatakan bahwa hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Konsep demikian ini memang didukung oleh kenyataan dalam sejarah yaitu pada masyarakat yang masih sederhana sehingga tidak dijumpai perana pembuat undang-undang seperti terdapat pada masayarakat modern.Pada masyarakat yang sedang membangun perubahan dibidang hukum akan berpengaruh terhadap bidang-bidang kehidupan lainnya, begitu juga sebaliknya23

Penjelasan di atas menunjukkan fungsi hukum disatu pihak dapatlah dipergunakan sebagai sarana untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik dan dilain pihak untuk mempertahankan susunan masyarakat yang telah ada serta mengesahkan perubahan-perubahan yang telah terjadi di masa lalu. Jika mengetengahkan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang sedang pada masa transisi, perlu ada penetapan prioritas-prioritas dan tujuan yang hendak dicapai, sedangkan

22

Ibid. hlm.57 23

Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006, hlm.12-13.


(37)

22

suber atau datanya dapat diperoleh melalui penelitian-penelitian terhadap masyarakat di berbagai bidang kehidupan. Data yang sudah diperoleh kemudian diabstraksikan agar dapat dirumuskan kembali ke dalam norma hukum yang kemudian disusun menjadi tata hukum.

Hukum berasal dari masyarakat dan hidup serta berproses di dalam masyarakat, maka pembaharuan hukum tidak mungkin dilepaskan secara mutlak dari masyarakat. Ini berarti bahwa yang dihadapi adalah kenyataan-kenyataan sosial dalam arti yang luas. Kenyataan yang ada seperti yang dihadapi Indonesia yaitu masyarakatnya yang heterogen dengan tingkat bentuk masyarakat yang berbeda-beda, mulai dari yang sederhana sampai pada masyarakat yang komplek24

Masyarakat transisi yang mengalami proses dari yang sederhana ke komplek tidak jarang dihadapkan pada sebagian nilai yang harus ditinggalkan, tetapi ada pula yang harus dipertahankan karena mendukung proses penyelesaian masa transisi. Memang setiap pebangunan merupakan proses menuju suatu tujuan tertentu melalui berbagai terminal; selama terminal-terminal tadi masih harus dilalui maka transisi masih akan tetap ada.

Pada masayarakat yang sederhana, hukum timbul dan tumbuh bersama-sama dengan pengalaman-pengalaman hidup warga masyarakatnya. Penguasa di sini lebih banyak mengesahkan atau menetapkan hukum yang sebenarnya hidup dimasyarakat, tetapi hal yang sebaliknya agaknya terjadi pada masyarakat yang kompleks. Kebhinekaan masyarakat yang kompleks menyebabkan sulit untuk memungkinkan timbulnya hukum dari bawah. Diferensiasi yang tinggi dalam

24


(38)

23

strukturnya membawa konsekuensi pada aneka macam kategori dan kepentingan dalam masyarakat dengan kepentingan-kepentingan yang tidak jarang saling bertentangan, walaupun hukum datang dan ditentukan dari atas, sumbernya tetap dari masyarakat.

Dengan demikian peranan nilai-nilai di dalam masyarakat harus dipertahankan untuk menetapkan kaedah hukum apabila diharapkan kaedah hukum yang diciptakan itu dapat berlaku efektif. Dengan demikian berhasil atau gagalnya suatu proses pembaharuan hukum, baik pada masyarakat yang sederhana maupun yang kompleks sedikit banyak ditentukan oleh pelembagaan hukum di dalam masyarakat. Jelas bahwa usaha ini memerlukan perencanaan yang matang, biaya yang cukup besar dan kemampuan meproyeksikan secara baik. Di dalam masyarakat seperti Indonesia yang sedang mengalami masa peralihan menuju masyarakat modern tentunya nilai-nilai yang ada mengalami proses perubahan pula. Masyarakat yang melaksanakan pembangunan, proses perubahan tidak hanya mengenai hal-hal yang bersifat fisik, tetapi juga pada nilai-nilai dalam masyarakat yang mereka anut. Nilai-nilai yang dianut itu selalu terkait dengan sifat dan sikap orang-orang yang terlibat di dalam masyarakat yang membangun.

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b).


(39)

24

Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)25

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis).26

Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal 184 KUHAP).

Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian dapat dikonklusikan lebih jauh bahwasannya putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapakan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau kasasi, melakukan grasi dan sebagainya.

25

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 11

26


(40)

25

Selanjutnya menurut Lilik Mulyadi27, apabila ditelaah melalui visi hakim yag mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan. Teori dasar pertimbangan hakim masih menurut menurut Lilik Mulyadi, yaitu putusan hakim yang baik, mumpuni, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria dasar pertanyaan (the 4 way test), yakni:

1) Benarkah putusanku ini?

2) Jujurkah aku dalam mengambil putusan? 3) Adilkah bagi pihak-pihak putusan? 4) Bermanfaatkah putusanku ini?

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur Negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu

27


(41)

26

tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi denganintegritas moral yang baik.28

Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia menjadi ciri Negara hukum. Sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh Hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diawali oleh penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya.29

C. Tinjauan Umum tentang Putusan Lepas (Onslag)

Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia. Ayat (2) menyatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

Pasal 191 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHAP mengatur putusan bebas dan putusan lepas, sebagai berikut:

28

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika,.2010, hlm.103.

29


(42)

27

(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. (2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan

kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

Penjelasan Pasal 191 Ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

“perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

Perbedaan antara putusan bebas dan lepas dapat ditinjau dari segi hukum pembuktian, yaitu pada putusan bebas (vrijspraak) tindak pidana yang didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Dengan kata lain, tidak dipenuhinya ketentuan asas minimum pembuktian (yaitu dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah) dan disertai keyakinan hakim (Vide Pasal 183 KUHAP). Sedangkan, pada putusan lepas (onslag van recht vervolging), segala tuntutan hukum atas perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan jaksa/penuntut umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, akan tetapi terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana, karena perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, misalnya merupakan bidang hukum perdata, hukum adat atau hukum dagang.30

Penjatuhan Putusan Bebas dan Putusan Lepas oleh seorang hakim atas pelaku suatu tindak pidana (yang unsur-unsur pasal yang didakwakan terbukti), dapat

30


(43)

28

dibedakan dengan melihat ada atau tidak adanya alasan penghapus pidana (Strafuitsluitingsgronden), baik yang ada dalam undang-undang, misalnya alasan pembenar (contohnya Pasal 50 KUHP) atau alasan pemaaf (contoh Pasal 44 KUHP), maupun yang ada di luar undang-undang.

Bertitik tolak pada kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP dan dihubungkan dengan Pasal 191 Ayat (1) tentang putusan bebas, maka putusan bebas pada umumnya didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim:

a. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti, semua alat bukti yang diajukan ke persidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk maupun keterangan terdakwa tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan. Perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena menurut penilaian hakim semua alat bukti yang diajukan tidak cukup atau tidak memadai membuktikan kesahan yang didakwakan

b. Secara nyata hakim menilai pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi ketentuan minimum batas pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan di persidangan hanya terdiri dari seorang saksi saja. Di samping tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian, juga bertentangan dengan Pasal 185 Ayat (2) KUHAP yang menegaskan unus testis nullus testis atau seorang saksi bukan saksi

c. Putusan bebas tersebut bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim. Keterbuktian kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang sah harus didukung oleh keyakinan hakim. Sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim31

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada dasarnya tidak membagi bentuk putusan bebas. Bentuk-bentuk putusan pengadilan yang dikenal dalam KUHAP yaitu: putusan bebas, putusan lepas, putusan pemidanaan, penetapan tidak berwenang mengadili, putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima, dan putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum. Namun

31


(44)

29

dalam praktiknya, kemudian dikenal ada putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni yangdikenalkan dalam yurisprudensi pertama kali lewat Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 275 K/Pid/1983, yakni kasus vonis bebas Natalegawa yang dikasasi jaksa. Mahkamah Agung menerima kasasi jaksa berdasarkan argumentasi murni tidaknya putusan bebas. Maklum, saat itu Pasal 244 KUHAP tegas melarang upaya kasasi atas putusan bebas. Akhirnya sejak saat itu, praktek hukum acara di Indonesia mengenal istilah putusan bebas murni atau tidak murni. Pihak jaksa penuntut umum biasanya selalu menggunakan dalil ketika mengajukan kasasi bahwa hakim dalam tingkat persidangan sebelumnya telah menjatuhkan putusan bebas tidak murni. Pasal 244 KUHAP menyatakan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. 32

32


(45)

30

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yurdis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan sebagai upaya memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan dalam penelitian berdasarkan realitas yang ada.33

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data terdiri dari data primer dan data sekunder,34 yaitu sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan kepada narasumber untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan penelitian. Data Sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

33

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.55 34


(46)

31

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Pemberlakuan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3) Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer yaitu produk hukum berupa:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

2) Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor:

913/Pid.B/2014/PN.Tjk

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti teori atau pendapat para ahli yang tercantum dalam berbagai referensi atau literatur buku-buku hukum yang berhubungan dengan masalah penelitian.


(47)

32

C. Penentuan Narasumber

Narasumber penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang

2. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 orang

3. Akademisi pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang +

Jumlah : 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Studi pustaka (library research)

Dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan.

b. Studi lapangan (field research)

Dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada narasumber sebagai usaha mengumpulkan data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data yang dimaksud meliputi tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data

Merupakan kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.


(48)

33

b. Klasifikasi data

Merupakan kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data

Merupakan kegiatan penempatan dan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum.


(49)

56

V. PENUTUP

A.Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Upaya hukum terhadap terdakwa yang lepas dari segala tuntutan hukum pada Studi Putusan Nomor 913/Pid.B/2014/ PN.Tjk. yang dapat dilaksanakan adalah kasasi yang dalam pengajuannya disertai dengan alasan-alasan, tujuan dan tenggat waktu oleh Jaksa kepada Mahkamah Agung. Tujuan kasasi adalah agar penegak hukum lebih berhati-hati dalam menyelesaikan suatu perkara dan untuk memperbaiki putusan hakim yang dirasakan kurang memenuhi kepentingan korban.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum perkara tindak pidana penggelapan uang dalam Putusan Nomor: 913/Pid.B/2014/PN.Tjk adalah pertimbangan bahwa tidak terbukti Terdakwa melakukan tindak pidana penggelapan uang sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, baik primair maupun sekunder. Perbuatan terdakwa terbukti sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana melainkan sebagai


(50)

57

hubungan keperdataan maka oleh karenanya terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

B.Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Majelis hakim yang menangani tindak pidana penggelapan uang di masa yang akan datang diharapkan untuk mempertimbangkan kepentingan korban dalam menjatuhkan putusan, sebab penggelapan uang berdampak pada kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan pelaku. Selain itu untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai upaya untuk mengantisipasi agar tidak terjadi tindak pidana serupa dalam kehidupan masyarakat.

2. Masyarakat hendaknya meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian terhadap kemungkinan adanya tindak pidana penggelapan uang, misalnya dengan selalu membuat perjanjian tertulis jika membuat kesepakatan atau kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.


(51)

58

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Ayatrohaedi, Keperibadian Budaya bangsa (Local Genius). Jakarta, Pustaka Jaya. 1986.

Atmasasmita, Romli Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, 1996. Darmodiharjo, Darji. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 2004. Dimyati, Khudzaifah. Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan Pemikiran

Hukum di Indonesia 1945-1990, Cetakan keempat. Muhammadiyah University Press, Surakarta .2005.

Darmayudha, Suasthawa. Hukum dalam Perspektif Budaya. Kerta Patrika Edisi Khusus,: FH UNUD. Denpasar Bali. 1994.

Dherana, Tjokordo Raka Pengenalan Bahan-bahan Hukum Adat Bali dalam Menunjang Pembinaan Hukum Nasional. Edisi Khusus dalam rangka Lustrum VI FH UNUD, Denpasar, 2005

Hadikusuma, Hilman. Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 1978.

Hartono, C.F.G. Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung. 1991.

Harahap, Yahya. Upaya Hukum Luar Biasa. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika. Jakarta. 2008.

Kusumaatmadja, Mochtar. Fungsi dan Perkem-bangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung. 1986.

Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,

1984.

Lamintang, P.A.F. dan C. Djisman Samosir, Delik-delik Khusus, Tarsito, Bandung, 1981.

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,


(52)

59

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1997.

Nawawi Arief, Barda. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996.

---, Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001.

Peters, A.A.G. dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial (Buku I), Sinar Harapan, Jakarta, 1988

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama Jakarta, 2004

Nurcholis, Hanif. Pertumbuhan & Penyelenggaraan Pemerintah Desa, Erlangga, Jakarta, 2011

Reksodiputro, Mardjono. Sistem Peradilan Pidana IndonesiaMelihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1994.

Rahardjo, Satjipto. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. ---, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing,

Yogyakarta, 2009.

Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif,

Sinar Grafika. Jakarta. 2010.

Roestandi, Achmad. Responsi Filsafat Hukum. Armico-Bandung, 1992. Saleh, Roeslan Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-

Undangan, Bina Aksara, Jakarta. 1979.

Sholehuddin, M. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Doubel Track System dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2007. Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung, 1983


(53)

60

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


(1)

Merupakan kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data

Merupakan kegiatan penempatan dan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum.


(2)

V. PENUTUP

A.Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Upaya hukum terhadap terdakwa yang lepas dari segala tuntutan hukum pada Studi Putusan Nomor 913/Pid.B/2014/ PN.Tjk. yang dapat dilaksanakan adalah kasasi yang dalam pengajuannya disertai dengan alasan-alasan, tujuan dan tenggat waktu oleh Jaksa kepada Mahkamah Agung. Tujuan kasasi adalah agar penegak hukum lebih berhati-hati dalam menyelesaikan suatu perkara dan untuk memperbaiki putusan hakim yang dirasakan kurang memenuhi kepentingan korban.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum perkara tindak pidana penggelapan uang dalam Putusan Nomor: 913/Pid.B/2014/PN.Tjk adalah pertimbangan bahwa tidak terbukti Terdakwa melakukan tindak pidana penggelapan uang sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, baik primair maupun sekunder. Perbuatan terdakwa terbukti sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana melainkan sebagai


(3)

tuntutan hukum.

B.Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Majelis hakim yang menangani tindak pidana penggelapan uang di masa yang akan datang diharapkan untuk mempertimbangkan kepentingan korban dalam menjatuhkan putusan, sebab penggelapan uang berdampak pada kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan pelaku. Selain itu untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai upaya untuk mengantisipasi agar tidak terjadi tindak pidana serupa dalam kehidupan masyarakat.

2. Masyarakat hendaknya meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian terhadap kemungkinan adanya tindak pidana penggelapan uang, misalnya dengan selalu membuat perjanjian tertulis jika membuat kesepakatan atau kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Ayatrohaedi, Keperibadian Budaya bangsa (Local Genius). Jakarta, Pustaka Jaya. 1986.

Atmasasmita, Romli Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, 1996. Darmodiharjo, Darji. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 2004. Dimyati, Khudzaifah. Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan Pemikiran

Hukum di Indonesia 1945-1990, Cetakan keempat. Muhammadiyah

University Press, Surakarta .2005.

Darmayudha, Suasthawa. Hukum dalam Perspektif Budaya. Kerta Patrika Edisi Khusus,: FH UNUD. Denpasar Bali. 1994.

Dherana, Tjokordo Raka Pengenalan Bahan-bahan Hukum Adat Bali dalam Menunjang Pembinaan Hukum Nasional. Edisi Khusus dalam rangka

Lustrum VI FH UNUD, Denpasar, 2005

Hadikusuma, Hilman. Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 1978.

Hartono, C.F.G. Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung. 1991.

Harahap, Yahya. Upaya Hukum Luar Biasa. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika. Jakarta. 2008.

Kusumaatmadja, Mochtar. Fungsi dan Perkem-bangan Hukum dalam

Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung. 1986.

Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,

1984.

Lamintang, P.A.F. dan C. Djisman Samosir, Delik-delik Khusus, Tarsito, Bandung, 1981.

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,


(5)

UNDIP, Semarang, 1997.

Nawawi Arief, Barda. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996.

---, Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001.

Peters, A.A.G. dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial (Buku I), Sinar Harapan, Jakarta, 1988

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama Jakarta, 2004

Nurcholis, Hanif. Pertumbuhan & Penyelenggaraan Pemerintah Desa, Erlangga, Jakarta, 2011

Reksodiputro, Mardjono. Sistem Peradilan Pidana IndonesiaMelihat Kejahatan

dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan

Pengabdian Hukum Jakarta. 1994.

Rahardjo, Satjipto. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. ---, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing,

Yogyakarta, 2009.

Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif,

Sinar Grafika. Jakarta. 2010.

Roestandi, Achmad. Responsi Filsafat Hukum. Armico-Bandung, 1992. Saleh, Roeslan Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-

Undangan, Bina Aksara, Jakarta. 1979.

Sholehuddin, M. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Doubel Track System dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2007. Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung, 1983


(6)

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


Dokumen yang terkait

KASASI TERHADAP PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM TERHADAP PENIPUAN OLEH PENUNTUT UMUM (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1600K/PID/2013)

3 93 84

PERAN PENGADILAN NEGERI DALAM PEMBERIAN REHABILITASI TERHADAP TERDAKWA YANG DIPUTUS BEBAS DAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM (ONTSLAG)

0 3 59

ANALISIS PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN UANG (Studi Putusan Nomor 913Pid.B2014PN.Tjk)

0 6 50

PUTUSAN BEBAS DAN PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM DALAM PERKARA PIDANA Putusan Bebas Dan Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum Dalam Perkara Pidana.

0 1 11

PUTUSAN BEBAS DAN PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM DALAM PERKARA PIDANA Putusan Bebas Dan Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum Dalam Perkara Pidana.

0 2 19

PUTUSAN BEBAS DAN PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM DALAM PERKARA PIDANA Putusan Bebas Dan Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum Dalam Perkara Pidana.

0 2 19

PELAKSANAAN HAK-HAK TERDAKWA YANG DIPUTUS LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM DI PENGADILAN NEGERI PADANG.

0 0 9

DAMPAK PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM TERHADAP PENEGAKAAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (studi Pcnanganan Kasus Marfendi c.s, Terdakwa Kasus Korupsi APBD suMBAR 2002).

0 0 7

ALASAN PERMOHONAN KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAP PUTUSAN JUDEX FACTI MENYATAKAN TERDAKWA LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM DALAM PERKARA PENIPUAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 380 K/PID/2015).

0 0 13

ARGUMENTASI HUKUM HAKIM MENJATUHKAN PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM DAN UPAYA HUKUM PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA EKONOMI.

0 1 10